Refer At

34
Referat | Kolestasis 1 Referat REFERAT SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana KOLESTASIS Disusun Oleh Tieta Angelin Putri Kerihi, S. Ked (1108012015) Pembimbing : dr. Frans Taolin, Sp.A dr. Hendrik Tokan, Sp.A DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG 2015

description

nnn

Transcript of Refer At

  • Referat | Kolestasis 1

    Referat REFERAT

    SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak

    RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang

    Fakultas Kedokteran

    Universitas Nusa Cendana

    KOLESTASIS

    Disusun Oleh

    Tieta Angelin Putri Kerihi, S. Ked

    (1108012015)

    Pembimbing :

    dr. Frans Taolin, Sp.A

    dr. Hendrik Tokan, Sp.A

    DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

    SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

    RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

    KUPANG

    2015

  • Referat | Kolestasis 2

    PENDAHULUAN

    Kolestasis merupakan akumulasi bahan-bahan dalam serum yang secara

    normal diekskresikan ke dalam empedu seperti bilirubin, kolesterol, asam empedu

    dan elemen renik. (1) Dengan demikian dapat diartikan bahwa telah terganggunya

    aliran empedu bahkan sampai berhentinya aliran empedu tersebut. Secara klinis

    dapat diketahui dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik dan urin

    yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul

    berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh dan lainnya

    akibat dari penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk

    dibuang melalui usus.(2,3)

    Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden

    hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000,

    defisiensi -1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan

    anak laki-laki adalah 2:1, sedangkan pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik.(4)

    Penyebab kolestasis neonatal sangat beragam. Diantaranya adalah

    kolestasis ekstrahepatik, infeksi, metabolik, penyakit genetik, toksik, autoimun

    dan lain-lain. Untuk membedakan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik

    diperlukan pendekatan diagnostik yang tepat, dapat dimulai dari anamnesis

    dengan menyingkirkan riwayat kolestasis dalam keluarga ataupun penyakit-

    penyakit infeksi ibu selama masa kehamilan, riwayat kelahiran bayi serta

    pemeriksaan fisik yang mencakup berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala,

    selain pemeriksaan abdomen yang mencakup lingkar perut, keadaan hati, limpa

    dan adanya massa atau asites. Pada pasien dengan kelainan metabolik dan

    hepatitis neonatal umumnya badannya terlihat kecil dan seringkali gagal tumbuh

    sedangkan pasien atresia bilier umumnya badannya berukuran seperti anak

    normal.(5,6)

    Pada kolestasis intrahepatik, keadaan umum pasien biasanya tampak

    sakit berat dan mungkin disertai dengan kelainan non hepatik lain seperti katarak,

    kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya,

  • Referat | Kolestasis 3

    sedangkan pada pasien kolestasis ekstrahepatik biasanya keadaan umumnya

    baik.(6)

    Kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik dapat dibedakan dengan

    memperhatikan empat kriteria klinis yang penting yaitu berat badan lahir, umur

    penderita saat tinja mulai akolik, warna tinja dan keadaan hepar serta gambaran

    histopatologi hepar. Menurut penelitian didapatkan bahwa 35% bayi dengan

    kolestasis intrahepatik (hepatoseluler) lahir dengan berat badan < 2500 gram,

    sedangkan bayi dengan kolestasis ekstrahepatik hanya 11% yang lahir prematur.

    Hepatomegali pada kolestasis ekstrahepatik (khususnya atresia bilier) biasanya

    berkonsistensi keras dan padat.(6)

  • Referat | Kolestasis 4

    TINJAUAN PUSTAKA

    Definisi

    Kolestasis adalah penghentian atau supresi aliran empedu. Kolestasis

    dapat juga diistilahkan sebagai semua kondisi yang menyebabkan terganggunya

    sekresi dan ekskresi empedu ke duodenum sehingga menyebabkan tertahannya

    bahan-bahan atau substansi yang seharusnya dikeluarkan bersama empedu

    tersebut di hepatosit. Secara klinis kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja

    berwarna pucat atau akolik (sterkobilin feses negatif) dan urin berwarna kuning

    tua seperti teh (bilirubin urin positif). Parameter yang digunakan adalah kadar

    bilirubin direk serum > 2 mg/dl atau > 20% dari bilirubin total. Kolestasis dibagi

    menjadi dua yaitu kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Kolestasis

    ekstrahepatik adalah kolestasis yang terjadi di luar hati dan disebabkan oleh

    penyumbatan saluran empedu; kolestasis ekstrahepatik dapat disebabkan oleh

    tumor, striktur, batu empedu atau kerusakan di dalam saluran empedu,

    pankreatitis atau sebab lainnya. Sedangkan kolestasis intrahepatik adalah

    kolestasis yang disebabkan oleh keadaan tertentu di dalam hati seperti infeksi,

    sepsis, sirosis, abses, tumor atau komplikasi akibat obat.(7,1,2,3)

    Epidemiologi

    Angka kejadian kolestasis yang dilaporkan dari berbagai sumber berkisar

    antara 1 dalam 2500-9000 kelahiran hidup. Perkiraan insiden tersebut cukup

    tinggi di Indonesia. Dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta dan laju

    pertambahan penduduk 1,49% per tahun, diperkirakan terdapat sekitar 1600-5800

    kasus baru pada sekitar 4 juta kelahiran hidup di Indonesia per tahun. Angka

    kejadian kolestasis pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dapat mencapai

    1:25000 kelahiran hidup. Mieli-Vergani dkk, (dikutip dari Such) melaporkan,

    kolestasis intrahepatik pada bayi sebanyak 675 (62%) dari 1086 bayi dengan

    kolestasis yang dirujuk ke RS Kings College selama 20 tahun (1970-1990).

    Hepatitis neonatal idiopatik merupakan penyebab tersering (49%) dengan

    perkiraan angka kejadian sebanyak 1:5000 kelahiran hidup. Penyebab kedua

    terbanyak adalah defisiensi -1-antitripsin (28%) yang memang banyak

  • Referat | Kolestasis 5

    dilaporkan pada ras kulit putih, dengan angka kejadian diperkirakan sebanyak

    1:20000 kelahiran hidup. Asia dilaporkan oleh Chang, tidak ada satupun defisiensi

    -1 antitripsin diantara 300 kolestasis pada bayi. Insiden atresia bilier 1:10000-

    1:13000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1,

    sedangkan pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik.(8,3,4)

    Subdivisi Hepatologi Anak FKUI/RSCM, dalam kurun waktu 2 tahun

    (2002-2003) telah dirawat sebanyak 119 (73,5%) kasus kolestasis intrahepatik

    dari 162 kasus kolestasis pada bayi.(8,3,4)

    Etiologi

    Fokus utama adalah membedakan kolestasis intrahepatik (terutama

    penyebab yang bisa dilakukan tindakan terapi) dan ekstrahepatik (terutama atresia

    biliaris). Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik,

    endokrin, imunologi dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik untuk bayi dan

    anak. Biasanya dalam klinik, sulit untuk membedakan bermacam-macam etiologi

    kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal sehingga

    akhirnya lebih dari setengahnya akan dilabel sebagai idiopatik. Penderita

    kolestasis yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini makin berkurang dengan

    kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang

    canggih. Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius

    merupakan penyebab yang paling sering.(3)

    Kolestasis diklasifikasikan menjadi dua yaitu kolestasis intrahepatik dan

    kolestasis ekstrahepatik. Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah atresia

    bilier. Atresia bilier merupakan inflamasi obliterasi pada sistem bilier

    ekstrahepatik. Pengertian lain merupakan kelainan kolestasis pada neonatal yang

    ditandai dengan fibrosis lengkap dan obliterasi seluruh atau sebagian lumen dari

    duktus bilier ekstrahepatik dalam 3 bulan pertama kehidupan. Istilah atresia bilier

    kurang tepat digunakan karena anatomi saluran empedu yang abnormal pada

    pasien yang terkena sangat bervariasi. Terminologi yang lebih tepat untuk

    mencerminkan patofisiologi yaitu cholangiopati obliteratif progresif.(3)

    Penyebab atresia bilier sampai saat ini belum diketahui. Diduga adanya

    infeksi intrauterin dengan reo virus type 3 dan infeksi sitomegalo dan rubela. Pada

  • Referat | Kolestasis 6

    anamnesis biasa didapatkan penderita ikterus dengan tinja yang berwarna dempul

    dan urin yang berwarna gelap seperti air teh dan pada pemeriksaan fisik

    ditemukan hati akan membesar dan akan teraba tumpul dan keras. Biasanya bayi

    dengan atresia bilier lahir cukup bulan, keadaan normal saat lahir dan berkembang

    dengan baik di awal perjalanan penyakit. Pada kasus atresia bilier harus dilakukan

    USG abdomen sebagai gold standar dalam mendiagnosa.(3)

    Beberapa etiologi lain kolestasis adalah : (3)

    1. Infeksi

    Infeksi kongenital Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes

    simpleks (TORCH) memberikan beberapa gambaran klinik yang serupa,

    yaitu kuning, hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie atau purpura dan

    kecenderungan untuk prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat.

    Toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik lainnya

    adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus,

    mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus dan tanda tekanan

    intrakranial yang meningkat serta kelainan mata berupa korioretinitis.

    Gambaran biopsi hati menunjukkan hepatitis nonspesifik atau fibrosis portal

    dengan proliferasi duktulus biliaris. Terapi spiramisin dapat mencegah

    progresivitas kelainan hati dan susunan saraf pusat. Prognosis tergantung dari

    luasnya kelainan mata dan neurologis yang terjadi.

    Infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada imunisasi

    untuk penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia, trombositopenia,

    kelainan jantung (PDA atau stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis,

    retardasi mental dan tuli neurosensorik. Gambaran histologis hati

    menunjukkan hepatitis giant cells yang tipikal. Penyakit ini mungkin self

    limited atau berlanjut menjadi sirosis.

    Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling banyak

    dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar asimptomatik, yang

    bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas mungkin pula ada asites

    tetapi jarang menimbulkan gagal hati akut. Gejala lainnya adalah gejala

    susunan saraf sentral berupa mikrosefali, kalsifikasi intrakranial dan

  • Referat | Kolestasis 7

    korioretinitis. Tuli neurosensorik yang progresif serta cerebral palsy mungkin

    baru terlihat kemudian. Diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan kultur virus

    dalam waktu 4 minggu pertama. Pemeriksaan serologis dan klinis dapat

    menunjang adanya infeksi sitomegalovirus tetapi tidak dapat membedakan

    antara infeksi kongenital dan infeksi post natal dini. Pada sebagian besar anak

    yang terinfeksi sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna

    tetapi pernah dilaporkan terjadinya fibrosis, sirosis dan hipertensi portal

    nonsirotik. Problem menetap biasanya adalah kelainan perkembangan

    neurologis yang mungkin atau sudah terjadi.

    Pada neonatus, infeksi virus herpes simpleks (tipe 1 atau 2 terutama tipe

    2) dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat termasuk

    gejala ensefalitis, hepatitis berat atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati

    dapat dilihat area nekrosis dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang

    masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel ditemukan virus herpes simpleks tetapi

    pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi herpes yang khas pada kulit,

    mulut, maupun mata.

    Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang

    timbul juga mengenai multisistem termasuk retardasi perkembangan

    intrauterin dan selanjutnya gagal tumbuh, anemia berat dan trombositopenia,

    sindrom nefrotik, periostitis, nasal discharge, rash pada kulit, limfadenopati

    difus dan hepatomegali. Kuning mungkin sudah terlihat dalam 24 jam

    pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak kuning tetapi ada

    rash yang khas pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam dengan

    hepatomegali yang menyolok. Gejala susunan saraf pusat terjadi sampai 30%

    kasus. Pemeriksaan histologis hati memperlihatkan treponema pada jaringan

    hati. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologis termasuk tes VDRL

    dan antibodi antitreponema. Pemeriksaan radiologis tulang panjang mungkin

    memperlihatkan kelainan radiologis yang khas dalam 24 jam pertama dan

    menolong membuat diagnosis secepatnya.(3)

    Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam 2

    minggu sebelum melahirkan. Gejalanya cenderung lebih berat pada bayi

  • Referat | Kolestasis 8

    prematur dan ringan pada bayi cukup bulan yang berumur lebih dari 10 hari.

    Manifestasi yang timbul dini serta infeksi yang terjadi selama masa

    kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala klinisnya dapat berupa kuning,

    kelainan kulit yang luas dan keterlibatan multisistem terutama pneumonia

    dan kelainan parenkim hati pada kasus yang fatal.(3)

    Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus) dapat

    mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus dengan gambaran klinis

    yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut. Transmisi

    vertikal yang terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan gejala yang lebih

    berat pada bayi. Sebagian besar sepsis virus enterik terjadi pada umur 1-5

    minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning disertai kadar aminotransferase

    yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga disertai meningitis.

    Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenovirus juga dapat

    menimbulkan gejala klinik yang serupa, hanya miokarditis dan gagal jantung

    lebih condong akibat infeksi virus Coxsackie.(3)

    Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah mungkin

    terjadi pula pada infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi traktus urinarius

    atau sepsis (streptokokus, stafilokokus atau kuman gram negatif).

    ISK dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik. Infeksi maupun non-

    infeksi yang menyebakan aktivasi sitokin proinflamasi dapat menyebabkan

    peradangan atau inflamasi yang dapat menyebabkan kolestasis hepatoseluler.

    Inflamasi yang menyebabkan kolestasis tidak tergantung pada penyebabnya,

    dimediasi oleh efek endotoksin misalnya lipopolisakarida (LPS) pada

    membran luar bakteri gram negatif. LPS inilah yang meransang sitokin

    proinflamasi seperti TNF- dan berbagai interleukin. Sitokin proinflamasi

    adalah inhibitor yang poten untuk ekspresi gen transpoter hepatobilier yang

    menyebabkan gangguan fungsi transpor empedu dan menyebabkan

    hiperbilirubinemia atau kolestasis.(13)

    Tuberkulosis kongenital jarang terjadi, tetapi pada beberapa tahun

    terakhir akibat meningkatnya prevalensi tuberkulosis pada ibu usia subur,

    maka tuberkulosis pada bayi menjadi lebih sering terjadi. Neonatus mungkin

  • Referat | Kolestasis 9

    terinfeksi melalui cairan amnion atau sekret serviks yang terinfeksi pada saat

    lahir. Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat bila ada salah satu gejala

    berikut : lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik primer atau

    granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau genitalia

    ibu dan tidak ada infeksi post natal. Hepatomegali sering ditemukan, tetapi

    kuning jarang terjadi dan bila ada merupakan tanda beratnya penyakit. Gejala

    lainnya yang sering adalah distress pernapasan, kesukaran minum dan

    demam. Mortalitas mencapai 30%.(3)

    2. Hepatitis neonatal idiopatik

    Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama tidak

    dapat ditemukan pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebut hepatitis

    neonatal idiopatik yang cenderung merupakan bayi prematur atau kecil untuk

    masa kehamilan yang mungkin merefleksikan kelainan genetik atau infeksi

    intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam keluarga menderita

    penyakit yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell

    transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya normal.(3)

    3. Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)

    Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller,

    displasia arteriohepatik) adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi

    dominan autosom, tetapi dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi.

    Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi yang terjadi pada gen Jagged-1

    (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada 70% kasus dan

    diturunkan pada 30%-50% kasus. Gambaran klinis utamanya adalah : (3)

    a. Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna

    dempul dan disertai pruritus.

    b. Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam, hipertelorism

    ringan dan dagu yang lancip. Raut muka ini mungkin belum terlihat pada

    bulan pertama.

    c. Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti butterfly

    akibat kegagalan fusi bagian anterior vertebra. Mungkin pula terlihat

  • Referat | Kolestasis 10

    jarak interpendikular pada daerah lumbal yang berkurang, ada spina

    bifida okultas, falangs distal melengkung dan ulna yang pendek.

    d. Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling sering

    dan memerlukan pemeriksaan dengan slit-light adalah embriotokson

    posterior dan Schwalbes line yang abnormal.

    e. Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi fallot,

    stenosis katup pulmonal, stenosis aorta dan ASD. Beratnya kelainan

    jantung bervariasi.

    f. Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin.

    g. Malnutrisi berat ditemukan pada 50% penderita yang mungkin

    merupakan bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi akibat

    malabsorbsi atau refluks gastroesofageal.

    4. Progressive familial intrahepatic cholestasis

    Penyakit Byler (PFIC-1 : progressive familial intrahepatic cholestasis

    type 1) terjadi peningkatan kadar bilirubin direk yang beragam pada 3-6

    bulan pertama disertai hepatomegali, retardasi pertumbuhan, diare persisten,

    pankreatitis dan tanda defisiensi berat vitamin yang larut dalam lemak

    termasuk ricketsia. Pruritus merupakan salah satu problem yang mencolok

    dan refrakter terhadap sebagian besar pengobatan. Pada pemeriksaan

    laboratorium didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal tetapi konsentrasi

    total asam empedu serum meningkat. Biopsi hati memperlihatkan inflamasi

    ringan dengan bile plug di kanalikulus biliaris dengan pemeriksaan rutin serta

    gambaran granular yang khas dengan mikroskop elektron. Mungkin pula

    ditemukan small duct paucity. Pada penyakit Byler ini terdapat mutasi di

    kromosom 18q21-22.(3)

    Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q24. Gejalanya sama

    dengan PFIC-1 hanya tidak ada diare serta pankreatitis.(3)

    PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT yang

    meningkat. Kuning kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem

    biliaris dalam batas normal pada pemeriksaan pencitraan. Pada semua tipe

  • Referat | Kolestasis 11

    PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan pruritus bila dikerjakan sebelum

    terjadi fibrosis hati yang bermakna.(3)

    5. Injuri (jejas) toksik

    Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis pada bayi

    adalah nutrisi parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi pada bayi

    yang mendapat nutrisi parenteral total timbul terutama pada bayi dalam

    keadaan kritis dan lebih sering pada bayi prematur karena mekanisme

    pembentukan empedunya masih belum berkembang. Tergantung dari umur

    kehamilan, profil asam empedu fetal mungkin menetap yaitu lebih banyaknya

    asam empedu litokolat yang dibentuk daripada bayi yang lebih besar. Asam

    litokolat bersifat toksik. Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi

    enterohepatik, mengurangi sekresi hormon-hormon intestinal yang diperlukan

    untuk fungsi normal hepatobiliaris dan mempermudah berkembangnya

    bakteri tumbuh lampau di usus halus yang berpotensi membentuk endotoksin

    atau mengubah asam empedu menjadi lebih toksik. Mungkin pula terjadi

    translokasi bakteri. Semua mekanisme ini dipersulit lagi oleh faktor sistemik

    seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi lokal atau sistemik dan obat-obat

    yang digunakan. Defisiensi nutrisi spesifik mungkin pula berpengaruh,

    misalnya : tidak adanya taurin asam lemak esensial, karnitin dan antioksidan

    seperti vitamin E, selenium dan glutation. Kolestasis yang terjadi mungkin

    sangat hebat sehingga menyerupai obstruksi traktus biliaris ekstrahepatik

    dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta aminotransferase yang

    meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis

    hepatoselular, lipofusin yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi giant

    cells ringan, infiltrasi inflamasi daerah portal, beberapa proliferasi duktulus

    biliaris dengan atau tanpa fibrosis porta. Dengan mikroskop elektron, dapat

    diperlihatkan kristal kolesterol dalam sel hepatosit.(3)

    6. Keadaan Hipotiroid

    Kolestasis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya karena

    kekurangan hormon tiroid (hipotiroid). Kondisi hipotiroid yang berkaitan

    dengan kejadian kolestasis antara lain penurunan aktivitas enzim glukoronil

  • Referat | Kolestasis 12

    transferase, peningkatan rasio kolesterol-fosfolipid membran sel hepatosit

    dan hipotonia kandung empedu. Enzim glukoronil transferase merupakan

    enzim yang mengkatalis proses konjugasi bilirubin di dalam hepatosit. Pada

    hipotiroid aktivitas enzim ini menurun sehingga terjadi penurunan ekskresi

    bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan

    peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi.

    Peningkatan rasio kolesterol-fosfolipid pada membran hepatosit dapat

    mengakibatkan terjadi gangguan pada proses pengambilan bilirubin tak

    terkonjugasi oleh hepatosit. Gangguan karena peningkatan ratio kolesterol-

    fosfolipid ini mengganggu kelarutan bahan-bahan yang akan memasuki sel

    hepatosit, salah satunya bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus

    enterohepatik. Selain itu terjadi juga gangguan kerja dari enzim Na+, K+-

    ATPase yang merupakan enzim yang berperan dalam proses up take bilirubin

    oleh hati yang terjadi melalui suatu proses transpor aktif.

    Hipotonia kandung empedu menyebabkan terhambatnya ekskresi

    bilirubin terkonjugasi ke dalam usus. Akibat stasis ini maka bilirubin

    terkonjugasi akan menumpuk di saluran empedu baik di sinus hati maupun di

    duktus biliaris ekstrahepatik. Keadaan ini menyebabkan bilirubin yang

    terkonjugasi akan kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan terjadinya

    gejala-gejala kolestasis dengan peningkatan bilirubin terkonjugasi. Selain itu

    stasis ini juga meningkatkan kejadian batu kolesterol saluran empedu.

    Faktor Predisposisi

    Bayi baru lahir mengalami suatu periode kolestasis relatif (disebut juga

    kolestasis fisiologis) tanpa menderita sesuatu penyakit. Keadaan ini terjadi antara

    lain karena pada periode tersebut ukuran pool asam empedu masih kecil, ambilan

    serta transportasi asam empedu belum efisien sehingga bayi tersebut lebih rentan

    untuk menderita kolestasis akibat berbagai keadaan/penyakit.(3)

  • Referat | Kolestasis 13

    Tabel 1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis

    Konsentrasi asam empedu serum basal tinggi

    Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum efisien

    Konjugasi, sulfatisasi serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit

    Adanya asam empedu abnormal (atipik)

    Ukuran bile acid pool kecil

    Sekresi asam empedu berkurang

    Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah

    Reabsorbsi asam empedu di ileum masih sedikit Sumber : Buku Ajar Gastroenterohepatologi jilid 1 IDAI 2012

    Klasifikasi

    Secara garis besar, kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu : (8,9)

    1. Kolestasis Intrahepatik

    a. Saluran empedu

    Digolongkan dalam dua bentuk yaitu paucity saluran empedu dan

    disgenesis saluran empedu. Paucity saluran empedu intrahepatik lebih

    sering ditemukan pada saat neonatal dibanding disgenesis, dibagi

    menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan paucity apabila

    didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract. Contoh dari sindromik

    adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan

    haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1, sedangkan nonsindromik adalah

    paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ lain. Kelainan saluran

    empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis neonatal,

    sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan

    kerusakan saluran empedu.

    b. Kelainan hepatosit

    Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan

    pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai

    cadangan asam empedu yang sedikit, fungsi transpor masih prematur dan

    kemampuan sintesis asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi

    kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri dan

    parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon

    hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis.

  • Referat | Kolestasis 14

    Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari

    neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh

    kelainan genetik, endokrin, metabolik dan infeksi intrauterin.

    Mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan

    multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler dan serbukan sel

    radang disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli.

    Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa

    akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan

    metabolik tidak dapat ditemukan.

    2. Kolestasis Ekstrahepatik

    Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat.

    Kelainan ini merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan

    kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti

    kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama yang pernah

    dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus terutama CMV dan reo

    virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik.

    Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir,

    aktivitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1

    minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti

    asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari

    kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan

    hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah

    umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil

    dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran

    saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu

    yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu

    ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresia

    bilier.

    Kolestasis ekstrahepatik disebabkan oleh batu empedu, karsinoma

    pankreas dan ampula, striktur saluran empedu, cholangiocarsinoma,

    sklerosing cholangitis primer atau sekunder.

  • Referat | Kolestasis 15

    Patofisiologi

    Empedu adalah cairan yang disekresikan terus-menerus oleh hepar

    masuk ke dalam duktus biliaris yang kecil dalam hati. Duktus biliaris yang kecil

    bersatu dan membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan

    bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu menjadi

    duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus

    sistikus menjadi duktus kholedokus yang akan bersatu dengan duktus

    pankreatikus membentuk ampula vateri yang bermuara di duodenum.(9,10,11,12)

    Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh dapat menyebabkan warna

    kuning sampai kehijauan pada jaringan yang disebut ikterus dan ini merupakan

    tanda penting dari penyakit hati, saluran empedu dan penyakit darah.(9,10,11)

    Mekanisme terjadinya ikterus adalah mengenai pengertian pembentukan,

    transpor, metabolisme dan ekskresi bilirubin.(9,10,11,12)

    Terdapat empat mekanisme di mana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat

    terjadi : (9,10,11,12)

    1. Pembentukan bilirubin berlebihan

    2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjungasi oleh hati

    3. Gangguan konjugasi bilirubin

    4. Pengurangan ekskresi bilirubin terkonjungasi dalam empedu akibat faktor

    intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruktif fungsional/mekanik.

    Penyebab ikterus kolestasis bisa intrahepatik maupun ekstrahepatik.

    Penyebab intrahepatik adalah inflamasi, batu, tumor, kelainan kongenital duktus

    biliaris. Kerusakan dari sel parenkim hati menyebabkan gangguan aliran darah

    dari garam bilirubin dalam hati akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan ke

    dalam duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi akan

    terlihat peninggian bilirubin tak terkonjungasi dalam serum. Penyumbatan duktus

    biliaris yang kecil intrahepatal sudah cukup menyebabkan ikterus, kadang-kadang

    kolestasis intrahepatik disertai dengan obstruksi mekanis di daerah

    ekstrahepatik.(9,10,11,12)

    Obstruksi mekanik dari aliran empedu intrahepatik yang disebabkan oleh

    batu/hepatolith biasanya menyebabkan fokal kolestasis, keadaan ini biasanya

  • Referat | Kolestasis 16

    tidak terjadi hiperbilirubinemia karena dikompensasi oleh hepar yang masih baik.

    Kolangitis supuratif yang biasanya disertai pembentukan abses dan ini biasanya

    yang menyebabkan ikterus. Infeksi sistemik dapat mengenai vena porta akan

    menyebabkan invasi ke dinding kandung empedu dan traktus biliaris. Pada

    intrahepatik kolestasis biasanya terjadi kombinasi antara kerusakan sel hepar dan

    gangguan metabolisme (kolestasis dan hepatitis).(9,10,11,12)

    Ekstrahepatik kolestasis disebabkan oleh gangguan aliran empedu ke

    dalam usus halus sehingga akibatnya terjadi peninggian bilirubin terkonjugasi

    dalam darah. Penyebab yang paling sering dari ekstrahepatik kolestasis adalah

    batu di duktus koledokus dan duktus sistikus, tumor duktus koledokus, kista

    duktus koledokus, tumor kaput pankreas, sklerosing kolangitis.(9,10,11,12)

    Manifestasi Klinik

    Mekanisme terjadinya gejala klinik serta kelainan pemeriksaan

    laboratorium pada kolestasis adalah keadaan sebagai berikut : (3)

    1) Berkurangnya garam empedu yang masuk ke usus sehingga mengakibatkan

    malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut di dalamnya, dan juga diare.

    Warna tinja menjadi lebih pucat sampai dempul dan urobilinogen urin

    berkurang atau tidak ada. Perubahan warna tinja serta urobilinogen urin ini,

    sejalan dengan jenis dan beratnya hambatan empedu tersebut dan berkorelasi

    pula dengan lamanya kolestasis yang berlangsung serta luasnya kerusakan

    hati yang sudah terjadi. Pada kolestasis kronis, anak akan menderita

    malnutrisi dan retardasi pertumbuhan serta gejala defisiensi vitamin yang

    larut dalam lemak yaitu defisiensi vitamin A berupa kulit menebal dan rabun

    senja. Defisiensi vitamin A ini terjadi pada 35%-69% kolestasis kronis.

    Defisiensi vitamin D yang berupa osteopenia ditemukan pada 66% kolestasis

    kronis bila tidak mendapatkan suplementasi vitamin D. Defisiensi vitamin E

    yang berupa degenerasi neuromuskular dan anemia hemolitik ditemukan pada

    49%-77% bila tidak mendapat suplementasi vitamin tersebut. Defisiensi

    vitamin K dapat terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapat suplementasi

    dan dapat mengakibatkan hipoprotrombinemia yang mungkin menunjukkan

    gejala perdarahan.

  • Referat | Kolestasis 17

    2) Penumpukan komponen empedu dalam darah yang mengakibatkan terjadinya

    ikterus, pruritus, xantomatosis dan hiperkolesterolemia. Kerusakan sel hati

    terjadi akibat penumpukan komponen empedu terutama empedu primer dan

    sekunder serta mineral, misalnya cuprum (Cu/Tembaga), yang bersifat

    hepatotoksik. Pada kolestasis kronik, kelainan hati menjadi progresif dan

    selanjutnya terjadi sirosis biliaris dengan berbagai komplikasinya.

    Beberapa gejala klinik lain yang dapat memberikan petunjuk penyebab

    kolestasis pada bayi adalah : (3)

    Tabel 2. Gejala Klinik pada beberapa penyebab kolestasis

    Penyebab Gejala Klinik

    Infeksi CMV

    Infeksi

    Toksoplasma

    Infeksi Rubella

    Infeksi Herpes

    Infeksi Sifilis

    Galaktosemia

    Trisomi 21, 18, 13

    Sindrom Alagille

    Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf,

    korioretinitis, ventrikulomegali

    Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial,

    korioretinitis, retardasi psikomotor, katarak, petekie, tuli

    saraf, mikrosefali, kelainan jantung, korioretinitis

    Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis

    Rinitis, rash, kelainan tulang

    Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak

    Anomali kongenital multipel

    Dismorfik, embriotokson, kelainan jantung, vertebra

    Sumber : Buku Ajar Gastroenterohepatologi jilid 1 IDAI 2012

  • Referat | Kolestasis 18

    Di bawah ini bagan yang menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya kolestasis.

    Gambar 1. Mekanisme dan Konsekuensi Kolestasis

    Sumber: Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi Silbernagl, 2007.

    Penegakan Diagnosis

    Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara

    kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik sedini mungkin. Diagnosis dini obstruksi

    bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis

    intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan

    medikamentosa. Pendekatan diagnosis yang sebaiknya diperhatikan mulai dari

    anamnesis sampai pemeriksaan invasif adalah sebagai berikut : (2,3)

    a. Anamnesis

    1) Penegakan kolestasis : perlu ditanyakan warna feses dan urin. Adanya

    ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten harus

    dicurigai adanya penyakit hati atau saluran bilier. Pada hepatitis neonatal

  • Referat | Kolestasis 19

    sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau berat badan lahir

    rendah. Sedangkan pada atresia bilier sering terjadi pada anak

    perempuan dengan berat badan lahir normal dan memberi gejala ikterus

    serta tinja akolis lebih awal. Gejala muntah dan riwayat hipoglikemia,

    mungkin ada apabila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi

    fruktosa atau tirosinemia.

    2) Pelacakan etiologi :

    a) Riwayat kehamilan dan kelahiran : riwayat obstetri ibu (infeksi

    TORCH), berat badan lahir (pada hepatitis neonatal biasanya bayi

    lahir dengan Kecil Masa Kehamilan dan pada atresia biliaris

    biasanya didapatkan Sesuai Masa Kehamilan), infeksi intrapartum,

    pemberian nutrisi parenteral, transfusi.

    b) Riwayat keluarga : ibu pengidap hepatitis B (bayi yang tertular

    secara vertikal dari ibu dengan hepatitis B hanya 5-10% yang

    bermanifestasi hepatitis akut), hemokromatosis, perkawinan antar

    keluarga, adanya saudara kandung yang menderita penyakit serupa

    menunjukkan besar kemungkinannya suatu kelainan

    genetik/metabolik. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis,

    maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan

    genetik/metabolik (fibrokistik atau defisiensi 1-antitripsin).

    c) Paparan terhadap toksin/obat-obatan hepatotoksik.

    b. Pemeriksaan Fisis

    Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar

    bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama.

    Warna kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi

    biliverdin, jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai

    afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.

    Fasies dismorfik : pada sindroma Alagille

    1) Mata : dikonsulkan ke ahli mata apakah ada katarak atau chorioretinitis

    (pada infeksi TORCH) atau posterior embryotoxon (pada sindrom

    alagille)

  • Referat | Kolestasis 20

    2) Kulit : ikterus dan dicari tanda-tanda komplikasi sirosis seperti spider

    angiomata, eritema palmaris, edema

    3) Dada : bising jantung (pada sindrom alagille, atresia biliaris)

    4) Abdomen

    a) Hepar : ukuran lebih besar atau lebih kecil dari normal, konsistensi

    hati normal atau keras, permukaan hati licin/berbenjol-

    benjol/bernodul, nyeri tekan pada saat palpasi hati diperkirakan

    adanya distensi kapsul Glisson karena edema

    b) Lien : splenomegali

    c) Vena : kolateral, ascites (ascites menandakan adanya peningkatan

    tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk)

    5) Lain-lain : jari-jari tabuh, asteriksis, foetor hepatikum, fimosis

    (kemungkinan ISK)

    c. Pemeriksaan Penunjang

    Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu

    pemeriksaan

    1. Pemeriksaan Laboratorium

    Pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus

    a) Darah tepi : leukosit (pada ISK kemungkinan jumlah leukosit

    meningkat)

    b) Biokimia hati :

    Kadar bilirubin direk darah meningkat 2 mg/dl tanpa

    peningkatan kadar bilirubin indirek atau peningkatan 20%

    bilirubin total. Dalam urin ditemukan bilirubin.

    Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4x nilai normal;

    bila lebih tinggi memberi petunjuk adanya proses infeksi. ALT

    dan AST merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk

    mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini spesifik

    untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak

    spesifik. Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk

  • Referat | Kolestasis 21

    mendeteksi adanya penyakit hati karena kadar di jaringan lain

    relatif lebih rendah dibandingkan kadar di hati.

    Fosfatase alkali mungkin normal atau agak meningkat. Bila

    kadarnya lebih tinggi, lebih mengarah pada atresia biliaris atau

    ricketsia. Peningkatan abnormal enzim ini tidak dapat

    membedakan kolestasis ekstrahepatik dengan intrahepatik.

    Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat.

    GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli

    biliaris dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada

    pankreas, lien, otak, mammae dan intestinum dengan kadar

    tertinggi pada tubulus renal. Enzim ini dapat ditemukan pada

    banyak jaringan, peningkatannya tidak spesisfik mengindikasikan

    adanya penyakit hati. Bila fosfatase alkali tinggi dan GGT rendah

    (< 100 U/l), mungkin suatu kolestasis familial progresif Byler

    atau gangguan sintesis garam empedu.

    Albumin biasanya masih normal pada awal perjalanan penyakit,

    tetapi akan menjadi rendah bila kelainan hati sudah berlanjut atau

    pada penyakit prenatal yang berat. Albumin merupakan protein

    utama serum yang hanya disintesis di retikulum endoplasma

    hepatosit dengan half life dalam serum sekitar 20 hari. Fungsi

    utamanya adalah untuk mempertahankan tekanan koloid osmotik

    intravaskular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai komponen

    dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya

    kalsium) serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat

    disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim

    hati. Kadar albumin serum sering digunakan sebagai indikator

    utama kapasitas sintesis yang masih tersisa pada penyakit hati.

    Albumin memiliki half life yang panjang, kadar albumin serum

    yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit

    hati kronis.

  • Referat | Kolestasis 22

    Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang

    yang dapat dikoreksi dengan vitamin K parenteral, kecuali bila

    terjadi gagal hati.

    Kolesterol biasanya masih dalam batas normal pada 4 bulan

    pertama. Hati merupakan tempat sintesis dan metabolisme utama

    lipid dan lipoprotein sehingga apabila terdapat gangguan pada hati

    akan terjadi abnormalitas kadar lipid dan lipoprotein serum serta

    munculnya lipoprotein yang normalnya tidak ada pada individu

    sehat (contohnya Lipoprotein X).

    Bila ditemukan hipoglikemia harus dicurigai adanya kelainan

    metabolik, endokrin atau kelainan hati lanjut.

    Dengan pemeriksaan khusus yaitu spektrometri terhadap urin

    penderita, dapat dideteksi kelainan metabolisme asam empedu

    seperti defisiensi 3--hidroksisteroid dehidrogenase/isomerase

    yang bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat.

    Urin rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) biakan

    urin.

    Tinja 3 porsi (dilihat feses akolik pada 3 periode dalam sehari).

    Pemeriksaan khusus serologis untuk etiologi yaitu untuk

    mendeteksi infeksi TORCH, hepatitis B (pemeriksaan pada bayi

    dan ibu), kultur darah dan urin serta kadar -1-antitripsin dan

    fenotipenya sebaiknya dikerjakan.

    Untuk pemeriksaan khusus lainnya seperti hormon tiroid, asam

    amino dalam serum dan urin, zat reduktor di urin, galaktose-1

    fosfat uridil trasferase, uji klorida keringat dan pemeriksaan

    kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila ada gejala klinik

    lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut.

    Kelainan oftamologis yang berupa korioretinitis mungkin

    ditemukan pada infeksi CMV, toksoplasmosis dan rubella,

    embriotokson posterior pada sindrom Alagille dna katarak pada

    galaktosemia atau cherryed spot pada lipid storage disease.

  • Referat | Kolestasis 23

    2. Pencitraan

    Ultrasonografi (USG) : dilakukan setelah penderita dipuasakan

    minimal 4 jam dan diulang kembali setelah bayi minum (sebaiknya

    dikerjakan pada semua penderita kolestasis, karena tekniknya

    sederhana, relatif tidak mahal, non invasif serta tanpa sedasi). Pada

    kolestasis intrahepatik, kandung empedu terlihat waktu puasa dan

    mengecil pada ulangan pemeriksaan sesudah bayi minum. Akurasi

    diagnostik pemeriksaan USG ini untuk kasus kolestasis hanya 80%.

    USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati serta kandung

    empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada sistem bilier oleh batu

    maupun endapan, ascites dan menentukan adanya dilatasi obstruktif

    atau kistik pada sistem bilier. Pada saat puasa, kandung empedu bayi

    normal pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga akan

    dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah diberi minum, kandung

    empedu akan berkontraksi sehingga ukuran empedu akan mengecil.

    Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu tidak terlihat. Hal ini

    kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus hepatikus

    dan duktus hepatis komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu

    dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini, USG

    setelah minum tidak diperlukan lagi.

    Skintigrafi pada kolestasis intrahepatik (hepatoselular) menunjukkan

    ambilan kontras oleh hati yang terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam

    usus. Dua hal yang harus dicatat pada pemeriksaan skintigrafi adalah

    realibilitas yang berkurang bila kadar bilirubin direk sangat tinggi (>20

    mg/dl) dan false positive dan negatifnya sebesar 10%. pemeriksaan ini

    membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga jarang digunakan

    pada evaluasi diagnostik kolestasis.

    3. Biopsi hati

    Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk

    membuat diagnosis bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis

    mencapai 95%-96%. Pada hasil biopsi yang representatif, paling

  • Referat | Kolestasis 24

    sedikit harus diperlihatkan 5 portal tracts. Gambaran histopatologis

    hepatitis neonatal adalah perubahan arsitektur lobulus yang mencolok,

    nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan pseudoroset, ada giant cells

    dengan balloning pada sitoplasma. Di samping itu, pada kolestasis

    intrahepatik lebih banyak fokus hematopoesis ekstramoduler, deposit

    hemosiderin pada sel hati dan sel kupffer, inflamasi intralobular dan

    hiperplasia sel kupffer. Selanjutnya dapat pula menentukan apakah ada

    penyakit Wilson, glycogen storage disease, neonatal iron storage

    disease, fibrosis hati kongenital maupun defisiensi -1-antitripsin.

    Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan informasi

    mengenai dinamika penyakitnya yang dapat menolong memastikan

    diagnosis.

    Tabel 2. Kriteria klinis untuk membedakan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik

    Data klinis Kolestasis

    Ekstrahepatik

    Kolestasis

    Intrahepatik

    Kemaknaan

    (P)

    Warna tinja selama dirawat

    - Pucat - Kuning

    79%

    21%

    26%

    74%

    0.001

    Berat lahir (gr) 3226 45* 2678 55* 0.001

    Usia tinja akolik (hari) 16 1.5* 30 2 * 0.001

    Gambaran klinis hati

    - Normal - Hepatomegali** Konsistensi normal

    Konsistensi padat

    Konsistensi keras

    13

    12

    63

    24

    47

    35

    47

    6

    Biopsi hati ***

    - Fibrosis porta - Proliferasi duktuler - Trombus empedu

    intraportal

    94%

    86%

    63%

    47%

    30%

    1%

    *MeanSD; ** Jumlah pasien, *** Modifikasi Moyer (Dikutip dari Alagille D. Cholestasis in the newborn and infant. In: Alagille D, Odievre

    M. Liver and biliary tract disease in children. Paris: Flammarion. 1992:426-38)

    Tata Laksana

    Tujuan tata laksana kolestasis adalah memperbaiki aliran empedu dengan

    operasi maupun medikamentosa, menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal

  • Referat | Kolestasis 25

    mungkin dengan pemberian nutrisi dan terapi komplikasi yang sudah terjadi.

    Keberhasilan pengobatan ikterus obstruktif jangka pendek adalah berhasilnya

    mengalirkan empedu dari hati ke usus. Pengobatan dan rekonstruksi saluran

    empedu pada bayi harus dilakukan sebelum kerusakan sel hati menjadi

    ireversibel. Secara umum patokan yang masih dipakai untuk operasi (operasi

    Kasai) yang terbaik adalah sebelum usia 8 minggu.(2,3)

    Penatalaksanaan yang dianjurkan dalam menangani bayi dengan ikterus

    obstruktif yaitu pada setiap bayi dengan ikterus yang memanjang dan feses akolis,

    harus dipirkan kemungkinan menderita ikterus obstruktif. Pemeriksaan yang perlu

    dilakukan adalah pemeriksaan uji fungsi hati (bilirubin serum, protein total,

    fosfatase alkali, SGOT dan SGPT). Bila bilirubin direk dan fosfatase alkali jelas

    meninggi, tindakan selanjutnya adalah memeriksa adanya bilirubin dalam cairan

    duodenum (AD). Bila ditemukan bilirubin dalam cairan duodenum maka tidak

    ada indikasi untuk tindakan operasi, tetapi bila telah diulang beberapa kali

    bilirubin tetap negatif, maka penderita dipersiapkan untuk tindakan operasi,

    kolangiografi dan biopsi hati intraoperatif.(2,3)

    Dasar terapi kolestasis adalah : (3)

    1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara :

    a. Mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis

    intrahepatik dan operatif pada kolestasis ekstrahepatik.

    b. Menstimulasi aliran empedu dengan :

    1) Fenobarbital : bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat

    mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan

    aliran empedu dengan cara menginduksi enzim UDP-glukuronil

    transferase, sitokrom P-450 dan Na+K+ATP-ase. Tetapi pada bayi

    jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu

    metabolisme beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat

    mengeksaserbasi ricketsia.

    2) Asam ursodeoksilat : asam empedu tersier yang mempunyai sifat

    lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan

    asam empedu primer serta sekunder sehingga merupakan

  • Referat | Kolestasis 26

    competitive binding terhadap asam empedu toksik. Selain itu asam

    ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk absorbsi

    lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena

    antara lain dapat menstabilkan dan melindungi membran sel hati

    serta sebagai bile flow inducer karena meningkatkan regulasi

    sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel hati.

    Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari. Efek samping : diare, hepatotoksik.

    3) Kolestiramin : dapat menyerap asam empedu yang toksik

    sehingga juga akan menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat

    mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat

    menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta

    meningkatkan ekskresinya. Selain itu, kolestiramin dapat

    menurunkan umpan balik negatif ke hati, memacu konversi

    kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang berperan

    sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada

    manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan

    hiperkolesterolemia.

    Dosis : 0,2-0,5 g/kgBB/hari. Efek samping : konstipasi,

    steatorrhea, asidosis metabolik hiperkloremik.

    4) Rifampisin : dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta

    menghambat ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah

    metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50%

    kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia dan

    hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-10% kasus.

  • Referat | Kolestasis 27

    Tabel 3. Tata Laksana Kolestasis

    Penyebab Tata laksana spesifik

    Infeksi

    a. Toksoplasma b. Sitomegalovirus c. Herpes simpleks d. Sifilis e. Sepsis/infeksi bakteri lain f. Tuberkulosis

    a. Spiramisin b. Gancyclovir, bila berat c. Acyclovir d. Penicillin e. Antibiotik yang sesuai f. OAT (4 jenis tanpa ethambutol)

    Toksik

    Nutrisi parenteral total

    Asupan oral, metronidazol,

    ursodeoksikolat Sumber : Buku Ajar Gastroenterohepatologi jilid 1 IDAI 2012

    2. Terapi suportif (terapi nutrisi, berupa pemberian vitamin A, D, E, K)

    Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi akibat dari kolestasis (terjadi

    pada lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan

    kolestasis. Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada

    lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang.

    Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi

    dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Oleh karena itu, untuk

    menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi

    digunakan formula spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan

    normal serta vitamin, mineral dan trace element :

    a. Formula MCT (Median Chain Triglyceride) karena relatif lebih larut

    dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorbsi dan

    menghindarkan makanan yang banyak mengandung cuprum (tembaga).

    b. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi

    normal sesuai dengan berat ideal. Kebutuhan protein : 2-3 gr/kgBB/hari.

    c. Vitamin yang larut dalam lemak :

    A : 5000-25000 U/hari

    D3 : Calcitriol : 0,05-0,2 g/kgBB/hari

    E : 25-50 IU/kgBB/hari

    K : K1 2,5-5 mg/2-7x/minggu

    d. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.

  • Referat | Kolestasis 28

    3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya hiperlipidemia/xantelasma

    dengan kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi adalah

    transplantasi hati.

    4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk penderita dengan

    kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati.

    Tata Laksana Kolestasis Kronis

    Pada setiap bentuk kolestasis neonatus, apakah penyakit primer hepatitis

    neonatus idiopatik, hipoplasia duktus biliaris intrahepatik, atau atresia biliaris,

    penderita yang terkena merupakan risiko tinggi untuk komplikasi kronis. Keadaan

    ini menggambarkan berbagai tingkat sisa kapasitas fungsional hati dan disebabkan

    oleh mengurangnya aliran empedu langsung atau tidak langsung : (1,12)

    1. Setiap substansi yang secara normal diekskresi ke dalam empedu ditahan di

    hati, dengan penumpukan selanjutnya dalam jaringan dan dalam serum.

    Substansi yang terlibat adalah asam empedu, bilirubin, kolesterol dan elemen.

    2. Penghantaran asam empedu ke proksimal usus yang menurun menyebabkan

    tidak adekuatnya pencernaan dan absorbsi diet trigliserida rantai-panjang dan

    vitamin larut-lemak.

    3. Gangguan fungsi metabolik hati bisa mengubah keseimbangan hormonal dan

    penggunaan nutrien.

    4. Kerusakan hati progresif bisa menyebabkan sirosis biliaris, hipertensi porta

    dan gagal hati.

    Manajemen penderita demikian adalah empiris dan pedoman yang

    terbaik adalah pemantauan yang cermat. Sekarang, tidak ada terapi yang diketahui

    efektif dalam menekan penjelekan kolestasis atau mencegah kerusakan

    hepatoseluler dan sirosis lebih lanjut.(1,12)

    Perhatian pokok adalah gagal tumbuh, yang terkait sebagian dengan

    malabsorbsi dan malnutrisi akibat dari tidak efektifnya pencernaan dan absorbsi

    diet lemak. Pemakaian formula mengandung trigliserida rantai-menengah bisa

    memperbaiki keseimbangan kalori.(1,12)

    Pada kolestasis kronis dan yang bertahan hidup lama, anak dengan

    penyakit hepatobiliaris bisa mengalami defisiensi vitamin yang larut dalam lemak

  • Referat | Kolestasis 29

    (A, D, E, dan K). Absorbsi lemak dan vitamin larut lemak yang tidak adekuat

    mungkin diperjelek dengan pemberian asam empedu pengikat kolestiramin.

    Penyakit metabolik tulang sering ada.(1,12)

    Sindrom neuromuskular degeneratif ditemukan pada kolestasis kronis

    yang disebabkan oleh malabsorbsi dan karenanya defisiensi vitamin E, anak yang

    terkena mengalami arefleksia progresif, ataksia serebelum, ofthalmoplegia dan

    penurunan sensasi getaran. Lesi morfologi spesifik telah ditemukan pada sistem

    saraf sentarl (SSS), saraf tepi dan otot-otot. Lesi ini menyerupai lesi yang

    ditemukan pada binatang dengan defisiensi vitamin E dan secara potensial

    reversible pada anak kecil (muda) yaitu umur < 3-4 tahun. Defisiensi ini bisa

    dicegah dengan pemberian oral dosis besar vitamin E (sampai lebih dari 1000

    IU/hari); penderita yang tidak mampu mengabsorbsi sejumlah yang cukup

    mungkin memerlukan pemberian D-tokoferol polietilen glikol-1000 suksinat per

    oral. Kadar serum dapat dipantau sebagai pedoman kemanjuran; anak yang

    terkena akan mempunyai kadar vitamin E serum rendah, peningkatan hemolisis

    hidrogen peroksidase dan rasio vitamin E serum dengan total lipid serum rendah

    (< 6,0 mg/g untuk anak lebih muda dari 12 tahun dan < 8,0 m/g untuk penderita

    yang lebih tua).(1,12)

    Kadar vitamin A serum biasanya dapat dipertahankan pada kadar normal

    pada penderita dengan kolestasis kronis yang mendapat tambahan ester vitamin A

    oral adalah sangat penting memonitor keadaan vitamin A pada penderita

    demikian.(1,12)

    Gatal-gatal merupakan komplikasi kolestasis kronis yang menyusahkan,

    sering dengan munculnya xantomata. Kedua gambaran agaknya terkait dengan

    penumpukan kolesterol dan asam empedu dalam serum dan jaringan. Pelenyapan

    senyawa yang tertahan ini sulit apabila ada obstruksi duktus biliaris, tetapi jika

    ada patensi duktus biliaris, pemberian asam ursodeoksikolat dan kolestiramin bisa

    meningkatkan aliran empedu atau mengganggu sirkulasi enterohepatik asam

    empedu dan dengan demikian menurunkan xantomata dan memperbaiki gatalnya.

    Kolestiramin resin tidak terasa enak dan bisa memberi efek samping seperti

    konstipasi, hiperkloremia dan eksaserbasi defisiensi vitamin larut lemak. Tetapi

  • Referat | Kolestasis 30

    asam ursodeosikolat bisa juga menurunkan kadar kolesterol dalam serum. Dosis

    yang dianjurkan 15 mg/kg/24 jam.(1,12)

    Pada penderita dengan hipertensi portal, sering ada perdarahan varises

    dan terjadi hipersplenisme. Namun, episode perdarahan saluran cerna pada

    penderita yang menderita penyakit hati kronis, mungkin bukan disebabkan oleh

    karena varises esofagus tetapi karena gastritis atau tukak lambung, karena

    manajemen berbagai komplikasi ini berbeda, mungkin diperlukan diferensiasi

    dengan endoskopi sebelum pengobatan dimulai.(1,12)

    Pada penderita dengan asites, manajemen awal meliputi pembatasan diet

    garam, pembatasan masukan natrium sampai 0,5 g (-1,2 mEq/kg/hari) adalah

    tidak perlu membatasi masukan cairan pada penderita dengan keluaran (output)

    ginjal yang adekuat. Diuresis dapat dirumat dengan memakai agen, seperti

    furosemid, tunggal atau kombinasi dengan spironolakton (3-5 mg/kg/hari dalam 4

    dosis). Penderita dengan asites tetapi tanpa edema perifer, berisiko untuk

    dikurangi volume plasma dan diturunkan keluaran urine pasca pengobatan

    diuretik. Asites tegang mengganggu aliran darah ginjal dan hemodinamik

    sistemik. Parasintesis dan infus albumin intravena bisa memperbaiki

    hemodinamik, perfusi ginjal, dan gejalanya. Pemantauan meliputi nasihat diet dan

    pemantauan kadar elektrolit urine dan serum.(1,12)

    Pada penderita dengan penyakit hati yang lanjut, transplantasi hati

    mempunyai angka keberhasilan lebih besar dari 85%. Jika operasi secara teknik

    bisa dikerjakan, transplantasi ini akan memperpanjang hidup dan dapat

    mengoreksi kesalahan metabolik pada penyakit seperti defisiensi 1-antitripsin,

    tirosinemia atau penyakit wilson. Keberhasilan tergantung pada perawatan

    adekuat selama operasi, sebelum operasi, dan setelah operasi dan pada

    penggunaan agen imunosupresif yang hati-hati. Langkahnya donor hati yang kecil

    sangat membatasi pemakaian trasnplantasi hati pada bayi dan anak. Namun,

    transplantasi menggunakan ukuran yang lebih kecil meningkatkan kemampuan

    untuk mengobati anak kecil secara berhasil.(1,12)

  • Referat | Kolestasis 31

    Tabel 4. Manajemen Medis Kolestasis Menetap

    Gangguan Klinis Manajemen

    Malnutrisi akibat dari malabsorbsi diet

    trigliserida rantai-panjang

    Malabsorbsi vitamin larut-lemak

    Defisiensi vitamin A (buta senja, kulit

    tebal)

    Defisiensi vitamin E (degenarasi

    neuromuskular)

    Defisiensi vitamin D (penyakit

    metabolik tulang)

    Defisiensi vitamin K

    (hipoprotrombinemia)

    Defisiensi mikronutrien

    Defisiensi vitamin larut-air

    Retensi unsur empedu seperti asam

    empedu dan koleterol (gatal atau

    xantomata)

    Penyakit hati progresif

    Hipertensi porta (perdarahan varises,

    asites, hipersplenisme)

    Penyakit hati stadium akhir (gagal hati)

    Penggantian dengan diet formula atau

    menambahkan trigliserida rantai-sedang

    Penggantian dengan 10000-15000

    IU/hari sebagai Aquasol A

    Penggantian dengan 50-400 IU/hari -tokoferol oral atau TGPS

    Penggantian dengan 5000-8000 IU/hari

    D2 atau 3,5 g/kg/hari 25-

    hidroksikalsiferol

    Penggantian dengan 2,5-5,0 mg selang

    sehari sebagai derivat menadion larut-

    air

    Penambahan kalsium, fosfat, atau seng

    Penambahan dua kali dosis harian yang

    dianjurkan

    Pemberian koleretik (asam

    ursodeoksikolat, 15-20 mg/kg/hari) atau

    pengikat asam empedu (kolestiramin 8-

    16 gr/hari)

    Manajemen sementara (pengendalian

    perdarahan, mengurangi garam;

    spironolakton)

    Transplantasi

    Sumber : Nelson Ilmu Kesehatan Anak 2000

    Prognosis

    Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh

    pada kasus sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus yang

    bersifat familial, prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis pada bayi

    dengan atresia biliaris umumnya buruk. Kematian akibat kegagalan hepar

    biasanya terjadi setelah 2 tahun. Untuk penderita dengan hepatitis neonatus

  • Referat | Kolestasis 32

    idiopatik berbagai prognosis bisa menggambarkan heterogenesitas penyakitnya.

    Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik dengan mortalitas sebesar

    13%-25%. Prediktor untuk prognosis yang buruk adalah kuning hebat yang

    berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit dalam keluarga,

    hepatomegali persisten dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsi hati.

    Pada kasus sporadis, 60-70% akan membaik tanpa tanda gangguan struktural atau

    fungsional hati. Sekitar 5-10% akan menderita fibrosis atau radang menetap dan

    sebagian yang lebih kecil akan menderita penyakit hati yang lebih berat, seperti

    sirosis. Kematian bayi biasanya terjadi dini pada perjalanan penyakitnya, karena

    perdarahan atau sepsis, dari bayi dengan hepatitis neonatus idiopatik varietas

    familial hanya 20-30% akan membaik, 10-15% akan menjadi penyakit hati kronis

    dengan sirosis. Transplantasi hati mungkin diperlukan. (2,3)

    Pemantauan

    1. Terapi

    Keberhasilan terapi dilihat dari : (2)

    a. Progresivitas secara klinis seperti keadaan ikterus (berkurang, tetap, makin

    kuning), besarnya hati, limpa, asites, vena kolateral.

    b. Pemeriksaan laboratorium seperti kadar bilirubin direk dan indirek, ALT,

    AST, SGOT, SGPT, albumin dan uji koagulasi dilakukan setidaknya

    setiap bulan.

    c. Pencitraan langsung kadang-kadang diperlukan untuk memantau adanya

    perbaikan atau perburukan.

    2. Tumbuh kembang

    Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan

    membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi dan anak.

    Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan

    sejak awal. Pasien dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya akan tumbuh dengan

    baik pada awalnya, tetapi kemudian akan mengalami gangguan pertumbuhan

    sesuai dengan progresivitas penyakitnya. (2)

  • Referat | Kolestasis 33

    PENUTUP

    Kolestasis merupakan penyakit yang jarang ditemukan dengan insiden

    1:25000 kelahiran hidup, namun penyakit ini cukup serius, progresif dan dapat

    menyebabkan kematian pada bayi dan anak. Secara klinis dapat diketahui dengan

    adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik dan urin yang berwarna kuning

    tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul berbagai manifestasi

    klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh dan lainnya akibat dari

    penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang

    melalui usus. Pada umumnya prognosisnya tergantung penyebab dasarnya, namun

    hampir sebagian besar buruk sehingga perlu diperhatikan diagnosis dini dan

    penanganan segera untuk dapat memperlambat perlangsungan penyakit,

    menunjang pertumbuhan dan perkembangan optimal serta menurunkan risiko

    kematian pada bayi dan anak.

  • Referat | Kolestasis 34

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Balistreri WF. Cholestasis. In Kliegman R, Behrman RE, Arvin AM, ed.

    Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku

    Kedokteran EGC, 2000. h. 1392-7

    2. Anonim. Kolestasis. Dalam: Pudjiadi, AH, et al, ed. Pedoman Pelayanan

    Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta: IDAI. 2010. h. 172

    3. Bisanto Julfina. Kolestasis Intrahepatik Pada Bayi Dan Anak. In Juffrie M,

    et al. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. IDAI. 2012. h. 365

    4. Sulaiman Ali. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam: Aru W

    Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:

    Penerbit IPD FKUI, 2009. h. 420-3

    5. Oswari H. Pendekatan Diagnosis Kolestasis pada Bayi. Dalam: Trihono

    PP, Djer MM, Sjakti HA, Hendrarto TW, Prawitasari T, penyunting. Best

    Practices in Pediatrics. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang

    DKI Jakarta, 2013. h. 108-15

    6. Oswari, H. Kuning Berlanjut pada Bayi: Pikirkan Kemungkinan

    Kolestasis. Dalam: Gunardi H, Tehuteru ES, Kurniati N, Advani N,

    Setyanto DB, Wulandari HF, Handryastuti S, penyunting. Kumpulan Tips

    Pediatri. Jakarta: Penerbit IDAI, 2011. h. 61-3

    7. Newman WA. Kamus Kedokteran DORLAND Edisi 31. Jakarta: Penerbit

    EGC, 2010.

    8. Wibowo S, Santoso NB. Karakteristik Klinik dan Laboratorik Kolestasis

    Intrahepatal dan Ekstrahepatal di Bangsal Perawatan Anak RSU dr. Saiful

    Anwar Malang. Jurnal Kedokteran Media Medika Indonesia, Volume 46,

    Nomor 2, Tahun 2012.

    9. Chaerani D. Kolestasis pada Anak di RSUD Budhi Asih. Makalah

    Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta: Mei 2014

    10. Sylvia Anderson Price. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

    Penyakit Volume 2, Edisi 6. Jakarta: Penerbit EGC, 2005.

    11. Silbernagl Stefani. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi Edisi 1. Jakarta:

    Penerbit EGC, 2007.

    12. Rudolph et all. Buku Ajar Pediatri Edisi 20. Jakarta: Penerbit EGC, 2007.

    13. Oswari Hanifah et all. Infeksi Saluran Kemih Sebagai Penyebab Kolestasis

    Intrahepatik. Volume 6. Nomor 4. Sari Pediatri, Maret 2005, h 166-171.