Reaksi Hipersensitivitas.doc

23
Reaksi Hipersensitivitas Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

description

nice

Transcript of Reaksi Hipersensitivitas.doc

Page 1: Reaksi Hipersensitivitas.doc

Reaksi Hipersensitivitas

Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular

tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan

mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi

hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe

I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe

III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated

(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe

V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk

mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya

seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan

mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

Page 2: Reaksi Hipersensitivitas.doc

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun

yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu

sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui

bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat

(reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan

lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi

anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular

yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan

dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan

sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein.

Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan

gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala

rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Page 3: Reaksi Hipersensitivitas.doc

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.

Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat

anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai

komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui

faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of

anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang

sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =

neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit

asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase

lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya

terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam

beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan

basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik

reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

o Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi

hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel

mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti

bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase

cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang

menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel

mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel

radang.

o Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat

dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing

factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator

dari sel mast dan sel lain.

Page 4: Reaksi Hipersensitivitas.doc

o Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein

(MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas

faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di

dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat

peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang

selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama

eosinofil.

Mediators:

Histamin

Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)

Bradykinin.

Serotonin (5-hydroxytryptamine)

Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).

Platelet activating factor (PAF).

Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari arachidonic acid.

Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah bronchodilators dan vasodilators kuat.

PGI2 atau prostacyclin adalah suatu disaggregates platelets.

Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial tendency.

Manifestasi Klinis

Anaphylaxis

Atopy  immediate hypersensitivity response

Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens atau ”allergoids”.

Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn, Theophylline

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas

bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang

Page 5: Reaksi Hipersensitivitas.doc

terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu

mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator

yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga

dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator

primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator

sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of

anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase.

Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah

kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL

akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang

timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor

saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,

hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan

kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi

gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang

usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat

mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat

(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan

alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu

timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan

ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam

Page 6: Reaksi Hipersensitivitas.doc

keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga

histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2

diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang

yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia

dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil

segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat

dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi

tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga

dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia

setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam

sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya

urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan

cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan

pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di

tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor

aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur

Page 7: Reaksi Hipersensitivitas.doc

siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang

berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau

lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2

(TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk

PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi

trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama

reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator

karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot

polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin

serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya

reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum

diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk

slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk

eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A.

Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir

semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama

dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua

Page 8: Reaksi Hipersensitivitas.doc

jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari

histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari

histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi

mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat,

yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat

menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF

juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin

ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada

manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui

aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin

yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan

aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai

respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar

antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu

binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan

sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas.

Page 9: Reaksi Hipersensitivitas.doc

Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap

antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi

hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan

menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel

plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan

memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan

menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar

genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2.

Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak

memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC)

yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian

memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata

sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga

mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan 

dapat  langsung  dari  sel  mast  atau  dari  sel  lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast.

Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit

B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B.

Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor).

Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ,

TGFβ, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi

atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia

(lihat Gambar 12-6).  Sitokin  lain  yang  mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF

(monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T

expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin

Page 10: Reaksi Hipersensitivitas.doc

yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan

histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi

eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan

komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada

alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF

berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil,

basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan

yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5,

GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan

eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi

hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP

(formil metionil leukosil fenilalanin).

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target

antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)

atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi

hipersensitivitas tipe III)

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)

merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi

terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang

sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya

spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah

Page 11: Reaksi Hipersensitivitas.doc

pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus

ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan

suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan

autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan

terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang

diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan

plasmapheresis untuk mengurangi  kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam

darah.

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi

klinopatologi

Anemia

hemolitik

autoimun

Protein membran

eritrosit (antigen

golongan darah Rh)

Opsonisasi dan

fagositosis

eritrosit

Hemolisis,

anemia

Purpura

trombositopenia

autoimun

(idiopatik)

Protein membran

platelet

(gpIIb:integrin IIIa)

Opsonisasi dan

fagositosis

platelet

Perdarahan

Pemfigus

vulgaris

Protein pada

hubungan

interseluler pada

sel epidermal

(epidemal

Aktivasi protease

diperantarai

antibodi,

gangguan adhesi

interseluler

Vesikel kulit

(bula)

Page 12: Reaksi Hipersensitivitas.doc

cadherin)

Sindrom

Goodpasture

Protein non-

kolagen pada

membran dasar

glomerulus ginjal

dan alveolus paru

Inflamasi yang

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc

Nefritis,

perdarahan paru

Demam reumatik

akut

Antigen dinding sel

streptokokus,

antibodi bereaksi

silang dengan

antigen

miokardium

Inflamasi,

aktivasi

makrofag

Artritis,

miokarditis

Miastenia gravis Reseptor asetilkolinAntibodi

menghambat

ikatan asetilkolin,

modulasi reseptor

Kelemahan otot,

paralisis

Penyakit Graves Reseptor hormon

TSH

Stimulasi

reseptor TSH

diperantarai

antibodi

Hipertiroidisme

Anemia

pernisiosa

Faktor intrinsik

dari sel parietal

gaster

Netralisasi faktor

intrinsik,

penurunan

absorpsi vitamin

B12

Eritropoesis

abnormal,

anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun

Page 13: Reaksi Hipersensitivitas.doc

Penyakit Spesifitas

antibodi

Mekanisme Manifestasi

klinopatologi

Lupus

eritematosus

sistemik

DNA,

nukleoprotein

Inflamasi

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc

Nefritis,

vaskulitis,

artritis

Poliarteritis nodosaAntigen

permukaan virus

hepatitis B

Inflamasi

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc

Vaskulitis

Glomreulonefirtis

post-streptokokus

Antigen dinding

sel streptokokus

Inflamasi

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc

Nefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan

penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).

Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi

fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi,  aktivasi komplemen

menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat

terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor

sel organ tersebut.

Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks 

imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan

jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh

pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

Page 14: Reaksi Hipersensitivitas.doc

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan

diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih

ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun.

Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang

distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell

mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat 

sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi

mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M.

tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi.

Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat

infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi

sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi

menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat

disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+

atau sel lisis oleh CD8+ CTLs

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T

untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap

antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan

mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari

makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+  dapat menghancurkan sel yang

berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh

sel T,  terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan

keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Page 15: Reaksi Hipersensitivitas.doc

Sindrom klinik dan pengobatan

Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang

diperantarai oleh sel T .

Penyakit yang diperantarai sel T

Penyakit Spesifitas sel T

patogenik

Penyakit pada

manusia

Contoh pada

hewan

Diabetes melitus

tergantung insulin

(tipe I)

Antigen sel islet

(insulin,

dekarboksilase

asam glutamat)

Spesifisitas sel T

belum ditegakkan

Tikus NOD,

tikus BB, tikus

transgenik

Artritis reumatoid Antigen yang tidak

diketahui di

sinovium sendi

Spesifisitas sel T

dan peran antibodi

belum ditegakkan

Artritis

diinduksi

kolagen

Ensefalomielitis

alergi

eksperimental

Protein mielin

dasar, protein

proteolipid

Postulat : sklerosis

multipel

Induksi oleh

imunisasi

dengan antigen

mielin SSP;

tikus transgenik

Penyakit inflamasi

usus

Tidak diketahui,

peran mikroba

intestinal

Spesifisitas sel T

belum ditegakkan

Induksi oleh

rusaknya gen

IL-2 atau IL-10

atau kurangnya

regulator sel T