REDD+ di Indonesia dan pentingnya meningkatkan ketahanan...

20
"Sebagai negara berkembang, Indonesia memprioritaskan promosi pertumbuhan dan pemberantasan kemiskinan. Tapi Indonesia tidak akan mencapai tujuan ini dengan mengorbankan hutan. Kita harus mencapai pengembangan dan pengelolaan hutan secara bersamaan...Pengelolaan hutan terkait erat dengan penghidupan masyarakat kami, terkait dengan ketahanan pangan, dengan ketersediaan kayu dan bahan bakar". Susilo Bambang Yudhoyono, Jakarta, 27 September 2011 Penyerobotan Hijau? Kenaikan minyak dunia dan kekhawatiran soal berkurangnya cadangan-cadangan minyak memicu banyak pihak untuk mencari sumber-sumber energi baru atau terbarukan. Berbeda dengan semangat mencari energi baru non-minyak yang lahir di tahun 1970-an, di awal abad 21 kali ini pencairan energi baru dan terbarukan itu diliputi juga oleh keinginan mencari sumber energi baru atau terbarukan yang memberikan dampak kecil pada perubahan iklim. Hal tersebut memicu penelitian dan pengembangan energi biofuel secara masif. Biofuel ini dipandang ideal sebagai pengganti energi fosil sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim (Richter 2010). Biofuel masuk ke dalam kebijakan pembauran energi negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Hanya saja, bahan-bahan yang dipergunakan untuk biofuel ini berasal dari bahan-bahan pangan seperti jagung atau keledai (bioethanol) di Amerika dan minyak sawit (biodiesel) di negara-negara Eropa. Dipergunakannya bahan-bahan pangan untuk energi ini memicu naiknya harga pangan sekitar tahun 2006 yang dimulai dari Amerika dan kemudian merembet ke seluruh negara (Siegel et all 2008). Krisis pangan ini menyadarkan banyak negara dan perusahaan untuk mencari lahan baru untuk menjaga kebutuhan pangan mereka atau menyediakan lebih banyak lagi stok pangan untuk dijual. Pada saat pencairan lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan sekaligus energi terbarukan itu baru dimulai, muncullah krisis keuangan di tahun 2008 yang memicu semakin banyak perusahaan dan individu mengalihkan asetnya mereka pada aset yang dipandang lebih stabil seperti emas atau properti seperti tanah. Lahan-lahan, terutama di negara-negara Selatan, berpindah kepemilikan atau pengelolaan REDD+ di Indonesia dan pentingnya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat lokal: Sebuah kasus di Kalimantan Tengah Oleh: Mumu Muhajir Epistema Climate Change Update Volume 01/2012

Transcript of REDD+ di Indonesia dan pentingnya meningkatkan ketahanan...

"Sebagai negara berkembang, Indonesiamemprioritaskan promosi pertumbuhan danpemberantasan kemiskinan. Tapi Indonesia tidak akanmencapai tujuan ini dengan mengorbankan hutan. Kitaharus mencapai pengembangan dan pengelolaan hutansecara bersamaan...Pengelolaan hutan terkait eratdengan penghidupan masyarakat kami, terkait denganketahanan pangan, dengan ketersediaan kayu danbahan bakar". Susilo Bambang Yudhoyono, Jakarta, 27September 2011Penyerobotan Hijau?Kenaikan minyak dunia dan kekhawatiran soalberkurangnya cadangan-cadangan minyak memicubanyak pihak untuk mencari sumber-sumber energibaru atau terbarukan. Berbeda dengan semangatmencari energi baru non-minyak yang lahir di tahun1970-an, di awal abad 21 kali ini pencairan energi barudan terbarukan itu diliputi juga oleh keinginan mencarisumber energi baru atau terbarukan yang memberikandampak kecil pada perubahan iklim.Hal tersebut memicu penelitian dan pengembanganenergi biofuel secara masif. Biofuel ini dipandang idealsebagai pengganti energi fosil sekaligus mengurangi

dampak perubahan iklim (Richter 2010). Biofuel masukke dalam kebijakan pembauran energi negara-negaramaju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Hanyasaja, bahan-bahan yang dipergunakan untuk biofuelini berasal dari bahan-bahan pangan seperti jagungatau keledai (bioethanol) di Amerika dan minyak sawit(biodiesel) di negara-negara Eropa. Dipergunakannyabahan-bahan pangan untuk energi ini memicu naiknyaharga pangan sekitar tahun 2006 yang dimulai dariAmerika dan kemudian merembet ke seluruh negara(Siegel et all 2008). Krisis pangan ini menyadarkanbanyak negara dan perusahaan untuk mencari lahanbaru untuk menjaga kebutuhan pangan mereka ataumenyediakan lebih banyak lagi stok pangan untukdijual.Pada saat pencairan lahan untuk mencukupikebutuhan pangan dan sekaligus energi terbarukanitu baru dimulai, muncullah krisis keuangan di tahun2008 yang memicu semakin banyak perusahaan danindividu mengalihkan asetnya mereka pada aset yangdipandang lebih stabil seperti emas atau propertiseperti tanah. Lahan-lahan, terutama di negara-negaraSelatan, berpindah kepemilikan atau pengelolaan

REDD+ di Indonesia dan pentingnya meningkatkan ketahanan panganmasyarakat lokal: Sebuah kasus di Kalimantan Tengah

Oleh: Mumu Muhajir

Epistema Climate Change UpdateVolume 01/2012

hidup, baik multilateral maupun LSM lingkungan(internasional) yang menjadi pendorong utamanya.Kehadiran aktor ini memungkinkan hadirnya potretyang mungkin di zaman dulu dianggap janggal: LSMlingkungan bekerja sama dengan perusahaan yangdipandang merusak lingkungan seperti perusahaantambang dalam usaha untuk menyelamatkan bagiantertentu lingkungan.Lebih jauh, fenomena penyerobotan hijau inimemperlihatkan dinamika dalam ideologi dan gerakanlingkungan hidup, tepatnya gerakan konservasi.Sebagai bagian gerakan counter culture tahun 1960-an,gerakan lingkungan hidup bersikap kritis pada kondisimasyarakat yang ada yang dibentuk oleh kapitalisme.Tapi dinamika terbaru memperlihatkan gerakan inimulai memakai aspek kapitalisme seperti pasar bebas,

atau memperbaiki lingkungan”. Fletcher (2010)

environmentality” karena kecenderungan gerakankonservasi (lingkungan hidup) memakai prinsip-prinsip neoliberal. Terlihat dari mulai adanya konseppembangunan berkelanjutan, valuasi ekonomi/ekonomi lingkungan, perdagangan karbon (salahsatunya REDD+), biodiversity swap atau yang palingterbaru: ekonomi hijau.Dalam konsep itu, lingkungan/ekologi dipilah-pilahdan dihitung biaya penyelamatannya. Karena ada

yang lebih murah untuk diselamatkan dibandingkandengan menyelamatkan bagian lingkungan lainnya.Untuk sampai pada kesimpulan bahwa bagiantertentu lingkungan yang mau diselamatkan, tidakhanya memerlukan kehadiran ilmu ekonomi, tetapijuga ilmu-ilmu lainnya, terutama juga ilmu alam. Biayayang paling murahlah yang kemudian menjadi alasanmengapa dimungkinkan diperdagangkannya karbonkredit dari REDD (Stern 2006); atau kredit karbon itu

sebuah perusahaan listrik dari batu bara. Seolahdengan membeli kredit karbon murah dari REDDdengan sendirinya mengurangi kerusakan lingkunganakibat dieksploitasi dan dibakarnya batu bara. Pasarkemudian mengambil kendali apa saja bagian dariekologi yang harus dihargai atau diselamatkan manayang tidak dan usaha apa yang paling murah untukmencapai ke arah sana.Setidaknya ada empat komoditas hijau: kelapa sawit,biofuel, keanekaragaman hayati dan karbon kredit,yang mendorong perkembangan ekonomi pasar hijaudan diskursus global tentang tata guna dan kelolalingkungan hidup. Perkembangan penyerobotanhijau ini memberikan pengaruh pada bagaimanalahan digunakan dan tentu saja menyumbang padaperdebatan soal land grabbing dan perubahan agrariadi pedesaan.

dengan cepat dan sangat masif. Berita-berita darilapangan mempertontonkan dampak yang tidakbegitu baik dari proses perpindahan lahan tersebut:pengambilalihan paksa, penipuan, pemaksaanmasyarakat lokal. Aktornya tidak hanya perusahaan,tetapi juga ada bantuan dari negara yang menyediakanberbagai kebijakan dan insentif bagi terlaksananyapengambilalihan tersebut.Fenomena pengambilalihan lahan ini demikian masifdalam empat tahun terakhir sehingga memaksa paraahli dan aktivis menyebutkan istilah tersendiri yang

tanah (Borras dan Franco, 2011). Penyerobotantanah ini menurut Deklarasi Tirana 2011 sebagaifenomena pengambilalihan atau perijinan terkaitlahan yang mengikuti satu atau beberapa faktoryaitu (i) melanggar Hak Asasi Manusia, terutamahak-hak perempuan; (ii) tidak berdasarkan padasepengetahuan dan persetujuan pemilik danpengguna lahan; (iii) tidak berdasarkan pada kajianmendalam atau mengabaikan dampak sosial, ekonomidan lingkungan; (iv) tidak berdasarkan kontrakyang transparan yang secara jelas dan mengikatmenyebutkan kegiatan, pekerjaan dan pembagiankeuntungan; (v) tidak didasarkan pada perencanaanyang demokratis, pengawasan mandiri dan partisipasisejati.Dalam fenomena penyerobotan lahan itu ada yang

kepentingan (perlindungan) lingkungan hidup,seperti kelapa sawit, biofuel, keanekaragama hayatidan kredit karbon. Ini yang membuat beberapaorang menyebutnya sebagai green grabbingatau penyerobotan hijau. James Fairhead et al(2012) menyebut penyerobotan hijau ini sebagaiupaya pengerukan SDA demi tercapainya tujuan(perlindungan) lingkungan hidup. Penyerobotanhijau ini tidak hanya mengacu pada perpindahanhak kepemilikan lahan, tetapi juga atas terjadinyaperubahan aturan dan tata kuasa atas akses danpengelolaan SDA, atas hubungan ketenagakerjaan(misalnya dari petani mandiri menjadi buruh) dan atashubungan manusia dengan alam.Walaupun banyak kesamaannya dengan LandGrabbing, fenomena penyerobotan hijau inimempunyai kekhasannya sendiri. Yang paling tampakadalah dengan kehadiran badan-badan lingkungan

Apakah skema REDD+ itu penyerobotan hijau?Tulisan ini hanya akan berbicara soal komoditaskredit karbon dimana REDD+ menjadi salah satumanifestasinya di Indonesia. Pesan bahwa REDD+dipresentasikan sebagai salah satu fenomenapenyerobotan hijau telah tersurat dan tersiratdalam bagian sebelumnya (lebih jelas bisa dilihatdalam Fairhead et al (2012), McAfee (2012 draft)dan Bumpus dan Liverman (2011) atau Sunderland(2012)). Namun dalam tulisan ini, penulis belum secarategas menyebutkan REDD+ sebagai bagian daripenyerobotan hijau. Posisi penulis ini dalam banyak hal

reports on REDD+ in Indonesia represent only thestart of a long negotiation process. They do not yetcorrespond with real ‘green appropriations’. In parallelwith the other cases, REDD+ land claims remain‘virtual’, until it becomes clear who decides on landallocations, exactly which activities will obtain REDD+

work...” (italic oleh penulis).Karenanya yang akan dilihat oleh penulis adalahDA REDD+ yang sedang berlangsung di KalimantanTengah. Tuturan penulis selanjutnya apakah REDD+itu bagian dari fenomena penyerobotan hijau bersifatindikatif dengan melakukan perbandingan antarayang sedang berlangsung di lapangan, kebijakan yangsedang dan telah diambil terkait dengan hal itu dansejarah di masa lalu yang dapat merepresentasikankejadian serupa. Agar lebih terlihat jelas dan ditujukanagar lebih kritis dan hati-hati lagi dalam pelaksanaanREDD+ di masa depan, penuturannya akandisandingkan dengan dampaknya pada kerentananpangan masyarakat terdampak.Kebijakan pangan dan perubahan iklim/REDDSejak RPJM 2010-2014, Indonesia melihat perubahaniklim sebagai salah satu ancaman tercapainyakesejahteraan rakyat, karena pembangunan ekonomiharus menyesuaikan dengan agenda perubahan iklim.Perubahan iklim ditempatkan sebagai prioritas dalamketahanan pangan dan, menyadari adanya masalahsektoral, perubahan iklim ditempatkan sebagai salahsatu kebijakan lintas bidang.Biarpun begitu perubahan iklim dan pangan memangdibunyikan dalam semangat lintas bidang dalamperencanaan kebijakan yang lebih umum (RPJP-RPJM)namun kemudian dalam perencanaan yang lebih detailyang sudah ada pagu anggarannya, sektoralisasi terjadikembali. Dalam RKP 2012, prioritas penanggulangandampak perubahan iklim, walau dipandang lintassektor, tetap ada leading sektornya, yang dipegangoleh KLH dengan 7 lembaga negara lainnya, termasukKementerian Kehutanan. Sayangnya tidak adaKementerian Pertanian dalam prioritas kebijakan ini. Disisi lain, ada juga rencana aksi bidang pangan yang

ditangani langsung di bawah Wakil Presiden, di manaKementerian Pertanian sebagai salah satu anggotanya,tetapi sayangnya Kementerian Kehutanan tidakdilibatkan.Dapat diduga juga kemudian, soal pangan hanyasedikit dibicarakan di Kementerian Kehutanan. DalamRenja Kemenhut 2013, misalnya, aspek pangan hanyaditempatkan dalam perhutanan sosial dan programpenanaman semilyar pohon. Hanya saja, terlihat bahwayang ditanam adalah tanaman kayu, bukan tanamanpangan, seperti buah-buahan.Alasan kuat mengapa kebijakan Kemenhut ini penting

inilah REDD+ akan dilaksanakan. Semua aspekperaturan REDD+ akan mengacu pada sebagianbesar kebijakan yang ada di Kementerian ini. Carapandangnya dalam melihat kehadiran tanaman pangandalam wilayah hutan menarik untuk diperiksa.Bagi Kementerian Kehutanan, wilayah hutan haruslahnir-hak milik, bahkan nir-manusia. Sebuah pandangan

kawasan hutan dan hutan yang ada di dalam UU41/1999 serta Putusan MK NO. 45/PUU-IX-2011 sertaPutusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 yang secara jelasmengeluarkan hak-hak atas tanah dari kawasan hutan.Konsekuensi pertama, apapun yang menandakan

ada di dalam kawasan hutan, termasuk pohon-pohontertentu yang bagi kalangan masyarakat adat Dayakdianggap sebagai kepemilikan (tembawang, tanamanbuah-buahan, jelutung, dan yang paling baru karet).

lahan masih menggunung di Indonesia, selain karenafaktor pengukuhan kawasan hutan di masa lalu yanghanya di atas kertas, tidak transparan dan melibatkanmasyarakat secara penuh. Dalam potret yang besar,ini merupakan bukti terjadinya penyerobotan lahan,dengan aktor negara dan pemilik ijin menjadi pihakyang lebih banyak berkiprah.

Kerentanan pangan bagi masyarakat akibatkonsekuensi pertama ini terdapat pada tidak jelasnyastatus lahan. Sehingga pola penghidupan masyarakatmenjadi terganggu, karena ada sumber penghidupanlain yang tiba-tiba menjadi tertutup atau terbatas bagidirinya. Bisa dipahami bahwa dalam perjanjian antarapemrakarsa dengan desa-desa yang masuk dalamproyek DA REDD, ada klausula yang menyebutkantidak dibenarkan adanya perubahan status lahan tanpaada konsultasi dan persetujuan dari masyarakat. Yangmenunjukkan bahwa status tenure lahan di sekitarproyek REDD+ masih belum jelas.Konsekuensi kedua, minimnya program untukmendukung ketahanan pangan tanpa harusmelepaskan kawasan hutan menjadi non hutan.Program perhutanan sosial selalu dianggap sebagaipetunjuk kepedulian Kemenhut dengan kemiskinanmasyarakat sekitar hutan, dengan memberimasyarakat akses pada kawasan hutan. Tapipelaksanaanya sangat lambat dan kecil dibandingkandengan izin serupa bagi perijinan swasta. Perhutanansosial ditargetkan seluas 5,5 juta ha sampai tahun2014, namun yang terealisasikan di tahun 2010 barusekitar 120.436,28 ha. Perlu usaha lebih besar lagiuntuk merealisasikannya, yang sayangnya halanganterbesarnya adalah di kebijakan KementerianKehutanan sendiri yang tidak memberi kebebasankepada masyarakat atau setidaknya membicarakansecara setara pohonan apa yang boleh ditanam.Di sisi lain berkembang pula program Hutan TanamanRakyat karet, yang malah di internal KementerianKehutanan sendiri masih kontroversial mengingat,salah satunya, tanaman karet yang dianggap sebagaipenanda kepemilikan individual.Di lapangan juga terlihat bahwa programnya tidakjauh dari apa yang digariskan oleh Kemenhut. ProyekDA REDD di Kalteng dilakukan di tujuh desa yangmerupakan bekas kawasan lahan gambut sejutahektar, yang berarti tidak semua lahan tersebut adalah

di lapangan berupa proyek pembibitan dan reforestasipohon sengon dengan mengandalkan kelompok tani.Pemrakarsa DA REDD akan membayar upah kelompoktani yang menyemai bibit sengon dan menanamnya.Masalahnya jumlah bibit yang akan dibeli sedikit,belum lagi jika bibit itu mati, maka semakin kecilpula upah yang diterima oleh masyarakat. Apalagipembayarannya dalam tiga tahap dan sudahberlangsung sejak Agustus tahun 2011.Pengalihan mata pencaharianAda diskursus kuat di kalangan konservasionis tentangkeberadaan masyarakat dan hutan. Sejauh mungkinhutan sebaiknya tidak diintervensi oleh manusia, jikatidak bisa memindahkan masyarakat dari hutan, makabatasi aksesnya pada hutan, ubah gaya hidupnya danberi mereka penghidupan yang semakin menjauhkanmereka dari hutan. Penulis melihat bahwa masalahnya

bukan pada apakah hal itu perlu dilakukan, tetapipada bagaimana hal itu dilakukan. Jika mekanismenyapengambilan keputusannya terbuka, ada kesetaraandan ada persetujuan dari masyarakat sekitar hutanserta pelaksanaannya dilakukan dengan perencanaanyang baik dan bijak agar masyarakat dipindahkan ataudiberi penghidupan yang berbeda dengan yang biasamereka lakukan sekarang. Masalahnya di sini hal ituyang hilang.Re-kanalisasi parit agar lahan gambut tergenangair sehingga basah dan dapat menahan gigatonkarbon yang ada di dalamnya adalah salah satuprogramnya. Yang tidak dipahami oleh pemrakarsa iniadalah kanal (buatan maupun alam) sangat pentingbagi mereka untuk menjangkau handil atau ladangmereka. Penutupan kanal tanpa konsultasi membuatmasyarakat terbatas aksesnya dan bahkan ada yang

tanaman karetnya mati karena ketika dia tanam,lahannya masih kering, tidak banjir. Begitu paritnyaditutup, lahan karetnya tergenang air sehingga mati.Ini juga menjadi pelajaran penting karena penutupankawasan juga akan berpengaruh pada perubahankawasan lain yang tidak ditutup atau dialokasikan buatREDD+. Siapa yang bertanggung jawab untuk dampak-dampak di luar kawasan REDD+ yang terjadi karenaaktivitas di dalam kawasan REDD+?Pemrakarsa menjanjikan ada proyek livelihood(penanaman karet dan keramba ikan) dengan jumlahtertentu yang ditawarkan kepada mereka. Prosessosialisasi dilakukan dan membuka ruang bagimasyarakat untuk memberikan pendapatnya. Proyekini belum bisa berjalan karena nampaknya pendapatdari masyarakat tidak didengarkan (menyangkut hargatender dan pemilihan bibit karet yang bukan bibit lokal

yang diusulkan masyarakat). Masyarakat melihatproyek livelohood ini persis dengan proyek serupadari pemerintah dengan pilihan untuk mengubahnyayang hampir nihil. Bibit yang ditawarkan pernahdiusulkan oleh program serupa sebelumnya dangagal. Sementara bibit karet lokal tinggal merekaambil dari kebun masing-masing dan sudah terbukticocok dengan kondisi tanah dan iklim desa mereka.Alasannya pemrakarsa adalah karena ini sudahditetapkan oleh manajemen pemrakarsa denganmenutup kenyataan bahwa usulan masyarakattersebut sudah sering dibunyikan di pertemuan-pertemuan dengan pemrakarsa DA REDD.Dengan demikian, dengan proyek-proyek tersebut,pemrakarsa sebenarnya sedang menempatkanmasyarakat sekitar kawasan REDD+ sebagai buruh,dengan sistem outsourcing. Dalam hal tertentu mereka

sedang melakukan percepatan menghubungkanmasyarakat sekitar hutan dengan ekonomi pasar.Karena inilah (satu-satunya) cara paling cepat untukmencapai kesejahteraan masyarakat.Di tingkat masyarakat sendiri, penetrasi pasar atauhubungannya dengan ekonomi pasar sudah lamaterjadi dengan kemauan masyarakat untuk menanampohon atau menjual hasil hutan yang menjadikomoditas di pasar, seperti jelutung atau kayu dimasa lalu dan karet di masa sekarang. Pertukaranbarang lewat uang sudah lama mereka kenal danberpengaruh pada sistem sosial mereka dimana dalamkegiatan gotong royong sudah bisa digantikan denganpembayaran sejumlah uang tertentu. Tidak ada yangromatik di sini. Ini dinamika sosial masyarakat yangakhirnya juga berpengaruh pada pandangannya padalahan. Di beberapa desa, sudah tidak ada lagi aktivitas

menanam padi (ladang). Sebagian karena memangkondisi lahannya tidak cocok dan perubahan cuaca danlanskap; namun sebagian lagi lebih karena didorongperhitungan ekonomi: menanam padi dipandanglebih berat dan hasilnya tidak seberapa dibandingkandengan hasil yang didapat dari menanam karet. Padiakhirnya mereka beli dari daerah lain dengan uang hasilmenyadap karet.Perbedaan paling mendasarnya dengan penarikanmasuk ke ekonomi pasar seperti sekarang adalahkarena adanya pembatasan dan perubahan tata keloladan gaya hidup yang harus diikuti oleh masyarakatberdasarkan sistem pengetahuan yang asing bagimasyarakat atau berbeda dengan sistem pengetahuanyang biasa mereka terapkan dalam memanfaatkanlahan. Ini mempersempit mereka untuk mengaksessumber-sumber pangan yang dulu ada di sekitarmereka.Pembatasan ini sebenarnya tidak terjadi hanya saatsekarang saja, tetapi juga sudah terjadi sejak dahuludi masa HPH dan proyek PLG. Karena kayu, komoditasyang paling menguntungkan, sudah tidak dapat lagimereka akses karena negara mengalihkan hak untukmengusahakan hutannya kepada pihak swasta, merekamasih bisa berburu atau mengambil hasil hutanlainnya atau mengambil kayu-kayu tertentu yang tidakberharga bagi pemilik ijin. Proyek REDD+ mungkin akanmemberikan batasan yang lebih ketat karena sifatnyayang cenderung ke arah konservasi. Pembatasandan perubahan tata kelola lahan membuat merekakehilangan pengetahuan soal bertahan hidupdari tanah di sekitarnya yang berbeda dengan

harga karet jatuh, mereka semakin kesulitan untukmengambil manfaat dari lahan yang ada disekitarnya:bukan hanya karena tidak ada akses, tetapi karenapengetahuan untuk memanfaatkan hutan juga telahhilang.KesimpulanDengan demikian, kerentanan pangan bagimasyarakat terletak pada dua masalah fundamentalyang jarang dibicarakan dengan gegap gempita:ketidakjelasan kepemilikan atas lahan dan bagaimanamemperlakukan masyarakat di dalam kawasan hutanyang berhubungan dengan akses dan penghargaanpada pengetahuan lokal soal tata olah lahan. ProyekREDD+ belum memberikan kepastian atas hakkelola masyarakat. Jika dia masih mengikuti polalama, maka ia tidak jauh beda dengan tata kelolahutan sebelumnya. Ia tidak memberikan nilai lebihpada perubahan tata kelola hutan yang lebih baik.Kerentanan lain terjadi karena pembatasan akses itumempersempit pilihan masyarakat dalam mengaksessumber-sumber pangannya, terutama yang berada dihutan. Pilihan-pilihan penghidupan yang ditawarkanmalah semakin mempercepat hubungannya dengan

biaya hidup?). Belajar dari terjadinya krisis keuangan

pada tahun 2008 yang menurunkan kepercayaanorang pada sistem ekonomi pasar (neoliberal),menjadi pertanyaan besar dengan apa yang dilakukanproyek DA REDD+ yang justru semakin menarikmasyarakat sekitar hutan pada sistem ekonomi pasartanpa perlindungan. Analoginya dengan kebijakannegara yang bertumpu pada kekayaan sumber dayaalamnya dengan prioritas pasaran ekspor, denganmenganaktirikan kebutuhan domestik karenadibayangkan ada negara lain yang akan memenuhikebutuhan/keinginan warga negaranya. Tidakdilihatnya bahwa dalam kenyataan, kondisi ideal ituhampir utopis.Skema REDD+ masih panjang pelaksanaannya

ketergantungannya pada ekonomi pasar, yangperlu segera dikoreksi, Skema REDD+ harus dibuatsetransparan mungkin, separtisipatif mungkin denganmenempatkan persyaratan soal keadilan distibutifdalam kegiatannya.

Penghargaanpenulis mengucapkan terima kasih pada Afandi danAryo atas informasi lapangan.

Mumu Muhajir: Bekerja di Epistema Institute, Jakartaemail: [email protected]

Daftar PustakaBorras Jr., Saturnino M., Jennifer C. Franco, 2011.Political Dynamics of Land-grabbing in SoutheastAsia: Understanding Europe’s Role. Amsterdam:Transnational Institute

sustainable development”. Dalam Richard Peet, PaulRobbins, and Michael Watts (edt), Global politicalecology, RoutledgeFairhead, James., Melissa Leach, Ian Scoones, 2012.Green Grabbing: a new appropriation of nature?(Journal of Peasant Studies, 39:2, 237-261Fletcher, Robert., 2010. Neoliberal environmentality:Toward a poststructuralist Political ecology of theconservation debate. Journal of Conservation andsociety 8 (3): 171-181, 2010

2012. Trajectories of land acquisition and enclosure:development schemes, virtual land grabs, and greenacquisitions in Indonesia's Outer Islands, Journal ofPeasant Studies, 39:2, 521-549Richter, Burton., 2010. Beyond Smoke and Mirrors:Climate Change and Energy in the 21st Century. NewYork: Cambridge University Press

Investing in renewable energy : making money ongreen chip stocks. New Jersey: John Wiley & Sons, IncStern N., 2006. Stern Review: The Economics ofClimate Change. London: HM TreasurySunderland, Terry. 2012. Hitungan pertama, kedua ……Pengambilalihan besar-besaran lahan secara ‘hijau’.CIFOR-FOLEX: http://www.cifor.org/id/online-library/polex-cifors-blog-for-and-by-forest-policy-experts/indonesian/detil/article/1222/going-once-going-twice-the-great-green-land-grab.html (terakhir diakses pada05 November 2012)

Reduksi Emisi : Think Globally Act LocallySalah satu isu lingkungan hidup yang memberikan

kehidupan dan sistem kehidupan banyak kalangansaat ini adalah mengenai fenomena perubahan iklim(climate change). Perubahan iklim hadir sebagai suatubentuk fenomena kerusakan lingkungan yang memilikidampak pada hampir setiap bidang kehidupan yangmengancam eksistensi kehidupan manusia baik padatataran lokal, nasional dan juga pada tataran global.Dalam konteks Indonesia, dampak perubahan iklimyang nyata akan terjadi adalah kenaikan muka airlaut setinggi satu meter yang akan mengakibatkanmasalah besar pada masyarakat yang tinggal di daerahpesisir. Abrasi pantai dan mundurnya garis pantaisampai beberapa kilometer menyebabkan banyakmasyarakat kehilangan tempat tinggal dan sumberdaya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwakenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm akanberpengaruh langsung terhadap jutaan penduduk yanghidup di daerah pesisir. Panjang garis pantai Indonesiayang lebih dari 80.000 km memiliki konsentrasipenduduk dan kegiatan sosial ekonomi masyarakatyang tinggi, termasuk kota pantai dan pelabuhan.Demikian juga ekosistem alami seperti mangrove akanbanyak mengalami gangguan dari pelumpuran danpenggenangan yang makin tinggi.Uraian data ilmiah mengenai akibat yang dihasilkandari perubahan iklim sebagaimana tertuang dalamparagraf di atas secara jelas menggambarkan bahwadampak dari perubahan iklim telah terjadi secaranyata saat ini dan berimbas pada masa yang akandatang. Hanya saja, ada yang paradoks dalam dampakperubahan iklim ini yang mencerminkan terjadinyaketidakadilan iklim. Setidaknya ada tiga paradoks yangbisa diketengahkan dalam tulisan ini.Paradoks pertama, terdapat pada kenyataan bahwayang akan menerima dampak besar adalah generasiyang akan datang, anak-cucu-cicit kita, yang samasekali tidak berkontribusi pada terjadinya perubahaniklim.Paradoks kedua, terlihat dari kenyataan bahwanegara-negara yang kontribusinya kecil padaterjadinya perubahan iklim, justru diperkirakan akanmendapatkan dampak paling mengenaskan. Eksistensinegara – negara kepulauan semakin terancam dengannaiknya permukaan air laut, sementara negara –negara miskin lainnya akan kesulitan melakukanadaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim yangberdampak besar pada kesejahteraan penduduknya.Sebaliknya, negara-negara yang kontribusinya besar(yakni negara-negara maju) pada perubahan iklim,

justru diperkirakan beradaptasi dengan baik.

Paradoks ketiga, sejalan dengan pokok pikir padaparadoks pertama, namun perbandingannyatidak antar negara, tetapi di dalam negara sendiri.Mereka yang dapat mengakses kemajuan ekonomidiperkirakan dapat beradapatasi dengan lebih baikdaripada nelayan kecil yang kontribusinya padaperubahan iklim sangat kecil sekali. Tulisan ini akanberbicara ketiga paradoks tersebut di atas denganpenekanan pada paradoks ketiga.Diperlukan sandaran lokal dalam melihat dampakperubahan iklimSecara umum eksistensi baik hukum internasionalmaupun hukum nasional yang pada awalnya hanyaberada dalam pemikiran hukum di masa lalu mulaidipertanyakan untuk kepentingan saat ini dan saatyang akan datang. Kehadiran instrumen hukumlingkungan pada umumnya dan yang menyangkut padabidang perubahan iklim pada khususnya dirasakantidak memberikan sumbangsih yang simetris baik padakondisi saat ini dalam belahan dunia yang berbeda,maupun dalam kondisi yang bersifat lintas waktu yaituantara kepentingan saat ini dan saat akan datang.Lebih parah lagi, ketimpangan sumbangsih terhadaplaju emisi juga terjadi pada skala nasional yangmemperlihatkan kontribusi yang berbeda daerah satudengan daerah lainnya.

iklim harus dilakukan dengan sandaran lokal rasanyatidak dapat dielakkan. Bersandar pada hasil penelitianClean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) dan CitiesDevelopment Initiative for Asia (CDIA) hanya 3% dari900 kota di Asia yang memiliki rencana aksi mengatasiperubahan iklim. Yang lebih mengejutkan lagi, dari29 kota yang memiliki rencana aksi perubahan iklim,hanya lima yang berstatus sebagai ibu kota yaituBangkok, Delhi, Seoul, Singapura dan Tokyo. Sebagianbesar rencana aksi perubahan iklim ini terdapat di kota-kota di India, China dan Vietnam. Laporan ini secaranyata memberikan gambaran mengenai prioritas-prioritas aksi perubahan iklim dalam kebijakan,perencanaan dan investasi kota-kota Asia gunamembantu pengambilan keputusan terkait perubahaniklim pada masa datang.

Potret buram ketidakadilan emisi nasionalOleh: Deni Bram

Kebijakan perubahan iklim secara umum kerap kalimembagi masalah penanggulangan penurunan emisimenjadi 2 (dua) fokus utama yaitu tindakan berbasismitigasi serta tindakan berbasis adaptasi. Keduanyadipercaya akan menjadi sinergi yang semupurna saatmampu dilaksanakan secara sinergi dalam semangatsaling melengkapi.Meninjau Ulang Metode Pengukuran Emisi yangBerkeadilanProyeksi dari berbagai kajian ilmiah yangmenggambarkan bahwa akan terjadi peningkatan suhubumi secara masif sebanyak 0,2 derajat Celcius setiapdekadenya dalam 2 (dua) dekade ke depan membuatpara ahli dan juga pengambil kebijakan seantero duniamemikirkan mekanisme yang tepat. Memperhatikankecenderungan adanya peningkatan suhu seperti ini,United Nations Framework Convention on ClimateChange (UNFCCC) telah mengindikasikan bahwa

distabilkan pada tingkat konsentrasi yang mampumenghindari dampak bahaya dari tindakan manusiakepada perubahan iklim.Dalam regulasi internasional yang mengatur mengenaiperubahan iklim, banyak ketentuan yang secara pastisudah menentukan batas alokasi emisi dari masing– masing negara berdasarkan prosentase angkatertentu. Hal ini tentu dirasakan dapat mengganggurasa keadilan dari banyak negara yang memiliki angkapopulasi yang tinggi. Atas dasar inilah banyak ahli yangmerekomendasikan bahwa penentuan nilai emisihendaknya memasukkan pertimbangan populasi didalamnya. Beberapa penelitian mengenai perubahaniklim terdapat banyak metode yang kerap digunakanuntuk menggambarkan metode perhitungan nilaiemisi yang dihasilkan, baik secara keseluruhanataupun untuk setiap negara. Merujuk pada penelitianyang dilakukan oleh beberapa lembaga terungkapbahwa beberapa negara yang menjadi dalamsumbangsih emisi gas rumah kaca dari waktu ke waktuyaitu secara berurutan Republik Rakyat Cina, AmerikaSerikat, India, Uni Eropa dan Jepang. Bahkan jika emisiyang dihasilkan oleh Republik Rakyat Cina dan AmerikaSerikat digabungkan keduanya telah bersumbangsihlebih dari setengah emisi karbon dioksida yang ada didunia.

Kondisi ini secara simultan menggambarkan bahwadari negara – negara yang ada terdapat 2 (dua)kelompok yang berjalan dalam arah yang berbeda.Kelompok pertama adalah negara – negara yangberjalan dengan kecenderungan untuk menurunkantingkat emisi yang dihasilkan dan kelompok keduaadalah negara – negara yang berada pada ke-cenderungan peningkatan nilai emisi setiap tahunnya.Pada perhitungan proyeksi hingga 2030 punmenunjukkan bahwa keberadaan dari negara – negaraberkembang telah memberikan sumbangsih terhadappeningkatan konsentrasi emisi gas rumah kacasebanyak 55% dan negara maju bersumbangsih sebesar45%. Secara lebih mendetil dapat dikatakan bahwaterdapat dua negara besar dengan jumlah populasibesar yaitu India dan Cina merupakan penyebab utamadan bertanggung jawab terhadap sepertiga jumlahemisi yang akan dihasilkan di masa depan.Dalam uraian di atas menjadi rasional pada saatnegara – negara berkembang memiliki ketertarikanpada konsep hak emisi yang diusung. Hal ini tentutidak akan membatasi dari ruang gerak merekauntuk meningkatkan daya saing ekonomi denganmembangun sentra – sentra kegiatan industri yangcenderung menjadi penyumbang utama peningkatanemisi gas rumah kaca. Pada kondisi ini negara – negaraberkembang mencoba untuk mendengungkan konsepbahwa negara mereka mempunyai hak yang samauntuk melakukan pembangunan. Negara – negaraberkembang mempunyai dalih bahwa negara merekamempunyai alasan pembenar dalam tindakan merekayang memberikan kontribusi besar dalam peningkatankonsentrasi gas rumah kaca. Dalam kapasitasmereka sebagai negara yang sedang meningkatkankemampuan ekonomi, peningkatan industri berbasisenergi mutlak mereka lakukan sebagai langkahpengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhansesuai dengan angka populasi yang ada. Argumentasiini memang sukar untuk ditampik oleh negara – negaramaju, karena segala kegiatan yang dilakukan olehnegara – negara berkembang pada saat ini dilakukansemata – mata hanya mengikuti pola yang telahdilakukan sebelumnya oleh negara maju.

Ketidakadilan iklim di IndonesiaSaat para pemerhati sedang asyik berbincangketimpangan dalam dikotomi negara mau dannegara berkembang, ironisnya di tanah air terjadikonstruksi yang tidak jauh berbeda. Bersandar padadata perhitungan emisi gas rumah kaca dari sektorenergi yang dirilis oleh Kementerian LingkunganHidup pada tahun 2009 menunjukkan bahwa PulauJawa mendominasi konsumsi energi nasional. Datahasil survei industri yang dilakukan oleh BadanPusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa padatahun 2003 – 2005 terdapat sekitar 20 ribu industridi Indonesia yang menggunakan bahan bakar solar,minyak tanah, dan batubara. Penggunaan bahanbakar tersebut menyebabkan emisi CO2 di pulauJawa menempati urutan tertinggi, diikuti Sumatera,Sulawesi, Kalimantan, Maluku – Papua, dan Bali – NusaTenggara. Di pulau Jawa emisi CO2 dari industri yangmenggunakan ketiga bahan bakar tersebut terusmeningkat dari sekitar 13 juta ton pada tahun 2003menjadi 24 juta ton pada tahun 2005.Tidak hanya berdasarkan parameter konsumsi energi,data emisi dari sektor transportasi pun menunjukkantren yang serupa. Perkiraan emisi CO2 dari kendaraanbermotor pada tahun 2007 menunjukkan pula bahwaprovinsi DKI Jakarta merupakan penyumbang emisiterbesar, yaitu 16 juta ton. Provinsi lainnya yangperkiraan emisinya lebih dari 5 juta ton adalah provinsiJawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan provinsidengan perkiraan emisi CO2 terkecil adalah MalukuUtara yaitu sebesar 2 ribu ton.

rumah kaca dari sektor energi.Hal tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan IESRyang menempatkan variabel penggunaan barangelektronik sebagai penyumbang dominan terhadappeningkatan emisi yang dilakukan oleh masyarakat diJawa Barat dan DKI Jakarta.

Namun hal ini menjadi ironis apabila memperhatikandata dari Institute for Essential Services Reform (IESR)yang dalam penelitiannya soal carbon footprintterungkap bahwa daerah yang dominan untukmelakukan kalkulasi karbon justru dilakukan olehdaerah yang berkontribusi maksimal dalam emisinasional.Kondisi aksesibilitas terhadap perhitungan carbonfootprint tersebut dapat dimaknai sebagai bentukketerbatasan dari sebagian masyarakat Indonesiayang tinggal di pulau – pulau non Jawa terhadappenggunaan barang elektronik. Hal ini pun padaakhirnya akan berdampak pula pada minimnyakontribusi mereka terhadap sumbangsih emisi gas

Terlebih saat kehadiran instrumen REDD sebagaiupaya penurunan emisi gas rumah kaca justrumenitikberatkan pada tindakan aktif dan penyesuaianpola hidup oleh masyarakat di daerah (petani didataran tinggi, penduduk di sekitar hutan) di saatminimnya kontribusi mereka terhadap peningkatanemisi nasional.Kondisi seperti ini membuat konsep emisi per kapitasuatu negara yang awalnya telah dianggap memilikiperspektif keadilan iklim menjadi dipertanyakankembali. Melihat ketidaksempurnaan pasar yangada dalam pemanfaatan kuota emisi nasionalmelatarbelakangi pemikir untuk mengusung konsepemisi per orang. Maraknya free rider dalam konteksnasional paling tidak telah melukai rasa keadilaniklim pada tataran nasional sehingga perlu adanyarekonstruksi ulang terhadap pemahaman perhitunganemisi dengan mempertimbangkan isu keadilan didalamnya.

PenutupKondisi iklim sekarang ini yang telah mengkhawatirkanwajib menjadi perhatian utama baik pada tingkatinternasional maupun nasional. Karakteristikmasalah lingkungan yang tidak terikat batas wilayahdan waktu membuat isu keadilan iklim menjadiproritas para pemangku kepentingan dan perumuskebijakan. Tatapan kritis dari pemikir negaraberkembang terkadang berhenti sampai pada titikmereka dipertentangkan pada pemikir negara maju.Namun dalam kondisi internal negara berkembangtersebut sendiri ternyata menyembunyikan adanyaketimpangan perlakuan dan akses terhadapsumbangsih emisi yang ada. Masyarakat daerah harusberteriak lebih lantang agar tercipta kesetaraan namunbukan untuk akses bersumbangsih emisi namunberada dalam posisi yang sama dalam derap langkahmitigasi.

Deni Bram: Dosen di Universitas Pancasila, Jakartaemail: [email protected]

Daftar Pustaka

mitigate, or ignore?” Science. 303 : 1776-1777.Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)Report, 2007. Climate Change 2007: Impacts,Adaptation and Vulnerability.Philippe Sands, 2003. Principles of InternationalEnvironmental Law, 2nd ed., Cambridge: CambridgeUniversity Press : 286.Institute for Essential Services Reform (IESR), 2011.Potensi Penurunan Emisi Indonesia Melalui PerubahanGaya Hidup Individu, Jakarta.Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Emisi GasRumah Kaca dalam Angka. JakartaHenry Shue, 1992. The Unavoidability of Justice,in Andrew Hurrell & Benedict Kingsbury, TheInternational Politics of the Environment 373, 385

Epistema Climate Change Update adalah publikasi berkala dwi-bahasaIndonesia-Inggris terkait isu perubahan iklim.

Alamat redaksi:

website : www.epistema.or.id

Didukung oleh:

Tata letak: Andi SandhiFoto: Afandi

“As developing country, Indonesia prioritizingpromotion of growth and the eradication of poverty.However, Indonesia will not achieve this goal withimmolating the forests. We have to achieving thedevelopment and forestry management at the sametime... Forestry management closely related to thelivelihood of our community, related to food security,with the availability of timber and fuel.” SusiloBambang Yudhoyono, Jakarta, September 27th 2011Green grabbing?The increase of world oil price and concerns about oil

of searching for a new non-oil energy who was bornin the 1970s, in this early 21st the search of new and

searching for new and non-oil energy that giving littleimpacts to climate change.The case triggered a massive research anddevelopment of biofuel energy. The biofuel consideredideal as a replacement for fossil energy while reducingthe impact of climate change (Richter 2010). Biofuelentered into the energy policies of the intermingling

of developed countries such as the European Unionand the United States. Just that, materials used forthis biofuel comes from the food materials such ascorn or soybeans (bioethanol) in America and palm oil(biodiesel) in European countries. The used of thesefood materials for energy triggered the increase offood price around 2006 start from America and thenspreading to the whole countries (Siegel et al. 2008).This food crisis resuscitated many countries andcompanies to search for new land areas to maintainingtheir food demands or supplied more of food stock tosell.

demand and altogether with renewable energy, comes

more of companies or individuals diverts their assetsto the assets that considered more stable like goldor property such as land. Lands, especially in southcountries, changing ownership or management were

the impacts that were not good from the process ofthe land transferred: forced takeovers, deceptions,forcefulness to the local people. The actors are not

REDD+ in Indonesia and the importance of improving food securityof local communities: A Case from Central Kalimantan

By: Mumu Muhajir

Epistema Climate Change UpdateVolume 01/2012

Furthermore, this green grabbing phenomenon showsthe dynamics in the ideology and the environmentalmovement, the conservation movement to be exact.As part of the counter culture movement in the1960s, the environmental movement was critical onthe conditions of the community that was form bycapitalism.However, the latest dynamics shows this movementwas began to use capitalism aspects like free-market,

the environment”. Fletcher (2010) mentioned thisphenomenon as neoliberal environs mentality becauseof the conservation movement (the environment)using principles of neoliberal. Seen from the start ofthe concept of sustainable development, economicvaluation of environmental/environmental economic,carbon trading (one of them is REDD+), biodiversityswap, or the latest is green economy.In that concept, environment/ecology the rescuecost is distinguishes and count. Because of there

environment is cheaper to be saving than to saveanother part of the environment. To conclude thatcertain parts of the environment that will be saving,not only requires the presence of economic science,but also other sciences, especially natural science. Thecheapest cost that then become the reason to tradethe carbon credit from REDD (Stern 2006); or the

for instance, a electricity company from coal. As if bybuying cheap carbon credit from REDD will by itselfreduce the environmental damage due to be exploitedand burns coal. Market then take the control to decidewhich part of the ecology that has to appreciated or

There are at least four green commodities: palm oil,biofuel, biodiversity (i.e. biodiversity swap or eco-tourism) and carbon credit, which encourage thedevelopment of green market economy and globaldiscourse about use and manage the environment.

on how the land use and of course contribute ondisputation on land grabbing and changes in agrarian

Is REDD+ scheme a green grabbing?This paper will only be talking about carbon creditcommodities where REDD+ is being one of itsmanifestations in Indonesia. A message that REDD+presented as one on the green grabbing has beenexpressed and implied in the preceding part (clearercan be seen in Fairhead et al. (2012), McAfee (2012draft), Bumpus and Liverman (2011) or Sunderland(2012)). However, in this paper, writer has notexpressly mentioned that REDD+ as part of greengrabbing. Writer position in many things take the

In summary, we can say that up to 2011, the land

only companies, but also helps from the countriesthat provide various policies and incentives to theimplementation of the takeovers.The phenomenon of these land takeovers was massivein the last four years therefore compelling the expertsand activists to specifying the special term of it knownas land grabbing (Borras dan Franco, 2011). This landgrabbing according to Tirana Declaration 2011 asphenomenon of takeovers or land licensing relatedto the lands that follows one or several factors whichare: (i) violation of human rights, especially womanrights; (ii) not based on the knowledge and consentof the owner and the land user; (iii) not based on in-depth study or ignored the social impacts, economyand environment; (iv) not based on a contract thatis transparent in a clear manner and bind mentioned

democratic planning, independent supervision andtrue participation.In this land grabbing phenomenon there was some

of environmental protection, like palm oil, biofuel,biodiversity and carbon credits. This is what makes

Fairhead et al. (2012) mentioned this green grabbing

realization of the environmental (protection). Greengrabbing not only referring to the displacement landholdings, but also upon the occurrence of a changeof rules and the authority power over access andmanagement of the natural resources, over laborrelations (for example, from independent farmersinto workers) and over relations between human andnature.However, many in common with the land grabbing,green grabbing phenomenon have its owndistinctness. Most visible presence is to environmentalagencies, having both multilateral and environmentnon-governmental organizations (international) thatbecomes the main drivers. This actor's presenceallows the presence of such portraits are probably inthe past times is considered awkward: environmentnon-governmental organizations working togetherwith companies that are seen as environmentallydestructive like mining company in an attempt to savea certain part of the environment.

in Indonesia represents only the start of a longnegotiation process. They do not yet correspond withreal ‘green appropriations.’ In parallel with the othercases, REDD+ land claims remain ‘virtual’, until itbecomes clear who decides on land allocations, exactlywhich activities will obtain REDD+ funding, and how

writer).Therefore, seen by the writer is DA REDD+ that isongoing in central Kalimantan. The next speech isREDD+ part of green grabbing phenomenon indicativein nature by doing a comparison between the current

related to it and history in the past can representsimilar occurrences. To make it more visible and isintended to be more critical and more careful inREDD+ execution in the future, superimposed on the

Food policy and climate change/REDDSince RPJM 2010-2014, Indonesia sees climate changeas one of the threat to achieve the people welfare,because economy development has to adjust to theclimate change agenda. Climate change placed aspriority in the food security and they realize there aresectorial problems, climate change placed as one ofcross-policy areas.Even so, climate and food change indeed was mentionin the cross-policy areas in a more general policyplanning (RPJP-RPJM) but later in the more detailedplanning which there is existing budget, sectionalizedhappened again. In the RKP 2012, priorities for handling

sector. Authorities by KLH with seven others stateinstitution, including Ministry of Forestry (KementerianKehutanan, or Kemenhut). Unfortunately, thereis no Ministry of Agriculture in this policy priority.On the other hand, there is also a plan of action on

where Ministry of Agriculture as one of the member,but unfortunately Department of Forestry was notinvolved.May be suspect as well then, a matter of food only fewdiscussed in the Kemenhut. In the Renja Kemenhut2013, for instance, food aspect only placed in the socialforestry and a program of planting a billion trees. It isjust, it appears that planted are perennial woody plant,not a food crop, such fruits.The strong reason why this Kemenhut policy is

ministry’s policy the REDD+ will be implemented.Every aspect of REDD+ policy will be refers to most ofthe existing policy in this Ministry. The way in lookingat the presence of food crops in the area of forest isinteresting to review.

For Kemenhut, forest area must be no ownership,even no people. Views that can be concluding from the

on the UU 41/1999 as well MK Decision No. 45/PUU-IX-2011 and MK Decision No. 34/PUU-IX/2011 that clearlyissued the rights of land from forest area.First consequence, anything that signed ownership(individual or communal), forbidden in the forest area,include certain trees for among the Dayak indigenouspeoples considered the ownership (tembawang, fruitsplants, jelutung, and the newest rubber). This is one of

in addition to its announcement factor in forest area inthe past that's only on paper, not transparent and fullyinvolving the community. In a bigger picture, this is aproved of the green grabbing, with the governmentand property owners becomes the parties who moreactively involved.Food vulnerability for the community because of the

of the land. Therefore, the livelihood of communitybecomes disturbed, because there is anotherlivelihood that suddenly becomes close or limited tothem. Understandable that the within agreementbetween the proponent and the villages included in

there is a clause that mentions are not allowed tochange the status of land without any consultationand approval of the community. Which shows that thetenure status of the land around the REDD+ projecthas not been clear?Second consequences, the lack of programs tosupport food security without having to releaseforest into non-forest area. Social forestry programsalways assume as a clue to Kemenhut concern for thepoverty of community around forest area, by givingthe public access to the forest area. However, theimplementation is very slow and little compare to thesimilar permission to the private sectors. Social

forestry targeting 5,5 million ha area until the year of

unfortunately the biggest barrier is in the Kemenhutpolicy which not giving freedom to the community orat least discuss what trees can be planted.In the other side, also there is development ofCommunity Plant Forest program for rubber, whichin the Kemenhut internal still controversial recalling,of one, rubber plant consider as individual ownershipmarker.

the plot by Kemenhut. DA REDD project in Kaltengdone in the seven villages is a former million hectarespeat district, which means not all those land areforest area. However, REDD project that already

reforestation of sengon (batai) trees which dependingon farmer groups. DA REDD initiator will pay the wagefarmer groups that sowing the seeds and planting it.The problem is the seeds that will buy are less, not tomention if the seeds are dead, then the wage for thecommunity that will paid will be less. Furthermore,the payments are in three terms and already going onsince August 2011.The diversion of livelihoodThere is a strong discourse among conservationistsabout the existence of people and forests. As far aspossible the forest should not be interfere by human, ifcannot move the people from the forest, then limitingthe access, change their lifestyle and give them thelivelihood that will increasingly removed them out ofthe forest. Writer sees that the problem is not at thematter if it is necessary need to be doing but how itwill be do. If the mechanism of the decision makingis transparent, there equality and approval from thecommunity around the forest and the implementationdone with good planning and wise, so the communitymoved or giving a better livelihood than they use to donow. The problem is in here it also disappear.

restrains Giga tons of carbon, which inside it is oneof the programs. The thing that the initiator do not

canals without consultation made limited access to

important lesson because the closing of the area can

not close or located for REDD+. Who is responsible tothe impacts outside the REDD+ areas that happenedbecause of the activities in the REDD+ areas?Initiators promised there would be livelihood project

carried out opens the space for community to give

their opinions. This project not yet accomplishedbecause it looks like the opinions of the communitywas not being listening (related to price bidding andthe rubber seed that selected was not the local seedthat the community proposed). The community seesthat these livelihoods project it with a similar projectfrom the government with an option to change it to

similar program before but failed. Meanwhile, localrubber seed they can just take from each garden andhas proven match with their village land conditionand climate. The initiators reasons is because ofthis it has been set by initiators management byclosing the reality that community suggestions hasbeen mentioned in the meetings with the DA REDDinitiators.

Therefrom, with these projects, initiators actuallyplacing the surrounding community redd + as labor,with a system of outsourcing. In certain thing, theyare connecting community around the forest with themarket economy because, they think, it is the onlyfastest way to achieve community welfare.In the community level itself, market penetrationor the relation with market economy has been longhappen with the community willingness to plant treesor selling forest products that become commodity inthe market, such as jelutung or woods in the past andrubber in the present. The exchange of goods through

social system where mutual activity was to be replace

no romance in here. This is community social dynamics

some villages, there is no rice planting anymore.

Some of because the land condition are not matchingwith the climate and landscape change. But some ofmore driven by by economy counting, rice planting

compared with the results obtained from the rubberplanting. In the end, they bought the rice from anotherregion with money they get from rubber extracting.

to market economy process as it is now comparingto the past is because of the restrictions and changesin forest and land governance, and the lifestyle thecommunity have to follows based on the system of

with their usual implementation in the land use. This

around them.

This limitation actually not just happening now,but already happened in the past (HPH period and

commodities, they cannot access anymore becausethe government has been divert the right to cultivatethe forest to private sector. They still can hunt ortaking other forest products and certain woods thatare not valuable to the license owners. REDD+ projectmaybe will give more restrict boundaries because ofits tending toward conservation. Limitation and land/forest governance changes made them losing theirknowledge on how to survive living in the surrounding

Therefore, when the price of rubber fell, they get more

not merely because there is no access, but because theknowledge to harness the forest also been lost.

ConclusionThus, the vulnerability of food for the communitylocated on two fundamental issues rarely discussedwith bells and whistles: the obscurity of landownership and how to treat people in a forest areathat is associated with the access and recognition inlocal knowledge about the culture of the land. REDD+project have not yet provide certainty over rightsto manage the community. If its still follow the old

forest governance. It is not giving more values onchange of better forest management. Vulnerabilityoccurs because of the restricted access that narrowdown the choices in accessing community foodresources, especially located in the forest. Livelihood

economy and monoculture (only rubber for livingcost?). Learning from the economy crisis in the year of2008 that reduce the trust on market economy system,the big question becomes, with what the project DAREDD+ tended to do, which engaging communitiessorrounding forest to market economic systemwithout protection. The analogy with a governmentpolicy that its economy base on the richness of itsnatural resources with priority export markets, withneglecting domestic needs because it is conceivablethere are other countries that will meet the needs/desires of its citizens. Both exposes local community touncertainty and vulnerability.REDD+ scheme will still long implementation on the

on market economy, that need to be correctedimmediately, REDD+ scheme must be made astransparent as possible, as participation as possibleby placing conditions about justice distribution in theactivities.

Appreciation: Writer say thank you to Afandi and Aryo,

Mumu Muhajir: Work at Epistema Institute, Jakartaemail: [email protected]

BibliographyBorras Jr., Saturnino M., Jennifer C. Franco, 2011.Political Dynamics of Land-grabbing in SoutheastAsia: Understanding Europe’s Role. Amsterdam:Transnational Institute.

and sustainable development”, in Richard Peet, PaulRobbins, and Michael Watts (edt), Global politicalecology, Routledge.Fairhead, James., Melissa Leach, Ian Scoones, 2012.Green Grabbing: a new appropriation of nature?Journal of Peasant Studies, 39:2, 237-261.

Fletcher, Robert., 2010. Neoliberal environmentality:Toward a poststructuralist Political ecology of theconservation debate. Journal of Conservation andsociety 8 (3): 171-181, 2010.

2012. Trajectories of land acquisition and enclosure:development schemes, virtual land grabs, and greenacquisitions in Indonesia's Outer Islands, Journal ofPeasant Studies, 39:2, 521-549.Richter, Burton., 2010. Beyond Smoke and Mirrors:Climate Change and Energy in the 21st Century. NewYork: Cambridge University Press.

Investing in renewable energy : making money ongreen chip stocks. New Jersey: John Wiley and Sons,Inc.Stern N., 2006. Stern Review: The Economics ofClimate Change. London: HM Treasury.

Great Green Land Grab.” CIFOR-FOLEX: <http://www.cifor.org/id/online-library/polex-cifors-blog-for-and-by-forest-policy-experts/indonesian/detil/article/1222/going-once-going-twice-the-great-green-land-grab..html>. Latest access on 5 November 2012

Emission Reduction: Think Globally Act LocallyOne of the living environment issues that contribute

the people these days is about the climate changephenomena. Climate change is one of the forms of

most every life aspects that threaten the existence ofhuman life in local, national and global level.

has happened was the increased in the surfaceof sea water as one meter high that caused a bigtrouble to the people who lived in coastal areas. Theshore abrasion and the coastline retreat to somemiles causing many people lost their residence andresources. Some research results show that theincrease of the sea surface as 60 cm high, directly

The length of coastline in Indonesia more than 80.000km has a high concentration of population and societysocial economy activities, including coastal townsand ports. Also natural ecosystems as mangrovescaused many disruption like middy and inundation thatcontinuously increasing.

resulting from climate change as stated in theparagraph above, illustrates that the impact of climatechange has been happening for real this time andpromoted to the future. However, there is paradoxical

occurrence of climate injustice. There are at least threeparadoxes to be reveal in this paper.

accept a big impact is future generations, children,grandchildren and great-grandchildren, with absolutelyno contribution to the occurrence of this climatechange.Second paradox, seen from the fact that countrieswith small contributions on the climate change,expected will get most badly impacts. The existence ofthe island countries more threatened by the rising ofsea levels, while the other poor countries have troubledoing adaptation and mitigating the impacts of climatechange that have a major impact on the welfare of itsinhabitants. On the contrary, countries that have largecontributions (i.e. developed countries) on climatechange, with the advancement of technology and

paradox, but the comparison is not between countries,but within its own country. Those who can accesseconomic development expect to adapt better than

change. This writing going to talk about the wholethree paradoxes mentioned above with its emphasison third paradox. The Necessary of Local Support in Seeing the ClimateChangeIn general, the presence of environmental law ininternational law and national law on the past arenow being questioned whether it still suitable or notfor current environmental issue and for the future.The contribution of the environmental law generallyand which related to climate change has not been

the worst of it, imbalance contributions to emission

contribution to one region to another.Paradigm changes of thinking that climate changeissues had to do with the local support it feelsinevitable. Based on the research results of theClean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) andCities Development Initiative for Asia (CDIA); only 3%from 900 cities in Asia that having a plan of action toovercome climate change. More surprising, yet from29 cities that have a plan of action on climate change,

New Delhi, Seoul, Singapore and Tokyo. Mostly climatechanges action plans are in the towns of India, Chinaand Vietnam. This report provides an overview ofthe real priorities of action in climate change policy,planning and investment in Asian cities to help decisionmaking related to climate change in the future.Climate change policy in general often divided theemissions reduction countermeasure probleminto 2 (two) main focused, the mitigation-based action and adaptation-based action. Bothbelieved to be the perfect synergy of the momentcapable of implemented in synergy in the spirit ofcomplementarity.

Bleary potrait of disparity in national emissionsBy: Deni Bram

Reviewing Again the Fair Measurement EmissionMethod

describes will be a massive increasing earthtemperatures as 0,2 celsius degrees every decades,this facts made the experts and policy makers allover the world tried to think for the right preventionmechanism. Noting the tendency of this increasingtemperatures, United Nations Framework Conventionon Climate Change (UNFCCC) have indicated thatthe greenhouse gases in the atmosphere have tobe stabilize in concentration level that capable onavoiding the human actions towards climate change.In international regulations is which regulates aboutclimate change, many provisions that certainly alreadydetermine the limit for emission allocation fromevery country based on a certain percentage number.This matter of course interfere the feeling of justicefrom many country with high population numbers.Based on the matter, many experts recommendedthat determination of emission values consideringpopulation in it. Some researches about climatechange have many methods are which usually usedto describes the calculation method for resultingemissions value, either in overall or for every country.Referring to various researches that done by someinstitutions showed that some countries that becomes

emissions from time to time like The People's Republicof China, United States of America, India, Europeanunion and Japan. Even if the emissions that producedby The People's Republic of China and United Statesof America combined, both has contributed more thanhalf of carbon dioxide emission in the world.This condition simultaneously, from the countries iswhich in the lists there are two groups who walks in to

that walks with tendency to decreasing the emissionslevel resulted, and the second group are the countriesthat tendency to increasing their emissions value everyyear. In calculation projection until the year of 2030

also shows that the presence of developing countrieshas contribute to increasing greenhouse gassesemissions concentration at 55% and develop countriesat 45%. In details, can said that there are two bigcountries with massive population number namelyIndia and China, which are the main sources andresponsible to one-third of total emissions that willproduced in the future.In the above description, it is rational when developingcountries have an interest in the concept of emissionrights supported. It certainly will not restrict of their

by building central industrial activities that tends tocontribute to the main increase in greenhouse gasemissions. In this condition, the developing countriestry to humming the concept that they have equalrights to development. The developing countries have

their actions, which contribute to the increase in theconcentration of greenhouse gases. In their capacitiesas the countries that are accelerating the abilityof the economy, absolute energy-based industrialimprovement, they do as a poverty reduction and the

a population that there is. These arguments is indeedhard to turned down by the developed countries,because of all the activity that is performed by thedeveloping countries at the time it was done onlyfollow as a pattern that has been done before bydeveloped countries.Climate of Injustice in IndonesiaWhile scholar engrossed talking the disparity in thiswhole dichotomy countries want and developingcountries, ironically in the motherland occurring

on calculation greenhouse gasses emission datafrom energy sector that was release by Ministry ofEnvironmental in the year 2009 shows that Java Islandwhich dominated national energy consumptions.Industrial survey data result that done by Badan PusatStatistik (BPS) shows that in the year 2003-2005 there

are around 20.000 industries in Indonesia that usingdiesel fuel, kerosene and coal. The use of those fuelscausing CO2 Emission in Java Island lies in highestranked, follows by Sulawesi, Kalimantan (Borneo)Maluku–Papua and Bali–Nusa Tenggara. In Java Island,CO2 emission from the industries that using all thosethree fuels keep increasing from around 13 million tonsin the year 2003 to 24 million tons ton in the year 2005.Not only based on the energy consumptions, lays on tothe emission data from the transportation sectors alsoshows the same trends. CO2 emission forecast fromthe motor vehicles, in the year 2007 shows that DKIJakarta Province (capital city) contributed the highestemission that was 16 million tons. Other provincesthat have emission forecast more than 5 million tonsare Center of Java and East Java. While province withthe lowest CO2 emission forecast is North Maluku, as20.000 tons.However, this becomes irony if we look at theresearches from Institute for Essential Services Reform(IESR) as one of the institution that was introducingcarbon calculation concepts. From the research resultthat using carbon calculation to count the carbonfootprints, revealed that the region that dominatedto access the site to doing carbon calculation is doneby the region that have maximum contribution on thenational emission.

Accessibility condition to carbon footprint calculationthat would be understand as the limitations of mostIndonesians who lived on the Islands outside of JavaIsland against use of electronic goods. This one willeventually have an impact also on the lack of form oftheir contribution to greenhouse gas emissions fromthe energy sector.It strengthened by a result of calculation by IESR whoputs variable to the use of electronic goods as thedominant contributor to increased emissions carriedout by communities in West Java and DKI Jakarta.

Furthermore, when the presence of an instrument

is focused on the act of active an lifestyles adjustmentsby society in the area (farmers in highland, inhabitantsof around the forest), while their minimumcontribution to increasing national emissions.The condition made the emission per capita concept in

climate justice being questionable. The quota emissionsystem in fact many free rider used it, whom theyhave many facilities and ability to accessing prosperitysources. Seeing at the imperfection that the nationalemission quota had, encouraging the researcher tocarry a personal emission concept. The growing ofthe free rider in national context at least have hurtsthe justice feeling in national level, so because of thatwe need a reconstruction to the emission calculationcomprehension with considering on justice in it.

ClosureThe climate condition these days are worrying,have to be a main attention locally (nationally) andinternationally. The characteristic in environmentproblems that unattached with region boundary andtime making the climate justice issue become priorityfor the authorities and policy makers.Critical gaze of developing countries thinkerssometimes stop to the point they debated on thedeveloped countries thinker. In the developingcountries internal condition itself, turns out to hidethe existence of inequality treatment and access toexisting emission contributions. Local communitiesshould shout louder to create equality not to accessemissions contribute substantially, but in the sameposition in marching on the mitigation.

Deni Bram: Lecture at Universitas Pancasila, Jakartaemail: [email protected]

Bibliography

Mitigate, or Ignore?” Science. 303: 1776-1777.Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)Report, 2007. Climate Change 2007: Impacts,Adaptation and Vulnerability.Philippe Sands, 2003. Principles of InternationalEnvironmental Law. 2nd ed., Cambridge: CambridgeUniversity Press.Institute for Essential Services Reform (IESR), 2011.Potensi Penurunan Emisi Indonesia Melalui PerubahanGaya Hidup Individu, Jakarta.Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Emisi GasRumah Kaca dalam Angka. Jakarta

in Andrew Hurrell and Benedict Kingsbury, TheInternational Politics of the Environment 373, 385.

website : www.epistema.or.idLayout by: Andi Sandhi

Photos Credit: Afandi

Supported by: