Rachel Carson

3
Rachel Carson Label: r.o.a.n.g/esai Rachel Carson, seorang ahli biologi kelautan yang cukup ternama, pada tahun 1962 menerbitkan buku Silent Spring sebagai bentuk kepeduliannya terhadap masalah lingkungan. Buku fenomenal yang diterjemahkan dan sudah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Musim Bunga yang Bisu (Yayasan Obor Indonesia, 1990) itu telah membangkitkan beberapa kelompok gerakan pecinta lingkungan di Amerika. Bahkan berlangsungnya Konferensi PBB di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972 yang dihadiri oleh para pemimpin dunia karena terilhami oleh karya Carson itu. Dalam Konferensi tersebut, para pemimpin dunia yang datang menandatangani kesepakatan untuk lebih memperhatikan masalah lingkungan yang kian rusak oleh karena ulah manusia. Carson dalam buku yang masih populer itu tidak sedang bereksperimentasi ihwal bahaya pencemaran lingkungan. Tetapi ia benar-benar telah melakukan satu terobosan penting dengan coba menggugah kesadaran manusia sebagai penghuni planet bumi ini. Bahkan Carson meramalkan bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi kehidupan yang dramatis: tak ada kicauan burung-burung karena hidup telah mencapai titik kesunyian atau kesepian. Ramalan Carson itu tak pelak mendapat serangan balik khususnya dari dunia industri kimia yang sampai mengeluarkan dana kampanye sebesar US$ 250.000 untuk membuktikan bahwa Carson dengan karyanya itu tak lebih hanyalah "seorang histeris yang dungu".

Transcript of Rachel Carson

Page 1: Rachel Carson

Rachel Carson

Label: r.o.a.n.g/esai

Rachel Carson, seorang ahli biologi kelautan yang cukup ternama, pada tahun 1962 menerbitkan buku Silent Spring sebagai bentuk kepeduliannya terhadap masalah lingkungan. Buku fenomenal yang diterjemahkan dan sudah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Musim Bunga yang Bisu (Yayasan Obor Indonesia, 1990) itu telah membangkitkan beberapa kelompok gerakan pecinta lingkungan di Amerika.

Bahkan berlangsungnya Konferensi PBB di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972 yang dihadiri oleh para pemimpin dunia karena terilhami oleh karya Carson itu. Dalam Konferensi tersebut, para pemimpin dunia yang datang menandatangani kesepakatan untuk lebih memperhatikan masalah lingkungan yang kian rusak oleh karena ulah manusia.

Carson dalam buku yang masih populer itu tidak sedang bereksperimentasi ihwal bahaya pencemaran lingkungan. Tetapi ia benar-benar telah melakukan satu terobosan penting dengan coba menggugah kesadaran manusia sebagai penghuni planet bumi ini. Bahkan Carson meramalkan bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi kehidupan yang dramatis: tak ada kicauan burung-burung karena hidup telah mencapai titik kesunyian atau kesepian.

Ramalan Carson itu tak pelak mendapat serangan balik khususnya dari dunia industri kimia yang sampai mengeluarkan dana kampanye sebesar US$ 250.000 untuk membuktikan bahwa Carson dengan karyanya itu tak lebih hanyalah "seorang histeris yang dungu".

Namun di tengah serangan itu, sebagaimana dinyatakan oleh Kirkpatrick Sale dalam Revolusi Hijau: Sebuah Tinjauan Historis Kritis Gerakan Lingkungan Hidup (1996), buku Carson tersebut justru memperoleh penghargaan dari National Wildlife Federation dan Audubon Society, karena itu malah membuatnya semakin terkenal, dan mengakibatkan semakin kerasnya perlawanan terhadap penggunaan pestisida yang berlebihan; dan secara langsung menyebabkan masalah ini – pada tahun 1963 – dimasukkan ke dalam agenda laporan Presidential Scientific Advisory Committee (Komisi Penasihat Ilmiah Presiden) yang justru mendukung hasil karya Carson dan kritik-kritiknya; dan pada akhirnya buku itu memainkan peranan penting dalam perolehan dukungan atas ditetapkannya Pesticide Control Act tahun 1972, dan Toxic Substance Control Act tahun 1976.

***

Page 2: Rachel Carson

Beberapa puluh tahun sebelum karya Carson itu terbit, Giffordd Pinchot sebenarnya telah memunculkan istilah "konservasi" yang dibahasakan dalam gaya eufemismenya dan diartikan menjadi "pembangunan yang berkesinambungan". Dalam mottonya yang terkenal, Giffordd Pinchot menyebutkan: "Kewajiban utama yang harus dilakukan oleh manusia adalah mengontrol bumi dan kehidupan yang berada di dalamnya". Namun sampai saat ini, di negara mana pun tak terkecuali di Indonesia, upaya menuju perbaikan lingkungan terkesan sangat lamban mengingat semakin banyaknya perusakan yang dilakukan oleh manusia.

Dengan demikian, kesadaran untuk membangun harmonisme dengan alam atau lingkungan penting digugah kembali. Tentu dalam konteks ini keberadaan penerbit diharapkan dapat memainkan peranannya. Penerbit diharap memberikan prioritas dengan tidak "mengenyampingkan" tema-tema tentang lingkungan sebagaimana yang terjadi saat ini. Sebab minimnya penulis yang menggarap tema itu satu sisi karena sempitnya ruang yang diberikan oleh penerbit. Kebanyakan penerbit lebih membaca situasi pasar yang bersifat pragmatis, sehingga cukup beresiko tinggi jika berani menerbitkan tema-tema tentang lingkungan yang diasumsikan tak ada peminat.

Kemudian pada sisi yang lain, tidak bisa dipungkiri juga bahwa kecenderungan penulis di negeri ini lebih tertarik terhadap tema-tema yang dirasa lebih hangat dan cukup bergengsi, seperti sosial-politik, sastra-budaya dan filsafat yang akhir-akhir ini mulai menemukan momentumnya.

Hal inilah yang disadari menyebabkan minimnya buku "peduli lingkungan". Coba kita lihat kembali buku-buku yang terbit dan beredar luas di negeri ini. Nyaris semuanya didominasi oleh tema-tema sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Bahkan, tema lingkungan hidup lebih banyak berasal dari terjemahan daripada karya penulis negeri sendiri.

Selain Silent Spring-nya Rachel Carson, untuk sekedar menyebut contoh misalnya, buku Bumi Dalam Keseimbangan: Ekologi Dan Semangat Manusia, terjemahan dari karya Al Gore, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit (Yayasan Obor Indonesia: November 1994); Kebijakan Lingkungan Dan Sumber Daya Bagi Ekonomi Dunia, terjemahan dari karya Richard N. Cooper, Environment and Resources Policies for the World Economy (P.T. Remaja Rosdakarya: Maret 1997); Langkah-Langkah Hijau, terjemahan dari karya Aubrey Wallace, Green Means: Living Gently with the Planet (Yayasan Obor Indonesia: Juni 1997); Revolusi Hijau: Sebuah Tinjauan Historis Kritis Gerakan Lingkungan Hidup, terjemahan dari karya Kirkpatrick Sale, The Green Revolution: Environmental Movement 1962-1992 (Yayasan Obor Indonesia: Juli 1996).

Itulah beberapa contoh buku-buku terjemahan yang beredar luas di negeri ini. Bahkan kalau seandainya dilakukan penelitian ihwal tema-tema yang diterbitkan setiap tahunnya, maka sudah bisa dipastikan bahwa tema lingkungan hidup menempati posisi paling buncit. Baik yang berasal dari luar negeri apalagi yang ditulis oleh penulis negeri sendiri.

Kondisi dilematis semacam ini patut mendapatkan perhatian di tengah persoalan lingkungan hidup yang kian kompleks. Minimnya buku "peduli lingkungan" bagaimana pun mencerminkan rendahnya kepedulian atau kesadaran suatu bangsa terhadap masalah lingkungan yang sejatinya sangat fundamental.