Refkas Jiwa

download Refkas Jiwa

of 7

description

REFKAS

Transcript of Refkas Jiwa

FORM REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA_____________________________________________________________________________________________Nama Dokter Muda: Ovilia Mutiara Santika

NIM: 09711113Stase

: Ilmu Kedokteran JiwaIdentitas Pasien

Nama / Inisial

: Sdr. K

No RM

: - Umur

: 22 tahun

Jenis kelamin: Laki-laki

Diagnosis/ kasus: : F 20.0 Skizofrenia ParanoidPengambilan kasus pada minggu ke: 3Jenis Refleksi: lingkari yang sesuai (minimal pilih 2 aspek, untuk aspek ke-Islaman sifatnya wajib)a. Ke-Islaman*

b. Etika/ moral

c. Medikolegal

d. Sosial Ekonomi

e. Aspek lain

Form uraian1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap pasien/ kasus yang diambil ).

Alloanamnesis dilakukan pada orang tua pasien, Tn. S dan Ny. T via telepon tanggal 9 Desember 2014 dan bertemu pada tanggal 10 Desember 2014.

Pada bulan Juni 2013, mulai terjadi peningkatan gejala pada pasien berupa sering marah-marah terutama setiap kehabisan rokok, mengamuk sampai memecahkan barang-barang yang ada di rumahnya, menghancurkan televisi, menghancurkan kaca dan bicara kacau. Bahkan pasien sampai memukul ibunya dengan menggunakan botol plastik bekas. Pasien tidak mau melaksanakan shalat lima waktu lagi padahal sebelumnya pasien rajin beribadah. Untuk kegiatan sehari-hari pasien hanya dirumah, tidak mau berkumpul dengan sekitarnya karena merasa disisihkan dan dibicarakan semua orang, terutama teman-teman dan tetangga-tetangganya. Pasien juga tidak bisa tidur dan sering terbangun di malam hari.

1 bulan sebelumnya, menurut ayah pasien pada bulan Mei tahun 2013 pasien mengalami perubahan tingkah laku berupa sering menyendiri di kamar, bicara sendiri, tertawa sendiri, sering melamun dan pasien sering terbangun saat tidur kemudian sulit untuk tertidur kembali. Jika ditanya siapa yang mengajak berbicar, pasien tidak mau bilang. Hal tersebut terjadi setelah pasien pulang mengikuti training bekerja di suatu perusahaan di Tangerang sebagai pegawai bengkel. Semenjak saat itu pasien menganggur dan tidak memiliki pekerjaan. Akhirnya keluarga pasien mengikuti saran tetangga dan saudara-saudaranya membawa pasien ke RSJD dr RM Soedjarwadi untuk berobat dan pasien mondok di RSJD selama kurang lebih 6 minggu. Setelah sembuh dan keluar dari RSJD, pasien kontrol rutin di klinik jiwa, namun hanya 3 bulan saja setelah itu pasien tidak mau lagi diajak untuk kontrol ke RS karena pasien sudah merasa sembuh. Keadaan pasien saat itu sudah mulai membaik, pasien bisa mengendalikan emosinya. Namun, pasien masih belum bekerja, kegiatan sehari-hari pasien hanya dirumah. Pasien tidak mau bersosialisasi dengan teman-teman dan tetangganya karena merasa minder dan banyak orang yang tidak menyukainya.

Pada tanggal 21 November 2014, pasien mulai menunjukan tanda-tanda kekambuhan berupa marah-marah ketika rokoknya habis. Pasien marah-marah dengan ibunya sampai memukul ibunya dengan batu bata dan melempari dengan botol plastik air minum Biasanya rokok tersebut disimpan ayahnya di bawah jok motor, namun saat itu ayah pasien lupa menaruh kunci motor sehingga membuat pasien mengambil gergaji yang ayah pasien kira untuk membuka jok tersebut, namun ternyata pasien keluar rumah dan menodongkan gergajinya kepada warga yang sedang berkumpul di pos ronda yang dikira pasien perkumpulan tersebut sedang membicarakan dan menertawakan pasien. Ketika ayah pasien memberikan susu dan rokok, pasien langsung bertanya pada ayahnya apa yang barusan ia lakukan. Ayah pasien tidak segera membawa ke RSJD dikarenakan pasien masih bisa dikendalikan oleh ayahnya meskipun ibu pasien sudah ketakutan.

Pada tanggal 25 November 2014 ayah pasien mengajak pasien ke poli jiwa namun pasien menolak karena tidak merasa sakit.Pada tanggal 28 November 2014 Pasien tiba-tiba mengamuk dan memecahkan barang-barang yang ada di rumah dan marah-marah tidak jelas apa alasannya. Akhirnya dengan bantuan tetangga, orang tua pasien membawa pasien ke IGD RSJD dr. RM Soedjarwadi dalam keadaan ditali karena pasien terus mengamuk dan berusaha kabur. Menurut ayah pasien, pasien mengamuk dan memecahkan barang-barang dirumahnya karena disuruh suara di telinganya dijanjikan menjadi orang kaya. Pasien sering mendengarkan bisikan-bisikan yang dia yakini itu adalah jin-jin, menurut ayah pasien jin-jin itu juga menampakkan wujudnya didepan pasien dan mengajak pasien mengobrol. Karena hal tersebut akhirnya orang tua dan tetangga pasien membawa pasien ke IGD RSJD dr. RM Soedjarwadi untuk dirawat dan mendapat pengobatan.

Pada saat dilakukan pemeriksaan pasien kurang kooperatif, saat diajak berkomunikasi lebih banyak diam. Saat itu pasien di ikat tangan dan kaki nya karena pasien tidak bisa tenang dan ingin kabur.DIAGNOSIS MULTI AXIAL

a. Axis I

: F20.0 Skizofrenia Paranoid

b. Axis II

: Ciri kepribadian skizoid

c. Axis III: Tidak ada diagnosis

d. Axis IV: Masalah pekerjaan (pasien tidak memiliki pekerjaan)

e. Axis V

: (GAF 40-31) beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas berat dalam

beberapa fungsi

2. Latar belakang /alasan ketertarikan pemilihan kasus

Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakitnya biasanya akut dan bisa kronis atau menahun (Hawari, 2003). WHO menyatakan paling tidak ada 1 dari 4 orang di dunia mengalami masalah mental, diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat di negara Asia Timur menunjukan adanya peningkatan jumlah pasien dengan gangguan jiwa. Pada waktu bersamaan kemiskinan dan tidak adanya akses kepada asuransi kesehatan membuat masalah ini makin parah. Menurut data DEPKES tahun 2007 jumlah gangguan jiwa di Indonesia saat ini mencapai 28 juta orang dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6% dari populasi dan 0,46% gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa psikosis terbanyak adalah Skizofrenia. Dengan insidensi kasus sekitar 0,01% per tahun, bukan hal yang mengejutkan bila makin banyak penduduk dunia yang menjadi Orang Dengan Skizofrenia. Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia berada pada posisi 1-2 % dari sekitar 207 juta jiwa penduduk Indonesia. Jika diasumsikan 1% dari penduduk Indonesia, maka ada sekitar 20,7 juta jiwa penduduk Indonesia yang menderita skizofrenia

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu Skizo yang artinya retak atau pecah (split), dan frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian, seseorang yang menderita Skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia sendiri baru ditemukan pada awal abad 18 oleh Benedict Morer. Dia menemukan orang yang seperti lupa segalanya, bersikap kekanak-kanakan. Namun, penyakit itu baru diberi nama Skizofrenia oleh Eugen Bleuler 20 tahun kemudian.

Mengingat masih tingginya angka kejadian skizofrenia pada orang Indonesia, maka diagnosis dini yang tepat dan pengobatan secara tuntas mutlak diperlukan guna mengurangi angka kejadian dari skizofrenia di Indonesia.

Kekambuhan gangguan jiwa adalah peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala gangguan psikis atau jiwa yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan. Pada kasus gangguan jiwa kronis, diperkirakan 50% penderita gangguan jiwa kronis akan mengalami kekambuhan pada tahun pertama, dan 70% pada tahun yang kedua. Kekambuhan biasa terjadi karena ada hal-hal buruk yang menimpa penderita gangguan jiwa, seperti diasingkan oleh keluarganya sendiri (Wiramisharjo, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Widjayanti (2008) mengenai harga diri klien gangguan jiwa di RS Grhasia Yogyakarta menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p=0,004) antara dukungan keluarga dengan harga diri klien gangguan jiwa di rumah sakit ini.

3. Refleksi dari Sosial EkonomiGangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.

Bagi para penderita gangguan jiwa tidak mungkin dapat mengatasi kejiwaannya tanpa bantuan orang lain terutama keluarga. Peran keluarga dalam kesembuhan dan kekambuhan penderita gangguan jiwa sangat penting, karena keluargalah orang yang paling dekat dengan penderita gangguan jiwa. Seperti yang diungkapkan oleh Chandra, ketua Himpunan Jiwa Sehat Indonesia (HJSI) bahwa untuk meningkatkan kesembuhan dan menurunkan tingkat kekambuhan selain dari terapi farmakologi, dukungan dari keluarga sangatlah penting. Psikoterapi suportif dan terapi keluarga berupa edukasi kepada keluarga untuk lebih memaklumi kondisi pasien sehingga tidak terlalu memberikan beban pikiran terhadap pasien, berlaku baik dan tidak kasar ataupun keras. Tiap anggota keluarga harus menunjukkan kasih sayang mereka kepada pasien agar pasien tidak merasa sendiri dan dikucilkan. Penderita gangguan jiwa sangat memerlukan perhatian dan empati dari keluarganya. Selain itu keluarga juga harus menumbuhkan sikap mandiri pada penderita, mereka harus sabar serta menghindari sikap Expressed Emotion (EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan dan menimbukkan kekambuhan. Dari beberapa teori mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa terutama skizofrenia lebih sering pada masyarakat golongan tidak mampu ini juga berhubungan dengan penghasilan yang rendah dan pekerjaan yang tidak tetap. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa Aceh, bahwa 95,1% penderita yang relaps berasal dari golongan ekonomi tidak mampu. Biaya pengobatan termahal diantara semua penyakit yang ada, salah satunya adalah gangguan jiwa. Proses dalam pengobatan gangguan jiwa membutuhkan biaya relatif mahal dan tidak cukup dalam masa satu kali pengobatan saja melainkan harus berulang kali. Tidak hanya itu saja yang mahal, obatnya juga bukanlah obat-obat yang murah. Hal ini menimbulkan masalah baru bagi penderita dan keluarganya, apalagi pada penderita yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah.

4. Refleksi ke-Islaman Adakalanya, seseorang berada pada saat-saat yang menyenangkan, tetapi ada pula kita akan berada pada posisi yang tidak kita harapkan. Semua itu sudah menjadi takdir yang telah Allah Taala tetapkan untuk makhluk-makhluk Nya namun tidak semua orang sanggup memahami dang menerima dengan ikhlas apa yang sedang menjadi masalahnya. Dalam perspektif Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan oleh Sang Pencipta Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Sabda Rasulullah SAW yang artinya Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT (H.R. Ibnu Majah dan At Turmudzi).Dari segi keislaman sebagai dokter muslim kita wajib menjelaskan penyebab dari penyakit, keadaan pasien yang sebenarnya, tujuan pengobatan, dan pasien wajib berobat jika sakit karena anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan. Kondisi sehat dan kondisi sakit adalah dua kondisi yang senantiasa dialami oleh setiap manusia. Kita sebagai umat-Nya selalulah berbaik sangka kepada Allah SWT karena Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak menurunkan juga obatnya, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

Allah SWT tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya (HR Bukhari). QS. Al-Syu`ara [26]: 80

Apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan akuKandungan makna demikian ini juga mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa setiap ada penyakit pasti ada obatnya, dan apabila obatnya itu mengenai penyakitnya sehingga memperoleh kesembuhan, maka kesembuhannya itu adalah atas ijin dari Allah SWT. Sebagaimana diisyaratkan dalam hadist Nabi Saw dari riwayat Imam Muslin dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah Saw bersabda: Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya itu digunakan untuk mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas ijin Allah SWT (HR. Muslim).

Umpan balik dari pembimbing

Yogyakarta 23 mei 2014 TTD Dokter Pembimbing

TTD Dokter Muda

Prof. Dr. dr. H. Soewadi, MPH, Sp.KJ (K)

Ovilia Mutiara Santika

Page 1