Referat Trauma Medula Spinalis

29
Referat Trauma Medula Spinalis Raditia Kurniawan 102011219 / F-5 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta 2015 Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021- 5631731 Email : [email protected] Bab I Pendahuluan Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka. 1 Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Trauma spinal meliputi 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor; jatuh (20%), luka tembak (25%), olahraga, dan kecelakaan industri. Dari data yang terdapat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode Januari-Juni 2003 terakhir terdapat 165 kasus trauma spinal. 1,2 Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belakang harus selalu berhati – hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi yang tidak adekuat akan menambah kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis penderita. Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita yang mengalami cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus dicurigai adanya cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak adanya keterlibatan medulla spinalis setelah trauma. 1 Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala neurologis lain atau memburuknya keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia atau edema progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat kegagalan mempertahankan immobilisasi yang adekuat. 1

description

Referat Trauma Medula Spinalis

Transcript of Referat Trauma Medula Spinalis

ReferatTrauma Medula SpinalisRaditia Kurniawan102011219 / F-5Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJakarta 2015Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731Email : [email protected]

Bab IPendahuluan

Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka. 1Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 53,4 kasus per 100.000 penduduktiap tahunnya. Trauma spinal meliputi 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor; jatuh (20%), luka tembak (25%), olahraga, dan kecelakaan industri. Dari data yang terdapat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode Januari-Juni 2003 terakhir terdapat 165 kasus trauma spinal.1,2Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belakang harus selalu berhati hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi yang tidak adekuat akan menambah kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis penderita. Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita yang mengalami cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus dicurigai adanya cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak adanya keterlibatan medulla spinalis setelah trauma. 1 Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala neurologis lain atau memburuknya keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia atau edema progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat kegagalan mempertahankan immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita dengan kolumna vertebralis yang tidak stabil akan memberikan resiko kerusakan lebh lanjut sumsum tulang belakang.1,2Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang menetap, maka para dokter maupun perawat membutuhkan cara diagnosis yang tepat dan tatalaksana yang baik dalam menghadapinya.1,2

Bab IIPembahasan

2.1Anatomi Medulla Spinalis1,3,4-6

Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) adalah suatu kumpulan jaringan syaraf yang panjang, tipis dan berbentuk tubular, terletak di dalam kolumna vertebra dan membujur mulai dari otak (bagian medulla oblongata). Medulla spinalis bersamaan dengan otak membentuk susunan syaraf pusat (SSP). Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang oksipital bagian tengkorak, turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada di rongga antara tulang lumbar 1 dan 2. Panjang medulla spinalis berkisar antara 45 cm pada pria, 43 cm pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari setengah inci pada bagian servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada bagian torakal. Struktur tulang belakang sangat beradaptasi untuk melindungi medulla spinalis yang memiliki ukuran lebih pendek dan kecil. Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal neural antara otak dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun sensorik. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari refleks fisiologis.

2.1.1 Struktur Medulla Spinalis

Medulla spinalis adalah jaras utama yang menghubungkan otak dengan neuron perifer. Ukuran medulla spinalis lebih pendek dibandingkan dengan panjangnya tulang belakang. Hal ini yang membuat medulla spinalis membujur mulai dari foramen magnum, turun dan membentuk konus medullaris di dekat tulang vertebra lumbal kedua.Panjang medulla spinalis dapat mencapai 45 cm pada pria dan 43 cm pada wanita, namun bervariasi seukuran dengan tinggi manusia. Bentuk sumsum berupa ovoid, dengan diameter yang lebih lebar di bagian servikal dan lumbar. Pelebaran medulla spinalis di daerah servikal terletak di C3 hingga T2, dimana terdapat pleksus brachialis yang berfungsi sebagai input dan sensoris dan output motoris dari kedua lengan. Pelebaran di daerah lumbar berlokasi di L1 hingga L3 dimana terdapat cabang pleksus lumbosakralis. Medulla spinalis dilindungi oleh 3 lapisan jaringan yang disebut selaput spinal (spinal meninges). Lapisan ini menyelubungi kanal dengan urutan dari luar berturut-turut adalah duramater, araknoidmater, dan piamater. Duramater tersusun dari serat yang amat tangguh dan berfungsi sebagai pelindung. Diantara duramater dan tulang belakang terdapat ruangan yang disebut ruang epidural. Ruang ini dipenuhi oleh jaringan adiposa dan mengandung banyak pembuluh darah. Lapisan araknoidmater terletak di tengah dan memiliki gambaran seperti jaring laba-laba. Terdapat ruang diantara araknoid dengan piamater, ruangan ini disebut ruang subaraknoid yang mengandung cairan serebrospinal. (cerebrospinal fluid atau CSF). Piamater adalah lapisan protektif terdalam, bersifat sangat melekat erat pada permukaan medulla spinalis. Medulla spinalis disokong oleh jaringan ikat yang disebut ligamen dentikulatum.

Gambar 2.1Potongan Melintang Medulla Spinalis6

Pada potongan melintang, daerah perifer dari medulla spinalis mengandung banyak serabut saraf sensorik dan motorik sehingga memiliki warna putih dan disebut sebagai substansia alba. Sedangkan bagian dalamnya mengandung banyak badan sel saraf sehingga berwarna abu-abu dan disebut substansia grisea yang berbentuk seperti kupu-kupu. Struktur ini diselubungi oleh kanal sentral, yang secara anatomis merupakan perpanjangan dari sistem ventrikel pada otak, sehingga mengandung cairan serebrospinal.Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal dan ventralnya memiliki cekungan yang dinamakan posterior median sulcus di bagian dorsal dan anterior median fissure di bagian ventral.

2.1.2 Segmen-Segmen Medulla Spinalis

Sumsum tulang belakang manusia terbagi atas 31 segmen yang berbeda. Pada setiap segmennya terdiri dari pasangan neuron sensorik dan motorik yang berada di bagian kiri dan kanannya. Sekitar enam hingga delapan akar saraf kecil(radiks) bercabang dari medulla spinalis dengan urutan yang sangat rapi. Radiks ini kemudian bergabung menjadi suatu akar saraf. Saraf sensoris selalu berjalan dari bagian dorsal dan saraf motoris berjalan dari bagian ventral. Kedua akar saraf ini kemudian bergabung lagi menjadi saraf spinal (ramus) yang mana bagian sensorik dan motoriknya berjalan bersamaan. Yang disebut susunan syaraf pusat hanyalah sebatas medulla spinalis. Akar-akar syaraf ini sudah termasuk sebagai syaraf perifer.

Gambar 2.2Struktur dari Saraf Perifer Sekitar Medulla Spinalis6Serabut masing-masing radiks terdistribusi ulang menjadi beberapa saraf perifer setelah keluar dari tulang belakang, dan masing-masing saraf mengandung serabut dari beberapa segmen radikular yang berdekatan. Namun, serabut masing-masing segmen radikular kembali tergabung membentuk kelompokan di bagian perifer untuk mempersarafi area segmental kulit tertentu yang disebut sebagai dermatom. Masing-masing dermatom mewakili sebuah segmen radikular, yang dengan demikian mewakili juga sebuah segmen medula spinalis.

Gambar 2.3Gambaran Dermatom3Medulla spinalis berakhir sebagai konus medulla di daerah lumbar 1 atau lumbar 2. Disebut konus karena bentuknya yang menguncup merupai kerucut. Setelah medulla spinalis berakhir, lapisan piamater mengalami pemanjangan hingga mencapai bagian koksigeus, disebut sebagai filum terminalis. Serabut syaraf yang terletak di bawah konus medullaris kemudian membentuk kauda equina (buntut kuda) dan meneruskan jarasnya menuju ke ekstremitas bagian bawah. Kauda equina terbentuk dari kenyataan bahwa medulla spinalis berhenti bertambah panjang sejak umur 4 tahun, namun demikian tulang vertebra terus bertambah panjang hingga usia remaja.

Gambar 2.4Potongan Sagittal Vertebra dan Medulla Spinalis6

Terdapat 33 segmen dari medulla spinalis manusia, kesemuanya memiliki nama sesuai dengan tulang vertebranya. Pembagian segmennya yaitu 8 segmen servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbar, dan 5 segmen sakral. Semua serabut syaraf, kecuali syaraf C1 dan C2, keluar dari kolumna spinalis melewati intravertebral foramen di vertebranya. Tulang belakang C1 disebut sebagai tulang atlas, dan C2 disebut tulang aksis.

Gambar 2.5Segmen-Segmen Vertebra42.1.3 Vaskularisasi Medulla SpinalisMedulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri besar yang berjalan secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri yang mengalir dari sisi kolumna spinalis. Ketiga arteri besar tersebut adalah arteri anterior spinalis, arteri posterior spinalis kiri dan kanan. Arteri-arteri ini berjalan di dalam ruang sub-araknoid dan bercabang masuk ke dalam medulla spinalis.

Gambar 2.6Vaskularisasi Medulla Spinalis6Kontribusi utama dari suplai darah pada medulla spinalis di bawah bagian servikal berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior. Kedua arteri ini berjalan berdampingan dengan akar saraf dorsal dan ventral untuk kemudian memperdarahi sumsum tulang belakang. Arteri radikular merupakan suatu perpanjangan cabang dari aorta dan tidak berhubungan secara langsung dengan ketiga arteri longitudinal. Arteri radikular terbesar pada manusia terletak di L1 dan L2, disebut sebagai arteri anterior radikularis magna. Kelainan aliran darah pada arteri magna ini, terutama dalam proses pembedahan aneurisma aorta, dapat menyebabkan infark pada medulla spinalis dan mengakibatkan paraplegia.2.1.4 Traktus Somatosensorik Medulla SpinalisStruktur somatosensori medulla spinalis dibagi menjadi 3, yaitu jaras lemniscus bagian dorsal columna-medial (pengaturan sentuhan/proprioseptif/getaran), jaras spinoserebelaris anterior posterior, dan sistem spinotalamikkus anterolateral (pengaturan nyeri/temperatur). Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang berbeda untuk bekerja. Neuron-neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer, sekunder, dan tersier.2.1.4.1Traktus Lemniskus Dorsal Columna MedialPada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron primernya memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna. Akson-akson pada medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras fasciculus grasilis, sebaliknya bila akson terdapat setinggi T6 atau diatasnya, maka akan memasuki jaras fasciculus cuneatus yang terletak di bagian lateral fasciculus grasilis.

Gambar 2.7Ringkasan Traktus Medulla Spinalis6Setelah mencapai jaras masing-masing, akson primer menaiki medulla spinalis hingga mencapai bagian bawah dari medulla oblongata, setelah itu mencapai meninggalkan fasciculus dan bersinaps dengan neuron sekunder pada salah satu dari nuclei kolumna dorsalis; antara nukleus gracilis atau nukleus cuneatus. Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian medial setelah meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini disebut sebagai fiber internal arkuata. Persilangan jaras ke bagian kontralateral terdapat pada titik ini. Setelah itu jaras terus naik ke bagian medial lemniskus kontralateral hingga pada akhirnya berhenti di nukleus ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps dengan neuron tersier. Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan berujung pada korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini disebut juga jaras kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar, perubahan posisi, raba dan diskriminasi.Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh; kemudian, output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan koordinasi kerja otot-otot antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Proses ini berjalan tanpa disadari. Gambar 2.8Traktus Kolumna Dorsalis2.1.4.2Traktus SpinotalamikusJaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang merupakan jalur untuk penghantaran beberapa jenis impuls lainnya. Stimulus nyeri dan suhu akan melewati jaras spinotalamikus lateral, sedangkan sisanya (persepsi raba kasar dan tekan) melewati jaras spinotalamikus anterior. Jaras ini juga memiliki 3 neuron. Urutan perjalanannya dimulai dari reseptor perifer bersinaps dengan neuron sensorik pertama yang melewati dorsal ganglion dan menuju medulla spinalis. Setelah mencapai medulla spinalis, jaras bersinaps dengan neuron kedua dan kemudian bersilang ke sisi sebelahnya dan memasuki traktur spinothalamikus bagian anterior atau lateral. Jaras menaiki medulla spinalis hingga mencapai thalamus dan kemudian bersinaps dengan neuron ketiga dan kemudian menuju korteks sensorik.

Gambar 2.9Traktus Kolumna Dorsalis dan Spinotalamikus Anterolateral2.1.4.3Traktus SpinoserebelarisTraktus yang ketiga yang mengatur sistem somatosensorik adalah traktus spinoserebelaris posterior dan anterior. Beberapa impuls aferen yang timbul di organ sistem muskuloskeletal (otot, tendon dan sendi) berjalan melalui traktus spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi, serebelum. Ada dua traktus pada setiap sisi medulla spinalis, satu di bagian anterior dan satu lagi di bagian posterior.Pada traktus spinoserebelaris posterior, neuron primer menghantarkan impuls dari spindel otot dan organ tendon. Setelah memasuki medulla spinalis, beberapa serabut kolateral ini langsung membuat sinaps dengan neuron motorik yang besar di kornu anterius medulla spinalis. Serabut kolateral lain yang muncul setingkat vertebra torakal, lumbal, dan sakral berakhir di nukleus berbentuk tabung yang terdapat di dasar kornu posterius setinggi vertebra C8-L2, dan memiliki nama yang bervariasi, antara lain kolumna sel intermediolateralis, nukleus torasikus, kolumna Clarke, dan nukleus Stilling. Neuron pasca-sinaps kedua dengan badan sel yang terletak di nukleus ini merupakan asal traktus spinoserebelaris posterior. Traktus spinoserebelaris posterior berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sisi ipsilateral di bagian posterior funikulus laterlis dan kemudian berjalan melalui pedunkulus serebelaris inferior ke vermis cereberi. Serabut aferen yang muncul setingkat servikal berjalan di dalam fasikulus kuneatus untuk membuat sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nukleus kuneatus dan kemudian berjalan naik ke serebelum.Traktus spinoserebelaris anterior memiliki serabut aferen primer yang memasuki medula spinalis membentuk sinaps dengan neuron funikularis di kornu posterius dan di bagian sentral substansia grisea medula spinalis. Neuron kedua ini, yang ditemukan setingkat segmen vertebra lumbalis bawah, merupakan sel asal traktus spinosereblaris anterior, yang berjalan naik di dalam medula spinalis baik di sisi ipsilateral maupun kontralateral dan berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus spinoserebelaris posterior, traktus ini menyilang di dasar ventrikel ke empat ke otak tengah dan kemudian berbelok ke arah posterior untuk mencapai vermis cerebeli.

Gambar 2.10Traktus Spinoserebelaris4

2.1.5Traktus Motorik Medulla Spinalis2.1.5.1Traktus Kortikospinalis (traktus piramidalis)Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba serebri (korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral pedunkulus serebri, ponsm dan basal medula. Tempat traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut sebagai piramid. Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada bagian ujung bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio piramidum. Traktus yang menyilang ini disebut sebagai traktus kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak menyilang disini berjalan menuruni medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior; serabut ini menyilang lebih di bawah melalui komisura anterior medula spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat beberapa serabut yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral. Pada akhir jaras, serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron, kemudian menghantarkan impuls ke saraf perifer.

Gambar 2.11Traktus Motorik Medulla Spinalis4

2.1.5.2Traktus Kortikonuklearis (Traktus Kortikobulbaris)Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju nuklei nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuklei batang otak ini sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuklei yang menerima input traktus piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui nervus kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta XII.Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari nervus kranialis III, IV, dan VI.

2.2Cedera Medulla Spinalis

2.2.1Definisi7,8

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

2.2.2Epidemiologi2,7,8Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika Serikat.

Gambar 2.12Diagram Penyebab Kelumpuhan dan Trauma Spinal

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis. Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di Taiwan.

2.2.3 Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis7,8: A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra. B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

2.2.4Patofisiologi7,8

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori lain yaitu teori kalsium, teori reseptor opiate, dan lain sebagainyaMenyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya. Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis.

2.2.5KlasifikasiKlasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma

2.2.5.1Klasifikasi Impairment Scale2Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya adalah sebagai berikut :GradeTipeGangguan Medulla Spinalis

AKomplitTidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5

BInkomplitFungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen S4-S5

CInkomplitFungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik utama masih memiliki kekuatan =3

ENormalFungsi motorik dan sensorik normal

Tabel 2.1Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA2.2.5.2Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma2Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai berikut :i) Complete spinal cord injury (Grade A)a. Unilevelb. Multilevelii) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)SindromaKausa UtamaGejala Klinis

Brown-Sequard SyndromeTrauma tembus, Kompresi1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan LMN setinggi lesi2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu) kontralateral3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan) ipsilateral

Sindroma Spinalis AnteriorCedera yang menyebabkan HNP pada T4-61. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah lesi2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif normal4. Disfungsi spinkter

Sindroma Spinalis Sentral ServikalHematomielia, Trauma spinal1. Paresis lengan > tungkai2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung distal lengan3. Disosiasi sensibilitas4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual

Sindroma Spinalis PosteriorTrauma, infark arteri spinalis posterior1. Paresis ringan2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher, dan bokong3. Gangguan propioseptif bilateral

Sindroma Konus MedullarisTrauma lower sacral cord1. Gangguan motorik ringan, simetris2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi sensibilitas3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris, bilateral pada perineum dan paha4. Refleks Achilles -, patella +, bulbocavernosus -, anal 5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.

Sindroma Kauda EquinaCedera akar saraf lumbosakral1. Gangguan motorik sedang sampai berat, asimetris2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada disosiasi sensibilitas3. Nyeri sangat hebat, asimetris4. Gangguan reflex bervariasi5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan, jarang terdapat disfungsi seksual

Tabel 2.2Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma2

Gambar 2.13Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya

2.2.6Diagnosis2,9Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah dilakukan anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar, kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami kelemahan terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui penyebab trauma dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien yang diduga mengalami cedera tulang servikal harus diperlakukan sangat hati-hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti: Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus) Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior) Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal) Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus) Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis, kolumna vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna mengetahui kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat dilakukan dalam kondisi tertentu.Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan keseluruhan struktur internal medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan neurofisiologi klinik seperti SSEP juga dapat dianjurkan.Gambar 2.14 (Kiri) : CT Scan pada Medulla Spinalis`(Kanan) : MRI pada Medulla Spinalis

2.2.7Tatalaksana22.2.7.1Tatalaksana Pre HospitalUntuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya melakukan stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya, menenangkan pasien dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra dengan kolar leher atau brace vertebral. 2.2.7.2Tatalaksana di Unit Gawat DaruratSaat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing, circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal atau pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka kerah fiksasi leher harus terpasang terlebih dahulu.Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok neurogenik didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada syok hipovolemik harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada syok neurogenik, pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi, maka harus diberikan obat vasopressor seperti dopamine, adrenalin 0,2 mg subkutis, dan boleh diulangi setiap 1 jam.Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat dilakukan dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi kepentingan nutrisi secara enteral.Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna membuat diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau lumbal juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis bagian torakal dan lumbal. Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan setelah keseluruhan hal tersebut diatas telah dilakukan.Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka cukup diberikan metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon tidak dianjurkan.

2.2.7.3Tatalaksana di Ruang RawatPrinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah dengan terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan suhu tubuh dan mengenai miksi juga perlu diperhatikan.Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan guna mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain seperti anti spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang mengeluh kesakitan dapat juga diberi obat analgetik. Pemberian antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah adanya thrombosis vena dalam. Untuk kasus-kasus dengan infeksi, antibiotik perlu dipertimbangkan. Antioksidan dapat diberikan pada setiap pasien trauma spinalis.Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis.Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis.

2.2.8Neurorestorasi dan NeurorehabilitasiRehabilitasi dan pemulihan fungsi gerak tubuh sangat penting setelah masa akut dari cedera lewat. Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial. Tindakan yang dapat dilakukan berupa fisioterapi, terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek psikologis penderita. Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memberikan penerangan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma medulla spinalis, memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan latihan mandiri, serta mencegah adanya kelainan komorbiditi seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan lain sebagainya. Rehabilitasi ditargetkan agar pasien dapat kembali kedalam lingkungan komunitasnya dan dapat berperan sesuai dengan keadaan fisiknya yang baru.Rehabilitasi cedera medulla spinalis merupakan suatu pelayanan kesehatan professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase akut, secara terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus selama fase sub-akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga pernafasan dan obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi, pelayanan nutrisi, latihan wicara, pekerjaan sosial, sampai dengan konseling kesehatan seksual.

2.2.9Prognosis9Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.

Bab IIIPenutup

Cedera medulla spinalis merupakan suatu kejadian yang umum dijumpai di masyarakat, dengan penyebab utamanya merupakan suatu kejadian kecelakaan. Di Indonesia didapati insidens trauma medulla spinalis diperkirakan mencapai 8.000-10.000 kasus per tahunnya. Cedera ini juga dapat merupakan cedera traumatik (primer) ataupun akibat penyakit lain (sekunder) seperti infeksi atau tumor.Mekanisme dari cedera ini dapat terbagi menjadi 2 fase yaitu fase primer dan fase sekunder. Kedua fase ini belum sepenuhnya dimengerti, namun satu hal yang pasti adalah cedera ini memiliki window periode hanya sekitar 6 24 jam. Oleh karena itu diagnosis dan tatalaksana yang tangkas sangat diperlukan dalam menangani kasus cedera medulla spinalis guna mencegah perburukan kualitas hidup pasien dan mortalitas.Diagnosis pada umumnya meliputi anamnesa yang baik dan pemeriksaan neurologik untuk mengetahui perkiraan lokasi lesi, klasifikasi cedera, dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Pemeriksaan penunjang seperti imaging sangat membantu dalam mendiagnosis secara akurat.Prinsip utama tatalaksana yaitu dengan menjaga saluran pernapasan, pernapasan, dan sirkulasi yang adekuat. Pemberian obat kortikosteroid telah terbukti memperbaiki kondisi pasien pasca trauma. Medikamentosa lain dapat diberikan sesuai dengan indikasi pasien. Operasi dapat dianjurkan bila terdapat indikasi.Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat membaik kondisinya sehingga dapat kembali seperti semula, namun ada pasien yang memiliki kerusakan parah dan tidak dapat berjalan lagi. Kesemua pasien ini perlu mendapatkan terapi neurorehabilitasi guna meningkatkan kualitas hidup pasien setelah keluar dari rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous System Structure and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc. 2005.2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006.3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta ; Badan Penerbit FKUI ; 2013.4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta : EGC ; 2012.5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC; 1997.7. Ropper H.A, Brown R H. Adams and Victor Principles of Neurology. USA ; McGrawHill : 2005. 8. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.9. Jacob A, Weinshenker B. An Approach to the Diagnosis of Acute Transverse Myelitis. Semin Neurol 2008;28:105-120.10. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC ; 2013.

22