Referat Hipopigmentasi

download Referat Hipopigmentasi

of 20

Transcript of Referat Hipopigmentasi

BAB IPENDAHULUAN

Selama berabad-abad, pigmentasi pada kulit menempati posisi penting dalam menentukan peran sosial dan kelainan pigmentasi pada kulit sering kali menimbulkan pertanyaan bagi para ahli. Variasi pada pigmentasi kulit merupakan karakteristik manusia yang paling jelas. Terdapat hubungan antara kadar pigmen kulit dengan asal dan tempat tinggal seseorang. Individu yang tinggal di dataran rendah dan terekspos radiasi ultraviolet yang lebih tinggi memiliki kadar pigmen yang lebih tinggi. Hal ini bermanfaat untuk melindungi kulit dari kerusakan kulit yang diinduksi oleh sinar radiasi ultra violet. Populasi manusia yang bertempat tinggal di daerah dengan kadar radiasi ultraviolet yang durasi dan intensitasnya terbatas beradaptasi dengan memiliki pigmentasi yang lebih sedikit, sehingga dapat memfasilitasi produksi vitamin D yang diinduksi oleh sinar ultraviolet.1Terdapat beberapa jenis pigmen yang dipresentasikan di kulit yakni pigmen melanin, oksihemoglobin dan hemoglobin terdeoksigenasi. Pigmen melanin pada epidermis memberikan warna kecokelatan, sedangkan pada bagian dermis memberikan warna kebiruan. Pigmen oksihemoglobin akan memberikan warna merah dan hemoglobin terdeoksigenasi akan memberikan warna kebiruan. Dari pigmen-pigmen tersebut, pigmen melanin memegang peranan paling penting dalam penentuan warna kulit, sehingga kelainan pada proses biosintesis melanin dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada warna kulit.2

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

Warna kulit manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya pigmen yang terdapat pada kulit dan aliran darah pada kulit. Warna kulit bergantung pada adanya presentasi chromosphores. Melanin, yang disintesis dari melanosit merupakan pigment yang memiliki peran paling besar.

Tabel 1. Pigmen yang terdapat pada kulit2

Melanosit terdapat pada lapisan basal epidermis. Melanosit dan keratinosit bergabung membentuk epidermal melanin unit. Sintesis melanin dipengaruhi oleh warna kulit dimana pada individu dengan kulit berwarna gelap melanosit akan memproduksi melanosom yang lebih banyak, lebih besar dan tidak dipecah secepat pada ras Kaukasia. Selain itu, sintesis melanin juga dipengaruhi oleh sinar radiasi ultraviolet (UV). Sinar UV akan menstimulasi melanogenesis.2

Gambar 1. Sintesis melanin2

2.1. VitiligoVitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit, disebabkan faktor genetik dan non genetik yang berinteraksi dengan kehilangan atau ketahanan fungsi melanosit dari epidermis.3 Tipe vitiligo dapat dibedakan berdasarkan penyebaran lesi penyakit tersebut. Satu atau lebih lesi yang sifatnya kuasidermatomal (unilateral dan asimetris) merupakan karakteristik dari vitiligo segmental. Vitiligo nonsegmental (generalisata) memiliki ciri lesi yang multipel dengan penyebaran yang simetris. Perjalanan penyakit vitiligo sering kali tidak dapat diprediksi namun sering kali bersifat progresif.4

2.1.1 EpidemiologiVitiligo merupakan suatu kelainan pigmentasi yang paling sering ditemukan, dengan prevalensi sebesar 0.5% dari populasi manusia di dunia. Pada hampir dari separuh jumlah pasien dengan vitiligo, lesi pertama kali muncul sebelum usia 20 tahun. Prevalensi laki-laki dan perempuan umumnya sama, namun umumnya pasien perempuan lebih banyak mengunjungi dokter daripada laki-laki. Kelainan ini dapat terjadi pada semua umur, penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan 25% kasus muncul sebelum usia 10 tahun, 50% sebelum usia 20 tahun, dan 95% sebelum usia 40 tahun. Kasus pasien dengan vitiligo yang memiliki riwayat keluarga penderita vitiligo berkisar antara 6.25%-38%. Tidak terdapat perbedaan prevalensi berdasarkan ras ataupun jenis kulit.4,5Vitiligo segmental maupun vitiligo non-segmental memiliki ciri khas masing-masing. Vitiligo nonsegmental, dengan prevalensi sekitar 85%-90% dari total kasus, merupakan jenis vitiligo yang paling sering diderita oleh pasien. Sedangkan vitiligo segmental karena sering kali muncul pertama pada masa kanak-kanak, memiliki angka prevalensi 30% dari kasus vitiligo yang terjadi pada anak-anak. Baik vitiligo segmental maupun non-segmental dapat memiliki manifestasi awal sebagai vitiligo fokal yang ditandai dengan munculnya lesi hipopigmentasi yang tidak lebih dari 15 cm2.5

2.1.2 EtiopatogenesisFaktor-faktor pencetus vitiligo endogen:1) Faktor genetik, sebanyak 18-36% pasien memiliki pola familial2) Tekanan emosional berat: kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, perceraian, masalah sekolah, perpindahan sekolah atau kota.3) Penyakit-penyakit internal seperti gangguan autoimun, misalnya tiroid, anemia pernisiosa, diabetes mellitus, lebih banyak dialami oleh populasi vitiligo dibandingkan dengan populasi umum.4) Penyakit-penyakit kulit, sebanyak 14% kasus vitiligo dimulai dari suatu halo nevus.

Sedangkan faktor eksogen berupa trauma fisik mengawali 40% kasus terjadinya vitiligo. Trauma fisik tersebut dapat berupa garukan, benturan, laserasi dan luka bakar. Mekanisme Koebner mendasari peristiwa ini. Selain trauma fisik, obat-obatan seperti beta adrenergic blocking agent dan zat-zat yang bersifat melanotoksik seperti film developer, karet, kuinon dan agen pemutih juga menjadi faktor eksogen penyebab terjadinya vitiligo.Terdapat beberapa teori mengenai pathogenesis vitiligo:1. Genetik pada VitiligoHampir seluruh studi genetika terfokus pada vitiligo generalisata, telah diidentifikasi sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10 lokus yang dijumpai terkait dengan penyakit autoimun lainnya. Antara lain: HLA-1 dan HLA-2, PTPN22, LPP, NALP1 dan TYR yang mengkode tirosinase merupakan enzim yang penting dalam sintesis melanin.4 2. Hipotesis autoimunDitemukannya aktivias imunitas humoral berupa antibodi anti melanosit yang mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in vivo. Sekarang aktivitas humoral ini lebih diduga sebagai respon sekunder terhadap melanosit yang rusak dibandingkan dengan respon primer penyebab vitiligo generalisata.4

Gambar 2. Interaksi genetik, imunitas dan lingkungan6

3. Hipotesis neuralHipotesis ini menunjukkan adanya mediator neurokimia yang bersifat sitotoksik terhadap sel pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf di dekatnya. Teori ini didukung oleh:1) Vitiligo segmental yang terbatas secara segmental tidak dermatomal melainkan menyerang beberapa dermatom (kuasidermatomal).2) Vitiligo segmental tidak berefek dengan obat-obat vitiligo konvensiona tetapi membaik terhadap obat-obat yang memodulasi fungsi saraf.3) Terjadinya vitiligo dilaporkan setelah mengalami tekanan emosional berat atau setelah kejadian neurologikal, misalnya ensefalitis, multipel sclerosis dan jejas saraf perifer.4

2.1.3. Manifestasi Klinis dan DiagnosisTempat muncul lesi pertama pada sebagian pasien berada pada daerah yang memiliki riwayat trauma fisik sebelumnya (Koebner phenomenon), suatu penyakit tertentu ataupun stres emosional. Sering kali onset berhubungan dengan kematian keluarga atau trauma fisik berat. Reaksi sunburn dapat pula menyebabkan terjadinya vitiligo.3

Gambar 3. Fenomena Koebner5

Lesi vitiligo umumnya berupa makula berdiameter 5 mm atau lebih, berwarna putih pucat seperti kapur dan berbatas tegas. Dalam perjalanan penyakitnya, lesi semakin lama akan semakin membesar, dapat pula terbentuk lesi baru.Berdasarkan pola distribusinya, vitiligo dibedakan menjadi segmental dan non-segmental (generalisata). Vitiligo non-segmental merupakan jenis yang sering kali dijumpai, memiliki distribusi lesi yang menyebar dan simetris. Lesi dapat muncul dimana saja, tetapi umumnya pada daerah peregangan dan tekanan, misalnya bagian lutut, siku, punggung dangan dan jari-jari. Vitiligo segmental memiliki ciri lesi yaitu satu atau beberapa makula pada suatu daerah tertentu. Vitiligo segmental merupakan varian yang terbatas pada satu sisi segmen, dan jenis ini jarang dijumpai. Kebanyakan pasien memiliki gambaran segmental berupa lesi tunggal yang khas, namun ada juga yang menempati dua atau lebih segmen satu sisi berlawanan atau mengikuti distribusi dermatomal (garis Blaschko). Daerah yang paling sering terkena adalah wajah, aksila, umbilikus, puting susu, sakrum dan inguinal.3,5

Tabel 2. Perbedaan vitiligo segmental dan nonsegmental5

2.1.4. Tata LaksanaVitiligo merupakan suatu kondisi yang sangat sulit untuk diterapi. Repigmentasi spontan dapat muncul pada 15-25% kasus. Seringnya vitiligo ditemukan dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan banyaknya penelitian mengenai terapi vitiligo telah dilakukan, namun penelitian tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan. Masalah utama yang sering dihadapi oleh pasien vitiligo merupakan masalah penampilan.1. Psoralen dan UVA (PUVA)Merupakan pengobatan kombinasi psoralen sebagai photosensitizer kimiawi dengan ultraviolet A (UVA). Pengobatan gabungan ini bertujuan untuk meningkatkan efek terapi keduanya. Psoralen merupakan furokumarin, yaitu obat yang bersifat fotodinamik dan berkemampuan untuk menyerap energi radiasi. Mekanisme kerja PUVA untuk menstabilkan dan repigmentasi masih belum jelas. Dengan mikroskop cahaya dan uji mikroskopik ultra, terlihat PUVA memicu hipertrofik, proliferasi, dan adanya aktivitas enzimatik melanosit pada bagian pinggir lesi depigmentasi. Repigmentasi merupakan hasil migrasi pigmen dari tempat terpicunya melanosit ke daerah depigmentasi. Terapi dengan psoralen tidak dilakukan setiap hari untuk menghindari fototoksisitas.

Gambar 4. Prinsip terapi psoralen2

2. Narrowband UVB (Nb UVB)Mekanisme kerja pengobatan ini berdasarkan sifat imunomodulator yang mengatur abnormalitas lokal maupun sistemik imunitas seluler dan humoral. Seperti PUVA, Nb UVB juga menstimulasi melanosit yang terdapat pada lapisan luar helai rambut.

3. KortikosteroidPengobatan vitiligo dengan kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk vitiligo segmental dan sangat dianjurkan untuk lesi kecil pada daerah wajah, juga pada anak-anak. Pemakaian preparat ini menguntungkan pasien karena murah, mudah penggunaannya dan efektif.

4. Terapi depigmentasiBila lesi depigmentasi telah melebihi 80% permukaan tubuh, maka terapi yang dilakukan adalah dengan depigmentasi sehingga membuat kulit seluruhnya menjadi putih. Agen pemutih yang digunakan biasanya monobenzielter hidrokuinon.(4)

Tabel 3. Guideline terapi vitiligo2

2.2. Albinisme okulokutaneaAlbinisme okulokutanea (OCA) adalah kelainan biosintesis melanin yang diturunkan dan memiliki karakteristik berupa hipopigmentasi generalisata pada rambut, kulit dan mata. OCA merupakan kumpulan dari empat kelainan autosomal resesif yang disebabkan oleh tidak adanya atau berkurangnya biosintesis melanin pada melanosit yang menyebabkan terjadinya hipopigmentasi rambut, kulit dan mata. Reduksi melanin pada mata menyebabkan berkurangnya ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh hipoplasia fovea. Terdapat empat jenis albinisme okulokutanea yakni OCA1A, OCA1B, OCA2, OCA3, dan OCA4. OCA1A merupakan tipe yang paling parah karena sama sekali tidak ada produksi melanin sepanjang masa hidupnya, sedangkan pada tipe lainnya yang tidak terlalu parah seperti OCA1B, OCA2, OCA3 dan OCA4 masih terdapat sedikit akumulasi pigmen. Perbedaan jenis albinisme okulokutanea disebabkan karena mutasi gen pada tempat yang berbeda.4,7

2.2.1. EpidemiologiTerdapat pada semua ras dengan prevalensi berbeda. Setidaknya satu dari 17.000 orang menderita salah satu tipe albinisme. Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 70 orang membawa gen albinisme. OCA1 memiliki prevalensi sebesar 1 berbanding 40.000 pada kebanyakan populasi, namun jarang ditemukan pada suku Afrika-Amerika. Sedangkan OCA2 merupakan tipe albinisme yang paling sering ditemukan pada ras Afrika yang berkulit hitam. Prevalensi total OCA2 diestimasi sebesar 1:36.000 di Amerika Serikat, dan sekitar 1:10.000 pada suku Afrika-Amerika. Pada sebuah penelitian yang dilakukan di daerah selatan Afrika, prevalensi OCA2 adalah 1:3.900. OCA3 atau Rufous oculocutaneous albinism dilaporkan terjadi pada 1:8.500 orang di Afrika, sedangkan tipe ini sangat jarang ditemukan pada suku bangsa Caucasia dan Asia. Jenis albinisme yang baru ditemukan, OCA4 dilaporkan sebagai penyebab 5-8% pasien yang berasal dari Jerman dan 18% pasien albinisme di Jepang.7

2.2.2. EtiopatogenesisOCA merupakan suatu kelainan heterogen kongenital dari biosintesis melanin yang berada di melanosit. OCA1 disebabkan oleh terjadinya mutasi pada gen tyrosinase (TYR) pada kromosom 11q14.3. Gen tersebut terdiri dari 5 ekson, dengan panjang 65 kb genom DNA dan mengkode 529 asam amino. TYR merupakan enzim yang mengandung warna tembaga (copper) yang mengkatalisis dua langkah pertama dalam pathway biosintesis melanin, mengubah tirosin menjadi L-dihidroksi-fenilalanin (DOPA) dan kemudian menjadi DOPAkuinon. Mutasi total pada gen ini menyebabkan OCA1A, sedangkan mutasi yang menyebabkan gangguan aktivitas enzim menyebabkan OCA1B sehingga pada OCA1B masih terdapat akumulasi pigmen. Mutasi pada gen OCA2 (dahulu gen P) menyebabkan terjadinya OCA2. Gen tersebut terdiri dari 24 ekson dengan panjang 34 kb dan mengkode 838 jenis asam amino. Protein OCA2 penting untuk biogenesis normal melanosom dan untuk memproses serta mengantar protein melanosom seperti TYR dan TYRP1. OCA3 disebabkan oleh mutasi pada tyrosinase-related protein (TYRP1). TYRP1 memiliki panjang 17 kb dan terdiri dari 8 ekson yang mengkode 536 asam amino. TYRP1 merupakan enzim pada pathway biosintesis melanin yang mengkatalisis oksidasi dari monomer asam 5,6-dihidroksiindol-2-karboksilik (DHICA) menjadi melanin. OCA4 disebabkan oleh mutasi pada gen membrane-associated transporter protein (MATP) yang terdiri dari 7 ekson, dengan panjang 40 kb, berada pada posisi 5p13.3. Fungsi MATP masih belum diketahui secara pasti, namun penelitian yang telah dilakukan terhadap ikan Medaka mengatakan bahwa protein MATP berperanan penting dalam pigmentasi dan berfungsi sebagai transporter di melanosom.

Gambar 5. Pathway biosintesis melanin7

2.2.3. Gambaran Klinis dan DiagnosisGambaran hipopigmentasi pada kulit dan rambut bervariasi dari tiap tipenya.

Tabel 4. Tipe OCA dan tingkat hipopigmentasi7OCA TypesDegree of hypopigmentation

OCA1A Hair, eyelashes and eyebrows are white The skin is white and does not tan Irises are light blue to almost pink, and fully transluscent Pigment does not develop Symptoms does not vary with age or race Visual acuity is 1/10 or less Photophobia is intense

OCA1B Hair and skin may develop some pigment with time (after 1 to 3 years) Blue irises may change to green/brown Temperature-sensitive variant manifest as having depigmented body hairs, and pigmented hairs on hands and feet due to lower temperatures. Visual acuity is 2/10 This phenotype previously known as yellow albinism

OCA2 The amount of cutaneous pigment may vary, newborn nearly always have pigmented hair Iris colors varies, the pink eyes seen in OCA1A are usually absent Visual acuity is usually better than OCA1, may reach 3/10

OCA3 Results in Rufuous or red OCA in African individuals, who have red hair and reddish brown skin (xanthism). Visual anomalies are not always detectable, maybe because the hypopigmentation is not sufficient to alter the development.

OCA4 Cannot be distinguished from OCA2 on clinical finding

2.2.4. Tata LaksanaTata laksana yang dilakukan biasanya terfokus pada dua hal yakni masalah pada penglihatan dan kulit. Masalah ketajaman penglihatan dapat dikoreksi dengan penggunaan lensa bifokal, fotofobia dapat dibantu dengan pemakaian kacamata berlensa gelap, dan penanganan nistagmus dapat dilakukan dengan pembedahan otot mata. Masalah pada kulit yang sering ditemui pada pasien OCA adalah kulit yang tidak mengalami pigmentasi namun mudah terbakar sinar matahari. Pemakaian tabir surya minimal SPF 15 direkomendasikan bagi pasien.4,7

2.3. Hipopigmentasi Post-InflamasiHipopigmentasi post-inflamasi merupakan salah satu jenis kelainan hipopigmentasi yang didapat (acquired hypopigmentary disorder) yang paling sering dijumpai. Pola distribusi dan keparahan hipopigmentasi berhubungan dengan derajat keparahan dari infelamasi. Pada kelainan pigmentasi post-inflamasi tertentu, beberapa individu dapat muncul hiperpigmentasi, sedangkan pada individu lainnya terjadi hipopigmentas. Keadaan hiperpigmentasi dan hipopigmentasi juga dapat terjadi bersamaan. Apabila terjadi inflamasi kulit yang parah, melanosit dapat hilang sehingga terjadi depigmentasi.8

2.3.1. EpidemiologiHipopigmentasi post-inflamasi dapat terjadi pada seluruh jenis kulit, namun lebih sering ditemukan pada orang-orang yang berkulit gelap. Tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan dalam jumlah insidensi hipopigmentasi post-inflamasi.

Tabel 5. Insiden hipopigmentasi post-inflamasi8

2.3.2. Etiopatogenesis Terdapat berbagai inflamasi pada kulit yang dapat menyebabkan terjadinya hipopigmentasi post-inflamasi. Beberapa penyakit seperti pityriasis lichenoides chronica (PLC) dan lichen striatus (LS) lebih cenderung menyebabkan hipopigmentasi daripada hiperpigmentasi. Trauma pada kulit seperti luka bakar, trauma akibat iritan ataupun prosedur dermatologika, seperti peeling dengan zat kimiawi, dermabrasi, krioterapi dan terapi laser, dapat menyebabkan terjadinya hipopigmentasi.LS merupakan salah satu penyebab hipopigmentasi post-inflamasi yang cukup sering, dengan insiden mencapai 59%. Dermatosis akan menghilang secara spontan dalam 2 tahun dan meninggalkan bekas hipopigmentasi, terutama pada orang-orang yang berkulit gelap. Selain itu, masa-masa inflamasi sering kali tidak terdeteksi dan hanya bermanifestasi sebagai hipopigmentasi. Pada pasien yang memiliki warna kulit gelap, PLC dapat muncul dengan tanda hipopigmentasi yang disertai pula dengan lesi papul-papul berskuama.Perubahan pigmentasi juga sering terjadi setelah trauma akibat luka bakar ataupun dingin. Pada luka bakar superfisial, hiperpigmentasi post-inflamasi sering kali terjadi sedangkan pada luka bakar yang dalam sering menyebabkan hipopigmentasi post-inflamasi. Melanosit sangat sensitif terhadap suhu dingin dan kerusakan yang ireversibel dapat terjadi pada suhu -4 hingga -7 OC. Suhu dingin menyebabkan terhambatnya transfer melanin dari melanosit menuju keratinosit. Hal tersebut mengakibatkan melanosit berpindah menuju lesi, sehingga muncul daerah hipopigmentasi dengan tepi hiperpigmentasi. Perubahan pigmentasi dapat berlangsung selama sekitar 6 bulan akibat tidak terdapatnya melanosom pada keratinosit, yang kemungkinan disebabkan karena berkurangnya jumlah melanosit, reduksi sintesis melanosom atau terhambatnya perpindahan melanosom.Hipopigmentasi juga dapat menjadi salah satu komplikasi yang mungkin terjadi setelah dilakukaan peeling dengan menggunakan zat kimia. Kemungkinan terjadinya hipopigmentasi juga terkait dengan fototipe kulit, dengan fototipe Fitzpatrick I memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami hipopigmentasi.9 Penelitian yang dilakukan oleh Savant melaporkan bahwa dari 65 pasien yang menjalani proses dermabrasi, 41 pasien mengalami hipopigmentasi permanen.Terapi dermatologi dengan menggunakan laser sering kali menyebabkan terjadi hipopigmentasi dan lesi tersebut dapat menjadi permanen. Lesi muncul biasanya sekitar tiga hingga enam bulan setelah dilakukannya tindakan terapi.Literatur yang menjelaskan mekanisme dan patogenesis pasti dari hipopigmentasi post-inflamasi masih sangat terbatas jumlahnya. Adanya variasi respon masing-masing individual terhadap suatu inflamasi pada kulit ataupun terhadap trauma masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. Melanosit dapat memberikan reaksi berupa peningkatan ataupun penurunan produksi melanin jika terjadi inflamasi pada kulit ataupun trauma pada kulit.

2.3.3. Manifestasi Klinis dan DiagnosisUkuran dan bentuk dari lesi hipopigmentasi umumnya berkorelasi dengan distribusi dan konfigurasi dermatosis pencetusnya. Depigmentasi sempurna dapat terjadi pada kasus AD yang parah dan SLE, serta terlihat lebih jelas pada pasien yang memiliki warna kulit gelap.

Gambar 6. Lesi hipopigmentasi pada kasus hipopigmentasi post-inflamasi8

(a) Lesi hipopigmentasi yang disebabkan oleh LS ; (b) lesi hipopigmentasi yang disebabkan oleh psoriasis ; (c) lesi depigmentasi pada pasien SLE ; (d) lesi hipopigmentasi dan depigmentas yang disebabkan oleh terapi laser untuk melasma.

2.3.4. Tata LaksanaLangkah tata laksana yang paling penting adalah mengidentifikasi etiologi. Terapi terhadap penyebab hipopigmentasi akan memperbaiki keadaan lesi. Untuk mencegah hipopigmentasi iatrogenik, dapat dilakukan terapi dermatologis dan kosmetik. Aplikasi topikal steroid potensi sedang sebanyak dua kali sehari yang dikombinasikan dengan preparat berbahan dasar tar sering kali digunakan sebagai terapi hipopigmentasi post-inflamasi. Steroid dapat mengurangi inflamasi pada sel, sedangkan tar dapat menginduksi melanogenesis. Selain itu, terapi topikal dengan menggunakan krim pimkrolimus juga cukup bermanfaat. Penggunaan dua kali sehari krim pimkrolimus 1% selama 16 minggu menunjukkan perbaikan paling baik sekitar 2 minggu setelah aplikasi.Paparan sinar matahari atau sinar UV juga dapat membantu repigmentasi jika masih ada melanosit yang masih berfungsi pada area tersebut, namun paparan yang terlalu banyak dapat menyebabkan meningkatnya kekontrasan warna kulit normal dengan lesi hipopigmentasinya karena terbakarnya kulit disekitar lesi hipopigmentasi.8

BAB IIIKESIMPULAN

Perbedaan warna kulit dan rambut terjadi akibat adanya perbedaan kadar melanin dalam kulit. Melanin merupakan suatu kompleks gabungan antara kuinon/indole-kuinon yang diproduksi di melanosit. Melanosit merupakan sel dendritik yang bermigrasi ke epidermis pada masa gestasi awal trimester pertama. Produksi melanin dalam melanosit terjadi pada granula yang menyerupai lisosom bernama melanosom.Pada tubuh kita terdapat dua tipe melanin yaitu pheomelanin yang memberikan warna merah/kuning dan eumelanin yang memberikan warna cokelat/hitam. Perbedaan pigmentasi dapat muncul karena adanya variasi jumlah, ukuran, komposisi dan distribusi dari melanosom. Secara garis besar hipopigmentasi dapat dibagi menjadi hipomelanosis melanogenik, yang terjadi akibat berkurangnya jumlah melanosom, serta hipomelanosis nonmelanopenik yang dapat disebabkan dari abnormalitas vaskuler.Walaupun kejadian kelainan pigmentasi kulit cukup banyak, namun penelitian mengenai kelainan pigmentasi pada kulit masih sangat terbatas. Penelitian mengenai hipopigmentasi pun masih sedikit dan masih ada mekanisme-mekanisme yang masih perlu diteliti lebih lanjut, misalnya walaupun biosintesis melanin sudah cukup diketahui namun cara transportasi dan degradasi melanosom dalam keratinosit belum dapat dipaparkan dengan jelas sehingga masih dibutuhkan studi yang lebih mendalam mengenai kelainan pigmentasi pada kulit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dov Hershkovitz ES. Monogenic pigmentary skin disorders: genetics and patho-physiology. Isr Med Assoc J Imaj. 2008;10(10):7137. 2. Khanna N. Illustrated Synopsis of Dermatology and Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. 3. Wolff K, Johnson R, Saavedra A. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 7th ed. 4. Monaidi SLS, Bramono K, Indtriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 352 p. 5. Taeb A, Picardo M. Vitiligo. N Engl J Med. 2009 Jan 8;360(2):1609. 6. Ongenae K, Van Geel N, Naeyaert J-M. Evidence for an Autoimmune Pathogenesis of Vitiligo. Pigment Cell Res. 2003 Apr 1;16(2):90100. 7. Grnskov K, Ek J, Brondum-Nielsen K. Oculocutaneous albinism. Orphanet J Rare Dis. 2007 Nov 2;2(1):18. 8. Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. Clin Exp Dermatol. 2011 Oct 1;36(7):70814. 9. Brody HJ. COMPLICATIONS OF CHEMICAL RESURFACING. Dermatol Clin. 2001 Jul 1;19(3):42738.

1