Refka Asfiksia,Hipotermia,Ikterus Neonatorum, Cephal Hamatom

57
PENDAHULUAN Kemampuan pelayanan kesehatan suatu Negara ditentukan dengan perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan kematian bayi. Untuk itu dalam menurunkan angka kematian perinatal dibidang pelayanan keperawatan memerlukan perhatian yang serius, karena pelayanan yang tidak adekuat pada bayi baru lahir dapat menyebabkan meningginya angka kematian pada perinatal. Angka kematian neonatus di Negara-negara berkembang merupakan masalah besar, namun angka kematian yang cukup besar ini tidak dilaporkan serta dicatat secara resmi dalam statistik kematian neonatus. Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2008 angka kematian perinatal adalah 35 per 1000 kelahiran hidup, itu artinya dalam satu tahun sekitar 175.000 bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan saluran empedu, dan lain-lain. Di Negara maju seperti Amerika Serikat terdapat sekitar 60% bayi menderita ikterus sejak lahir, lebih dari 50% bayi tersebut mengalami hiperbilirubin, sedangkan di RSCM proporsi ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan

description

hg

Transcript of Refka Asfiksia,Hipotermia,Ikterus Neonatorum, Cephal Hamatom

PENDAHULUAN

Kemampuan pelayanan kesehatan suatu Negara ditentukan dengan perbandingan tinggi

rendahnya angka kematian ibu dan kematian bayi. Untuk itu dalam menurunkan angka

kematian perinatal dibidang pelayanan keperawatan memerlukan perhatian yang serius,

karena pelayanan yang tidak adekuat pada bayi baru lahir dapat menyebabkan meningginya

angka kematian pada perinatal.

Angka kematian neonatus di Negara-negara berkembang merupakan masalah besar,

namun angka kematian yang cukup besar ini tidak dilaporkan serta dicatat secara resmi dalam

statistik kematian neonatus. Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2008

angka kematian perinatal adalah 35 per 1000 kelahiran hidup, itu artinya dalam satu tahun

sekitar 175.000 bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun.

Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi

kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir

dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi

yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya

akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan

saluran empedu, dan lain-lain.

Di Negara maju seperti Amerika Serikat terdapat sekitar 60% bayi menderita ikterus

sejak lahir, lebih dari 50% bayi tersebut mengalami hiperbilirubin, sedangkan di RSCM

proporsi ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang

bulan sebesar 42,9%. Bagi tenaga kesehatan hal ini tidak dapat dianggap sepele, karena

kejadian ikterus pada neonatus dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hidup neonatus

nantinya.

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis kasus, agar dapat

melakukan tindakan dengan benar yaitu dengan menegakkan diagnosa secara tepat, sehingga

dapat mengetahui penanganan yang cepat dan tepat dari kasus tersebut.

KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA

Nama : by. N

Jenis Kelamin : Perempuan

tanggal lahir : 1/1/2015

Agama : Hindu

Tanggal masuk : 1/1/2015

2. ANAMNESIS

Keluhan Utama : asfiksia

Riwayat penyakit sekarang : bayi perempuan baru lahir tanggal 1 anuari 2015 pukul

01.15 di RSUD UNDATA,lahir spontan letak bokong. air ketuban ernih, a/s 5/6.

mec/mic +/+. berat badan lahir 3300 gr. PBL 40cm. bayi lahir tidak langsung

menangis. merintih -, sianosis -. Proses persalinan tidak berlangsung lama (tidak ada

partus lama dan macet) serta tidak ada kelainan pada plasenta dan tali pusat. riwayat

maternal maternal G3P2A0, ANC rutin di puskesmas. . Ibu tidak mengalami demam

sebelum dan selama persalinan, dan ibu tidak mengkonsumsi obat – obatan tertentu

kecuali obat penambah darah selama kehamilan. Ibu tidak pernah mengalami

perdarahan abnormal selama masa kehamilan.

Pemeriksaan fisik

PEMERIKSAAN FISIK

Tanda-tanda vital :

Denyut jantung : 152 x/menit

Suhu : 35,30C

Pernapasan : 36 x/menit

Capillary Refill Time : -

Pemeriksaan antropometrik :

Berat badan : 3300 gram

Panjang badan : 49 cm

Lingkar kepala : 35 cm

Lingkar lengan atas : -

Lingkar dada : -

Lingkar perut : -

Sistem neurologi :

Aktivitas : aktif

Kesadaran : compos mentis

Fontanela : datar

Sutura : belum menutup

Refleks cahaya: ada

Kejang : tidak ada

Tonus otot : normal

Sistem pernapasan :

Sianosis : -

Merintih : -

Apnea : -

Retraksi dinding dada: -

Pergerakan dinding dada : simetris bilateral

Pernapasan cuping hidung : tidak ada

Bunyi pernapasan : bronkovesikular

Bunyi pernapasan tambahan : ronki dan stridor tidak ada

Skor Downe :

Frekuensi Napas : 0

Merintih: 0

Sianosis: 0

Retraksi : 0

Udara Masuk: 0

Total skor : 0 (tidak ada gangguan nafas)

Kriteria WHO :

Sianosis sentral : tidak ada

Merintih saat ekpirasi : tidak ada

Retraksi dinding dada : tidak ada

Frekuensi napas : 36 x/menit

Kesimpulan : (tidak ada gangguan nafas)

Sistem hematologi :

Pucat : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Sistem kardiovaskular :

Bunyi jantung : S1 dan S2 reguler

Murmur : tidak ada

Gallop : tidak ada

Sistem Gastrointestinal :

Kelainan dinding abdomen: tidak ada

Muntah : tidak ada

Organomegali: tidak ada

Peristaltik usus : ada (normal)

Umbilikus : kemerahan tidak ada (tanda infeksi lokal)

Sistem Ano-Genitalia (laki-laki) :

Hipospadia : tidak ada

Hidrokel : tidak ada

Testis: desensus testisculorum

Anus : lubang ada

Pemeriksaan lain :

Ekstremitas : Akral dingin dan tidak ada deformitas

Turgor : kembali cepat

Kelainan kongenital : tidak ada

Trauma lahir : tidak ada

Skor Ballard :

Maturitas neuromuskular Maturitas fisik

Sikap tubuh : 3 kulit : 4

Persegi jendela: 3 lanugo : 3

Rekoil lengan : 2 payudara : 3

Sudut poplitea : 2 Mata/telinga : 3

Tanda selempang : 3 genitalia : 3

Tumit ke kuping : 1 permukaan plantar : 3

Total skor: 33

Estimasi umur kehamilan : minggu

RESUME

Bayi perempuan lahir di RSUD UNDATA Palu melalui persalinan normal dengan letak bokong, berat badan lahir 3300 gram, panjang badan lahir 49 cm, dan APGAR skor 5-6. Dari hasil pemeriksaan tanda – tanda vital didapatkan hipotermi (35,3C), terdapat benolan di daerah parietal kiri tanpa melewati sutura.

DIAGNOSIS

bayi aterm + post asfiksia ringan + hipotermia + cephal hematom.

TERAPI

ASUHAN BAYI BARU LAHIR Hangatkan atur posisi kepala bayi isap lendir ika perlu keringkan dan beri rangsangan taktil atur kembali posisi bayi penilaian denyut antung, respirasi dan warna kulit

1. ineksi vitamin K 1 mg intramuskular2. tetes mata gentamisin3. oksigen 1-2 liter/menit4. observasi tanda vital tiap 2 hours

ANJURAN PEMERIKSAAN

FOLLOW UP

Tanggal : 2/1/2013

Subjek (S) : -

Objek (O) :

a. Tanda Vital

o Denyut Nadi : 124 kali/menit

o Respirasi : 36 kali/menit

o Suhu : 37,40C

o berat badan : 3300 gr

Assesment (A): bayi aterm + post asfiksia ringan + cephal hematom.

Plan (P) : ASI 25 cc/3 hour

Tanggal : 3/1/2015

Subjek (S) : kuning

Objek (O) :

Tanda Vital

o Denyut Nadi : 147 kali/menit

o Respirasi : 40 kali/menit

o Suhu : 36,90C

o berat badan : 3200 gr

Assesment (A) : bayi aterm + post asfiksia ringan + ikterus neonatorum + cephal hematom.

Plan (P) : ASI 36 cc/3 hour

DISKUSI KASUS

Asfiksia neonatorum

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan

dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami

asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu

hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau

sesudah persalinan.

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr

spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan

hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau

segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan

bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan

mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin

timbul.

Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan

dan teratur segera stelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia,

hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan asfiksia ini dapat terjadi karena kurangnya

kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya asfiksia

neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, atau dapat terjadi segera

setelah lahir. Banyak faktor yang menyebabkannya, diantaranya adanya penyakit pada ibu

sewaktu hamil seperti hipertensi, paru, gangguan kontraksi uterus pada ibu, resiko tinggi

kehamilan, dapat terjadi pada faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga

faktor janin itu sendiri.

B.   ETIOLOGI

Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada

bayi baru lahir, diantaranya adalah sebagai berikut :

1.    Factor Ibu

·         Cacat bawaan

·         Preeklampsia dan eklampsia

·         Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

·         Partus lama atau partus macet

·         Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

·         Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

·         Hipoventilasi selama anastesi

·         Penyakit jantung sianosis

·         Gagal bernafas

·         Keracunan CO

·         Tekanan darah rendah

·         Gangguan kontraksi uterus

·         Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

2.    Factor tali pusat

·         Lilitan tali pusat

·         Tali pusat pendek

·         Simpul tali pusat

·         Prolapsus tali pusat

3.    Factor bayi

·         Kompresi umbilikus

·         Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat

·         Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir

·         Prematur

·         Gemeli

·         Kelainan congential

·         Pemakaian obat anestesi

·         Trauma yang terjadi akibat persalinan

·         Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

·         kelainan bawaan (kongenital)

·         Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

4.    Factor plasenta

·         Plasenta tipis

·         Plasenta kecil

·         Plasenta tidak menempel

·         Solusio plasenta

5.    Factor persalinan

·         Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,

ekstraksi forsep)

·         Partus lama

·         Partus tindakan

C.   MANIFESTASI KLINIK

Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam

periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut

jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur-

agsur berkurang dari bayi memasuki periode apneru primer.

Gejala dan tanda pada asfiksia neunatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan

cepat, pernafasan cuping hidung, sianosisus, nadi cepat Gejala lanjut pada asfiksia :

1.    Pernafasan megap-megap yang dalam

2.    Denyut jantung terus menurun

3.    Tekanan darah mulai menurun

4.    Bayi terlihat lemas (flaccid)

5.    Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2)

6.    Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2)

7.    Menurunnya PH (akibat acidosis respoiraktorik dan metabolic)

8.    Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob

9.    Terjadinya perubahan sistem kardivaskuler

D.   PATOFISIOLOGI

Selama kehidupan di dalam rahim, paru janin tidak berperan dalam pertukaran gas

oleh karena plasenta menyediakan  oksigen dan mengangkat CO2 keluar dari tubuh janin.

Pada keadaan ini paru janin tidak berisi udara, sedangkan alveoli janin berisi cairan yang

diproduksi didalam paru sehingga paru janin tidak berfungsi untuk respirasi. Sirkulasi darah

dalam paru saat ini sangat rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh

karena konstriksi dari arteriol dalam paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru akan

melewati Duktus Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol paru.

Segera setelah lahir bayi akan menariknafas yang pertama kali (menangis), pada saat

ini paru janin mulai berfungsi untuk respirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk

dan cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan

dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah kedalam paru akan meningkat

secara memadai. Duktus Arteriosus (DA) akan mulai menutup bersamaan dengan

meningkatnya tekanan oksigen dalam aliran darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang

sebelumnya melewati DA dan masuk kedalam Aorta akan mulai memberi aliran darah yang

cukup berarti kedalam arteriole paru yang mulai mengembang DA akan tetap tertutup

sehingga bentuk sirkulasi extrauterin akan dipertahankan.

Pada saat lahir alveoli masih berisi cairan paru, suatu tekanan ringan diperlukan untuk

membantu mengeluarkan cairan tersebut dari alveoli dan alveoli mengembang untuk pertama

kali. Pada kenyataannya memang beberapa tarikan nafas yang pertama sangat diperlukan

untuk mengawali dan menjamin keberhasilan pernafasan bayi selanjutnya. Proses persalinan

normal (pervaginam) mempunyai peran yang sangat penting untuk mempercepat proses

keluarnya cairan yang ada dalam alveoli melalui ruang perivaskuler dan absorbsi kedalam

aliran darah atau limfe. Gangguan pada pernafasan pada keadaan ini adalah apabila paru tidak

mengembang dengan sempurna (memadai) pada beberapa tarikan nafas yang pertama. Apnea

saat lahir, pada keadaan ini bayi tidak mampu menarik nafas yang pertama setelah lahir oleh

karena alveoli tidak mampu mengembang atau alveoli masih berisi cairan dan gerakan

pernafasan yang lemah, pada keadaan ini janin mampu menarik nafas yang pertama akan

tetapi sangat dangkal dan tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan O2 tubuh. keadaan

tersebut bisa terjadi pada bayi kurang bulan, asfiksia intrauterin, pengaruh obat yang

dikonsumsi ibu saat hamil, pengaruh obat-obat anesthesi pada operasi sesar.

Dalam hal respirasi selain mengembangnya alveoli dan masuknya udara kedalam

alveoli masih ada masalah lain yang lebih panjang, yakni sirkulasi dalam paru yang berperan

dalam pertukaran gas. Gangguan tersebut antara lain vasokonstriksi pembuluh darah paru

yang berakibat menurunkan perfusi paru. Pada bayi asfiksia penurunan perfusi paru

seringkali disebabkan oleh vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga oksigen akan

menurun dan terjadi asidosis. Pada keadaan ini arteriol akan tetap tertutup dan Duktus

Arteriosus akan tetap terbuka dan pertukaran gas dalam paru tidak terjadi.

Selama penurunan perfusi paru masih ada, oksigenasi ke jaringan tubuh tidak

mungkin terjadi. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan tergantung dari berat

dan lamanya asfiksia, fungsi tadi dapat reversible atau menetap, sehingga menyebabkan

timbulnya komplikasi, gejala sisa, ataupun kematian penderita. Pada tingkat permulaan,

gangguan ambilan oksigen dan pengeluaran CO2 tubuh ini mungkin hanya menimbulkan

asidosis respiratorik. Apabila keadaan tersebut berlangsung terus, maka akan terjadi

metabolisme anaerobik berupa glikolisis glikogen tubuh. Asam organik yang terbentuk akibat

metabolisme ini menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan asam basa berupa asidosis

metabolik. Keadaan ini akan mengganggu fungsi organ tubuh, sehingga mungkin terjadi

perubahan sirkulasi kardiovaskular yang ditandai oleh penurunan tekanan darah dan frekuensi

denyut jantung. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada penderita asfiksia akan terlihat

tahapan proses kejadian yaitu menurunnya kadar PaO2 tubuh, meningkat PCO2, menurunnya

pH darah dipakainya sumber glikogen tubuh dan gangguan sirkulasi darah. Perubahan inilah

yang biasanya menimbulkan masalah dan menyebabkan terjadinya gangguan pada bayi saat

lahir atau mungkin berakibat lanjut pada masa neonatus dan masa pasca neonatus.

Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap

nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus

berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari

nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin

akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air

ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin

lahir, alveoli tidak berkembang.

Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai

menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi

memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang

dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan

terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki

perioode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar

O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan

dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika

resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.

F.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya asfiksia

pada bayi (pemeriksaan diagnostik) yaitu:

a.    Pemeriksaan pH darah janin

Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada

kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya

asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun dibawah 7,2 hal itu

dianggap sebagai tanda bahaya (Wiknjosastro, 2007).

b.    Analisa Gas Darah

Analisa dilakukan pada darah arteri, penting untuk mengetahui adanya asidosis dan alkalosis

respiratorik/metabolik. Hal ini diketahui dengan tingkat saturasi SaO2 dan PaO2. Pemeriksaan

ini juga dilakukan untuk mengetahui oksigenasi, evaluasi tingkat kemajuan terapi (Muttaqin,

2008).

c.    Elektrolit Darah

Komplikasi metabolisme terjadi di dalam tubuh akibatnya persediaan garam-garam elektrolit

sebagai buffer juga terganggu kesetimbangannya. Timbul asidosis laktat, hipokalsemi,

hiponatremia, hiperkalemi. Pemeriksaan elektrolit darah dilakukan uji laboratorium dengan

test urine untuk kandungan ureum, natrium, keton atau protein (Harris, 2003).

d.    Gula darah

Pemeriksaan gula darah dilakukan uji laboratorium dengan test urine untuk kandungan

glukosa. Menurut Harris (2003), penderita asfiksia umumnya mengalami hipoglikemi.

e.    Pemeriksaan radiologik

Pemeriksaan radiologik seperti ultrasonografi (USG),computed tomography scan (CT-Scan)

dan magnetic resonance imaging (MRI) mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan

diagnosis

f.     USG ( Kepala )

g.    Penilaian APGAR score

h.    Pemeriksaan EGC dab CT- Scan

i.      Foto polos dada

G.   TERAPI DAN PENGOBATAN

1.    Pengaturan suhu

Segera setelah lahir, badan dan kepala neonatus hendaknya dikeringkan seluruhnya dengan

kain kering dan hangat, dan diletakan telanjang di bawah alat/ lampu pemanas radiasi, atau

pada tubuh Ibunya, bayi dan Ibu hendaknya diselimuti dengan baik, namun harus

diperhatikan pula agar tidak terjadi pemanasan yang berlebihan pada tubuh bayi.

2.    Lakukan tindakan A-B-C-D (Airway/ membersihkan jalan nafas, Breathing/

mengusahakan timbulnya pernafasan/ ventilasi, Circulation/ memperbaiki sirkulasi tubuh,

Drug/ memberikan obat)

A.   Memastikan saluran nafas terbuka

ü  Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi, bahu diganjal.

ü  Menghisap mulut, hidung dan trakhea.

ü  Bila perlu, masukkan pipa ET untuk memastikan saluran pernafasan terbuka.

B.   Memulai pernafasan

ü  Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan.

ü  Memakai VTP bila perlu, seperti sungkup dan balon, pipa ET dan balon, mulut ke mulut

(hindari paparan infeksi)

C.   Mempertahankan sirkulasi darah

Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompres pada daerah dada

D.   Pemberian obat-obatan

ü Epineprin

Indikasi : diberikan apabila frekuensi jantung tetap di bawah 80 x/mnt walaupun telah

diberikan paling sedikit 30 detik VTP adekuat dengan oksigen 100 % dan kompresi dada atau

frekuensi jantung. Dosis 0,1 – 0,3 ml/kg untuk larutan 1:10000. Cara pemberian dapat

melalui intravena (IV) atau melalui pipa endotrakheal.

Efek : Untuk meningkatkan kekuatan dan kecepatan konstraksi jantung

ü  Volume ekspander (darah/ whole blood, cairan albumin-salin 5%, Nacl, RL).

Indikasi : digunakan dalam resusitasi apabila terdapat kejadian atau diduga adanya

kehilangan darah akut dengan tanda-tanda hipovolemi. Dosis 10 ml/ kg. Cara pemberian IV

dengan kecepatan pemberian selama waktu 5-10 menit.

Efek : meningkatkan volume vaskuler, meningkatkan asidosis metabolik.

ü  Natrium Bikarbonat

Indikasi : digunakan apabila terdapat apneu yang lama yang tidak memberikan respon

terhadap terapi lain. Diberikan apabila VTP sudah dilakukan.

Efek : memperbaiki asidosis metabolik dengan meningkatkan ph darah apabila ventilasi

adekuat, menimbulkan penambahan volume disebabkan oleh cairan garam hipertonik.

ü  Nalakson hidroklorid/ narcan

Indikasi : depresi pernafasan yang berat atau riwayat pemberian narkotik pada Ibu dalam 4

jam sebelum persalinan.

Efek : antagonis narkotik.

Hipotermia

1. Definisi Hipotermi

hipotermi pada  bayi baru lahir atau neonatus adalah Bayi dengan suhu badan di

bawah normal. Hipotermia ini biasaya menyerang bayi yang baru saja lahir. Pada bayi

neonatus suhu normalnya adalah 36,5 – 37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Apa bila suhu <

36 derajat Celsius, kedua kaki dan tangan terasa dingin kita mesti mewaspadainya karena ini

merupakan gejala awal hipotermia.Bila suhu bayi 32 – 36,4 derajat Celsius ini biasa disebut

hipotermi sedang. Bila suhu < 32 derajat Celcius biasa disebut hipotermi berat, pada

hipotermi berat ini biasanya diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur

sampai 25 derajat Celsius.

Menurut Sarwono (2010), gejala awal hipotermia apabila suhu < 36oC atau kedua kaki dan

tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi  sudah mengalami

hipotermia sedang (suhu 32oC – 36oC). Disebut hipotermia kuat bila suhu tubuh <32oC.

Hipotermia pada BBL adalah suhu di bawah 36,5oC, yang terbagi atas hipotermia ringan

(cold stress) yaitu suhu antara 36-36,5oC, hipotermia sedang yaitu suhu antara 32-36oC, dan

hipotermia berat yaitu suhu tubuh <32oC.

Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir

dengan kematian. Hipotermia menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah, yang

mengakibatkan terjadinya metabolik anerobik, meningkatkan kebutuhan oksigen,

mengakibatkan hipoksemia dan berlanjut dengan kematian.

1. Etiologi

Hipotermia dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekeliling bayi rendah dan upaya

mempertahankan suhu tubuh tetap hangat tidak diterapkan secara tepat, terutama pada masa

stabilisasi yaitu 6-12 jam pertama, setelah lahir. Misalnya bayi baru lahir dibiarkan basah dan

telanjang selama menunggu plasenta lahir atau meskipun lingkungan sekitar bayi cukup

hangat namun bayi dibiarkan telanjang atau segera dimandikan.

BBL dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan

kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas

(Sholeh,dkk. 2014).

1. Penurunan Produksi Panas

Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan basal

metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada

keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitaria.

2. Peningkatan Panas yang Hilang

Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas.

Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara :

1. Konduksi :

Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu antara kedua obyek.

Kehilangan panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan

yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas terjadi pada BBL yang berada pada

permukaan/alas yang dingin, seperti pada waktu proses penimbangan. Bayi yang diletakkan

diatas meja, tempat tidur atau timbangan yang dingin akan cepat mengalami kehilangan

panas tubuh melalui konduksi.

1. Konveksi :

Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaan kulit bayi dan

aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat

berupa : bayi yang diletakkan di dekat pintu/jendela terbuka, inkubator dengan jendela yang

terbuka, atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.

1. Radiasi :

Yaitu perpindahan suhu dari suatu objek panas ke objek yang dingin, misalnya dari bayi

dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan

panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin. Bayi akan

mengalami kehilangan panas melalui cara ini meskipun benda yang lebih dingin tersebut

tidak bersentuhan langsung dengan tubuh bayi.

1. Evaporasi :

Cara kehilangan panas yang utama pada tubuh bayi. Panas terbuang akibat penguapan,

melalui permukaan kulit dan traktus respiratorius. Sumber kehilangan panas dapat berupa

BBL yang basah setelah lahir, karena menguapnya cairan ketuban pada permukaan tubuh

bayi setelah lahir dan bayi tidak cepat dikeringkan atau terjadi setelah bayi dimandikan.

3. Kegagalan Termoregulasi

Suhu bayi baru lahir dapat turun beberapa derajat setelah kelahiran karena lingkungan

eksternal lebih dingin daripada lingkungan di dalam uterus. Kegagalan termoregulasi secara

umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan

berbagai penyebab. Keadaan hipoksia intrauterine/saat persalinan/post partum, defek

neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anastesi) dapat menekan respon neurologik

bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan mengalami masalah dalam

pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.

Setelah lahir, suhu tubuh bayi dapat turun sangat cepat. Bayi aterm yang sehat akan berusaha

mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran normal. Namun, jika bayi bermasalah saat

lahir oleh kondisi di bawah ini, stress tambahan akibat hipotermia dapat membahayakan :

1. Asfiksia berat

2. Resusitasi ekstensif

3. Pengeringan setelah kelahiran yang terlambat

4. Gawat napas

5. Hipoglikemia

6. Sepsis

7. Bayi premature

1. Patofisiologi

Apabila terjadi paparan dingin, secara fisiologis tubuh akan memberikan respon untuk

menghasilkan panas berupa :

1. Shivering thermoregulation/ST

Merupakan mekanisme tubuh berupa menggigil atau gemetar secara involunter akibat dari

kontraksi otot untuk menghasilkan panas.

2. Non- Shivering thermoregulation/NST

Merupakan mekanisme yang dipengaruhi oleh stimulasi sistem saraf simpatis untuk

menstimulasi proses metabolik dengan melakukan oksidasi terhadap jaringan lemak coklat.

Peningkatan metabolisme jaringan lemak coklat akan meningkatkan produksi panas dari

dalam tubuh.

3. Vasokonstriksi perifer

Mekanisme ini juga distimulasi oleh sistem saraf simpatis, kemudian sistem saraf perifer

akan memicu otot sekitar arteriol kulit untuk berkontraksi sehingga terjadi vasokonstriksi.

Keadaan ini efektif untuk mengurangi aliran darah ke jaringan kulit dan mencegah hilangnya

panas yang tidak berguna.

(Sholeh,dkk. 2014)

Pada bayi, respon fisiologis terhadap paparan dingin adalah dengan proses oksidasi dari

lemak coklat atau jaringan adiposa coklat. Pada BBL, NST (proses oksidasi jaringan lemak

coklat) adalah jalur yang utama dari suatu peningkatan produksi panas yang cepat, sebagai

reaksi atas paparan dingin. Paparan dingin yang berkepanjangan harus dihindarkan oleh

karena dapat menimbulkan efek samping serta gangguan – gangguan metabolik yang berat.

Segera setelah lahir, tanpa penanganan yang baik, suhu tubuh bayi rata-rata akan turun 0,1oC-

0,3oC setiap menitnya. WHO Consultative Group on Thermal Control menyebutkan bahwa

BBL yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, suhunya akan turun 2oC-4oC dalam 10-

20 menit kemudian setelah kelahiran.

1. Tanda dan Gejala

Hipotermi ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang aktif, kutis

marmorata, pucat, takipneu atau takikardi. Sedangkan hipotermi yang berkepanjangan, akan

menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, distres respirasi, gangguan

keseimbangan asam basa, hipoglikemia, defek koagulasi, sirkulasi fetal persisten, gagal ginjal

akut, enterokolitis nekrotikan, dan pada keadaan yang berat akan menyebabkan kematian

(Sholeh,dkk. 2014).

Saat neonatus terpajan dengan dingin, pertama-tama ia menjadi sangat gelisah; kemudian,

saat suhu inti tubuhnya menurun, ia mengadopsi posisi fleksi yang rapat guna mencoba

mempertahankan panas. Bayi yang sakit atau premature akan cenderung berbaring terlentang

dengan posisi seperti katak dengan semua permukaan tubuhnya terpajan, yang

memaksimalkan kehilangan panas.

Orang dewasa dapat menghilangkan panas dengan menggigil, sementara neonatus

menggunakan cadangan lemak coklat mereka. Selama metabolisme lemak coklat, oksigen di

konsumsi dan hal ini dapat menyebabkan perubahan pola pernapasan, biasanya meningkatkan

frekuensinya. Selain itu, bayi mungkin dapat terlihat pucat atau bercak-bercak dan mungkin

tidak mau menyusu. Hipoglikemia merupakan gambaran umum pada bayi dengan

peningkatan penggunaan energi yang berhubungan dengan termoregulasi dan hal ini dapat

menyebabkan bayi menggerakan ekstremitas dengan tersentak-sentak, meskipun diam dan

sering kali lemas.

Sarwono (2010), mengklasifikasikan tanda dan gejala hipotermia pada neonatus seperti

dibawah ini :

1. Gejala hipotermia bayi baru lahir

1. Bayi tidak mau minum/menetek

2. Bayi tampak lesu atau mengantuk saja

3. Tubuh bayi teraba dingin

4. Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi

mengeras (sklerema)

2. Tanda-tanda hipotermia sedang (Stres dingin)

1. Aktivitas berkurang, letargis

2. Tangisan lemah

3. Kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata)

4. Kemampuan menghisap lemah

5. Kaki teraba dingin

3. Tanda-tanda hipotermia berat (Cedera dingin)

1. Sama dengan hipotermia sedang

2. Bibir dan kuku kebiruan

3. Pernafasan lambat

4. Pernafasan tidak teratur

5. Bunyi jantung lambat

6. Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis metabolik

4. Tanda-tanda stadium lanjut hipotermia

1. Muka, ujung kaki dan tangan berwarma merah terang

2. Bagian tubuh lainnya pucat

3. Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan

tangan (sklerema)

1. Diagnosis

Diagnosis hipotermi ditegakkan dengan pengukuran suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi.

Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu petunjuk penting untuk deteksi

awal adanya suatu penyakit, dan pengukurannya dapat dilakukan melalui aksila, rektal atau

kulit. Untuk mengukur suhu hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading

thermometer) yang dapat mengukur sampai 25oC (Sholeh,dkk.2014).

1. Komplikasi

Hipotermia dapat menyebabkan komplikasi, seperti peningkatan konsumsi oksigen, produksi

asam laktat, apneu, penurunan kemampuan pembekuan darah dan yang paling sering terlihat

hipoglikemia. Pada bayi premature, stress dingin dapat menyebabkan penurunan sekresi dan

sintetis surfaktan. Membiarkan bayi dingin meningkatkan mortalitas dan morbiditas.

1. Penanganan serta Pencegahan Hipotermia Bayi Baru Lahir

Kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai dengan keberhasilan usahanya dalam

mencegah hilangnya panas dari tubuh. Untuk itu, BBL haruslah dirawat dalam lingkungan

suhu netral (Neutral Thermal Environment/NTE). NTE adalah rentang suhu eksternal,

dimana metabolisme dan konsumsi oksigen berada pada tingkat minimum, dalam lingkungan

tersebut bayi dapat mempertahankan suhu tubuh normal.

Namun, pada bayi-bayi yang mengalami hipotermia maka harus ditangani secara cepat dan

tepat. Penanganan hipotermia pada bayi, yaitu :

1. Bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah sekali meninggal. Tindakan yang

harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam inkubator atau melalui

penyinaran lampu.

2. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan oleh setiap orang adalah

menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup di dada ibu

agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi tetap hangat,

tubuh ibu dan bayi harus berada dalam satu pakaian (merupakan teknologi tepat guna

baru) disebut sebagai Metoda Kanguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian longgar

berkancing depan.

3. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika

terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukanlah

berulang kali sampai tubuh bayi hangat.

4. Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia, sehingga bayi harus diberi

ASI  sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus glukosa

10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.

5. Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil. Untuk

mencegah terjadinya serangan dingin, ibu/keluarga dan penolong persalinan harus

menunda memandikan bayi.

6. Pada bayi baru lahir sehat yaitu lahir cukup bulan, berat >2500 gram, langsung

menangis kuat, maka memandikan bayi ditunda selama ± 24 jam setelah kelahiran.

Pada saat memnadikan bayi, gunakanlah air hangat.

7. Pada bayi lahir dengan resiko (tidak temasuk kriteria diatas), keadaan umum

bayi lemah atau bayi dengan berat lahir <2000 gram, sebaiknya bayi jangan

dimandikan, ditunda beberapa hari sampai keadaan umum membaik yaitu bila suhu

tubuh bayi stabil, bayi sudah lebih kuat dan dapat menghisap ASI dengan baik.

Sepuluh langkah proteksi termal untuk mencegah terjadinya hipotermia pada bayi baru lahir

(sholeh,dkk. 2014) :

Langkah ke 1 : Ruang melahirkan yang hangat

Selain bersih, ruang bersalin tempat ibu melahirkan harus cukup hangat dengan suhu ruangan

antara 25oC-28oC serta bebas dari aliran arus udara melalui jendela, pintu, ataupun dari kipas

angin. Selain itu sarana resusitasi lengkap yang diperlukan untuk pertolongan BBL sudah

disiapkan.

Langkah ke 2 : Pengeringan segera

Segera setelah lahir, bayi dikeringkan kepala dan tubuhnya, dan segera mengganti kain yang

basah dengan kain yang hangat dan kering. Kemudian diletakkan dipermukaan yang hangat

seperti pada dada atau perut ibunya atau segera dibungkus dengan pakaian hangat.

Langkah ke 3 : Kontak kulit dengan kulit

Kontak kulit dengan kulit adalah cara yang sangat efektif untuk mencegah hilangnya panas

pada BBL, baik pada bayi-bayi aterm maupun preterm. Dada atau perut ibu merupakan

tempat yang sangat ideal bagi BBL untuk mendapatkan lingkungan suhu yang tepat.

Langkah ke 4 : Pemberian ASI

Pemberian ASI sesegera mungkin, sangat dianjurkan dalam jam-jam pertama kehidupan

BBL. Pemberian ASI dini dan dalam jumlah yang mencukupi akan sangat menunjang

kebutuhan nutrisi, serta akan berperan dalam proses termoregulasi pada BBL.

Langkah ke 5 : Tidak segera memandikan/menimbang bayi

Memandikan bayi dapat dilakukan beberapa jam kemudian (paling tidak setelah 6 jam) yaitu

setelah keadaan bayi stabil. Tindakan memandikan bayi segera setelah lahir akan

menyebabkan terjadinya penurunan suhu tubuh bayi. Menimbang bayi juga dapat ditunda

beberapa saat kemudian dan dianjurkan pada saat menimbang, timbangan yang digunakan

diberi alas kain hangat.

Langkah ke 6 : Pakaian dan selimut bayi adekuat

Kurang lebih 25% kehilangan panas dapat terjadi melalui kepala bayi sehingga BBL perlu

beberapa lapis pakaian serta selimut, dan diberi topi untuk mencegah kehilangan panas

tersebut.

Langkah ke 7 : Rawat gabung

Bayi-bayi yang dilahirkan dirumah ataupun di rumah sakit, perlu dijadikan satu dalam tempat

tidur yang sama dengan ibunya, selama 24 jam penuh dalam ruangan yang cukup hangat. Hal

ini akan sangat menunjang pemberian ASI on demand, serta mengurangi resiko terjadinya

infeksi nosokomial pada bayi-bayi yang lahir di rumah sakit.

Langkah ke 8 : Transpotasi hangat

Apabila bayi perlu segera dirujuk ke rumah sakit, atau ke bagian lain di lingkungan rumah

sakit seperti di ruang rawat bayi atau di NICU, sangat penting untuk selalu menjaga

kehangatan bayi selama dalam perjalanan.

Langkah ke 9 : Resusitasi hangat

Pada waktu melakukan resusitasi, perlu menjaga agar tubuh bayi tetap hangat. Hal ini sangat

penting karena bayi-bayi yang mengalami asfiksia, tubuhnya tidak dapat menghasilkan panas

yang cukup efesien sehingga mempunyai resiko tinggi menderita hipotermia.

Langkah ke 10 : Pelatihan dan sosialisasi rantai hangat

Semua pihak yang terlibat dalam proses kelahiran serta perawatan bayi (dokter, bidan,

perawat, dan lain-lain), perlu dilatih dan diberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip serta

prosedur yang benar tentang rantai hangat. Keluarga dan anggota masyarakat yang

mempunyai bayi di rumah, perlu diberikan pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya

menjaga agar bayinya tetap hangat.

Ikterus neonatorum adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lain akibat

penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau

kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah melebihi

2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih belum terlihat

meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5 mg%. ikterus terjadi karena peninggian

kadar bilirubin indirect (unconjugated) dan kadar bilirubin direct (conjugated). Bilirubin

indirect akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir

rendah, hipoksia dan hipoglikemia (Markum H, 2005).

Ikterus neonatorum adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa oleh

karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam

darah. Ikterus neonatorum ialah suatu gejala yang sering ditemukan pada bayi baru lahir.

Ikterus neonatorum ialah suatu gejala yang sering ditemukan pada bayi baru lahir yang

terbagi menjadi ikterus fisiologi dan ikterus patologi.

Ikterus disebabkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah

dewasa. Pada janin menjelang persalinan terdapat kombinasi antara darah janin dan darah

dewasa yang mampu menarik O2 dari udara dan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru.

Pengahncuran darah janin inilah yang menyebabkan terjadi icterus yang sifatnya fisiologis.

Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa kadar bilirubin indirek bayi cukup bulan sekitar

15 mg % sedangkan bayi cukup bulan 10 mg %. Di atas angka tersebut dianggap

hiperbilirubinemia, yang dapat membedakan kernikterus. (Manuaba, 2010)

Kernikterus adalah akumulasi bilirubin dalam jaringan otak sehingga dapat

mengganggu fungsi otak dan menimbulkan gejala klinis sesuai tempat akumulasi tersebut.

Kesimpulannya ikterus neonatorum adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan

mukosa oleh karena keadaannya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar

bilirubin darah yang sering ditemukan pada BBL yang terbagi ikterus fisiologis dan patalogis.

2.1.3 Macam-macam Ikterus

Macam-macam ikterus menurut Ngastiyah (2005) adalah sebagai berikut :

1.      Ikterus Fisiologi

Ikterus Fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga yang

mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan, atau

mempunyai potensi menjadi kern-ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.

Ikterus ini biasanya menghilang pada akhir minggu pertama atau selambat-lambatnya 10 hari

pertama.

Ikterus dikatakan Fisiologis bila :

1.      Timbul pada hari kedua sampai ketiga.

2.     Kadar bilirubin indirek sesudah 2 - 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup

bulan dan 10 mg % pada neonatus kurang bulan.

3.     Kecepatan peninakatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari.

4.     Ikterus menghilang pada 10 hari pertama

5.      Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik (kern – ikterus)

6.     Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.

2.      Ikterus Patologik

Ikterus Patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologik atau kadar

bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologik ini

misalnya, jenis bilirubin, saat timbulnya dan menghilangnya ikterus dan penyebabnya.

Menurut Ngastiyah (2005) Ikterus dikatakan Patologis bila :

1.    Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama

2.    Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada

neonatus kurang bulan.

3.    Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.

4.    Ikterus menetap susudah 2 minggu pertama.

5. Kadar bilirubin direct melebihi 1 mg%.

6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

Etiologi dan Faktor Resiko

1. Etiologi

Etiologi ikterus pada neonatus dapat berdiri sendiri atau disebabkan oleh beberapa

faktor menurut (Ngastiyah, 2005) :

1)      Produksi yang berlebihan

  Golongan darah Ibu - bayi tidak sesuai

 Hematoma, memar

Spheratisosis kongental

 Enzim G6PD rendah

2)  Gangguan konjugasi hepar

Enzim glukoronil tranferasi belum adekuat (prematur)

3)  Gangguan transportasi

Albumin rendah

Ikatan kompetitif dengan albumin

Kemampuan mengikat albumin rendah

4) Gangguan ekresi

 Obstruksi saluran empedu

 Obstruksi usus

 Obstruksi pre hepatik

2. Faktor Resiko Ikterus

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih (ikterus nonfisiologis) menurut Moeslichan

(2004) dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dibawah ini :

a) Faktor Maternal

1) Rasa atau kelompok etnik tertentu.

2) Komplikasi dalam kehamilan (DM, inkontambilitas ABO, Rh)

3) Penggunakan oksitosin dalam larutan hipotonik.

4) ASI

5) Mengonsumsi jamu-jamuan

b) Faktor perinatal

1) Trauma lahir (chepalhematom, ekamosis)

2) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c) Faktor Neonatus

1) Prematuritas

2) Faktor genetik

3) Obat (Streptomisin, kloramfenikol, benzylalkohol, sulfisoxazol)

4) Rendahnya asupan ASI (dalam sehari min. 8 kali sehari)

5) Hipoglikemia

6) Hiperbilirubinemia

Faktor yang berhubungan dengan ikterus menurut Prawihardjo (2005) :

1.      Usia Ibu

2.      Tingkat pendidikan

3.      Tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan bayi ikterus

4.      Riwayat kesehatan Ibu

5.      Masa gestasi

6.      Jenis persalinan

7.      Inkomtabilitas Rhesus

8.      Inkomtabilitas ABO

9.      Berat badan lahir

10.  Asfiksia

11.  Prematur

12.  APGAR score

13.  Asupan ASI

14.  Terpapar sinar matahari

2.1.5 Tanda dan gejala

1.      Tanda

Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus menurut Surasmi (2003) yaitu :

a.       Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar

b.      Letargis (lemas)

c.       Kejang

d.      Tidak mau menghisap

e.       Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental

f.       Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, episiototonus, kejang,

stenosis yang disertai ketegangan otot.

g.      Perut membuncit

h.      Pembesaran pada hati

i.        Feses berwarna seperti dempul

j.        Tampak ikterus: sclera, kuku, kulit dan membrane mukosa.

k.      Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.

2.      Gejala

Gejala menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :

a.       Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernicterus pada neonatus adalah

letargi, tidak mau minum dan hipotoni.

b.      Gejala kronik : tangisan yang melenking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus

(bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,

gangguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis).

Bila tersedia fasilitas, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

a.       Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat kelahiran.

b.      Bila ibu mempunyai golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan darah tali pusat pada

setiap persalinan untuk pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan.

c.       Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam pertama

kelahiran.

2.1.6   Penilaian

Penilaian ikterus secara klinis dengan menggunakan rumus KRAMER (Sri agung Lestari,

2009) :

No Luas Ikterus Kadar bilirubin (mg%)

1 Kepala dan leher 5

2 Daerah 1 dan badan bagian atas 9

3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah

dan tungkai

11

4 Daerah 1,2,3 dan lengan dan kaki di

bawah dengkul

12

5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16

Kern – Ikterus

Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama

pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah dan nukleus

pada dasar ventrikulus ke IV.

Tanda-tanda kliniknya adalah mata yang berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap,

tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus.

Pada umur yang lebih lanjut bila bayi hidup dapat terjadi spasme otot, opistotonus,

kejang, atetosis, yang disertai ketegangan otot. Ketulian pada nada tinggi dapat ditemukan

gangguan bicara dan retardasi mental.

2.1.8        Pemeriksaan diagnostik

1. Pemeriksaan bilirubin serum

Pada bayi yang cukup bulan billirubin mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl, antara 2

dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mg/dl, tidak fisiologis. Pada bayi dengan

premature kadar billirubin mencapai puncaknya 10-12 mg/dl antara 5-7 hari kehidupan.

Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl adalah tidak fisiologis. Dari brown AK dalam text

books of pediatric 1996 : ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan, bilirubin indirek

munculnya ikterus 2-3 hari dan hilang 4-5 hari dengan kadar bilibirum yang mencapai

puncak 10-12 mg/dl. Sedangkan pada bayi dengan premature, bilirubin indirek muncul 3-4

hari dan hilang 7-9 hari dengan bilirubin mencapai puncak 15 mg/dl/ hari. Pada ikterus

patologis meningkatnya bilirubin lebih dari 5 mg/dl/hari dan kadar bilirubin direk lebih dari 1

mg/dl. Maisetes 1994 dalam Whaley dan wong 1999 : Meningkatnya kadar serum total lebih

dari 12-13 mg/dl.

2. Ultrasound untuk mengevalusi anatomi cabang kantong empedu.

3. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dari

atresia billary.

2.1.9 Penatalaksanaan Ikterus

Pengobatan yang diberikan sesuai dengan analisa penyebab yang meungkin dan

memastikan kondisi ikterus pada bayi kita masih dalam batas normal (fisiologis) ataukah

sudah patologis. Tujuan pengobatan adalah mencegah agar konsentrasi bilirubin indirect

dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksisitas, dianjurkan dilakukan

transfuse tukar dan atau fisioterapi. Resiko cidera susunan saraf pusat akibat bilirubin harus

diimbangi dengan resiko pengobatan masing-masing bayi. Kriteria yang harus dipergunakan

untuk memulai fototerapi. Oleh karena fototerapi membutuhkan waktu 12-24 jam, sebelum

memperlihatkan panjang yang dapat diukur, maka tindakan ini harus dimulai pada kadar

bilirubin, kurang dari kadar yang diberikan. Penggunaan fototerapi sesuai dengan anjuran

dokter biasanya diberikan pada neonatus dengan kadar bilirubin tidak lebih dari 10 mg%.

1.      Penatalaksanaan umum

Penatalaksanaan ikterus secara umum menurut Surasmi (2003) antara lain yaitu :

a.       Memeriksa golongan darah Ibu (Rh, ABO) dan lain-lain pada waktu hamil

b.      Mencegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir, yang dapat

menimbulkan ikterus, infeksi dan dehidrasi.

c.       Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan

bayi baru lahir imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.

d.      Pengobatan terhadap faktor penyebab bila diketahui.

2.      Penatalaksanaan berdasarkan waktu timbulnya ikterus

Ikterus neonatorum dapat dicegah berdasarkan waktu timbulnya gejala dan diatasi

dengan penatalaksanaan di bawah ini

a.       Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama pemeriksaan yang dilakukan :

1)      Kadar bilirubin serum berkala

2)      Darah tepi lengkap

3)      Golongan darah ibu dan bayi diperiksa

4)      Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD biakan darah atau biopsy hepar bila perlu.

b.      Ikterus yang timbul 24-72 jam setelah lahir. Pemeriksaan yang perlu diperhatikan.

1)      Bila keadaan bayi baik dan peningkatan tidak cepat dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi .

2)      Periksa kadar bilirubin berkala.

3)      Pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya.

c.       Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama Ikterus yang timbul

pada akhir minggu pertama dan selanjutnya.

Pemeriksaan yang dilakukan :

1)      Pemeriksaan bilirubin direct dan indirect berkala

2)      Pemeriksaan darah tepi

3)      Pemeriksaan penyaring G6PD

4)      Biarkan darah, biopsy hepar bila ada indikasi

3.      Ragam Terapi

Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus segera

mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan

yang ada.

a)      Terapi Sinar (fototerapi)

Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah

kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat

dipecahkan dan menjadi mudah laurt dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati.

Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga

menimbulkan risiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari

sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12

buah dan disusun secara parallel. Dibagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy

glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.

Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh

pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kalamin harus ditutup dengan menggunakan kain

kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui,

pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian

retinanya, begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi

itu, seperti kemandulan.

b)     Terapi transfusi

Jika setelah menjalani fototerapi taka da perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat

hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfuse darah.

Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern

ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan

perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan motoric dan

bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi sudah teracuni

akan dibuang dan ditukar dengan darah lain. Proses tukar darah akan dilakukan bertahap.

Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang

menggembirakan, maka terapi transfuse bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu

dilakukan proses transfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman

penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski begitu,

terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.

c)      Terapi obat-obatan

Terapi lainya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat Phenobarbital atau luminal

untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya

indirect berubah jadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin

yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ

hati. Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika

sudah tampak perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihenntikan. Efek

sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI

sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu

peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, teapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk

menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil bisa ditangani (revel-

indonesia.com)

d)     Menyusui Bayi dengan ASI

Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu

bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi

yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya.

e)      Terapi Sinar Matahari

Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan

setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam

dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya,

seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan anatara jam 07.00 sampai 09.00 pagi. Inillah

waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Dibawah jam tujuh, sinar

ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam Sembilan kekuatannya sudah terlalu

tinggi sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke

matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi disekeliling, keadaan udara

harus bersih.

Caput succedaneum adalah edema kulit kepala anak yang terjadi karena tekanan dari

jalan lahir kepada kepala anak. Atau pembengkakan difus, kadang-kadang bersifat ekimotik

atau edematosa, pada jaringan lunak kulit kepala, yang mengenai bagian kepala terbawah,

yang terjadi pada kelahiran verteks. Karena tekanan ini vena tertutup, tekanan dalam vena

kapiler meninggi hingga cairan masuk ke dalam jaringan longgar dibawah lingkaran tekanan

dan pada tempat yang terendah. Dan merupakan benjolan yang difus kepala, dan melampaui

sutura garis tengah. (Obstetri fisiologi, UNPAD.1985)

Caput succedaneum ini ditemukan biasanya pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi

bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi oedema sebagai akibat pengeluaran

serum dari pembuluh darah. Caput succedaneum tidak memerlukan pengobatan khusus dan

biasanya menghilang setelah 2-5 hari.(Sarwono Prawiroharjo.2002)

Kejadian caput succedaneum pada bayi sendiri adalah benjolan pada kepala bayi akibat

tekanan uterus atau dinding vagina dan juga pada persalinan dengan tindakan vakum

ekstraksi.(Sarwono Prawiroharjo.2002)

Caput succedaneum adalah edema di kulit kepala pada bagian presentasi kepala. Dapat

mengenai area kepala secara luas, atau hanya sebesar telur itik, pembengkakan dapat

mencapai garis sutura dan edema ini secara bertahap diabsorpsi dan menghilang dlam 3 hari.

(Adele Pilliteri.2002)

2.1.2        Etiologi

Banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya caput succedaneum pada bayi baru

lahir(Obstetri fisiologi,UNPAD, 1985, hal 254), yaitu :

1. Persalinan lama

Dapat menyebabkan caput succedaneum karena terjadi tekanan pada jalan lahir yang terlalu

lama, menyebabkan pembuluh darah vena tertutup, tekanan dalam vena kapiler meninggi

hingga cairan masuk kedalam cairan longgar dibawah lingkaran tekanan dan pada tempat

yang terendah.

1. Persalinan dengan ekstraksi vakum

Pada bayi yang dilahirkan vakum yang cukup berat, sering terlihat adanya caput vakum

sebagai edema sirkulasi berbatas dengan sebesar alat penyedot vakum yang digunakan.

2.1.3        Patofisiologi

Kelainan ini timbul karena tekanan yang keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir

sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke

jaringan ekstra vaskuler. Benjolan caput ini berisi cairan serum dan sering bercampur dengan

sedikit darah. Benjolan dapat terjadi sebagai akibat bertumpang tindihnya tulang kepala di

daerah sutura pada suatu proses kelahiran sebagai salah satu upaya bayi untuk mengecilkan

lingkaran kepalanya agar dapat melalui jalan lahir. Umumnya moulage ini ditemukan pada

sutura sagitalis dan terlihat segera setelah bayi lahir. Moulage ini umumnya jelas terlihat pada

bayi premature dan akan hilang sendiri dalam satu sampai dua hari.

Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002, proses perjalanan penyakit

caput succedaneum adalah sebagi berikut :

1. Pembengkakan yang terjadi pada kasus caput succadeneum merupakan

pembengkakan difus jaringan otak, yang dapat melampaui sutura garis tengah.

2. Adanya edema dikepala terjadi akibat pembendungan sirkulasi kapiler dan limfe

disertai pengeluaran cairan tubuh. Benjolan biasanya ditemukan didaerah presentasi

lahir dan terletak periosteum hingga dapat melampaui sutura.

2.1.4        Manifestasi Klinis

Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan Anak (Richard E, Behrman.dkk.2000), tanda dan

gejala yang dapat ditemui pada anak dengan caput succedaneum adalah sebagi berikut :

1. Adanya edema dikepala

2. Pada perabaan teraba lembut dan lunak

3. Edema melampaui sela-sela tengkorak

4. Batas yang tidak jelas

5. Biasanya menghilang 2-3 hari tanpa pengobatan

2.1.5        Pemeriksaan Diagnostik

Sebenarnya dalam pemeriksaan caput succedaneum tidak perlu dilakukan pemeriksaan

diagnostik lebih lanjut melihat caput succedaneum sangat mudah untuk dikenali. Namun juga

sangat perlu untuk melakukan diagnosa banding dengan menggunakan foto rontgen (X-Ray)

terkait dengan penyerta caput succedaneum yaitu fraktur tengkorak, koagulopati dan

perdarahan intrakranial. (Meida.2009)

2.1.6        Penatalaksanaan

Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan Anak (Richard E, Behrman.dkk.2000),

Pembengkakan pada caput succedaneum dapat meluas menyeberangi garis tengah atau garis

sutura. Dan edema akan menghilang sendiri dalam beberapa hari. Pembengkakan dan

perubahan warna yang analog dan distorsi wajah dapat terlihat pada kelahiran dengan

presentasi wajah. Dan tidak diperlukan pengobatan yang spesifik, tetapi bila terdapat

ekimosis yang ektensif mungkin ada indikasi melakukan fisioterapi dini untuk

hiperbilirubinemia.

Moulase kepala dan tulang parietal yang tumpang tindih sering berhubungan dengan adanya

caput succedaneum dan semakin menjadi nyata setelah caput mulai mereda, kadang-kadang

caput hemoragik dapat mengakibatkan syok dan diperlukan transfusi darah.

Berikut adalah penatalaksanaan secara umum yang bisa diberikan pada anak dengan caput

succedaneum :

1. Bayi dengan caput succedaneum diberi ASI langsung dari ibu tanpa makanan

tambahan apapun, maka dari itu perlu diperhatikan penatalaksanaan pemberian ASI

yang adekuat dan teratur.

2. Bayi jangan sering diangkat karena dapat memperluas daerah edema kepala.

3. Atur posisi tidur bayi tanpa menggunakan bantal

4. Mencegah terjadinya infeksi dengan :

1)   Perawatan tali pusat

2)   Personal hygiene baik

1. Berikan penyuluhan pada orang tua tentang :

1)   Perawatan bayi sehari-hari, bayi dirawat seperti perawatan bayi normal.

2)   Keadaan trauma pada bayi , agar tidak usah khawatir karena benjolan akan menghilang 2-

3 hari.

1. Berikan lingkungan yang nyaman dan hangat pada bayi.

2. Awasi keadaan umum bayi.

2.2  Cephal Hematom

2.2.1        Pengertian

Cephal hematom adalah perdarahan subperiosteal akibat kerusakan jaringan poriesteum

karena tarikan atau tekanan jalan lahir. Dan tidak pernah melampaui batas sutura garis

tengah. Tulang tengkorak yang sering terkena adalah tulang temporal atau parietal ditemukan

pada 0,5 – 2 % dari kelahiran hidup. (Prawiraharjo,Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan)

Menurut Abdul Bari Saifudin, cephal hematoma adalah pendarahan sub periosteum akibat

keruasakan jaringan periosteum karena tarikan/tekanan jalan lahir dan tidak pernah

melampaui batas sutura garis tengah.(Ika Nugroho.2011)

Gambar 2. Cephal hematom

 

2.2.2        Klasifikasi

Menurut letak jaringan yang terkena ada 2 jenis yaitu(Ika Nugroho.2011) :

1. Subgaleal

Galea merupakan lapiasan aponeurotik yang melekat secara longgar pada sisi sebelah dalan

periosteum. Pembuluh-pembuluh darah vena di daerah ini dapat tercabik sehingga

mengakibatkan hematoma yang berisi sampai sebanyak 250 ml darah. Terjadi anemia dan

bisa menjadi shock. Hematoma tidak terbatas pada suatu daerah tertentu (Oxorn, Harry,

1996).

Penyebabnya adalah perdarahan yang letaknya antara aponeurosis epikranial dan periosteum.

Dapat terjadi setelah tindakan ekstraksi vakum. Jarang terjadi karena komplikasi tindakan

mengambil darah janin untuk pemeriksaan selama persalinan, risiko terjadinya terutama pada

bayi dengan gangguan hemostasis darah.

Sedangkan untuk kadang-kadang  sukar didiagnosis, karena terdapat edema menyeluruh pada

kulit kepala. Perdarahan biasanya lebih berat dibandingkan dengan perdarahan subperiosteal,

bahaya ikterus lebih besar.

1. Subperiosteal

Karena periosteum melekat pada tulang tengkorak di garis-garis sutura, maka hematoma

terbatas pada daerah yang dibatasi oleh sutura-sutura tersebut. Jumlah darah pada tipe

subperiosteal ini lebih sedikit dibandingkan pada tipe subgaleal, fraktur tengkorak bisa

menyertai.

Gambaran Klinis : kulit kepala membengkak. Biasanya tidak terdeteksi samapai hari ke 2

atau ke 3. Dapat lebih dari 1 tempat. Perdarahan dibatasi oleh garis sutura, biasanya di daerah

parietal.

Perjalanan Klinis dan Diagnosis : Pinggirnya biasanya mengalami klasifikasi. Bagian tengah

tetap lunak dan sedikit darah akan diserap oleh tubuh. Mirip fraktur depresi pada tengkorak.

Kadang-kadang menyebabkan ikterus neonatorum.

2.2.3        Etiologi

Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002, cephal hematom dapat terjadi

karena :

1. Persalinan lama

Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis ibu

terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan robeknya pembuluh darah.

1. Tarikan vakum atau cunam

Persalinan yang dibantu dengan vacum atau cunam yang kuat dapat menyebabakan

penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke jaringan

periosteum.

1. Kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.

2.2.4        Patofisiologi

Kadang-kadang, cephal hematom terjadi ketika pembuluh darah pecah selama persalinan atau

kelahiran yang menyebabkan perdarahan ke dalam daerah antara tulang dan periosteum.

Cedera ini terjadi paling sering pada wanita primipara dan sering berhubungan dengan

persalinan dengan forsep dan ekstraksi vacum. Tidak seperti kapu suksedaneum, cephal

hematoma berbatas tegas dan tidak melebar sampai batas tulang. Cephal hematom dapat

melibatkan salah satu atau kedua tulang parietal. Tulang oksipetal lebih jarang terlibat, dan

tulang frontal sangat jarang terkena. Pembengkakan biasanya minimal atau tidak ada saat

kelahiran dan bertambah ukuranya pada hari kedua atau ketiga. Kehilangan darah biasanya

tidak bermakna.(Wong,2008)

Menurut FK. UNPAD. 1985 dalam Obstetri Fisiologi Bandung, peroses perjalanan penyakit

cephal hematom adalah :

1. Cephal hematom terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang

kepala ke jaringan poriosteum. Robeknya pembuluh darah ini dapat terjadi pada

persalinan lama. Akibat pembuluh darah ini timbul timbunan darah di daerah sub

periosteal yang dari luar terlihat benjolan.

2. Bagian kepala yang hematoma bisanya berwarna merah akibat adanya penumpukan

daerah yang perdarahan subperiosteum.

2.2.5        Manifestasi Klinis

Berikut ini adalah tanda-tanda dan gejala Cephal hematom.(Menurut Prawiraharjo,

Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan):

1. Adanya fluktuasi

2. Adanya benjolan, biasanya baru tampak jelas setelah 2 jam setelah bayi lahir .

3. Adanya cephal hematom timbul di daerah tulang parietal. Berupa benjolan timbunan

kalsium dan sisa jaringan fibrosa yang masih teraba. Sebagian benjolan keras sampai

umur 1-2 tahun.

2.2.6        Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan X-Ray tengkorak dilakukan bila dicurigai adanya fraktur (mendekati hampir 5%

dari seluruh cephal hematom). Dan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai kadar bilirubin,

hematokrit, dan hemoglobin.(Alpers, ann.2006)

2.2.7        Penatalaksanaan

Tidak diperlukan penanganan untuk cephal hematom tanpa komplikasi. kebanyakan  lesi

diabsorbsi dalam 2 minggu sampai 3 bulan. Lesi yang menyebabkan kehilangan darah hebat

ke daerah tersebut atau yang melibatkan fraktur tulang di bawahnya perlu evaluasi  lebih

lanjut. Hiperbilirubinemia dapat tejadi selama resolusi hematoma ini. Infeksi lokal dapat

terjadi dan harus dicurigai bila terjadi pembengkakan mendadak yang bertambah besar.

(Wong.2008)

Menurut Ida Bagus Gde Manuaba 1998, cephal hematoma umumnya tidak memerlukan

perawatan khusus. Biasanya akan mengalami resolusi khusus sendiri dalam 2-8 minggu

tergantung dari besar kecilnya benjolan. Namun apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini

akan agak lama menghilang (1-3 bulan) dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :

1. Menjaga kebersihan luka.

2. Tidak boleh melakukan massase luka/benjolan cephal hematoma.

3. Pemberian vitamin K.

4. Bayi dengan cephal hematoma tidak boleh langsung disusui oleh ibunya karena

pergerakan dapat mengganggu pembuluh darah yang mulai pulih.

5. Pemantauan bilirubinia, hematokrit, dan hemoglobin.

6. Aspirasi darah dengan jarum suntik tidak diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam : Principles of

Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore : McGraw-Hill,

1989. 1091-1099.

2. Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (E R C P) diagnostik

dan terapeutik pada Obstruksi Biller. Http://www.kalbe.co.id.

3. Anonim. Ikterus. Http://ilmukedokteran.net.

4. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov.

5. Anonim. Gallensteine. Http://www.internisten-im-netz.de.

6. Campbell FC. Jaundice. Http://www.qub.ac.uk.

7. Medline Plus. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP).

Http://www.nlm.nih.gov.

8. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI. 2006. 422-425.

9. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga Medical Series,

2006.

10. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,

Hauser SL, Jameson JL. Harrison‟s Principles of Internal Medicine Vol.1.16th ed.

USA, Mc GrawHill, 2005.p.240