Refer At

40
BAB I PENDAHULUAN Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang patogenesisnya masih belum jelas. 1 Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea. 2 Penyakit ini sering terjadi di masyarakat dan menimbulkan kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri. Karena pada awalnya pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah sepele, hingga lesi mengganggu axis visual. 1 Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya pterygium. Diperkirakan 8

description

pterigium pembahssan

Transcript of Refer At

Page 1: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang

patogenesisnya masih belum jelas.1 Menurut American Academy of

Ophthalmology, pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang

artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi

fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju

kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea.2 Penyakit ini sering terjadi

di masyarakat dan menimbulkan kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan

dan mata itu sendiri. Karena pada awalnya pterygium sering tidak bergejala, telah

dilakukan penelitian mengenai sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata

menganggap ini adalah masalah sepele, hingga lesi mengganggu axis visual. 1

Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah

mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih

banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium

muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di

mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya

pterygium. Diperkirakan pterygium disebabkan oleh karena sering terpajan sinar

matahari dan radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin

kencang. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai

tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. 2,3

Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai

lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak

topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.

Bentuknya menyerupai daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi

nasal. Gejala yang dialami pasien seperti merasakan sensasi benda asing, nyeri,

lakrimasi dan penglihatan kabur. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke

daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea

superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan

eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.4

8

Page 2: Refer At

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pterigium

II.1. a Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal

dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah

poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari

(sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea

hingga akhirnya menutupi permukaan kornea.2

II.1. b Epidemiologi dan Insidens

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian

dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%.

Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan

sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi

geografis 'sabuk pterigium' dalam garis peri-khatulistiwa 37o lintang

utara dan selatan khatulistiwa.7 Pada populasi yang terkena,

pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak

terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua

kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita.6

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang

berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah

tropis 13° utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat

tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di

perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari

(1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di

pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura

yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini

juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat

prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua

9

Page 3: Refer At

ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan

penduduk kulit hitam dari Barbados.8

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di

Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda

dengan beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak

pada laki-laki.8

Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter

mata karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%).

Tingkat kekambuhan tinggi dan komplikasi penglihatan yang

mengancam pada teknik bedah yang berbeda memprovokasi para

spesialis mata untuk mencari modalitas baru dan pengobatan yang

lebih aman.6

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam

fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa

menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata

merah.9

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali

lebih banyak dibandingkan wanita.9

2. Umur 

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.

Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang

tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan

mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.9

II.1. c Etiologi

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit

ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu,

anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan

10

Page 4: Refer At

faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet),

panas, angin tinggi dan debu.2 Baru-baru ini, beberapa virus juga

memiliki kemungkinan sebagai faktor etiologi.1

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk

limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi

limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang

menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1 Radiasi cahaya UV

tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam

patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa

gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat dalam

patogenesis pterigium.7

II.1. d Anatomi

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang

melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior

bola mata. Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada

membran mukosa ini karena fakta bahwa ia menghubungkan bola

mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke

limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus

konjungtiva yang terbuka di depan fissura palpebral.10

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam

kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis

terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva

marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada

bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus

subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan

konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan

banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh

11

Page 5: Refer At

tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat

pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar

antara tarsal dan forniks.10

Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat

lebih erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung

dangan epitel kornea.10 Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh

jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi

3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva

limbal.10

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva

tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva

palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva

fornix ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu

fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.

Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat

bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut

berkontraksi.10

Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,

konjungtiva palpebralis.

12

Page 6: Refer At

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gam.2) yaitu

epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.10

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-

masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva

marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva

tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel

silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva

forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri

dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan

dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan

yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan

terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana

terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di

forniks. Lapisan ini tidak di temukan ketika bayi lahir tapi akan

berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan

bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi

folikuler.

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat

elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah

konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini

mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu

dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin

dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet

(kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle

(terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam

konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang

penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis

13

Page 7: Refer At

aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat

subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di

bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas

tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).10

Gambar 2. Histologi konjungtiva normal

(Dikutip dari kepustakaan 10)

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna

merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas

bebas lateralnya berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil,

oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada

kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan

ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat,

kelenjar sebasea dan folikel rambut.11

Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva

(Dikutip dari kepustakaan 10)

14

Page 8: Refer At

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber

yakni arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak

mata, dan arteri ciliaris anterior (Gam. 3). Konjungtiva palpebralis dan

forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan

marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set

pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan

cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang

merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri

konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan arteri

konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena

konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan

beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior.

Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni

superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke

limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus

submandibular. Limbus kornea pada konjungtiva dipersarafi oleh

cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang mempersarafi kornea.

Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal, infratrochlear,

supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.10

II.1. e Patofisiologi

Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus

menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini

sinar UV memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit

ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level

intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan

komposisi matriks ekstraselular.11

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak

dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya

penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke

kornea.1-8 Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata

15

Page 9: Refer At

mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar

ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva

akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis

dialirkan ke meatus nasi inferior.12

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab

pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah

satu penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat

menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel

benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis

(program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan

menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula

pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan

patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya

jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan

epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya

menunjukkan dysplasia.10-12

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet

yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain,

karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga

mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari

hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering

didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.12

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium

seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik

cahaya matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus

sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana

konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar

sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih

pendek dibanding bulu mata di daerah temporal.10-12

16

Page 10: Refer At

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,

termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk

mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat

berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor

faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini

telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam

teknik pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat

menginduksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan

tumor necrosis factor (TNF-α) membantu keratosit korneal

beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel

epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan aktivitas

mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan

dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan

EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor

(VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived

growth factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and

insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).12

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis.

Diproduksi oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya

stimulus yang dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF

telah dideteksi bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-

menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan konjungtiva normal

melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat menggunakan

RT-PCR assay.12

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik 

kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang

menutupi epithelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah

degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan

hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk

17

Page 11: Refer At

jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya,

oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.12

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat

terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell.7 Limbal stem

cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.12 Defisiensi limbal stem

cell menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari segala arah.5 Gejala

dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,

vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan

jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan

karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium

merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized

interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi

kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.12

II.1. f Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan

tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh

darah episklera, yaitu: 13

Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:

- Tipe I

Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau

menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.

Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan

kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering

mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat

mengalami keluhan lebih cepat.

- Tipe II

disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren

tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak

kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm,

18

Page 12: Refer At

dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear

film dan menimbulkan astigmat.

- Tipe III

pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.

Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona

optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai

kornea > 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas

khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis

subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan

gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium

yaitu:13

Stadium-I : belum mencapai limbus

Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil

Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil

Stadium-IV : melewati tepi pupil

Gbr 4. Pterigum stadium I. Gbr 5. Pterigium stadium II.

Gbr.6. Pterigium stadium III. Gbr 7. Pterigium stadium IV.

19

Page 13: Refer At

Berdasarkan lesinya, pterigium dibagi menjadi:

- Membran / fibrosa : lesi tipis dan berwarna pucat, pembuluh darah

pada lesi < 5

- Vaskuler : lesi hiperemis dengan jumlah pembuluh darah > 5

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2

yaitu:12

- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan

beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap

dari pterigium).

- Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi.

Tidak terdapat kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi

bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium

dan harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:8

- T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

- T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

- T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

II.1. g Gambaran Klinis

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan

pekerjaan di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau

bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva

yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi

di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel

kornea anterior disebut “Stocker’s line”. Pterigium terdiri dari tiga

bagian :11

- Caput

- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

20

Page 14: Refer At

- Collum (bagian limbal),

- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada

intoleransi kosmetik.10 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian

kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual.

Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan

astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada

jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu

motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda

atau diplopia.10

Gambar 11. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea

yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan

bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang

menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang

vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung7

II.1. h Diagnosis

Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari

tanpa gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan,

pembengkakan, gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan

21

Page 15: Refer At

dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau

kedua mata.9

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada

intoleransi kosmetik.11 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian

kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual.

Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan

astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada

jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu

motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda

atau diplopia.10

Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai

perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea.

Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan

berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium

pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.9

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium

adalah topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam

menentukan derajat seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme

ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.9

II.1. i Diagnosis Banding

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium

adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini

terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea

marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia

pada mata.11

a) Pinguekula 

22

Page 16: Refer At

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang

berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau

temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena

iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada

umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat

diberikan steroid topikal.7

Gambar 9. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus

sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh

mencapai permukaan kornea.12

b) Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan

pseudopterigium yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh

karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat

masuk di antara konjungtiva dan kornea.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan

kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses

penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan

menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja

bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium.

Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya

sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui

23

Page 17: Refer At

anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea

sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium

dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.7

Gambar 10. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior

nasal konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal12

c) Ocular Surface Squamous Neoplasm

Gambar 11.OSSN yang searah dengan limbal14

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan

dysplasia, pre-invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh

spektrum konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti

lesi conjunctiva yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan karekteristk berkas dari pembuluh dara pada fissure intrapalpebral. Biasanya pasien dating

diikuti dengan gejala mata merah, irigasi dan sensasi benda asing.14

24

Page 18: Refer At

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum OSSN

Sebab Proses degeneratif

Reaksi tubuh

penyembuhan dari

luka bakar, GO,

difteri,dll.

Iritasi atau

kualitas higienitas

air yang kurang.

Dispalsia epitel

sel squamous

Sonde

Tidak dapat

dimasukkan

dibawahnya

Dapat dimasukkan

dibawahnya- -

Kekambuhan Residif Tidak Tidak Tidak

Usia Dewasa Anak-anakDewasa dan anak-

anak

Dewasa

Lokasi

Subkonjunctiva

yang dapat

mencapai kornea

Bisa terjadi

darimana saja

Terbatas pada

konjuntiva bulbi

Di sekitar daerah

limbus

II.1. j Penatalaksanaan

Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi

menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien

menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan,

atau perubahan dalam fungsi visual.9

Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical

lubricating drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen

teal drops), serta sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata

kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila

gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV

disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.9

Terapi pembedahan

25

Page 19: Refer At

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan,

yang dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

- Mengganggu visus

- Mengganggu pergerakan bola mata

- Berkembang progresif

- Mendahului suatu operasi intraokuler

- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks,

collum dan corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut

dibedah dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum

pterigium yang telah menyerang kornea sering dihilangkan dengan

pisau bedah. Dilakukan usaha untuk mengidentifikasi bidang diseksi,

yang memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus

mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya.

Lapisan stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya

mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.7

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan

pterigium.

26

Page 20: Refer At

27

Page 21: Refer At

Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium 10

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali

konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,

menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat

diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang

dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,

dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas

eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang

kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

28

Page 22: Refer At

5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari

konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka

kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat

jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,

Illionis).

Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi

masalah yakni sekitar 30-50%.11 Eksisi Pterigium sering

dikombinasikan dengan berbagai langkah-langkah tambahan untuk

mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin secara luas

diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-

iradiasi, dan metode pembedahan.7

Transplantasi Membran Amnion

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk

mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari

penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar

peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi

faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan

epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada

studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterigium

primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah

keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah

pelestarian konjungtiva bulbar. Membran Amnion biasanya

ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas

dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah

menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu transplantasi

membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem

fibrin juga telah digunakan dalam autograft konjungtiva.7

Terapi adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering

digunakan sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan

29

Page 23: Refer At

rekurensi pterigium. Beberapa alternatif medis lainnya, seperti 5-

fluorouracil dan daunorubisin, juga telah dicoba.7

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah

kekambuhan pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat

kekambuhan yang berhubungan dengan terapi mitomycin C secara

signifikan lebih rendah dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada

dasarnya dua bentuk aplikasi mitomycin C yang saat ini digunakan -

aplikasi intraoperatif pada spons bedah yang direndam dalam larutan

mitomycin C diterapkan secara langsung ke sclera setelah eksisi

pterigium, dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal sebagai

obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan

terkait penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak

berbeda secara signifikan.7

Dadeya dan Kamlesh mendemonstrasikan secara statistik

perbedaan signifikan dalam perbedaan tingkat kekambuhan pasien

yang diobati dengan daunorubisin dan mereka yang diobati dengan

plasebo air. Mata yang diobati lebih chemotic (20%), namun, dengan

6,7% setelah epitelisasi tertunda, dibandingkan dengan mata kontrol,

yang tidak memiliki komplikasi yang sama.7

II.1. k Komplikasi

Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan

penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada

konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot

ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi

terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah

eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling

umum dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya

telah menjalani eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot

rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia.9

30

Page 24: Refer At

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat

meliputi: Sclera dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat

muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan.

Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.9

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah

rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi

sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-

15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau

transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan

langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah

pterigium yang ada dapat terjadi.9

II.1. l Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.

Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.

Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan

graft dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi membran

amnion.9

31

Page 25: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics

Of Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) :

308-13.

2. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From :

http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-

2010.pdf . Accessed November 2015.

3. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief

Review. Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

4. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal

Of The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.

5. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder

With Premalignant Features. The American Journal Of Pathology.

2011;178(2):817-27.

6. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In

Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.

Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

7. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In

Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.

8. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity,

And Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.

9. Fisher Pj. Pterigium. Updated : 2012. Available From:

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall

Accessed November 2015.

10. Khurana Ka. Diseases Of The Conjunctiva. In:, Khurana Ka, Editors.

Comprehensive Ophthalmology 4th Ed. New Delhi: New Age International.

2007. P. 51 - 82.

32

Page 26: Refer At

11. Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online].

2010. [Cited February 2015]. Availble From :

http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pt

erigium.pdf.

12. Detorakis T, Spandidos Demetrios. Pathogenetic mechanisms and

treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives

(Review). Department Of Opthalmology, University Hospital of

Heraklion,Crete, Greece. 2009.

13. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.

Available From:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf

Accessed November 2015 .

14. Radhakrishnan Anil. Ocular Surface Squamous Neoplasia [OSSN] – A

Brief Review. Amrita Institute Of Medical Sciences, Kochi. 2013

15. Riordan-Eva. Paul, Whitcher John P., Vaughan & Asbury’s General

Opthalmology Edisi 17, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010.

P.392-3.

33