Referat Done
-
Upload
lim-michael -
Category
Documents
-
view
174 -
download
1
Transcript of Referat Done
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................2
BAB II ANATOMI KORNEA............................................................................................................4
2.1 Embriologi dan perkembangan kornea...................................................................................4
2.2 Anatomi kornea.........................................................................................................................5
2.2 Fisiologi kornea..........................................................................................................................8
BAB III DISTROFI KORNEA...........................................................................................................10
BAB IV DISTROFI KORNEA FUHCS...........................................................................................13
3.1 Faktor Resiko...........................................................................................................................13
3.2 Gejala klinis.............................................................................................................................13
3.3 Patofisiologi..............................................................................................................................16
3.4 Komplikasi...............................................................................................................................18
3.4.1 Penurunan visus hingga......................................................................................................18
3.4.2 Sakit....................................................................................................................................18
3.5 Pengobatan...............................................................................................................................18
3.5.1 Stadium edema awal...........................................................................................................18
3.5.2 Transplantasi kornea (keratoplasti).....................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................21
1
BAB I
PENDAHULUAN
Distrofi kornea adalah kelainan kornea yang bersifat non-inflamatif, bilateral dengan
karateristik adanya deposisi substansi diikuti dengan perubahan struktur dari kornea yang
dapat diikuti atau tidak diikuti dengan gangguan tajam penglihatan.1 Distrofi kornea pada
umumnya dimulai dari awal kehidupan dan menimbulkan gejala klinis pada setelah 10-20
tahun hingga lebih. Perjalanan penyakit ini dapat berkembang secara lambat dan juga dapat
bersifat progresif. Klasifikasi dari kornea distrofi dibagi berdasarkan dari lapisan kornea
yakni stroma kornea superfisial (superficial corneal dystrophies), stroma kornea (stromal
corneal dystrophies), membran Descemet dan endothelium (posterior corneal dystrophies).2,3
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang klasifikasi distrofi kornea secara umum
dan kami akan membahas lanjut pada satu topik bahasan berupa distrofi kornea posterior
dengan tipe Fuhcs endothelial corneal dystrophy.
FECD memiliki insidensi tertinggi di Amerika Serika dengan persentasi 4% orang
dengan usia di atas 40 tahun, 4,5% dengan usia di atas 50 tahun, 10,5% dengan usia di atas 60
tahun. Negara lain seperti Belanda memiiki prevalensi lebih tinggi dari Amerika Serikat. Dari
774 survei, terdapat 11% wanita dan 7% laki-laki yang mengalami FECD pada tahun 2005.
Prevalensi di Jepang dan singapura meningkat sampai 8,5% dan 5,5%. Indikasi dari
keratoplasti penetrasi sekitar 10 - 25% (>32.000) bedah ini dilakukan terhadap orang yang
mengidap FECD. FECD lebih sering (3-4:1) terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki.
FECD jarang terjadi pada orang dengan suku Arab Saudi, Cina, dan Jepang. Kasus PPCD
dan CHED jarang terjadi. 6
FECD terjadi bilateral dan berkembang secara perlahan pada usia lanjut. Penyakit ini
jarang terjadi pada usia dini. Kelainan pada penyakit ini disebabkan kelainan lapisan endotel
pada kornea yang menimbulkan gejala klinis berupa penebalan membran Descemet (kornea
gutata), edema kornea, dan penurunan ketajaman penglihatan disertai dengan adanya rasa
nyeri.1,2,6,9
Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan lampus slit dan eksisi jaringan
kornea untuk dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop
2
elektron disertai analisis genetik yang bertujuan untuk menegakan diagnosis yang lebih tepat
dikarenakan jenis distrofi kornea yang beragam.4
Manajemen terapi yang dapat dilakukan pada pasien distrofi kornea adalah
keratoplasti untuk pasien yang sudah mengalami distrofi kornea yang luas. Pemberian obat
tetes atau salep larutan hipertonik seperti NaCl 5% pada kasus edema kornea akut yang
bertujuan untuk mengurangi kerusakan jaringan yang ada.3
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk meningkatkan wawasan penulis dan
pembaca tentang Fuhcs endothelial corneal dystrophy dan sebagai salah satu syarat
melengkapi tugas kepaniteraan klinik stase mata di RS Polri Sukanto.
3
BAB II
ANATOMI KORNEA
2.1 Embriologi dan perkembangan korneaPembentukan kornea terjadi bersamaan dengan proses pembentukan lensa yang
terjadi pada minggu ke 4 hingga minggu ke 5 gestasi. Lapisan sel ektodermal menutup celah
yang ditinggalkan oleh lensa yang mengalami invaginasi sehingga menjadi epitel kornea
primitif yang terdiri atas 2 lapis sel. Epitel kornea primitif bertanggung jawab untuk
membentuk stroma kornea aselular yang disebut sebagai lapisan Bowman yang dapat
terdeteksi pada minggu 20 gestasi.
Gambar 1.1 Embriologi kornea (https://www.score95.com/blog/anatomy/usmle-step-2-ck-question-bank)
Diantara minggu ke 8 hingga minggu ke 26 gestasi dimana terjadi proses penyatuan
kelopak mata dan pembukaan kelopak mata, epitel berkembang hingga terdapat 4 hingga 5
lapisan sel yang tebal yang disebut sebagai epitel sel basal. Lapisan sel basal ini terus
4
menerus berkembang dari segi ketebalan dan jaringan ikat berupa hemidesmosome,
anchoring fibrils, dan anchoring plaques.
Sel mesoderm berkembang dimulai dari bawah permukaan sel epitel kornea bagian
limbus pada minggu ke 5 gestasi yang membentuk endotelium primitif. Endotelium primitif
memiliki 2 lapis sel yang akan menjadi satu pada minggu ke 8 gestasi sehingga membentuk
membran Descemet. Pada minggu ke 7 gestasi, kornea sudah tersusun atas struktur lengkap
seperti pada struktur orang dewasa.
Pada bayi dengan riwayat lahir cukup bulan, diameter kornea horizontal adalah 9,8
mm (75% - 80% ukuran kornea orang dewasa) yang akan terus bertambah hingga umur 2
tahun pada saat mencapai ukuran kornea orang dewasa dengan diameter kornea horizontal
11,7 mm. Tebal kornea pada saat lahir adalah 50 µm untuk tebal epitel, 12 µm untuk tebal
lapisan Bowma, 450 µm untuk tebal stroma kornea, 4 µm untuk tebal membran Descemet,
dan 5 µm untuk tebal endothelium.1
2.2 Anatomi kornea
Gambar 1.2 Anatomi bola mata (Vaughan & Asbury's General Opthalmology 17th Editon)
Kornea berasal dari kata latin cornum yang berarti seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata yang berfungsi sebagai membran proteksi dan sebagai “jendela” untuk ditembus
cahaya hingga mencapai retina. Kornea berbentuk elips dengan diameter 11,75 mm secara
5
horizontal dan 10,6 mm secara vertikal dengan ketebalan 1 mm pada bagian perifer dan
semakin berkurang ke arah sentral hingga mencapai ketebalan 0,52 mm. Kornea merupakan
permukaan refraksi terkuat pada mata dengan kekuatan 43 dioptri dimana total kekuatan
refraksi mata adalah 60 dioptri.
Gambar 1.3 Lapisan epitel kornea (Duane's Opthalmology)
Kornea tersusun atas 5 lapisan yakni lapisan epitel, membran Bowman, stroma,
membran Descemet dan endotel.
1. Epitel
Terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih dengan
ketebalan 550 µm, tersusun atas lapisan sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Daerah basal merupakan lapisan yang sering mengalami mitosis sel dan terdorong
ke lapisan superfisial menjadi sel gepeng. Sel basal berkaitan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel poligonal depannya melalui desmosom dan makula
okluden yang berfungsi sebagai barrier untuk menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya sehingga apabila terjadi gangguan pada sel basal maka dapat
mengakibatkan erosi rekuren.
6
2. Membran Bowman
Lapisan yang terletak di bawah membran basal dari epitel kornea yang tersusun
atas jaringan kolagen tidak teratur yang berasal dari bagian depan stroma. Lapisan
Bowman merupakan lapisan aselular sehingga lapisan ini tidak dapat melakukan
daya regenerasi.
3. Stroma
Menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea yang terdiri atas lamela yang
merupakan sususan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur dan pada bagian perifer serat kolagen bercabang.
Pembentukan kembali serat kolagen memakan waktu kadang-kadang sampai 15
bulan. Di antara lamela terdapat keratosit yang berfungsi untuk membentuk bahan
dasar berupa mukopolisakarida beserta glikosaminoglikan dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descemet
Lapisan yang menyusun lamina basal dari lapisan endotel kornea. Lapisan ini
merupakan lapisan yang homogen pada pemeriksaan mikroskop cahaya tetapi
berbentuk seperti berlapis-lapis pada pemeriksaan mikroskop elektron
dikarenakan perbedaan struktur. Lapisan ini bersifat sangat elastic dan
berkembang terus seumur hidup hingga mencapai tebal 40 µm.
5. Endotel
Lapisan ini hanya terdiri dari satu lapis sel yang berasal dari mesotelium dan
berbentuk heksagonal dengan besar 20-40 µm. Lapisan ini sangat rentan terkena
kerusakan dan memiliki daya regenerasi yang sangat terbatas dikarenakan
pembelahan sel yang sangat minim. Gangguan pada sistem endotel menyebabkan
terjadinya edema kornea.
7
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus
dan saraf nasosiliar. Saraf ke V siliar longus berada di suprakoroidm, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman dan melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis
epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
banyak ditemukana pada daerah limbus kornea yang berfungsi untuk merasakan sensasi
dingin. Daya regenerasi saraf yang rusak pada daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Gambar 1.4 Penyebaran saraf kornea (Duane's Opthalmology)
Kejernihan dari kornea dipengaruhi oleh susunan dan keadaan hidrasi dari serat
kolagen dalam stroma. Jika air masuk ke dalam serat kolagen maka akan terjadi pemisah
antar sel sehingga mengurangi kejernihan kornea. Lapisan epitel dan endotel mencegah
masuknya cairan ke dalam stroma dengan bekerja sebagai penghalang. Sebagai tambahan,
endotel dapat mengeluarkan kelebihan air di jaringan kornea melalui proses transport aktif
(pompa endotel). Kornea mendapatkan asupan nutrisi dan oksigen dari air mata, humor
akuosus, dan kapiler-kapiler daerah limbus.2,5
2.2 Fisiologi korneaKornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui oleh cahaya
menuju retina. Sifatnya yang tembus cahaya disebabkan oleh struktur kornea yang uniform,
avaskuler dan deturgensi. Deturgensi atau keadaan dehidrasi relative jaringa kornea,
dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar dari epitel
dan endotel. Endotel merupakan lapisan yang lebih penting dibandingkan epitel dalam
mekanisme dehidrasi kornea dan kerusakan dari lapisan endotelium mempunya dampak yang
8
lebih besar dibandingkan kerusakan pada lapisan epitel. Kerusakan dari sel endotel dapat
mengakibatkan terjadinya edema kornea dan menghilangnya sifat transparansi dari kornea.
Sedangkan pada kerusakan epitel biasanya bersifat sementara dan menyebabkan terjadinya
edema lokal yang hilang dengan cepat dikarenakan regenerasi dari sel epitel. Penguapan air
dari film air mata prakornea berakibat film air mata menjadi hipertonik yang mengakibatkan
penarikan air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.
Gambar 1.5 Proses deturgensi kornea (Duane's Opthalmology)
Penetrasi obat pada kornea yang utuh bersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat
melalui epitel yang utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Maka dari itu
jenis obat yang bersifat laruk lemak dan air adalah jenis obat yang dipakai untuk dapat
menembus kornea.1, 2, 5
9
BAB III
DISTROFI KORNEA
Distrofi kornea adalah kelainan kornea yang bersifat non-inflamatif, bilateral dengan
karateristik adanya deposisi substansi diikuti dengan perubahan struktur dari kornea yang
dapat diikuti atau tidak diikuti dengan gangguan tajam penglihatan.1 Substansi abnormal
secara tipikal menumpuk pada lisosom atau struktur intrasitoplasmik seperti lisosom sebagai
penyebab defek enzim tunggal. Distrofi kornea pada umumnya dimulai dari awal kehidupan
dan menimbulkan gejala klinis pada setelah 10-20 tahun hingga lebih. Perjalanan penyakit ini
dapat berkembang secara lambat dan juga dapat bersifat progresif. Distrofi kornea merupaka
penyakit yang diturunkan berdasarkan hukum Mendel (autosomal dominant, autosomal
recessive, atau X-linked recessive) yang pada umumnya berbentuk autosomal recessive.
Klasifikasi dari kornea distrofi dibagi berdasarkan dari lapisan kornea yakni stroma kornea
superfisial (superficial corneal dystrophies), stroma kornea (stromal corneal dystrophies),
membran Descemet dan endothelium (posterior corneal dystrophies).4 Klasifikasi tersebut
terdiri atas:
1. Distrofi kornea superfisial (superficial corneal dystrophies)
a. Messman dystrophy (MECD, Stocker-Holt dystrophy)
b. Reis-Buckles corneal dystrophy (RBCD, corneal dystrophy of Bowman layer type
I, GCD type III)
c. Thiel-Behnke dystrophy (TBCD, corneal dystrophy of Bowman layer type II)
d. Gelatinous drop-like corneal dystrophy (GDCD, subepithelial amyloidosis,
primary familial amyloidosis)
e. Lisch epithelial corneal dystrophy (LECD, band-shaped and whorled mycrocystic
dystrophy of the corneal epithelium)
f. Epithelial recurrent erosion dystrophy (ERED, recurrent hereditary orneal
erosion, Dystrophia Helsinglandica, Dystrophia Smolandensis)
g. Subepithelial mucinous central dystrophy (SMCD)
2. Distrofi kornea stromal (stromal corneal dystrophies)
a. Macular corneal dystrophy (MCD, corneal dystrophy Groenouw type II, Fehr
corneal dystrophies)
b. Granular corneal dystrophy GCD type I
10
c. Lattice corneal dystrophies (LCD) type I
d. Schnyder corneal dystrophy (SCD, Schnyder crystalline corneal dystrophy)
e. Fleck corneal dystrophy (FCD)
f. Congenital stromal corneal dystrophy (CSCD)
g. Posterior amorphous corneal dystrophy (PACD)
3. Distrofi kornea posterior (posterior corneal dystrophies)
a. Fuhcs corneal dystrophy (FECD)
b. Posterior polymorphous corneal dystrophy (PPCD)
c. Congenital hereditary endothelial corneal dystrophy (CHED 1)
d. X-linked endotheliat corneal dystrophy
Manifestasi yang dapat ditimbulkan pada penyakit ini dapat bervariasi dari bentuk
kekeruhan kornea yang bersifat jernih atau berasap sehingga dapat menyebabkan gangguan
tajam penglihatan kedalam beberapa derajat yang berbeda. Diagnosis dapat ditegakan
berdasarkan tampilan klinis dan ditunjang dengan pemeriksaan jaringan kornea yang telah
dieksisi dan dalam beberapa kasus menggunakan analisis genetika.4
Mode pewarisan Lokus gen GenDistrofi kornea
superfisialMessman dystrophy AD 12q13 KRT3
Reis-Buckles corneal
dystrophy
AD 17q12 KRT12
Thiel-Behnke
dystrophy
AD 5q13 TGFBI
Gelatinous drop-like
corneal dystrophy
AD Ip32 TACSTD2
Lisch epithelial
corneal dystrophy
XR Xp22.3 Tidak diketahui
Epithelial recurrent
erosion dystrophy
AD Tidak diketahui Tidak diketahui
Subepithelial
mucinous central
dystrophy
AD Tidak diketahui Tidak diketahui
Tabel 2.1 Klasifikasi distrofi kornea superfisial
11
Mode pewarisan Lokus gen GenDistrofi kornea
stromaMacular corneal
dystrophy
AR 16q22 KRT3
Granular corneal
dystrophy type I & II
AD 5q31 KRT12
Lattice corneal
dystrophy type I
AD 5q31 TGFBI
Fleck dystrophy AD 2q35 PIP5K3
Schnyder corneal
dystrophy
XR Ip34.1-p36 UBIAD I
Posterior amorphous
corneal dystrophy
AD Tidak diketahui Tidak diketahui
Congenital stromal
dystrophy
AD 12q13.2 DCN
Tabel 2.2 Klasifikasi distrofi kornea stromal
Mode pewarisan Lokus gen GenDistrofi kornea
posteriorFuhcs dystrophy AD Ip34.3 COLBA
Fuhcs dystrophy AD 13pTel-13q12.13 Tidak diketahui
Fuhcs dystrophy AD 18q21,2-q21.32 Tidak diketahui
Fuhcs dystrophy ? 20p13-p12 SLC4AII
Fuhcs dystrophy ? 10p11.2 TCF8
Posterior
polymorphous
dystrophy type I, II, III
AD 20p11.2Ip.34.3-p32.3
10p11.2
Tidak diketahuiCOL8A2#
TCF8
Congenital endothelial
corneal dystrophy type
I, II
AD 20p11.2-q11.2 TCF8Tidak diketahui
X-linked endothelial
corneal dystrophy
XR Tidak diketahui Tidak diketahui
Tabel 2.3 Klasifikasi distrofi kornea posterior
12
BAB IV
DISTROFI KORNEA FUHCS
Kelompok yang terdapat pada distrofi kornea posterior adalah Fuhcs corneal
dystrophy (FECD), posterior polymorphous corneal dystrophy (PPCD), congenital
hereditary endothelial corneal dystrophy (CHED), dan X-linked endothelial corneal
dystrophy (XECD).
Distrofi korena Fuhcs merupakan kelainan yang melibatkan endotel dan membran
Descemet pada kornea. Kekurangan transport cairan aktif dari endotel kornea menyebabkan
edema di stroma kornea dan akan mengganggu kejernihan kornea dan menurunkan ketajaman
penglihatan.
3.1 Faktor ResikoRadiasi sinar UV diduga dapat menyebabkan distribusi gutata di inter-palpebra dan
Singapura memiliki angka prevalensi lebih tinggi dari Jepang, diakibatkan negara Singapura
terletak di dekat ekuator. Tetapi penghasilan percobaan dari Reykjavik Eye Study dalam
berhubungan radiasi UV dan akibat gutata tidak begitu signifikan. Penelitian terbaru
menemukan relasi indeks masa tubuh dengan guttae. Resiko FCD pada orang dengan indeks
masa tubuh tinggi lebih rendah dibandingkan orang dengan BMI rendah. Fakta ini terkait
dengan ganguan kadar hormon tertentu tetapi belum begitu jelas mekanismenya.
FCD terkait dengan beberapa penyakit, seperti hipermetropi aksial, COA yang
dangkal, dan glaukoma sedut tertutup. Peningkatan prevalensi degenerasi makula terdapat di
beberapa pasien dengan FCD. 27 dari 51 pasien dengan FCD terdapat kornea dengan
keratoconus dan concurrent corneal dystrophies. Patogenesis belum dapat diketahui dengan
baik. Mutasi pada mis-sense mitochondrial DNA dikaitkan dengan FCD. Tetapi penyakit-
penyakit ini terjadi pada sampel kecil sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.1, 6
3.2 Gejala klinisFECD terjadi bilateral berkembang secara perlahan pada usia lanjut. Penyakit ini
jarang terjadi pada usia dini. Karakteristik klinis pada penyakit ini adalah penebalanan
membrane Descemet (kornea gutata), edema kornea dan penurunan penglihatan.
13
Gambar 4.1 Kekeruhan kornea masif (Klintworth GK. Corneal dystrophies. Orphanet Journal of Rare Diseases.
Feb 2009)
FECD dimulai tanpa gejala, pembentukan gutata kornea dan sering kali dikelilingi
dengan bintik pigmen. Ini akan terlihat seperti kilauan berwarna coklat keemasan dari
biomikroskopi lampu slit dan tetes embun kecil dari retroiluminasi. Abnormalitas endotel
kornea terdeteksi secara klinis beberapa tahun sebelum gejala muncul. Penglihatan menjadi
berkabut dan silau disertai dengan edema stroma dan epitel kornea. Kehilangan kejernihan
kornea terjadi disertai dengan nyeri dari erosi kornea dan kerusakan penglihatan yang hebat,
kadang-kadang terjadi kebutaan.1,2,6
14
Gambar 4.2 Gambaran gutata di mikroskop
cahaya (Klintworth GK. Corneal dystrophies.
Orphanet Journal of Rare Diseases. Feb
2009.)
Gambar 4.3 Gambaran gutata di mikroskop electron
(Klintworth GK. Corneal dystrophies. Orphanet
Journal of Rare Diseases. Feb 2009)
Awalnya edema stroma menyebabkan perkabutan berwarna biru keabu-abuan pada
membran anterior Descemet. Diikuti dengan proses seluruh stroma akan menjadi tebal dan
menimbulkan ground-glass appearance diikuti membrane Descemet yang mengerut. Edema
epitel terlihat seperti fine pigskin texture (bedewing). Cairan akan menumpuk di antara sel
epitel dan subepitel dan memecah bagian epitel menyebabkan erosi kornea disertai rasa nyeri.
Edema subepitel akan menghilang tetapi makin memburuk karena jaringan ikat (fibrosis)
akan mengantikan erosi. FECD sering berhubungan dengan katarak.1
FCD dalam kasus lanjut akan menyebabkan abnormalitas di seluruh lapisan kornea
yang diakibatkan abnormalitas di endotel kornea dan membran Descemet yang berlangsung
terus menurus. Ini akan menyebabkan penurunan fungsi sel endotel, degenerasi endotel
kornea dan apoptosis. Melanosom akan terlihat di dalam sel endotel. Ini akan menyebabkan
penurunan pompa Na-K ATPase pump di sel endotel yang terjadi pada FECD sehingga
terjadi disfungsi endotel dan menganggu stabilitas cairan dalam kornea dikarenakan perfusi
terganggu pada waktu penderita menutup mata dalam jangka lama atau tertidur. Ini akan
menyebabkan tekanan tinggi dan penderita akan mengalami silau dan visus kabur waktu
bangun dari tidur.
Gambar 4.4 Melanosom pada sel endotel (Klintworth GK. Corneal dystrophies. Orphanet Journal of Rare
Diseases. Feb 2009.)
Terjadinya penebalan pada permukaan Descemet membrane posterior dapat menyebar
sampai bilik mata depan dengan bentuk seperti jamur atau paron. Selain itu ada yang
berbentuk kutil multilaminer (Hassal-Henle warts) terbentuk di matriks ekstraselular
multilamina. Distribusi gutata bisa di visualisasi pada preparat membran Descemet memakai
phase-contrast microscopy atau scanning electron microscopy. Membrane Descemet akan
15
menjadi lebih tebal dan sering kali tidak merrata akibat akumulasi berlebihan kolagen
terutama di dearah dimana gutata berada.6
Gambar 4.5 Histopatologi jaringan ikat kolagen dengan penebalan membran Descemet (Klintworth GK. Corneal dystrophies. Orphanet Journal of Rare Diseases. Feb 2009)
Edema kornea (hingga 1mm, N:0.52-0.56mm) sering terjadi di sentral dan parasentral
kornea pada kornea endotel yang abnormal.
3.3 Patofisiologi Lesi awal pada distrofi fuchs adalah kornea guttata (kornea gutata). Saat diperiksa
secara ultrastruktural, membran Descemet pada penyakit ini terdiri atas bundel-bundel
kolagen yang jaraknya saling berjauhan dan bentuknya menyerupai batang. Sel endotel
menghasilkan eksresi yang berbentuk seperti jamur. Keberadaan ekskresi guttata pada bagian
sentral kornea akan menimbulkan masalah pada individu berusia lanjut.7
16
Pada dasarnya, terjadi suatu degenerasi sel endotel kornea dan apoptosis, sehingga
jumlah sel endotel yang berfungsi baik menurun. Di dalam sel endotel yang abnormal, dapat
ditemukan pelebaran interselular, pembengkakan
mitokondria, dan retikulum endoplasmic serta
melanosom yang berdilatasi. Pada saat ini, telah
terjadi juga gangguan fungsi protektif dari kornea dan
kegagalan pompa Na-K ATPase.8 Hal ini
menyebabkan hidrasi berlebih pada kornea dan cairan
edematosa ini akan memisahkan lamella-lamela pada
kornea, membentuk “fluid-lakes”, sehingga akan
berdampak pada terjadinya kekeruhan kornea.
Seiring dengan berjalannya penyakit, cairan
edematosa akan merembes masuk ke dalam epitel,
menghasilkan iregularitas permukaan epitel. Hasil akhir dari proses patofisiologis pada
penyakit ini adalah terbentuknya jaringan ikat vaskular pada subepitel.
17
Gambar 11. Cornea gutata terlihat pada
pemeriksaan retroiluminasi (Borboli S, Colby
K. Mechanisms of disease: Fuhcs’ endhotelial
dystrophy. Opthalmology Clinic North
America. Mar 2002)
Gambar 4.6 Edema pada stroma, lipatan
descemet, dan endothelial guttata (Baratz KH,
Tosakulwong N, Ryu E, Brown WL, Branham K,
Chen W, et al. E2-2 Protein and Fuhcs’s Corneal
Dystrophy. New England Journal of Medicine.
Sep 9 2010)
3.4 Komplikasi
3.4.1 Penurunan visus hingga
Kornea dapat diibaratkan sebagai suatu jendela dari mata dan berperan merefraksikan
cahaya. Pada kasus distrofi kornea Fuhcs, seiring dengan berjalannya penyakit, epithelial
bullae akan rupture, sehigga terbentuk ulkus kornea. Lesi pada kornea tentunya akan
menurunkan ketejaman penglihatan seseorang, oleh karena cahaya tidak dapat masuk
sepenuhnya untuk membentuk bayangan pada retina.8
3.4.2 Sakit
Abrasi pada kornea akan membuat pasien mengeluhkan sakit pada matanya. Hal ini
diakibatkan banyaknya serat saraf yang sensitive terhadap stimulus sakit.9
3.5 Pengobatan
Pengobatan pada distrofi kornea Fuhcs dapat dibagi berdasarkan terapi pengobatan
dan terapi bedah.
3.5.1 Stadium edema awal
Penggunaan NaCl 5% (hipertonik salin) tetes atau salep selama 1-2 hari merupakan
terapi awal yang dapat diberikan kepada pasien distrofi kornea pada stadium awal yang
bertujuan untuk mengurangi edema yang dapat berdampak terhadap kerusakan jaringan epitel
kornea. Terapi pengobatan yang dapat dilakukan adalaha pemberian cairan hipertonik (NaCl
– Muro 128) dalam bentuk tetes mata atau salep yang berfungsi untuk mengekstrasi cairan
dari kornea. Pemberian obat ini pada waktu sebelum tidur dan waktu pagi hari.6 Pada edema
kornea yang sudah lanjut dapat dilakukan kompres penekanan pada kornea untuk scraping
epitel kornea.4
3.5.2 Transplantasi kornea (keratoplasti)
Transplantasi atau keratoplasti merupakan tindakan yang diindikasikan untuk
beberapa kelainan kornea dengan derajat keparah yang tinggi seperti distorsi, penipisan,
terbentuknya jaringan parut yang luas, dan edema. Keratoplasti penetrasi (penetrating
keratoplasty) merupakan transplantasi seluruh lapisan kornea. Lamellar keratoplasti (lamellar
keratoplasti) merupakan transplantasi sebagian ketebalan kornea yang bertujuan untuk
mengangkat jaringan anterior kornea saja disertai dengan beberapa lapis stroma. Keratoplasti
18
lamellar dalam (deep lamellar keratoplasty) merupakan transplantasi ketebalan kornea hingga
bagian stroma sehingga meninggalkan bagian endotel yang tidak ditranplantasi. Lamellar
keratoplasti endotel dalam (deep lamellar endothelial keratoplasty) merupakan transplantasi
yang dilakukan pada lapisan endotel dengan mengangkat sedikit jaringan stroma. Descemet
stripping endothelial keratoplasty merupakan terapi terbaru yang tidak terlalu invasif.1, 2, 4-6
Terapi bedah dilakukan apabila terjadi gangguan pada ketajaman penglihatan, rasa
sakit yang ditimbulkan akibat pembentukan bulla pada epitel. Keratoplasti merupakan pilihan
terapi operatif yang dilakukan untuk membalikan ketajaman penglihatan. Keratoplasti
penetrasi pilihan terapi bedah yang dipilih untuk kornea distrofi.
Donor dengan usia muda pada umumnya dilakukan transplantasi kornea
menggunakan tehnik keratoplasti penetrasi dan juga keratoplasti lamellar dalam dikarenakan
adanya faktor pertambahan umur dalam jumlah dan kesehatan sel endotel kornea.
Dikarenakan sel endotel memiliki waktu kematian sel yang cepat, maka mata pendonor harus
segera dienukleasi dan dimasukkan kedalam pendingin segera. Transplantasi harus dilakukan
dalam kurun waktu 48 jam. Tehnik penyimpanan yang baru memungkinkan kornea donor
dapat disimpan dalam waktu yang lama.2
3.5.2.1 Keratoplasti penetrasi
Keratoplasti penetrasi sudah dilakukan sejak tahun 1952 pada terapi distrofi kornea
Fuhcs.10 Pada pasien asimptomatik yang disertai dengan katarak stadium lanjut dapat
menyebabkan terjadinya penurunan visus. Pasien dengan katarak disertai dengan distrofi
kornea Fuhcs, beberapa faktor berperan dalam menentukan terapi bedah yang akan
dilakukan. Terapi bedah dilakukan dengan operasi katarak saja atau dikombinasikan dengan
keratoplasti. Penelitian pada rumah sakit Wills dimana dilakukan perbandingan antara
prosedur pembedahan sekaligus (keratoplasti penetrasi dan operasi ekstraksi katarak) dan
pembedahan secara bertahap. Ditemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
antara pembedahan sekaligus atau secara bertahap.11
3.5.2.2 Keratoplasti endothelial
Merupakan metode keratoplasti terbaru dimana pemulihan ketajaman penglihatan
yang cepat dan sedikit menimbulkan astigmatism.12 DSEK (Descemet stripping endothelial
19
keratoplasty) merupakan jenis operasi dengan mengganti membran Descemet dan lapisan
endotel pasien dengan jaringan donor yang sehat. Tidak seperti keratoplasti penetrasi, DSEK
tidak memerlukan penjahitan yang banyak dan memakan waktu yang cukup lama disertai
dengan komplikasi (pendarahan suprakoroid lambat, komplikasi jahitan dan luka) yang
sangat minim.
3.5.2.3 Rencana pengobatan lanjut
Kultur sel endotel (human cultured endothelial cells – HCEC) dapat digunakan untuk
restorasi endotel kornea. Percobaan yang dilakukan pada kornea kelinci menunjukkan bahwa
terdapat penurunan edema kornea dan ketebalan kornea setelah pembuangan lapisan endotel
atau membran Descemet dan menunjukkan resolusi yang cepat dalam penyembuhan edema
kornea.13,14
20
BAB V
KESIMPULAN
Distrofi korena Fuhcs merupakan kelainan yang melibatkan endotel dan membran
Descemet pada kornea. Kekurangan transport cairan aktif dari endotel kornea menyebabkan
edema di stroma kornea dan akan mengganggu kejernihan kornea dan menurunkan ketajaman
penglihatan. Radiasi sinar UV diduga dapat menyebabkan terjadinya FCD akan tetapi
penghasilan percobaan dari Reykjavik Eye Study dalam berhubungan radiasi UV dan akibat
gutata tidak begitu signifikan. Penelitian terbaru menemukan relasi indeks masa tubuh
dengan gutata dimana orang dengan indeks masa tubuh tinggi lebih rendah dari orang dengan
BMI rendah. FCD terkait dengan beberapa penyakit, seperti hipermetropi aksial, COA yang
dangkal, dan glaukoma sedut tertutup
FCD terjadi bilateral berkembang secara perlahan dari usia lanjut. Penyakit ini jarang
terjadi pada usia dini. Karakteristik klinis pada penyakit ini adalah penebalanan membrane
Descemet (kornea gutata), edema kornea dan penurunan penglihatan disertai dengan rasa
sakit yang hebat dikarenakan edema lapisan epitel dan subepitel yang menyebabkan erosi
kornea.
Terapi pengobatan pada distrofi kornea Fuhcs yakni adalah penggunaan larutan
hipertonik seperti NaCl 5% yang berfungsi untuk mengurangi edema kornea yang terjadi
pada fase awal yang berfungsi untuk mengurangi terjadinya erosi kornea. Keratoplasti
merupakan pengobatan secara pembedahan dengan tujuan untuk memulihkan ketajaman
penglihatan pasien. Jenis keratoplasti yang sering digunakan adalah DSEK (Descemet
stripping endotheliat keratoplasty) dimana memiliki prognosis yang lebih baik dan waktu
penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan operasi keratoplasti penetrasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. William Tasman, MD dan MD Edward A. Jaeger. Duane's Opthalmology. Oklahoma:
Lippincot Williams & Wilkins, 2007.
2. Eva, Paul Riordan dan John P. Whitcher. Vaughan & Asbury's General Opthalmology
17th Editon. New York: Lange, 2007.
3. Khurana, A K. Comprehensive Opthalmology 4th Edition. India: New Age
International, 2007.
4. Klintworth GK. Corneal dystrophies. Orphanet Journal of Rare Diseases. Feb 2009.
5. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FK-UI, 2010.
6. Eghahri O A, Gottsch D John. Fuchs' Corneal Dystrophy. Expert Rev Ophthalmol.
2010 April
7. Baratz KH, Tosakulwong N, Ryu E, Brown WL, Branham K, Chen W, et al. E2-2
Protein and Fuchs’s Corneal Dystrophy. New England Journal of Medicine. Sep 9
2010.
8. Borboli S, Colby K. Mechanisms of disease: Fuchs’ endhotelial dystrophy.
Opthalmology Clinic North America. Mar 2002.
9. Adamis AP, FIlatov V, Tripathi BJ, Tripathi RC. Fuchs’ endothelial dystrophy of the
cornea. Survey of Opthalmology. Oct 2005.
10. Stocker FW. Successful corneal graft in a case of endothelial and epithelial dystrophy.
Am J Ophthalmol 1952;35:349–352. [PubMed: 14903022]
11. Pineros OE, Cohen EJ, Rapuano CJ, Laibson PR. Triple vs nonsimultaneous
procedures in Fuchs’ dystrophy and cataract. Arch Ophthalmol 1996;114:525–528.
Describes Descemet’s membrane endothelial keratoplasty, the most recent of
endothelial keratoplasty techniques in which the endothelium and Descemet
membrane are selectively replaced. [PubMed: 8619760]
12. Heidemann DG, Dunn SP, Chow CY. Comparison of deep lamellar endothelial
keratoplasty and penetrating keratoplasty in patients with Fuchs endothelial
dystrophy. Cornea 2008;27:161–167. Contains a comprehensive review of reported
surgical outcomes in Descemet stripping endothelial keratoplasty. [PubMed:
18216570]
22
13. Mimura T, Yamagami S, Yokoo S, et al. Cultured human corneal endothelial cell
transplantation with a collagen sheet in a rabbit model. Invest Ophthalmol Vis Sci
2004;45:2992–2997. [PubMed: 15326112]
14. Hitani K, Yokoo S, Honda N, Usui T, Yamagami S, Amano S. Transplantation of a
sheet of human corneal endothelial cell in a rabbit model. Mol Vis 2008;14:1–9.
[PubMed: 18246029]
23