QAZA PERSPEKTIF HADIS (PENDEKATAN PEMAHAMAN HADIS YUSUF AL...
Transcript of QAZA PERSPEKTIF HADIS (PENDEKATAN PEMAHAMAN HADIS YUSUF AL...
QAZA’ PERSPEKTIF HADIS
(PENDEKATAN PEMAHAMAN HADIS YUSUF
AL-QARDHAWI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Muhammad Abdullah
NIM : 1111034000052
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ii
QAZA’ PERSPEKTIF HADIS
(PENDEKATAN PEMAHAMAN HADIS YUSUF AL
QHARDHAWI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh
Muhammad Abdullah
1111034000052
Pembimbing
Muhammad Zuhdi, M. Ag.
NIP : 19650817 200003 1 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI
Skripsi yang QAZA’ PERSPEKTIF HADIS (PENDEKATAN
PEMAHAMAN HADIS YUSUF AL QHARDHAWI) telah diujikan dalam sidang
munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29
Maret 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Ushuluddin (S. Ag) pada Program Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir.
Jakarta, 29 Maret 2017
Panitia Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP. 19711003 199903 2 001
Sekretaris
Dra. Banun Binaningrum, M. Pd
NIP. 19680618 199903 2 001
Anggota
Penguji I
Dr. M. Isa HA. Salam, M.Ag
NIP. 19531231 198603 1 010
Penguji II
Hasanuddin Sinaga, MA
NIP. 19701115 199703 1 002
Pembimbing
Muhammad Zuhdi, M.Ag
NIP : 19650817 200003 1 001
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Nama : Muhammad Abdullah
NIM : 1111034000052
Fakultas/Jurusan : Tafsir-Hadis
Judul Skripsi : QAZA’ PERSPEKTIF HADIS (PENDEKATAN
PEMAHAMAN HADIS YUSUF AL QHARDHAWI)
Dengan tanggung jawab yang besar terhadap penmgembangan keilmuan penulis
menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan guna memenuhi
persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas Islam Negri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah
dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri
(UIN) Syarif Hidiyatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi saya ini bukan murni hasil karya
saya, maka sya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam
Negri ( UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta , 11 Februari 2017
Muhammad Abdullah
v
Motto
a.
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya
Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. al-Nisā[4]: 82)
Kuncinya adalah hati. Hati lebih berfungsi untuk merasakan dan
memahami keindahan al-Qur’an. Sedangkan pikiran (otak), lebih
berfungsi untuk berpikir, mengingat dan meng analisa. Pikiran atau
(otak) ada di dalam kepala, sedangkan hati ada di dalam dada.
Bacalah dengan (menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui. (QS.
Al-‘Alaq: 1-5)
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Aku persembahkan cinta dan sayangku kepada Almarhum Ayah (Abdul Hamid), dan ibunda tercinta (Saiyah). Yang telah memberikan Suport serta Do’a, dan telah mendidikku sedari kecil.
اللهم اغفرلي ذنوبي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا
Kakak-kakak yang telah menjadi motivasi dan inspirasi dan tiada henti memberikan dukungan do’anya untuk aku. “tanpa keluarga, manusia, sendiri di dunia, gemetar dalam dingin.”
Terimakasihku juga aku persembahkan kepada sahabat-sahabatku yang senantiasa menjadi penyemangat dan menemani disetiap hariku. “karena sahabat bagiku adaah salah satu sumber kebahagiaan dikala daku merasa gunda dan lara”
Ya Allah, dengan segala kerendahan hati, kami mohon muliakanlah mereka yang telah membantu saya selama masa
study, berilah ketenangan hati pada mereka, murahkan rizki dan panjangkan serta berkahkanlah usia mereka, sediakanlah tempat
untuk mereka di surga-Mu yaa Rab.. Amin.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
AKSARA ARAB DAN PADANANNYA DALAM AKSARA LATIN
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini disesuaikan dengan buku
pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011-2012.
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Qi ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
viii
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ء
y Ye ي
Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
_____ a fathah
_____ i Kasrah
_____ u dammah
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i _____ ي
au a dan u _____ و
Vocal Panjang (Madd)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a a dengan topi di atas ____ا
ي____ I i dengan topi di atas
u u dengan topi di atas ____و
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsyiah maupun
huruf qomariyyah, contoh: al-rija l, al-diwan bukan ad-diwan
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ___ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
ix
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-darurah
melainkan al-darurah, demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (liat
contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (liat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (liat contoh
3).
Contoh:
No
Kata Arab
ALih Aksara
طريقة 1
tariqah
امجلعة الإسالمية 2
al-jami’ah al-islamiyyah
وحدة الوجود 3
Wahdat al-wujud
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan yang disempurnakan (EYD) bahasa indonesia, antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan , jika nama diri didahulukan oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital teteap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
x
awal atau kata sandangnya. (contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-
Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Cara Penulisan Kata
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustadzu ذهباألستاذ
tsabata al-ajru ث بتاألجر
al-h احلركةالعصريةarakah al-‘asriyyah
الهاالالله asyhadu an la ilaha illa Allah أشهدأنال
Maulana Malik al-Salih موالناملكالصالح
yu’atsirukum Allah ي ؤث ركمالله
ظاهرالعقلية
al-mazahir al-‘aqliyyah امل
al-ayat al-kauniyyah اآليةالكونية
حظوراة
al-darurat tubihu al-mahzurat الضرورةتبيحامل
xi
ABSTRAK
Qaza’ Perspektif Hadis (Pendekatan Pemahaman Hadis Yusuf Al Qhardhawi)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Islam sebagai agama terbesar didunia memiliki peran penting dalam menjaga
moral manusia. Ia diharapkan mampu memberikan peran aktif dalam memajukan
peradaban dunia. Muhammad sebagai pembawanya beliau hanya meninggalkan dua
hal bagi umatnya yaitu al-Qur’an dan hadis. Gaya hidup manusia itu berubah ubah
mengikuti perkembangan zaman, mulai dari gaya berpakaian, berpenampilan,
terutama gaya rambut yang sedang tren pada zaman sekarang. Rambut sebagai
mahkota bagi manusia kebanyakan masyarakat memperindah rambutnya demi
menunjang penampilannya. di zaman sekarang muncul yang namanya gaya rambut
qaza’ atau mencukur sebagian rambut mencukur sisi kanan dan sisi kirinya lalu
meninggalkan bagian atas tengah dan belakanya (mohak). banyak ulama yang
melarang perbuatan tersebut mereka bersandar pada hadis nabi yang isinya melarang
melakukan qaza’’, sebagaian besar tokoh tokoh muslim melarang hal tersebut yakni
karna perbuatan tersebut memperburuk penampilan. Qaza’ boleh dilakukan apabila
ada udzur tertentu seperti untuk pengobatan dan sebagainya.
Kata kunci: Hadis, Qaza’’, Metode Pemahaman Yusuf al-Qardhawi
xii
KATA PENGANTAR
Assalāmu‘alaykum waraḥmatullāh wabarakātuh
Alḥamdulillāh, puji syukur penulis syukur penulis haturkan kepada Allah
SWT. Tuhan yang senantiasa membimbing dan mengarahkan umat manusia pada
kebenaran yang hakiki. Dialah yang senantiasa memberikan kekuatan , kesabaran
dan jalan keluar pada penulis dalam merampungkan tugas akhir skripsi ini.
Salawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada baginda Nabi
Muhammad saw. Beliaulah teladan sempurna bagi seluruh umat manusia
menjalankan kehidupan mereka dimanapun dan kapanpun.
Penulis menyadari betul bahwaskripsi yang berjudul, QAZA’ PERSPEKTIF
HADIS (PENDEKATAN PEMAHAMAN HADIS YUSUF AL QARDHAWI)
Tidak akan rampung dengan daya dan upaya dari penulis sendiri. Terdapat beberapa
sosok dan kalangan yang ikut terlibat dalam penyusunan skrispsi ini baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karna itu, dengan segala kerendahan hati
penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede
Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Negeri Syarif Hidayatullah
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku dekan Fakultas Ushuluddin UIN
syarif Hidayatullah
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadits, sekaligus
dosen pada mata kuliah Praktikum Penulisan Karya Ilmiyah pada semester VII
xiii
4. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd Sebagai sekretaris jurusan tafsir hadits yang
selalu melayani mahasiswa termasuk penulis dalam urusan surat menyurat,yang
juga termasuk dosen bahasa inggris pada semester I dan Dosen pembimbing
KKN.
5. Bapak Muhammad Zuhdi, M,Ag., selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan serta kontribusi bermakna dalam pengerjaan skripsi ini. Dari beliau
penulis banyak belajar tentang semangat untuk menuntut ilmu, kesabaran dalam
menjalani prosesnya serta keikhlasan dengan mengamalkannya. Haltersebut
tentunya akan penulis jadikan modal yang sangat berharga dalam perjlanan karir
akademik penulis kedepannya.
6. Seluruh dosen, staf dan pegawai Ushuluddin yang menjadi inspirasi bagi penulis
untuk terus meningkatkan kualitas pemahaman serta pengamalan ilmu yang
penulis dapat selama menjalani proses perkuliahan.
7. Orang tua penulis Abdul Hamid (Alm) dan Saiyah dua figure yang selalu hadir
dalam kehidupan penulis, pemberi nasihat dan semangat sekaligus menjadi
tempat berbagi suka-duka kehidupan. Dari mereka penulos belajar pentingnya
arti sebuah perjuangan dalam mencapai sesuatu yang diinginkan, karena lewat
proses perjuangan tersebutlah sesuatu yang didapat akan menjadi terasa sangat
bernilai.
8. Guru penulis, Ustadz Husnul Aqib Amin, Lc, selaku pimpinan ponpes
Jam’iyyah Islamiyyah sekaligus pihak yang sangat berjasa dalam mengantarkan
penulis membuka cakrawala kelimuan islam yang begitu luas.
9. Guru-Guru dari Yayasan pendikian Jam’iyyah Islamiyyah yang selalu sabar
membimbing penulis dalam mengawali perjalan akademik penulis: Abah Husnul
xiv
Aqib Amin, Ustadz Salim Abdullah, Ustadz Nurul Huda, Bapak Masyriki
Ridwan, Ustadz.Bisyri Mustafa, Ustadz. Fathullah al kaf, Ustadz Syatiri
Abdullah beserta yang lainnya yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu
sekalipun tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap Kalian semua.
10. Teman-teman kelas TH Angkatan 2011: Reva Hudan Lisalam, Muhammad
Ainul Yaqin, Abdurrahman Taufiq, Dzulfikri, Ilham Syaragih, Rizky Maulana,
Wandi Irawan, Shoqiful Munir, Acep Qomaruddin, Ridhan Fauzi, Saipul Fajar,
Hilman Mulyana, Basit Zeinurahman, Mahmudi Aziz dan lain-lain. obrolan
Hingga perdebatan bersama kalian, baik dikelas ataupun di basement, dengan
buku ataupun dengan secangkir minuman hangat, akan selalu menjadi memori
indah yang tak akan pernah penuls lupakan dalam hidup penulis
Kepada mereka semua penulis tidak bisa membalas apa-apa kecuali ungkapan
terimakasih yang sedalam-dalamnya serta do’a yang tulus kepada Allah swt,
agar semua kebaikannya dibalas dengan pahala yang setimpal, jazākumullāh
khairan katsīra, serta diberkati kehidupan yang penuh bahagia, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Semoga apa yang telah penulis lakukan, berupa
penelitian ini bermanfaat bagi diri sendiri serta masyarakat umum. Amin
Jakarta, 3 Mei 2016
Muhammad Abdullah
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN. .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................... iv
MOTTO ............................................................................................................. v
HALAMAN PEREMBAHAN .......................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI. ..................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR. ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah .................................. 4
C. Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian ................................. 5
D. Kajian Pustaka ........................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 7
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG QOZA’
A. Pengertian Qoza’(Mencukur Sebagian Rambut) ...................... 9
B. Takhrij Hadis Qaza’ .................................................................. 13
C. Syarah Hadis ............................................................................. 16
D. Pendapat Para Ulama Mengenai Qaza’..................................... 19
BAB III METODE PEMAHAMAN HADIS YUSUF QARDHAWI
A. Biografi Yusuf Qardhawi.......................................................... 21
B. Metode Pemahaman Hadis Yusuf Qardhawi ……………….. 24
1. Memahami Hadis Sesuai Petunjuk Al-Qur’an …………... 24
2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema ………………… 27.
3. Mentarjih (membandingkan) Hadis yang Bertentangan .... 29
4. Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Kondisi, dan
Tujuan……………………………………………………... 32
5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-Ubah dengan Tujuan
yang Tetap ………………………………………............... 33
6. Membedakan antara Hakekat dan Majaz dalam Memahami
Hadis ……………………………………………………... 34
BAB IV ANALISIS QAZA’ DENGAN PENDEKATAN PEMAHAMAN
HADIS YUSUF AL QHARDHAWI
A. Hadis-Hadis yang Setema dengan Hadis Qoza’........................ 36
B. Pemahaman Hadis Qoza’ Berdasarkan Sebab dan Tujuan Turun
Hadis (asbab al-wurud) ............................................................ 39
C. Membedakan sarana yang berubah-ubah dengan tujuan yang
tetap............................................................................................ 44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 49
xvi
B. Saran .......................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 51
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai kaidah dan ilmu hadis yang telah diciptakan oleh ulama hadis telah
dituangkan dalam berbagai kitab untuk kepentingan penelitian hadis. Hal itu
terjadi pada pertengahan abad ke-4 H pada masa kekuasaan Dinasti Abasiyah
yang dipelopori oleh Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi dengan karyanya yang
monumental dalam bidang hadis yaitu Al-Muhaddîts Fashil Baina ar-Râwi wa al-
Wâ’i, yang pada masa berikutnya diikuti para tokoh seperti Imam al-Hakim an-
Naysaburi, al-Khâtib al-Baghdâdi al-Qadhi Iyadh. Jasa keilmuan para ulama di
atas patutlah diberi pengargaan karena telah mampu membangun pondasi awal
tentang Ulûm al-hadîts.1
Dengan telah terjadinya berbagai pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan
penelitian hadis sangatlah penting. Demi menyelamatkan hadis di tengah-tengah
berkecamuknya pembuatan hadis palsu. Hal itu bertujuan untuk meneliti ke-sahîh-
an sanad dan matanhadis. Sedangkan untuk kepentingan penelitian tersebut
disusunlah kaidah ke-sahîh-an sanadhadis sehingga ditemukanlah hadis yang
mempunyai taraf sahîh, hasan dan daîf. Dengan demikian banyak hadis yang
mardud (tertolak) karena cacat pada matan dan sanad-nya.Untuk itulah, maka
penelitian terhadap suatu hadis guna mengetahui tingkat validitasnya sangat
signifikan, agar suatu hadis dapat diketahui apakah dapat dijadikan hujjah atau
tidak dalam menetapkan hukum. Langkah yang harus ditempuh adalah penelitian
1Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik
sampai Modern.(Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 36
1
2
ulang terhadap hadis-hadis terutama dari segi sanad-nya yang ditempuh dengan
metode takhrij.2
Di zaman yang sudah modern ini manusia ingin berpenampilan unik,
mengikuti trend/fashion, dari mulai berpakain, tecnologi, dan juga gaya rambut.
Islam memperbolehkan bahkan menuntut seseorang muslim untuk berpenampilan
yang bagus. Elok dipandang, hidup teratur dan rapi menikmati apa yang di
ciptakan allah.islam menentang sikap berlebih- lebihan dalam berpenampilan,
seperti memperburuk penampialan. zaman sekarang ini berbagai feshion sudah
berkembang di negara kita khususnya untuk gaya rambut, banyak orang sekarang
mencukur rambut sesuai keinginannya atau ingin mengikuti idolanya. Model
rambut yang paling santer atau yang meledak di negara kita adalah gaya rambut
mohawak. Gaya rambut ini mencukur di bagian sebelah kiri dan kanan lalu
meninggalkannya di bagian tengah. Ada juga yang mencukur rambut sebagian
dengan cara terpisah-pisah atau seperti garis-garis yang dinamakan skin, didalam
islam potongan rambut tersebut dinamanakan Qaza’.
Qaza’merupakan perbuatan yang dilarang oleh \rosul seperti diterangkan
dalam hadis berikut :
Dalam kitab Shahih Muslim Hadis No. 5465
ريج قال أخب رني عحب يدح اللهي بنح حف د قال أخب رني ملد قال أخب رني ابنح جح ثني محم ص أن عحمر بن حد
ي اللهح ع ابن عحمر رضي مانافيع أخب رهح عن نافيع مول عبدي اللهي أنهح سي هح قحولح ي عن ول اللهي : عتح رسح سي
هى عن القزعي قال عحب يدح اللهي : ق حلتح وما القزعح ؟ فأشار لنا عحب يدح اللهي قال: صلى اللهح عليهي وسلم ي ن
نا فأشا نا وههح نا شعرة وههح وت رك ههح هي. قييل إيذا حلق الصبي يتيهي وجانيب رأسي ر لنا عحب يدح اللهي إيل ناصي
2Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitiian ilmu ilmu Ushuluddin, ( Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2000), h. 27.
3
قال عحب يدح اللهي :وعاودتح هح ف قال: أما القحصةح ليعحب يدياللهي: فالارييةح والغحلمح قال: ل أدريي هكذا قال الصبي
رحهح وكذليك شق والقفا ليلغحلمي فل هي غي يتيهي شعر وليس في رأسي رك بيناصي بأس بييما ولكين القزع أن ي حت
هي هذا وهذا رأسي
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad dia berkata; telah
mengabarkan kepadaku Makhlad dia berkata; telah mengabarkan kepadaku
Ibnu Juraij dia berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Hafsh
bahwa Umar bin Nafi' mengabarkan kepadanya dari Nafi' bekas budak
Abdullah pernah mendengar Ibnu Umar radliallahu 'anhuma berkata; saya
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari qaza'
(mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain)."
'Ubaidullah mengatakan; "saya bertanya; "Apakah qaza' itu" 'Ubaidullah lalu
mengisyaratkan kepada kami sambil mengatakan; "Jika rambut anak kecil
dicukur, lalu membiarkan sebagian yang ini, yang ini dan yang ini."
'Ubaidullah menunjukkan kepada kami pada ubun-ubun dan samping (kanan
dan kiri) kepalanya." Ditanyakan kepada 'Ubaidullah; "Apakah hal itu
berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan?" dia menjawab; "Saya tidak
tahu yang seperti ini." Penanya bertanya lagi; "Apakah khusus untuk anak
laki-laki." 'Ubaidullah mengatakan (kepada syaikhnya); "Pertanyaan itu
pernah juga aku ulangi (kepada syaikhku), lalu dia berkata; "Dan tidak
mengapa (membiarkan) rambut depan kepala dan rambut tengkuk bagi anak-
anak, akan tetapi maksud qaza' adalah membiarkan sebagian rambut yang
ada di ubun-ubun, hingga di kepala hanya tersisa itu, begitu pula dengan
memangkas rambut kepalanya ini dan ini”.
Dan juga dalam kitab shahih Bukhari Hadis No. 5466
ثنا ثنا إبراهيم بن مسلم حد عبد حد عبد بن المثنى بن للا ثنا مالك بن أنس بن للا حد
عبد رسول أن عمر ابن عن دينار بن للا صلى للا القزع عن نهى وسلم عليه للا
“Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Abdullah bin Anas bin Malik telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang qaza' (mencukur
sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain)”.
Imam al-Nawawi berpendapat yaitu mencukur sebagian rambut kepala anak
dari bagian mana saja. Sebagian ulama mengatakan mencukur beberapa bagian
4
secara terpisah pisah.3
Dari hadis diatas dapat difahami pelarangan terhadap
perbuatan qaza’, adalah merusak dari penampilan seseorang.
Menurut ibn Abidin qaza’ adalah mencukur sebagian rambut dan
meninggalkan sebagian yang lain dan bagian bagian yang lain kira-kira tiga jari.4.
Dari pendapat ulama diatas terdapat perbendaan pendapat, berangkat dari ini
semua penulis ingin memahami hadis tentang mencukur sebagian rambut (qaza’)
dengan melihat konteks hadis tersebut di keluarkan dan di relevansikan terhadap
masa sekarang dengan menggunakan metode Yusuf al-Qaradhawi.
Adapun untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar dari metode yusuf al
qaradhawi dalam bukunya yang berjudul bagaimana memahami sunnah nabi
Muhammad saw., beliau membagi menjadi tiga metode. yaitu pertama,
Mengkorelaskian dengan al-Qur’an, kedua, mengumpulkan hadishadis yang
setema, ketiga, memahami hadis menurut sebab kondisi dan tujuannya.
B. Identifikasi, Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi masalah
Pemasalahan yang mungkin diteliti dari judul yang penulis tetapkan dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut:
A. Bagaimana tinjauan hadis tentang Qaza’ (mencukur sebagian rambut dan
meninggalkan sebagian) ?
B. Bagaimana Hukum Qaza’ ?
C. Bagaimana pandangan Islam tentang Qaza’ ?
2. Pembatasan Masalah
3
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari 28: Shahih Bukhori, penrj, Amiruddin,(
Jakarta:Pustaka Azzam,2008).h.832. 4Ibn Abidin, Radd al Muhtar ‘ala al Dur al Muhtar, (Beirut: Dar Ihya al Turatsal-Arabi,
1987), vol 5.h.261.
5
Berangkat dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas,
maka diperlukanlah satu pembahasan masalah guna menjaga agar penelitian ini
fokus pada pembahasan dan lebih terarah, adapun dalam penelitian ini penulis
hanya membatasi pada penelitian mengenai hadis Nabi yang mengungkap dan
membicarakan tentang qaza’. Penulis sekiranya perlu membatasi sumber rujukan
kitab matan yang akan dipakai, hadis hadis yang akan penulis kaji hanya yang
termasuk dalam al-Kutub al-Sittah dan dalam kitab fathul baari syarah sohih
bukhori. Yang penulis angkat yakni sesuai dengan pemahaman metode yusuf al
qardhawi.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah, maka penulis akan merumuskan masalah yang
akan dilakukan dalam penilitian ini, adapun rumusan masalahnya adalah “
bagaimana pemahaman hadis tentang qaza’ menurut metode yusuf al
qardhawi?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari kepustakaan hadis tentang tasyabbuh ini adalah :.
1. Menambah khazanah keilmuan didalam bidang Hadis
2. Mengetahui pemahaman hadis tentang qaza.
3. Penelitian ini diharapkan mampu mampu memberikan sumbangsih dalam
kajian islam khususnya dalam kajian hadis. Dan bermanfaat khususnya bagi
penulis, umumnya bagi masyarakat luas.
D. Metode penelitian
6
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik library research
(studi kepustakaan), yaitu menghimpun data-data dengan merujuk pada kitab
kitab syarah hadis.
Data primer yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
kitab Fathul Baari, kitab yusuf al qardhawi yakni kitab bagaimana memahami
sunnah nabi. Disamping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program
CD Lidwa yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis.
Adapun sumber sekunder dalam kajian ini, penulis merujuk pada kitab
kitab hadis, artikel, serta buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan,
sebagai pengayaan materi yang dibahas dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pemahaman hadis
Yusuf al Qardhawi
a. Analisi data
Adapun penelitian ini akan menganalisis sebagai berikut:
Penelitian ini mengkaji tentang tasyabbuh yang terdapat didalam hadis-
hadis nabi. Adapun metode yang di gunakan dalam menganalisa data yang di
peroleh dari penelitian pustaka adalah dengan deskriftif analisis.
Deskriptif analitis adalah penelitian yang menuturkan, menganalisis,
serta mengklarifikasikan yang pelaksanannya tidak hanya terbatas pada
pengumpulan data, tetapi meluputi analisis dan interpretasi data.5 Analisis ialah
mengelompokan dan membut suatu urutan, memanipulasi serta
menyingkatkan data sehingga mudah untuk di baca.6 Dengan pendekatan ini
5Winano Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, (Bandung:
Tarsito, 1994), h. 45. 6Moh. Nazir, Ph.D, Metode Penelitian, (Bogor: Ghia Indonesia, 2011), h. 385
7
diharapkan nantinya akan memperoleh pemahaman yang tepat terhadap data
data yang telah di peroleh. .
E. Kajian Pustaka
Dengan adanya uraian singkat dari hasil penelitian yang di lakukan
sebelumnya tentang masalah sejenis, sehingga dapat di ketahui secara jelas posisi
dan kontribusi peneliti adalah pengertian dari telaah pustaka. Untuk
menghasilakn suatu penelitian yang komperhensif dan tidak adanya pengulangan
dalam penelitian maka sebelumnya diadakan pra-penelitian terhadap objek
penelitiannya. Dalam pembahasan ini penulis sendiri belum menemukan skripsi
khusuhnya di Fakultas Ushuludin Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang membahas tentang qaza’.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini di perlukan sistematika pembahasan yang bertujuan
untuk memudahkan dalam mengolah data.Di samping itu sistematikapembahasan
juga berfungsi untuk mengatur kedisiplinan dalam sebuah penelitian, agar
penelitian dapat diselesaikan dengan baik.
Bab Pertama, berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah
penulisan skripsi, identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah yang diangkat,
tujuan penelitian, serta metode penelitian yang penulis terapkan dalam penelitian
ini, kajian pustaka dan juga sistematika penulisan.
Bab Kedua, Berisi pengertian qaza, qaza’ sebagai gaya rambut, Takhrij
Hadis, syarah hadis dan Pendapat para ulama mengenai qaza’.
Bab ketiga, berisi biografi yusuf al Qardhawi dan metode pemahaman
hadis yusuf al Qardhawi.
8
Bab Keempat, berisi Penerapan metode yusuf al qardhawi diantaranya “
hadis-hadis yang setema dengan hadis qaza’ dan pemahaman hadis qaza’
berdasarkan sebab dan turunnya hadis dan membedakan sarana yang berubah-
ubah dengan tujuan yang tetap.
Bab kelima, berupa penutup, yang meliputi kesimpulan yang berisi
jawaban atas pertanyaan yang telah disebutkan dalam perumusan masalah, dan
juga saran, berisi saran saran seputar isi serta esensi terhadap hasil penelitian yang
di tulis.
9
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG QAZA’
A. Pengertian Qaza’ (mencukur sebagian rambut)
Rambut adalah mahkota untuk manusia semua manusia pada umumnya
mempunyai rambut. Jenis rambut juga bermacam-macam ada rambut lurus dan
rambut keriting/ikal, warnanyapun beragam ada warna hitam, warna coklat
kemerahan, warna putih tergantung tempatnya masing-masing. Model rambut juga
beragam mulai dari rambut gondrong sampai botak. Di dunia pendidikan dan
pekerjaanpun mempunyai kriteria mode rambut dari mulai anak sekolah hingga
pegawai kantor. Di sekolah tidak diperbolehkan berambut gondrong sama halnya
dikantor rambut harus terlihat rapi. Di bidang kemiliteran dan kepolisian juga
memiliki mode rambut yang berbeda, yang mempunyai ciri khas tersendiri.
Dizaman yang berkembang ini khususnya di indonesia telah banyak
bermunculan mode/gaya rambut dan mode rambut tersebut kebanyakan masuk dari
gaya barat yang model rambutnya tidak beraturan contohnya seperti rambut mohawk,
skin, sasak, imo dan lain-lain. Didalam islam ada yang namanya qaza’ yaitu rambut
yang dicukur sebagian dan ditinggalkan sebagian dan qaza’ itu di larang oleh rasul.
Dari pengertian qaza’ tersebut jika dikaitkan dengan model rambut zaman sekarang
itu terkait. Tetapi masih banyak orang yang memakai model rambut tersebut padahal
sudah jelas pelarangnnya dalam sebuah hadis rasul yang di riwayatkan oleh Imam
Bukhari melalui jalur umar bin nafi’ sebagai berikut :
10
ريج قال أخب رني عحب يدح اللهي بنح حف د قال أخب رني ملد قال أخب رني ابنح جح ثني محم ص أن عحمر بن حد
ما ي هح ي اللهح عن ع ابن عحمر رضي ول اللهي صلى :قحولح نافيع أخب رهح عن نافيع مول عبدي اللهي أنهح سي عتح رسح سي
هى عن القزعي قال عحب يدح اللهي : ق حلتح وما القزعح ؟ فأشار لنا عحب يدح اللهي قال: إيذا حلق اللهح عليهي وسلم ي ن
نا فأشا نا وههح نا شعرة وههح وت رك ههح هي. قييل ليعحب يدياللهي: الصبي يتيهي وجانيب رأسي ر لنا عحب يدح اللهي إيل ناصي
قال عحب يدح اللهي :وعاودتحهح ف قال: أما بي القحصةح والقفا فالارييةح والغحلمح قال: ل أدريي هكذا قال الص
هي ليلغحلمي فل رحهح وكذليك شق رأسي هي غي يتيهي شعر وليس في رأسي رك بيناصي هذا بأس بييما ولكين القزع أن ي حت
وهذا
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad dia berkata; telah mengabarkan
kepadaku Makhlad dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu Juraij dia
berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Hafsh bahwa Umar bin Nafi'
mengabarkan kepadanya dari Nafi' bekas budak Abdullah pernah mendengar Ibnu
Umar radliallahu 'anhuma berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang dari qaza' (mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan
sebagian yang lain)." 'Ubaidullah mengatakan; "saya bertanya; "Apakah qaza' itu"
'Ubaidullah lalu mengisyaratkan kepada kami sambil mengatakan; "Jika rambut
anak kecil dicukur, lalu membiarkan sebagian yang ini, yang ini dan yang ini."
'Ubaidullah menunjukkan kepada kami pada ubun-ubun dan samping (kanan dan
kiri) kepalanya." Ditanyakan kepada 'Ubaidullah; "Apakah hal itu berlaku untuk
anak laki-laki dan perempuan?" dia menjawab; "Saya tidak tahu yang seperti ini."
Penanya bertanya lagi; "Apakah khusus untuk anak laki-laki." 'Ubaidullah
mengatakan (kepada syaikhnya); "Pertanyaan itu pernah juga aku ulangi (kepada
syaikhku), lalu dia berkata; "Dan tidak mengapa (membiarkan) rambut depan kepala
dan rambut tengkuk bagi anak-anak, akan tetapi maksud qaza' adalah membiarkan
sebagian rambut yang ada di ubun-ubun, hingga di kepala hanya tersisa itu, begitu
pula dengan memangkas rambut kepalanya ini dan ini”.
Kata qaza’ bentuk jamak dari kata qaza’ah artinya segumpal awan. Rambut
kepala bila sebagiannya di cukur dan sebagiannya tidak dinamakan qaza’, karena
11
diserupakan dengan gumpalan gumpalan awan yang terpisah pisah. 1
menurut
ubaidillah bin hafs beliau mengisyaratkan qaza’ adalah apabila seorang anak dicikur
dan ditinggalkan rambutnya ditempat ini disini dan disini dari pada ubun-ubunnya
dan kedua sisi kepalanya.2
Sedangkan menurut istilah Qaza’ yaitu tindakan mencukur rambut pada
beberapa titik (secara acak) dan membiarkannya pada beberapa titik lainnya. Jadi
qaza’ tersebut kalo dlihat pada zaman sekarang seperti rambut mohawk. Hadisnya
sebagai berikut :
ريج قال أخب رني عحب يدح ال د قال أخب رني ملد قال أخب رني ابنح جح ثني محم لهي بنح حفص أن عحمر بن نافيع حد
ي اللهح ع ابن عحمر رضي ماأخب رهح عن نافيع مول عبدي اللهي أنهح سي هح ي قحولح عن ول اللهي صلى اللهح عليهي : عتح رسح سي
هى عن القزعي قال عحب يدح اللهي : ق حلتح وما القزعح وسلم ي ن وت رك ؟ فأشار لنا عحب يدح اللهي قال: إيذا حلق الصبي
هي. قييل ليعحب يدي يتيهي وجانيب رأسي نا فأشار لنا عحب يدح اللهي إيل ناصي نا وههح نا شعرة وههح غحلمح قال: اللهي: فالارييةح وال ههح
قال عحب يدح اللهي :وعاودتحهح ف قال: أما القحصةح والقفا ليلغحلمي فل بأس بييما ولكين ل أدريي هكذا قال الصبي
رحهح وكذلي هي غي يتيهي شعر وليس في رأسي رك بيناصي هي هذا وهذاالقزع أن ي حت ك شق رأسي
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad dia berkata; telah
mengabarkan kepadaku Makhlad dia berkata; telah mengabarkan kepadaku
Ibnu Juraij dia berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Hafsh
bahwa Umar bin Nafi' mengabarkan kepadanya dari Nafi' bekas budak
Abdullah pernah mendengar Ibnu Umar radliallahu 'anhuma berkata; saya
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari qaza'
(mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain)."
'Ubaidullah mengatakan; "saya bertanya; "Apakah qaza' itu" 'Ubaidullah
1 Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, Terj. Amir Hamzah: Fathul
Baari( Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),h.829. 2 Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâr.h.829.
12
lalu mengisyaratkan kepada kami sambil mengatakan; "Jika rambut anak
kecil dicukur, lalu membiarkan sebagian yang ini, yang ini dan yang ini."
'Ubaidullah menunjukkan kepada kami pada ubun-ubun dan samping
(kanan dan kiri) kepalanya." Ditanyakan kepada 'Ubaidullah; "Apakah hal
itu berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan?" dia menjawab; "Saya
tidak tahu yang seperti ini." Penanya bertanya lagi; "Apakah khusus untuk
anak laki-laki." 'Ubaidullah mengatakan (kepada syaikhnya); "Pertanyaan
itu pernah juga aku ulangi (kepada syaikhku), lalu dia berkata; "Dan tidak
mengapa (membiarkan) rambut depan kepala dan rambut tengkuk bagi
anak-anak, akan tetapi maksud qaza' adalah membiarkan sebagian rambut
yang ada di ubun-ubun, hingga di kepala hanya tersisa itu, begitu pula
dengan memangkas rambut kepalanya ini dan ini”.
Menurut sebagian ulama ada beberapa titk yang tidak termasuk kedalam qaza yaitu
pada bagian pelipis dan bagian tengkuk kepala. Ada beberapa bentuk-bentuk
potongan rambut qaza’ Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin rahimahullah, qaza’ adalah menggundul (mencukur habis) sebagian
rambut kepala dan membiar sebagian rambut yang lain. Di sini ada beberapa model:
a. Mencukur habis secara berurutan, yaitu mencukur bagian samping kanan, lalu
bagian samping kiri, bagian depan kepala dan tengkuknya.
b. Mencukur habis bagian tengah dan membiarkan bagian sampingnya.
c. Mencukur bagian sampingnya lalu membiarkan bagian tengahnya. Ibnu
Qayyim menyatakan bahwa model ini seperti yang dilakukan oleh orang
rendahan.
d. Mencukur bagian depan dan membiarkan yang lain3
3 https://rumaysho.com/10094-hukum-rambut-mohawk-dan-qaza-gaya-rambut-balotelli.html
13
Ini adalah gambar contoh-contoh rambut qaza’
B. Takhrij Hadis Mencukur Sebagian Rambut (Qaza’)
Upaya penulis menguraikan mengenai hadis-hadis mencukur rambut sebagian
dan meninggalkan sebagian (Qaza’) Untuk ditakhrij4 hanya sebatas sebagai bahan
pendukung agar mengetahui asal-usul hadis dan mengemukakan sumber
pengambilannya-dari berbagai kitab koleksi hadis yang disusun oleh para kolektor
(mutakharrij)-nya, secara langsung. Dan untuk hadis mencukur rambut sebagian
(qaza’) penulis menemukan dalam kitab takhrij al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzi al-
4
Takhrîj)ختريج(dalam bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-istinbath)اإلستنباط(,artinya
“mengeluarkan”, at-tadrîb)التدريب(,artinya “melatih” atau “pembiasaan” dan at-tarjih )التجيح( artinya
“menghadap. Sedangkan menurut istilah, menyampaikan hadis kepada orang banyak dengan
menyebutkan semua perawi dalam mata rantai sanad hadis itu beserta metode periwayatan masing-
masingnya. Lihat, M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi, ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2013), h. 222
14
Hadîts, Mausȗ’ah Atrâf al-Hadîts, dalam takhrij hadis ini tidak sampai menentukan
kualitas hadis.
Pada bab ini, penulis menerangkan mengenai hadis hadis yang berkaitan
dengan Qaza’. Langkah pertama penulis melacak hadis melalui metode takhrij hadis
bi al- lafz dengan menggunakan kitab al-mu’jam al- mufahros5. Data yang disajikan
dari penulusaran kata ‘Qaza’ adalah sebagai berikut :
ركح ب عض القزعح : لينافيعي وما القزعح قال : يحلقح ب عضح رأسي الصبي وي ت
5466 لباس , ك كلباس 5465 خ م ,
4195 ,4194 ,4193 د ك ترجل
5,58ن ك زينة
37لباسجه ك
55 137 154 143 118 101 83 82 67 39 4 3حم
Dari data diatas ditemukan 19 riwayat masing masing terletak dalam kitab
sebagai berikut :
1. Shahih al- Bukhari, kitab libas no. 5466
2. Shahih Muslim, kitab libas no. 5465
3. Sunan Abu Daud, kitab tarajjal no. 4193, 4194, 4195
4. Sunan imam an-Nasa’I, kitab zinah no. 5 dan 58
5. Sunan Ibn Majjah, kitab libas no. 37
5 Wensinck, Arnold John, Mu;jam Al- Mufahras Li Alfaz al- Hadith al- Nabawi. Jilid 5 h. 377
15
6. Musnad Ahmad bin Hambal, no. 3, 4, 39, 55, 82, 83, 101, 118, 137, 143, 154.
Langkah kedua penulis menggunakan metode awal matan dengan
mengunakan kitab Mausuah al Atraf6 dan data yang di sajikan oleh kitab ini sebagai
berikut:
307حنف
184هروي
2034 1819عدي
168جرجان
35 25 119خط
نهى عن ا لقزع فى الراس
154 83 67حم
هنى عن القزع
4193د
183 182 13ن
3638 3637ها
137 118 101 82 55 39 4حم
143 154
305هق
313ش
Dari data diatas ditemukan 28 riwayat masing-masing terletak dalam kitab
sebagai berikut:
1. Sunan Abu Daud nomor hadis, 4193
2. Sunan Nasa’i nomor hadis, 13, 182, 183
3. Sunan Ibn Majjah, nomor hadis, 3637, 3638
4. Musnad Ahmad bin Hambal nomor hadis, 4, 39, 55, 82, 101, 118, 137, 143, 154
5. Sunan al-Kubro al-Baihaqi nomor hadis, 305
6 Abu Hajar Muhammad Sa’id bin Bayuni Ba’lul, Mausu’at al-Atrāf li al-Hadīth Al-Nabawi
Al-Syarif, Jilid 10 (Beirut: Darul Kutub), h.149.
16
6. Mushanif Ibn Abi Syaibah nomor hadis, 313
7. Jam’I Masaid Abi Hanifah nomor hadis, 307
8. Al-Kamal Ibn al-‘Adi nomor hadis, 1819, 2034
9. At- Tarikh jarjan as-Sahimi nomor hadis, 168
10. At-Tarikh Baghdadi al-Khatib al-Bagdadi nomor hadis, 25, 35, 119
11. Musnad Ahmad Bin Hambal nomor hadis, 67, 83, 154.
C. Syarah hadis
Dilalah ‘amr (petunjuk perintah). Apakah sighat ‘amr (perintah) itu
menunjukan wajib atau mustahab, atau tidak menunjukan suatu hukumpun kecuali
jika disertai dengan qarinah (indikasi) tertentu. Atau apakah hukum perintah dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah itu berbeda.7
Kata qaza’ bentuk jamak dari kata qaza’ah artinya segumpal awan. Rambut
kepala bila sebagiannya dicukur dan sebagiannya tidak dinamakan qaza’, karena
diserupakan dengan gumpalan gumpalan awan yang terpisah pisah. 8
Ubaidillah berkata: apakan qaza itu ? bagian ini dinukil dari sanad yang
maushul melalui sanad diawal hadis secara zahir yang ditanya adalah umar bin Nafi’.
Namun, muslim menjelaskan bahwa Ubaidillah hanya bertanya kepada Nafi’, hal itu
karena dia meriwayatkannya dari Yahya al-Qaththan, dari Ubaidillah bin Umar, “
Umar bin Nafi” mengabarkan kepadaku dari bapaknya”, lalu disebutkan hadis dan di
dalamnya dikatakan, beliau berkata, aku berkata kepada Nafi’, apakah al Qaza’ ? lalu
7 Yusuf al-Qaradhawi, Kaedah Toleran dalam masalah,h.2.
8 Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, Terj. Amir Hamzah: Fathul
Baari( Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),h.829.
17
disebutkan jawabannya, Ubaidillah mengisyaratkan kepada kami dan berkata “
apabila seorang anak di cukur dan ditinggalkan rambutnya di tempat ini, ditempat ini,
dan ditempat ini” Ubaidillah mengisyaratkan kepada kami kepada ubun-ubunnya dan
kedua sisi kepalanya”.9
Adapun riwayat Rafuah bin al-Qasim diriwayatkan Muslim dan Abu Nu’aim
di dalam kitab al-Mustakhraj. Imam muslim pula meriwayatkannya dari
Abdurrahman As-Surraj, dari Nafi’, tanpa menyebutkan lafadznya. Abu Nu’aim
meriwayatkannya di kitab al-Mustakhraj melalui jalur ini seraya menghapus
penafsiran tersebut. Imam muslim meriwatkan juga dari ma’mar, dari Ayub dari
Nafi’tanpa menyebutkan lafaznya. Ia tercantum dalam riwayat Abdurrazaq dalam
Mushannafnya dari Ma’mar. begitu pula diriwayatkan Abu Daud dan An-Nasa’I
dimana pada redaksinya terdapat indikasi landasan mereka yang menisbatkan
penafsiran itu kepada Nabi Saw, (Nabi Saw melihat seorang anak telah dicukur
sebagian rambut kepalanya dan di tinggalkan sebagiannya maka beliau melarang
mereka dari hal itu dan bersabda “cukurlah seluruhnya dan biarkan seluruhnya”).10
An-Nawawi berkata, “pendapat paling benar tentang penafsiran qaza’ adalah
penafsiran Nafi’, yaitu mencukur sebagian rambut dari kepala mana saja. Sebagian
ulama mengatakan ia adalah mencukur beberapa bagian secara terpisah-pisah.
Namun, yang benar adalah penafsiran pertama karena ia adalah panfsiran periwayat
9 Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, Terj. Amir Hamzah: Fathul
Baari. h. 831. 10
Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, Terj. Amir Hamzah: Fathul
Baari,h. 832.
18
serta tidak menyelisihi makna zahir. “Ibnu Hajjar katakana, hanya saja
pengkhusussan untuk anak kecil bukan sesuatu yang mengikat.
An-Nawawi berkata pula, para ulama sepakat tentang tidak diseukainya qaza’
jika dilakukan berpisah-pisah di kepala kecuali untuk berobat atau yang sepertinya,
dan ia adalah makruh dalam arti tanjih (anjuiran meninggalkan yang tidak baik), tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Imam malik tidak menyukainya
dilakukan pada anak perempuan dan laki laki yang hampir dewasa. Dalam salah satu
riwayat dikatakan tidak mengapa jika sekedar qushshah (rambut pelipis) dan Qafa
(rambut tengkuk) baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ibnu Hajjar berkata,
Hujjahnya cukup jelas karena merupakan penafsiran periwayat. Kemudian terjadi
perbedaan tentang alasan larangan itu. diakatakan hal itu bisa memperburuk
penampilan, sebagian mengatakan karena ia adalah perhiasan syeitan, dan sebagian
lagi mengatakan karena ia adalah perhiasan orang yahudi.
Adapun rambut pelipis dan tengkuk bagi anak laki-laki maka tidak mengapa
dengan keduanya. Kata Qushshah adalah rambut pelipis, sedangkan maksud Qaffa
(tengkuk) adalah rambut di tengkuk. Kesimpulannya, qaza’ khusus bagi rambut
kepala, sementara rambut pelipis dan tengkuk tidak termasuk qaza’. 11
Adapun riwayat Abu Daud dari Hammad bin Salamah, dari Ayyub, dari Nafi’
dari Ibnu Umar dia berkata, (Nabi Saw melarang qaza’, dsn ia adalah mencukur
rambut kepala anak lalu membuat jambul untuknya), maka aku tidak tahu siapa yang
11
Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, Terj. Amir Hamzah: Fathul
Baari,h. 833
19
menafsirkan qaza’ dengan arti seperti itu. Abu Daud meriwayatkan setelah
menyebutkan hadis itu dari anas, (aku memiliki jambul, maka ibuku berkata, “ aku
tidak memotongnya, karena Rasulullah Saw biasa memanjangkannya dan
memegangnya”).
An-Nasai meriwayatkan melalui sanad yang shahih dari Ziyad bin Hushain,
dari bapaknya, (Sesungguhnya dia datang kepada Nabi Saw dan meletakan tangannya
diatas jambulnya lalu mendoakannya). Begitu pula hadis ibnu mas’ud yang asalnya
ada dalam shahihain dia berkata: (Aku membaca dari Mulut Rasulullah tujuh puluh
surah dan Zaid bin Tsabit masih bersama anak-anak yang memiliki dua jambul).
Kesimpulannya mungkin dipadukan bahwa jambul yang diperbolehkan adalah
yang alami yaitu rambut yang menjuntai langsung dari rambutnya. Sedangkan jambul
yang dilarang adalah mencukur rambut kepala seluruhnya kemudian meninggalkan
bagian tengahnya untuk di jadikan jambul.12
D. Pendapat Ulama tentang Hadis Qaza’ (Mencukur Sebagian Rambut)
Mengenai hadis mencukur sebagian rambut (qaza’), banyak ulama yang
berpendapat terhadap hadis tersebut diantaranya :
Menurut imam Nawawi qaza’ yaitu mencukur rambut sebagian dan
meninggalkan sebagian dengan cara terpisah. Boleh dilakukan asalkan itu untuk
pengobatan dan lain lain
12
Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, Terj. Amir Hamzah: Fathul
Baari,h. 834.
20
Menurut ibn Abidin qaza’ adalah mencukur sebagian rambut dan
meninggalkan sebagian yang lain dan bagian bagian yang lain kira-kira tiga jari13
Al Munawi dalam kitabnya Faidul Qadir yaitu adapun memangkas sebagian
rambut dan membiarkan sebagiannya dengan (ukuran sebagian) semisalnya, dan
dinamakan qaza’ maka ia makruh tanzih secara mutlak kecuali ada udzur, baik itu
untuk laki-laki dewasa maupun wanita sebagaimana telah disebutkan oleh an-
Nawawi.14
An-Nawawi berkata pula, para ulama sepakat tentang tidak diseukainya qaza’
jika dilakukan berpisah-pisah di kepala kecuali untuk berobat atau yang sepertinya,
dan ia adalah makruh dalam arti tanjih (anjuran meninggalkan yang tidak baik), tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
An-Nawawi berkata, “pendapat paling benar tentang penafsiran qaza’ adalah
penafsiran Nafi’, yaitu mencukur sebagian rambut dari kepala mana saja. Sebagian
ulama mengatakan ia adalah mencukur beberapa bagian secara terpisah-pisah.
Namun, yang benar adalah penafsiran pertama karena ia adalah panfsiran periwayat
serta tidak menyelisihi makna zahir. “Ibnu Hajjar katakana, hanya saja
pengkhusussan untuk anak kecil bukan sesuatu yang mengikat
13
Ibn Abidin, Radd al Muhtar ‘ala al Dur al Muhtar, (Beirut: Dar Ihya al Turatsal-Arabi,
1987), vol 5.h.261 14
Al-Munawi, Faidhul Qadir, h. 201.
21
BAB III
METODE PEMAHAMAN YUSUF AL-QARDHAWI
A. Biografi Yusuf al-Qardhawi
Perubahan di Dunia Islam dewasa ini secara keseluruhan berpengaruh dan
mendorong kepada perubahan-perubahan di kalangan umat Islam Indonesia.
Perkenalan, pengenalan, dan penyerapan pikiran-pikiran pembaruan, pemurnian, dan
reorientasi pemikiran Islam di seluruh dunia yang sangat dipengaruhi oleh adanya
teknik pencetakan buku dan terbitan berkala, media komunikasi dan transportasi tentu
akan, dan memang sedang dan sudah berpengaruh kepada keadaan umat Islam
Indonesia.1 Dalam hal ini agama memegang peranan penting dalam mengarahkan dan
membimbing masyarakat. Tak ada yang menandingi kekuatan agama, karenanya, ia
merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi kehidupan manusia.2
Seorang pemikir, sarjana dan intelek kontemporer abad 20 (tahun 90-an
sampai sekarang) Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan di
seluruh dunia khususnya di Indonesia. Beliau adalah Yȗsuf bin ‘Abd Allâh bin ‘Alî
bin Yȗsufal-Qardhâwî.3 Dilahirkan pada tanggal 09 september 1926 di desa Shaft At-
Turâb terletak antara kota Thanta (Ibu kota provinsi Al Gharbiyah), dan kota Al-
Mahallah Al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling terkenal di
provinsi Al-Gharbiyyah. Ia berjarak sekitar 21 kilo meter dari Thantha dan 9 kilo
1 Budi Munawar Rachaman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, (Jakarta: Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), h. 1 2 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer. Penerjemah As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), hal. 51 3Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I, (Judul asli: Ibn al-Qaryah wa al-Kuttâb
Malâmih Sîrah wa Masîrah, penerjemah: Cecep Taufikurrahman, dan Nandang Burhanuddin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 103
22
meter dari Al-Mahallah. Desa tersebut adalah tempat dimakamnya salah seorang
sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Abdullah bin Harist ra.4 Kata “al-Qardhâwî”
dinisbahkan kepadanya karena kakek Qardhâwî, ‘Ali, berasal ari desa al-Qardhah
yang pindah ke Shafth Turab.5 Qardhâwî tumbuh di keluarga petani dan lingkungan
yang agamis dari sudut pandang tradisional.
Ciri tradisional-agamis masyarakat Shafth Turab terlihat dari ramainya aspek-
aspek formal tradisi keagamaan yang dilakukan, seperti keterikatan masyarakat pada
mazhab al-Syâfi’î dan Hanafî dalam pelaksanaan ibadah; keterikatan kepada tarekat
Syâdziliyyah, Bâyȗmiyyah dan Khâliliyyah serta kepada Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, karya
Abȗ Hâmid al-Ghazâlî, yang diakui Qardhâwî cukup berpengaruh pada
pemikirannya, dalam bertasawuf. Masyarakat Shaft Turab juga melakukan berbagai
tradisi yang umumnya ada pada masyarakat tradisional, seperti perayaan hari lahir
Nabi Muhammad Saw., perayaan Isra’ Mi’raj, peringatan malam Nisfu Sya’ban,
bahkan perayaan hari lahir (haul) syaikh-syaikh tarekat, yang dikemudian hari tradisi-
tradisi itu menjadi sasaran kritik pemikiran Qardhâwî.6
Ayahnya meninggal dunia ketika Qardhâwî masih berumur dua tahun dan
bondanya ketika berumur 15 tahun sudah pasti memberikan kesan yang mendalam
kepada dirinya (Al-Qaradawi, 2010a; 2010b), dan ia bersama pamannya, bernama
4 Yusuf Al-Qaradhawi, Huda Al-Islam Fatawa Mu’ashir, alih bahasa Abdurrahman
AliBauzir, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), Cet. Ke-III, hal. 45 5 Karena keturunan orang al-Qardhah inilah maka sebagian orang di mesir dan Timur Tengah
memanggilnya dengan sebutan al- Qardhâwî (tanpa “a” setelah huruf “r”). Buku-bukunya yang
pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan nama Qardhâwî, baru belakangan
inilah ia dikenalkan dan ditulis dengan Qaradhâwî (dengan “ra” yang dibaca fathah). penulis
menggunakan kata Qardhâwî, dengan alasan lebih sesuai dengan asal pembentukan katanya (wazan).
6 Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf al-
Qardhawi: Analisis strukturalisme-Semiotik atas buku Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-
Nabawiyyah, (Tesis: 2007), hal. 26-27
23
Ahmad, Ahmad mengantarkan Qardhâwî ke surau tempat mengaji (kuttâb) ketika
Qardhâwî masih berumur lima tahun. Beliau tidak menikmati kehidupan yang
mewah. Suasana keluarganya bersama-sama bapa saudaranya yang mendidik beliau
dengan didikan agama termasuk biah kampungnya yang mementingkan ilmu dan
amalan agama berjaya membentuk peribadi dan aspirasi Islam dalam diri beliau.7
Dalam perjanan kehidupannya, Yȗsufal-Qardhâwî pernah mengenyam
“pendidikan” penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia
masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatanya dalam
pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi
Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer
selama dua tahun. Yȗsufal-Qardhâwî terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang
berani sehingga sempat dilarang menjadi khatib di sebuah mesjid di daerah Zamalik.
Alasannya, karena khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang
ketidak adilan rezim saat itu
Karya karya Yusuf al-Qardhawi
Yȗsuf al-Qardhawî merupakan ilmuan yang menguasai perbagai cabang ilmu
(Talimah, 2000). Hingga kini, lebih daripada 120 buah buku telah dihasilkan dalam
berbagai bidang seperti aqidah, sumber hukum Islam yaitu al-Qur’ân dan al-Sunnah,
usul al-fiqh, bidang ibadat, hal ihwal wanita dan kekeluargaan, kemasyarakatan,
ekonomi dan keuangan, perubahan, politik dan pemerintahan walaupun beliau
teramat sibuk dengan jadwal harian. Diceritakan bahwa beliau selalu menghabiskan
7 Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts Vol 3 Issue 1(Juni
2013): hal. 53.
24
waktunya sehingga 14 jam sehari di perpustakaan rumahnya untuk menelaah dan
menulis (Ghazali, 2012). Beliau bukan saja menghasilkan penulisan akademik yang
berkualitas tinggi dan menjadi rujukan utama ilmuan tetapi menyumbangkan berbagai
makalah di dalam berbagai majalah dan akhbar harian di peringkat
antarabangsa.8Diantara buku-buku karangan beliau adalah sebagai berikut :
a. Bidang ‘Ulȗm Al-Qur'ân dan as-Sunnah9
1) Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma’âlim wa
Dawâbith; (2) Al-Madkhal li-Dirâsât al-Sunnah al-Nabawiyyah;
2) Al-Muntaqâ fi al-Targhib wa al-Targhib (2 Juz);
3) Al-Sunnah Mashdaran li al-Ma’arifah wa al-Hadhârah;
4) Nahwâ Mausu’ah li- al-Hadîts al-Nabawi;
5) Al-Sunnah wa al-Bid’ah
B. Metode Yusuf al-Qaradhawi
a. Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan dan
pentakwilan yang keliru kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an,
yaitu bingkai tuntunan tuntunan illahi yang kebenarannya dan keadilannya bersifat
pasti.
8Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts., hal. 54
9Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf al-
Qardhawi., hal. 26-27
25
“ telah sempurnalah kalimat tuhanmu ( al-Qur’an) sebagai kalimat yang
benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat kalimatnya dan
dialah yang maha mendengar lagi maha mengetahui”(Qs.Al.An’am:115)
Al-Qur’an adalah roh eksistensi islam dan asas bangunannya. Ia adalah
konstitusi illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam islam.
Adapun sunnah nabi adalah penjelasan terinci bagi nkonstitusi tersebut baik secara
teoritis maupun praktis.10
Oleh sebab itu, sesuatu yang merupakan “pemberi penjelasan” bertentangan
dengan “apa yang hendak di jelaskan” itu sendiri. Atau, “cabang” berlawanan dengan
“pokok” . maka, penjelasannya yang bersumber dari Nabi saw. Selalu dan senantiasa
berkisar diseputar al-Qur’an, dan tidak mungkin akan melanggarnya.11
Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an didasarkan pada argumentasi
bahwa al-Qur’an adalah sumber utama yang menempati tempat tertinggi dalam
keseluruhan sistem doktrial islam. Sedangkan hadits adalah penjelas atas prinsip-
prinsip al-Qur’an. Oleh karena itu, makna hadits dan signifikasi konstektualnya tidak
bisa bententngan dengan al-Qur’an. Jika terjadi pertentangan, maka hal itu bisa terjdi
karena hadits tersebut tidak shahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang
diperkirakan sebagai pertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki, jika hal itu
terjadi, maka tugas seorang muslim adalah mentawaqufkan hadits yang dilihatnya
10
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al Sunnah al-Nabawiyyah ma ‘alim wa
dhawabith,kairo: Maktabah Wahbah,1991,hal.93. 11
Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, Bandung:
Karisma,1994,hal. 93.
26
bertentangan dengan al-Qur’an yang muhkam selama tidak ada penafsiran yang dapat
diterima.
Atas dasar itu, hadits palsu yang dikenal dengan hadits gharaniq12
jelas harus
ditolak karna bertentangan dengan al-Qur’an yang mengancam kaum musyrik
berkenaan dengan “ tuhan tuhan mereka yang palsu”
“ maka apakah patut kamu ( hai orang-orang Musyrik) menganggap al-lata
dan uzza, dan manat yang ketiga, yang paling terkemudian ( sebagai anak
perempuan allah) apakah( patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk allah anak
perempuan? Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain
hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak bapak kamu yang menagada-
adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembahnya).
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini
12
Hadits Gharaniq adalah hadis yang menyebutkan bahwa nabi Saw, ketika di mekkah
membaca QS.An-najm dan ketika sampai ke ayat 19 dan 20 “ maka apakah pantas kamu (anak-anak
perempuan Allah)” setan menambahkan melalui lisan Nbi saw “itulah berhala berhala Gharaniq yang
mulia dan syafaat syafaat mereka di harapkan” tambahan itu didengan oleh kaum musyrik sehingga
mereka kegirangan “ sungguh Muhammad sebelum ini tidak pernah menyebut tuhan tuhan kita dengan
sebutan baik”. Lalu ketika Nabi sujud merekapun sujud. Tak lama kemudian jibril datang “aku tak
pernah membawa wahyu seperti itu, itu berasal dari setan.
27
oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka
dari tuhan mereka”.(Qs.An-Najm: 19-23)
Bagaimana mungkin dalam konteks ayat yang berisi kecaman dan celaan
terhadap berhala-berhala tersebut. Ada ungkapan yang memuji mereka yaitu kalimat
“ itulah berhala berhala (gharaniq) yang mulia dan syafaat mereka sangan di
harapkan”. Yusuf Qaradhawi menyangkal hadis ini, menurutnya sangat mustahil
dalam runtutan ayat ayat yang berisi penyangkalan dan kecaman keras terhadap
patung-patung itu terdapat sisipan yang memujinya.13
b. Menghimpun hadis hadis yang setema
Upaya memahami sunnah, menurut Yusuf al-Qaradhawi, dapat dilakukan
dengan menghimpun hadis hadis shahih yang berkaitan dengan tema tertentu. Setelah
penghimpunan dengan hadis hadis setema langkah berikutnya adalah mengembalikan
kandungannya yang mutasyabbih kepada yang muhkam mengaitkan yang mutlaq
dengan yang muqayad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas. Metode ini
merupakan keniscayaan oleh karena hadis berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an dan
penjelas makna maknanya dengan merinci, menafsirkan, menghusukan dan
membatasi apa yang dinyatakan oleh al-Qur’an, maka sudah barang tentu ketentuan
ketentuan ini pula yang diterapkan antar hadis14
Contoh yang diangkat oleh Yusuf Qaradhawi untuk memperjelas masalah ini
adalah tema tentang hukum memakai sarung sampai dibawah mata kaki, kangkah
pertama adalah mengemukakan beberapa hadis tentang celaan terhadap orang yang
13
Yusuf Qaradhawi, al-Madkhal li Dirasah as-Sunnah an-Nabawiyyah terj, Agus Suryadi,
Bandung: Pustaka Setia, 2007,hal.155. 14
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,hal. 439.
28
memakai sarung sampai dibawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis hadis
yang berkaitan dengan orang orang yang mengenakann sarung sampai dibawah mata
kaki tanpa dibawa dengan kesombongan. Selanjutnya ia menampilkan hadis hadis
yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang orang yang menjulurkan sarung atau
pakaiannya karena kesombongan.15
Disamping itu Yusuf Qaradhawi juga mengungkapkan penjelasan penjelasan
dari berbagai ulama, diantaranya ibn Hajjar dan al Nawawi, pada akhirnya
menyimpulkan dengan membawa hadis hadis yang dalalahnya mutlaq pada hadis
yang dalalahnya muqayad, bahwa ancaman terhadap perbuatan menjulurkan sarung
itu terbatas pada orang orang yang melakukannya karena kesombongan dan
kebanggaan diri saja. Jika menjulurkan karna adat kebiasaan maka tidak termasuk
sasaran ancaman yang menjadi perhatian agama, dalam hal ini adalah niat dan
motivasi batiniah yang berada dibalik perbuatan lahiriyah.
Hal yang sangat ditentang oleh agama adalah kesombongan, kebanggan diri,
keangkuhan, sikap merendahkan orang lain, dan penyakit penyakit jiwa lainnya.
Disamping itu urusan model dan bentuk pakaian terkait dengan tradisi dan kebiasaan
manusia, yang seringkali berbeda beda sesuai perbedaab iklim antara panas dan
dingin, antara kaya dan miskin, antara yang mampu dan tidak, jenis pakaian, tingkat
kehidupan, dan berbagai pengaruh lainnya.16
15
Hadis riwayat Muslim berbunyi “ يوم القيامة المنهان الهذى ال يعطى شيئا إاله منهه والمنفق ثالثة ال يكلمهم للاه
«سلعته بالحلف الفاجر والمسبل إزاره dari abi dzar riwayat al Bukhari dari abu Hurairah juga Abdullah bin
Umar. Lihat di Kaifa Nata’amal Ma’a as- Sunnah an-Nabawiyyah ma ‘Alim Wa Dhabith, hal.103-
109.
16
Yusuf Qaradhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suryadi, Bandung: Pustaka
Setia,2007,hal. 178-179.
29
Karena itu, yang sangat di pentingkan oleh agama mengenai ini, dan yang di
tujukan kepaanya perhatian terbesar, adalah niat serta motivasi yang berada dibalik
suatu perbuatan lahiriyah. Dan yang sangat ingin ditentang disini olehnya, adalah
kesombongan, keangkuhan, kepongahan, kebanggaan diri, dan sebagainya, yang
semua itu termasuk penyakit penyakit hati dannpenyimpangan kejiwaan, yang tak
seorang pun akan masuk surge apabila didalam dirinya bersemayam perasaan seperti
itu, walaupun hanya sebesar zarrah.
c. Mentarjih atau mengabungkan hadis hadis yang bertentangan
Dalam pandangan Al-Qardhâwî, pada dasarnya nash-nash syari’at tidak akan
saling bertentangan. Maka bila tampaknya ada kontradiksi,maka hal itu hanya
penglihatan sepintas yang pada hakekatnya tidak demikian dan merupakan kewajiban
kita untuk menghilangkan kontradiksi semu tersebut.17
Tahap selanjutnya bila hadis-hadis yang memiliki tema yang sama nampak
kontradiktif, maka langkah pertama adalah melakukan kompromi (al-jam’ wa al-
taufiq) terhadap hadis-hadis tersebut. Dasar pemikiran Al-Qardhâwî adalah bahwa
pada prinsipnya nash-nash tidak mungkin saling bertentangan secara substansi. Jika
mungkin melakukan kompromi, maka hal tersebut harus terlebih dahulu dilakukan
dibanding melakukan komparasi hadis (al-tarjih). Namun perlu dicatat bahwa
kompromi ini hanya dilakukan terhadap hadis-hadis yang sahih saja, tidak termasuk
hadis da’if dan diragukan validitasnya.18
17
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al-Sunnah Dengan Benar., h. 197 18
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 118
30
Masih berkaitan dengan hadis-hadis yang paradoks, Al-Qardhâwî nampaknya
kurang memilih alternatif selanjutnya yakni nasakh, karena menurutnya medan naskh
dalam hadis lebih sempit dibanding pendekatan kompromi (al-jam’ wa al-taufiq)
maupun komparasi (tarjih). Menurut Qardhâwî hal ini disebabkan karena sebagian
hadis hanya bersifat parsial dan temporal.19
Sebagai contoh: hadis-hadis yang melarang kaum wanita menziarahi kuburan.
Misalnya, hadis dari Abȗ Hurairah, bahwa Rasulullah Saw., “melaknat kaum wanita
yang sering menziarahi kuburan”. (Dirawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan al-
Tirmidzi yang berkata: “hadis ini hasan sahih”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn
Hibban dalam sahih-nya).20
Diriwayatkan pula dari Ibn Abbas dan Hassan bin Tsabit dengan lafal: “para
wanita penziarah kuburan.”
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan
terhadap kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula
larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Namun ada hadis lain yang mengizinkan menziarahi kuburan, sama seperti
kaum laki-laki. Diantaranya, sabda Nabi Saw.:
21كنتم ن هيتكم عن زيارة القبور، ف زوروها
“Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan; kini ziarahilah”
19
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf Qardhawi).,
hal.140 20
Lihat juga al-Tirmidzi dalam bab Janâiz (1056), Ibn Mâjah (1576) dan Ahmad (2/337).
Juga dirawikan oleh Al-Baihaqi dalam al-Sunan (4/78). 21
Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel, hadis no.
1406 juz 2, hal. 1025
31
زوروا القبور فإهنا تذكراملوت
“Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan kepada
maut.”
Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum
wanita juga.
Juga hadis yang dirawikan oleh al-Bukhârî dan Muslim, dari Anas, bahwa
Nabi Saw., menjumpai seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kuburan,
lalu beliau berkata: “bertakwalah kamu dan bersabarlah” wanita itu menjawab:
“Menjauhlah kamu dariku. Engkau tidak mengalami musibah yang kualami.” (Rupa-
rupanya ia tidak mengenali Rasulullah Saw...).
Dalam hadis itu, Nabi Saw., menyatakan ketidak sukaannya kepada sikap si
wanita yang tampak kurang sabar dalam menerima musibah, namun beliau tidak
melarangnya berziarah.
Meskipun hadis-hadis ini, lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-
hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan
makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata
“melaknat” yang tersebut dalam hadis sebagaimana dinyatakan oleh al-Qurthubi yang
ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai
dengan bentuk kata zawwârât, yang berkonotasi “amat sering”. Menurut al-Qurthubi,
mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka
kepada para pemenuhan hak suami, disamping kemudian membawa mereka kepada
tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras. Dan dapat
dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka boleh menziarahi
32
kuburan bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Berkata al-Syaukâni: “pendapat
itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya menggabungkan antara hadis-
hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.”22
d. Memahami hadis sesuai latar belakang, kondisi, situasi dan tujuan
Untuk memahami hadits secara tepat di butuhkan pengetahuan tentang sebab
sebab khusus yang melatarbelakangi timbulnya hadis, sehingga dapat ditemukan illat
yang menyertainya. Kalau ini tidak dipertimbangkan, maka pemahaman akan menjadi
salah dan jauh dari tujuan syar’I. hal ini mengingat hadis nabi merupakan
penyelesaian terhadap problem yang bersifat local, particular dan temporal.
Dengan mengetahui hal ini seseorang dapat melakukan pemilihan antara yang
umum, sementara dan abadi. Dan antara yang particular dan universal.23
Dalam pandangan Yusuf al Qaradhawi, jika konidisi telah berubah dan tidak
ada illat lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu naskh akan gugur.
Demikian juga dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer
yang berlaku pada masa nabi dan mengalami perubahan pada masa kini. Maka yang
dipegangi adalah maksud yang di kandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah.
Contohnya
أنتم أعلم بأمر دنياكم ...احلديث رواه مسلم
Hadis ini tidak tepat apabila dimaknai untuk urusan dunia, rasul menyerahkan
sepenuhnya kepada umat islam. Karena dalam berbegai bidang: ekonomi, sosial
politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas, hadis ini harus difahami menurut
22
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 121-122 23
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,hal.441.
33
sebab khusus yang menyertainya yakni, bahwa untuk urusan penyerbukan kurma,
maka para petani madinah memang lebih ahli ketimbang Rasul.
Maksud hadis nabi terhadap keahlian propesi ataupun keahlian lainnya. Jadi
para petani lebih mengethui tentang dunia pertanian dari pada mereka yang bukan
petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan dari pada para petani.
Petunjuk nabi tentang penghargaan terhadap keahlian propesi atau bidang keahlian
tersebut besifat universal.24
Contoh lainya seperti hadis :
إال معها حمرم رواه البخاري ومسلم ال تسافر امر أة
Hadis ini kurang tepat kalau dimaknai setiap perempuan (kapan dan
dimanapun) tidak boleh berpergian sendiiri, ia harus disertai mahram. Illat hadis ini
sesungguhnya ialah kekhawatiran akan terjadi fitnah dan bahaya bagi perempuan
yang berpergian sedniri dengan melewati padang pasir serta banyaknya penyamun di
perjalanan. Karena itu ketika kondisi telah aman dan kekhawatiran telah sirna,
tidaklah mengapa perempuan berpergian sendiri.
e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dengan tujuan yang tetap
Menurut Al-Qardhâwî, Di antara sebab terjadinya kesalahan pemahaman
terhadap al-Sunnah adalah sebagian orang mencampur adukkan antara tujuan dan
maksud yang permanen (al-ahdaf al-tsabitah) dimana al-Sunnah berusaha
24
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan kontekstual: Tela’ah ma’ani hadis tentang
ajaran Islam yang universal, Temporal dan Local, Jakarta:Bulan Bintang, 1994,hal. 58.
34
merealisasikannya dan sarana yang bersifat temporal (al-wasâil al-mutaghoyyirah)
dan lokal yang terkadang membantunya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.25
f. Membedakan antara hakekat dan majaz dalam memahami hadis
Makna metaforis (majazi) di sini adalah mencakup al-majaz al-lughawi
(metaforis menurut bahasa) dan al-majaz al-‘aqli (metaforis menurut rasio), al-
istiarah wa al-kinayah (kiasan), dan setiap bentuk kata atau kalimat yang memiiki
makna konotatif. Majaz dapat diketahui dengan memperhatikan indikator makna (al-
qarinah) dari sebuah kata atau kalimat.26
Al-Imam al-Rahib al-Ashfahani dalam bukunya yang bermutu Al-Dzarî’ah Ilâ
Makârimi-sy-Syarî’ah mengatakan :
Ketahuilah bahwa pembicaraan, bila diucapkan dengan perumpamaan untuk
diambil pelajaran bukannya untuk memberikan berita, maka sebetulnya tidak
termasuk dusta. Oleh karena itu orang-orang yang sangat berhati-hati tidak merasa
rikuh menggunakannya”.
Hati-hati Untuk Tidak Mudah Menta’wilkan Ungkapan Majazi. Al-Qardhâwî
berpendapat, bahwa penta’wilan hadis-hadis dan teks-tekas dalil pada literal, adalah
masalah yang cukup riskan yang tidak boleh mudah-mudah dilakukan kecuali bila
ada petunjuk dari dalil aqli dan naqli. Seringkali hadis-hadis dita’wilkan karena
berdasarkan pandangan subjektif, temporal atau lokal.
Penta’wilan Yang Ditolak
25
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, hal.248 26
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi).,hal. 143
35
Di antara penta’wilan yang tidak boleh diterima adalah penta’wilan kaum
kebatinan yang tidak berdasarkan dalil, baik dari ungkapan maupun dari konteks
perkataan.
Ibnu Taimiyyah dan Penolakan Majaz
Menurut Al-Qardhâwî, bahwa Syaikhu-I-Islam menolak adanya majaz dalam
al-Qur’an, hadis dan dalam bahasa secara umum dan pendapatnya ini diperkuat
dengan sejumlah dalil dan ungkapan. Ibnu Taimiyyah ingin menutup pintu bagi
mereka yang berlebih-lebihan dalam menta’wilkan hal-hal yang berhubungan dengan
sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla yaitu mereka yang dinamakan kaum al-Mu’athilah.
Sifat-sifat Allah ta’ala menurut pandangan mereka hampir menjadi sekedar negatif
bukan positif dan nafyun yang tidak disertai itsbat.
Ia ingin menghidupkan apa yang ada pada umat terdahulu yang mengitsbatkan
bagi Allah ta’ala apa-apa yang telah diitsbatkan-Nya dalam kitab-Nya al-Qur’an dan
dalam sunnah Rasul-Nya dan menafikan apa-apa yang telah dinafikan al-Qur’an dan
as-Sunnah.27
27
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, hal.312-317
36
BAB IV
ANALISIS QAZA’ DENGAN PENDEKATAN PEMAHAMAN HADIS YUSUF
AL QHARDHAWI
A. Mengumpulkan hadis-hadis yang setema
Untuk memahami as-Sunnah dengan benar, hadis hadis hendaknya
dikumpulkan dalam satu objek, dimana yang bersifat mutasyabbih dikembalikan
kepada yang bersifat muhkam,yang mutlak dibawa kepada yang terikat, dan yang
bersifat umum ditafsirkan oleh yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian
hadis yang dimaksud akan jelas dan tidak akan tumpang tindih. Dan bila telah
menjadi ketetapan bahwa as-Sunnah member tafsiran terhadap al-Qur’an al-Karim
dan menjelaskannya, dengan pengertian as-Sunnah merinci ayat-ayatnya yang
gelobal, menafsirkan yang tidak jelas mengkhususkan yang umum dan mengikat
yang mutlak, maka yang lebih utama hal itu diperhatikan dalam as-Sunnah antara
yangs atu dengan yang lainnya. Contohnya seperti hadis tentang Qaza’ ( mencukur
sebagian rambut) yang di riwayatkan oleh imam Bukhari hadis no. 5466 sebagai
berikut :
ثنا ثنا إبراهيم بن مسلم حد عبد حد عبد بن المثنى بن للا ثنا مالك بن أنس بن للا عبد حد
رسول أن عمر ابن عن دينار بن للا صلى للا القزع عن نهى وسلم عليه للا
“Telah menceritakan kepada kami muslim bin Ibrahim telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Abdullah bin Anas bin Malik telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah Saw melarang qaza’ (mencukur sebagian rambut kepala dan
membiarkan sebagian yang lain”.
37
Kemudian di jelskan lagi dalam hadis lain yaitu yang di riwayatlkan oleh Abu
Daud dalam kitab sunanya no. 3662 sebagai berikut
ثنا ثنا إسمعيل بن موسى حد اد حد ثنا حم صلى النبي أن عمر ابن عن نافع عن أيوب حد
بي رأس يحلق أن وهو القزع عن نهى وسلم عليه للا ذؤابة له فتترك الص
Al imam An-Nawawi menjalaskan yang di kutip didalam kitab fathu al baari
yaitu yaitu mencukur sebagian rambut dari kepala mana saja. Sebagian ulama
mengatakan ia adalah mencukur beberapa bagian secara terpisah-pisah.
Namun, yang benar adalah penafsiran pertama karena ia adalah panfsiran
periwayat serta tidak menyelisihi makna zahir. “ Ibnu Hajjar katakana, hanya
saja pengkhusussan untuk anak kecil bukan sesuatu yang mengikat.
حدثنا أحمد بن حنبل، قال: ثنا عثمان بن عثمان، قال أحمد: كان رجال صالحا قال:
أخبرنا عمر بن نافع، عن أبيه، عن ابن عمر قال:نهى رسول للاه صلى للاه عليه وسلم
القزع، والقزع: أن يحلق رأس الصبي فيترك بعض شعره.عن
“Telah menceritakan kepada kami ahmad bin hanbal berkata; telah
menceritakan kepada utsman bin utsman –ahmad berkata ; ia adalah
seseorang laki laki yang shahih aia berkata; telah mengabarkan kepada kami
umar bin nafi’ dari bapaknya dari ibnu umar ia berkata “ rasulullah saw
melarang al-Qaza’ al Qaza’ adalah kepala anak kecil yang dicukur
sebagiannya dan di biarkan sebagian rambutnya”
بن حف د قال أخبرني مخلد قال أخبرني ابن جريج قال أخبرني عبيد للا ثني محم ص حد
أنه سمع ابن عمر رضي للا هماأن عمر بن نافع أخبره عن نافع مولى عبد للا قول ي عن
: : قلت وما الق عليه وسلم ينهى عن القزع قال عبيد للا صلى للا زع سمعت رسول للا
بي وترك ههنا شعرة وههنا وههنا فأشا قال: إذا حلق الص ر لنا عبيد ؟ فأشار لنا عبيد للا
: فالجارية والغالم قال: ل أدري هكذ إلى ناصيته وجانبي رأسه. قيل لعبيدللا ا قال للا
38
ة والقفا للغالم فال ا القص :وعاودته فقال: أم بي قال عبيد للا بأس بهما ولكن القزع الص
أن يترك بناصيته شعر وليس في رأسه غيره وكذلك شق رأسه هذا وهذا
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad dia berkata; telah
mengabarkan kepadaku Makhlad dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu
Juraij dia berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Hafsh bahwa Umar
bin Nafi' mengabarkan kepadanya dari Nafi' bekas budak Abdullah pernah
mendengar Ibnu Umar radliallahu 'anhuma berkata; saya mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari qaza' (mencukur sebagian rambut kepala
dan membiarkan sebagian yang lain)." 'Ubaidullah mengatakan; "saya bertanya;
"Apakah qaza' itu" 'Ubaidullah lalu mengisyaratkan kepada kami sambil
mengatakan; "Jika rambut anak kecil dicukur, lalu membiarkan sebagian yang ini,
yang ini dan yang ini." 'Ubaidullah menunjukkan kepada kami pada ubun-ubun dan
samping (kanan dan kiri) kepalanya." Ditanyakan kepada 'Ubaidullah; "Apakah hal
itu berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan?" dia menjawab; "Saya tidak tahu
yang seperti ini." Penanya bertanya lagi; "Apakah khusus untuk anak laki-laki."
'Ubaidullah mengatakan (kepada syaikhnya); "Pertanyaan itu pernah juga aku
ulangi (kepada syaikhku), lalu dia berkata; "Dan tidak mengapa (membiarkan)
rambut depan kepala dan rambut tengkuk bagi anak-anak, akan tetapi maksud qaza'
adalah membiarkan sebagian rambut yang ada di ubun-ubun, hingga di kepala
hanya tersisa itu, begitu pula dengan memangkas rambut kepalanya ini dan ini”
An-Nawawi berkata pula, para ulama sepakat tentang tidak diseukainya qaza’
jika dilakukan berpisah-pisah di kepala kecuali untuk berobat atau yang sepertinya,
dan ia adalah makruh dalam arti tanjih ( anjuiran meninggalkan yang tidak baik),
tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Imam malik tidak menyukainya
dilakukan pada anak perempuan dan laki laki yang hampir dewasa. Dalam salah satu
riwayat dikatakan tidak mengapa jika sekedar Qushshah (rambut pelipis) dan Qafa (
rambut tengkuk) baik bagi laki-laki maupun perempuan dan itu merupakan perhiasan
orang yahudi.
Dari beberapa hadis yang telah di kumpulkan disitu sudah jelas bahwa rosul
sangat melarang perbuatan qaza’ tetapi perbuatan tersebut dibolehkan kalau ada
39
udzur misalnya untuk pengobatan dan pada tempat tempat ternetu yang boleh dicukur
misalnya di bagian tengkuk dan pelipis.
Dan dalam penjelasan hadis tersebut larangan perbuatan qaza itu tidak
mengikat hanya untuk anak kecil/bayi saja tetapi juga untuk orang dewasa seperti
yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi sebagai berikut “An-Nawawi berkata,
“pendapat paling benaar tentang penafsiran qaza’ adalah penafsiran Nafi’, yaitu
mencukur sebagian rambut dari kepala mana saja. Sebagian ulama mengatakan ia
adalah mencukur beberapa bagian secara terpisah-pisah. Namun, yang benar adalah
penafsiran pertama karena ia adalah panfsiran periwayat serta tidak menyelisihi
makna zahir. “Ibnu Hajjar katakana, hanya saja pengkhusussan untuk anak kecil
bukan sesuatu yang mengikat.
An-Nawawi berkata pula, para ulama sepakat tentang tidak diseukainya qaza’ jika
dilakukan berpisah-pisah di kepala kecuali untuk berobat atau yang sepertinya, dan ia
adalah makruh dalam arti tanjih (anjuiran meninggalkan yang tidak baik), tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Imam malik tidak menyukainya dilakukan
pada anak perempuan dan laki laki yang hampir dewasa. Dalam salah satu riwayat
dikatakan tidak mengapa jika sekedar qushshah (rambut pelipis) dan Qafa (rambut
tengkuk) baik bagi laki-laki maupun perempuan.
B. Memahami Hadis Berdasrkan Sebab-Sebab dan Tujuannya
Dianatra manifestasi dari pemahaman yang baik terhadap as-Sunnah an-
nabawiyyah adalah memperhatikan sebab-sebab khusus yang menjadi dasar hadis
atau keterikatannya dengan alasan tertentu yang tertulis dalam hadis atau dipahami
dari kesimpulannya dan dari realita konteks hadis tersebut.
40
Mengkaji secara mendalam akan mendapatkan bahwa sebagian hadis ada
yang berdasarkan situasi dan kondisi tertentu untuk merealisasikan kepentingan
bersama, atau menghindari keruskan tertentu, atau mencarikan solusi terhadap
permasalahan yang tengah berlangsung pada waktu itu. hukum yang terkandung
dalam hadis terkadang tampak bersifat umum dan berlaku selamanya, akan tetapi
setelah dipelajari dengan teliti ternyata berdasarkan suatu alasan dimana hukum
tersebut menjadi tidak berlaku lagi bila alasannya sudah tidak ada dan tetap berlaku
selama alasanya masih ada. 1
Untuk memahami hadis dengan benar dan mendalam, haruslah mengetahui
hubungan-hubungan dalam konteks nashnya yang memberikan penjelasan dan
mengatasi situasi dan kondisinya sehingga maksud dari hadis tersebut dapat
ditentukan dengan pasti dan tidak memberikan peluang terhadap dugaan dugaan
sepintas atau pengertian eksplisit yang bukan maksud sebenarnya.
Al-Qardhawi berpendapat bahwa suatu hukum yang di bawa oleh suatu hadis,
adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu tak terbatas, namun jika
diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan
suatu ‘illah tertentu. Sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illahnya,
dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illahnya.
Oleh karnanya hadis yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Umar
bin Nafi’ yang berbunyi:
1 Yusuf al-Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar,h. 222.
41
بن حف د قال أخبرني مخلد قال أخبرني ابن جريج قال أخبرني عبيد للا ثني محم ص حد
عنهما أنه سمع ابن عمر رضي للا قول ي أن عمر بن نافع أخبره عن نافع مولى عبد للا
: قلت وما الق : عليه وسلم ينهى عن القزع قال عبيد للا صلى للا ؟ زع سمعت رسول للا
بي وترك ههنا شعرة وههنا وههنا فأشا قال: إذا حلق الص فأشار لنا عبيد للا ر لنا عبيد للا
: فالجارية والغالم قال: ل أدري هكذا قال بي إلى ناصيته وجانبي رأسه. قيل لعبيدللا الص
ة والقفا للغالم فال ا القص :وعاودته فقال: أم بأس بهما ولكن القزع أن يترك قال عبيد للا
بناصيته شعر وليس في رأسه غيره وكذلك شق رأسه هذا وهذا
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad dia berkata; telah
mengabarkan kepadaku Makhlad dia berkata; telah mengabarkan kepadaku
Ibnu Juraij dia berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Hafsh
bahwa Umar bin Nafi' mengabarkan kepadanya dari Nafi' bekas budak
Abdullah pernah mendengar Ibnu Umar radliallahu 'anhuma berkata; saya
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari qaza'
(mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain)."
'Ubaidullah mengatakan; "saya bertanya; "Apakah qaza' itu" 'Ubaidullah
lalu mengisyaratkan kepada kami sambil mengatakan; "Jika rambut anak
kecil dicukur, lalu membiarkan sebagian yang ini, yang ini dan yang ini."
'Ubaidullah menunjukkan kepada kami pada ubun-ubun dan samping (kanan
dan kiri) kepalanya." Ditanyakan kepada 'Ubaidullah; "Apakah hal itu
berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan?" dia menjawab; "Saya tidak
tahu yang seperti ini." Penanya bertanya lagi; "Apakah khusus untuk anak
laki-laki." 'Ubaidullah mengatakan (kepada syaikhnya); "Pertanyaan itu
pernah juga aku ulangi (kepada syaikhku), lalu dia berkata; "Dan tidak
mengapa (membiarkan) rambut depan kepala dan rambut tengkuk bagi anak-
anak, akan tetapi maksud qaza' adalah membiarkan sebagian rambut yang
ada di ubun-ubun, hingga di kepala hanya tersisa itu, begitu pula dengan
memangkas rambut kepalanya ini dan ini”.
Perlu diketahui bahwa, dalam memahami suatu hadis selain dipahami dengan
berpedoman pada al-Qur’an al-Karim dan dengan mengabungkannya maka
42
selanjutnya penulis meneliti melalui konteks asbabul wurud, dan untuk tujuan apa
hadis itu di keluarkan, sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi
jelas dan terhindar dari berbagai pikiran yang menyimpang dan juga pengertian yang
jauh dari tujuan sebenarnya.2
Pada umumnya mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum mencukur
sebagian rambut (qaza’) itu haram kemudian ada sebagian ulama pula yang
mengatakan makruh. Larangan ini didasarkan pada hadis Nabi Saw. Beliau berkata :
saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari qaza'
(mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain)."
'Ubaidullah mengatakan; "saya bertanya; "Apakah qaza' itu" 'Ubaidullah lalu
mengisyaratkan kepada kami sambil mengatakan; "Jika rambut anak kecil dicukur,
lalu membiarkan sebagian yang ini, yang ini dan yang ini." 'Ubaidullah menunjukkan
kepada kami pada ubun-ubun dan samping (kanan dan kiri) kepalanya." Ditanyakan
kepada 'Ubaidullah; "Apakah hal itu berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan?"
dia menjawab; "Saya tidak tahu yang seperti ini." Penanya bertanya lagi; "Apakah
khusus untuk anak laki-laki." 'Ubaidullah mengatakan (kepada syaikhnya);
"Pertanyaan itu pernah juga aku ulangi (kepada syaikhku), lalu dia berkata; "Dan
tidak mengapa (membiarkan) rambut depan kepala dan rambut tengkuk bagi anak-
anak, akan tetapi maksud qaza' adalah membiarkan sebagian rambut yang ada di
ubun-ubun, hingga di kepala hanya tersisa itu, begitu pula dengan memangkas
rambut kepalanya ini dan ini."
2 Yusuf al-Qardhawi,Bagaimana Memahai Hadis Nabi Saw.,h.131-132.
43
Hadis diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Umar bin Nafi’. Hadis ini
melarang mencukur sebagian rambut. Menurut ulama pelarangan mencukur sebagian
rambut tersebut di karnakan merusak penampilan, seperti yang dikatan oleh imam
nawawi “An-Nawawi berkata pula, para ulama sepakat tentang tidak diseukainya
qaza’ jika dilakukan berpisah-pisah di kepala kecuali untuk berobat atau yang
sepertinya, dan ia adalah makruh dalam arti tanjih (anjuiran meninggalkan yang tidak
baik), tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan” dan juga ibnu hajjar al
Asqalani.” Ibnu Hajjar berkata, Hujjahnya cukup jelas karena merupakan penafsiran
periwayat. Kemudian terjadi perbedaan tentang alasan larangan itu. diakatakan hal itu
bisa memperburuk penampilan, sebagian mengatakan karena ia adalah perhiasan
syeitan, dan sebagian lagi mengatakan karena ia adalah perhiasan orang yahudi.”3
larangan tersebut terjadi ketika Nabi melihat salah seorang sahabat mencukur rambut
anaknya yang baru lahir lalu Nabi menegurnya namun dalam asbabul wurud tersebut
penulis tidak menemukan alasan kenapa nabi melarang qaza’seperti hadis yang di
riwayatkan sebagai berikut :
، عن ابن عمر: أخب رنا إسحق بن إب راهيم، أن بأنا عبد الرزاق، قال: أن بأنا معمر، عن أيوب، عن ناف ع،
احلقوه »رأسه وت رك ب عضا، ف ن هى عن ذلك، وقال: أن النب صلى اهلل عليه وسلم رأى صبيا حلق ب عض
4«كله أو ات ركوه كله
“Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, memberitakan kepada
kami Abdur Razak telah berkata memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ayub dari
3 Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr, 1992), h. 315
4 al-Nasāī, vol. VIII, h.130
44
Nafi dari Ibnu Umar bahwa Nabi Saw pernah melihat anak yang dicukur sebagian
rambutnya dan dibiarkan sebagian lainnya, maka beliau melarang hal itu dan
bersabda “ cukurlah selunya dan biarkanlah seluruhnya”
Tujuan atau ilah hadis tersebut dikeluarkan yaitu karna mencukur sebagian
rambut dan meninggalkan sebagian yang lain itu membuat penampilan menjadi
kurang bagus sebagai contoh rumput lapangan sepak bola jika rumput tersebut
dipotong setengah yang lainnya tidak terlihat kurang bagus dan kurang rapi. Sama
halnya dengan rambut jika rambut seseorang dicukur sebagian dan tinggalkan
sebagian itu memperburuk penampilan seseorang.
C. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dengan tujuan yang tetap.
Diantara penyebab kekeliruan dalam memahami Sunnah ialah sebagian orang
mencampuradukan antara tujuan atau sasaran yang dicapaioleh As-Sunnah dengan
pra-sarana temporeratau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang
dituju. Mereka memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah olah hal itu
memang merupakan tujuan yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang benar-benar
berusaha memahami As-Sunnah serta rahasia-rahasia yang dikandugnya, akan
tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki
itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa prasarana, adakalanya berubah
dengan perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.5
Dari sini kita lihat hadis tentang Qaza’ (pelarangan mencukur rambut
sebagian dan meninggalkan sebagian) pada hadis tersebut kebanyakan ulam
memfokuskan pada pencukuran rambut yaitu apakah mencukur rambut secara mutlak
atau secara terpisah-pisah yang dimaksud dalam hadis Nabi tersebut.
5 Yusuf al-Qardhawi,Bagaimana Memahai Hadis Nabi Saw.,h. 148.
45
Dan karena itu, mereka sering menyebutkan beberapa hadis yang dikenal tentang hal
ini seperti :
ثنا ثنا إبراهيم بن مسلم حد عبد حد عبد بن المثنى بن للا ثناح مالك بن أنس بن للا عبد د
رسول أن عمر ابن عن دينار بن للا صلى للا القزع عن نهى وسلم عليه للا
“Telah menceritakan kepada kami muslim bin Ibrahim telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Abdullah bin Anas bin Malik telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah Saw melarang qaza’ (mencukur sebagian rambut kepala dan
membiarkan sebagian yang lain”.
Kemudian di jelskan lagi dalam hadis lain yaitu yang di riwayatlkan oleh Abu
Daud dalam kitab sunanya no. 3662 sebagai berikut
ثنا ثنا إسمعيل بن موسى حد اد حد ثنا حم صلى النبي أن عمر ابن عن نافع عن أيوب حد
بي رأس يحلق أن وهو القزع عن نهى وسلم عليه للا ذؤابة له فتترك الص
“Al imam An-Nawawi menjalaskan yang di kutip didalam kitab fathu al baari
yaitu yaitu mencukur sebagian rambut dari kepala mana saja. Sebagian
ulama mengatakan ia adalah mencukur beberapa bagian secara terpisah-
pisah. Namun, yang benar adalah penafsiran pertama karena ia adalah
panfsiran periwayat serta tidak menyelisihi makna zahir. “ Ibnu Hajjar
katakana, hanya saja pengkhusussan untuk anak kecil bukan sesuatu yang
mengikat”.
حدثنا أحمد بن حنبل، قال: ثنا عثمان بن عثمان، قال أحمد: كان رجال صالحا قال:
أخبرنا عمر بن نافع، عن أبيه، عن ابن عمر قال:نهى رسول للاه صلى للاه عليه وسلم
والقزع: أن يحلق رأس الصبي فيترك بعض شعره.عن القزع،
“Telah menceritakan kepada kami ahmad bin hanbal berkata; telah
menceritakan kepada utsman bin utsman –ahmad berkata ; ia adalah
seseorang laki laki yang shahih aia berkata; telah mengabarkan kepada kami
umar bin nafi’ dari bapaknya dari ibnu umar ia berkata “ rasulullah saw
46
melarang al-Qaza’ al Qaza’ adalah kepala anak kecil yang dicukur
sebagiannya dan di biarkan sebagian rambutnya”
بن حف د قال أخبرني مخلد قال أخبرني ابن جريج قال أخبرني عبيد للا ثني محم ص حد
أنه سمع ابن عمر رضي للا هماأن عمر بن نافع أخبره عن نافع مولى عبد للا قول ي عن
: : قلت وما الق عليه وسلم ينهى عن القزع قال عبيد للا صلى للا زع سمعت رسول للا
بي وترك ههنا شعرة وههنا وههنا فأشا قال: إذا حلق الص ر لنا عبيد ؟ فأشار لنا عبيد للا
: فالجارية والغالم قال: ل أدري هكذ إلى ناصيته وجانبي رأسه. قيل لعبيدللا ا قال للا
ة والقفا للغالم فال ا القص :وعاودته فقال: أم بي قال عبيد للا بأس بهما ولكن القزع الص
أن يترك بناصيته شعر وليس في رأسه غيره وكذلك شق رأسه هذا وهذا
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad dia berkata; telah mengabarkan
kepadaku Makhlad dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu Juraij dia
berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Hafsh bahwa Umar bin Nafi'
mengabarkan kepadanya dari Nafi' bekas budak Abdullah pernah mendengar Ibnu
Umar radliallahu 'anhuma berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang dari qaza' (mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan
sebagian yang lain)." 'Ubaidullah mengatakan; "saya bertanya; "Apakah qaza' itu"
'Ubaidullah lalu mengisyaratkan kepada kami sambil mengatakan; "Jika rambut
anak kecil dicukur, lalu membiarkan sebagian yang ini, yang ini dan yang ini."
'Ubaidullah menunjukkan kepada kami pada ubun-ubun dan samping (kanan dan
kiri) kepalanya." Ditanyakan kepada 'Ubaidullah; "Apakah hal itu berlaku untuk
anak laki-laki dan perempuan?" dia menjawab; "Saya tidak tahu yang seperti ini."
47
Penanya bertanya lagi; "Apakah khusus untuk anak laki-laki." 'Ubaidullah
mengatakan (kepada syaikhnya); "Pertanyaan itu pernah juga aku ulangi (kepada
syaikhku), lalu dia berkata; "Dan tidak mengapa (membiarkan) rambut depan kepala
dan rambut tengkuk bagi anak-anak, akan tetapi maksud qaza' adalah membiarkan
sebagian rambut yang ada di ubun-ubun, hingga di kepala hanya tersisa itu, begitu
pula dengan memangkas rambut kepalanya ini dan ini”.
Menurut hemat saya potongan rambut bukan menjadi “jiwa” dari hadis Qaza’.
Jiwanya adalah memperburuk penampilan seseorang. Dari hadis tersebut para ulama
berpendapat tentang cukuran dari rambut “An-Nawawi berkata pula, para ulama
sepakat tentang tidak diseukainya qaza’ jika dilakukan berpisah-pisah di kepala
kecuali untuk berobat atau yang sepertinya” Umar bin Nafi’ mengatakan, yaitu
mencukur sebagian rambut dari kepala mana saja, Maksudnya tidak harus secara
terpisah. Dizaman sekarang penampilan itu sangat penting karna dari penampilan kita
dapat mengetahui kepribadian Seseorang. Rambut merupakan hal penting dari
penampilan jika rambut tidak tertata dengan rapi maka penmapilanpun akan menjadi
tidak rapi, namun jika rambut kita rapi penampilanpun akan menarik. Cukuran
rambut dizaman sekarang sangat beragam kalo yang mencukur rambut sebagian tidak
secara terpisah-pisah contohnya cukuran rambut mohawk samping kanan dan kirinya
dicukur sedangkan yang atas rambutnya tidak. Kemudian dengan cukuran rambut
yang yang secara terpisah-pisah contohnya cukuran rambut skin yaitu dibuat garis-
garis di kepala secara terpisah.
Setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah-ubah dari suatu masa ke masa
lainnya, dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.bahkan semua itu pasti
48
mengalami perubahan. Oleh karena itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada suatu
yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah tentang
menjelaskan suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita
dengannya, ataupun membekukan diri kita dengannya.
49
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hadis mencukur sebagian rambut (Qaza) dengan diteliti
menggunakan 3 metode Yusuf al-Qardhawi mendapatkan beberapa sebagai
berikut.
Hadis yang di riwayatkan oleh Abu Daud melaui Umar bin Nafi’ yang
dalam hadis tersebut Nabi melarang mencukur rambut sebagian karna menurut
sebagian ulama yaitu perbuatan tersebut memperburuk penampilan, setelah di
teliti menggunakan metode Yusuf al-Qardhawi yaitu dengan metode
mengumpulkan hadis-hadis yang setema dapat disimpulkan bahwa dari semua
hadis tersebut melarang untuk melakukan qaza’.
Dalam metode yang kedua yaitu memahami hadis berdasarkan sebab-
sebab dan tujuan hadis itu dikeluarkan yaitu memiliki kesimpulan bahwa rasul
melihat seorang anak sahabat dicukur rambutnya sebagian dan ditinggalkan
sebagian kemudian rosul berkata potong seluruhnya rambut tersebut atau
tinggalkan seluruhnya dari penjelasan tersebut jelas terdapat pelarangan,
sedangkan pelarangan hadis tersebut bertujuan untuk tidak disukainya merusak
penampilan.
Kemudian setelah di teliti dengan menggunakan metode membedakan
antara sarana yang berubah-ubah dengan tujuan yang tetap yaitu memiliki
kesimpulan potongan rambut itu merupakan sarana dari hadis tersebut dizaman
dahulu mencukur rambut tidak secara keseluruhan (setengah) seperti dibuat
50
jambul didepan tetapi yang lainnya habis atau ada sebagian rambut yang
mengumpul di ubun-ubun selainnya botak. Dizaman sekrang sekrang ada
potongan yang dinamakan mohawak yaitu bagian atasnya disisakan sedangkan
bagian samping kanan dan kiri botak atau potongan skin yaitu potongan yang
membuat garis-garis dikepala.
Jadi kesimpulan penulis dari hadis qaza’ bahwa sampai sekarang pun
mencukur qaza’ tetap dilarang karna merusak penampilan seseorang dan
diperbolehkan jika ada udzur seperti untuk pengobatan dan lain-lain.
B. Saran
Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian tentang pemahaman
larangan mencukur sebagian rambut studi metode Yusuf al-Qardhawi. Kiranya
penulis perlu untuk mengemukakan beberapa saran sebagai lanjutan dari kajian
penulis atas hal-hal tersebut diatas;
Dalam skripsi ini penulis membahas tentang pemahaman hadis larangan
mencukur sebagian rambut dengan menggunakan metode pemahaman hadis
Yȗsuf al-Qardhâwî, pertama, Fahm al-sunnah fi Dau’I al-Qur’ân al-Karîm,
kedua, Al- jam’u au al Tarjih baina Mukhtalif al- Hadîts. Ketiga, Fahm al- Hadîts
fi Dau’I Asbâbihâ wa Malâbisâtihâ wa Maqâsidihâ.
51
DAFTAR PUSTAKA
Abd Muhsin al- ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud( n.p.,n.d.).
Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr,
1992).
Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr,
1992)
Al- Mu’jam al- Mujiz, ( Mesir: al- Majma’ al- Lughatul al- Arabiah,
2002).
Al-Munawi, Faidhul Qadir
Budi Munawar Rachaman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid,
(Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas
Paramadina, 2007)
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadits,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004).
http://penulispinggiran.blogspot.com/2008/10/pemikiran-hadis-
kontemporer.html
Ibn Abidin, Radd al Muhtar ‘ala al Dur al Muhtar, (Beirut: Dar Ihya al
Turatsal-Arabi, 1987.
Ibn Abidin, Radd al Muhtar ‘ala al Dur al Muhtar, (Beirut: Dar Ihya al
Turatsal-Arabi, 1987).
Ibn Hajjar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, Terj. Amir
Hamzah: Fathul Baari( Jakarta: Pustaka Azzam, 2009)
52
Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan : Pergumulan Elit Muslim dalam
Sejarah Indonesia, ( Jakarta: Mizan Publika, 2012).
Jurnal Muhammad ainur ramli, paizah Hj Ismail,dkk, fenomena al-
Tasyabbuh dalam sambutan perayaan masyarakat majemuk di
Malaysia, Jurnal Syariah. Vol.21.No.1 2013.
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: El saq press,
2010
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998).
Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr.
Yuausf al-Qardhawi: Analisis strukturalisme-Semiotik atas buku
Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Tesis: 2007)
M. Hasby Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Yogyakarta: Pustaka Rizki Putra, 1980.
M. Qurasiy Shihab, Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan peran wahyu
dalam kehidupan masyarakat, ( Bandung :Mizan, 1996), jilid 1
M. Syuhudi ismail, Kaedah Kesohihan Sanad Hadits, ( Jakarta: Bulan
bintang, 1995).
Moh. Musta’in, Takhrij Hadits Kepemimpinan Wanita, (Surakarta:
Yayasan Pustaka Cakra, 2001).
Moh. Musta’in, Takhrij Hadits Kepemimpinan Wanita, (Surakarta:
Yayasan Pustaka Cakra, 2001).
53
Moh. Nazir, Ph.D, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbita Ghalia
Indonesia,2011).
Muhammad Abd Ra’uf al-Munawi, Faid al-Qadir yarh Jami’ al- Shagir, (
Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1408).
Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadits
dari Klasik sampai Modern.(Bandung: Pustaka Setia, 2004).
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988).
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988).
Nasir Abdul Karim al- Aqil, Tasyabbuh Sikap Meniru Kaum Kafir
Nurkholis majid dkk, Fiqih lintas agama, (Jakarta:paramadina,2004
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi
Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001).
Shihab,M.Quraish, Tafsir Al-Misbah: pesan,Kesan dan keserasian Al-Qur’an, (
Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Sunan Abi Daud, juz III, hal. 318-319; Sunan ad Darimi, juz I,
hal.125;Musnad Ahmad, juz II.
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitiian ilmu ilmu Ushuluddin,
( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000).
Syeikh Mansur, Hasan Salman, Tahqiq I’lamul Muaqi’in, juz 6.
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan kontekstual: Tela’ah
ma’ani hadis tentang ajaran Islam yang universal, Temporal dan
Local, Jakarta:Bulan Bintang, 1994.
54
Wensinck, Arnold John, Mu;jam Al- Mufahras Li Alfaz al- Hadith al-
Nabawi. Jilid 5.
Winano Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik,
(Bandung: Tarsito, 1994).
Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, Bandung:
Karisma,1994.
Yusuf Al-Qaradhawi, Huda Al-Islam Fatawa Mu’ashir, alih bahasa
Abdurrahman AliBauzir, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Yusuf al-Qaradhawi, Kaedah Toleran dalam masalah.
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al Sunnah al-Nabawiyyah ma
‘alim wa dhawabith,kairo: Maktabah Wahbah,1991.
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I, (Judul asli: Ibn al-Qaryah wa
al-Kuttâb Malâmih Sîrah wa Masîrah, penerjemah: Cecep
Taufikurrahman, dan Nandang Burhanuddin, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2003).
Yusuf Qaradhawi, al-Madkhal li Dirasah as-Sunnah an-Nabawiyyah terj,
Agus Suryadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer. Penerjemah As’ad Yasin
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts Vol
3 Issue 1(Juni 2013).