Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)
-
Upload
jajang-nurzaman -
Category
Documents
-
view
43 -
download
0
description
Transcript of Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)
Membuat dan Mengembangan Bioinsektisida Cair untuk Mengendalikan Trips tabaci (Coleoptera: Aphididae) pada cabai
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, dimana kebanyakan
penduduknya memiliki pekerjaan sebagai petani. Petani di Indonesia akan
memproduksi berbagai macam tanaman, baik itu tanaman hortikultura, tanaman
pangan maupun tanaman perkebunan. Komoditas hortikulutura yang cukup
banyak ditanam di Indonesia adalah tanaman cabai. Cabai (Capsicum annuum
Linn.) di Indonesia merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Tanaman cabai telah diusahakan secara komersial baik dalam skala besar maupun
kecil (Winarsih & Syafrudin 2001).
Selain kendala tata air dan cara budidaya tanaman cabai di daerah rawa
lebak, rendahnya produktivitas cabai juga diakibatkan karena gangguan hama dan
penyakit (Winarsih & Syafrudin 2001). Serangan hama dan penyakit tersebut
dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah. Hal ini merupakan faktor
pembatas dalam pengusahaan tanaman cabai, bahkan serangan hama dan penyakit
itu dapat menggagalkan panen dan menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Salah satu hama yang sering ditemukan menyerang tanaman cabai adalah
Thrips sp.. Selain menjadi hama pada tanaman cabai, hama ini seringkali
berperan sebagai pemakan tanaman, bunga, daun ranting dan tunas seperti di
berbagai tanaman seperti bawang, kacang tanah, kedelai, tembakau, dan lain-lain.
1
Thrips sp. dapat juga berperan sebagai vektor penyakit. Penyakit yang ditularkan
oleh Thrips sp. adalah TSWV (Tomato Spotted Wilt Virus). Gejala serangan
yang ditimbulkan sering membuat daun menjadi menggulung atau melipat,
sehingga daun akan berwarna kuning karena tidak bisa melakukan fotosintesis.
Apabila tidak ada inang utama, maka akan Thrips sp dapat ditemukan di pohon
beringin atau pohon tanjung (Purwato, 2007). Menurut Maryam dan Djatnika
(1995) awal pembentukan bunga adalah masa paling kritis terjadinya infestasi
hama. Kehilangan hasil tanaman cabai oleh trips pada musim kemarau mencapai
40-55% (Prabaningrum dan Moekasan 2007).
Pengendalian yang sering dilakukan oleh para petani adalah dengan
mengaplikasikan pestisida dengan berbagai dosis, merk dan formulasi. Namun
cara ini sangat berbahaya tidak hanya bagi lingkungan tetapi berbahaya terhadap
organisme bukan sasaran seperti parasitoid dan predator yang berada di ekosistem
tersebut. Pemakainan pestisida yang tidak teratur juga menyebabkan terjadinya
resistensi hama yang dikendalikan sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi
(peledakan hama ke-dua) dan bermunculan strain-strain baru dari hama yang
dikendalikan (Tang et al 2001). Menurut Purnomo (2010) pada beberapa kasus
terbukti bahwa aplikasi pestisida ternyata malah menjadikan probelem organisme
pengganggu menjadi lebih besar. Kenyataannya, tidak semua serangga pada
pertanaman menyebabkan kerusakan, bahkan ada serangga yang justru merupakan
pemangsa organisme pengganggu itu. Pestisida juga membunuh musuh alami,
tanpa adanya musuh alami maka serangga hama yang survive dari penyemprotan
2
pestisida akan dapat berkembang lebih cepat dan populasinya lebih tinggi
dibandingkan saat belum disemprot.
Pestisida juga menghasilkan zat beracun yang terakumulasi pada produk
pertanian tersebut akan menimbulkan masalah baru jika di konsumsi oleh manusia
yaitu menyebabkan berbagai macam penyakit pada orang yang
mengkonsumsinya. Sehingga diperlukan altenatif pengendalan lain untuk
menggantikan pengendalian dengan menggunakan pestisida mengingat begitu
besar bahaya yang di timbulkannya (Tang et al 2001).
Pengendalian hayati adalah salah satu alternatif pengendalian hama yang
lebih baik dan aman bagi lingkungan. Berbagai jenis musuh alami yang dapat
digunakan dalam pengendalian hayati diantaranya parasitoid, serangga predator,
dan patogen. Pemanfaatan musuh alami dari kutudaun merupakan alternatif
pengendalian yang banyak diteliti dan dikembangkan saat ini misalnya parasitoid,
predator dan jamur entomopatogen (Oka 1995).
. Jamur entomopatogen yang telah diketahui sebagai agens hayati adalah
Beauveria bassiana dan Metarhizium sp. Beberapa jenis serangga hama yang
dapat diinfeksi oleh jamur entomopatogen antara lain dari ordo Lepidoptera
(Herlinda et al. 2005a dan 2005b), Hemiptera (Herlinda et al. 2006), Coleoptera,
Homoptera, dan Isoptera (Freimosser et al. 2003).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa B. bassiana dapat
menekan perkembangan populasi thrips serta menekan kerusakan pada tanaman
krisan khususnya pada bagian bunga (Sihombing et al. 2007). Plate (1976) dalam
Soetopo dan Indrayani (2007) melaporkan bahwa trips merupakan salah satu
3
serangga inang utama B. bassiana. Hasil penelitian lain mengungkapkan B.
bassiana pada kepadatan 106 konidia /ml mampu menimbulkan mortalitas yang
tinggi (95,3%) pada penggerek buah kopi Hypothenemus hampei dan ulat kenari
(72%) 21 hari setelah aplikasi (Haraprasad et al. 2001, Sjafaruddin dan Rahmatia
1999). Aplikasi B. bassiana dengan kepadatan 109 konidia/ml pada tanaman
mawar secara preventif menurunkan serangan trips hingga 100% (Dikdo 2007,
komunikasi pribadi).
Jamur B. bassiana merupakan jamur yang cukup dikenal sebagai
entomopatogen yang cukup baik. Jamur ini juga dikenal sebagai white
muscardine karena menghasilkan konidia yang berwarna putih. Jamur ini
menghasilkan toksin yang dinamakan beauvericin. Toksin ini dapat menyebabkan
gangguan fungsi hemolimfa dan nucleus serangga, sehingga mengakibatkan
pembengakakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi (Ufresti
2010).
Jamur Metarhizium sp. dikenal sebagai green muscardine karena
menghasilkan konidia berwarna hijau. Jamur ini mengeluarkan toksin untuk
membunuh serangga. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga
habis digunakan oleh jamur, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras
seperti mumi (Ufresti 2010).
Kedua jamur tersebut merupakan jamur yang dapat dikembangkan dalam
media buatan. Pada penelitian kali ini kedua jamur tersenut akan ditumbuhkan
terlebih dahulu pada media GYA (Glucose Yeast Agar) dengan penambahan
tepung jangkrik. Menurut Herlinda et al (2006b) pengayaan media dengan
4
penambahan tepung jangkrik yang kaya akan kandungan khitin pada media GYA
dapat meningkatkan kerapatan spora. Kemudian jamur akan dibiakkan lagi di
media GYB (Glucose Yeast Broth) yang juga ditambahkan dengan tepung
jangkrik. Sebelum mengaplikasikan pada serangga uji, biakkan jamur di media
GYB akan dicampur terlebih dahulu dengan EKKU (Ekstrak Kompos Kulit
Udang). EKKU merupakan kompos yang kaya kandungan khitin. EKKU
tersebut digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan formulasi
bioinsektisida.
Berdasarkan uraian diatas maka akan dilakukan penelitian mengenai
pengembangan teknik biopestisida dan media pembawanya terhadap mortalitas
Thrips sp. (Tysanoptera: Thripidae) pada tanaman cabai.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh sentrifugasi pada efektivitas bioinsektisida terhadap
mortalitas dan LT50 Thrips sp. ?
2. Bagaimana pengaruh sterilisasi EKKU pada efektivitas bioinsektisida
terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp. ?
C. Tujuan
1. Menganalisa pengaruh sentrifugasi pada efektivitas bioinsektisida
terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.,
2. Menganalisa pengaruh sterilisasi EKKU pada efektivitas bioinsektisida
terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.
5
D. Hipotesis
1. Diduga sentrifugasi memberikan pengaruh pada efektifitas bioinsektisida
terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.,
2. Diduga sterilisasi EKKU memberikan pengaruh pada efektifitas
bioinsektisida terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan diperoleh informasi
teknologi pengendalian Thrips sp dengan memanfaatkan jamur jamur B. bassiana
dam jamur Metarhizium sp. Sehingga dapat mendukung strategi penerapan
pengendalian hama yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Cabai (Capsicum annuum Linn.)
1. Sistematika
Klasifikasi tanaman cabai menurut Tarigan (2003), adalah sebagai
berikut:
divisi : Spermatophyta
kelas : Dicotyledoneae
ordo : Solanales
famili : Solanaceae
genus : Capsicum
spesies : Capsicum annuum Linn.
2. Botani
Tanaman cabai merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam
famili Solanaceae. Tinggi tanaman cabai dapat mencapai 10 cm dengan lebar
tajuk tanaman mencapai 90 cm. Daun tanaman cabai umumnya berwarna hijau
muda sampai gelap, perbedaan warna tersebut tergantung varietasnya. Panjang
daun tanaman cabai berkisar antara 4-5 cm. Panjang tangkai daun berkisar antar
2-5 cm. Daun tanaman cabai berbentuk bulat telur, lonjong dan oval dengan
ujung meruncing tergantung varietasnya (Nawangsih et al. 2003).
7
Bunga tanaman cabai berbentuk seperti terompet dan merupakan bunga
lengkap yang terdiri dari kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik.
Bunga tanaman cabai juga berkelamin dua karena benang sari dan putik terdapat
dalam satu tangkai dan pada umumnya bunga cabai keluar dari ketiak daun
(Bernardinus 2003).
Permukaan buah rata, licin dan yang telah masak berwarna merah
mengkilat. Panjang buah cabai berkisar antara 9-15 cm, buah terletak di
percabangan pangkal ketiak. Jumlah buah cabai dalam satu pohon berkisar antara
100-200 buah (Nawaningsih et al. 2003). Tanaman cabai mempunyai akar
tunggang yang terdiri atas akar utama dan akar lateral. Akar lateral mengeluarkan
serabut dan mampu menembus kedalaman tanah sampai 45 cm (Bernardinus
2003).
3. Syarat Tumbuh dan Budidaya
Cabai umumnya dapat ditanam di daerah dataran rendah sampai dataran
tinggi berkisar 2000 m dpl. Temperatur yang baik untuk pertanaman cabai
berkisar antara 24-27 oC dan kelembaban udara nisbi sekitar 80%. Tanaman cabai
tumbuh baik di tanah lempung berpasir dan banyak mengandung bahan organik.
Kemasaman atau pH yang ideal untuk tanaman cabai berkisar antara 5,5-6,8.
Pertumbuhan tanaman cabai memerlukan sinar matahari penuh. Lahan yang
ternaungi dan sedikit mendapat sinar matahari akan menghambat proses
fotosintesis tanaman cabai. Pemeliharaan tanaman cabai meliputi penyulaman,
8
pembuangan tunas air, pemupukan, pengairan, penyiangan dan pengendalian
hama dan penyakit tanaman (Tarigan 2003).
B. Thrips sp.
1. Sistematika
Menurut Gaston & Mound (1993), klasifikasi Thrips sp. adalah sebagai
berikut:
filum : Arthropoda
kelas : Insecta
ordo : Thysanoptera
famili : Thripidae
genus : Thrips
spesies : Thrips sp
2. Morfologi dan Biologi
Sayap berumbai-rumbai dengan rambut yang panjang. Hama ini ada yang
bersayap dan ada yang tidak. Apabila ada, maka akan berjumlah 4 buah, sangat
panjang dan sempit dengan atau tanpa vena. Tubuh kecil dan ramping, antenna
pendek 4-9 ruas. Mulutnya memarut dan menghisap. Dewasa berwarna hitam,
kadang-kadang dengan bagian yang berwarna merah. Nimpha berwarna pucat
putih, kuning atau merah (Siwi, 2006).
9
Dewasa maupun nimpha dapat melompat, tetapi bukan sebagai penerbang
yang baik karena tubuhnya sangat ringan sehingga angin menyebarkannya ke
tempat yang jauh. Nimpha muda aktif. Berpupa di tanah, tanaman atau mungkin
berkembang dalam kokon kecil. Selama musim hujan, maka populasinya akan
turun (Siwi, 2006).
3. Gejala serangan
Nimfa dan imago Thrips sp. dapat ditemukan baik pada bunga atau buah
cabai. Hama ini bisa ditemukan disekitar ujung bunga bakal buah cabai (Fauziah
1984) atau dibagian bawah permukaan daun (Fauziah 1991). Baik nimfa maupun
dewasa merusak epidermis pucuk tanaman, daun muda, bunga ataupun buah (Siwi
2006).
Sel – sel yang dihisap oleh hama ini akan menjadi kosong secara diffusi
diisi oleh udara di luar, sehingga daun menjadi seperti berkilap akibat udara
dibawah epidermis itu. Sesudah beberapa hari tempat tersebut menjadi coklat
karena jaringan mati. Setelah beberapa waktu, noda keperakan tersebut berubah
menjadi cokelat tembaga daun-daun mengeriting keatas.
Pinggiran daun yang terserang awalnya berwarna coklat kemudian
berubah menjadi keperak-perakan dan ujung daun melipat ke arah dalam
(Prabaningrum dan Moekasan 2008, Deligeorgidis et al. 2006). Menurut Maryam
dan Djatnika (1995) awal pembentukan bunga adalah masa paling kritis terjadinya
infestasi hama. Daun – daun ini dihamburi dengan titik – titik hitam, yang
merupakan kotoran dari trips. Juga ada trips yang merangsang tanaman untuk
membentuk puru (Purwato 2007). Serangan berat dari Thrips sp. dapat
10
menyebabkan tanaman menjadi kering, gugur daun kemudian tanaman cabai akan
mati (Fauziah 1991).
C. Jamur Beauveria bassiana (Balls) Vuill
1. Sistematika
Sistematika jamur B. bassiana adalah sebagai berikut :
divisio : Mycota
sub Divisio : Ascomycotina
kelas : Hypomycetes
ordo : Hypocreales
famili : Clavicipitae
genus : Beauveria
spesies : B. bassiana (Balls) Vuill
2. Morfologi dan Daur Hidup
Jamur B. bassiana merupakan jamur tular tanah atau soil born patogen.
Menurut sejarahnya, B. bassiana merupakan jamur entomopatogen pertama yang
mampu menyerang atau menginfeksi serangga hama. Setelah dilakukan penelitian
lebih lanjut, ternyata jamur ini mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai
agensia hayati dalam mengendalikan berbagai macam spesies serangga hama dari
berbagai macam ordo. Selain itu, jamur ini dapat di buat sebagai bahan dasar
biopestisida dalam formulasi padat ataupun cair. Herlinda et al (2008a dan 2008b)
telah berhasil menciptakan biopestisida formulasi cair dengan bahan aktif jamur
11
entomopatogen B. bassiana dan terbukti efektif dalam mengendalikan hama
utama tanaman padi dan serangga-serangga paurometabola lainnya.
Jamur B. bassiana mampu membentuk koloni dan memproduksi spora
ataupun hifa pada serangga inangnya ataupun pada media buatan. Contoh media
buatan yang disukai oleh jamur ini adalah media Glucose Yeast Agar (GYA).
Pada media perbanyakan, jamur cepat berkembang pada suhu 23 0C tentunya
dengan suplai energi dan makanan yang di butuhkan untuk pertumbuhan koloni
atau pertumbuhan spora tersedia dengan cukup atau melimpah. Permukaan
konidia B. bassiana bertekstur halus dan berbentuk ellips serta melebar ke
samping. Konidiofornya bercabang-cabang dan pada ujung-ujung cabangnya
terdapat banyak konidia dengan lebar 3-6 µm x 3-5 µm (Samson et al 1998).
Jamur B. bassiana mampu memproduksi toksin yaitu Beauvericin dan
Bassiacridin yang mampu mematikan serangga hama. Setelah 20 jam terjadinya
penetrasi, tubuh serangga yang terinfeksi jamur entomopatogen ini akan di
tumbuhi oleh miselia jamur berwarna keputih-putihan yang di kenal dengan istilah
white muscardine. Jamur B. bassiana ini di laporkan juga mampu membentuk
klamidospora dan blatospora pada kondisi tertentu. Di laporkan juga kalau jamur
ini mampu menginfeksi serangga pada berbagai macam ordo antara lain Plutella
xylostella (Herlinda et al 2006a), Eurydema pulchrum (Herlinda et al 2006b),
Nilaparvata lugens (Herlinda et al 2008a), Helicoverpa armigera (Suharto et al
1998), Leptocorisa arotorus (Herlinda et al 2008b) dan tungau (Deciyanto dan
Indrayani 2009).
12
Menurut Salisiakova (1996) dalam Septariani (2010), B. bassiana
menginfeksi serangga hama melalui integumen serangga tersebut dengan
mekanisme sebagai berikut:
a. Proses inokulasi, merupakan proses awal menempelnya spora pada tubuh
serangga inangnya. Pada kondisi ini larva tetap aktif bergerak dan masih mau
makan.
b. Proses penetrasi, merupakan proses menembus integument dengan membentuk
tabung berkecambah. Proses ini dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban yang
tinggi, sehingga perlu air untuk menciptakan kelembaban yang tinggi.
Mekanisme penetrasi ini dibantu oleh enzim proteolitik, lipolitik, amylase dan
khitinase yang dapat merusak kutikula larva dan menghancurkan toksin yang
dibentuk serangga sebagai struktur pertahanannya
c. Proses infeksi, merupakan proses patogen melakukan kontak dengan sel atau
jaringan inangnya dan mendapatkan makanan dari inangnya.
d. Proses invasi merupakan proses dimana jamur membentuk blastospora, jamur
telah menyebar dan menyerang di dalam tubuh serangga membentuk hifa
skunder dan menyerang jaringan lainnya.
e. Proses reproduksi dan penyebaran, terjadinya setelah proses infeksi pada tubuh
larva dan menyebabkan terserangnya hymolimph, akibatnya larva akan mati
dan membentuk mumi. Setelah larva mati jamur mulai menyerang jaringan
lain dan akhirnya membentuk miselia yang berwarna putih dan akhirnya tubuh
larva mengering.
13
D. Jamur Entomopatogen Metarhizium sp.
1. Sistematika
Menurut (Pendlan dan Boucias 1998), jamur Metarhizium sp.
diklasifikasikan sebagai berikut:
divisi : Mycota
kelas : Deuteromycetes
ordo : Moniliales
famili : Miniliaceae
genus : Metarhizium
spesies : Metarhizium sp.
2. Morfologi dan Biologi
Jamur Metarhizium sp. adalah salah satu jamur entomopatogen yang
termasuk dalam divisi Deuteromycetes. Jamur ini biasa disebut dengan green
muscardin fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Lee dan Hou 1989). Pada
awal pertumbuhan, koloni jamur berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau
gelap dengan bertambahnya umur. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada
beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung dan beras (Prayogo
dan Tengkano 2002a). Jamur ini memiliki miselium bersekat, diameter 1,98-2,97
µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan
14
konidia. Konidia bersel satu, hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94
x 3,96 µm.
Temperatur optimum untuk pertumbuhan Metarhizium sp. berkisar 22-27
ºC (Roddam dan Rath 1997). Menurut Magalhaes et al. (2005), jamur tersebut
toleran terhadap temperatur tinggi yang merupakan karakteristik penting yang
dimiliki jamur ini sebagai pathogen serangga. Konidia jamur akan berkecambah
dengan baik dan patogenesitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi
hingga 100% dan patogenesitas jamur Metarhizium sp. akan menurun apabila
kelembaban di bawah 86%.
Jamur ini mengeluarkan enam senyawa enzim yaitu lipase, khitinase,
amylase, proteinase, pospatase dan esterase. Serangga juga mengembangkan
sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan
membentuk granuloma (Prayogo et al. 2005). Mekanisme penetrasi Metarhizium
sp. pada kutikula serangga. Menurut (Thomas 2007) dapat digolongkan menjadi
empat tahapan.
1. Tahap pertama yaitu kontak antara propagul jamur dengan tubuh serangga
2. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul jamur
pada integumen serangga
3. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Jamur dalam melakukan penetrasi
menembus integumen dan membentuk tabung kecambah (appresorium).
Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh morfologi integumen. Penembusan
dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan
toksin.
15
4. Tahap keempat yaitu terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke
dalam haemolymph dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan
lainnya (Thomas 2007). Umumnya semua jaringan dan cairan tubuh
seranggga habis digunakan oleh jamur, sehingga serangga mati dengan tubuh
yang mengeras.
Serangga juga mampu mengembangkan system pertahanan diri dengan
cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Pada waktu
serangga mati, fase perkembangan saprofit jamur dimulai dengan penyerangan
jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umunya
semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh jamur, sehingga
serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi.
Pertumbuhan jamur diikuti dengan pengeluaran pigen atau toksin yang
dapat melindungi serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu
jamur tumbuh ke luar menembus integument serangga. Apabila keadaan kurang
mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung didalam jasad serangga
tanpa keluar menembus integument. Dalam hal ini jamur membentuk struktur
khusus untuk dapat bertahan yaitu arthrospora (Ferron 1985).
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan keefektifan Metarhizium
sp.dalam mengendalikan hama yaitu:
1. Media Sporulasi
Media yang dipakai untuk menumbuhkan cendawan entomopatogen sangat
menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan.
Jumlah konidia akan menentukan keefektifan cendawan entomopatogen dalam
16
mengendalikan serangga. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1%
menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih
tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo & Tengkano 2004). Cendawan
entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di
samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan
virulensi cendawan entomopatogen. Sporulasi M. anisopliae dipengaruhi oleh
kandungan nutrisi dari media tumbuh yang digunakan. Media tumbuh yang
mengandung komponen nitrogen dari unsur organik paling banyak digunakan
untuk menumbuhkan M. anisopliae. Media sebagai bahan pembawa (bearer)
spora seperti agar dapat menyediakan hara yang cukup dan sangat dibutuhkan
untuk pembentukan konidia cendawan entomopatogen (Kardin & Priyatno 1996).
Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari
stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integument
serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan
keberhasilan cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya. Faktor lingkungan
(sinar matahari, kelembaban, dan temperatur) sangat menentukan keberhasilan
proses infeksi di samping faktor ganti kulit (moulting) dari serangga (Luz et al.
1998).
2. Frekuensi Aplikasi
Mortalitas hama juga sangat ditentukan oleh frekuensi aplikasi M.
anisopliae (Prayogo & Tengkano, 2004). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa
aplikasi cendawan entomopatogen perlu dilakukan lebih dari satu kali, apalagi bila
serangga hama mempunyai siklus hidup yang terdiri atas beberapa stadia instar
17
seperti S. litura. Aplikasi berulang diperlukan pula untuk mengantisipasi faktor
lingkungan yang kurang mendukung sehingga tingkat keberhasilannya rendah.
3. Tempat Penyimpanan
Ruang penyimpanan biakan cendawan entomopatogen akan menentukan
viabilitas cendawan. Viabilitas konidia cendawan entomopatogen dipengaruhi
oleh suhu, kelembapan, pH, radiasi sinar matahari, dan kandungan nutrisi bahan
pembawa. Prayogo dan Tengkano (2004), menyatakan bahwa ruangan dengan
temperatur 200 - 260 C cukup baik untuk menyimpan biakan cendawan. Suhu dan
kelembapan yang sesuai bagi cendawan akan mengurangi dehidrasi cendawan
saat disimpan. Dehidrasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan pada
struktur cendawan khususnya konidia, sehingga banyak konidia yang infektif
sebelum melakukan proses infeksi pada serangga inang.
4. Umur Biakan
Umur biakan M. anisopliae sangat mempengaruhi virulensinya pada larva S.
litura. Biakan cendawan berumur 1 bulan paling efektif mengendalikan S. litura.
Pada biakan berumur 2 atau 3 bulan, nutrisi dalam media banyak digunakan
untuk memproduksi konidia sehingga cendawan kehabisan cadangan nutrisi.
Akibatnya konidia cendawan banyak yang membentuk struktur khusus yaitu
arthrospora untuk menghindari lingkungan yang tidak sesuai (Ferron, 1985).
Beberapa organ khusus tidak efektif lagi bila digunakan sebagai organ infektif
terhadap hama sasaran. Luz et al. (1998) melaporkan bahwa kualitas dan
kuantitas nutrisi dari media sangat mempengaruhi dari virulensi cendawan
entomopatogen. Selanjutnya Pendland dan Bouncis (1998) menyatakan bahwa
18
di samping kualitas dan kuantitas nutrisi, komponen substrat pada integumen
juga berpengaruh terhadap proses infeksi.
III. PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Entomologi Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya di
Inderalaya. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2011 hingga
selesai.
B. Metode dan Rancangan Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK),
studi literatur dan observasi (pengamatan), dengan 6 perlakuan 5 ulangan dan 3
kontrol.
Perlakuan :
1. BEA » EKKU steril (400ml) + B. bassiana (300 ml GYB) + glukosa
(300gr)
2. MEA » EKKU steril (400ml) + Metarhizium sp. (300 ml GYB) +
glukosa (300gr)
3. BEnA » EKKU non steril (400ml) + B. bassiana (300 ml GYB) +
glukosa (300gr)
4. MEnA » EKKU non steril (400ml) + Metarhizium sp. (300 ml GYB) +
glukosa (300gr)
5. BEAC » EKKU steril (400ml) + B. bassiana (300ml GYB) disentrifugasi
+ glukosa (300gr)
6. MEAC » EKKU steril (400ml) + Metarhizium sp. (300ml GYB)
disentrifugasi + glukosa (300gr)
19
7. BbAS » Isolat B. bassiana 106 + air steril
8. MtAS » Isolat Metarhizium sp. 106 + air steril
9. AIR » Air steril
C. Cara Kerja
1. Pemeliharaan Serangga Uji
Imago Thrips sp. dikumpulkan dari pertanaman cabai yang ada di berbagai
sentra produksi tanaman cabai di Sumatera Selatan, kemudian Thrips sp. tersebut
dibawa dan dipelihara dalam kurungan kasa (150 cm x 150 cm x 100 cm) yang
didalamnya telah dimasukkan tanaman cabai umur 2 bulan untuk pakan dan
tempat perkembangbiakan. Imago Thrips sp. sebanyak 30 ekor dipindahkan
dalam kurungan plastik (30 cmx 50 cm x 50 cm) yang berisi pakan baru (tanaman
cabai umur 4 minggu) dan dipelihara di laboratorium.
2. Persiapan Isolat
Persiapan 1. Isolat Padat
Satu isolat jamur B. bassiana dengan kode BPcMS (Beauveria bassiana
chalcites Muara Siban) dan isolat jamur Metarhizium sp. dengan kode MTmBb
(Metarhizium Tenebrio molitor Bukit Besar) akan digunakan untuk uji
patogenesitas isolat jamur entomopatogen pada nimfa dan imago A. gossypii.
Untuk reisolasi kedua jamur, digunakan media GYA (Glucose Yeast
Agar). Komposisi media tersebut terdiri dari gula 2.5 gr, agar 5 gr, ragi (yeast) 1
gr, tepung jangkrik sebanyak 1.3 gr dan aquadest sebanyak 250 ml. Semua bahan
20
tersebut dimasukkan kedalam Erlenmeyer berukuran 250 ml, lalu diaduk merata.
Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil kemudian plastik yang diikatkan
dengan karet. Erlenmeyer kemudian disterilisasi dengan cara dimasukkan
kedalam Autoclave selama 1 jam dengan tekanan 1 atm. Setelah proses sterilisasi
selesai media didinginkan dan letakkkan di dalam Laminar Air Flow untuk
disinari UV selama 15 menit. Sebelum penuangan media ke petri, terlebih dahulu
ditambahkan antibiotic amoxilin sebanyak 2 gr kedalam Erlenmeyer kemudian
dikocok merata. Selanjutnya media dituangkan kedalam petri berdiameter 9 cm
dengan ketebalan secukupnya.
Untuk penanaman jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. digunakan larva
T. molitor. Isolat jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. di inokulasikan pada
larva T. molitor. Larva yang telah ditetesi dengan suspensi B. Bassiana di pelihara
dalam cawan petri. Larva yang telah mati dipindahkan kedalam cawan petri yang
dialasi kertas saring yang ditetesi dengan air steril dengan tujuan mendapatkan
kelembaban yang sesuai sehingga jamur akan tumbuh pada permukaan tubuh
larva. Kemudian larva tadi dicelupkan kedalam alkohol 70% selama 2 menit dan
dicelupkan pada air steril selama 1 menit. Larva yang telah steril ditanam dalam
media GYA di inkubasikan pada suhu kamar selama 14 hari. Kemudian
dilakukan reisolasi kembali hingga jamur benar-benar murni.
Persiapan 2. Isolat Cair
Untuk reisolasi jamur digunakan biakkan jamur dari isolat padat yang
telah disiapkan diatas. Media yang digunakan adalah GYB (Glucose Yeast Broth)
21
+ tepung jangkrik. Media cair dibuat dengan komposisi gula 20gr/L, yeast (ragi)
20gr/L + tepung jangkrik 5gr/L. Semua bahan dimasukkan kedalam botol selai.
Setiap botol selai diisi dengan 100 ml media GYB. Botol selai kemudian ditutup
dengan alumunium foil dan dilapisi dengan plastik serta diikat dengan karet.
Kemudian botol selai tersebut di sterilkan dengan autoclave selama 1 jam dengan
tekanan 1 atm. Selanjutnya dilakukan reisolasi jamur B. bassiana dan jamur
Metarhizium sp. dari isolat padat. dengan cara diambil sebanyak 3 bor gabus
biakkan jamur kemudian ditanamkan kedalam media GYB dalam botol selai,
kemudian botol selai ditutup kembali dengan alumunium foil dan plastik. Setelah
itu, botol selai dishaker selama 7 x 24 jam kemudian diinkubasikan selama 7 x 24
jam.
3. Uji Patogenesitas
Penelitian 1. Pembuatan Bioinsektisida Cair dengan Sterilisasi EKKU
Pembuatan bioinsektisida cair ini menggunakan jamur entomopatogen B.
bassiana dan Metarhizium sp.. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan
mensterilisasi EKKU (Ekstrak Kompos Kulit Udang) sebanyak 400 ml didalam
autoclave selama 1 jam dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, EKKU
diinkubasikan selama 1 x 24 jam. Setelah itu dicampurkan 400 ml EKKU + 300
ml biakkan jamur dalam media GYB (3 botol selai) + 300 gr sukrosa dalam botol
simpanan ukuran 1 L. Semua bahan tersebut diaduk hingga sukrosa larut. Botol
simpanan tersebut disimpan selama 1 bulan, untuk kemudian diaplikasikan ke
serangga uji dan dilihat tingkat patogenesitasnya.
22
Penelitian 2. Pembuatan Bioinsektisida Cair Tanpa Sterilisasi EKKU
Pembuatan bioinsektisida cair ini menggunakan jamur entomopatogen B.
bassiana dan Metarhizium sp.. Biakkan murni jamur B. bassiana dan jamur
Metarhizium sp. didalam media GYB sebanyak 300 ml (3 botol selai) dicampur
dengan 400 ml EKKU yang tidak disterilisasi kemudian dicampur dengan 300 gr
sukrosa. Semua bahan tersebut diaduk hingga sukrosa larut. Botol simpanan
tersebut disimpan selama 1 bulan untuk kemudian diaplikasikan dan dilihat
tingkat patogenesitasnya.
Penelitian 3. Pembuatan Bionsektisida Cair dengan Sentrifugasi
Pembuatan bioinsektisida cair ini menggunakan jamur entomopatogen B.
bassiana dan Metarhizium sp.. Hasil biakkan murni jamur B. bassiana dan jamur
Metarhizium sp. dalam media GYB sebanyak 300 ml (3 botol selai) dicampur
dengan 400 ml EKKU yang telah disterilisasi kemudian ditambahkan sukrosa
sebanyak 300 gr. Semua bahan tersebut diaduk hingga sukrosa larut. Larutan
tersebut disimpan dalam botol simpanan ukuran 1 L kemudian disimpan selama 1
bulan. Setelah disimpan, larutan bioinsektisida tersebut diendapkan dengan
menggunakan centrifuge (kecepatan 10000 rpm) selama 10 menit. Setelah itu,
diambil larutan bioinsektisida yang cair (supranatant), kemudian diaplikasikan ke
serangga uji untuk melihat tingkat patogenesitasnya.
23
4. Aplikasi Bioinsektisida
Aplikasi Langsung
Percobaan dilakukan dengan menyemprotkan 1 ml bioinsektisida yang
telah diencerkan dengan 200 ml air. Bioinsektisida tersebut kemudian
disemprotkan ke tanaman cabai yang telah berisi 30 ekor Thrips sp.. Selanjutnya
tanaman cabai ditutup dengan sungkup plastik berbetuk silinder (diameter 10 cm
dan tinggi 30 cm). Dibagian permukaan tanah akan diberi tissue dengan harapan
nimfa Thrips sp. yang mati dan yang berubah menjadi pupa dapat diamati dengan
lebih mudah. Pengamatan akan dilakukan 2 jam sekali selama 12 hari menurut
siklus hidup Thrips sp.
Aplikasi tidak Langsung
Percobaan dilakukan dengan menyemprotkan 1 ml bioinsektisida yang
telah diencerkan dengan 200 ml air. Bioinsektisida tersebut kemudian
disemprotkan ke tanaman cabai yang belum diifestasikan Thrips sp. Tanaman
cabai tersebut akan didiamkan selama 24 jam. Kemudian diinfestasikan 30 ekor
Thrips sp. ke tanaman cabai tersebut. Selanjutnya tanaman cabai ditutup dengan
sungkup plastik berbetuk silinder (diameter 10 cm dan tinggi 30 cm). Dibagian
permukaan tanah akan diberi tissue dengan harapan nimfa Thrips sp. yang mati
24
dan yang berubah menjadi pupa dapat diamati dengan lebih mudah. Pengamatan
akan dilakukan 2 jam sekali selama 12 hari menurut siklus hidup Thrips sp.
E. Parameter Pengamatan
1. Persentase Mortalitas Thrips sp.
Persentase akan dihitung berdasarkan rumus Prijono (1989) sebagai
berikut :
% mortalitas= Jumlah serangga yang terinfeksi jamurJumlah serangga uji
×100 %
2. Lethal Time (LT50)
Perhitungan nilai LT50 didapat dengan menghitung jumlah nimfa dan pupa
yang mati setiap hari dianalisis dengan menggunakan program SAS,
menggunakan analisis probit. Semua perhitungan dibantu dengan bantuan
program SAS-STAT pada SAS 6.12.
F. Analisis Data
Data mortalitas Thrips sp. antar perlakuan akan disajikan dalam bentuk
tabulasi dan dianalisi secara deskriptif. Data waktu mortalitas Thrips sp. akan
25
digunakan untuk menghitung LT50 dengan menggunakan analisis probit dengan
bantuan program SAS-STAT pada SAS 6.12. Perbedaan data mortalitas nimfa
antar perlakuan dianalisis menggunakan ANOVA dan uji lanjut BNJ.
DAFTAR PUSTAKA
Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphid on thr world’s Crop: An Identification Guide. John Wiley & Sons, Chichster.
Bernardinus. 2003. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Deciyanto, S dan Indrayani, I.G.A.A.Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana, Potensi dan Prospeknya dalam Pengendalian Tungau. 2009.8 2:65–73
Ferron P. 1985. Fungal control. Comprehensive Insect Phisiology. Biochem. Pharmocal.(12):313-346.
Freimoser FM, Screen S, Bagga HG , Leger RJ. 2003. Expressed sequence tag (EST) analysis of two subspecies of Metarhizium anisopliae reveals of plethora of secreted proteins with potential activity in insect host. http://mic.sgmjournals.org/cgi/ontent/abstract/149/239.htm[20 [04 Januari 2011] Microbiology (149):239-247.
Gaston, K. J. & L. A. Mound. 1993. Taxonomy, hypothesis-testing and the biodiversity crisis. Proc. Royal Soc., London B251: 139-142 [Thrips Biology and Management NATO ASI Series]
Haraprasad N., S.R. Niranjana, H.S. Prakash, Hw. S. Shetty, and S. Wahab. 2001. Beauveria bassiana-A Potential Mycopesticide for the Efficient Control of Coffee Berry Borer, Hypothenemus hampei (Ferrari) in India. Bioc. Sci. Tech. 1(2):251-260.
Herlinda S, Sari EM, Pujiastuti Y, Suwandi, Nurnawati E, Riyatna A. 2005. Variasi Virulensi Strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Tehadap Larva Plutella xylostella (L) (Lepidoptera: Plutellidae) Agritrop 24(2): 52-57.
Herlinda S, Hamadiyah, Adam T, Thalib R. 2006. Toksisitas Isolat-isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Nimfa Euryderma pulchrum (Westw.) (Hemiptera: Pentatomidae). Agria 2(2): 70-78.
26
Herlinda, S. Mulyati, S.I dan Suwandi. Jamur Entomopatgen Berformulasi Cair Sebagai Bioinsektisida Untuk Mengendalikan Wereng Coklat. 2008a. Agritrop 27(3):199–126.
Herlinda, S. Mulyati, S.I dan Suwandi.Selection of Isolates of Entomopatogenic Fungi and the Bioficacy of Three Liquid Production Againts Leptocorisa aratorus Fabricus Nimphs.2008b.2.3.
Lee PC, Hou R. 1989. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the smaller brown planthopper, Laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol.(9):13-19. http:// www. entsoc. org. tw/ english/ journal/ 9vol/ nol/2.htm.20 [20 Desember 2010]
Luz C, Tigano MS, Silva IG, Cordeiro CMT, Aljanabi SM. 1998. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium anosopliae isolates to control Triatoma infentans. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz 93: 839 – 846 [serial online] http://memorias.ioc.fiocruz.br/936/3556.html.
Magalhaes BP, Rodrigues JCV, Boucias DG, Childers CC. 2005. Pathogenecity of Metarhizium anisopliae Var. acridium to the false spidermite Brevipalpus phoenicis (Acari: Tenuipalpidae). Florida Entomologist 88(2):195-198.
Miles PW. 1989. Specific responses and damage caused by Aphidoidea. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P (ed.) Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Amsterdam: Elsevier. hlm 23-47.
Nawangsih AA, Imdad PH, Wahyudi A. 2003. Cabai Hot Beauty. Penebar Swadaya. Jakarta.
Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Prabaningrum, L. dan T.K. Moekasan. 2007. Identifikasi Status Hama pada Budidaya Paprika (Capsicum annuum var. Grossum) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. J. Hort. 17(2):161-167.
Pendland JC, Boucias DG. 1998. Phagocytosis of lectin opsonized fungal cells and endocytosis of the ligand by insect Spodoptera exigua granular hemocytes : an ultrastructural and immunocytochemical study. CAB (Abstract) (6) 7 : 1 p.
Prayogo Y dan Tengkano W. 2004. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi Metarhizium anosopliae isolat Kendalpayak terhadap tingkat kematian
27
Purawato. 2007. Thrips [Online)](http://www.thripsimage-org.co.cc diakses pada tanggal 08 Februari 2011)
Purnomo H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Andi Yogyakarta : Yogyakarta
Rasminah S, Santoso S, Ratna Y. 1997. Kajian kualitas spora Beuvaria bassiana pada berbagai jenis media (PDA, jagung, alioshina) dan lama penyimpanan. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Vol(1) Palembang. Hal 1-726.
Sanogo S. 2003. Chile pepper and the threat of wilt diseases. Department of Entomology, Plant Pathologi and Weed Science. New Mexico State University. Las Cruses.
Salisnakova JLN. 1996. Laboratory evaluation Of Beauveria bassiana as a Pathogen some orde lepidoptera. J.Invert pathol. 29:361-366.
Sihombing, D., W. Handayati, E. Silvia, dan Y. Sulyo. 2007. Pengendalian Hama Thrips pada Tanaman Krisan Secara Hayati. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Hias. 6 Hlm. (tidak dipublikasikan).
Siwi, S. 2006. Kunci Determinasi Serangga. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terapadu. Kanisius. Yogyakarta
Tang YQ, Weathersbee AA, Mayer RT. 2001. Effect of Neem Seed Extract on Brown Citrus Aphis (Homoptera: Aphididae) and its Parasitoid Lysiphlebus testaceipes (Hymenoptera: Aphidiidae). Enviro Entomol. 31(1): 72-176
Tarigan. 2003. Bertanam Cabai Hibrida Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta
Thomas B Matthew. 2007. Infection by fungal entomopathogens. Available at:http://www.nature.com/info/copyright_statement.html. di akses tanggal 09 Januari 2011
Ufresti, A. 2010. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan[pdf].http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif [28 Desember 2010].
Winarsih S, Syafrudin. 2001. Pengaruh pemberian Trichoderma viridae dan sekam padi terhadap penyakit rebah kecambah di persemaian cabai. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 3(1):49-55.
28
29