Quo vadis pendidikan indonesia

6
QUO VADIS PENDIDIKAN INDONESIA? (Refleksi Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2013)** Oleh: Denny Kodrat, S.Pd., M.Pd** Kisruh Ujian Nasional (UN) 2013 ditingkat SMA terang sekali mencoreng pemerintah SBY, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mendikbud M. Nuh akhirnya meminta maaf kepada publik terkait kekacauan penyelenggaraan UN dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2013 lalu, seraya memastikan akan memberi sanksi kepada pihak-pihak yang dianggap lalai (TVOne, 2/5/2013). UN yang menelan biaya sebesar 644.246.827.000 (baca: 644 milyar) dianggap sebagai UN terburuk sepanjang sejarah pendidikan Indonesia (Republika, 25/4/2013). Pertanyaan sederhana muncul, mengapa UN tetap dipertahankan pemerintah meski landasan konstitusi pelaksaan UN ini masih dipertanyakan. Pertanyaan seputar konsitusi UN inilah yang juga ditanyakan oleh sejumlah rektor, guru besar, dosen dan masyarakat pemerhati pendidikan kepada Mahkamah Konstitusi (Republika, 24/4/2013). Begitu pula, mengapa pemerintah tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan meski beberapa kebijakan sudah dilakukan. Meluruskan UN Ada pemahaman yang keliru di tengah publik dalam merespon UN. Bisa jadi hanya di Indonesia-lah sebuah ujian begitu disorot secara besar-besaran baik oleh setiap satuan pendidikan hingga media massa. Sangat mungkin juga, hanya di Indonesia-lah, biaya besar tersedot oleh prosesi UN ini. Pemahaman yang keliru di tengah publik dan mungkin dikalangan pendidik sendiri adalah

Transcript of Quo vadis pendidikan indonesia

Page 1: Quo vadis pendidikan indonesia

QUO VADIS PENDIDIKAN INDONESIA?

(Refleksi Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2013)** Oleh: Denny Kodrat, S.Pd., M.Pd**

Kisruh Ujian Nasional (UN) 2013 ditingkat SMA terang sekali mencoreng pemerintah SBY,

dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mendikbud M. Nuh akhirnya meminta maaf

kepada publik terkait kekacauan penyelenggaraan UN dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2

Mei 2013 lalu, seraya memastikan akan memberi sanksi kepada pihak-pihak yang dianggap lalai

(TVOne, 2/5/2013). UN yang menelan biaya sebesar 644.246.827.000 (baca: 644 milyar) dianggap

sebagai UN terburuk sepanjang sejarah pendidikan Indonesia (Republika, 25/4/2013). Pertanyaan

sederhana muncul, mengapa UN tetap dipertahankan pemerintah meski landasan konstitusi

pelaksaan UN ini masih dipertanyakan. Pertanyaan seputar konsitusi UN inilah yang juga ditanyakan

oleh sejumlah rektor, guru besar, dosen dan masyarakat pemerhati pendidikan kepada Mahkamah

Konstitusi (Republika, 24/4/2013). Begitu pula, mengapa pemerintah tidak mampu meningkatkan

kualitas pendidikan meski beberapa kebijakan sudah dilakukan.

Meluruskan UN Ada pemahaman yang keliru di tengah publik dalam merespon UN. Bisa jadi hanya di

Indonesia-lah sebuah ujian begitu disorot secara besar-besaran baik oleh setiap satuan pendidikan

hingga media massa. Sangat mungkin juga, hanya di Indonesia-lah, biaya besar tersedot oleh prosesi

UN ini. Pemahaman yang keliru di tengah publik dan mungkin dikalangan pendidik sendiri adalah

Page 2: Quo vadis pendidikan indonesia

dengan memosisikan UN sebagai standar kualitas keluaran (outpot) peserta didik, sehingga seluruh

elemen pendidik akhirnya mengejar/memprioritaskan hasil UN, dengan menomorduakan proses

pembelajaran itu sendiri. Begitupula dengan publik. Akibat respon berlebihan dari kalangan pendidik

terhadap UN, maka publik pun terpengaruh. Salah satunya adalah kekhawatiran tidak lulus, sehingga

tidak jarang publik pun pasrah dan mengikuti kebijakan sekolah dengan satu tujuan: yang penting

anak lulus UN.

Publik, siswa dan pendidik sejatinya merupakan korban dari kebijakan pemerintah. Terlebih

lagi pemerintah mendesain UN ini begitu rupa sehingga nampak sakral, baik dengan jumlah paket

yang terus bertambah, barcode, pengamanan hingga sanksi terhadap siapapun yang dianggap akan

menggagalkan UN. Padahal, UN tidaklah berbeda dengan ulangan harian, kuis, ujian tengah

semester, ulangan umum dan bentuk-bentuk evaluasi lainnya yang siswa sesungguhnya sudah

sangat terbiasa dengan itu. Jadi tidak ada yang istimewa sebenarnya. Bahkan, UN sudah kehilangan

relevansinya ketika dia tidak mampu mengukur kompetensi-kompetensi yang tidak (sempat)

diajarkan oleh guru dikarenakan berbagai macam hal, seperti fasilitas yang tidak memadai, bahkan

UN pun tidak mampu mengukur aspek afeksi dan psikomotor peserta didik. Evaluasi (assessment)

yang baik adalah saat ia mampu mengukur kompetensi-kompetensi yang sudah diajarkan

sebelumnya (Brown, 2004:23). Dari sinilah Brown (2004:98) menyatakan bahwa evaluasi yang baik

adalah evaluasi yang dilakukan oleh guru di dalam kelas, bukan oleh pihak-pihak lain. Ini dikarenakan

evaluasi menunjukkan siswa mana yang sudah dianggap mampu memahami materi yang diajarkan

dan siswa mana yang perlu dilakukan terapi (remedial). Tujuannya adalah sebagai upaya untuk

membantu siswa memahami materi yang diajarkan. Berdasarkan evaluasi ini pulalah guru secara

kreatif melakukan berbagai teknik-teknik pengajaran yang tujuannya untuk memudahkan siswa

memahami materi yang diajarkan. Dari sinilah sesungguhnya UN kehilangan fungsinya. Secara

faktual dan keilmuan dia tidak memiliki fungsi dalam meningkatkan kualitas pendidikan, selain

sekadar untuk meluluskan siswa dan untuk kepentingan proyek semata. Bahkan bila menggunakan

perpektif ilmu evaluasi (testing system) bila hasil yang diperoleh menunjukkan 100 persen berhasil

dengan rata-rata nilai 90, sehingga diperoleh kurva distribusi tidak normal, maka terdapat masalah

dalam sistem test tersebut. Tes yang baik adalah tes yang dapat membedakan kelompok atas,

kelompok menengah dan kelompok bawah (kurva normal), sebagaimana contoh kurva normal di

bawah ini:

Page 3: Quo vadis pendidikan indonesia

Oleh karenanya, karikatur di atas memberikan gambaran betapa berbahayanya kebijakan UN dalam

sistem pendidikan Indonesia. Dalam karikatur di atas digambarkan peserta didik dengan berbagai

macam karakteristiknya, kekhasaannya, kelebihannya dan potensi yang berbeda-beda. Guru ingin

menguji tingkat kecerdasan mereka dengan satu ujian yang sama (fair selection) yaitu dengan

memanjat pohon. Tentunya menyamakan bentuk ujian terhadap siswa yang memiliki perbedaan

karakteristik, potensi, untuk mendapat predikat cerdas adalah sesuatu yang menggelikan.

Dalam bentuk aplikasinya kita bisa dapatkan, siswa yang dianggap cerdas adalah siswa yang

pandai berhitung, mahir Fisika, Kimia dan menjadi mahasiswa perguruan tinggi ternama. Orang tua

pun nampak minder bila dia dikaruniai anak yang rajin ke masjid, rajin mengaji, memiliki ketertarikan

terhadap Islam namun tidak menonjol secara akademik di sekolahnya. Inilah salah satu penyebab

mengapa pendidikan Indonesia mengalami kemelut berkepanjangan dan UN adalah bagian dari

pembodohan!

Dalam konteks Khilafah Islam, negara nampaknya tidak perlu menerapkan UN yang

dipandang menghamburkan biaya dan tidak efesien sebagai cara untuk mengukur kualitas

pendidikan. Negara cukup memberikan kewenangan kepada para guru untuk menentukan layak

tidaknya peserta didik menyelesaikan suatu jenjang studi. Metode penilaiannya tentu saja

mempertimbangkan asas validitas dan asas reliabilitas. Teknik evaluasi bisa dengan cara lisan (Al-

Baghdadi, 1996:87) atau juga bisa dengan teknik tulisan. Tentu saja dengan paradigma bahwa

evaluasi ini semata-mata untuk Quality Control dan perbaikan sebuah proses pembelajaran.

Quo Vadis (Mau Kemana) Pendidikan Indonesia?

Dalam sebuah laporan investigasi yang dilakukan kantor berita mondial Al-Jazeerah,

program 101 East yang menyebut pendidikan Indonesia sebagai “one of the worst in the world”

(salah satu dari sistem pendidikan yang terburuk di dunia), menyusul hasil survey Pearson atas 40

negara di dunia dimana Indonesia menempati posisi terendah (Srie:2013).

Page 4: Quo vadis pendidikan indonesia

Padahal dengan anggaran pendidikan sebesar 331.8 Trilyun (Antara:2013), Indonesia

seharusnya mampu bersaing dengan negara-negara Asia-Pasifik. Saat ini beberapa langkah yang

ditempuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan baru sekadar “menghabiskan” anggaran

pendidikan, belum menyentuh persoalan mendasar. Sebagai ilustrasi misalnya, banyak sekali

lembaga-lembaga baik di bawah Kemendikbud maupun di luar Kemendikbud yang memiliki tugas

atau kepedulian terhadap mutu pendidikan. Sebut saja Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP),

Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi/Sekolah, hingga Puskur, Pusbuk, Puspendik, LPMP,

Balitbang dan lain-lain. Namun kebijakan-kebijakan yang diterapkan nampak tidak membumi dan

tidak berkelanjutan.

Negara dapat dikatakan gagal dalam menjadikan pendidikan sebagai hak dasar bagi

warganya. Kebijakan wajib belajar 9 tahun tetap tidak dinikmati oleh seluruh anak bangsa. Masih

banyak sekali anak-anak putus sekolah yang dibiarkan oleh negara. Sebagaimana pula kualitas

pendidikan yang tidak merata antardaerah. Bahkan di kota besar pun, kesenjangan kualitas diantara

sekolah terlihat jelas. Bahkan ironisnya, saat BAN Sekolah mengeluarkan nilai akreditasi A pada

beberapa sekolah, tetap saja kualitas satu sekolah berbeda jauh dengan sekolah yang lain, meski

memiliki nilai akreditasi yang sama. SMA Negeri 1 Sumedang yang merupakan sekolah terakreditasi

A tetap saja lebih baik kualitasnya, fasilitasnya dibandingkan SMA Negeri Darmaraja yang juga

terakreditasi A. Lalu jika demikian maka dapat kita katakan, akreditasi hanyalah untuk kepentingan

dokumen an sich, belum menyentuh kualitas sesungguhnya.

Page 5: Quo vadis pendidikan indonesia

Belum lagi kita melihat sekolah-sekolah yang berada di Timur Indonesia, dengan kualitas

seadanya dan tetap terbelakang. Padahal pendidikan merupakan upaya untuk membangun

peradaban suatu bangsa untuk melawan kemiskinan dan kebodohan. Rasa aman, nyaman dan

senang yang seharusnya wajib melakat dalam diri peserta didik saat mereka bersekolah hanyalah

mimpi mahal yang tidak pernah terwujud, sebaliknya mereka harus bertarung dengan jembatan

yang hampir roboh, mempertaruhkan nyawa dan kiloan meter untuk mencapai gedung sekolah.

Belum lagi saat belajar, mereka didera rasa lapar, panas dan sejumlah ketidaknyamanan lainnya.

Bagaimana mungkin tujuan ideal pendidikan dapat tercapai bila prasyarat untuk mencapai itu tidak

pernah terwujud.

Kebijakan pemerintah atas tenaga pengajar pun dipandang masih serba tanggung.

Tunjangan profesi guru (baca: sertifikasi) hanya menjadi kebijakan artifisial kepada publik yang

secara faktual jauh panggang dari api. Bisa dibayangkan, uang tunjangan yang besarnya satu gaji ini

tidak jelas kapan cairnya dan tidak pernah diterima utuh oleh pendidik. Setiap tahunnya selalu

kurang 2, 3 hingga 4 bulan. Otomatis kebijakan yang awalnya ditujukan untuk peningkatan

kesejahteraan guru, sama sekali tidak mengalami civil effect. Termasuk pula program peningkatan

kualitas tenaga pendidik dan kependidikannya yang mandeg dan tidak berkelanjutan. Kalaupun ada,

lagi-lagi, hanya untuk kepentingan penyerapan anggaran, bukan yang lainnya. Sehingga cita-cita

pendidikan nasional sebagai pembentukan karakter (character building) banyak terganggu oleh

kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan tidak memiliki prioritas. Sebaliknya, angka korupsi

semakin menjadi diakibatkan besarnya anggaran pendidikan. Ironis!

Tenaga pengajar pun seringkali bersembunyi dibalik “ketidakberdayaan penghasilan” saat

mengajarkan ilmu kepada anak didiknya. Pembelajaran yang menjenuhkan, tidak bernilai dan miskin

kreativitas berbanding lurus dengan penghasilan yang didapat. Akibatnya muncul Contoh nyata ini,

bila siswa atau bahkan kita diminta menggambar pemandangan, maka gambar yang muncul adalah

sepasang gunung dengan matahari di tengahnya. Begitupula, bila diminta membuat kalimat maka

kalimat: “Ini Budi, Ini ibu Budi” akan muncul secara spontan. Ini contoh ketidakkreatifan yang nyata.

Tidak perlu muluk untuk meningkat kualitas pendidikan, asalkan pemerintah memiliki visi

dan misi jelas yang ingin dicapai. Selama visi-misi yang dibangun hanya sekadar melanggengkan

paradigma materialistis, mindset yang keluar dari agama dan menjadikan pundi-pundi uang sebagai

tujuan yang harus dicapai siswa, maka kualitas pendidikan yang baik tidak akan pernah dinikmati di

negeri ini.

Sebagaimana Rasulullah Saw menetapkan kebijakan yang tidak muluk, tapi membumi,

dengan membebaskan tawanan perang Badar yang mau mengajarkan baca tulis kepada penduduk

Madinah. Beliau Saw pun menanamkan bahwa mencari ilmu (belajar) tidak berbatas waktu dan usia

Page 6: Quo vadis pendidikan indonesia

(pendidikan sepanjang hayat). Sehingga hal ini menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat

yang belajar “Learning community” yang menghargai ilmu. Demikian pula kebijakan para khalifah

setelah beliau yang senantiasa memosisikan “mencari ilmu” sebagai satu perbuatan yang sangat

mulia. Wallahu’alam bishawwab

Referensi: Buku Al Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil: Al Izzah Brown, H. Douglas. 2004. Language Assessment:Principles and Classroom Practice. San Fransisco: Longman Artikel Presiden: Anggaran Pendidikan 2013 Direncanakan Rp. 331.8 Triliun. Tersedia di http//antaranews.com/328083/presiden-anggaran-pendidikan-20130-direncanakan-rp3318- triliun. Diakses 4 Mei 2013. Landasan Konstitusi UN Dipertanyakan. Republika, 24 April 2013. Tersedia di http//republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/24/mlr71q-landasan-konstitusi-un -dipertanyakan. Diakses 4 Mei 2013 BPK Audit Anggaran UN 2013 Pekan Depan, Republika, 25 April 2013. Tersedia di http//republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/25/mltOus-bpk-audit-anggaran-un-2013 -pekan-depan. Diakses 3 Mei 2013. Ketika Aljazeera Ikut Mengulas Mengapa. Tersedia di http://srie.org/2013/02/ketika- aljazeera-ikut-mengulas.html. Tersedia pula dari situs aslinya http://aljazeera.co,/programmes/101east/2013/02/2013219652571544992.html. diakses 1 Mei 2013

*Makalah ini disampaikan dalam Halqah Syahriah, Sabtu 11 Mei 2013 **Penulis adalah guru dan mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Pendidikan