Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

44
Membuat dan Mengembangan Bioinsektisida Cair untuk Mengendalikan Trips tabaci (Coleoptera: Aphididae) pada cabai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, dimana kebanyakan penduduknya memiliki pekerjaan sebagai petani. Petani di Indonesia akan memproduksi berbagai macam tanaman, baik itu tanaman hortikultura, tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Komoditas hortikulutura yang cukup banyak ditanam di Indonesia adalah tanaman cabai. Cabai (Capsicum annuum Linn.) di Indonesia merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman cabai telah diusahakan secara komersial baik dalam skala besar maupun kecil (Winarsih & Syafrudin 2001). Selain kendala tata air dan cara budidaya tanaman cabai di daerah rawa lebak, rendahnya produktivitas 1

description

,.;

Transcript of Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Page 1: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Membuat dan Mengembangan Bioinsektisida Cair untuk Mengendalikan Trips tabaci (Coleoptera: Aphididae) pada cabai

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, dimana kebanyakan

penduduknya memiliki pekerjaan sebagai petani. Petani di Indonesia akan

memproduksi berbagai macam tanaman, baik itu tanaman hortikultura, tanaman

pangan maupun tanaman perkebunan. Komoditas hortikulutura yang cukup

banyak ditanam di Indonesia adalah tanaman cabai. Cabai (Capsicum annuum

Linn.) di Indonesia merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Tanaman cabai telah diusahakan secara komersial baik dalam skala besar maupun

kecil (Winarsih & Syafrudin 2001).

Selain kendala tata air dan cara budidaya tanaman cabai di daerah rawa

lebak, rendahnya produktivitas cabai juga diakibatkan karena gangguan hama dan

penyakit (Winarsih & Syafrudin 2001). Serangan hama dan penyakit tersebut

dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah. Hal ini merupakan faktor

pembatas dalam pengusahaan tanaman cabai, bahkan serangan hama dan penyakit

itu dapat menggagalkan panen dan menimbulkan kerugian yang cukup besar.

Salah satu hama yang sering ditemukan menyerang tanaman cabai adalah

Thrips sp.. Selain menjadi hama pada tanaman cabai, hama ini seringkali

berperan sebagai pemakan tanaman, bunga, daun ranting dan tunas seperti di

berbagai tanaman seperti bawang, kacang tanah, kedelai, tembakau, dan lain-lain.

1

TaRa, 27/02/15,
Diganti dengan “Pemanfaatan”
TaRa, 27/02/15,
Pakai “C” kapital
TaRa, 27/02/15,
Penulisan salah, seharusnya “Thrips”
Page 2: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Thrips sp. dapat juga berperan sebagai vektor penyakit. Penyakit yang ditularkan

oleh Thrips sp. adalah TSWV (Tomato Spotted Wilt Virus). Gejala serangan

yang ditimbulkan sering membuat daun menjadi menggulung atau melipat,

sehingga daun akan berwarna kuning karena tidak bisa melakukan fotosintesis.

Apabila tidak ada inang utama, maka akan Thrips sp dapat ditemukan di pohon

beringin atau pohon tanjung (Purwato, 2007). Menurut Maryam dan Djatnika

(1995) awal pembentukan bunga adalah masa paling kritis terjadinya infestasi

hama. Kehilangan hasil tanaman cabai oleh trips pada musim kemarau mencapai

40-55% (Prabaningrum dan Moekasan 2007).

Pengendalian yang sering dilakukan oleh para petani adalah dengan

mengaplikasikan pestisida dengan berbagai dosis, merk dan formulasi. Namun

cara ini sangat berbahaya tidak hanya bagi lingkungan tetapi berbahaya terhadap

organisme bukan sasaran seperti parasitoid dan predator yang berada di ekosistem

tersebut. Pemakainan pestisida yang tidak teratur juga menyebabkan terjadinya

resistensi hama yang dikendalikan sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi

(peledakan hama ke-dua) dan bermunculan strain-strain baru dari hama yang

dikendalikan (Tang et al 2001). Menurut Purnomo (2010) pada beberapa kasus

terbukti bahwa aplikasi pestisida ternyata malah menjadikan probelem organisme

pengganggu menjadi lebih besar. Kenyataannya, tidak semua serangga pada

pertanaman menyebabkan kerusakan, bahkan ada serangga yang justru merupakan

pemangsa organisme pengganggu itu. Pestisida juga membunuh musuh alami,

tanpa adanya musuh alami maka serangga hama yang survive dari penyemprotan

2

Page 3: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

pestisida akan dapat berkembang lebih cepat dan populasinya lebih tinggi

dibandingkan saat belum disemprot.

Pestisida juga menghasilkan zat beracun yang terakumulasi pada produk

pertanian tersebut akan menimbulkan masalah baru jika di konsumsi oleh manusia

yaitu menyebabkan berbagai macam penyakit pada orang yang

mengkonsumsinya. Sehingga diperlukan altenatif pengendalan lain untuk

menggantikan pengendalian dengan menggunakan pestisida mengingat begitu

besar bahaya yang di timbulkannya (Tang et al 2001).

Pengendalian hayati adalah salah satu alternatif pengendalian hama yang

lebih baik dan aman bagi lingkungan. Berbagai jenis musuh alami yang dapat

digunakan dalam pengendalian hayati diantaranya parasitoid, serangga predator,

dan patogen. Pemanfaatan musuh alami dari kutudaun merupakan alternatif

pengendalian yang banyak diteliti dan dikembangkan saat ini misalnya parasitoid,

predator dan jamur entomopatogen (Oka 1995).

. Jamur entomopatogen yang telah diketahui sebagai agens hayati adalah

Beauveria bassiana dan Metarhizium sp. Beberapa jenis serangga hama yang

dapat diinfeksi oleh jamur entomopatogen antara lain dari ordo Lepidoptera

(Herlinda et al. 2005a dan 2005b), Hemiptera (Herlinda et al. 2006), Coleoptera,

Homoptera, dan Isoptera (Freimosser et al. 2003).

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa B. bassiana dapat

menekan perkembangan populasi thrips serta menekan kerusakan pada tanaman

krisan khususnya pada bagian bunga (Sihombing et al. 2007). Plate (1976) dalam

Soetopo dan Indrayani (2007) melaporkan bahwa trips merupakan salah satu

3

TaRa, 02/27/15,
Seharusnya Thrips
TaRa, 02/27/15,
Harusnya di spaasi
Page 4: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

serangga inang utama B. bassiana. Hasil penelitian lain mengungkapkan B.

bassiana pada kepadatan 106 konidia /ml mampu menimbulkan mortalitas yang

tinggi (95,3%) pada penggerek buah kopi Hypothenemus hampei dan ulat kenari

(72%) 21 hari setelah aplikasi (Haraprasad et al. 2001, Sjafaruddin dan Rahmatia

1999). Aplikasi B. bassiana dengan kepadatan 109 konidia/ml pada tanaman

mawar secara preventif menurunkan serangan trips hingga 100% (Dikdo 2007,

komunikasi pribadi).

Jamur B. bassiana merupakan jamur yang cukup dikenal sebagai

entomopatogen yang cukup baik. Jamur ini juga dikenal sebagai white

muscardine karena menghasilkan konidia yang berwarna putih. Jamur ini

menghasilkan toksin yang dinamakan beauvericin. Toksin ini dapat menyebabkan

gangguan fungsi hemolimfa dan nucleus serangga, sehingga mengakibatkan

pembengakakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi (Ufresti

2010).

Jamur Metarhizium sp. dikenal sebagai green muscardine karena

menghasilkan konidia berwarna hijau. Jamur ini mengeluarkan toksin untuk

membunuh serangga. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga

habis digunakan oleh jamur, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras

seperti mumi (Ufresti 2010).

Kedua jamur tersebut merupakan jamur yang dapat dikembangkan dalam

media buatan. Pada penelitian kali ini kedua jamur tersenut akan ditumbuhkan

terlebih dahulu pada media GYA (Glucose Yeast Agar) dengan penambahan

tepung jangkrik. Menurut Herlinda et al (2006b) pengayaan media dengan

4

TaRa, 02/27/15,
Harusnya “Tersebut”
Page 5: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

penambahan tepung jangkrik yang kaya akan kandungan khitin pada media GYA

dapat meningkatkan kerapatan spora. Kemudian jamur akan dibiakkan lagi di

media GYB (Glucose Yeast Broth) yang juga ditambahkan dengan tepung

jangkrik. Sebelum mengaplikasikan pada serangga uji, biakkan jamur di media

GYB akan dicampur terlebih dahulu dengan EKKU (Ekstrak Kompos Kulit

Udang). EKKU merupakan kompos yang kaya kandungan khitin. EKKU

tersebut digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan formulasi

bioinsektisida.

Berdasarkan uraian diatas maka akan dilakukan penelitian mengenai

pengembangan teknik biopestisida dan media pembawanya terhadap mortalitas

Thrips sp. (Tysanoptera: Thripidae) pada tanaman cabai.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh sentrifugasi pada efektivitas bioinsektisida terhadap

mortalitas dan LT50 Thrips sp. ?

2. Bagaimana pengaruh sterilisasi EKKU pada efektivitas bioinsektisida

terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp. ?

C. Tujuan

1. Menganalisa pengaruh sentrifugasi pada efektivitas bioinsektisida

terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.,

2. Menganalisa pengaruh sterilisasi EKKU pada efektivitas bioinsektisida

terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.

5

Page 6: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

D. Hipotesis

1. Diduga sentrifugasi memberikan pengaruh pada efektifitas bioinsektisida

terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.,

2. Diduga sterilisasi EKKU memberikan pengaruh pada efektifitas

bioinsektisida terhadap mortalitas dan LT50 Thrips sp.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan diperoleh informasi

teknologi pengendalian Thrips sp dengan memanfaatkan jamur jamur B. bassiana

dam jamur Metarhizium sp. Sehingga dapat mendukung strategi penerapan

pengendalian hama yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.

6

Page 7: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Cabai (Capsicum annuum Linn.)

1. Sistematika

Klasifikasi tanaman cabai menurut Tarigan (2003), adalah sebagai

berikut:

divisi : Spermatophyta

kelas : Dicotyledoneae

ordo : Solanales

famili : Solanaceae

genus : Capsicum

spesies : Capsicum annuum Linn.

2. Botani

Tanaman cabai merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam

famili Solanaceae. Tinggi tanaman cabai dapat mencapai 10 cm dengan lebar

tajuk tanaman mencapai 90 cm. Daun tanaman cabai umumnya berwarna hijau

muda sampai gelap, perbedaan warna tersebut tergantung varietasnya. Panjang

daun tanaman cabai berkisar antara 4-5 cm. Panjang tangkai daun berkisar antar

2-5 cm. Daun tanaman cabai berbentuk bulat telur, lonjong dan oval dengan

ujung meruncing tergantung varietasnya (Nawangsih et al. 2003).

7

Page 8: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Bunga tanaman cabai berbentuk seperti terompet dan merupakan bunga

lengkap yang terdiri dari kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik.

Bunga tanaman cabai juga berkelamin dua karena benang sari dan putik terdapat

dalam satu tangkai dan pada umumnya bunga cabai keluar dari ketiak daun

(Bernardinus 2003).

Permukaan buah rata, licin dan yang telah masak berwarna merah

mengkilat. Panjang buah cabai berkisar antara 9-15 cm, buah terletak di

percabangan pangkal ketiak. Jumlah buah cabai dalam satu pohon berkisar antara

100-200 buah (Nawaningsih et al. 2003). Tanaman cabai mempunyai akar

tunggang yang terdiri atas akar utama dan akar lateral. Akar lateral mengeluarkan

serabut dan mampu menembus kedalaman tanah sampai 45 cm (Bernardinus

2003).

3. Syarat Tumbuh dan Budidaya

Cabai umumnya dapat ditanam di daerah dataran rendah sampai dataran

tinggi berkisar 2000 m dpl. Temperatur yang baik untuk pertanaman cabai

berkisar antara 24-27 oC dan kelembaban udara nisbi sekitar 80%. Tanaman cabai

tumbuh baik di tanah lempung berpasir dan banyak mengandung bahan organik.

Kemasaman atau pH yang ideal untuk tanaman cabai berkisar antara 5,5-6,8.

Pertumbuhan tanaman cabai memerlukan sinar matahari penuh. Lahan yang

ternaungi dan sedikit mendapat sinar matahari akan menghambat proses

fotosintesis tanaman cabai. Pemeliharaan tanaman cabai meliputi penyulaman,

8

Page 9: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

pembuangan tunas air, pemupukan, pengairan, penyiangan dan pengendalian

hama dan penyakit tanaman (Tarigan 2003).

B. Thrips sp.

1. Sistematika

Menurut Gaston & Mound (1993), klasifikasi Thrips sp. adalah sebagai

berikut:

filum : Arthropoda

kelas : Insecta

ordo : Thysanoptera

famili : Thripidae

genus : Thrips

spesies : Thrips sp

2. Morfologi dan Biologi

Sayap berumbai-rumbai dengan rambut yang panjang. Hama ini ada yang

bersayap dan ada yang tidak. Apabila ada, maka akan berjumlah 4 buah, sangat

panjang dan sempit dengan atau tanpa vena. Tubuh kecil dan ramping, antenna

pendek 4-9 ruas. Mulutnya memarut dan menghisap. Dewasa berwarna hitam,

kadang-kadang dengan bagian yang berwarna merah. Nimpha berwarna pucat

putih, kuning atau merah (Siwi, 2006).

9

TaRa, 27/02/15,
Kata “dan” dihilangkan di ganti tanda koma
Page 10: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Dewasa maupun nimpha dapat melompat, tetapi bukan sebagai penerbang

yang baik karena tubuhnya sangat ringan sehingga angin menyebarkannya ke

tempat yang jauh. Nimpha muda aktif. Berpupa di tanah, tanaman atau mungkin

berkembang dalam kokon kecil. Selama musim hujan, maka populasinya akan

turun (Siwi, 2006).

3. Gejala serangan

Nimfa dan imago Thrips sp. dapat ditemukan baik pada bunga atau buah

cabai. Hama ini bisa ditemukan disekitar ujung bunga bakal buah cabai (Fauziah

1984) atau dibagian bawah permukaan daun (Fauziah 1991). Baik nimfa maupun

dewasa merusak epidermis pucuk tanaman, daun muda, bunga ataupun buah (Siwi

2006).

Sel – sel yang dihisap oleh hama ini akan menjadi kosong secara diffusi

diisi oleh udara di luar, sehingga daun menjadi seperti berkilap akibat udara

dibawah epidermis itu. Sesudah beberapa hari tempat tersebut menjadi coklat

karena jaringan mati. Setelah beberapa waktu, noda keperakan tersebut berubah

menjadi cokelat tembaga daun-daun mengeriting keatas.

Pinggiran daun yang terserang awalnya berwarna coklat kemudian

berubah menjadi keperak-perakan dan ujung daun melipat ke arah dalam

(Prabaningrum dan Moekasan 2008, Deligeorgidis et al. 2006). Menurut Maryam

dan Djatnika (1995) awal pembentukan bunga adalah masa paling kritis terjadinya

infestasi hama. Daun – daun ini dihamburi dengan titik – titik hitam, yang

merupakan kotoran dari trips. Juga ada trips yang merangsang tanaman untuk

membentuk puru (Purwato 2007). Serangan berat dari Thrips sp. dapat

10

TaRa, 02/27/15,
Harus di spasi
Page 11: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

menyebabkan tanaman menjadi kering, gugur daun kemudian tanaman cabai akan

mati (Fauziah 1991).

C. Jamur Beauveria bassiana (Balls) Vuill

1. Sistematika

Sistematika jamur B. bassiana adalah sebagai berikut :

divisio : Mycota

sub Divisio : Ascomycotina

kelas : Hypomycetes

ordo : Hypocreales

famili : Clavicipitae

genus : Beauveria

spesies : B. bassiana (Balls) Vuill

2. Morfologi dan Daur Hidup

Jamur B. bassiana merupakan jamur tular tanah atau soil born patogen.

Menurut sejarahnya, B. bassiana merupakan jamur entomopatogen pertama yang

mampu menyerang atau menginfeksi serangga hama. Setelah dilakukan penelitian

lebih lanjut, ternyata jamur ini mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai

agensia hayati dalam mengendalikan berbagai macam spesies serangga hama dari

berbagai macam ordo. Selain itu, jamur ini dapat di buat sebagai bahan dasar

biopestisida dalam formulasi padat ataupun cair. Herlinda et al (2008a dan 2008b)

telah berhasil menciptakan biopestisida formulasi cair dengan bahan aktif jamur

11

Page 12: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

entomopatogen B. bassiana dan terbukti efektif dalam mengendalikan hama

utama tanaman padi dan serangga-serangga paurometabola lainnya.

Jamur B. bassiana mampu membentuk koloni dan memproduksi spora

ataupun hifa pada serangga inangnya ataupun pada media buatan. Contoh media

buatan yang disukai oleh jamur ini adalah media Glucose Yeast Agar (GYA).

Pada media perbanyakan, jamur cepat berkembang pada suhu 23 0C tentunya

dengan suplai energi dan makanan yang di butuhkan untuk pertumbuhan koloni

atau pertumbuhan spora tersedia dengan cukup atau melimpah. Permukaan

konidia B. bassiana bertekstur halus dan berbentuk ellips serta melebar ke

samping. Konidiofornya bercabang-cabang dan pada ujung-ujung cabangnya

terdapat banyak konidia dengan lebar 3-6 µm x 3-5 µm (Samson et al 1998).

Jamur B. bassiana mampu memproduksi toksin yaitu Beauvericin dan

Bassiacridin yang mampu mematikan serangga hama. Setelah 20 jam terjadinya

penetrasi, tubuh serangga yang terinfeksi jamur entomopatogen ini akan di

tumbuhi oleh miselia jamur berwarna keputih-putihan yang di kenal dengan istilah

white muscardine. Jamur B. bassiana ini di laporkan juga mampu membentuk

klamidospora dan blatospora pada kondisi tertentu. Di laporkan juga kalau jamur

ini mampu menginfeksi serangga pada berbagai macam ordo antara lain Plutella

xylostella (Herlinda et al 2006a), Eurydema pulchrum (Herlinda et al 2006b),

Nilaparvata lugens (Herlinda et al 2008a), Helicoverpa armigera (Suharto et al

1998), Leptocorisa arotorus (Herlinda et al 2008b) dan tungau (Deciyanto dan

Indrayani 2009).

12

Page 13: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Menurut Salisiakova (1996) dalam Septariani (2010), B. bassiana

menginfeksi serangga hama melalui integumen serangga tersebut dengan

mekanisme sebagai berikut:

a. Proses inokulasi, merupakan proses awal menempelnya spora pada tubuh

serangga inangnya. Pada kondisi ini larva tetap aktif bergerak dan masih mau

makan.

b. Proses penetrasi, merupakan proses menembus integument dengan membentuk

tabung berkecambah. Proses ini dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban yang

tinggi, sehingga perlu air untuk menciptakan kelembaban yang tinggi.

Mekanisme penetrasi ini dibantu oleh enzim proteolitik, lipolitik, amylase dan

khitinase yang dapat merusak kutikula larva dan menghancurkan toksin yang

dibentuk serangga sebagai struktur pertahanannya

c. Proses infeksi, merupakan proses patogen melakukan kontak dengan sel atau

jaringan inangnya dan mendapatkan makanan dari inangnya.

d. Proses invasi merupakan proses dimana jamur membentuk blastospora, jamur

telah menyebar dan menyerang di dalam tubuh serangga membentuk hifa

skunder dan menyerang jaringan lainnya.

e. Proses reproduksi dan penyebaran, terjadinya setelah proses infeksi pada tubuh

larva dan menyebabkan terserangnya hymolimph, akibatnya larva akan mati

dan membentuk mumi. Setelah larva mati jamur mulai menyerang jaringan

lain dan akhirnya membentuk miselia yang berwarna putih dan akhirnya tubuh

larva mengering.

13

Page 14: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

D. Jamur Entomopatogen Metarhizium sp.

1. Sistematika

Menurut (Pendlan dan Boucias 1998), jamur Metarhizium sp.

diklasifikasikan sebagai berikut:

divisi : Mycota

kelas : Deuteromycetes

ordo : Moniliales

famili : Miniliaceae

genus : Metarhizium

spesies : Metarhizium sp.

2. Morfologi dan Biologi

Jamur Metarhizium sp. adalah salah satu jamur entomopatogen yang

termasuk dalam divisi Deuteromycetes. Jamur ini biasa disebut dengan green

muscardin fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Lee dan Hou 1989). Pada

awal pertumbuhan, koloni jamur berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau

gelap dengan bertambahnya umur. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada

beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung dan beras (Prayogo

dan Tengkano 2002a). Jamur ini memiliki miselium bersekat, diameter 1,98-2,97

µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan

14

Page 15: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

konidia. Konidia bersel satu, hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94

x 3,96 µm.

Temperatur optimum untuk pertumbuhan Metarhizium sp. berkisar 22-27

ºC (Roddam dan Rath 1997). Menurut Magalhaes et al. (2005), jamur tersebut

toleran terhadap temperatur tinggi yang merupakan karakteristik penting yang

dimiliki jamur ini sebagai pathogen serangga. Konidia jamur akan berkecambah

dengan baik dan patogenesitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi

hingga 100% dan patogenesitas jamur Metarhizium sp. akan menurun apabila

kelembaban di bawah 86%.

Jamur ini mengeluarkan enam senyawa enzim yaitu lipase, khitinase,

amylase, proteinase, pospatase dan esterase. Serangga juga mengembangkan

sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan

membentuk granuloma (Prayogo et al. 2005). Mekanisme penetrasi Metarhizium

sp. pada kutikula serangga. Menurut (Thomas 2007) dapat digolongkan menjadi

empat tahapan.

1. Tahap pertama yaitu kontak antara propagul jamur dengan tubuh serangga

2. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul jamur

pada integumen serangga

3. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Jamur dalam melakukan penetrasi

menembus integumen dan membentuk tabung kecambah (appresorium).

Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh morfologi integumen. Penembusan

dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan

toksin.

15

Page 16: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

4. Tahap keempat yaitu terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke

dalam haemolymph dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan

lainnya (Thomas 2007). Umumnya semua jaringan dan cairan tubuh

seranggga habis digunakan oleh jamur, sehingga serangga mati dengan tubuh

yang mengeras.

Serangga juga mampu mengembangkan system pertahanan diri dengan

cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Pada waktu

serangga mati, fase perkembangan saprofit jamur dimulai dengan penyerangan

jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umunya

semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh jamur, sehingga

serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi.

Pertumbuhan jamur diikuti dengan pengeluaran pigen atau toksin yang

dapat melindungi serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu

jamur tumbuh ke luar menembus integument serangga. Apabila keadaan kurang

mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung didalam jasad serangga

tanpa keluar menembus integument. Dalam hal ini jamur membentuk struktur

khusus untuk dapat bertahan yaitu arthrospora (Ferron 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan keefektifan Metarhizium

sp.dalam mengendalikan hama yaitu:

1. Media Sporulasi

Media yang dipakai untuk menumbuhkan cendawan entomopatogen sangat

menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan.

Jumlah konidia akan menentukan keefektifan cendawan entomopatogen dalam

16

Page 17: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

mengendalikan serangga. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1%

menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih

tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo & Tengkano 2004). Cendawan

entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di

samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan

virulensi cendawan entomopatogen. Sporulasi M. anisopliae dipengaruhi oleh

kandungan nutrisi dari media tumbuh yang digunakan. Media tumbuh yang

mengandung komponen nitrogen dari unsur organik paling banyak digunakan

untuk menumbuhkan M. anisopliae. Media sebagai bahan pembawa (bearer)

spora seperti agar dapat menyediakan hara yang cukup dan sangat dibutuhkan

untuk pembentukan konidia cendawan entomopatogen (Kardin & Priyatno 1996).

Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari

stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integument

serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan

keberhasilan cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya. Faktor lingkungan

(sinar matahari, kelembaban, dan temperatur) sangat menentukan keberhasilan

proses infeksi di samping faktor ganti kulit (moulting) dari serangga (Luz et al.

1998).

2. Frekuensi Aplikasi

Mortalitas hama juga sangat ditentukan oleh frekuensi aplikasi M.

anisopliae (Prayogo & Tengkano, 2004). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa

aplikasi cendawan entomopatogen perlu dilakukan lebih dari satu kali, apalagi bila

serangga hama mempunyai siklus hidup yang terdiri atas beberapa stadia instar

17

Page 18: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

seperti S. litura. Aplikasi berulang diperlukan pula untuk mengantisipasi faktor

lingkungan yang kurang mendukung sehingga tingkat keberhasilannya rendah.

3. Tempat Penyimpanan

Ruang penyimpanan biakan cendawan entomopatogen akan menentukan

viabilitas cendawan. Viabilitas konidia cendawan entomopatogen dipengaruhi

oleh suhu, kelembapan, pH, radiasi sinar matahari, dan kandungan nutrisi bahan

pembawa. Prayogo dan Tengkano (2004), menyatakan bahwa ruangan dengan

temperatur 200 - 260 C cukup baik untuk menyimpan biakan cendawan. Suhu dan

kelembapan yang sesuai bagi cendawan akan mengurangi dehidrasi cendawan

saat disimpan. Dehidrasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan pada

struktur cendawan khususnya konidia, sehingga banyak konidia yang infektif

sebelum melakukan proses infeksi pada serangga inang.

4. Umur Biakan

Umur biakan M. anisopliae sangat mempengaruhi virulensinya pada larva S.

litura. Biakan cendawan berumur 1 bulan paling efektif mengendalikan S. litura.

Pada biakan berumur 2 atau 3 bulan, nutrisi dalam media banyak digunakan

untuk memproduksi konidia sehingga cendawan kehabisan cadangan nutrisi.

Akibatnya konidia cendawan banyak yang membentuk struktur khusus yaitu

arthrospora untuk menghindari lingkungan yang tidak sesuai (Ferron, 1985).

Beberapa organ khusus tidak efektif lagi bila digunakan sebagai organ infektif

terhadap hama sasaran. Luz et al. (1998) melaporkan bahwa kualitas dan

kuantitas nutrisi dari media sangat mempengaruhi dari virulensi cendawan

entomopatogen. Selanjutnya Pendland dan Bouncis (1998) menyatakan bahwa

18

Page 19: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

di samping kualitas dan kuantitas nutrisi, komponen substrat pada integumen

juga berpengaruh terhadap proses infeksi.

III. PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Entomologi Jurusan

Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya di

Inderalaya. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2011 hingga

selesai.

B. Metode dan Rancangan Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK),

studi literatur dan observasi (pengamatan), dengan 6 perlakuan 5 ulangan dan 3

kontrol.

Perlakuan :

1. BEA » EKKU steril (400ml) + B. bassiana (300 ml GYB) + glukosa

(300gr)

2. MEA » EKKU steril (400ml) + Metarhizium sp. (300 ml GYB) +

glukosa (300gr)

3. BEnA » EKKU non steril (400ml) + B. bassiana (300 ml GYB) +

glukosa (300gr)

4. MEnA » EKKU non steril (400ml) + Metarhizium sp. (300 ml GYB) +

glukosa (300gr)

5. BEAC » EKKU steril (400ml) + B. bassiana (300ml GYB) disentrifugasi

+ glukosa (300gr)

6. MEAC » EKKU steril (400ml) + Metarhizium sp. (300ml GYB)

disentrifugasi + glukosa (300gr)

19

Page 20: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

7. BbAS » Isolat B. bassiana 106 + air steril

8. MtAS » Isolat Metarhizium sp. 106 + air steril

9. AIR » Air steril

C. Cara Kerja

1. Pemeliharaan Serangga Uji

Imago Thrips sp. dikumpulkan dari pertanaman cabai yang ada di berbagai

sentra produksi tanaman cabai di Sumatera Selatan, kemudian Thrips sp. tersebut

dibawa dan dipelihara dalam kurungan kasa (150 cm x 150 cm x 100 cm) yang

didalamnya telah dimasukkan tanaman cabai umur 2 bulan untuk pakan dan

tempat perkembangbiakan. Imago Thrips sp. sebanyak 30 ekor dipindahkan

dalam kurungan plastik (30 cmx 50 cm x 50 cm) yang berisi pakan baru (tanaman

cabai umur 4 minggu) dan dipelihara di laboratorium.

2. Persiapan Isolat

Persiapan 1. Isolat Padat

Satu isolat jamur B. bassiana dengan kode BPcMS (Beauveria bassiana

chalcites Muara Siban) dan isolat jamur Metarhizium sp. dengan kode MTmBb

(Metarhizium Tenebrio molitor Bukit Besar) akan digunakan untuk uji

patogenesitas isolat jamur entomopatogen pada nimfa dan imago A. gossypii.

Untuk reisolasi kedua jamur, digunakan media GYA (Glucose Yeast

Agar). Komposisi media tersebut terdiri dari gula 2.5 gr, agar 5 gr, ragi (yeast) 1

gr, tepung jangkrik sebanyak 1.3 gr dan aquadest sebanyak 250 ml. Semua bahan

20

TaRa, 02/27/15,
Harusnya menggunakan huruf kapital
TaRa, 02/27/15,
Harusnya huruf “D” kapital
Page 21: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

tersebut dimasukkan kedalam Erlenmeyer berukuran 250 ml, lalu diaduk merata.

Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil kemudian plastik yang diikatkan

dengan karet. Erlenmeyer kemudian disterilisasi dengan cara dimasukkan

kedalam Autoclave selama 1 jam dengan tekanan 1 atm. Setelah proses sterilisasi

selesai media didinginkan dan letakkkan di dalam Laminar Air Flow untuk

disinari UV selama 15 menit. Sebelum penuangan media ke petri, terlebih dahulu

ditambahkan antibiotic amoxilin sebanyak 2 gr kedalam Erlenmeyer kemudian

dikocok merata. Selanjutnya media dituangkan kedalam petri berdiameter 9 cm

dengan ketebalan secukupnya.

Untuk penanaman jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. digunakan larva

T. molitor. Isolat jamur B. bassiana dan Metarhizium sp. di inokulasikan pada

larva T. molitor. Larva yang telah ditetesi dengan suspensi B. Bassiana di pelihara

dalam cawan petri. Larva yang telah mati dipindahkan kedalam cawan petri yang

dialasi kertas saring yang ditetesi dengan air steril dengan tujuan mendapatkan

kelembaban yang sesuai sehingga jamur akan tumbuh pada permukaan tubuh

larva. Kemudian larva tadi dicelupkan kedalam alkohol 70% selama 2 menit dan

dicelupkan pada air steril selama 1 menit. Larva yang telah steril ditanam dalam

media GYA di inkubasikan pada suhu kamar selama 14 hari. Kemudian

dilakukan reisolasi kembali hingga jamur benar-benar murni.

Persiapan 2. Isolat Cair

Untuk reisolasi jamur digunakan biakkan jamur dari isolat padat yang

telah disiapkan diatas. Media yang digunakan adalah GYB (Glucose Yeast Broth)

21

TaRa, 02/27/15,
Terdapat K dobel
TaRa, 02/27/15,
Harusnya menggunakan huruf kapital
Page 22: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

+ tepung jangkrik. Media cair dibuat dengan komposisi gula 20gr/L, yeast (ragi)

20gr/L + tepung jangkrik 5gr/L. Semua bahan dimasukkan kedalam botol selai.

Setiap botol selai diisi dengan 100 ml media GYB. Botol selai kemudian ditutup

dengan alumunium foil dan dilapisi dengan plastik serta diikat dengan karet.

Kemudian botol selai tersebut di sterilkan dengan autoclave selama 1 jam dengan

tekanan 1 atm. Selanjutnya dilakukan reisolasi jamur B. bassiana dan jamur

Metarhizium sp. dari isolat padat. dengan cara diambil sebanyak 3 bor gabus

biakkan jamur kemudian ditanamkan kedalam media GYB dalam botol selai,

kemudian botol selai ditutup kembali dengan alumunium foil dan plastik. Setelah

itu, botol selai dishaker selama 7 x 24 jam kemudian diinkubasikan selama 7 x 24

jam.

3. Uji Patogenesitas

Penelitian 1. Pembuatan Bioinsektisida Cair dengan Sterilisasi EKKU

Pembuatan bioinsektisida cair ini menggunakan jamur entomopatogen B.

bassiana dan Metarhizium sp.. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan

mensterilisasi EKKU (Ekstrak Kompos Kulit Udang) sebanyak 400 ml didalam

autoclave selama 1 jam dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, EKKU

diinkubasikan selama 1 x 24 jam. Setelah itu dicampurkan 400 ml EKKU + 300

ml biakkan jamur dalam media GYB (3 botol selai) + 300 gr sukrosa dalam botol

simpanan ukuran 1 L. Semua bahan tersebut diaduk hingga sukrosa larut. Botol

simpanan tersebut disimpan selama 1 bulan, untuk kemudian diaplikasikan ke

serangga uji dan dilihat tingkat patogenesitasnya.

22

TaRa, 02/27/15,
Titik tidak boleh dobel
Page 23: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Penelitian 2. Pembuatan Bioinsektisida Cair Tanpa Sterilisasi EKKU

Pembuatan bioinsektisida cair ini menggunakan jamur entomopatogen B.

bassiana dan Metarhizium sp.. Biakkan murni jamur B. bassiana dan jamur

Metarhizium sp. didalam media GYB sebanyak 300 ml (3 botol selai) dicampur

dengan 400 ml EKKU yang tidak disterilisasi kemudian dicampur dengan 300 gr

sukrosa. Semua bahan tersebut diaduk hingga sukrosa larut. Botol simpanan

tersebut disimpan selama 1 bulan untuk kemudian diaplikasikan dan dilihat

tingkat patogenesitasnya.

Penelitian 3. Pembuatan Bionsektisida Cair dengan Sentrifugasi

Pembuatan bioinsektisida cair ini menggunakan jamur entomopatogen B.

bassiana dan Metarhizium sp.. Hasil biakkan murni jamur B. bassiana dan jamur

Metarhizium sp. dalam media GYB sebanyak 300 ml (3 botol selai) dicampur

dengan 400 ml EKKU yang telah disterilisasi kemudian ditambahkan sukrosa

sebanyak 300 gr. Semua bahan tersebut diaduk hingga sukrosa larut. Larutan

tersebut disimpan dalam botol simpanan ukuran 1 L kemudian disimpan selama 1

bulan. Setelah disimpan, larutan bioinsektisida tersebut diendapkan dengan

menggunakan centrifuge (kecepatan 10000 rpm) selama 10 menit. Setelah itu,

diambil larutan bioinsektisida yang cair (supranatant), kemudian diaplikasikan ke

serangga uji untuk melihat tingkat patogenesitasnya.

23

TaRa, 02/27/15,
Titik tidak boleh dobel
TaRa, 02/27/15,
Harusnya huruf kapital “D”
TaRa, 02/27/15,
Tidak boleh ada titik dobel
Page 24: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

4. Aplikasi Bioinsektisida

Aplikasi Langsung

Percobaan dilakukan dengan menyemprotkan 1 ml bioinsektisida yang

telah diencerkan dengan 200 ml air. Bioinsektisida tersebut kemudian

disemprotkan ke tanaman cabai yang telah berisi 30 ekor Thrips sp.. Selanjutnya

tanaman cabai ditutup dengan sungkup plastik berbetuk silinder (diameter 10 cm

dan tinggi 30 cm). Dibagian permukaan tanah akan diberi tissue dengan harapan

nimfa Thrips sp. yang mati dan yang berubah menjadi pupa dapat diamati dengan

lebih mudah. Pengamatan akan dilakukan 2 jam sekali selama 12 hari menurut

siklus hidup Thrips sp.

Aplikasi tidak Langsung

Percobaan dilakukan dengan menyemprotkan 1 ml bioinsektisida yang

telah diencerkan dengan 200 ml air. Bioinsektisida tersebut kemudian

disemprotkan ke tanaman cabai yang belum diifestasikan Thrips sp. Tanaman

cabai tersebut akan didiamkan selama 24 jam. Kemudian diinfestasikan 30 ekor

Thrips sp. ke tanaman cabai tersebut. Selanjutnya tanaman cabai ditutup dengan

sungkup plastik berbetuk silinder (diameter 10 cm dan tinggi 30 cm). Dibagian

permukaan tanah akan diberi tissue dengan harapan nimfa Thrips sp. yang mati

24

TaRa, 27/02/2015,
Titik tidak boleh dobel
Page 25: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

dan yang berubah menjadi pupa dapat diamati dengan lebih mudah. Pengamatan

akan dilakukan 2 jam sekali selama 12 hari menurut siklus hidup Thrips sp.

E. Parameter Pengamatan

1. Persentase Mortalitas Thrips sp.

Persentase akan dihitung berdasarkan rumus Prijono (1989) sebagai

berikut :

% mortalitas= Jumlah serangga yang terinfeksi jamurJumlah serangga uji

×100 %

2. Lethal Time (LT50)

Perhitungan nilai LT50 didapat dengan menghitung jumlah nimfa dan pupa

yang mati setiap hari dianalisis dengan menggunakan program SAS,

menggunakan analisis probit. Semua perhitungan dibantu dengan bantuan

program SAS-STAT pada SAS 6.12.

F. Analisis Data

Data mortalitas Thrips sp. antar perlakuan akan disajikan dalam bentuk

tabulasi dan dianalisi secara deskriptif. Data waktu mortalitas Thrips sp. akan

25

Page 26: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

digunakan untuk menghitung LT50 dengan menggunakan analisis probit dengan

bantuan program SAS-STAT pada SAS 6.12. Perbedaan data mortalitas nimfa

antar perlakuan dianalisis menggunakan ANOVA dan uji lanjut BNJ.

DAFTAR PUSTAKA

Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphid on thr world’s Crop: An Identification Guide. John Wiley & Sons, Chichster.

Bernardinus. 2003. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Deciyanto, S dan Indrayani, I.G.A.A.Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana, Potensi dan Prospeknya dalam Pengendalian Tungau. 2009.8 2:65–73

Ferron P. 1985. Fungal control. Comprehensive Insect Phisiology. Biochem. Pharmocal.(12):313-346.

Freimoser FM, Screen S, Bagga HG , Leger RJ. 2003. Expressed sequence tag (EST) analysis of two subspecies of Metarhizium anisopliae reveals of plethora of secreted proteins with potential activity in insect host. http://mic.sgmjournals.org/cgi/ontent/abstract/149/239.htm[20 [04 Januari 2011] Microbiology (149):239-247.

Gaston, K. J. & L. A. Mound. 1993. Taxonomy, hypothesis-testing and the biodiversity crisis. Proc. Royal Soc., London B251: 139-142 [Thrips Biology and Management NATO ASI Series]

Haraprasad N., S.R. Niranjana, H.S. Prakash, Hw. S. Shetty, and S. Wahab. 2001. Beauveria bassiana-A Potential Mycopesticide for the Efficient Control of Coffee Berry Borer, Hypothenemus hampei (Ferrari) in India. Bioc. Sci. Tech. 1(2):251-260.

Herlinda S, Sari EM, Pujiastuti Y, Suwandi, Nurnawati E, Riyatna A. 2005. Variasi Virulensi Strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Tehadap Larva Plutella xylostella (L) (Lepidoptera: Plutellidae) Agritrop 24(2): 52-57.

Herlinda S, Hamadiyah, Adam T, Thalib R. 2006. Toksisitas Isolat-isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Nimfa Euryderma pulchrum (Westw.) (Hemiptera: Pentatomidae). Agria 2(2): 70-78.

26

TaRa, 02/27/15,
Seharusnya urutan pertama, karna huruf kedua “E”
TaRa, 02/27/15,
Letaknya sesudah daftar pustaka “Bernardinus.2003”
Page 27: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Herlinda, S. Mulyati, S.I dan Suwandi. Jamur Entomopatgen Berformulasi Cair Sebagai Bioinsektisida Untuk Mengendalikan Wereng Coklat. 2008a. Agritrop 27(3):199–126.

Herlinda, S. Mulyati, S.I dan Suwandi.Selection of Isolates of Entomopatogenic Fungi and the Bioficacy of Three Liquid Production Againts Leptocorisa aratorus Fabricus Nimphs.2008b.2.3.

Lee PC, Hou R. 1989. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the smaller brown planthopper, Laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol.(9):13-19. http:// www. entsoc. org. tw/ english/ journal/ 9vol/ nol/2.htm.20 [20 Desember 2010]

Luz C, Tigano MS, Silva IG, Cordeiro CMT, Aljanabi SM. 1998. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium anosopliae isolates to control Triatoma infentans. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz 93: 839 – 846 [serial online] http://memorias.ioc.fiocruz.br/936/3556.html.

Magalhaes BP, Rodrigues JCV, Boucias DG, Childers CC. 2005. Pathogenecity of Metarhizium anisopliae Var. acridium to the false spidermite Brevipalpus phoenicis (Acari: Tenuipalpidae). Florida Entomologist 88(2):195-198.

Miles PW. 1989. Specific responses and damage caused by Aphidoidea. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P (ed.) Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Amsterdam: Elsevier. hlm 23-47.

Nawangsih AA, Imdad PH, Wahyudi A. 2003. Cabai Hot Beauty. Penebar Swadaya. Jakarta.

Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Prabaningrum, L. dan T.K. Moekasan. 2007. Identifikasi Status Hama pada Budidaya Paprika (Capsicum annuum var. Grossum) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. J. Hort. 17(2):161-167.

Pendland JC, Boucias DG. 1998. Phagocytosis of lectin opsonized fungal cells and endocytosis of the ligand by insect Spodoptera exigua granular hemocytes : an ultrastructural and immunocytochemical study. CAB (Abstract) (6) 7 : 1 p.

Prayogo Y dan Tengkano W. 2004. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi Metarhizium anosopliae isolat Kendalpayak terhadap tingkat kematian

27

TaRa, 02/27/15,
Letaknya sebelum daftar pustaka “Prabaningrum, L”
Page 28: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

Purawato. 2007. Thrips [Online)](http://www.thripsimage-org.co.cc diakses pada tanggal 08 Februari 2011)

Purnomo H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Andi Yogyakarta : Yogyakarta

Rasminah S, Santoso S, Ratna Y. 1997. Kajian kualitas spora Beuvaria bassiana pada berbagai jenis media (PDA, jagung, alioshina) dan lama penyimpanan. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Vol(1) Palembang. Hal 1-726.

Sanogo S. 2003. Chile pepper and the threat of wilt diseases. Department of Entomology, Plant Pathologi and Weed Science. New Mexico State University. Las Cruses.

Salisnakova JLN. 1996. Laboratory evaluation Of Beauveria bassiana as a Pathogen some orde lepidoptera. J.Invert pathol. 29:361-366.

Sihombing, D., W. Handayati, E. Silvia, dan Y. Sulyo. 2007. Pengendalian Hama Thrips pada Tanaman Krisan Secara Hayati. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Hias. 6 Hlm. (tidak dipublikasikan).

Siwi, S. 2006. Kunci Determinasi Serangga. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terapadu. Kanisius. Yogyakarta

Tang YQ, Weathersbee AA, Mayer RT. 2001. Effect of Neem Seed Extract on Brown Citrus Aphis (Homoptera: Aphididae) and its Parasitoid Lysiphlebus testaceipes (Hymenoptera: Aphidiidae). Enviro Entomol. 31(1): 72-176

Tarigan. 2003. Bertanam Cabai Hibrida Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta

Thomas B Matthew. 2007. Infection by fungal entomopathogens. Available at:http://www.nature.com/info/copyright_statement.html. di akses tanggal 09 Januari 2011

Ufresti, A. 2010. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan[pdf].http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif [28 Desember 2010].

Winarsih S, Syafrudin. 2001. Pengaruh pemberian Trichoderma viridae dan sekam padi terhadap penyakit rebah kecambah di persemaian cabai. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 3(1):49-55.

28

Page 29: Refisi Proposal Skripsi Christine S G (Jajang Nurzaman)

29