Refka Asfiksia,Hipotermia,Ikterus Neonatorum, Cephal Hamatom
REFKA 2 FIX
-
Upload
sulistyawati-wrimun -
Category
Documents
-
view
282 -
download
0
description
Transcript of REFKA 2 FIX
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD UNDATA PALU
I. IDENTITAS PASIEN
1. Nama pasien : Nn. H
2. Umur : 18 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : URT
6. Tanggal pemeriksaan : 18 April 2015
II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Bengkak pada bibir dan kelopak mata.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk UGD RSUD Undata dengan keluhan bengkak pada
bibir atas dan kelopak mata pasien sejak ± 5 hari SMRS. Bengkak pada
bibir atas pasien terasa nyeri dan hilang timbul. Awalnya pasien
mengeluh tumbuh jewarat di atas bibir pasien, lalu jerawat tersebut
digaruk dan diberikan pasta gigi untuk mengurangi bengkaknya. Pasien
juga mengeluh demam disertai menggigil dan merasa akan terkena flu,
sehingga pasien minum antibiotik (ampisilin) ± 4 hari SMRS. Namun
jerawat pada bibir atas pasien semakin membesar, diikuti bengkak pada
mata sebelah kanan pasien dan kelopak mata sebelah kiri pada esok
harinya serta bibir atas pasien tampak menghitam. Pasien mengeluh
sesak napas pada satu hari SMRS.
Pasien sebelumnya memakai kosmetik cream SJ dan mengganti
kosmetiknya menjadi cream “kelly” pada wajahnya. Pasien memakai
cream “cheli” selama dua hari.
3. Riwayat penyakit dahulu :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi dan belum mengalami sakit
seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan keluhan yang sama
seperti pasien.
- Riwayat alergi pada keluarga pasien (+)
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status generalis :
Kondisi umum : Sakit sedang
Status gizi : Baik
Kesadaran : Komposmentis
2. Tanda vital :
Tekanan darah : 110/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,5°C
3. Hygiene : kurang
4. Status dermatologis :
Kepala : tidak ada ujud kelainan kulit
Wajah : terdapat edema, eritema, krusta, ekskoriasi,
erosi, papul, nodul.
Kelopak Mata : terdapat edema, eritema, krusta, telangiektasis.
Leher : tidak ada ujud kelainan kulit.
Dada : tidak ada ujud kelainan kulit.
Perut : tidak ada ujud kelainan kulit.
Punggung : tidak ada ujud kelainan kulit.
Bokong : tidak ada ujud kelainan kulit.
Genital : tidak ada ujud kelainan kulit.
Ekstremitas atas : tidak ada ujud kelainan kulit.
Ekstremitas bawah : tidak ada ujud kelainan kulit.
Kel. limfe : tidak ada pembesaran kelenjar limfe.
IV. GAMBAR
Gambar 1. Edema, krusta, papul, nodul, eritema pada bibir dan kelopak mata pasien
V. RESUME
Pasien masuk UGD RSUD Undata dengan keluhan bengkak pada bibir atas
dan kelopak mata pasien sejak ± 5 hari SMRS. Bengkak pada bibir atas pasien
terasa nyeri dan hilang timbul. Awalnya pasien mengeluh tumbuh jewarat di atas
bibir pasien, lalu jerawat tersebut digaruk dan diberikan pasta gigi untuk
mengurangi bengkaknya. Pasien juga mengeluh demam disertai menggigil dan
merasa akan terkena flu, sehingga pasien minum antibiotik (ampisilin) ± 4 hari
SMRS. Namun jerawat pada bibir atas pasien semakin membesar, diikuti
bengkak pada mata sebelah kanan pasien dan kelopak mata sebelah kiri pada
esok harinya serta bibir atas pasien tampak menghitam. Pasien sebelumnya
memakai kosmetik cream SJ dan mengganti kosmetiknya menjadi cream “cheli”
pada wajahnya. Pasien memakai cream “kelly” selama dua hari.
Pasien datang dalam kondisi sakit sedang, status gizi baik dan kesadaran
komposmentis. Tekanan darah 110/80mmHg, nadi 80x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36,5°C. Status dermatologis, terdapat angioedem, papul, nodul,
eritema, erosi, ekskoriasi, krusta pada labia oris anterior. Pada palpepra dextra
dan sinistra terdapat edema, eritema, krusta, telangiektasis.
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis kontak alergi
2. Selulitis
3. Angioedema ec erupsi obat
4. Dermatitis kontak iritan
VII. ANJURAN PEMERIKSAAN
Uji tempel alergen
VIII. DIAGNOSIS KERJA
1. Dermatitis kontak alergi
2. Selulitis
3. Angioedema ec erupsi obat
IX. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
Menghindari alergen
Menjaga kebersihan kulit
Menghentikan pemakaian kosmetik yang untuk beberapa saat
hingga diketahui alergen penyebab.
2. Medikamentosa
Topikal :
- Kompres NaCl pagi dan sore.
Sistemik
- IVFD RL 28 tpm
- Metilprednisolon 125 mg/12 jam/iv
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
- Ranitidin 1 ap/12 jam/iv
X. PROGNOSIS
1. Qua ed vitam : bonam2. Qua ed fungsionam : dubia ad bonam3. Qua ed cosmeticam : dubia ad bonam4. Qua ed sanationam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Pasien masuk UGD RSUD Undata dengan keluhan bengkak pada bibir atas
dan kelopak mata pasien sejak ± 5 hari SMRS. Bengkak pada bibir atas pasien
terasa nyeri dan hilang timbul. Awalnya pasien mengeluh tumbuh jewarat di atas
bibir pasien, lalu jerawat tersebut digaruk dan diberikan pasta gigi untuk
mengurangi bengkaknya. Pasien juga mengeluh demam disertai menggigil dan
merasa seperti akan terkena flu, sehingga pasien minum antibiotik (ampisilin) ± 4
hari SMRS. Namun jerawat pada bibir atas pasien semakin membesar, diikuti
bengkak pada mata sebelah kanan pasien dan kelopak mata sebelah kiri pada
esok harinya serta bibir atas pasien tampak menghitam. Pasien sebelumnya
memakai kosmetik cream SJ dan mengganti kosmetiknya menjadi cream “cheli”
pada wajahnya. Pasien memakai cream “kelly” selama dua hari.
Pasien datang dalam kondisi sakit sedang, status gizi baik dan kesadaran
komposmentis. Tekanan darah 110/80mmHg, nadi 80x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36,5°C. Status dermatologis, terdapat angioedem, papul, nodul,
eritema, erosi, ekskoriasi, krusta pada labia oris anterior. Pada palpepra dextra
dan sinistra terdapat edema, eritema, krusta, telangiektasis.
Dari hasil anamnesis dan status dermatologis, pasien di diagnosis sebagai
dermatitis kontak alergi dan selulitis.
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau endogen, menimbukan kelainan kulit
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Dermatitits kontak ialah dermatitis yang
disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit.1
Dermatitis kontak alergi (DKA) tidak berhubungan dengan atopik. DKA
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV,
dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi yang
menyebabkan peradangan dan edema pada kulit.2
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton) merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reakif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai
faktor berpengaruh dalam timbulkan DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen,
dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan PH. Selain itu faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imunologik (misalnya menderita sakit, terpajan sinar
matahari). Sekitar 25 bahan kimia yang tampaknya memberi pengaruh terhadap
sebanyak setengah dari semua kasus DKA. Ini termasuk nikel, pengawet,
pewarna dan parfum.1,2
Pasien merupakan perempuan berusia 18 tahun yang awalnya mengeluh
tumbuh jerawat diatas bibirnya, setelah sebelumnya menggunakan “kelly” cream
selama dua hari. Karena jerawat di wajah pasien semakin membesar, pasien
memberikan pasta gigi untuk mengurangi pembengkakan pada jerawat tersebut.
Seuai dengan teori bahwa DKA dapat terjadi karena kontak dengan
bahan/substansi alergen yang kontak dengan kulit dan mengalami dua fase yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi.
Epidemiologi dari dermatitis kontak alergi, dalam studi beberapa penelitian
menyebutkan bahawa individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki
onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk terjadi dermatitis dibandingkan orang
tua.2
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi melibatkan
dua fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Fase sensitisasi dimulai dengn
allergen lingkungan yang berukuran kecil, lipofilik molekul dengan berat
molekul rendah (<500 Dalton). Alergen diproses lebih tepat disebut sebagai
hapten. Setelah hapten menembus kulit, mengikat dengan protein pembawa
epidermal untuk membentuk sebuah hapten-kompleks protein, yang
menghasilkan antigen lengkap, kemudian mengaktifasi dan menstimulasi sel-sel
imunologi sehingga mengeluarkan mediator inflamasi. Sedangkan fase elisitasi
adalah selama fase ini, baik Antigen presenting cell dan keratinosit dapat
menyajikan antigen dan menyebabkan rekrutmen sel T-hapten tertentu. Sebagai
tanggapan, Sel T melepaskan sitokin, termasuk IFN-γ dan TNF-α, yang, pada
gilirannya, merekrut sel-sel inflamasi lain dan merangsang makrofag dan
keratinosit untuk melepaskan lebih cytokines. Sebuah respon inflamasi, monosit
bermigrasi ke daerah yang terkena, dewasa menjadi makrofag, dan dengan
demikian menarik lebih banyak sel T. Ini lokal hasil negara proinflamasi di
gambaran klinis klasik peradangan spongiotik berupa kemerahan, edema, papula
dan vesikula, dan kehangatan).3
Tempat predileksi dari DKA akut adalah kelopak mata, penis, skrotum,
tangan, lengan, wajah, telinga, leher, badan, paha dan tungkai bawah. Pada
pasien ini DKA terjadi pada wajah pasien terutama pada area diatas bibir pasien
dan kelopak mata. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan
kosmetik, spons, obat topikal, alergen di udara. Kelopak mata adalah salah satu
bagian yang paling sensitif pada daerah kulit, dan sangat rentan terhadap iritasi
dan allergen, karena kelopak mata cenderung memiliki kulit yang tipis dan
mungkin karena dapat mengumpulkan subtansi kimia/alergen dalam lipatan
kulit. Transfer jumlah kecil alergen yang digunakan pada kulit kepala, wajah,
atau tangan dapat cukup untuk menyebabkan reaksi eczematous dari kelopak
mata.1,3
Diagnosis DKA ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan klinis
yang cermat. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit yang ditemukan. Pemeriksaan fisik sangat penting karena melihat lokasi
dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan garmbaran morfologi yang khas,
untuk itu dapat dilakukan pemeriksaan penunjang uji tempel atau Patch Test (In
Vivo).1
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat yang
bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan
korektif dapat diambil. Uji tempel dapat diadministrasikan dengan thin-layer
rapid-use epicutaneous (TRUE) atau dengan ruang aluminium yang disiapkan
tersendiri (Finn) dimana dipasang pada tape Scanpor. Zat uji biasanya
diaplikasikan pada punggung atas, meskipun jika hanya satu atau dua yang
diterapkan, lengan luar atas juga dapat digunakan. Tempelan dihapus setelah 48
jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca.
Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau 5 kedepan.2
Diagnosis selulitis pada pasien ini didasari oleh manifestasi klinis pada pasien
yaitu terdapat edema, eritema dan terdapat tanda peradangan pada kedua kelopak
mata pasien. Selulitis adalah penyakit infeksi akut pada dermis dan subkutan,
biasanya disebabkan oleh S. aureus atau Streptococcus β-hemolytic. Faktor-
faktor yang meningkatkan kemungkinan SSTI (Skin and soft tissue infections)
termasuk paparan organisme patogen, gangguan fungsi dari barrier kulit
(termasuk dermatitis atopik, dan jarang; dermatitis kontak alergi, psoriasis,
trauma, penggunaan narkoba intravena, prosedur bedah dan kosmetik, intertrigo,
gigitan arthropoda, dan ulkus kronis), immunocompromise (termasuk acquired
immunodeficiency Sindrom [AIDS], diabetes, ginjal stadium akhir Penyakit /
dialysis, dan lainnya.1,3
Gejala klinis dari selulitis adalah eritema, nyeri, berbatas tegas. Dalam
beberapa kasus selulitis, epidermis di atasnya mengalami bula, pembentukan
atau nekrosis, sehingga wilayah luas epidermal mengelupas dan erosi dangkal
terjadi. Gejala sistemik, seperti demam, menggigil, dan malaise adalah variabel,
dan kadang-kadang mendahului lokalisasi keluhan dan tanda-tanda SSTI.3
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat minum obat (ampisilin), diduga
telah terjadi reaksi alergi terhadap obat ampisilin karena terdapat manifestasi
angioedem pada bibir dan kelopak mata pasien. Angioedem biasanya terjadi di
daerah bibir, kelopak mata, genitelia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus
angioedema pada lidah dan larig harus mendapat pertolongan segera mencegah
terjadinya aspiksia. Penyebab tersering dari angiedem adalah penisilin, asam
asetilsalisilat dan NSAID.1
Sehingga penatalaksanaan pada kasus ini meliputi terapi non
medikamentosa ialah menghindari alergen, menjaga kebersihan kulit dan
menghentikan pemakaian kosmetik yang untuk beberapa saat hingga diketahui
alergen penyebab.1
Penatalaksanaan medikamentosa untuk kasus ini (DKA dan selulitis) terdiri
atas pengobatan topikal dan pengobatan sistemik. Pengobatan topikal yang
dilakukan adalah kompres NaCl pada daerah kelainan kulit pada pagi dan sore.
Pada umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari, kelainan
kulit cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisilat
1:1000.1
Pengobatan sistemik yang diberikan terdiri atas cairan ringer lactat 28 tpm,
metilprednisolon 125 mg/12 jam/iv, antibiotik ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv dan
ranitidin 1 ap/12 jam/iv.
Ringer lactat merupakan cairan kristaloid yag digunakan
untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh. Kerana pada pasien
ini memiliki keterbatasan dalam intake oral dan untuk
memudahkan dalam pemberian obat intravena. Kristaloid lebih
mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh,
dan memiliki efek alergi yang minimal.4
Metilprednisolon adalah golongan kortikosteroid, kortikosteroid dapat
diberikan dalam jangka waktu pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA
akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel, atau bula serta eksudat
(madidans). Kortisol dan analog sintetiknya mencegah atau menekan
timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau
alergen. Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas. Secara
mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema,
deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas
fagositosis. Selain itu juga menghambat manifestasi inflamasi yang lebih lanjut
yaitu proliferasi kapiler dan fibroblas, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatriks.4
Ceftriaxone adalah golongan antibiotik betalaktame, mekanisme kerja
antimikroba sefalosporine ialah menghambat sintesis dinding sel mikroba,
yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap tiga dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif terhadap gram positif ataupun
gram negatif, tetapi spektrum anti mikroba masing-masing derivat bervariasi.
Dosis ceftriaxone 1-4 gr/24 jam disesuiakan dengan berat atau ringannya
penyakit infeksi. Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga
aktif terhadap kuman gram positif.4
Ranitidin adalah antagonis reseptor H2 yang bekerja menghambat sekresi
lambung secara selektif dan reversibel. Ranitidin dapat menghambat sekresi
asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulus vagus, atau
gastrin. ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.4
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.
Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan
dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numular, atau
psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak dapat dihindari.1 Individu
dengan dermatitis kontak alergi dapat memiliki dermatitis persisten atau
kambuh, terutama jika bahan yang mereka alergi tidak dapat diidentifikasi atau
jika mereka terus menggunakan perawatan kulit yang tidak lagi sesuai (yaitu,
mereka terus menggunakan bahan kimia untuk mencuci kulit merekadan tidak
menggunakan emolien untuk melindungi kulit mereka). Semakin lama seorang
individu mengalami dermatitis yang parah, semakin lama dermatitis dapat
disembuhkan setelah penyebabnya terindentifikasi.2
REFERENSI
1. Sularsito, S, D., Djuanda, S. Ilmu Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Balai
penerbit FKUI: Jakarta. 2013.
2. Tersinanda, T., Rusyati, L. Dermatitis kontak alergi. Bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar. 2013.
Diakses dari http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/6113/4604
3. Lowell AG, Stevent IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, Klaus W. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Eighth edition. New York : Mc Graw-Hill.
2012.
4. Istiantoro, Y., Gan, V., Suherman, S., Ascobat, P., Dewanto, H.
Adrenokortikosteroid; Penisilin, Sefalosporin dan atibiotik lainnya; Histamin
dan antihitamin. Balai penerbit FKUI: Jakarta. 2011.
REFLEKSI KASUS
DERMATITIS KONTAK ALERGI, SELULITIS dan ANGIOEDEMA EC ERUPSI OBAT
Nama : Sulistyawati
No. Stambuk : N 111 14 017
Pembimbing : dr. Diany Nurdin, Sp.KK, M.Kes
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2015