Refleksi Gerakan Literasi

4
1 Refleksi Gerakan Literasi :: agus m. irkham Kehadiran Taman Bacaan Masyarakat (TBM) semula dimaksudkan sebagai sarana menjaga keaksaraan teknis masyarakat. Yakni mereka yang semula buta huruf, lantas sudah melek huruf tidak kembali mengalami buta huruf. Buta huruf yang dikarenakan kemampuan membaca teknis yang sudah dimiliki tidak pernah dipraktikkan atau digunakan. Baik menulis, terutama membaca. Dan itu dipicu oleh sulitnya mereka mengakses bahan bacaan. Entah karena faktor jarak, harga maupun ketiadaan bahan bacaan. TBM hadir menjadi solusi bagi persoalan sulitnya akses tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, pola kegiatan dan model pengembangan TBM dalam konteks gerakan literasi tidak bisa lagi memfokuskan pada keberaksaraan teknis itu. Tapi harus mulai bergeser pada keaksaraan fungsional dan budaya. Apa pasal? Karena meskipun angka melek aksara masih ada, angkanya semakin menciut. Tahun 2003, ada 15,41 juta orang buta aksara di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah itu menyusut tinggal 7,54 juta orang. Artinya, Indonesia lebih cepat melampaui target Millenium Development Goals (MDGs) yang menyepakati penurunan 50 persen buta aksara pada tahun 2015. Capaian prestasi yang menghasilkan ganjaran berupa penghargaan UNESCO Sejong Literacy Prize . Indonesia dinilai memiliki kontribusi luar biasa terhadap upaya pemberantasan angka buta huruf. Nah berdasarkan beberan pencapaian perangkaan keaksaraan teknis di atas, tentu saja jika TBM hanya memfokuskan pada program keaksaraan teknis akan cepat mati gaya. Karena dalam hitungan beberapa tahun lagi besar kemungkinan angka buta huruf akan semakin sedikitjika kita sepakat menghilangkannya sama sekali sebagai sesuatu yang mustahil.

Transcript of Refleksi Gerakan Literasi

Page 1: Refleksi Gerakan Literasi

1

Refleksi Gerakan Literasi :: agus m. irkham Kehadiran Taman Bacaan Masyarakat (TBM) semula dimaksudkan sebagai sarana menjaga keaksaraan teknis masyarakat. Yakni mereka yang semula buta huruf, lantas sudah melek huruf tidak kembali mengalami buta huruf. Buta huruf yang dikarenakan kemampuan membaca teknis yang sudah dimiliki tidak pernah dipraktikkan atau digunakan. Baik menulis, terutama membaca. Dan itu dipicu oleh sulitnya mereka mengakses bahan bacaan. Entah karena faktor jarak, harga maupun ketiadaan bahan bacaan. TBM hadir menjadi solusi bagi persoalan sulitnya akses tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, pola kegiatan dan model pengembangan TBM dalam konteks gerakan literasi tidak bisa lagi memfokuskan pada keberaksaraan teknis itu. Tapi harus mulai bergeser pada keaksaraan fungsional dan budaya. Apa pasal? Karena meskipun angka melek aksara masih ada, angkanya semakin menciut. Tahun 2003, ada 15,41 juta orang buta aksara di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah itu menyusut tinggal 7,54 juta orang. Artinya, Indonesia lebih cepat melampaui target Millenium Development Goals (MDGs) yang menyepakati penurunan 50 persen buta aksara pada tahun 2015. Capaian prestasi yang menghasilkan ganjaran berupa penghargaan UNESCO Sejong Literacy Prize . Indonesia dinilai memiliki kontribusi luar biasa terhadap upaya pemberantasan angka buta huruf. Nah berdasarkan beberan pencapaian perangkaan keaksaraan teknis di atas, tentu saja jika TBM hanya memfokuskan pada program keaksaraan teknis akan cepat mati gaya. Karena dalam hitungan beberapa tahun lagi besar kemungkinan angka buta huruf akan semakin sedikit—jika kita sepakat menghilangkannya sama sekali sebagai sesuatu yang mustahil.

Page 2: Refleksi Gerakan Literasi

2

Belum lagi perubahan kondisi yang berlangsung di masyarakat terkait dengan pemanfaatan social media dan integrasi internet ke handphone—yang di Indonesia jumlah pemegangnya sudah tembus 250 juta. Mau tidak mau, suka tidak suka TBM harus pula meresposnya. Bukan menjadikan kecenderungan itu sebagai sesuatu yang harus ditakuti dan dihindari, sebaliknya harus dimanfaatkan. Lagi, gerakan literasi melalui pendirian perpustakaan warga dan TBM juga sudah mulai menyempit ke kesatuan-kesatuan spasial yang semakin kecil. Tidak lagi kecamatan atau desa/kelurahan, tapi RW (rukun warga). Beberapa kecenderungan, fenomena, dan perubahan yang tengah berlangsung tersebut pada 4-7 Desember 2012 lalu secara khusus dibahas dalam Lokakarya Evaluasi Pengembangan Budaya Baca. Acara yang berlangsung di Surabaya itu diadakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan. Kebetulan penulis menjadi salah satu peserta dan tergabung dalam kelompok yang mengevaluasi program budaya baca yang sudah dan sedang dilakukan di Indonesia sepanjang tahun 2012. Tidak hanya itu, tapi juga merumuskan pengembangan gerakan budaya baca ke depan, khususnya terkait dengan peran TBM, mulai dari yang bersifat filosofis, sosiologis, hingga teknis. Dalam catatan saya, paling kurang ada lima entry evaluasi sekaligus refleksi gerakan literasi selama tahun 2012 ini. Pertama, penambahan gerai baca (TBM) melalui program 1RW-1TBM (Satu Rukun Warga Satu Taman Bacaan Masyarakat) sebagai gerakan ke masyarakat yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Hal ini perlu dan penting mengingat jumlah TBM yang ada baru sekitar 8 persen dari total jumlah desa di tanah air (75.000 desa). Artinya masih sangat sedikit masyarakat yang terlayani bacaan. Atas dasar itu penambahan jumlah TBM harus diretas. Agar semakin mendekati

Page 3: Refleksi Gerakan Literasi

3

atau mencerminkan kebutuhan masyarakat, secara jumlah dan kualitas TBM. Kedua, menambahkan peran TBM sebagai tandon naskah buku. Sehingga pada tiap diri pengelola, pengunjung, dan TBM sebagai kelembagaan ada peningkatan kualitas dan kapasitas. Dari membaca ke menulis. Dari konsumen bacaan ke produsen bacaan. Dari objek bacaan ke subjek bacaan. Penambahan peran TBM ini juga menjadi bagian dari upaya menaikkan indeks konsumsi buku per kapita. Di Indonesia, pertahun sekitar 30.000 judul diterbitkan. Dengan asumsi tiap terbit dicetak 3.000 eksemplar, maka total buku yang beredar sebesar 90.000.000 eksemplar. Besar memang, tapi karena jumlah penduduk kita juga besar (220 juta jiwa), maka indeks perkapita kepemilikan buku hanya 0,40. Jauh di bawah negeri tetangga kita, Malaysia (1,07) bahkan Vietnam sekalipun (0,53). Maka pada titik ini, kehadiran TBM tidak saja tampil sebagai penanda zaman, tapi juga menjadi bagian dari yang ikut berkontribusi dalam menjawab tantangan zaman. Yakni berupa meningkatnya kuantitas kebutuhan masyarakat terhadap bahan bacaan. Ketiga, selama ini pendirian dan pembinaan TBM di daerah—dalam beberapa kasus—masih sangat tergantung pada peran Dinas Pendidikan Daerah, dalam hal ini adalah Kepala Bidang Pendidikan Non Formal Informal. Nah, menariknya berdasarkan hasil temuan investigasi tim teknis pengembangan budaya baca Dikmas, masih saja ada propinsi yang belum memiliki satu TBM pun yang layak kunjung. Sudah begitu, PNFI di daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) belum mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator sekaligus motivator yang menggerakkan masyarakat agar mendirikan TBM di daerah. Maka ke depan, alangkah baiknya jika Subdit Sarana dan Prasarana Direktorat Pembinaan dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di awal tahun mengadakan pelatihan untuk para Kabid PNFI di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Pelatihan berisi motivasi atau dorongan, khususnya berkaitan dengan pengembangan budaya baca (TBM) di daerah masing-masing. Serta

Page 4: Refleksi Gerakan Literasi

4

menebalkan kesadaran kepada mereka tentang strategisnya fungsi PNFI dalam gerakan literasi di Indonesia. Keempat, dalam era dunia tidak lagi selebar daun kelor tapi sudah seruas jari jempol, TBM harus superior dalam memarketingkan gerakan budaya baca. Harus mulai untuk banyak bekerja, sekaligus banyak bicara (talk more do more). Baik melalui TBM dari sisi kelembagaannya, peranannya dalam gerakan literasi yang lebih luas, maupun dari beragam program kreatif yang pernah digelarnya. Saluran social marketing-nya bisa melalui dua jalan. Yakni helatan literasi berupa program Indonesia Membaca di tingkat lokal: Jember Membaca, Malang Membaca, Batang Membaca, Semarang Membaca, Makassar Membaca, dan lain sebagainya, serta pemanfaatan social media untuk mempublikasikan, profil, kegiatan, serta gagasan. Mulai dari facebook, twitter, wikipedia, slideshare, flickr hingga youtube. Kelima, diperlukan satu website khusus (tersendiri) yang dapat dijadikan sarana merekam (direktori profil TBM se-Indonesia), berbagi informasi, dan inspirasi sesama (pegiat) TBM. Termasuk berelasi dengan pemerintah—berkaitan dengan peraturan dan penganggaran—dan stakeholder budaya baca lainnya. Sehingga di masa depan, gerakan literasi di Indonesia akan semakin efektif, efisien, transparan, dan partisipatif.●