RABU, 21 DESEMBER 2011 - ftp.unpad.ac.id filesebagai guru, 2006-2009 † Grafindo Media Pratama...

1
CHRISTINE FRANCISKA I NDONESIA boleh merdeka selama 66 tahun. Namun, praktis, tak banyak hal berubah di Desa Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Gelap masih menyelimuti desa tiap malam. Tak ada listrik, apalagi jalan beraspal mulus seperti layaknya kota-kota be- sar. “Kalau ada orang yang sakit, enam pemuda harus meng- gotongnya dengan sarung dan bambu,” cerita Ubaidilah Muchtar, guru SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang. Ubai--panggilan akrabnya-- sejak mengajar di sana pada Fe- buari 2009 makin mengenal ba- gaimana kehidupan masyarakat Lebak yang tak tersentuh oleh modernisasi. Mata pencaharian mereka kebanyakan petani. Anak-anak, selepas sekolah diberi tugas menggembala sapi dan kambing. “Waktu awal saya mengajar, anak-anak ini bahkan bawa golok ke sekolah karena mereka disuruh mencari kayu setelahnya,” lanjut Ubai. Perjalanan Ubai dari rumah- nya di Depok menuju seko- lah pun menyajikan tantangan tersendiri. Tiap Senin, ia harus menempuh jarak 120 km dengan sepeda motor. Jarak itu ditempuh dengan waktu sekitar 3,5 jam. “Dua puluh meter terakhir tidak ada aspal dan harus lewati tebing kedalaman 15 meter. Kalau hu- jan, licin sekali. Kepeleset dan mo- tor jatuh itu sering,” katanya. Karena perjalanan yang me- lelahkan itu, Ubai tak punya pi- lihan selain menginap di Lebak dan baru pulang ke rumah pada akhir pekan. “Kadang saya merasa hidup di dua dunia yang berbeda. Tak banyak hal berubah di Lebak sejak kita merdeka.” Lewat taman baca, ia mengajak siswa mengenal sejarah desa dan belajar untuk menentang ketidakadilan. MI/ BARY FATHAHILAH 6 RABU, 21 DESEMBER 2011 S O SOK U BAIDILAH M UCHTAR MENGHIDUPKAN KEMBALI MULTATULI BIODATA Nama Lengkap : Ubaidilah Muchtar Panggilan : Ubai Tempat, tanggal lahir : Subang, 4 Juli 1980 Nama istri : Linda Nurlinda Riwayat pendidikan : UPI (Universitas Pendidikan Indonesia--dahulu IKIP) Bandung, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1999-2004 MA/SMA Miftahul Huda, Subang, 1996-1999 MTs/SMP Miftahul Huda, Subang, 1993-1996 SD Negeri Rancahilir, Pamanukan, 1988-1993 Riwayat Pekerjaan : SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, Februari 2009-sekarang SD Al Azhar Syifa Budi Cibubur sebagai guru, 2006-2009 Grafindo Media Pratama sebagai editor, 2005 Inisiatif Bandung sebagai relawan, 2004-2005 Riwayat Organisasi : Pendiri dan pengelola Taman Baca Multatuli, Kampung Ciseel RT 04/05, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, November 2009- sekarang Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Wilayah Bina III, Kabupaten Lebak, Oktober 2010-sekarang Ketua Bidang Pendidikan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung, 2002-2003 Ketua Hima Satrasia, UPI Bandung, 2001-2002 Menjadi guru di desa terpen- cil bukanlah cita-cita Ubai. Ia bahkan tak pernah menduga lolos CPNS menjadi guru. Ia pun makin kaget saat melihat lokasi kerjanya. “Bulan-bulan pertama, saya sempat ingin melepas pekerjaan ini,” kenangnya. Ubai mengaku sempat patah arang karena sebelum menjadi PNS pernah mengajar di sekolah swasta yang terbilang mewah. “Namun setelah melihat se- mangat anak-anak untuk be- lajar, saya jadi ikut semangat. Merekalah yang membuat saya bertahan,” cetusnya. Taman baca Ketimbang mencela keadaan, Ubai memilih membuat per- ubahan. Ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah taman ba- caan yang diberi nama Taman Baca Multatuli. Buku-buku dikumpulkan dari hasil sumbangan berbagai pihak. “Saya berharap anak- anak bisa mengisi waktu luang selepas sekolah. Karena tidak ada listrik, mereka tak memiliki hiburan. Jadi, membaca bagi mereka adalah suatu hal yang menyenangkan,” jelas pria yang berusia 31 tahun ini. Tak hanya itu, Ubai juga mengadakan sesi grup memba- ca (reading group) yang diadakan tiap Selasa. Buku pilihannya ialah Max Havelaar karya penu- lis Belanda bernama Eduard Douwes Dekker. Alasannya, buku itu dinilai memiliki sejarah yang lekat dengan Kabupaten Lebak. Douwes Dekker yang memiliki nama pena Multatuli pernah menjadi Asisten Residen Lebak selama 84 hari di bawah pe- merintahan Hindia Belanda. Pengalaman itulah yang tu- rut membuka mata Multatuli tentang ketidakadilan sistem kolonialisme di Indonesia. “Buku Max Havelaar meru- pakan buku pertama yang menjabarkan bobroknya kolo- nialisme. Bahkan Pramoedya Ananta Toer menjuluki buku ini sebagai buku yang membunuh kolonialisme,” ujar Ubai berse- mangat. Dengan membaca buku Max Havelaar ini, ia berharap anak- anak bisa mengenal sejarah desa mereka secara utuh, termasuk ketidakadilan yang mereka alami di zaman penjajahan. Lebih jauh, Ubai ingin agar anak-anak bisa memiliki kele- bihan yang ada pada karakter Multatuli, yaitu kejujuran, se- mangat antikorupsi, dan ke- beranian untuk membela kaum yang tertindas. Selain membaca, Ubai meng- asah kemampuan menulis anak- anak dengan menugasi mereka membuat catatan harian. Seta- hun sekali, Ubai mengajak anak- anak mengunjungi situs sejarah Multatuli dan bermain drama yang mengangkat kisah buku tersebut. Semua kegiatan itu disam- but siswa dengan antusias, apalagi ketika pementasan drama dengan menggunakan kerbau betulan sebagai bagian dari cerita. Sayangnya, semangat anak- anak belajar sering harus ber- henti di tengah jalan. Setiap habis Lebaran banyak murid perempuan yang berhenti seko- lah karena menjadi pembantu rumah tangga. Cita-cita jadi menteri Mengajar dan melihat anak- anak di desa sebenarnya juga nostalgia bagi Ubai. Masa ke- cilnya di Subang tidak jauh berbeda dengan yang dialami anak didiknya. Pendidikan bukanlah hal yang diprioritaskan orangtua Ubai pada enam anaknya. Na- mun, Ubai kecil terus diizinkan melanjutkan bersekolah karena unggul dalam akademis. Selama SMP dan SMA, Ubai juga selalu mendapat beasiswa penuh. “Dulu itu cita-citanya justru mau jadi menteri pertanian, bu- kan jadi guru,” katanya meng- ingat-ingat. Dengan bermodal nekat, Ubai lalu merantau ke Bandung un- tuk kuliah di IKIP Bandung dan akhirnya berhasil memberikan satu-satunya gelar sarjana pada keluarganya. Dengan segala hal yang ia lakukan di Desa Sobang, Ubai tidak berharap muluk selain membuka pikiran para orang- tua akan pentingnya pendi- dikan. (M-5) [email protected]

Transcript of RABU, 21 DESEMBER 2011 - ftp.unpad.ac.id filesebagai guru, 2006-2009 † Grafindo Media Pratama...

CHRISTINE FRANCISKA

INDONESIA boleh merdeka selama 66 tahun. Namun, praktis, tak banyak hal berubah di Desa Sobang,

Kabupaten Lebak, Banten. Gelap masih menyelimuti

desa tiap malam. Tak ada listrik, apalagi jalan beraspal mulus seperti layaknya kota-kota be-sar.

“Kalau ada orang yang sakit, enam pemuda harus meng-gotongnya dengan sarung dan bambu,” cerita Ubaidilah Muchtar, guru SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang.

Ubai--panggilan akrabnya--sejak mengajar di sana pada Fe-buari 2009 makin mengenal ba-gaimana kehidupan masyarakat Lebak yang tak tersentuh oleh modernisasi. Mata pencaharian mereka kebanyakan petani.

Anak-anak, selepas sekolah diberi tugas menggembala sapi dan kambing. “Waktu awal saya mengajar, anak-anak ini bahkan bawa golok ke sekolah karena mereka disuruh mencari kayu setelahnya,” lanjut Ubai.

Perjalanan Ubai dari rumah-nya di Depok menuju seko-lah pun menyajikan tantangan tersendiri. Tiap Senin, ia harus menempuh jarak 120 km dengan sepeda motor.

Jarak itu ditempuh dengan waktu sekitar 3,5 jam. “Dua puluh meter terakhir tidak ada aspal dan harus lewati tebing kedalaman 15 meter. Kalau hu-jan, licin sekali. Kepeleset dan mo-tor jatuh itu sering,” katanya.

Karena perjalanan yang me-lelahkan itu, Ubai tak punya pi-lihan selain menginap di Lebak dan baru pulang ke rumah pada akhir pekan. “Kadang saya merasa hidup di dua dunia yang berbeda. Tak banyak hal berubah di Lebak sejak kita merdeka.”

Lewat taman baca, ia mengajak siswa mengenal sejarah desa dan belajar untuk menentang ketidakadilan.

MI/ BARY FATHAHILAH

6 RABU, 21 DESEMBER 2011SOSOKU B A I D I L A H M U C H T A R

MENGHIDUPKAN KEMBALI MULTATULI

BIODATA

Nama Lengkap : Ubaidilah Muchtar

Panggilan : Ubai

Tempat, tanggal lahir : Subang, 4 Juli 1980

Nama istri : Linda Nurlinda

Riwayat pendidikan :

• UPI (Universitas Pendidikan Indonesia--dahulu IKIP) Bandung, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1999-2004

• MA/SMA Miftahul Huda, Subang, 1996-1999

• MTs/SMP Miftahul Huda, Subang, 1993-1996

• SD Negeri Rancahilir, Pamanukan, 1988-1993

Riwayat Pekerjaan :

• SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, Februari 2009-sekarang

• SD Al Azhar Syifa Budi Cibubur sebagai guru, 2006-2009

• Grafindo Media Pratama sebagai editor, 2005

• Inisiatif Bandung sebagai relawan, 2004-2005

Riwayat Organisasi :

• Pendiri dan pengelola Taman Baca Multatuli, Kampung Ciseel RT 04/05, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, November 2009-sekarang

• Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Wilayah Bina III, Kabupaten Lebak, Oktober 2010-sekarang

• Ketua Bidang Pendidikan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung, 2002-2003

• Ketua Hima Satrasia, UPI Bandung, 2001-2002

Menjadi guru di desa terpen-cil bukanlah cita-cita Ubai. Ia bahkan tak pernah menduga lolos CPNS menjadi guru. Ia pun makin kaget saat melihat lokasi kerjanya.

“Bulan-bulan pertama, saya sempat ingin melepas pekerjaan ini,” kenangnya. Ubai mengaku sempat patah arang karena sebelum menjadi PNS pernah mengajar di sekolah swasta yang terbilang mewah.

“Namun setelah melihat se-mangat anak-anak untuk be-lajar, saya jadi ikut semangat. Merekalah yang membuat saya bertahan,” cetusnya.

Taman bacaKetimbang mencela keadaan,

Ubai memilih membuat per-

ubahan. Ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah taman ba-caan yang diberi nama Taman Baca Multatuli.

Buku-buku dikumpulkan dari hasil sumbangan berbagai pihak. “Saya berharap anak-anak bisa mengisi waktu luang selepas sekolah. Karena tidak ada listrik, mereka tak memiliki hiburan. Jadi, membaca bagi mereka adalah suatu hal yang menyenangkan,” jelas pria yang berusia 31 tahun ini.

Tak hanya itu, Ubai juga meng adakan sesi grup memba-ca (reading group) yang diadakan tiap Selasa. Buku pilihannya ialah Max Havelaar karya penu-lis Belanda bernama Eduard Douwes Dekker.

Alasannya, buku itu dinilai

memiliki sejarah yang lekat dengan Kabupaten Lebak. Douwes Dekker yang memiliki nama pena Multatuli pernah menjadi Asisten Residen Lebak selama 84 hari di bawah pe-merintahan Hindia Belanda. Pengalaman itulah yang tu-rut membuka mata Multatuli tentang ketidakadilan sistem kolonialisme di Indonesia.

“Buku Max Havelaar meru-pakan buku pertama yang menjabarkan bobroknya kolo-nialisme. Bahkan Pramoedya Ananta Toer menjuluki buku ini sebagai buku yang membunuh kolonialisme,” ujar Ubai berse-mangat.

Dengan membaca buku Max Havelaar ini, ia berharap anak-anak bisa mengenal sejarah desa

mereka secara utuh, termasuk ketidakadilan yang mereka alami di zaman penjajahan.

Lebih jauh, Ubai ingin agar anak-anak bisa memiliki kele-bihan yang ada pada karakter Multatuli, yaitu kejujuran, se-mangat antikorupsi, dan ke-beranian untuk membela kaum yang tertindas.

Selain membaca, Ubai meng-asah kemampuan menulis anak-anak dengan menugasi mereka membuat catatan harian. Seta-hun sekali, Ubai mengajak anak-anak mengunjungi situs sejarah Multatuli dan bermain drama yang mengangkat kisah buku tersebut.

Semua kegiatan itu disam-but siswa dengan antusias, apalagi ketika pementasan

drama dengan menggunakan kerbau betulan sebagai bagian dari cerita.

Sayangnya, semangat anak-anak belajar sering harus ber-henti di tengah jalan. Setiap habis Lebaran banyak murid perempuan yang berhenti seko-lah karena menjadi pembantu rumah tangga.

Cita-cita jadi menteriMengajar dan melihat anak-

anak di desa sebenarnya juga nostalgia bagi Ubai. Masa ke-cilnya di Subang tidak jauh berbeda dengan yang dialami anak didiknya.

Pendidikan bukanlah hal yang diprioritaskan orangtua Ubai pada enam anaknya. Na-mun, Ubai kecil terus diizinkan

melanjutkan bersekolah karena unggul dalam akademis. Selama SMP dan SMA, Ubai juga selalu mendapat beasiswa penuh.

“Dulu itu cita-citanya justru mau jadi menteri pertanian, bu-kan jadi guru,” katanya meng-ingat-ingat.

Dengan bermodal nekat, Ubai lalu merantau ke Bandung un-tuk kuliah di IKIP Bandung dan akhirnya berhasil memberikan satu-satunya gelar sarjana pada keluarganya.

Dengan segala hal yang ia lakukan di Desa Sobang, Ubai tidak berharap muluk selain membuka pikiran para orang-tua akan pentingnya pendi-dikan. (M-5)

[email protected]