Rational Choice Theory

9
RATIONAL-CHOICE THEORY Joash Tapiheru A. Rational-Choice: Sebuah Perspektif dan Perangkat Analisis dalam Ilmu Politik Hugh Ward, melalui tulisannya yang berjudul Rational Choice mengatakan, “Rational-choice adalah bagian tak terpisahkan dari perangkat analisa para ilmuwan politik, karena banyak fenomena penting yang bisa dijelaskan, paling tidak secara parsial, dari perspektif ini.” 1 Pernyataan positif dan simpatik terhadap rational-choice theory ini tidak berarti bahwa rational-choice theory memiliki posisi yang mapan dalam jagad diskursus ilmu politik. Meskipun diaplikasikan secara luas dalam berbagai area ilmu politik, banjir kritik dan prasangka dijatuhkan pada perspektif yang satu ini. Kritik yang dilontarkan pada teori ini sangat beragam, mulai dari kritik yang menyatakan bahwa rational-choice theory memiliki kecenderungan ideologi kanan sampai pada ‘mereduksi manusia sekedar menjadi satu mahluk yang semata-mata digerakkan oleh nalar.’ Terlepas dari berbagai kritik tersebut, adalah naïf mengabaikan sebuah pendekatan, sebagai perangkat analisa, yang memiliki kapasitas analisis dan eksplanasi sekuat rational-choice theory. 2 Pada kenyataannya, teori rational-choice tidak terkait dengan posisi ideologis tertentu. Jika dilihat secara metodologis, memang rational choice berdiri pada posisi metodologi individualism. Artinya, rational-choice memandang bahwa pemahaman terhadap fenomena sosial dibangun dari pemahaman terhadap preferensi, keyakinan, dan strategi individu. Tetapi, teori ini tidak serta merta hanya digunakan oleh para penganut paham individualism liberal. Penekanan pada agen juga tidak serta merta pendekatan rational-choice mengabaikan variabel sosial atau kolektif yang membatasi pilihan-pilihan individu. Secara implicit maupun eksplisit banyak para pengusut teori ini yang mengakui bahwa sesungguhnya individu-individu ini bertindak secara rasional ketika mereka dirangsang oleh stimulus tertentu, dan pilihan-pilihan mereka juga terbatas. Stimulus dan pilihan ini 1 Ward, Hugh, “Rational Choice” dalam Marsh, David dan Gerry Stokker ed., “Theory and Methods in Political Science,” Palgrave McMillan, 2002. 2 Dunleavy, Patrick, “Democracy, Bureaucracy and Public Choice: Economic Explanations in Political Science,” Harvester Wheatsheaf, UK, 1991, hal. 5. [1]

description

cf

Transcript of Rational Choice Theory

  • RATIONAL-CHOICE THEORY

    Joash Tapiheru

    A. Rational-Choice: Sebuah Perspektif dan Perangkat Analisis dalam Ilmu Politik

    Hugh Ward, melalui tulisannya yang berjudul Rational Choice mengatakan,

    Rational-choice adalah bagian tak terpisahkan dari perangkat analisa para ilmuwan

    politik, karena banyak fenomena penting yang bisa dijelaskan, paling tidak secara

    parsial, dari perspektif ini.1 Pernyataan positif dan simpatik terhadap rational-choice

    theory ini tidak berarti bahwa rational-choice theory memiliki posisi yang mapan dalam

    jagad diskursus ilmu politik. Meskipun diaplikasikan secara luas dalam berbagai area

    ilmu politik, banjir kritik dan prasangka dijatuhkan pada perspektif yang satu ini. Kritik

    yang dilontarkan pada teori ini sangat beragam, mulai dari kritik yang menyatakan

    bahwa rational-choice theory memiliki kecenderungan ideologi kanan sampai pada

    mereduksi manusia sekedar menjadi satu mahluk yang semata-mata digerakkan oleh

    nalar. Terlepas dari berbagai kritik tersebut, adalah naf mengabaikan sebuah

    pendekatan, sebagai perangkat analisa, yang memiliki kapasitas analisis dan

    eksplanasi sekuat rational-choice theory.2

    Pada kenyataannya, teori rational-choice tidak terkait dengan posisi ideologis

    tertentu. Jika dilihat secara metodologis, memang rational choice berdiri pada posisi

    metodologi individualism. Artinya, rational-choice memandang bahwa pemahaman

    terhadap fenomena sosial dibangun dari pemahaman terhadap preferensi, keyakinan,

    dan strategi individu. Tetapi, teori ini tidak serta merta hanya digunakan oleh para

    penganut paham individualism liberal.

    Penekanan pada agen juga tidak serta merta pendekatan rational-choice

    mengabaikan variabel sosial atau kolektif yang membatasi pilihan-pilihan individu.

    Secara implicit maupun eksplisit banyak para pengusut teori ini yang mengakui bahwa

    sesungguhnya individu-individu ini bertindak secara rasional ketika mereka dirangsang

    oleh stimulus tertentu, dan pilihan-pilihan mereka juga terbatas. Stimulus dan pilihan ini

    1 Ward, Hugh, Rational Choice dalam Marsh, David dan Gerry Stokker ed., Theory and Methods in Political Science, Palgrave McMillan, 2002. 2 Dunleavy, Patrick, Democracy, Bureaucracy and Public Choice: Economic Explanations in Political Science, Harvester Wheatsheaf, UK, 1991, hal. 5.

    [1]

  • bervariasi untuk tiap individu, bergantung pada sistem di mana individu-individu itu

    berada.

    Perkembangan teori rational-choice merupakan bagian dari revolusi behavioral

    yang terjadi dalam Ilmu Politik yang berkembang di Amerika Serikat. Revolusi

    behavioral biasanya dijelaskan sebagai penanda bagi upaya kolektif para ilmuwan

    politik Amerika Serikat yang berusaha menganalisa bagaimana individu berperilaku

    dalam konteks politik, melalui metode-metode empirik. Hanya saja, para behavioralis

    cenderung menggunakan metode-metode sosiologi, sementara para pengusung

    rational-choice lebih mengandalkan metode-metode yang dipinjam dari ilmu

    ekonomi, seperti telah kita lihat di atas.

    Melalui analisa yang didasarkan premis-premis yang memandang optimis

    kapasitas nalar manusia untuk membangun dan menentukan pilihan serta

    kecendurngan manusia untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko,

    maka diharapkan perilaku manusia dalam konteks politik bisa dipahami, dijelaskan,

    diprediksi, dan karenanya, direkayasa secara lebih empirik. Misalnya, dengan

    menggunakan metode-metode ekonomi, maka akan bisa dijelaskan mengapa

    seseorang, atau sekelompok orang lebih memilih partai A dibanding partai B.

    Seseorang atau sekelompok orang tersebut memiliki kepentingan, dan mereka

    dihadapkan pada pilihan partai A atau partai B. Setelah dibandingkan dan

    dipertimbangkan, orang atau sekelompok orang tersebut berkesimpulan bahwa

    kepentingan mereka akan lebih terakomodasi jika partai A berkuasa, daripada jika

    partai B yang berkuasa. Dari situ akhirnya orang atau sekelompok orang tersebut

    memutuskan untuk memberikan dukungan mereka pada partai A. Ini sama ketika

    seseorang atau sekelompok orang dengan kebutuhan tertentu dihadapkan pada

    tawaran produk A atau produk B. Orang atau kelompok orang tersebut akan

    mencoba membandingkan, produk mana yang paling baik melayani kebutuhan

    mereka, dan pilihan akan dijatuhkan pada produk tersebut. Salah satu ilmuwan politik

    yang menjadi pionir dalam pengaplikasian metodologi rational-choice dalam ilmu

    [2]

  • politik adalah Anthony Downs, yang menggunakannya untuk melihat perilaku pemilih

    dan kompetisi partai-partai politik.3

    Model penjelasan seperti ini, oleh sebagian ilmuwan politik dianggap mampu

    memberikan analisa dan pemahaman yang lebih obyektif, daripada sekedar

    penjelasan yang bersifat formal-normatif yang menjadi ciri paradigma dominan dalam

    ilmu politik tradisional. Pendekatan rational-choice juga dianggap lebih mampu

    memberikan rekomendasi yang bersifat lebih generik dan praktis, daripada

    pendekatan tradisional yang biasanya hanya mampu memberikan rekomendasi yang

    bersifat abstrak dan makro.

    B. Asumsi-asumsi Dasar teori Rational-Choice

    Esensi dari rational-choice adalah ketika dihadapkan pada beberapa alur

    tindakan, manusia biasanya akan memilih alur yang mereka yakini akan

    mendatangkan manfaat yang paling besar bagi manusia tersebut.4 Kesimpulan itu

    dijabarkan secara lebih detil dalam premis-premis dasar rational-choice theory, sbb.:

    Manusia memiliki seperangkat preferensi-preferensi yang bisa mereka pahami, mereka tata menurut sekala prioritas, dan dibandingkan antara satu dengan

    yang lain.

    Tatanan preferensi ini bersifat transitif, atau konsisten dalam logika. Misalnya, jika seseorang lebih memilih sosialisme dibanding liberalisme, dan liberalism

    dibanding fasisme, maka orang tersebut pasti lebih memilih sosialisme dibanding

    fasisme.

    Tatanan preferensi itu didasarkan pada prinsip memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko.

    Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang egois.5 Premis-premis ini menjadi basis bagi pengebangan preposisi-preposisi teoritik rational-

    choice.

    3 Downs, Anthony, An Economic Theory of Democracy, Harper and Row, NY, 1957. 4 Elster J., Nuts and Bolts for the Social Sciences, Cambridge University Press, Cambridge 1989, hal. 22 dikutip dalam Ward, Hugh, ibid. 5 Dunleavy, Patrick, ibid, hal.3.

    [3]

  • Premis ini bisa diturunkan lagi menjadi menjadi premis-premis yang sifatnya lebih

    spesifik. Turunan dari premis-premis utama tersebut bisa dikategorikan dalam premis

    dari sisi permintaan dan premis dari sisi penawaran. Premis dari sisi permintaan

    diasumsikan bahwa setiap manusia memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam

    membuat keputusan-keputusan politik, atau sama saja dengan mengasumsikan

    bahwa setiap orang memiliki segala informasi yang dibutuhkan. Selain itu diasumsikan

    bahwa preferensi-preferensi manusia, secara eksogen, bersifat tetap dan tidak

    terpengaruh oleh partisipasi mereka dalam berbagai proses pilihan politik yang

    menjadi obyek kajian.

    Sementara itu, dari sisi penawaran diasumsikan bahwa seluruh entitas kolektif

    (seperti perusahaan, partai politik, birokrasi, dsb.) bisa diperlakukan sebagai aktor-aktor

    yang sama-sama digerakkan oleh premis-premis rasionalitas di atas. Dari sisi

    penawaran, rational-choice juga memandang para pengambil-keputusan sebagai

    aktor-aktor yang hanya memiliki satu jalur tunggal, sebagai jalur yang paling rasional

    dan obyektif, untuk memaksimalkan keuntungan mereka, dan tidak ada jalur yang

    lain.6

    Premis-premis di atas memang terlihat sangat kental nuansa ekonominya. Ini

    tidak mengherankan karena teori rational-choice adalah usaha untuk menjelaskan

    fenomena politik melalui teknik-teknik analisa ekonomi, yang dalam disiplin ilmu

    ekonomi biasa digunakan untuk menganalisa perilaku produsen dan konsumen.

    Pendekatan ini dikenal juga dengan nama pendekatan ekonomi-politik karena

    dalam pendekatan ini menggabungkan disiplin ilmu ekonomi dan disiplin ilmu politik.

    Pendekatan ini juga dikenal dengan istilah public-choice karena berfokus pada

    pilihan-pilihan publik atau kolektif, yang dikontraskan dengan pilihan-pilihan privat

    individu yang biasanya menjadi obyek analisa dalam ekonomi-mikro.

    C. Berbagai pendekatan dalam teori rational-choice

    Dalam perkembangannya, melalui proses saling-kritik, muncul banyak variasi

    pendekatan dalam teori rational-choice. Dunleavy mengidentifikasikan empat

    pendekatan dominan dalam diskursus teori rational choice, yaitu pendekatan pluralis,

    6 Dunleavy, op.cit., hal. 4.

    [4]

  • pendekatan corporatis, pendekatan collective-action, dan pendekatan new-right.7

    Masing-masing pendekatan tersebut memiliki tafsir yang berbeda terhadap premis-

    premis utama rational-choice di atas. Masing-masing dengan fokus dan penekanan

    yang berbeda.

    Pendekatan pluralis, dari premis diatas menafsirkan, mengasumsikan bahwa

    pada dasarnya manusia memiliki kepentingan yang berbeda-beda, maka secara

    sukarela mereka akan memilih kelompok yang memiliki kepentingan yang sama dan

    bisa mengakomodasi kepentingannya. Kelompok seperti inilah yang sering kita sebut

    sebagai interest group (kelompok kepentingan). Kelompok kepentingan ini menjadi

    fokus kajian utama dalam pendekatan pluralis. Dalam kelompok kepentingan ini

    diasumsikan bahwa relasi yang terjadi didalamnya didasarkan pada kesamaan

    kepentingan dan relasinya cenderung didasarkan pada kesukarelaan anggotanya.

    Keberadaan kelompok semacam ini juga sangat ditentukan oleh keterlibatan

    anggotanya dan cenderung hanya memfokuskan perhatian pada isu-isu spesifik yang

    sifatnya seringali sangat praktis. Berbeda dengan partai politik yang cenderung

    merangkai berbagai isu dalam paket-paket, sehingga menyederhanakan pilihan-

    pilihan yang tersedia bagi para pemilih dalam pemilu.

    Pendekatan lain dalam rational-choice adalah pendekatan korporatis.

    Pendekatan korporatis ini mengakui dan menyepakati bahwa rutinitas pembuatan-

    kebijakan di negara-negara demokratis Barat beroperasi sebagaimana dipahami dan

    dijelaskan dalam pendekatan pluralis. Tetapi, pendekatan korporatis menambahkan

    bahwa dalam kenyataannya, kelompok-kelompok kepentingan tidak memberikan

    pengaruh yang setara, baik secara kualitas maupun kuantitas, terhadap proses

    kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan tertentu cenderung memiliki pengaruh

    yang lebih kuat dalam proses kebijakan dibanding kelompok kepentingan yang lain.

    Dunleavy mengilustrasikan penjelasan di atas dengan melihat perbedaan

    derajat pengaruh kelompok-kelompok kepentingan ekonomi utama serikat buruh,

    asosiasi bisnis dan perdagangan besar dan asosiasi professional yang menurut

    pendapatnya disebabkan oleh empat alasan.

    7 Ibid.

    [5]

  • Alasan yang pertama adalah basis kelas. Kelompok-kelompok kepentingan

    ekonomi terbagi menurut garis kelas sosial dan/atau pekerjaan. Tarik menarik antara

    kepentingan-kepentingan ini akan sangat berpengaruh bagi arah kebijakan ekonomi

    dan pembangunan suatu negara.

    Kedua, kontrol terhadap sumber daya. Kelompok-kelompok kepentingan besar

    melakukan kontrol kolektif terhadap sumberdaya yang vital bagi keseluruhan aktifitas

    ekonomi. Variasi struktural kontrol terhadap sumberdaya ini merupakan variabel

    penjelas penting dalam menjelaskan perbedaan-perbedaan bagaimana satu

    kelompok kepentingan yang sama diorganisir dengan cara yang berbeda, di waktu

    dan/atau tempat yang berbeda.

    Ketiga, faktor perbedaan ideologis. Masing-masing kelompok kepentingan

    memiliki ideologi yang berbeda, yang membuat masing-masing kelompok

    kepentingan menafsirkan isu-isu sosial secara berbeda pula. Cara menafsirkan isu sosial

    ini pada akhirnya akan berpengaruh pada sikap dan perilaku anggota-anggota

    berbagai kelompok kepentingan tersebut.

    Terakhir, faktor kesetiaan terhadap kelompok dan solidaritas. Keanggotaan

    dalam suatu kelompok kepentingan tertentu ikut membentuk identitas sosial

    seseorang. Status ini ikut menentukan bagaimana seseorang menafsirkan

    kepentingannya dan kepentingan orang lain.

    Dalam pendekatan korporatis ini, negara juga tidak dianggap sebagai aktor

    yang pasif, tetapi juga sebagai aktor yang memiliki kepentingan dan mengaplikasikan

    berbagai strategi untuk mengantisipasi strategi yang digunakan oleh aktor-aktor lain i.e

    kelompok-kelompok kepentingan lain. Salah satu strateginya adalah dengan menjalin

    hubungan saling keterikatan dengan kelompok-kelompok kepentingan besar, di mana

    pada akhirnya dua pihak inilah yang mendominasi proses kebijakan sehingga

    memunculkan hasil yang membawa manfaat paling maksimal bagi kedua belah

    pihak. Kelompok-kelompok kepentingan yang lebih kecil berada di pinggiran dan

    pengaruh mereka relatif dikontrol melalui pengaruh kelompok-kelompok kepentingan

    yang lebih besar dan memilki relasi yang kuat dengan pihak negara.

    [6]

  • Pihak negara juga mendapatkan keuntungan dengan menjalin hubungan

    dengan kelompok-kelompok kepentingan besar ini, karena kelompok-kelompok

    kepentingan besar ini bisa digunakan untuk mengontrol kelompok-kelompok

    kepentingan lain yang lebih kecil. Imbalannya adalah konsesi-konsesi atas berbagai isu

    yang terkait dengan kepentingan kelompok-kelompok yang lebih besar itu. Pada level

    individu, relasi antara pemimpin dan anggota kelompok kepentingan, pendekatan

    korporatis juga menggunakan asumsi dan penjelasan yang secara garis besar serupa.

    Pendekatan berikutnya adalah pendekatan collective-action, dimana Mancure

    Olson menjadi pionir yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pendekatan ini

    dalam diskursus rational-choice. Dalam pendekatan ini Olson mengkritik optimisme

    pendekatan pluralis terhadap kemauan individu untuk berkontibrusi dalam kelompok-

    kepentingan.8

    Olson mengatakan bahwa semakin besar suatu kelompok kepentingan, makin

    kecil signifikansi keterlibatan individu-individu yang ada didalamnya. Sementara,

    manfaat yang diraih jika kelompok kepentingan tersebut berhasil mendesakan

    kepentingannya dalam proses kebijakan akan dirasakan oleh seluruh anggota

    kelompok, tanpa mempertimbangkan kontribusi setiap anggota terhadap kelompok

    tersebut. Dalam situasi ini, maka pilihan yang paling rasional bagi sebagian besar

    anggota kelompok adalah mendompleng manfaat yang didapatkan dari

    keanggotaannya dalam suatu kelompok, tanpa merasa harus memberikan kontribusi

    pada kelompok tersebut. Inilah yang selama ini kita kenal sebagai problem free-rider

    dalam collective-action.

    Pendekatan lain yang paling mutakhir dalam diskursus rational-choice adalah

    pendekatan new-right. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa memang benar negara

    menyediakan berbagai barang publik, yang menjadi obyek kontestasi berbagai

    kepentingan yang terepresentasikan oleh berbagai kelompok. Tetapi berbagai barang

    publik juga bisa disediakan oleh pasar, dan seringkali secara lebih efisien. Pendekatan

    new-right berpendapat bahwa dari berbagai manfaat yang disediakan oleh negara,

    8 Olson, M., The Logic of Collective Actions: Public Goods and the Theory of Groups, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1978, edisi pertama dipublikasikan 1965.

    [7]

  • hanya sebagian kecil yang benar-benar memiliki karakter sebagai barang-barang

    publik.

    Poin utama dari pendekatan ini, menyangkal argumen pendekatan collective

    action, adalah bahwa ternyata tujuan berbagai kelompok kepentingan ini juga

    melibatkan berbagai barang-barang yang non-excludable. Mereka berupaya

    mengejar manfaat kolektif karena mereka berusaha mendapatkannya dari negara.

    Negara memiliki kapasitas dan otoritas untuk menyediakan hampir seluruh barang

    privat dalam bentuk kolektif cukup hanya dengan menggunakan kekuasaan koersif-

    nya untuk mendapatkan sumber daya sosial yang dibutuhkan, atau dengan

    menyediakan dana pelayanan yang diambil dari hasil pajak.

    Dalam pendekatan ini juga diperkenalkan konsep iron-triangle, yang terdiri dari

    birokrat senior, pemimpin kelompok kepentingan besar, dan para legislator yang

    menangani penyediaan barang-barang public. Iron-triangle ini memiliki vested-interest

    tersendiri, yang berbeda dengan kepentingan kelompok yang direpresentasikannya,

    dan akhirnya akan lebih menentukan dalam proses kebijakan yang berlangsung. Para

    aktor ini lebih mengejar vested-interest mereka daripada kepentingan kelompok yang

    direpresentasikannya. Proses kebijakan yang terjadi terinsulasi dari anggota kelompok

    yang lain. Para pengusung pendekatan new-right berpendapat bahwa pendekatan

    aksi kolektif Olson seharusnya juga memperhitungkan vested-interest terhadap

    barang-barang semi-privat seperti ini.

    Banyaknya variasi turunan dalam teori rational-choice, menurut Dunleavy,

    adalah sesuatu yang wajar karena ilmu politik adalah sebuah ilmu yang sifatnya multi-

    theoritical. Dua pendekatan yang pertama, pluralis dan korporatis, oleh Dunleavy

    dikategorikan sebagai pendekatan ilmu politik, sementara pendekatan yang kedua,

    collective action dan new-right, dikategorikan sebagai pendekatan-pendekatan

    public-choice.

    Problem utama bagi pendekatan pluralis, tetap, optimisme mereka terhadap

    proses kelompok yang cenderung teralu berlebihan. Pendekatan ini tidak memberikan

    sanggahan yang efektif terhadap poin fundamental Olson yang menyatakan bahwa

    akibat dari berbagai kesulitan dalam mengorganisir aksi kolektif, pola mobilisasi

    [8]

  • kelompok mungkin hanya memiliki korelasi yang kecil, atau bahkan tidak ada sama

    sekali dengan intensitas preferensi.

    Model collective action sendiri harus menghadapi berbagai tantangan yang

    muncul dari keharusannya untuk menjelaskan realitas yang sedang berkembang saat

    ini. Pada masa ini semakin banyak orang yang bergabung dengan berbagai

    kelompok kepentingan, dan orang-orang ini semakin berani mengambil tindakan

    beresiko tingg dalam berbagai aksi kolektif(seperti demonstrasi, kerusuhan, atau

    perlawanan langsung terhadap pemerintah). Tindakan ini, baik secara ekonomi

    maupun formal, tidak bisa dipandang sebagai tindakan yang rasional.

    Teori rational-choice sedang, dan masih, terus berkembang untuk menjawab

    tantangan-tantangan yang muncul sebagai akibat dari kritik maupun perkembangan

    realitas politik yang terjadi. Fenomena ini mengindikasikan bahwa ilmu politik, sebagai

    disiplin yang memayungi teori rational-choice, juga terus mengalami perkembangan

    dan perubahan sebagai sebuah disiplin ilmu.

    [9]