Referat Alzheimer
description
Transcript of Referat Alzheimer
PATOFISIOLOGI ALZHEIMER
Patogenesis penyakit Alzheimer belum banyak diketahui. Penelitian terakhir dipusatkan pada terjadinya penurunan enzim kholin asetiltransferase yang membentuk asetilkholin pada neuron-neuron kholinergik dalam hipokampus dan neokorteks. Menurunnya sintesis kholonergik ini dikaitkan dengan berkurangnya sel-sel neuron dalam nukleus basalis meynert, yang merupakan terminal awal proyeksi sistem kholinergik neokortikal. Berkurangnya aktivitas kholin asetiltransferase sejajar degan beratnya demensia dan banyaknya bercak senilis yang terbentuk.1
Selain terdapat penurunan jumlah-jumlah neuron kholinergik, ditemukan juga berkurangnya neuron-neuron monoaminergik (menurunnya noradrenalindan serotonin), menurunnya neurotransmiter asam amino (terutama asam glutamat) dan neurotransmitter neuropeptida (substansi-P dan somatostatin).1
50%-90% penurunan aktivitas dari enzim kholin asetiltransferase (CAT), dapat menurunkan sintesis asetilkolin di korteks cerebri dan hipokampus, yang akan menyebabkan hilangnya kognitif.2
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrillary tangles,hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakular,dan Hirano bodies. Plak neuritik emngandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distrofik,sementara olak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak b-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo E dengan b-amylodi menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen,mikroglia yang teraktivasi,sitokin-sitokin,dan protein fase-akut,sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode kromosom 21,menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down yang diderita oleh semua pasien penyakit Alzheimer uang muncul pada usia 40 tahun.4
pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer (hipotesis kaskade amyloid) Berbagai mekanisme yang terlibat pada patogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi dengan obat yang tepat diharapkan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit Alzheimer.3
Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia,dan plak ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer,namun apakah ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui.4
1
Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin,yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi,ubiquitin,dan protein presinap yang disebut α-synuclein. Jika pada seorang demensia tidak ditemukan gambaran patologik selain adanya Lewy body maka kondisi ini disebut diffuse Lewy body disease,semntara bila ditemukan juga plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer.3
Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer,juga pada demensia tipe lain,adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin,somatostatin-like reactivity,dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer,defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.4
2
PENATALAKSANAAN ALZHEIMER
Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi
efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah laku dan membangun “rapport”
dengan pasien,anggota keluarga,dan pramuwerdha,saat ini fokus pengobatan adalah pada
defisit sistem kolinergik.
Kolinesterase inhibitor. Tacrine (tetrahydroaminoacridine),donepezil, rivastigmin,dan
galantamin adalah kolinesterasi inhibitor yang telah disetujui U.S Food and Drug
Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan
ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase,dengan meningkatnya kadar asetilkolin di
jaringan otak. Dari keempat obat tersebut,tacrine saat ini jarang digunakan karena efek
sampingnya ke organ hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5mg perhari,dan
dosis dinaikkan menjadi 10mg perhari setelah satu bulan pemakaian. Dosis rivastagmin
dinaikkan dari 15mg dua kali perhari menjadi 3mg dua kali perhari,kemudian 4,5mg dua kali
perhari,sampai dosis maksimal 6mg dua kali sehari. Dosis dapat dinaikkan pada interval
antara satu sampai empat minggu; efek samping umumnya lebih minimal bila peningkatan
dosisnya dilakukan lebih lama. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4mg dua
kali perhari,untuk dinaikkan menjadi 8mg dua kali perhari dan kemudian 12mg perhari.
Seperti rivastigmin,interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek
samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10mg
untuk donepezil,6 sampai 12mg untuk rivastigmin,dan 16 sampai 24mg untuk galantamin.
Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-obatan kolinesterase inhibitor ini
antara lain adalah mual,muntah,dan diare,dapat pula timbul penurunan berat
badan,insomnia,mimpi abnormal,kram otot, bradikardia,sinkop,dan fatig. Efek-efek samping
tersebut umumnya muncul saat awal terapi,dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya
diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat
diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Penggunaan
bersama-sama lebih dari satu kolinesterase iinhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah
diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor umumnya digunakan bersama-sama
dengan memantin dan vitamin E.3,4
Antioksidan. Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik
adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat
memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak
digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia
3
tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres
oksidatif sebagai salah satu dasar proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit
Alzheimer,ditambah hasil yang didapat pada beberapa studi epidemiologis,vitamin E bahkan
digunakan sebagai pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif
normal. Namun suatu studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin
E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada
pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien
demensia maupun gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat bila
dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor.5
Memantin. Obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pada
demensia sedang dan berat adalah memantin,suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek
terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi
neuron di hipokampus. Bila memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer yang telah
mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap, didapatkan perbaikan fungsi
kognitif,berkurangnya penurunan status fungsional,dan berkurangnya gejala perubahan
perilaku baru bila dibandingkan penambahan plasebo.3
Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada
patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer,maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan
manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia
Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada
prednison,refocoxib,maupun naproxen,sehingga sampai saat ini tidak ada data yang
mendukung penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demensia. Selain
itu,walaupun beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin
dapat mengurangi insidensi demensia,namun penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak
ada manfaatnya pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi
pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan
pengobatan demensia diantaranya ginko biloba,huperzin A (kolinesterase
inhibitor),imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid,dan beberapa pendekatan yang
bersifat neuroprotektif. 4
4
Tabel 1. Penjelasan obat pada alzheimer
5
6
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis Edisi Pertama. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
2. Mazzoni P, Pearson T,Rowland L,2006.Merritt’s Neurolgy Handbook. Lippincott
Williams & Wilkins. Second edition. New York.
3. Cummings JL. Alzheimer’s disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67
4. Rochmach W,Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A,Setiyohadi B,Alwi I,Setiati
S,penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4.Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2006.h.1374-8
5. Bird TD,Miller BL.Alzheimer’s disease and other dementias.Dalam: Kasper
DL,Braunwald E,Fauci AS,Hauser SL,Longo DL,penyunting. Harrison’s Principles of
Internal Medicine,Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing
Division;2005.h.2393-406
7