Refleksi Kasus Syok Hipovolemik
-
Upload
takumiinui -
Category
Documents
-
view
177 -
download
35
description
Transcript of Refleksi Kasus Syok Hipovolemik
STATUS PASIEN DOKTER MUDA BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO-RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Widyawati
Umur : 40 Tahun
Alamat : Desa Gimpu
Pekerjaan : URT
Agama : Islam
Ruangan : Intensive Care Unit RSUD Undata Palu
Tanggal Masuk : 09 Desember 2014
Tanggal Pemeriksaan : 09 Desember 2014
No.Rek.Medis : 462375
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Perdarahan pervaginam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk ruang ICU dengan perdarahan pervaginam setelah dilakukan tindakan
operasi Sectio cessaria di OK Cito RSUD Undata. pasien dilakukan section cessaria
atas indikasi ketuban pecah dini (KPD) dan gagal induksi. Setelah dilakukan operasi
SC, pasien kemudian mengalami perdarahan yang cukup banyak, mulai gelisah, akral
dingin, penurunan tekanan darah berulang, pernapasan cepat dan nadi cepat
Riwayat Penyakit Sebelumnya
o Status maternal pasien : G6P5A0
o Riwayat Hipertensi Gestasional (+).
o Riwayat Diabetes Melitus disangkal
o Riwayat operasi section cessaria (-)
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis (GCS E4 V5 M6)
Berat Badan : 65 kg
Status Gizi : Gizi Baik
Primary Survey
Airway : Paten
Breathing : Respirasi 28 kali/menit
Circulation : Tekanan darah : 84/58 mmHg
Nadi : 124 kali/menit, reguler, lemah, tidak kuat
Angkat
Secondary Survey
Kepala :
- Bentuk : Normocephal
- Rambut : Ikal, warna hitam distribusi padat
- Kulit kepala : Psoriasis (-), lesi (-)
- Wajah : Simetris, paralisis facial (-), afek ekspresi serasi, deformitas (-)
- Kulit : Keriput (-), pucat (+), sianosis (-), massa (-), turgor 3 detik.
Mata : Eksoftalmus (-), enophtalmus (-), palpebra edema (-), fungsi N.II (tidak
dilakukan pemeriksaan), dermatitis seborea (-), ptosis (-), kalazion (-),
pembengkakan saccus lacrimalis (-), konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik
(-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bentuk isokor, bulat, diameter ± 2mm/2mm, refleks cahaya
langsung +/+ refleks cahaya tidak langsung +/+.
Telinga : Keloid (-), kista epidermoid (-), serumen minimal, membrana
timpani normal.
Hidung & Sinus : Deviasi septum nasi (-), polip (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-),
nyeri tekan pada sinus (-)
Mulut & Faring : Bibir : sianosis (-), pucat (+)
Gusi : gingivitis (-)
Gigi : karies dentis (+)
Lidah : deviasi lidah (-), lidah kotor (-), tremor (-)
Leher : Inspeksi : jaringan parut (-), massa (-)
Palpasi :pembengkakan kelenjar limfe (-), pembesaran
pada kelenjar tiroid (+), nyeri tekan (-), JVP :
R5 + 2 cm H2O
Trakhea : Deviasi trakhea (-)
Thorax
Inspeksi : Normochest, retraksi (-), massa (-), cicatrix (-), spider nevi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan kanan, fremitus
taktil kesan normal.
Perkusi : sonor (+) diseluruh lapang paru, batas paru hepar SIC VI dextra.
Auskultasi : vesicular +/+, bunyi tambahan (-).
Jantung
Inspeksi : lctus cordis tidak tampak
Palpasi : lctus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (s), thrill (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal dextra et sinistra
Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung terhadap thorax dan symphisis pubis, massa (-),
cicatrix (+) bekas operasi sc, caput medusae (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal (± 20 kali/menit) diseluruh kuadran
abdomen , Bruit (-), friction rub (-)
Perkusi : Hipertimpani (+) diseluruh kuadran abdomen, ascites (-)
Palpasi : hepar tidak teraba
Spleen tidak teraba
Nyeri tekan (+)
Ginjal tidak teraba
Genitalia : terdapat darah yang keluar terus menerus dari introitus vagina
Ekstremitas :
Atas : Edema (-), Akral dingin (+/+), ROM normal, refleks fisiologis normal,
refleks patologis (-), kekuatan 5/5, tonus normal
Bawah : Edema (-), Akral dingin (+/+), ROM normal, refleks fisiologis normal,
refleks patologis (-), kekuatan 4/4, tonus normal
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 09 Desember 2014
Hematologi Rutin
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW
PLT
MPV
PCT
PDW
WBC
2,25
7,7
20,7
92
34,0
37,1
13,1
172
7,6
0,135
13,8
14,1
106/mm3
gr/dl
%
µm3
pg
g/dl
%
103/mm3
µm3
%
%
103/mm3
3,80-5,80
11,5-16,0
37,0-47,0
80-100
27,0-32,0
32,0-36,0
11,0-16,0
150-500
6,0-11,0
0,150-0,500
11,0-18,0
4,0-10,0
5. RESUME
Pasien ♀ usia 40 tahun. Masuk ICU dengan perdarahan pervaginam setelah dilakukan
tindakan operasi Sectio cessaria. Pasien dilakukan section cessaria atas indikasi ketuban
pecah dini (KPD) dan gagal induksi. Setelah dilakukan operasi SC, pasien kemudian
mengalami perdarahan yang cukup banyak diikuti dengan hipotensi, takipnoe, gelisah, dan
takikardi
Pemeriksaan Fisik
Airway : Paten
Breathing : Respirasi 28 kali/menit
Circulation : Tekanan darah : 84/58 mmHg
Nadi : 124 kali/menit, reguler, lemah, tidak kuat
Angkat
6. Diagnosis Kerja :
Perdarahan pervaginam + Hipotensi e.c Syok Hipovolemik Post SC
7. Penatalaksanaan :
Airway : O2 4 Lpm via nasal kanul
Breathing : Spontan
Circulation : IVFD RL 1300 cc
NaCl 100 cc
Transfusi Whole Blood 350 cc (Gol. Darah O+) P1254367A
Drug : Oxytocin 10 iu /1 kolf drips IV
Ranitidin 2,5 mg/IV
Ketorolac 30 mg /IV
8. Anjuran Pemeriksaan :
Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan Analisa Gas Darah
Pemeriksaan Fungsi Hemostasis
FOLLOW UP
Tanggal 09 Desember 2014 (Post Op Hari-O)
S : Lemah (+), pusing (+), mual/muntah (-), nyeri ulu hati (-)
O : Tek.Darah : 90/50 mmHg
Nadi : 104 kali/menit
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 370C
Konjungtiva anemis (+/+), Perdarahan pervaginam (+)
Input OutputRinger Lactat 1500 mlAir Metabolisme 230 ml
Urine 460/24 jamIWL 691
Total 1730 Total 1151
A : Hipotensi + Anemia e.c Syok hipovolemik post SC
P : IVFD RL:Futrolit 1:1 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
Metronidazole 0,5 gr/8 jam drips IV
Ranitidin 1 amp/8 jam/IV
Transamin 1 amp/8 jam/IV
Oxytocin 20 iu/1 kolf/24 jam
Ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Transfusi PRC 500 cc
Tanggal 10 Desember 2014 (Post Op Hari-1)
S : Lemah (+), pusing (-), mual/muntah (-), nyeri ulu hati (-)
O : Tek.Darah : 119/78 mmHg
Nadi : 88
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,70C
Konjungtiva anemis (+/+) Perdarahan Pervaginam (-)
Input OutputRinger Lactat 1500 mlAir Metabolisme 230 ml
Urine 750 cc/24 jamIWL 691
Total 1730 Total 1441
Hasil Laboratorium
Hemoglobin :8,7 gr/dl.
A : Hipotensi + Anemia e.c Syok hipovolemik post SC
P : IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
Metronidazole 0,5 gr/8 jam drips IV
Ranitidin 1 amp/8 jam/IV
Transamin 1 amp/8 jam/IV
Oxytocin 20 iu/1 kolf/24 jam
Ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Boleh Makan dan minum
Pindah ke ruang perawatan nifas.
PEMBAHASAN
Pada kasus ini seorang wanita usia 40 tahun dilakukan operasi section cessaria (SC)
emergensi atas indikasi ketuban pecah dini dan gagal induksi. Teknik anestesi yang dilakukan
adalah subarachnoid block (SAB).
Berdasarkan teori, terdapat beberapa jenis anestesi yang bisa dilakukan pada wanita
hamil yang akan dilakukan SC, yaitu general anestesi dan regional anestesi. Anestesi regional
lebih banyak dilakukan karena dapat mengurangi risiko terjadinya depresi pernapasan pada
neonates dan kejadian aspirasi pulmonum. Namun, jika terdapat kontraindikasi untuk
dilakukan regional anestesi (hipovolemi, infeksi darah tusukan, septicemia, kelainan
neurologis, dan kelainan pembekuan darah) maka dapat digunakan anestesi umum dengan
pemasangan endotracheal tube (ETT) terutama pada kasus pembedahan darurat.
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan obat pre medikasi yaitu ondansentron 4
mg IV, ketorolac 30 mg. Ondansentron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif
dapat menekan mual dan muntah. Ketorolac merupakan analgetik yang juga bersifat
antiinflamasi, antipiretik, dan anti koagulan.
Pasien di bawa ke ruang ICU karena setelah dilakukan operasi, pasien mengalami
hipotensi akibat terjadinya perdarahan pervaginam secara terus menerus, sehingga perlu
dilakukan observasi di ruang perawatan intensif. Berdasarkan teori, perdarahan yang terjadi
secara terus menerus dapat menyebabkan kondisi syok, yaitu syok hipovolemik. Syok
hipovolemik atau syok hemoragik merupakan suatu kondisi terjadinya kehilangan akut
volume peredaran darah yang menyebabkan suatu kondisi penurunan perfusi jaringan dan
menyebabkan penghantaran oksigen serta nutrisi ke sel menjadi tidak adekuat. Gejala klinis
pasien dengan syok hemoragik umumnya memberikan tanda berupa penurunan tekanan darah
(hipotensi), takikardia hingga bradikardia, penurunan urine output, kulit kering, akral dingin,
konjungtiva pucat, agitasi, bahkan dapat mengalami penurunan kesadaran.
Pada pasien ini, tekanan darah saat preoperasi adalah 130/90 mmHg, dan setelah
dilakukan anestesi spinal (dengan tehknik SAB), tekanan darah pasien turun menjadi 94/68
mmHg, selama operasi berlangsung tekanan darah semakin turun hingga 84/58. Penurunan
tekanan darah setelah dilakukan anestesi spinal merupakan salah satu efek dari obat anestesi
yang digunakan. Dimana, obat anestesi dengan segera dapat menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah. Ketika terjadi vasodilatasi pembuluh darah yang tidak diikuti dengan
peningkatan cardiac output, maka akan terjadi penurunan tekanan darah yang berlanjut pada
kurangnya perfusi ke jaringan perifer (Syok). Efek lain dari anestesi spinal adalah dapat
menyebabkan relaksasi otot polos termasuk otot polos uterus, sehingga di butuhkan obat-obat
yang bersifat uterotonik seperti oksitosin. Selain efek dari obat anestesi, penurunan tekanan
darah pada pasien ini juga karena dilakukannya operasi yang memungkinkan terjadinya
pengeluaran darah yang cukup banyak yaitu section cessaria. Disamping itu, usia pasien saat
ini adalah 40 tahun dan status kehamilan pasien adalah G6P5A0, yang artinya berdasarkan
usia, dapat menjadi faktor risiko menurunnya kompensasi tubuh. Sedangkan dilihat dari status
maternal dimana pasien gravid 6 kali, paritas 5 kali, pasien juga dapat mengalami kondisi
hipotonia uteri atau atonia uteri yaitu suatu kondisi dimana uterus tidak mampu atau sama
sekali tidak dapat berkontraksi, yang akhirnya dapat menyebabkan perdarahan terus menerus.
Berdasarkan klasifikasi perdarahan, pasien dalam kasus ini mengalami perdarahan
kelas II (kehilangan volume darah sekitar 15% - 30%), dimana pasien menunjukkan tanda
klasik perfusi yang tidak adekuat, yaitu takikardi ringan, takipnoe yang jelas, gelisah, dan
penurunan tekanan darah sistolik. pasien dalam kasus ini kehilangan darah sebesar 750-1500
cc.
Penatalaksanaan awal pasien dengan syok hipovolemik atau syok hemoragik adalah
dengan memperhatikan Airway (A), breathing (B), Circulation (C), Disability (D), Exposure
(E). pada pasien ini untuk pengelolan jalan nafas (Airway) dilakukan pemberian terapi
oksigen melalui nasal kanul 3 lpm, sedangkan untuk pernapasan (Breathing) masih secara
spontan. Untuk sikulasi (C) pasien dilakukan resusitasi cairan berupa pemberian cairan
kristaloid yaitu Ringer Lactat 1300 ml dalam waktu 30 menit. Untuk disability (D), pasien
dilakukan pemeriksaan neurologis dan semua masih dalam batas normal, hanya saja pasien
terlihat gelisah. selanjutnya pasien diperiksa dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan
memperhatikan volume urine dalam urine bag melalui kateter yang sebelumnya telah
dilakukan pemasangan sebelum dilakukan operasi. Volume urine 100 cc.
Berdasarkan hasil laboratorium darah lengkap menunjukkan kadar hemoglobin pasien
adalah 7,7 gr/dl, yang diikuti oleh terjadinya perdarahan terus menerus, maka pasien ini
diberikan transfuse darah sebesar 350 cc dan karena tidak mengalami perbaikan maka
ditambah 250 cc diikuti dengan pemberian cairan kristaloid yaitu ringer lactat sebesar 1500
cc. hal ini ditujukan untuk menggantikan volume darah yang hilang akibat perdarahan melalui
peningkatan cardiac output serta menghilangkan vasokonstriksi perifer.
Secara fisiologis, pada wanita hamil, akan terjadi perubahan fungsi sirkulasi. Dimana,
total blood volume (TBV) meningkat 30% terutama kenaikan plasma akibatnya hematocrit
akan turun yang bermanifestasi klinis berupa anemia relatif. Namun jika keadaan ini tidak
diikuti dengan adanya kompensasi maka dapat menyebabkan menurunnya perfusi oksigen ke
jaringan. Berdasarkan teori, setelah terjadi perdarahan tanpa pertolongan, akan terjadi
mekanisme kompensasi dalam tubuh menurut pola tertentu yang merupakan upaya tubuh
mempertahankan hemodinamiknya agar tetap stabil guna mempertahankan hidupnya. Apabila
seseorang mengalami perdarahan, berarti volume darahnya berkurang, ini menyebabkan curah
jantung menurun, seterusnya tekanan darah akan menurun. Dengan turunnya tekanan darah,
baroreseptor yang terletak pada arteri karotis akan mengirim impuls ke hipotalamus yang
selanjutnya akan terjadi reflex berupa timbulnya pacuan saraf simpatis yang selanjutnya akan
merangsang pengeluaran katekolamin berupa adrenalin dan noradrenalin baik neural maupun
hormonal. Ketakolamin tersebut menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada sistem
pembuluh darah akibat terangsangnya reseptor alfa. Sedangkan pada jantung menyebabkan
takikardi disertai dengan naiknya kontraksi jantung akibat terangsangnya reseptor beta yang
ada pada jantung (chronotropic dan inotropic effect). Vasokoonstriksi ini pada berbagai
pembulu darah yag mempunyai akibat yang berbeda. Pada sistem vena, vasokonstriksi ini
menyebabkan terjadinya penyesuaian yang paling besar antara kapasitas pembuluh darah dan
volume darah yang sisa, seolah darah diperas dari sistem vena ke jantung agar curah jantung
tidak banyak menurun. Sistem darah vena disebut juga sebagai “capacitance Vessels” karena
memiliki kapasitas yang besar dalam menampung darah yang beredar dalam tubuh, 75%
darah beredar dalam tubuh berada pada sistem vena, 20% pada sistem arteri, dan 5% berada
ada kapiler. Pada sistem arteri, vasokonstriksi ini tidak merata tergantung pada organya.
Sistem arteri ke jantung dan otak kurang peka terhadap pengaruh kkatekolamin, di lain pihak
sistem arteri untuk daerah ginjal, usus, hati, otot, dan kulit sangat peka terhadap pengaruh
katekolamin sehingga mengalami vasokonstriksi yang lebih hebat. Sistem arteri ini disebut
“resistance vessels” oleh karena sistem arteri inilah yang menentukan tahanan perifer. Hasiil
akhir dari mekanisme inni menyebabkan perfusi jantung dan otak relative tidak berkurang,
sedangkan perfusi ginjal, usus, hati, dan lain-lain sudah banyak berkurang.
Akibat vasokonstriksi arteriole mengakibatkan naiknya tahanan perifer sehingga
walaupun curah jantung sedikit turun, tekanan darah tidak banyak turun, erfusi otak dan
jantung tetap terjamin. Tahap vasokonstriksi ini merupakan upaya kompensasi tubuh untuk
mempertahanka organ-organ vital kelassatu yaitu otak dan jantung dengan mengorbankan
organ-organ kkelas dua yaitu ginjal, usus, hati, otot, kulit, dan lain-lain. Apabila syok tersebut
berkelanjutan tanpa pertolongan maka vasokontriksi pembuluh darah arteri dan vena akan
bertambah hebat, menyebabkan jaringan tubuh semakin hipoksia sampai anoksia. Hal inni
akan membawa akibat berupa gangguan metabolism aerob (Siklus Krebs) macet,
menyebabkan terjadinnya penimbunan asam laktat yang pada gilirannya membawa suasana
asam yang disebut asidosis metabolic. Suasana asam pada jaringan tersebut menyebabkan
arteriola tidak mampu mempertahankan tonusnya lagi sehingga berelaksasi, pada saat yang
sama venula tonusnya menetap. Akibatnya darah dapat mengalir masuk ke dalam kapiler
tetapi tertahan keluar oleh tonus venula yang menetap, sehingga darah akan tertimbun dalam
kapiler, terjadi “Congested Capillares” akibatnya tekanan hidrostatik dalam kapier meninggi
sehingga cairan berbalik keluar dari ruang intravascular. Jika proses stagnansi ini berlangsung
terus, dinding kapiler akan hilang integritasnya menyebabkan darah dan plasma dapat keluar
ke dalam jaringan yang menyebabkan komplikasi yaitu “irreversible shock”.
Setelah dilakukan perawatan di ruang ICU selama dua hari, pasien mengalami
perbaikan klinis. Perdarahan pervaginam berhenti, tekanan darah 116/67, nadi 92 kali/menit,
pernapasan 20 kali/menit, dan hasil laboratorium menunjukkan angka hemoglobin menjadi
8,7 g/dl, pasien kemudian dipindahkan ke ruang perawatan nifas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci et al, Harrison’s Manual of Medicine 18th edition. Mc-Graw Hill. 2013. P36-27
2. Guyton, A.C., Hall, J.E., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC Jakarta. 2007.
3. Zimmerman J.L., Taylor R.W., Dellinger, R.P., Farmer, J.C., Diagnosis and
Management of Shock. 2007.
4. Wirjoatmodjo, Karjadi, Aneestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk pendidikan
kedokteran. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Perguruan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.2000.
5. Staff Pengajar FKUGM, Panduan Belajar Anestesiologi dan Reanimasi. FKUGM.
2014.