Rabu Jumat 10 12 13 14 15 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28...

1
REPUBLlKA o Senin OSetasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 17 18 @ 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OJan OPeb o Mar OApr OMei OJun Jut OAgs OSep OOkt ONov ODes B daU Tdan _ SUKEMI Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media 'BHP eski sudah secara ak- Iamasi dinyatakan disetujui oleh DPR bersama pemerintah, penolakan pada Un- dang-Undang Pen- 'didtkan Tinggi (UU PT) masih terjadi. Bahkan, ada kelompok yang akan meng- ajukan judicial review atau peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK) segera setelah UU inidiundangkan atau ditandatangani oleh presiden dan dima- sukkan dalam lembar negara, sebagai- mana lazimnya UU lain. Perdebatan yang terjadi seputar pem- berian hak otonomi. Selain otonomi, ada juga kelompok masyarakat yang menyejajarkan UU PT dengan UU Ba- dan Hukum Pendidikan (BHP), yang telah dibatalkan oleh MK pada 31 Maret 2010, yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi karena memaksakan penge- lolaan perguruan tinggi harus berbentuk badan hukum. Sangat berbeda Logikanya, pemerintah maupun DPR tidak ingin 'jatuh' di lubang yang sama untuk menyiapkan dan membuat UU. Jika sebelumnya UU BHP telah di- batalkan karena dinilai telah mencederai hak konstitusi berkait dengan pengelo- laan perguruan tinggi, dalam UU PT hal yang berkait dengan kemungkinan akan dibatalkannya UU ini di MK pun menjadi pertimbangan. Jika dilihat substansinya, tentu sa- ngat berbeda konsep otonomi yang per- nah ada dalam UU BHP dan apa yang ada dalam RUU PT. Klausul dan pertimbangan yang melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun berbeda. Dalam amar putusan MK No 11-14- 12-126-136fPUU-VII/2009 tertangga131 Maret 2010 dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lem- baga pendidikan, pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan, dan tidak terjadi liberalisasi serta komersialisasi pendidikan. Amar putusan MK ini men- jadi salah satu dasar pertimbangan da- lam penyusunan UU PT sehingga memang sangat berbeda dan tidak bisa disejajar- kan antara UU PT dengan UU BHP. Berkait dengan kekhawatiran pem- berian otonomi, wajar adanya karena pengalaman membuktikan, praktik dari tujuh PT BHMN nyata dirasakan telah memberatkan dan membatasi akses ma- syarakat kurang mampu masuk ke per- guruan tinggi. Tapi, itu 'cerita lama' karena setelah dibatalkannnya UU BHP oleh MK yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66 Tahun 2010, telah jelas diatur bahwa sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN harus memberikan porsi minimal 20 persen dari jurnlah mahasiswa baru un- tuk keluarga tidak mampu. Dalam UU PT, kepastian bagi masya- rakat tidak mampu untuk bisa menge- nyam pendidikan tinggi yang sebelum- nya diatur dalam Pp, kini diperkuat de- ngan kehadiran UU ini. .Hal ini sangat penting karena selama ini menunjukkan, masyarakat tidak Plampu yang melan- jutkan dan mengakses pendidikan tinggi baru mencapai 2,8 persen pada 2009. Dengan UU PT ini, pemerintah juga berharap ke depan bukan hanya akses bagi masyarakat tidak mampu yang ter- wadahi, melainkan kenaikan terhadap . angka partisipasi kasar (APK)pendidik- an tinggi, yang pada 2010/2011 baru mencapai angka 26,34 persen. Dalam UU PT sejak awal dinyatakan, perguruan tinggi dikelola dengan prinsip nirlaba. Itu sebabnya, UU PT ini mengamanatkan pula bahwa bagi PTN, penentuan besaran biaya pendidikan akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan menteri dengan mempertimbangkan pada indeks kema- halan wilayah (pasa188 ayat 5). Dua otonomi Soal otonomi yang diperdebatkan se- sungguhnya ada dua halo Pertama, oto- nomi, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasanilmiah. Untuk hal ini, sudah melekat dalam pe-' ngelolaan pendidikan tinggi. Artinya, otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik ma- sih tetap luas. Bagaimana dengan masih adanya pasal yang menyatakan kuriku- lum, program studi, penelitian, akan diatur melalui peraturan menteri. Sekali lagi, ini adalah bagian lain dari upaya pemerintah untuk melindungi masyara- kat. Bukankah saat ini banyak pergu- ruan tinggi yang membuka progran stu- di yang tidak jelas dan tidak terakredi- tasi. Kllplne Humas Unpad 2012 Kedua, otonomi pengelolaan keuang- an. Ada dua bentuk pengelolaan keuang- an bagi PTN sebagaimana tercantum dalam pasal 65 ayat 1. Pertama, PTN dengan pengelolaan keuangan berbentuk satuan kerja badan layanan umum (BLU). PTN dalam kelompok otonomi ini adalah perguruan tinggi dengan organi- sasi dan tata kelola berpola BLU di mana aset sepenuhnya milik negara, dengan anggaran atau pendanaan me- lalui mekanisme APBN di kementerian. Sementara, penerimaan dana masyara- kat dibukukan sebagai I'NBP yang bisa langsung digunakan setelah melalui pelaporan dan pencatatan. Kedua, PTN Berbadan Hukum (PTN BH). Perguruan tinggi yang diberikan otonomi penuh di dalam organisasi dan tata kelola yang asetnya bisa dipisahkan antara milik negara dan milik perguruan tinggi dengan alokasi pembiayaan APBN melalui mekanisme subsidi atas penye- diaan pelayanan publik. Dalam hal memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan itulah diperlukan penilaian dari kementerian. Dalam konteks inilah, otonomi diberikan oleh pemerintah melalui proses dan pe- nilaian (pasal 65 ayat 1). Penilaian ini menjadi penting, antara lain berkait dengan kemampuan keuangan dan pe- ngelolaan sumber daya sehingga ke de- pan dapat mewujudkan tata kelola per- guruan tinggi yang baik dan bersih. Melalui penilaian inilah pemerintah harus dapat memastikan PTN yang akan menjadi PTN BH telah mendapatkan penguatan dalam tata kelola keuangan, mampu melakukan pemberdayaan ter- hadap sumber daya yang dimiliki, dan dapat bersinergi. Dengan demikian, tidak mementingkan diri sendiri. Sementara untuk pengelolaan ke- uangan, sepenuhnya berada di tangan badan penyelenggara yang dapat ber- bentuk yayasan, perkumpulan, dan ben- tuk lain sesuai dengan ketentuan per- aturan perundang-undangan (pasal 60 ayat 1 dan 2). Itulah beberapa perbedaan antara UU PT dan UU BHP. Dengan perbedaan yang signifikan itu dan me- ngandung nilai-nilai kesetaraan dalam mengakses pendidikan tinggi, kita berharap UU ini tidak kandas lagi di mejaMK. _ .

Transcript of Rabu Jumat 10 12 13 14 15 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28...

Page 1: Rabu Jumat 10 12 13 14 15 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 ...pustaka.unpad.ac.id/.../07/republika-20120719-bedauuptdanuubhp.pdf · ngat berbeda konsep otonomi yang per-nah ada dalam

REPUBLlKAo Senin OSetasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1517 18 @ 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31OJan OPeb oMar OApr OMei OJun • Jut OAgs OSep OOkt ONov ODes

B daU Tdan_ SUKEMI

Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media

'BHPeski sudah secara ak-

Iamasi dinyatakandisetujui oleh DPRbersama pemerintah,penolakan pada Un-dang-Undang Pen-

'didtkan Tinggi (UU PT) masih terjadi.Bahkan, ada kelompok yang akan meng-ajukan judicial review atau peninjauankembali ke Mahkamah Konstitusi (MK)segera setelah UU inidiundangkan atauditandatangani oleh presiden dan dima-sukkan dalam lembar negara, sebagai-mana lazimnya UU lain.

Perdebatan yang terjadi seputar pem-berian hak otonomi. Selain otonomi,ada juga kelompok masyarakat yangmenyejajarkan UU PT dengan UU Ba-dan Hukum Pendidikan (BHP), yangtelah dibatalkan oleh MK pada 31 Maret2010, yang dinilai tidak sesuai dengankonstitusi karena memaksakan penge-lolaan perguruan tinggi harus berbentukbadan hukum.

Sangat berbedaLogikanya, pemerintah maupun DPR

tidak ingin 'jatuh' di lubang yang samauntuk menyiapkan dan membuat UU.Jika sebelumnya UU BHP telah di-batalkan karena dinilai telah mencederaihak konstitusi berkait dengan pengelo-laan perguruan tinggi, dalam UU PThal yang berkait dengan kemungkinanakan dibatalkannya UU ini di MK punmenjadi pertimbangan.

Jika dilihat substansinya, tentu sa-ngat berbeda konsep otonomi yang per-nah ada dalam UU BHP dan apayang ada dalam RUU PT. Klausul danpertimbangan yang melatarbelakangipemberian otonomi itu pun berbeda.

Dalam amar putusan MK No 11-14-12-126-136fPUU-VII/2009 tertangga131Maret 2010 dinyatakan bahwa tidakboleh terjadi penyeragaman bentuk lem-baga pendidikan, pemerintah tidak bolehlepas tanggung jawab keuangan untukpenyelenggaraan pendidikan, dan tidakterjadi liberalisasi serta komersialisasipendidikan. Amar putusan MK ini men-jadi salah satu dasar pertimbangan da-lam penyusunan UU PT sehinggamemangsangat berbeda dan tidak bisa disejajar-kan antara UU PT dengan UU BHP.

Berkait dengan kekhawatiran pem-berian otonomi, wajar adanya karena

pengalaman membuktikan, praktik daritujuh PT BHMN nyata dirasakan telahmemberatkan dan membatasi akses ma-syarakat kurang mampu masuk ke per-guruan tinggi. Tapi, itu 'cerita lama'karena setelah dibatalkannnya UU BHPoleh MK yang kemudian melahirkanPeraturan Pemerintah (PP) No 66 Tahun2010, telah jelas diatur bahwa sistempenerimaan mahasiswa baru di PTNharus memberikan porsi minimal 20persen dari jurnlah mahasiswa baru un-tuk keluarga tidak mampu.

Dalam UU PT,kepastian bagi masya-rakat tidak mampu untuk bisa menge-nyam pendidikan tinggi yang sebelum-nya diatur dalam Pp, kini diperkuat de-ngan kehadiran UU ini. .Hal ini sangatpenting karena selama ini menunjukkan,masyarakat tidak Plampu yang melan-jutkan dan mengakses pendidikan tinggibaru mencapai 2,8 persen pada 2009.

Dengan UU PT ini, pemerintah jugaberharap ke depan bukan hanya aksesbagi masyarakat tidak mampu yang ter-wadahi, melainkan kenaikan terhadap

. angka partisipasi kasar (APK)pendidik-an tinggi, yang pada 2010/2011 barumencapai angka 26,34 persen. DalamUU PT sejak awal dinyatakan, perguruantinggi dikelola dengan prinsip nirlaba.Itu sebabnya, UU PT ini mengamanatkanpula bahwa bagi PTN, penentuan besaranbiaya pendidikan akan diatur tersendiridalam sebuah peraturan menteri denganmempertimbangkan pada indeks kema-halan wilayah (pasa188 ayat 5).

Dua otonomiSoal otonomi yang diperdebatkan se-

sungguhnya ada dua halo Pertama, oto-nomi, kebebasan akademik, kebebasanmimbar akademik, dan kebebasanilmiah.Untuk hal ini, sudah melekat dalam pe-'ngelolaan pendidikan tinggi.

Artinya, otonomi perguruan tinggidalam makna kebebasan akademik ma-sih tetap luas. Bagaimana dengan masihadanya pasal yang menyatakan kuriku-lum, program studi, penelitian, akandiatur melalui peraturan menteri. Sekalilagi, ini adalah bagian lain dari upayapemerintah untuk melindungi masyara-kat. Bukankah saat ini banyak pergu-ruan tinggi yang membuka progran stu-di yang tidak jelas dan tidak terakredi-tasi.

Kllplne Humas Unpad 2012

Kedua, otonomi pengelolaan keuang-an. Ada dua bentuk pengelolaan keuang-an bagi PTN sebagaimana tercantumdalam pasal 65 ayat 1. Pertama, PTNdengan pengelolaan keuangan berbentuksatuan kerja badan layanan umum(BLU).

PTN dalam kelompok otonomi iniadalah perguruan tinggi dengan organi-sasi dan tata kelola berpola BLU dimana aset sepenuhnya milik negara,dengan anggaran atau pendanaan me-lalui mekanisme APBN di kementerian.Sementara, penerimaan dana masyara-kat dibukukan sebagai I'NBP yang bisalangsung digunakan setelah melaluipelaporan dan pencatatan.

Kedua, PTN Berbadan Hukum (PTNBH). Perguruan tinggi yang diberikanotonomi penuh di dalam organisasi dantata kelola yang asetnya bisa dipisahkanantara milik negara dan milik perguruantinggi dengan alokasi pembiayaan APBNmelalui mekanisme subsidi atas penye-diaan pelayanan publik.

Dalam hal memberikan kepercayaanpenuh untuk mengelola keuangan itulahdiperlukan penilaian dari kementerian.Dalam konteks inilah, otonomi diberikanoleh pemerintah melalui proses dan pe-nilaian (pasal 65 ayat 1). Penilaian inimenjadi penting, antara lain berkaitdengan kemampuan keuangan dan pe-ngelolaan sumber daya sehingga ke de-pan dapat mewujudkan tata kelola per-guruan tinggi yang baik dan bersih.

Melalui penilaian inilah pemerintahharus dapat memastikan PTN yang akanmenjadi PTN BH telah mendapatkanpenguatan dalam tata kelola keuangan,mampu melakukan pemberdayaan ter-hadap sumber daya yang dimiliki, dandapat bersinergi. Dengan demikian,tidak mementingkan diri sendiri.

Sementara untuk pengelolaan ke-uangan, sepenuhnya berada di tanganbadan penyelenggara yang dapat ber-bentuk yayasan, perkumpulan, dan ben-tuk lain sesuai dengan ketentuan per-aturan perundang-undangan (pasal 60ayat 1 dan 2).Itulah beberapa perbedaanantara UU PT dan UU BHP. Denganperbedaan yang signifikan itu dan me-ngandung nilai-nilai kesetaraan dalammengakses pendidikan tinggi, kitaberharap UU ini tidak kandas lagi dimejaMK. _ .