Pengertian Qadha Dan Qadar
-
Upload
ahmad-bobrok -
Category
Documents
-
view
254 -
download
1
Transcript of Pengertian Qadha Dan Qadar
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang
terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun
takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat
fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa
permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini.
Orang yang tidak beriman kepada qhada dan qadar, ia tidak pernah
bersyukur, tidak bersabar, tidak optimis, tidak tenang hatinya, sombong dan
mudah putus asa. Apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan
itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat.
Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami pengertian dari takdir dan iman kepada
2. Untuk memahami iman kepada qada dan qadar
3. Untuk memahami dan mengetahui macam-macam takdir
4. Untuk mengetahui hikmah bagi orang yang beriman kepada qada dan qadar
1.3 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasaan, makalah ini dibagi menjadi beberapa
bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Membahas latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan makalah.
BAB II : Iman Kepada Qadha dan Qadar
1
Membahas isi pembahasan makalah Beriman Kepada Takdir Alah SWT itu
sendiri.
BAB III : Penutup
Memuat tentang kesimpulan bahasan makalah.
BAB II
2
IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
2.1 Pengertian Qadha dan Qadar
Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya
sebagaimana berikut:
1. Pemutusan
ا إ�ن�م��� را� ف� م����ذ�ا ق�ض�ى أ� إ ض� و� ر�
او�ات� و�األ� م� ب�د�يع� الس�
�ي�ك�ون ول� ل�ه� ك�ن ف� � ي�ق
“(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan
sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jadilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah
(2): 117]
2. Perintah
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]
3. Pemberitaan
�ر� ن� د�اب� �م�ر� أ �ه� ذ�ل�ك� األ �ي �ل �ا إ �ن و�ق�ض�ي
�ح�ين� ه�ؤ!الء م�ق�ط!وع� م�ص�ب
“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka
akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
3
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru,
taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah
berikut ini.
“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-
orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah
ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu
ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum
kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah
bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari
11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar
merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah
penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling
berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di
antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka,
barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan
bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-
Ushuul 10/104).
4
2.2 Iman Kepada Qadha dan Qadar Allah
Iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan,
dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Yang dimaksud dengan istilah takdir
disini adalah Qadar (al-Qadar khairuhu wa syarruhu) atau qada dan qadar (al-
Qadha wal qadar).
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang
mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu
Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang
mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan
barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya
merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh Al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan kewajiban
yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa
hadits berikut ini.
Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah
saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada
Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada
qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لم أصابه ما أن بعلم حتى وشره خبره بالقدر يؤمن حتى عبد يؤمن ال
لم أخطأه ما وأن ليخطئه ليصيبه يكن يكن
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik
dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak
akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan
menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata:
5
‘Sanad hadits ini shahih.’ Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439),
karya Syaikh Albani rahimahullah)
2.3 Tingkatan Takdir
Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara
yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah
pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman
kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang
sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui
semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya
kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah
satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.
Tingkatan Pertama: al-’Ilmu (Ilmu)
Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali
mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi,
baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di
antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya
sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka,
serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.
Allah Ta’ala telah berfirman,
ذلك ىكتـب إن ف ذلك ءواألرض إن السـما فى ما يعلم الله أن تعلم ألم
يسر الله على
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)
وما, روالبحر الب فى ما ويعلم إالهو يعلمها ال الغيب مفاتح وعنده
يا وال رطب وال األرض ظلمت فى حبة وال يعلمها إال ورقة من تسقـط
مبين كتب فى إال بس
6
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di
daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan
tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)
عليم شيء بكل الله إن
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah:
115)
Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)
Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa
yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di
dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di
dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi
hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.
Allah Ta’ala berfirman,
مبـين إمام فى أحصينه شيء كل و
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh
Mahfuzh).”(Qs. Yaasiin: 12)
أن قبل من كـتب فى إال أنفسكم فى وال األرض فى مصيبة من أصاب ما
يسر الله على ذلك �نبرأهاإن
“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
7
ألف بخمسبن زاألرض السماوات يخلق أن قبل ئق الخال مقادير الله كتب
سنة
“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun
sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh
Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))
Dalam sabdanya yang lain,
: : ! : , أكتب قل أكتب؟ وماذا رب قل أكتب له قل القلم الله حلق ما أول إن
الساعة تقوم حتى شيء كل مقادير
“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman,
‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah
berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.”(Shahih,
riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi
(no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam -
asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit
radhiyallahu ‘anhu)
Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan
meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak
akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba
mencelakainya.
Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)
Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai
dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di
antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-
Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-
Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai
8
makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan
firman-Nya,
يسئلون وهم يفعل عما اليسئل
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan
ditanyai.”(Qs. Al-Anbiyaa’: 23)
Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi
segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia
berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak
akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya.
.Allah Ta’ala berfirman,
يجعل يضله أن يرد هلإلسالم ومن صدر يشرح يهديه أن يردالله فمن
ضيقاحرجا صدره
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit.”(Qs. Al-An’aam: 125)
�م�ين� �ع�ال ال �ب ر� �ه! الل اء� �ش� ي �ن أ �ال� إ اؤ!ون� �ش� ت و�م�ا
“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
, , يصرفهحيثيشاء كقلبواحد بعالرحمن بينإصبعينمنأصا إنقلوببنيأدمكلها
“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari
Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang
dikehendaki-Nya.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-
Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))
9
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat
Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah
yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit
maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah
dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya.
Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni
surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan
siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni
neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini
merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-
Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)
Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)
Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada
pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain
Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وكيل شىء كل على لشىء وهو ك خـلق �الله
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs.
Az-Zumar: 62)
Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan
berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah
telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada
hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal
kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan
makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan
keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-
perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah
yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk
tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini
berdasarkan firman-Nya,
10
تعملون وما حلقكم والله
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.”
(Qs.Ash-Shaaffaat:96)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,
وسعه إال نفسا الله يكلف اال
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
2.4 Klasifikasi Takdir
Taqdir adalah istilah lain dari qadar, sebagaimana Firman Allah surah Al-
Furqaan [25] ayat 2
“… dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-
ukurannya (takdirnya)”
Menurut Keterlibatan Manusia
a. Taqdir Mubram
yaitu ketentuan Allah swt yang pasti terjadi dan tidak dapat diubah oleh
manusia. Pengertian ini sesuai dengan Al Quran surah Yunus [10] ayat 49
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak
(pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah".
tiap-tiap umat mempunyai ajal apabila telah datang ajal mereka, maka
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula)
mendahulukan(nya).
b. Taqdir Mu’allaq
yaitu taqdir yang di dalamnya terlibat usaha manusia. Pengertian ini sesuai
dengan Al Quran surah Ar Ra‟ad [13] ayat 11;
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
11
Menurut Waktu Penetapannya
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang
ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala
sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
a. Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam
lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah
swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang
terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-
dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]
“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh
ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan
‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR. Muslim)
b. Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal
penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan
bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan
kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk
meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau
bahagia….” (HR. Bukhari)
c. Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap
tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-
Dukhaan (44): 4-5]
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua
yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal,
dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun.
Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
12
d. Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang
akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan,
mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain
sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua yang ada di langit
dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”
[QS. Ar-Rahmaan (55): 29]
2.5 Hikmah Iman kepada Takdir Allah (Iman dan Aqidah)
Iman kepada takdir Allah memiliki buah dalam hal iman dan aqidah,
diantaranya adalah :
1. Melaksanakan Penghambaan Kepada Allah ‘Azza wa Jalla
Iman kepada takdir Allah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah dan
merupakan bagian dari kesempurnaan hamba dalam perwujudan peribadatan
kepada Robnya. Setiap bertambahnya iman seorang hamba terhadap takdir Allah
maka bertambah dan semakin sempurna pula perwujudan peribadatannya kepada
Allah. Maka setiap hal yang ia alami baik merupakan hal yang ia benci
sesungguhnya akan menjadi kebaikan baginya dan ia kan mendapatkan pahala
yang sangat atasnya.
2. Terbebas dari Kesyirikan
Majusi (para penyembah api) berkeyakinan bahwa cahaya adalah pencipta
kebaikan dan kegelapan adalah pencipta keburukan. Sedangkan qodariyah
berkeyakinan sesungguhnya Allah tidak menciptakan perbuatan hamba namun
hambalah yang menciptakan sendiri perbuatannya. Maka sebenarnya mereka telah
menetapkan/berkeyakinan bahwa ada dua pencipta bersama Allah ‘Azza wa
Jalla. Keyakinan sesat semacam ini adalah kesyirikan dan iman yang benar
terhadap takdir Allah ‘Azza wa Jallamerupakan tauhid kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
13
Orang yang beriman terhadap takdir Allah mengetahui bahwa seluruh yang
ada terjadi di bawah kehendak Allah, mengikuti ketentuan Allah. Allah adalah
Dzat Yang Maha Memberi kepada siapa saja yang Dia kehedaki dan Dia adalah
Dzat Yang Maha Menahan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tidak ada yang
dapat menolak takdir dan hukum Allah. Hal ini merupakan bentuk pentauhidan
kepada Allah, sehingga orang yang memiliki keyakinan semisal ini tidak akan
mendekatkan dirinya dalam masalah ibadah melainkan hanya kepada Allah dan
terhindar dari perbuatan kesyirikan semisal mengelus-elus kuburan orang sholeh
(berharap hal tertentu akan terjadi padanya).
3. Mendapatkan Hidayah dan Tambahan Iman
Orang yang beriman kepada takdir Allah dengan iman yang benar dan
berarti ia telah merealisasikan tauhidnya, menambah imannya, ia akan
mendapatkan hidayah dari Robnya dengan mudah. Bahkan iman kepada takdir
Allah itu adalah bagian dari bentuk hidayah Allah baginya. Allah‘Azza wa
Jalla berfirman,
م� �و�اه ت�ق� �ت�اه�م� آ و� ه�د�ى اد�ه�م� ز� ا ت�د�و� اه� ال�ذ�ين� و�
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk
kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya”. ( QS. Muhammad [47] :
17).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
�ل�ب�ه ق� د� ي�ه� ب�الل�ه� ي�ؤ�م�ن� و�م�ن� الل�ه� ب�إ�ذ�ن� إ�ال� يب�ة: م�ص� م�ن� اب� ص�أ� ا م�
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin
Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi
petunjuk kepada hatinya”. ( QS. Ath Taghbun [64] : 11).
4. Ikhlas
Iman terhadap takdir Allah akan menggiring pelakunya kepada keikhlasan.
Maka ikhlas ini akan menjadi faktor pendorong baginya dalam seluruh amalnya
dalam rangka melaksankan perintah Allah. Seorang yang beriman akan menyakini
14
bahwa segala perkara adalah perkara yang Allah tentukan, semua kerajaan adalah
milik Allah, kehendak Allah pasti terlaksana dan hal yang tidak dikehendaki Allah
tidak akan terlaksana, tidak ada yang dapat menolak keutamaan dari Allah, tidak
juga ada yang dapat menetang ketetapan Allah. Hal-hal ini akan menuntun orang
yang mengimaninya kepada ikhlas dalam beramal kepada Allah dan
menyucikannya dari cacat dalam beramal kepada Nya. Karena tidak adanya faktor
pendorong untuk tidak ikhlas yang ada pada dirinya.
5. Tawakkal yang Benar dan Sempurna
Tawakkal kepada Allah adalah inti ibadah, tawakkal tidaklah benar dan
lurus kecuali tawakkalnya orang yang beriman terhadap takdir dengan iman yang
benar. Tawakkal dalam istilah di dalam syari’at maksudnya adalah
mengahadapnya hati kepada Allah (ikhlas) ketika beramal, senantiasa memehon
pertolongan dari Allah dan hanya berpegang/bersandar kepada Allah semata.
Maka inilah rahasia dan hakikat tawakkal. Orang yang benar-benar melaksanakan
tawakkal kepada Allah adalah orang yang juga mengambil sebab-sebab yang
diperintahkan Allah, barangsiapa yang tidak mau mengambilnya maka
tawakkalnya bukanlah tawakkal yang benar.
Jika seorang hamba bertawakkal terhadap Robnya, berserah diri kepadaNya,
mempercayakan urusannya kepadaNya maka Allah akan anugrahkan kepadanya
kekuatan, keinginan yang kuat, kesabaran dan Allah akan palingkan darinya
malapetaka.
6. Takut kepada Allah
Orang yang beriman terhadap takdir Allah, anda akan temukan bahwa ia
adalah orang yang senantiasa takut kepada Allah, khawatir jangan-jangan ia mati
dalam keadaan su’ul khotimah (akhir yang buruk) karena dia tidaklah tahu apa
yang akan terjadi padanya pada akhir hayatnya maka ia tidak akan pernah merasa
aman dari makar Allah.
15
Jika demikian maka ia akan menganggap amal sholeh yang telah ia lakukan
hanya sedikit sehingga ia tidak tertipu dengan amal sholeh yang telah ia kerjakan.
Karena sesungguhnya hati manusia berada diantara jari jemari Allah Ar Rohman,
yang hati tersebut Allah lah yang membolak-baliknya seseuai dengan
kehendakNya. Sedangkan akhir perbuatan seseorang hanyalah Allah ‘Azza wa
Jalla yang menentukan.
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
– – �ب�ي�ن�ه �ي�ك�ون ا م� ت�ى ح� ، الن�ار� أ�ه�ل� ب�ع�م�ل� �ي�ع�م�ل ل� �ج الر� و�أ� د�ك�م� أ�ح� إ�ن� الل�ه� و� ف�
، ن�ة� ال�ج� أ�ه�ل� ب�ع�م�ل� �ي�ع�م�ل ف� ، �ال�ك�ت�اب ع�ل�ي�ه� �ب�ق ي�س� ف� ، اع: ذ�ر� و�أ� ب�اع: �غ�ي�ر ا ب�ي�ن�ه� و�
ا ب�ي�ن�ه� و� �ب�ي�ن�ه �ي�ك�ون ا م� ت�ى ح� ، ن�ة� ال�ج� أ�ه�ل� ب�ع�م�ل� �ل�ي�ع�م�ل ل� �ج الر� إ�ن� و� ، ا ل�ه� �ي�د�خ ف�
، الن�ار� أ�ه�ل� ب�ع�م�ل� �ي�ع�م�ل ف� ، �ال�ك�ت�اب ع�ل�ي�ه� �ب�ق ي�س� ف� ، اع�ي�ن� ذ�ر� و�أ� اع: ذ�ر� � غ�ي�ر
ا ل�ه� �ي�د�خ ف�
“Demi Allah sesungguhnya seseorang diantara kalian ada yang beramal dengan
amalan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan api neraka hanya satu
hasta atau satu depa namun takdir telah mendahuluinya lalu ia beramal dengan
amalan penghuni surga sehingga ia masuk ke surga. Dan ada seorang yang
beramal dengan amalan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya
satu atau dua hasta namun takdir telah mendahuluinya maka ia beramal dengan
amalan ahli neraka sehingga memasukkannya ke neraka”
7. Kekuatan Roja’ (Keinginan/Rasa Harap terhadap Sesuatu yang Dekat) dan
Baik Sangka terhadap Allah
Orang yang beriman terhadap takdir adalah orang yang berbaik sangka
terhadap Allah, dan memiliki sikap roja’ yang kuat. Hal ini karena ilmunya bahwa
Allah tidaklah menetapkan suatu ketetapan kecuali ketetapan tersebut berupa
keadilan, kasih sayang atau bijaksana (penuh hikmah).
8. Ridho
16
Orang yang beriman terhadap takdir Allah keadaannya dapat menjadi lebih
mulia hingga tingkatan menjadi orang yang ridho. Barangsiapa yang ridho
terhadap Allah maka Allah pun akan meridhoinya bahkan ridho seorang hamba
terhadap Allah merupakan hasil dari ridho Allah pada hamba tersebut. Ridho
Allah kepada akan segera datang dengan dua bentuk,
1. Ridho Allah sebelumnya, yang menghasilkan ridho (hamba) kepada Allah
2. Ridho Allah setelahnya yang merupakan buah dari ridho Allah (kepada
hamba)
Oleh karena itu ridho merupakan pintu Allah yang paling agung, surga di
dunia, kesenangan orang-orang yang menghambakan diri pada Allah, penyejuk
mata orang-orang yang merindukan pertemuan dengan Robbnya.
Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang hatinya
dipenuhi kecintaan terhadap takdir Allah maka Allah akan memenuhi hatinya
dengan merasa cukup, rasa aman, qona’ah, alirkan hatinya terhadap kecintaan
kepada Allah, merasa kembali kepadanya serta bertawakkal kepada Allah. Dan
barangsiapa yang hilang darinya sebagian ridho terhadap takdir Allah maka Allah
akan penuhi hatinya dengan sebaliknya, Allah akan membuatnya sibuk dari hal-
hal yang akan membahagiakannya”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Muadz, “Kapan seorang hamba akan
mencapai tingkatkan ridho?” Beliau menjawab, “Jika jiwanya telah
mendirikan/melakukan empat landasan/pokok terhadap hal-hal yang dengannya ia
bermualamah dengan Robbnya, 1. Ketika Allah memberiku (sesuatu) maka akan
aku terima, 2. Jika Dia mencegahku (dari sesuatu) maka aku akan ridho
terhadapnya, 3. Jika Dia mencegahku/melarangku (dari sesuatu)maka aku akan
menjauhi hal tersebut, 4. Jika Dia menyeruku (untuk melakukan sesuatu) akan aku
akan merimanya/melaksakannya”
Suatu hal yang harus diketahui adalah bukanlah syarat keridhoan bahwa
seorang hamba tidak merasakan sakit, sesuatu yang dibenci melainkan (ketika itu
terjadi) ia tidak berpaling dari aturan Allah dan tidak mencelanya.
17
9. Syukur
Orang yang beriman terhadap takdir Allah mengetahui bahwa nikmat yang
ada pada dirinya hanyalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Sesungguhnya Allah lah yang mampu untuk menghindarkan dari seluruh hal yang
dibenci dan dimurkai. Maka pengetahuannya tersebut membawanya untuk
mentauhidkan Allah dalam masalah syukur. Jika menimpanya hal-hal yang
disenanginya maka ia akan bersyukur terhadap hal tersebut karena hal itu
merupakan nikmat dan keutamaan dari Allah. Jika menimpanya hal-hal yang ia
tidak senangi maka ia pun bersyukur atas takdir Allah atas dirinya karena
menahan amarah, mencegah caci maki, memperhatikan adab dan bertindak sesuai
dengan ilmu terhadap takdir Allah. Karena sesungguhnya ilmu dan adab kepada
Allah akan menggiring pemiliknya agar bersyukur kepada Allah terhadap semua
hal yang menimpanya baik yang ia senangi ataupun yang ia benci. Walaupun
syukur untuk hal yang kedua lebih berat dan lebih sulit oleh karena itu syukur
jenis ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan syukur jenis yang pertama.
Jika seseorang senantiasa bersyukur atas semua yang menimpanya maka
nikmat Allah akan senantiasa tertuang untuknya dan mengalir untuknya karena
syukur adalah pengikat nikmat yang telah ada dan pemburu nikmat yang hilang
(belum ada –ed.). Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman,
ز�يد�ن�ك�م� � أل� ت�م� ك�ر� ش� ل�ئ�ن�
“Jika kalian bersyukur maka akan aku tambah nikmatku”. ( QS. ‘Ibrohim [14] :
7).
Maka ketika engkau tidak melihat tambahan nikmat pada dirimu maka
bersegeralah bersyukur pada Allah.
10. Kegembiraan
Orang yang beriman terhadap takdir Allah akan merasa senang dengan
keimanannya ini yang mana sebagaian orang Allah cegah darinya.
AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman,
18
ع�ون� م� ي�ج� ا م� م� Mي�ر خ� و� �ه وا �ح ر� ل�ي�ف� ف� ب�ذ�ل�ك� ف� ت�ه� م� ح� ب�ر� و� الل�ه� ل� ض� ب�ف� ل� �ق
“Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya (hidayah berupa iman,
amal sholeh, menjauhi kesyirikan dan maksiat)[6], hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan (berupa harta, unta dan sapi yang banyak)”. ( QS. Yunus [10]
: 58).
Selanjutnya orang yang beriman terhadap takdir Allah keadaan dirinya
dapat meningkat dari keadaan ridho terhadap takdir Allah hingga mencapai
bersyukur padanya atas apa yang ditakdirkan untuknya hingga akhirnya ia
mencapai tingkatan senang dengan semua yang ditakdirkan Allah pada dirinya.
Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan, “Kebahagian/kesenangan (terhadap
takdir Allah) adalah nikmat hati yang paling tinggi, kelezatan dan keindahan.
Maka kebahagian/kesenangan (terhadap takdir Allah) adalah nikmat Allah
sedangkan kesedihan (terhadap takdir Allah) adalah adzabnya.
Bahagia terhadap sesuatu derajatnya lebih tinggi daripada ridho terhadapnya
karena ridho adalah rasa tenang dan lapang. Sedangkan bahagia adalan kelezatan
dan keindahan. Maka setiap kebahagian sudah pasti telah ridho namun tidak setiap
ridho adalah kebahagiaan. Oleh karena itulah kebagiaan merupakan lawan dari
kesedihan dan ridho adalah lawan dari mencela/marah. Kesedihan membuat orang
yang tertimpanya menjadi terluka sedangkan orang yang cacian/amarah tidaklah
membuat pelakunya terluka kecuali orang yang tidak mampu untuk
melawan/membalasnya.
11. Ilmu terhadap Hikmah Allah ‘Azza wa Jalla
Iman terhadap takdir Allah dengan cara yang benar dapat memberikan
kepada manusia pemiliknya rasa hikmah terhadap takdir Allah yang baik ataupun
yang buruk.
Oleh karena itu banyak hal (yang wujudnya terlihat sebagai keburukan –ed.)
yang terjadi pada kita lalu kita mengingkarinya padahal hal tersebut baik untuk
kita. Demikian juga banyak hal yang wujudnya adalah kemaslahatan sehingga kita
19
mencintainya padahal hal tersebut hikmahnya (sebenarnya bukanlah merupakan
maslahat –ed.). Maka Dzat Yang Mengatur Manusia lebih mengetahui tentang
maslahat dan dampak apa yang Allah perintahkan. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman,
Pر ش� و�ه�و� ي�ئ�ا ش� بQوا ت�ح� أ�ن� ى و�ع�س� ل�ك�م� Mي�ر خ� و� �و�ه ي�ئ�ا ش� ه�وا ت�ك�ر� أ�ن� ى و�ع�س�
ت�ع�ل�م�ون� ال� �ن�ت�م� أ و� �ي�ع�ل�م �الل�ه و� ل�ك�م�
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. ( QS. Al Baqoroh [2] : 216).
12. Terbebasnya Akal dari Keyanikan Bathil dan Khurofat
Diantara hidayah yang akan didapat seseorang yang beriman terhadap takdir
Allah, iman bahwasanya hal yang terjadi di alam semesta ini mengikuti takdir
Allah ‘Azza wa Jalla, takdir Allah adalah sebuah rahasia yang terkunci rapat yang
tidak ada yang tahu kecuali Allah serta tidak diperlihatkan kepada seseorang
melainkan hanya kepada mahluk yang Allah ridhoi dari kalangan malaikat/rosul.
Dari sudut pandang ini maka anda akan dapati seorang yang beriman kepada
takdir Allah tidak akan percaya kepada dukun, peramal dan tidak akan pergi
mendatangi mereka. Dia tidak akan percaya perkataan, kepalsuan mereka
sehingga dia akan selamat dari palsunya perkataan mereka kemudian dia akan
terbebas dari keyakinan-keyakinan yang bathil dan khurofat.
20
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum,
ketetapan pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah
Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali
sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk.
Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan,
ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah
terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan
iradah-Nya.
Taqdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir
tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai
dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan
nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak
menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan
sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang
21
terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang
diperbuatnya.
Karena Allah swt tidak akan merubah keadaan suatu kaum jika kaum itu
tidak berusaha mengubah keadaannya sendiri. Maka berusahalah untuk merubah
keadaan diri kita untuk senantiasa menjadi lebih baik lagi.
22