QADHA QADAR

40
QADHA DAN QADAR Oleh: M. Basyir Baick A.Pendahuluan Persoalan qadha dan qadar tidak habis-habisnya di bicarakan orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Al Qur’an yang pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak, beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu. Pada dasarnya masalah pemahaman yang berbeda-beda mengenai qadha dan qadar ini mulai mencuat dan sedikit demi sedikit mulai menegang adalah seiring dengan lahirnya beberapa golongan dengan karakteristik yang berbeda-beda dalam kalangan umat Islam. Akar masalahnya berawal ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M. Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak meninggalkan wasiat maupun arahan tentang figur atau siapa pengganti beliau. Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan oleh Nabi. Maka masyarakat di Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara sepeninggal beliau. Sejak saat itu maka muncullah permasalahan khilafah, sebagai persoalan baru yang sekaligus mendesak untuk segera diselesaikan umat Islam pada waktu itu. Perbantahan dan perbedaan pendapat pun mulai bermunculan. Pertentangan tersebut yang pada mulanya hanya berkaitan dengan masalah 1

Transcript of QADHA QADAR

Page 1: QADHA QADAR

QADHA DAN QADAROleh: M. Basyir Baick

A. Pendahuluan

Persoalan qadha dan qadar tidak habis-habisnya di bicarakan orang hingga sekarang

dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena

adanya beberapa ayat Al Qur’an yang pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak,

beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain

beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu.

Pada dasarnya masalah pemahaman yang berbeda-beda mengenai qadha dan qadar ini

mulai mencuat dan sedikit demi sedikit mulai menegang adalah seiring dengan lahirnya

beberapa golongan dengan karakteristik yang berbeda-beda dalam kalangan umat Islam.

Akar masalahnya berawal ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M.

Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak meninggalkan wasiat maupun arahan

tentang figur atau siapa pengganti beliau. Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan

oleh Nabi. Maka masyarakat di Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai

kepala negara sepeninggal beliau. Sejak saat itu maka muncullah permasalahan khilafah,

sebagai persoalan baru yang sekaligus mendesak untuk segera diselesaikan umat Islam pada

waktu itu. Perbantahan dan perbedaan pendapat pun mulai bermunculan. Pertentangan

tersebut yang pada mulanya hanya berkaitan dengan masalah politik, namun kemudian

berkembang hingga menyangkut masalah akidah (teologi).

Memang terasa ganjil, namun ini adalah kenyataan bahwa Islam sebagai suatu agama,

namun persoalan yang pertama muncul dan melibatkan semua umat Islam serta telah

mengganggu perjalanan sejarah Islam itu sendiri justru bermula dari masalah politik, dan

bukan masalah teologi. Keanehan tersebut bahwa kemudian masalah politik itu meningkat

dan berkembang menjadi masalah teologi, sehingga pada akhirnya, dalil-dalil teologi

dijadikan pembenaran (legitimasi) bagi persoalan politik yang muncul. 1

Semenjak pertentangan itu menyentuh permasalahan akidah ini dengan sendirinya

terbentuklah beberapa golongan aliran yang berbeda faham antara satu dengan yang lain.

Dalam situasi yang tegang ini muncul beberapa pertentangan yang sebagian diantaranya

adalah mengenai bagaimana hukumnya orang yang berdosa besar. Apakah masih muslim

atau sudah menjadi kafir?

1

Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke 5, hlm. 1

1

Page 2: QADHA QADAR

2

Dalam menjawab persoalan tersebut di atas, lalu timbullah tiga aliran klasik dalam

teologi Islam, yaitu: Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Aliran-aliran itu berbeda pendapat

tentang persoalan tersebut, yang perbedaan itu sesuai dengan perbedaan karakteristik mereka

masing-masing. Adapun ilustrasi perbedaan tersebut juga disampaikan oleh Harun Nasution2

sebagai berikut:

1. Menurut aliran Khawarij, bahwa orang-orang Islam yang berdosa besar semacam

Mu’awiyah, ’Amr bin ’Ash, Abu Musa al-Asy’ari, serta mereka yang menerima hasil

arbitrasi adalah kafir, mereka itu wajib dibunuh karena dianggap telah keluar dari

Islam (murtad).

2. Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang Islam yang terlanjur berbuat dosa besar,

masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun persoalan dosa yang dilakukannya,

diserahkan sepenuhnya kepada Allah untuk diampuni atau tidak. Sementara manusia

tidak ada hak untuk menghukumi.

3. Sementara itu menurut aliran Mu’tazilah bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar

berada di dua posisi, yang dalam istilah mereka disebut manzilah bain al-manzilatain,

yakni antara posisi mukmin dan kafir. Jadi mereka punya posisi tersendiri yang bukan

sebagai kafir dan juga bukan mukmin.

Diawali dengan munculnya golongan-golongan tersebut, dalam periode berikutnya

berkembanglah aliran-aliran seperti: Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah dan lain-lain. Kajian,

atau pandangan dari masing-masing aliran tersebut berkembang bukan sekedar membahas

permasalahan antara kafir atau tidak, melainkan kepada hal-hal yang lebih kompleks, yang

diantaranya yaitu mengenai bahasan qadha dan qadar.

Penganut paham Jabbariyyah (jabariyah) yang secara umum berkeyakinan bahwa

Tuhan mempunyai kehendak mutlak dan tidak dibatasi oleh apa pun juga. Sementara,

manusia tidak mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan perbuatannya karena

segala gerak perbuatannya telah dikehendaki langsung oleh Tuhan. Penganut paham ini

berseberangan dengan para penganut paham Qodariyyah (Qodariyah), yang secara umum

berkeyakinan bahwa Tuhan tidak lagi memiliki kehendak mutlak, karena kemutlakannya

tersebut telah dibatasi oleh kehendak Tuhan sendiri, yaitu memberikan kebebasan pada diri

manusia untuk menentukan pilihannya dalam melakukan sesuatu. Tuhan tidak lagi terlibat

langsung dalam penentuan perbuatan manusia.

2 Ibid, hlm. 7

Page 3: QADHA QADAR

3

Setelah munculnya dua paham yang berpandangan kontradiktif tersebut maka

munculah paham al-Asy’ari yang berupaya untuk mengambil jalan tengah di antara

keduanya, sehingga Tuhan dan manusia sama-sama punya andil dalam mewujudkan suatu

perbuatan3.

Tidak ada satu hal pun di alam ini yang keberadaannya di luar kekuasaan dan

kehendak Allah. Semuanya berlaku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan

untuknya. Masing-masing secara otomatis menuruti perintah dan petunjuk Allah, kecuali

manusia. Manusia diciptakan sebagai khalifah Allah dan memikul amanah dari-Nya. Sejalur

dengan posisinya sebagai khalifah itu, manusia juga merupakan satu-satunya makhluk Allah

yang memiliki kebebasan, bahkan juga bebas untuk menaati atau mengingkari perintah Allah.

Mengingat posisi yang demikian, maka Allah selalu mengingatkan bahwa setiap manusia

bertanggung jawab atas segala perbuatannya, meskipun bahkan apabila perbuatan tersebut

adalah atas pengaruh orang lain.

Sebagai khalifah Allah, manusia mengemban tugas dan tanggung jawab. Manusia

memiliki kebebasan berbuat, berkehendak dan berkemauan dalam pilihan dan putusan,

berdaya dan berkemauan. Dari semua itu manusa berperilaku aktif, kreatif dan proaktif, yang

terwujud dalam bentuk perbuatan, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk.

Namun apapun yang diperbuat manusia tersebut tentu saja menuntut adanya pertanggung

jawaban.

Dalam Alqur’an Allah menyatakan bahwa manusia adalah penerima amanah

kekhalifahan-Nya. Oleh karena itu manusia mendapatkan beban tugas, yang ukurannya sesuai

dengan kelapangan yang tidak melebihi kemampuannya. Jadi beban itu manusiawi dan tidak

melampaui batas daya (kemampuan) manusia. Allah menyebutkan pula bahwa manusia

hanya bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Dengan begitu, dapat dikatakan

bahwa pertanggung-jawaban manusia terhadap perbuatan-perbuatannya merupakan hal yang

sangat wajar. Adapun tanggung jawab manusia tersebut dapat digolongkan dalam dua bentuk,

yaitu secara pribadi (nafs atau imri’), dan secara kelompok (ummah atau qawm).

B. Makna Qadha dan Qadar dan Memahami Kedudukannya

1. Makna Secara Bahasa

Sebelum membahas masalah qadha dan qadar ini lebih jauh, perlu kiranya terlebih

dahulu diketahui apa makna sebenarnya qadha dan qadar ini. Kamus al-Munawwir dalam

3Ibid, hlm. 31

Page 4: QADHA QADAR

4

mengartikan qadha secara bahasa yaitu: pelaksanaan, putusan, hukum, syari’at, maut.4

Adapun qadar yang berasal dari bahasa Arab, qaddara, secara bahasa berarti: menentukan,

atau menjadikan kuasa.5

2. Makna Secara Etimologi

Dari segi etimologi, pemaknaan qadha dan qadar yang bersumber dari beberapa ayat

al-Qur’an ternyata punya makna yang banyak sekali. Adapun beberapa makna qadha dan

kadar secara etimologi tersebut sebagian diantaranya yaitu:

a. Qadha

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang mengandungi kata qadha, yang masing-

masing punya makna yang berbeda-beda. Dalam makalah ini kita ambil tiga contoh makna

qadha yang berbeda-beda dari ayat al-Qur’an, yang antara lain sebagai berikut:

1) Kehendak.

6

Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak (qadha) menetapkan sesuatu, Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.

2) Perintah.

7 Dan Tuhanmu telah memerintahkan (qadha) supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.

3) menjadikan

8

4 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (Kamus Arab Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), edisi II, cet. XIV, hlm. 10305 Ibid., hlm. 10556 Al-Qur’an, surah Ali Imran: 477 Al-Qur’an, surah al-Isra’: 238 Al-Qur’an, surah Fushshilat: 12

Page 5: QADHA QADAR

5

Maka Dia menjadikannya (qadha) tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.

b. Qadar

Sementara beberapa contoh ayat al-Qur’an yang didalamnya mengandung kata

“qadar”, ternyata berada dalam ayat yang berbeda dengan ayat yang mengandung kata

“qadha”. Adapun sebagian diantaranya kita ambil tiga ayat dari al-Qur’an, yang masing-

masing juga punya makna yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:

1) Ketetapan.

9

Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan (qadar) yang pasti berlaku.

2) Pembatasan. 10

Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi (qadar) rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku”

3) Ketentuan.

11

Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan (qadar) padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.

3. Makna Secara Terminologi

Adapun dalam pemahaman secara terminologi tauhid qadar, atau takdir Ilahi yang

dimaksud adalah bahwa Allah swt telah menciptakan segala sesuatu serta telah menetapkan

kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu yang

terealisasi dalam rangkaian sebab-sebab. Adapun Qadha Ilahi adalah menyampaikan sesuatu

kepada tahap kepastian wujudnya setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu

itu. Berdasarkan pemaknaan ini, maka tahap qadar labih dahulu dari tahap qadha.12

9 Al-Qur’an, surah Al-Ahzab: 3810 Al-Qur’an, surah Al-Fajr: 1611 Al-Qur’an, surah Fushshilat:1012 M.T. Misbah Yazdi. Iman Semesta. (Jakarta: al-Huda, 2005), hlm. 141

Page 6: QADHA QADAR

6

Sementara itu Syaikh an-Nabhani, seorang ulama’ sekaligus politikus, dalam

memahami qadha dan qadar ini beliau mengatakan bahwa ada dua jenis perbuatan manusia.

Pertama, adakalanya perbuatan manusia itu dipaksa untuk berbuat (musayyar), misalnya ia

tidak bisa terbang dengan tubuhnya sendiri atau ia mengalami suatu kecelakaan di luar

kuasanya. Segala perbuatan atau fakta disaat manusia berstatus musayyar inilah yang disebut

qadha. Yang menetapkan qadha` adalah Allah dan manusia tidak akan dihisab tentang qadha`

dari Allah itu. Tidak ada perhitungan dosa dan pahala di sini. Kedua, adakalanya manusia

diberi hak pilih (mukhayyar), misalnya ia makan nasi, minum khamr, mencari nafkah dengan

jalan mencuri, sesuai kehendak dan pilihannya sendiri. Di sinilah manusia dikatakan telah

memanfaatkan qadar, yakni karakter khusus yang melekat pada segala sesuatu, misalnya sifat

menghasilkan kalori pada nasi, atau adanya hasrat ingin memiliki harta (hubbut tamalluk)

pada naluri manusia. Yang menetapkan qadar adalah Allah semata, namun manusia tetap

akan dihisab tentang pemanfaatan qadar dari Allah itu. Tetap ada perhitungan dosa dan

pahala di sini.13

4. Mendudukkan Makna Qadha dan Qadar

Bila kita perhatikan makna qadha dan qadar secara etimilogi sebagaimana tersebut

diatas, tampaklah bahwa al-Qur’an dalam membahas qadha dan qadar tidak pernah

menggunakan wawu ‘athaf (qadha wa qadar). Al-Quran tidak pernah menggunakan istilah

“qadha” secara bersamaan dengan “qadar”, melainkan di dalam al-Quran hanya dikenal

istilah “qadha” saja atau “qadar” saja. Bahkan, baik kata qadha maupun qadar yang tercantum

dalam al-Quran, masing-masing memiliki makna bahasa yang banyak, yang secara umum

maknanya terkait dengan perbuatan-perbuatan Allah SWT, dan tidak menyangkut perbuatan-

perbuatan manusia, sebagaimana yang diperdebatkan oleh kalangan para ahli kalam. Dari sini

maka bisa dilihat bahwa sebenarnya istilah qadha dan qadar yang dimaksud oleh para ahli

kalam bukanlah merupakan bahasan yang dimunculkan secara spesifik oleh al-Quran sebagai

sumber ajaran Islam.

Dalam pembahasan sebelumnya juga telah dipaparkan pemaknaan qadha dan qadar

secara terminologi, yang menerangkan bahwa qadha dapat dipahami sebagai segala perbuatan

atau kejadian yang dilakukan atau menimpa manusia secara paksa. Sebagai contoh jantung

berdetak diluar kesadaran manusia, atau petir yang menyambar. Sedangkan qadar adalah

kemampuan suatu benda yang menghasilkan atau mengakibatkan terjadinya sesuatu.

Misalnya kemampuan membakar yang dimiliki oleh api, naluri melestarikan keturunan bagi

13 Taqiyuddin an-Nabhaniy, An-Nizham al-Islam, (Beirut: Hizbut Tahrir, 1953), hlm. 18-19

Page 7: QADHA QADAR

7

manusia dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa itu hanya merupakan pendapat dari

sebagian ulama’, dan bukanlah merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar, karena sekali

lagi, bahwa bahasan tersebut bukanlah merupakan materi teologis yang bersumber dari ajaran

pokok Islam, yaitu al-Qur’an.

Dengan demikian, maka jelas bahwa pemakaian istilah qadha’ wa qadar oleh ahli

kalam, sama sekali tidak berhubungan dengan istilah qadha dan qadar yang termaktub di

dalam al-Quran, baik dari sisi makna, maupun topik yang diperbincangkan. Hal ini karena

inti pembahasan Qadha’ wa Qadar yang dibahas oleh para ahli kalam (mutakallimin) adalah

mengenai perbuatan dan kemampuan manusia apakah diciptakan oleh manusia itu sendiri

ataukah telah ditentukan oleh Allah.

C. Perbincangan Tentang Qadha dan Qadar

Persoalan apakah perbuatan yang dilakukan manusia di dunia itu atas kekuasaan

manusia itu sendiri ataukah merupakan takdir (qadha qadar) yang ketentuannya sudah

ditetapkan Allah semenjak sebelum manusia itu dilahirkan, merupakan topik kajian yang

ramai dan cukup menarik, karena ia menyangkut keyakinan mendasar yang terkait erat

dengan aktifitas kehidupan dan berimplikasi pada etos kerja manusia. Persoalan ini juga telah

mengantarkan pola pikir para teolog Islam pada tataran yang lebih filosofis.

Secara sederhana, kita merasakan bahwa apa saja yang kita lakukan adalah atas

kehendak kita sendiri. Namun di sisi lain kita tidak bisa mengelak bahwa kita mengimani

bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas segala sesuatu, yang bahkan tidak ada hal sekecil apapun

yang terlepas dari kehendak Tuhan.

Permasalahan ini pada tahap berikutnya menjadi pijakan pada konsep hakikat daya

yang dimiliki manusia dan hakikat keadilan Tuhan. Bila manusia dipandang mempunyai

hakikat dengan daya yang efektif pada dirinya, maka ia dengan sendirinya adalah pelaku

perbuatannya. Sebaliknya apabila manusia dipandang tidak mempunyai daya yang efektif

pada dirinya, maka perbuatannya pada dasarnya tidak berasal dari dirinya sendiri. Perbuatan

itu merupakan kekuatan lain di luar dirinya. Manusia dalam hal ini adalah sebagai wayang,

tempat berlakunya kekuatan itu.

Permasalahan ini menjadi perdebatan di kalangan mutakallimun. Mereka dalam

menanggapi persoalan antara takdir Tuhan dengan perbuatan manusia ini tampaknya

berpangkal dari perbedaan dasar pijakan mereka yang sulit dipadukan. Perbedaan tersebut

berhubungan dengan tiga perkara tentang perbuatan manusia, yang saling berkaitan, yaitu:

Page 8: QADHA QADAR

8

perbuatan itu sendiri (al-fi’il), kemauan untuk berbuat atau berkehendak (masyi-ah), dan daya

(istitha’ah).

Abu Hanifah berpandangan, sebagaimana dinukil oleh al-Ghazali, yang menciptakaan

daya (istitha’ah) dalam diri manusia merupakan kehendak/perbuatan Allah, adapun

penggunaan istitha’ah itu sepenuhnya merupakan perbuatan manusia secara hakiki, bukan

bermakna kiasan (majazi).14 Pembahasan tentang daya (istitha’ah) dalam perbuatan manusia

ini pada akhirnya berhubungan juga dengan bahasan tentang keadilan Tuhan.

Dari beberapa perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, sebagaimana disebutkan

sejak awal dalam makalah ini, yang bermula dari masalah politik atau kekuasaan, kemudian

berkembang menjadi perbincangan hangat, atau bahkan mungkin panas, dalam bidang

teologi. Situasi ini lalu memicu memunculnya berbagai aliran teologi dalam Islam. Adapun

dasar dari semua pemahaman yang berbeda tersebut sebenarnya berporos pada makna

kemahakuasaan serta keadilan Tuhan, berikut juga pemahaman tentang takdir serta

ketentuan-Nya. Dari sini lalu melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah, dan disusul

dengan lahirnya beberapa aliran lain.

1. Jabariyah

Kata `jabr berarti paksaan atau terpaksa. Kata jabariyah dijadikan sebagai suatu nama

sekte atau paham keagamaan dalam Islam disebabkan karena sekte ini mempunyai doktrin

bahwa manusia itu dalam keterpaksaan. Manusia menurut pandangan mereka ibarat wayang

yang dimainkan oleh sang dalang. Manusia dalam aktifitas hidupnya telah ditetapkan atau

ditakdirkan oleh Allah. Manusia ibarat benda mati yang tidak memiliki kehendak. Al-

Syahrastani menggambarkan pendapat Jabariyah ini sebagai berikut:

”sesungguhnya manusia tidak punya daya untuk melakukan sesuatu, dan tidak pula

punyak istitha’ah. Ia hanya terpaksa dalam segala perbuatannya, tidak ada padanya qudrah,

dan ikhtiyar. Dan hanya Allahlah yang menciptakan perbuatan padanya, sama seperti apa

yang diciptakan-Nya pada semua benda-benda.”15

Dengan demikian, semua perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan. Ibarat sehelai bulu

yang diterbangkan oleh angin, ke mana saja angin itu bertiup ke arah itu pula bulu tersebut

mengarah.

14 Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali. Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.) hlm.515 Abu al-Fath Muhammad Ibnu Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm 87

Page 9: QADHA QADAR

9

Ajaran ini untuk pertama kalinya ditampilkan oleh Jahm ibnu Dirham dan Jahm ibnu

Shafwan. Yang pertama dikenal pula dengan nama Abu Mahrus. Kefasihannya dalam

berbicara, membawanya terlibat dalam kegiatan politik, dan diangkat menjadi sekretaris serta

propagandis oleh al-Haris ibnu Suraih at-Tamimi.16

Paham Jabariyah muncul menjelang berakhirnya kekuasaan Bani Umayah, yaitu pada

akhir abad pertama Hijriyah. Sementara ahli sejarah menututkan bahwa Jahm ibnu Shafwan

adalah murid dari Jahm ibnu Dirham, dan itulah sebabnya pendapat-pendapat keduanya tidak

jauh berbeda.17 Paham Jabariyah tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi ada faktor-faktor

yang mendorongnya, antara lain.

a. Di dalam ajaran Islam (Alquran dan Hadis) memang terdapat ayat-ayat atau hadis-

hadis yang bersifat jabbari, di mana sekilas pengertiannya menyuruh kita bersikap

pasrah kepada keadaan dan harus menerima kenyataan atau takdir. Misalnya firman

Allah:

18 Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu

19 Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Dan seperti hadis Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,

menjelaskan bahwa manusia sejak dalam kandungan ibunya sudah ditetapkan Tuhan

apakah ia termasuk orang bahagia atau celaka.

سعيد... أو وشقي وعمله وأجله رزقه يكتب كلمات باربع 20ويؤمر

...Malaikat disuruh menulis empat ketetapan: rezeki, ajal, amal, dan nasib celaka atau bahagia.

16 Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’at ‘Ilm al-Kalam ‘Inda al-Muslimin, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Ali Shubaih wa Auladih, t.t.), hlm. 22 17 Ibid, hlm. 22-2318 Al-Qur’an, surah ash-Shafat: 9619 Al-Qur’an, surah al-Anfaal: 1720 Mawardi Muhammad, al-Hadits wa al-Mukhtarah wa Syarhuha, (Padang Panjang: Sa’adiyah Putra, t.t.) hlm. 11

Page 10: QADHA QADAR

10

Dan penafsiran yang parsial terhadap ayat-ayat atau hadis yang besifat jabbari

tersebut,sehingga pada masa Nabi Saw. Pun telah timbul perdebatan tentang masalah

takdir.

b. Orang Arab hidup di daerah padang pasir yang tandus. Keadaan ini menurut Harun

Nasution,21 menyebabkan mereka cenderung bersikap fatalis, dan tidak bersemangat

membangun negerinya sebelum Islam datang, dan faktor-faktor lain yang terkait

dengan intern umat Islam.22

Di samping itu, ada pula beberapa faktor ekstern antara lain: 1) Terjadinya kontak

langsung antara orang Arab Islam dengan tokoh-tokoh agama Yahudi dan Nasrani serta

tokoh-tokoh non Arab lainnya.23 2) Munculnya karya tulis yang ditulis oleh tokoh-tokoh non

muslim atau kaum zindiq yang sengaja ditulis untuk meracuni akidah umat Islam dengan

ajaran fatalisme.

Aliran ini memiliki beberapa ajaran pokok yang dimunculkan oleh kedua tokohnya

tersebut, dan mendapat reaksi keras karena dianggap berlawanan dengan akidah yang umum

dianut umat Islam. Umat Islam pada masa itu lebih banyak berpegang kepada nash dari pada

rasio, terutama dalam bidang akidah.

Ajaran utama dari Jabariyah adalah penegasan bahwa manusia itu adalah majbur

(terpaksa) dan semua perbuatannya dipandang sebagai perbuatan Tuhan. Jahm berdalil untuk

memperkuata pahamnya dengan mengutip ayat-ayat Alquran seperti:

24 Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.

25 Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu

Jabariyah Jahmiyah, yang menganut paham fatalisme mengemukakan bahwa

tanggung jawab manusia merupakan paksaan. Manusia tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Ia tidak dapat dikatakan berkemampuan, perbuatan-perbuatannya terpaksa. Ia tidak memiliki

daya, kemauan dan pilihan. Tuhanlah pencipta segala perbuatannya, sebagaimana apa yang

terjadi pada benda-benda. Perbuatan disandarkan kepadanya secara majaz, sebagaimana

21 Harun Nasution, Teologi…, hlm. 32-3322 Ali Mustafa Al-Gurabi, Tarikh…, hlm. 2623 Ibid, hlm. 30-3124 Al-Qur’an, surah az-Zumar: 6225 Al-Qur’an, surah ash-Shafat: 96

Page 11: QADHA QADAR

11

dinisbahkan kepada benda, misalnya; pohon berbuah, matahari terbit dan sebagainya. Pahala

dan siksaan juga merupakan paksaan sebagaimana semua perbuatan itu paksaan. Tentu saja

kalau begitu, beban tugas yang dipikul manusia adalah paksaan pula.26

Jabariyah Najjariyah mengemukakan bahwa Tuhan berkehendak berarti Dia tidak

dipaksa dan tidak terkalahkan. Dia pencipta (khaliq) segala perbuatan manusia, baik dan

buruk. Manusia hanya memperoleh (almuktasib). Ditegaskan juga bahwa daya yang

dicptakan (alqudroh al haditsah) berpengaruh kepada perbuatan yang disebutnya al kasb

seperti al-Asy’ari-. Juga dinyatakan bahwa kemampuan (al istitha’ah) bersamaan terjadinya

dengan perbuatan.27

Dalam Maqalat al Islamiyyin, al-Asy’ari menceritakan pendapat al-Najjar bahwa

perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, tetapi manusia diakui sebagai pelaku (fa’il).

Kemampuan tidak dapat mendahului perbuatan, tetapi bersamaan dengannya dan merupakan

pertolongan Tuhan. Satu kemampuan tidak berlaku untuk dua perbuatan, melainkan hanya

untuk satu perbuatan. Dan ia tidak tetap. Dengan danya kemauan, maka perbuatan terjadi,

dan dengan tidak adanya kemauan, perbuatan tidak terjadi. Kemampuan beriman adalah

petunjuk, karunia, nikmat dan kebaikan Allah. Kemampuan menjadi kafir adalah kesesatan,

pengabaian, bencana dan kejahatan.28

Dapat disimpulakan bahwa menurut Jabariyah, Tuhan memiliki kekuasaan dan

kehendak tak terbatas. Apa yang dikehdaki-Nya terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya

tidak akan terjadi. Akibatnya, beban taklif, pahala dan dosa juga terjadi atas kuasa dan

kehendak-Nya yang mutlak, sekalipun semuanya bisa berupa pakdaan (jabr). Manusia adalah

lemah, tidak berdaya, dan tidak meliki apa-apa di hadapan kehendak dan kekuasaan mutlak

Tuhan.

Jabariyah secara kiasan mengibaratkan perbuatan manusia jika dihubungkan dengan

Tuhan, seperti matahari yang menjadi sumber sinar atau seperti air yang mengalir dan

sebagainya. Menurut mereka, pahala dan atau siksaan adalah perwujudan dari keadilan

Tuhan.

Menurut Jabariyah, Tuhan tidak pantas disifati dengan sifat-sifat seperti kalam, sama,

bashar dan sebagainya, karena sifat-sifat itu adalah sifat manusai atau makhluk. Jabariyah

hanya menetapkan dua sifat bagi Tuhan, yaitu perbuatan dan pencipataan. Sebaliknya,

26 Abu al-Fath Muhammad Ibnu Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal…, 8727 Ibid, hlm. 8928 Abu al-Hasan Ali Ibnu Isma’il al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, (Kairo: al-Nahdah al-Mishriyyah, 1969), hlm. 283

Page 12: QADHA QADAR

12

makhluk tidak boleh memiliki kedua sifat tersebut. Kalau tidak demikian, maka ia tidak dapat

dikatakan sebagai majbur (terpaksa).

Dari kedua ajaran di atas, timbul ajaran ketiga yaitu Khalq al Qur’an. Jahm

berpendapat, jika Alquran itu kalam Allah, tentu membutuhkan alat berbicara. Dan itu tidak

patut bagi Tuhan. Karena pendapat inilah al-Syahrastani memasukkan Jahm sebagai

golongan Jabariyah Khalisah (murni)29 dan Jabariyah Ekstrem menurut Nasution.30 Paham

tentang Alquran ini apakah makhluk atau bukan, telah membawa Ahmad ibnu Hanbal ke

”sidang mihnah”, dan pada gilirannya terjadi perdebatan panjang antara Mu’tazilah dengan

golongan Asy’ariyah.

Ajaran Jabariyah yang lain ialah berkaitan dengan kekal atau tidaknya surga dan

neraka, dan tentang Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.31

2. Qodariyah

Kata qodar berarti kuasa atau sanggup. Artinya manusia kuasa atau sanggup untuk

menentukan perbuatannya sendiri, tanpa ada campur tangan Tuhan. Oleh sebab itu, aliran

Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunya kemerdekaan dan kebebasan dalam

menentukan perjalanan hidupnya. Kebebasan dan kemerdekaan yang dimilikinya adalah

untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sendiri.32 Oleh sebab itu manusia tidak dalam

keadaan terpaksa.

Aliran ini dipelopori oleh Gailan al Dimasyqi, dan Ma’bad al Juhani. Mereka berdua

adalah orang yang pertama kali menyebarkan ajaran Qadariyah. Tentang dari mana mereka

mengambil ajaran tersebut, ahli sejarah berbeda pendapat. Menurut al Murtadha ajaran

tersebut diambil Gailan dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnu al Hanafiyah.33 Akan tetapi

sementara pendapat mengatakan bahwa ajaran ini diambilnya dari seorang penduduk Irak

yang pada mulanya beragama nasrani dan kemudian masuk Islam, tetapi kemudian kembali

lagi menjadi nasrani. Tetapi menurut riwayat lain ajaran Qadariyah diambil dari Abu Yunus

al-Asawirah.34

Munculnya paham Qodariyah ini dapat dikatakan lebih dahulu dari paham Jabariyah.

Gailan al-Dimasyqi menyebarkan ajarannya secara terang-terangan pada masa pemerintahan

Umar ibn Abd al Aziz dari khalifah Bani Umayah. Dia (Gailan) mengirimkan sebuah

29 Abu al-Fath Muhammad Ibnu Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal…, hlm. 8530 Harun Nasution. Teologi…, hlm. 3431 Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh…, hlm. 2432 Harun Nasution, Teologi…, hlm. 3133 Ibnu al-Murtadha, al-Mun-yah wa al-‘Amal fi Syarh al-milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 1534 Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh…, hlm. 35

Page 13: QADHA QADAR

13

pernyataan tentang taqkir kepada khalifah, dan sewaktu dihadapkan pada khalifah ia siap

dibunuh. Lalu khalifah menghadirkan al-Auza’i untuk melayani tantangannya itu. Dan karena

Gailan tidak bisa menjawab tiga pertanyaan yang dilontarkan al-Auza’i, akhirnya Gailan

dibunuh oleh Hisyam ibn Abd al-Malik. Sedangkan kematian Ma’bad al Juhani adalah karena

ia bersekongkol dengan Abd al-Rahman ibnu al-Asy’as melakukan pemberontakan terhadap

penguasa Bani Umayah. Ia (Ma’bad) dibunuh oleh al-Hajjaj.35

Paham Qodariyah memandang manusia mempunyai kebebasan kehendak dan

kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Manusia mampu menjauhi atau

melakukan perbuatan-perbuatan jahat, adalah atas kemauan dan dayanya sendiri. Di dalam

ajaran Qadariyah tidak didapatkan adanya konsep bahwa manusia itu telah ditentukan

terlebih dahulu nasibnya. Jadi sekte ini tidak memerayai adanya takdir, sebagaimana yang

dianut oleh umumnya umat Islam.

Adapun yang memicu kelahiran paham Qadariyah ini didukung oleh faktor internal

yang antara lain:

a. dalam ajaran Islam sendiri terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan

pengikutnya agar berusaha dan bekerja keras untuk mencapai suatu yang diinginkan.

Diantara ayat-ayat tersebut misalnya:

… 36……Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…

Pemahaman yang tidak utuh terhadap ayat atau hadis yang ikhtiyari sehingga seorang

mendapat peluang untuk mempertentangkannya dengan ayat atau hadis yang jabbary,

padahal Nabi saw melarang hal yang demikian.

b. Didorong oleh munculnya beberapa sekte lainnya, masyarakat dalam lingkungan yang

dahulu merupakan basis agama nasrani, mulailah memperbincangkan kembali ajaran

atau paham predestination dan paham free will atau free act yang pernah terjadi

sebelum Islam datang.

Menurut Qadariyah kebebasan berusaha bagi manusia tidak mungkin terwujud jika

tidak ada kebebasan berkehendak. Kebebasan itupun seukurang dengan kemampuan manusia,

sebab segala sesuatu terjadi di dunia ini tidak bisa terlepas dari sunah Allah, melalui proses

35 Syamsuddin Muhammad Ja’far, Dirasat fi ‘Aqidah al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Kutub, 1977), hlm.336 Al-Qur’an, surah ar-Ra’d: 11

Page 14: QADHA QADAR

14

kausalitas atau hukum sebab akibat. Namun tidak semua akibat dapat diketahui dan

diperhitungkan oleh manusia. Hanya sebagian kecil saja sebab-sebab itu dapat diketahui

manusia.

Menurut mereka, manusia adalah pelaku kebaikan dan kejahatan, keimanan dan

kekafiran, ketaatan dan kedurhakaan. Ia mendapat balasan karena perbuatannya. Tuhan

memberinya kemampuan untuk semua itu. Tuhan mustahil menyampaikan perintah-Nya

kepada seorang manusia, pada hal orang tersebut tidak dapat bekerja atau tidak merasakan di

dalam dirinya kemampuan dan kerja. Mengingkari hal demikian berarti mengingkari

kemestian.37

Menurut paham Qadariyah, manusia memiliki kemampuan dalam dirinya untuk

berbuat baik atau sebaliknya, karena ia diciptakan demikian. Di samping itu ia mampu

menerima beban tugas (taklif) seberat apapun, karena sudah disesuaikan dengannya, yaitu

kemampuan yang terdapat dalam dirinya dan ia rasakan keberadaannya. Maka kebebasan

memilih berada di pihaknya.

Iman cukup dengan ma’rifah, dan perbuatan tidak termasuk bagian dari iman.

Tampaknya konsep Qadariyah mengenai iman dan perbuatan ini mungkin dapat dikatakan

sama dan serupa dengan pendapat golongan murji’ah yang berpegang pada semboyan:

, طاعة الكفر مع تنفع وال معصية االيمان مع تضر ال

Maksiat tidaklah merusak iman, dan taat tidak ada manfaatnya bersama kufur

Ajaran mereka yang lain ialah tentang Khalq Alquran. Kalau ada yang mengaku

bahwa Alquran itu qadim, maka ia telah menjadi syirik karena sudah mengakui adanya

ta’addud al-qudama’ kata mereka. Inilah yang kemudian dijadikan pegangan oleh

Mu’tazilah.

Gailan juga meniadakan sifat-sifat tsubutiyyah. Motif peniadaan sifat-sifat tersebut

sama seperti yang juga dilakukan oleh Mu’tazilah dalam upaya memurnikan tauhid kepada

Allah dan menghindarkan diri dari mempersekutukan-Nya. Di samping itu Gailan juga

berpendapat bahwa jabatan iman boleh dipegang oleh selain orang Quraisy. Ajaran atau

pendapat ini tampaknya sejalan dengan pendapat golongan khawarij. Itulah sebabnya ada

orang yang menganggap bahwa Gailan adalah seorang Khawarij.

37 Abu al-Fath Muhammad Ibnu Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal…, hlm. 47

Page 15: QADHA QADAR

15

3. Pandangan Para Ulama’ Ahli Kalam

Para ulama kalam dari golongan Ahl al-Sunnah mengakui bahwa Allahlah pencipta

segala sesuatu. Di samping itu, mereka ingin menghindarkan manusia dari keterpaksaan

dalam perbuatan mereka. Dan dalam hal ini mereka belum merasa puas dengan pendapat

yang dikemukakan mazhab Asy’ariyah khususnya oleh al-Asy’ari. Mereka merasa perlu

membahas lebih lanjut untuk mencari dan mengetahui serta menemukan sesuatu yang dapat

dikatakan dari manusia yang punya pengaruh atau efektif dalam melahirkan perbuatan-

perbuatan. Namun yang demikian itu tidak sampai mendudukkan manusia ke derajat untuk

mencipta dan mengadakan. Pengaruh atau efektifitas atau peran inilah yang mereka namakan

dengan istilah al-kasb, dengan asumsi bahwa lafaz ini bukan berarti mencipta atau

mengadakan.

Al-Baghdadi dalam kitab ushul al-Din menukilkan bahwa, menurut golongan

Qadariyah, teori al-kasb yang dikemukakan oleh golongan Ahl al-Sunnah tidak masuk akal.

Tidak ada jalan atau aspek apapun untuk melekatkan perbuatan kepada muktasib yang

diperbuatnya itu. Perbuatan sebelum terjadinya adalah asy-ya’ dan ’aradh, dan manusia

sebagai muktasib tidakah menjadikannya asy-ya’ dan ’aradh. Allah lah yang menjadikan

perbuatan asy-ya’ dan ’aradh. Inilah yang kita maksud dengan ungkatap bahwa Allah

menciptakan semua perbuatan hamba-Nya. Artinya Dialah yang menjadikan asy-ya’ dan

’aradh. ”kaum (Qadariyah) mengatakan bahwa bukan manusia yang menjadikan keduanya

itu. Maka apa yang kamu nafikan dari manusia itu, kami kembalikan dan pulangkan kepada

Allah”.38

Menurut al-Baghdadi, berbicara tentang iktisab manusia dan perbuatan hewan, para

ahli ilmu kalam terpecah kepada tiga mazhab:

a. Ahl al-Sunnah, yang berpendapat bahwa Allahlah yang menjadikan semuanya itu,

yang menjadikan ajsam (zat), warna, rasa dan bau. Tidak ada pencipta selain Dia.

Manusia hanyalah muktasib bagi amal-amal mereka.

b. Jahmiyyah, yang berpendapat bahwa manusia terpaksa dalam segala perbuatan yang

dinisbahkan kepada mereka. Tak ada bagi hamba apa yang disebut iktisab. Tidak ada

bagi mereka kesanggupan untuk itu. Semua gerak mereka yang ikhtiyariyyah sama

saja dengan keringat yang keluar dari tubuh mereka. Bukan atas usaha mereka

sendiri.

38 Abu Mansur Abd al-Qahir Ibnu Thahir al-Tamimi al-Baghdadi. Kitab Ushul al-Din Cet ke3, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), hlm. 133.

Page 16: QADHA QADAR

16

c. Qadariyah berpendapat, bahwa manusia yang menciptakan kasab mereka. Hewan

pun begitu. Mereka yang mengadakan amal-amal mereka. Tidak ada campur tangan

Allah terhadap perbuatan dan amal manusia dan hewan itu. Qudrah Alah tidak ikut

dalam mewujudkan apa yang dilakukan oleh makhluk-Nya. Sekalipun Dialah yang

memberikan qudrah, daya dan kemampuan bagi makhluk-Nya itu untuk berbuat.

Manusia dapat dikatakan sebagai muktasib, hanya terhadap kejadian pada mahall

(tempat dan waktu itu saja). Bisa saja anak panah tidak meluncur, atau berhasil tidaknya

mereka mengenai sasaran, dan dapat mengenai sasaran tetapi tidak melukainya. Akibat-

akibat tersebut Allahlah yang menentukan salah satu di antara dua kemungkinannya.39

Menurut al-Nazhzham (dari Qadariyah), sesungguhnya al-mutawallidat semuanya

perbuatan Allah dengan ijab al-khalqah. Misal dari ijab al-khalqah seperti Allah menjadikan

batu dan memberi thabi’ah tidak bisa menggantung di udari. Namun bila batu bisa

menggantung di udara adalah hal yang ja-iz, bukan mustahil. Sementara golongan Mu’tazilah

membantah pendapat yang mengatakan semua mutawallidat perbuatan Allah, sebab ini akan

membawa kepada kesimpulan bahwa kekufuran itu juga Allah yang menjadikan.

Al-Sanusi –salah seorang pengikut Asy’ariyah- berpendapat bahwa Allahlah yang

menjadikan atau menciptakan semua perbuatan manusia. Qudrah haditsah yang ada pada

mereka tidak berpengaruh secara efektif terhadap perbuatan mereka. Qudrah tersebut malah

juga diciptakan Allah bersamaan dengan perbuatan itu. Hal ini dikemukakan al-Sanusi untuk

menolak pendapat Qadariyah yang beranggapan bahwa qudrah haditsah yang ada pada

manusia itulah yang berpengaruh secara efektif terhadap perbuatannya dan sesuai dengan

ikhtiyar-nya. Dan qudrah qadimah tidak ikut berperan lagi dalam mewujudkan perbuatan

manusia.40

Menurut al-Sanusi, Qadariyah telah menjadikan daya dan keinginan seseorang pada

suatu perbuatan, sebagai penghalang terkaitnya perbuatan tersebut dengan qudrah dan iradah

Allah. Ini tentu sama saja dengan adanya yang berbuat selain Allah, dan itu adalah syirk.41

Beliau menegaskan: Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh golongan Ahl al-Sunnah

dengan beralasan pada zahir ayat Alqur’an dan sunnah atau hadits Rasulullah yang telah

disepakati para ulama salaf, yaitu; Allahlah yang menciptakan terwujudnya setiap yang

mungkin wujud, baik zat maupun perkataan atau perbuatan dari zat itu. Hal ini berdasarkan

pada ayat Alqur’an:

39 Ibid, hlm. 13840 Abu Abdullah Muhammad ibnu Yusuf ibnu al-Husain ibnu ‘Amir ibnu Syu’aib al-Sanusi, Syarh al-Sanusiyyah al-Kubro, Taqdim al-Duktur Abd al-Fattah Abdullah Barakah (Thab al-Syarh, 1899 M), hlm. 27841 Ibid, hlm. 279

Page 17: QADHA QADAR

17

42 Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.

Menurut al-Sanusi, Allah bisa saja meng-‘iqab orang tak berdosa dan memberi

nikmat kepada orang berdosa. Ida bisa berbuat apa saja yang Ia kehendaki. Perbuatan-

perbuatan yang terjadi pada manusia hanyalah tanda-tanda (amarat) yang ditetapkan syar’i

(Allah) untuk memperoleh kebahagiaan (sa’adah) atau bencana (syaqawah). Untuk pahala

dan dosa tidak ada ’illah ’aqliyah yang menghendakinya. Hal-hal yang dijadikan syara’

penyebab bagi pahala dan dosa itu, tidak lain yang dimaksud adalah amarat.43 Pahala dan

dosa bukanlah sebabnya perbuatan, tetapi hanya tergantung kemurahan dan keadilah Allah

semata. Dan segi lain Qadariyah berkata: kalaulah bukan manusia yang melakukan

perbuatan-perbuatannya, tentu orang yang yang akan dimasukkan ke dalam neraka akan

membantah Tuhan.

Sebenarnya, perbincangan tentang perbuatan manusia telah terjadi pada zaman salaf.44

Sebagian ulama’ membatasi masa salaf ini hanya pada masa Nabi dan sahabat, tetapi

sebagian ulama’ yang lain yang mengaitkannya sampai masa tabi’in. Pada masa itu

pemikiran tampaknya lebih menunjukkan corak pemikiran yang dianut kaum muslimin pada

masa awal, sebelum dimasuki oleh unsur-unsur filsafat, dan hanya berpegang pada nash.

Ahmad ibnu Hanbal yang oleh Muhammad Abd al-Sattar dianggap sebagai tokoh Salaf

yang pendapatnya menggambarkan akidah Salaf yang sebenarnya, juga memiliki keyakinan

yang demikian. Beliau memandang perbuatan dari dua sisi: sisi manusia dan sisi Tuhan. Dari

sisi Tuhan perbuatan ia sebut dengan al-khalq, sedang dari sisi manusia ia namakan dengan

iktisab.45

Di antara kaum salaf ada yang mengemukakan tentang kebebasan manusia dalam

perbuatannya. Misalnya ’Ali ibnu Abi Thalib. Beliau mengakui tentang kebebasan manusia

dalam berkehendak.46

Sementara Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai tokoh pembangkit kembali ajaran Salaf,

tampaknya mempunyai pandangan yang pada dasarnya berkesimpulan sama dengan

pandangan kaum Salaf. Hanya kelihatannya beliau lebih gigih mempertahankan kebebasan

42 Al-Qur’an, surah al-Qamar: 4943 Abu Abdullah Muhammad ibnu Yusuf ibnu al-Husain ibnu ‘Amir ibnu Syu’aib al-Sanusi, Syarh..., hlm. 29544 Musthafa Hilmi, Al-Salafiyyah Bain a-‘Aqidah al-Islamiyyah wa al-falsafah al-Gharbiyyah (Kairo: Daar al-Da’wah, 1983) hlm. 59.45 Muhammad Abd al-Sattar, Al-Madrasah al-Salafiyyah wa Mauqif Rijaluha min al-Mantiq wa ‘Ilm al-Kalam (Mesir: Dar al-Anshar, 1979) hlm. 526.46 Musthafa Hilmi, Mahnaj ‘Ulama’ al-Hadits wa al-Sunnah fi Ushul al-Din (Iskandariyah: t.p., tt.) hlm.9.

Page 18: QADHA QADAR

18

yang menurutnya dimiliki oleh manusia, meskipun akhirnya ia terjatuh juga ke dalam paham

kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.

Menurut Ibnu Taimiyah, Tuhan tidak hanya menciptakan perbuatan, tetapi juga

menciptakan daya dan kehendak dalam diri manusia.47 Daya itu bersifat efektif. Dengan

memberikan daya pada manusia, berarti Tuhan memberikan sebab untuk berbuat atau untuk

terjadinya satu peristiwa. Dengan demikian, terjadinya suatu peristiwa adalah dalam

hubungan sebab akibat, atau hubungan antara qudrah dengan maqdur. Daya tidak dapat

dipisahkan dari perbuatan, sama halnya dengan sebab yang tidak dapat dipisahkan dari

akibat.48 Dengan daya yang demikian, beliau memandang manusia bebas dalam memilih

perbuatannya, dan pada kebebasan yang demikian, meliau meletakkan taklif dan tanggung

jawab manusia atas perbuatannya.

Suatu kewajiban kalau tidak dilakukan akan mendapat ancaman bagi yang tidak

melakukan itu, misalnya ancaman masuk neraka bagi seorang yang tidak mematuhi perintah

Allah, dengan arti tidak mengerjakan atau memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya,

atau terancam bahaya maut bagi seorang pasien yang tidak mengindahkan nasihat dokter

yang mewajibkannya menjaga pantangan-pantangan penyakit yang menimpanya.

C. Sejarah Perkembangan Pemahaman Qadha’ dan Qadar

Di Mekah, tempat Nabi Muhammad Saw memulai tugas kerasulannya, dakwah

diarahkan untuk menyampaikan dan menantapkan tiga prinsip utama; yaitu mengakui

Muhammad sebagai rasul yang diutus Allah, menyembah hanya kepada Allah yang Esa dan

meninggalkan penyembahan berhala, serta beriman dan memercayai akan adanya kehidupan

akhirat kelak. Orang Mekah tidak langsung menerima atau membenarkan prinsip-prinsip

ajaran tersebut, malah sebagian besar menolaknya.

Di Madinah, prinsip pertama cepat mendapat tanggapan positif. Orang-orang percaya

dan membenarkan kerasulan Muhammad Saw. Dengan sendirinya prinsip kedua dan ketiga

juga langsung diterima. Namun, mereka tidak bertanya-tanya tentang apa yang disampaikan

rasul itu. Masing-masing orang memahami ajaran yang dibawa oleh Muhammad Saw sesuai

dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka memahami Alquran dengan tingkat

kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka masing-masing, dan sesuai dengan

isti’dad yang diberikan Allah.

47 Ibnu Taimiyah, Al-‘Aqidah wa al-Wasithiyyah (Beirut: Dar al-‘Arabiyyah, tt. ) hlm. 62.48 Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah I (t.k.: Al-Riyad al-Haditsah, t.t.) hlm. 285.

Page 19: QADHA QADAR

19

Mereka mengetahui bahwa apa saja yang terdapat dalam Alquran adalah haqq atau

benar adanya. Tak beda ayat yang zahirnya tasybih dengan ayat yang zahirnya tanzih. Semua

yang diberitakan Alquran diterima tanpa membanding-bandingkan antara ayat-ayatnya.

Mereka yakin bahwa itu semua datang dari Allah, untuk memperbaiki dan membetulkan

kehidupan mereka dan manusia lainnya.

Bila muncul sedikit saja keraguan mereka tentang sesuatu, mereka tidak mencoba

memikirkan pemecahannya, tetapi langsung saja menanyakannya kepada Nabi Saw yang

langsung menjawab serta menjelaskan berbagai pertanyaan tersebut, sehingga mereka merasa

puas dan tenang. Keadaan ini berubah setelah Rasulullah Saw wafat. Namun perubahan ini

tetap mengacu kepada kepentingan perbaikan masyarakan dan hubungan kemanusiaan, di

bawah pimpinan para sahabat pilihan pengganti Rasulullah, al-Khulafa’ al Rasyidin.

Di masa al-Khulafa’ al Rasyidin para sahabat menempuh cara seperti yang ditempuh

oleh Rasulullah Saw. Mereka hanya berusaha melaksanakan apa yang diperintahkan Allah

Swt dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Dengan kata lain, perhatian atau kepentingan mereka diarahkan paa hukum ’amaliyah

praktis. Mereka tidak atau belum menghadapi sesuatu yang berhubungan dengan akidah. Bila

muncul masalah baru, mereka cari penyelesaiannya dalam kitab Allah atau sunnah

Rasulullah Saw. Kalu tidak menemukan jawabannya dalam kedua sumber itu, jalan

keluarnya mereka qiyaskan dengan kejadian yang hampir sama dengan kejadian di masa

Rasulullah Saw. Dan apabila tidak ada peristiwa yang diqiyaskan kepada kejadian baru itu,

maka mereka terkadang merujuk pada pendapat perorangan yang dapat diterima bersama,

dan terkadang mereka memusyawarahkan masalah tersebut sehingga didapat satu pendapat

yang akan mereka amalkan dan mereka dukung bersama-sama.49

Hal seperti tersebut di atas, hanya berlaku pada kalangan para sahabat Nabi yang

bertemu, bergaul dan belajar dari beliau langsung, tentang ajaran agama yang mereka anut.

Mereka pun merasa puas dengan pokok-pokok ajaran dimaksud.

Sedangkan di masa al-khulafa’ al Rasyidin tidak semua orang muslim menjadi

sahabat Rasul sebagaimana disebutkan di atas. Sebagian mereka adalah muallaf (orang-orang

baru masuk Islam) dan tidak bertemu lagi dengan Rasul. Bahkan ada yang berasal dari

bangsa asing (bukan Arab) yang telah masuk wilayah Islam serta tunduk di bawah

hukumnya. Kelompok terakhir ini belum memahami dengan baik ruh Islam dan kandungan

ajarannya yang agung. Dalam diri mereka masih ada sisa-sisa budaya lama mereka sebelum

masuk Islam. Budaya lama mereka itu bahkan tak pernah padam. Orang dengan kondisi

49‘Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh..., hlm. 14

Page 20: QADHA QADAR

20

itulah yang banyak berpengaruh atau ada pengaruhnya dalam ilmu kalam di kalangan umat

Islam.50

Al-Qadhi Abu al Hasan Abd. Al Jabbar dalam kitabnya al-Mughni menukilkan

sebagai berikut: “Syekh Abu ‘Ali menyebutkan bahwa yang mula-mula mengatakan dan

menjelaskan tentang al-jabr adalah Mu’awiyah. Ia mengemukakan bahwa apa yang ia

lakukan adalah berdasarkan qadha dari Allah dan termasuk di antara ciptaan-Nya. Ia

mencoba meyakinkan umat bahwa ia benar pada pendapatnya itu. Allah menjadikannya

imam (pemimpin) dan yang mengurus urusan umat. Berita itupun tersebar luas di kalangan

kerasaan kekuasaan Bani Umayah.51

Setelah berakhirnya kekuasaan Bani Umayah, yakni pada masa Bani Abbas, akan

terlihat berbagai hal, perkara dan unsur-unsur yang baru sama sekali. Benih-benih firqah

(perpecahan) muncul sedikit demi sedikit yang pada akhirnya semarak berkembang dalam

masyarakat Islam.52

Menurut Musthafa Shabri. Sesungguhnya mazhab yang terbaik dalam masalah qadha

dan qadar ialah yang dikemukakan oleh Imam Ahl al Sunnah Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Belilaulah orang pertema yang mengibarkan bendera kesungguhan yang sepenuh hati

(mujahadah) dan meninggalkan (i’tizal) Mu’tazilah. Beliau menghidupkan kembali akidah

seperti yang ada di masa Rasulullah Saw dan al khulafa’ al Rasyidin, sebagai kurun terbaik

dalam memelihara akidah yang benar. Al-Asy’ari mengembalikan ilmu kalam kepada

jalurnya yang betul, setelah sebelumnya diselewengkan oleh golongan Mu’tazilah, Murji’ah,

Musyabbihah dan sebagainya.

Mazhab al-Asy’ari selalu menjadi pegangan oleh para ahli ilmu kalam golongan Ahl

al-Sunnah. Posisi tersebut tak tergoyahkan oleh kritikan beberapa sahabat beliau,

menyangkut beberapa masalah, termasuk tantangan dari saingan sesamanya yaitu Abu

Mansur al-Maturidi (beliau juga merupakan tokoh terkemuka di kalangan Ahl al-Sunnah

sesudah al-Asy’ari).

Orang yang kurang suka bicara tentang iman kepada qadar, melemparkan tuduhan

bahwa penyebab kemunduran umat Islam dan tertinggal dari umat lain (Barat) adalah

mazhab al-Asy’ari, terutama dalam masalah af’al al-’ibad. Selanjutnya mereka berpihak

kepada mazhab al-Maturidi, bahkan ujung-ujungnya mendukung mazhab Mu’tazilah. Mereka

50 Ibid, hlm. 1551Al-Qadhi Abu al-Hasan Abd al-Jabbar, Al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa al-‘Adl (Kairo: Dar al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Qaumi, al-Muassasah al-Mishriyah al-‘Ammah, t.t.) hlm. 452 Abd al-Qahir ibnu Thahir bin Muhammad al-Baghdadi al-isfaraini al Tamimi, al-Farq bain al Firaq, (Mesir: Maktabah Muhammad ‘Ali Shabuni wa Auladih, t.t.), hlm. 16

Page 21: QADHA QADAR

21

melupakan bahwa iman kepada qadar termasuk urusan yang diperintahkan dalam Islam.

Menguatkan salah satu madzhab tentang af’al al-‘ibad hendaklah dipertimbangkan untuk

memelihara iman pada qadar dan yang sesuai dengan al-Haqq (kebenaran).53

Pendapat beberapa golongan tersebut tentang qadar digambarkan oleh al-Ghazali

sebagai berikut:

Golongan Qadariyah mengingkari adanya qadha Allah. Mereka berpendapat bahwa

baik dan buruk sepenuhnya perbuatan manusia sendiri. Landasan mereka adalah untuk

membersihkan Allah dari berbuat zhulm dan yang keji. Tetapi mereka tidak menyadari

bahwa hal itu sekaligus me-nisbah-kan kelemahan kepada Allah.

Sebaliknya golongan Jabariyah berpegang teguh pada qadha Allah. Mereka

berpendapat bahwa baik dan buruk dari Allah semata. Tidak ada campur tangan manusia.

Dengan begitu mereka ingin membersihkan Allah dari ’ajz (lemah). Namun mereka tidak

menyadari bahwa hal itu sama saja dengan menyandarkan zhulm (kezaliman) kepada Allah.

Mereka dapat dianggap mendurhakai Allah karena melekatkan (me-nisbah-kan) sesuatu

kekurangan kepada Allah, dan memberseihkan diri mereka dari berbuat salah.

Golongan Qadariyah menegaskan adanya ikhtiyar penuh dari manusia dalam segala

perbuatannya. Mereka tidak mengakui adanya qadha dan qadar Allah terhadap perbuatan-

perbuatan yang ikhtiyariyah. Sebaliknya golongan Jabariyah menafikan sama sekali adanya

ikhtiyar manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Mereka sepenuhnya berpegang kepada

qadha dan qadar Allah.

Golongan Mu’tazilah pada dasarnya sama dengan Qadariyah. Mereka tidak suka

melekatkan (me-nisbah-kan) sifat keji dan zhulm kepada Allah. Karenanya mereka

berpendapat adanya ikhtiyar kulli pada manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Tapi itu

sekaligus me-nisbah-kan sifat ’ajz kepada Allah. Ini adalah suatu kekeliruan. Allah Maha

Suci dari sifat kekurangan.54

Selanjutnya golongan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah mencoba menengahi antara

kedua pendapat yang sangat ekstrim itu. Mereka tidak menafikan adanya ikhtiyar pada diri

manusia, dan mereka juga tidak menafikan adanya qadha dan qadar Allah. Perbuatan

manusia dari satu sisi adalah perbuatan dari Allah, dan dari sisi lain adalah perbuatan

manusia itu sendiri. Jadi ada ikhtiyar dalam mewujudkan perbuatannya.

53 Musthafa Shabri, Mauqif al-Basyar Tahta Sulthan al-Qadar, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah wa Maktabatuha, 1352 H.), hlm. 654 Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), hlm. 8

Page 22: QADHA QADAR

22

Jabariyah berpendapat bahwa apa saja yang terjadi di alam ini, baik atau buruk,

perkatan atau perbuatan, semuanya dengan qadha dan qadar Allah semata. Tidak ada campur

ikhtiyar manusia padanya. Ringkasnya mereka berpendapat bahwa Allah memaksa manusia

dalam berkata dan berbuat, tanpa ada ikhtiyar mereka padanya. Adapun mengaitkan

perbuatan atau perkataan itu kepada manusia, sama saja dengan mengaitkan suatu kejadian

pada benda-benda mati.

Menurut al-Ghazali, mazhab yang benar adalah yang berpendapat bahwa yang

berpengaruh secara efektif terhadap sesuatu adalah dua qudrah, yaitu qudrat Allah dan

qudrat manusia. Maka perbuatan-perbuatan yang terjadi pada manusia adalah berdasarkan

qadha dan qadar Allah, serta ikhtiyar dari manusia itu sendiri. Dengan kata lain, taqdir dari

Allah, dan usaha atau kasb dari manusia. Pendapat ini merupakan jalan tengah antara

Qadariyah dan Jabariyah, dan inilah pendapat Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah.

Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Aqsha menyebutkan, bahwa rencana Tuhanlah yang

menentukan dan menjadi sebab pertama dari segala sebab-sebab yang semuanya itu berarah

kepada suatu ketetapan (hukm) dan bagian atau rincian yang tetap. Tidak akan lenyap dan

tidak akan berubah, sebagai suatu sistem, seperti planet-planet, bintang-bintang dan galaksi

ini. Semua gerakan benda-benda langit itu serasi dan seimbang, kekal dan tetap, tidak akan

berubah dan tidak akan lenyap, sampai waktu (ajal)-nya yang telah ditentukan Allah

(kiamat).55

Secara ilustratif, al-Ghazali melukiskan hal ini dengan membayangkan sebuah jam

waktu dengan sejumlah peralatan yang rumit, tetapi bekerja dengan teratur dan rapi. Jatuhnya

bola pada mangkok, adalah penyebab pertama timbulnya gerakan pada suatu alat. Gerakan

alat ini menimbulkan pula gerakan pada alat yang satu lagi, dan seterusnya, sehingga terjadi

rangkaian gerakan yang serasi, tertentu, teratur dsb. Yang menakjubkan. Pangkal atau sebab

pertama dari kesemuanya ialah jatuhnya air dengan kadar tertentu dari silinder yang

diletakkan dalam suatu bejana. Barangkali dengan melalui atau dengan memperhatikan jam

zaman ini, dapat juga diilustrasikan rangkaian gerak yang serasi, teratur, terukur, yang

menakjubkan itu. Dengan demikian dapat dibayangkan betapa Maha Agungnya Allah yang

mengatur alam semesta ini.

Allah berfirman:

56

Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.

55 Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Kitab…, hlm. 1056 Al-Qur’an, surah ar-Rahmaan: 5

Page 23: QADHA QADAR

23

Gerakan tersebut dinamakan taqdir. Menentukan serta menetapkan sebab-sebab

itulah qadha. Sedangkan rancangan awal (tadbir awwal) yang hanya ”sekejab mata” itulah

hukm. Maka semua yang terjadi di alam semesta ini, buruk atau baik, tidak keluar dari masyi-

at (keinginan) Allah. Bahkan itu adalah iradat-Nya. Karena Dialah yang merancang

rangkaian sebab-sebab. Memang, memahami urusan ketuhanan melalui contoh yang

kongkret, adalah suatu yang sangat sukar.57

Sekecil apapun kejadian atau peristiwa di alam semesta ini, walau sekejap mata, atau

selintas rasa, maupun selayang fikir, semuanya berlaku dengan qadha, qudrah, iradah, dan

masyi’ah Allah. Apakah itu baik atau buruk, bermanfaat atau tidak, Islam atau kafir, baik

atau munkar, keberhasilan atau kegagalan, bodoh atau pintar, taat atau maksiat, syirik atau

iman, dan sebagainya. Tidak ada yang bisa menolak kehendak dan ketentuan-Nya. Tidak ada

yang bisa mengubah atau menggagalkan keputusan dan ketetapan-Nya. Ia sesatkan siapa saja

yang ia kehendaki, dan ia tunjuki siapa yang ia kehendaki.58

Menurut al-Ghazali, menjadikan dan menciptakan adalah merupakan karunia dari

Allah. Begitu juga taklif yang dengannya seorang dapat mencapai derajat terhormat, semua

itu semata-mata kemurahan dari Allah, bukan suatu kewajiban atas-Nya.

Semua yang ada, baik secara global seperti alam semesta, ataupun manusia secara

khusus dengan segala kelebihan yang telah diberikan Allah kepadanya (akal dan kemampuan

yang ada padanya untuk mencapai kesenangan), bukan suatu kewajiban atas Allah. Begitu

juga mengutus rasul, memberi pahala dan menjatuhkan ’iqab semuanya itu juga bukan

kewajiban Allah, baik wajib syar’i atau wajib ’aqli, maupun wajib ’adi.

Tidak mungkin dianggap salah atau zhalim Allah yang memperlakukan hak milik-

Nya menurut kemauan-Nya. Yang dikatakan zhalim ialah kalau berbuat semena-mena

terhadap milik orang lain tanpa seizinnya. Ini mustahil bagi Allah, karena makhluk-Nya

termasuk manusia adalah milik-Nya yang dapat diperlakukan-Nya sekehendak-Nya.59

Allah bebas berbuat apa saja terhadap hamba-Nya menurut kehendak-Nya sendiri.

Dia tidak wajib memelihara yang terbaik untuk hamba. Tidak ada suatu kewajiban yang

mesti dilakukan Tuhan, karena tidak masuk akal. Tidak ada orang yang akan meminta

pertanggung jawaban-Nya. Hanya manusia yang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap

apa yang telah dilakukan atau diusahakan.60

57Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Kitab…, hlm. 11-1258 Ibid, hlm. 859 Ibid, hlm. 20460 Ibid, hlm. 206

Page 24: QADHA QADAR

24

Salah seorang pemikir Indonesia, Haji Agoes Salim dalam bukunya Keterangan

Filsafat tentang Tauhid, Taqdir dan Tawakkal menyatakan bahwa pokok yang terutama di

dalam Islam bukanlah tawakal dan sabar, melainkan ajaran tauhid. Segala kepercayaan

tentang qadar atau taqdir yang mewajibkan tawakkal dan sabar, semuanya terbit dari pada

ajaran tauhid dan berdasar kepadanya.

Allah berkuasa bila sewaktu-waktu mencabut nyawa kita. Kita hidup, akan berbuat

sesuatu atau tidak, hal itu tergantung kepada kehendak Allah dan taqdir-Nya semata. Kita

lahir ke dunia tidak memilih ibu dan bapak, tidak memilih bangsa dan tanah air. Segalanya

itu lepas dari pada kekuasaan kita. Semuanya semata-mata bergantung kepada kehendak dan

takdir Allah belaka.61

Akan tetapi kita tetap yakin, bahwa takdir Allah mesti berlaku secara mutlak. Artinya,

tidak dapat kita pungkiri, tidak dapat kita ubah. Karenanya, bila takdir baik yang kita temui,

janganlah lupa bahwa itu adalahnikmat dan karunia dari Allah. Maka wajiblah kita bersyukur

atu nasib kita yang sedang baik, dan jangan lupa menjaga diri serta berdoa memohon

disempurnakan-Nya nikmat itu dengan husn al-Khaatimah. Sebaliknya jika kita merasa

takdir membawa kita pada kejahatan, jangan putus asa menjadi baik. Kita tidak tahu rahasia

Allah. Bersungguh-sungguhlah mencari jalan taubat, kembali pulang kepada jalan kebenaran

dan kebajikan. Bersikaplah sebagai seseorang yang percaya penuh dan teguh kepada qadar.62

Bukanlah bernama keutamaan jika kita berbuat karena mengharapkan keuntungan

dan bahagia, atau karena hendak menyingkirkan atau terhindar dari kerugian dan kecelakaan.

Bukanlah keutamaan dan kebaktian, kedermawanan dan kebajikan, jika kita berbuat karena

mengharapkan upah, bersifat mencari untung di dunia dan di akhirat. Bukanlah keutamaan

jika kita menjauhi larangan dan kejahatan, oleh karena ketakutan kita akan hukuman

sengsara di dunia, atau siksaan di akhirat (neraka).

Berbuat kebaktian dan kebajikan atau menjauhi kejahatan yang semacam itu tidak

lain bagaikan ”jual beli”, mengharapkan laba, mengelakkan rugi. Sifat jual beli tidak

berharga, malah menjadi kenistaan, jika dilakukan terhadap Allah.63

D. Penutup

Demikianlah uraian dan pembahasan tentang qadha dan qadar ini. Secara umum

pembahasan ini dapat disimpulkan dalam beberapa poin yang antara lain:

61 H. Agus Salim, Keterangan Filsafat tentang Takdir dan Tawakkal ( Jakarta: Tintamas, 1967) hlm. 3462 Ibid, hlm. 4863 Ibid, hlm. 55

Page 25: QADHA QADAR

25

Pertama, ada hal yang terasa aneh namun merupakan sebuah kenyataan, bahwa

aliran-aliran yang ada di kalangan umat Islam, ternyata bermula dari masalah politik atau

kekuasaan, yang kemudian berkembang menjadi perbincangan dalam bidang teologi. Para

ahli kalam melalui aliran-aliran tersebut saling berbeda pendapat dalam memahami hakikat

takdir (qadha dan qadar). Adapun dasar dari semua pemahaman yang berbeda tersebut

sebenarnya berporos pada makna kemahakuasaan serta keadilan Tuhan, hubungannya dengan

kebebasan manusia dalam berbuat.

Kedua, sebenarnya istilah qadha dan qadar yang dimaksud oleh para ahli kalam

tersebut bukanlah bahasan yang dimunculkan secara spesifik oleh al-Quran, karena al-Quran

tidak pernah menggunakan istilah “qadha” bersamaan dengan “qadar” (qadha wa qadar).

Bahkan baik kata qadha maupun qadar yang tercantum dalam al-Quran memiliki makna yang

banyak, yang belum tentu sejalur dengan makna qadha dan qadar yang dibahas oleh para ahli

ilmu kalam.

Ketiga, pertentangan di kalangan umat Islam yang menjadikan perpecahan ini

dikarenakan perbedaan pandangan dan pendapat masing-masing golongan, yang disebabkan

oleh berbedanya latar belakang, lingkungan, budaya, maupun tingkat ilmu pengetahuan,

disamping orientasi yang tidak seragam, antara yang berpijak pada kekuasaan mutlak Tuhan,

maupun pertanggung jawaban manusia sebagai khalifah.

Keempat, perlu diperhatikan bahwa dari semua perbedaan pendapat tersebut, ternyata

tidak ada aliran, termasuk Mu’tazilah sekalipun, yang meniadakan sama sekali adanya

peranan atau campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia dengan segala perbuatannya.

Di sisi lain, ternyata juga tidak satu pun aliran teologi Islam yang meniadakan sama sekali

adanya tanggung jawab manusia terhadap perbuatannya, termasuk kaum Jabariyah sekalipun.

Sebagaimana paham Jabariyah masih mengakui adanya surga dan neraka, sebagai hubungan

dari pahala dan dosa atas perbuatan manusia.

Kelima, dengan memerhatikan hal di atas, maka bisa disingkap bahwa pada dasarnya

tidak ada satu paham pun yang membahas masalah qadha dan qadar ini, yang benar-benar

mutlak menafikkan peran Tuhan maupun menafikkan tanggung jawab manusia. Dalam

berpendapat, semua aliran yang ada hanya bersifat kecondongan, bukan kemutlakan.

Sangat disadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian

mudah-mudahan makalah yang sederhana ini dapat turut bermanfaat untuk menambah

cakrawala pengetahuan bagi kita semua. Amien.