PUSKESMAS
-
Upload
anonymous-t6ejodn -
Category
Documents
-
view
34 -
download
0
description
Transcript of PUSKESMAS
Puskesmas
a. Definisi
- Puskesmas berdasarkan Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004 adalah UPTD
kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemberdayaan
kesehatan di suatu wilayah kerja.
- Bedasarkan Depkes RI 1991 Puskesmas adalah organisasi kes fungsional yang merupakan
pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat
dan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah
kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok
b. Wilayah Kerja
Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor
kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya
merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas
merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II, sehingga pembagian wilayah kerja
puskesmas ditetapkan oleh Bupati atau Walikota, dengan saran teknis dari kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten /Kota.
Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap
Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu
ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yanng disebut Puskesmas
Pembantu dan Puskesmas Keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk
satu juta atau lebih, wilayah kerja Puskesmas bisa meliputi 1 Kelurahan. Puskesmas di
ibukota Kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan “
Puskesmas Pembina “ yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas kelurahan
dan juga mempunyai fungsi koordinasi.
c. Fungsi dan Peran Puskesmas
Fungsi Puskesmas:
1. Sebagai Pusat Pembangunan Kesehatan Masyarakat di wilayah kerjanya.
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan
kemampuan untuk hidup sehat
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat
di wilayah kerjanya.
Proses dalam melaksanakan fungsinya, dilaksanakan dengan cara:
1. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka
menolong dirinya sendiri.
2. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan menggunakan
sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun
rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak
menimbulkan ketergantungan.
4. Memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat.
5. Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program
Puskesmas.
Peran Puskesmas:
Dalam konteks Otonomi Daerah saat ini, Puskesmas mempunyai peran yang sangat
vital sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan
wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk ikut serta menentukan kebijakan daerah
melalui sistem perencanaan yang matang dan realisize, tatalaksana kegiatan yang tersusun
rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Rangkaian maajerial di atas
bermanfaat dalam penentuan skala prioritas daerah dan sebagai bahan kesesuaian dalam
menentukan RAPBD yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Adapun ke depan,
Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya
peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu.
d. Organisasi Puskesmas
Susunan organisasi Puskesmas terdiri dari:
1. Unsur Pimpinan : Kepala Puskesmas
2. Unsur Pembantu Pimpinan : Urusan Tata Usaha
3. Unsur Pelaksana :
a) Unit yang terdiri dari tenaga / pegawai dalam jabatan fungsional
b) jumlah unit tergantung kepada kegiatan, tenaga dan fasilitas tiap daerah
c) Unit terdiri dari: unit I, II, III, IV, V, VI dan VII [ lihat bagan ]
Bagan Struktur Organisasi Puskesmas
Ringkasan Tata Kerja
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Puskesmas wajib menetapkan prinsip
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Puskesmas maupun dengan
satuan organisasi di luar Puskesmas sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Puskesmas wajib mengikuti dan mematuhi
petunjuk-petunjuk atasan serta mengikuti bimbingan teknis pelaksanaan yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Dati II, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kepala Puskesmas bertanggung jawab memimpin, mengkoordinasi semua unsur dalam
lingkungan Puskesmas, memberikan bimbngan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas
masing-masing petugas bawahannya.
Setiap unsur di lingkungan Puskesmas wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk dari
dan bertanggung jawab kepada Kepala Puskesmas. Hal-hal yang menyangkut tata hubungan
dan koordinasi dengan instansi vertical Departemen Kesehatan RI ( akan diatur dengan Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan RI )
3. Peran Dokter di Puskesmas
Fungsi dan kegiatan dokter di Puskesmas:
Tugas pokok:
- Mengusahakan agar fungsi Puskesmas dapat diselenggarakan dengan baik dan
dapat memberi manfaat kepada masyarakat di wilayah kerjanya.
Fungsi:
- Sebagai seorang dokter
- Sebagai seorang manajer
Kegiatan Pokok:
- Melaksanakan fungsi-fungsi manajerial
- Melakukan pemeriksaan dan pengobatan penderita. Menerima rujukan dan
konsultasi
Puskesmas Pembantu
Unit: I-III Pelaksana Teknis
Unit :IV-VIIPelaksana Teknis
Urusan Tata Usaha
Kepala Puskesmas
- Mengkoordinir kegiatan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
- Mengkoordinir pembinaan peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD
Kegiatan Lain:
- Menerima konsultasi dari semua kegiatan Puskesmas
C. Peranan Dokter sebagai Provider di Puskesmas
1. Dokter Kepala Puskesmas sebagai Seorang Dokter
Masyarakat mengharapkan seorang dokter Kepala Puskesmas untuk melakukan
pemeriksaan dan pengobatan orang sakit. Namun demikian, dalam kenyataan tanggung
jawab seorang dokter Kepala Puskesmas tidak hanya mengobati orang sakit saja akan
tetapi jauh lebih besar, yaitu memelihara dan meningkatkan kesehatan dari masyarakat di
dalam wilayah kerjanya. Disamping itu dokter berfungsi juga sebagai seorang pemimpin
dan seorang manajer. Oleh karenanya dokter dapat mendelegasikan wewenagnya kepada
perawat dan seorang bidan pada waktu tertentu dimana dokter sedang melakukan tugas-
tugas manejemen puskesmas dan kemasyarakatannya.
Dalam melakukan pemeriksaan dan tindakan pengobatan hendaknya mempergunakan
semua fasilitas yang ada dan kemampuan yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Hal ini
sangat penting untuk memupuk kepercayaan masyarakat dan para pejabat di lingkungan
kecamatan kepada dokter Puskesmas yang bersangkutan. Bila ada penderita yang tidak
dapat diatasi dengan fasilitas dan kemampuan yang ada, maka penderita perlu dikirim ke
Rumah Sakit yang diperkirakan memiliki kemampuan untuk mengatasi penderita tersebut
dengan persetujuan penderita setelah cukup diberi pengertian dan motivasi.
Ilmu pengetahuan terus berkembang dengan pesat, maka perlu diusahakan untuk
mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh IDI setempat, atau membaca buku, majalah-
majalah bidang klinik maupun bidang kesehatan masyarakat.
2. Dokter Kepala Puskesmas sebagai Seorang Manajer
a. Organisasi dan tatalaksana
Puskesmas mempunyai wilayah satu Kecamatan atau sebagian dari kecamatan yang
langsung bertanggung jawab dalam bidang teknis kesehatan maupun administratif kepada
kepala Dinas Kesehatan Dati II ( dokabu ).
Puskesmas Pembantu dan Bidan di Desa dalam wilayah kerja Puskesmas adalah
bagian integral dari Puskesmas. Puskesmas Pembantu melaksanakan sebagian tugas-tugas
Puskesmas sesuai dengan kemampuan tenaga dan fasilitas yang ada dalam wilayah
tertentu yang merupakan sebagian dari wilayah kerja Puskesmas.
Jenis dan jumlah tenaga Puskesmas yang sebenarnya tidak perlu sama untuk tiap
puskesmas, tetapi disesuaikan dengan jumlah penduduk dan luas daerah yang dicakup
serta keadaan geografis dan sarana transportasi di wilayah kerjanya.
Namun demikian jumlah tenaga yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan pada
hingga saat ini, maka untuk sementara diadakan pola tenaga yang seragam bagi setiap
Puskesmas. Yang penting tenaga tersebut bekerja dalam suatu tim, berarti pekerjaan
tenaga yang satu dapat mengisi kekurangan dari tenaga yang lain dan sebaliknya. Walupun
pekerjaan yang dilakukan berbeda-beda akan tetapi semuanya dalam kerangka satu tujuan,
yakni meningkatkan kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas dan di bawah satu
pimpinan yakni Kepala Puskesmas.
Tidak ada pengotak-kotan struktur dalam Puskesmas. Kepala puskesmas perlu
melakukan pembagian tugas bersama-sama stafnya disesuaikan dengan jenis dan jumlah
tenaga serta kegiatan yang dilakukan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan pula lokasi
pekerjaan dan waktu pekerjaan, sehingga bisa diadakan pembagian tugas dan giliran kerja
yang merata di antara tenagatenaga Puskesmas yang ada dan pekerjaan dapat dilaksanakan
dengan baik.
Pertemua berkala antara Kepala Puskesmas dengan segenap stafnya, termasuk
Puskesmas Pembantu dan Bidan Desa perlu dilakukan secara teratur setidaknya sebulan
sekali. Pembagian tugas dan penjadwalan pertemuan dilakukan melalui media Mini
Lokakarya Puskesmas. Tujuan pertemuan berkala tersebut, antara lain adalah:
o Menampung masalah / hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan pekerjaan sehari-
hari untuk dipecahkan bersama.
o Merencanakan bersama kegiatan yang perlu dilakukan dalam bulan berikutnya atau
minggu yang akan datang.
o Menilai hasil-hasil pekerjaan yang telah dilakukan dalam bulan yang lalu.
o Meneruskan informasi / instruksi / petunjuk dari atasan untuk diketahui dan
dilaksanakan bersama.
b. Bimbingan teknis dan supervisi
Selain pertemuan berkala dengan staf Puskesmas yang dilakukan di Puskesmas,
Kepala Puskesmas perlu juga datang untuk melihat dan memberi bimbingan kepada staf
Puskesmas secara berkala di tempat mereka bekerja di Puskesmas, Puskesmas Perawatan,
Puskesmas Pembantu, di lapangan maupun di rumah penduduk dalam rangka kunjungan
rumah. Hal ini penting sekali dilakukan secara teratur untuk memelihara disiplin kerja staf
Puskesmas dalam melaksanakan tugas.
Dalam kunjungan ini dimanfaatkan pula untuk meningkatkan sistem rujukan (referral
system) dimana konsultasi dari staf Puskesmas dapat dilakukan di tempat mereka bekerja,
disamping melimpahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada staf Puskesmas berdasarkan
referensi terkini dan dapat dipertanggung jawabkan.
c. Hubungan kerja antar instansi tingat Kecamatan
Camat meerupakan koordinator dari semua instansi / dinas di tingkat Kecamatan,
Kepala puskesmas bertanggung jawab secara teknis kesehatan dan administrative kepada
Dokabu / Kepala Dinas kesehatan Dati II. Hubungan dengan Camat adalah hubungan
koordinasi, namun demikian tanggung jawab secara moril dokter Kepala Puskesmas
terhadap Camat tetap ada.
Hubungan kerja sama yang baik perlu dipupuk antara Puskesmas dengan semua
instansi di tingkat Kecamatan. Kepala Puskesmas harus secara aktif mencari hubungan
kerjasama dengan instansi-instansi di tingkat Kecamatan.
Usaha kesehatan tidak dapat berjalan sendiri dan peerlu kerjasama dengan instansi
lain. Pertemuan berkala antar instansi tingkat Kecamatan perlu diadakan di bawah
koordinasi Camat.
d. Dokter Puskesmas sebagai penggerak pembangunan di wilayah kerjanya
Disamping hubungan langsung antara dokter Kepala puskesmas dan staf dengan
anggota masyarakat sebagai pengunjung Puskesmas dalam rangka pemeriksaan,
pengobatan dan penyuluhan kesehatan, perlu pula dilakukan hubungan kerja sama dengan
masyarakat dalam rangka membantu masyarakat agar dapat menolong diri mereka sendiri
dalam bidang kesehatan. Khususnya dengan pemuka masyarakat dalam rangka
memperbaiki nasib mereka, baik dalam ruang lingkup kesehatan maupun dalam hal-hal
yang berhubungan dengan kesehatan sesuai kebutuhan masyarakat.
Seringkali masyarakat belum dapat mengenal masalah yang mereka hadapi, dan
belum bisa menentukan prioritas masalah yang perlu ditanggulangi. Dokter Kepala
Puskesmas beserta segenap staf bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, perlu
memberi bimbingan kepada masyarakat untuk mengenal masalahnya dan menentukan
prioritas masalah yang perlu ditanggulangi sesuai kemampuan swadaya mereka sendiri.
Untuk itu perlu dilakukan pertemuan-pertemuan, baik secara individu dengan para pemuka
masyarakat amupun secara kelompok. Bila diperlukan latihan, maka Kepala Puskesmas
dan segenap stafnya harus dapat melayaninya.
3. Dokter Kepala Puskesmas sebagai Tenaga Ahli Pendamping Camat
Program Pemerintah saat ini baru bisa menempatkan dokter Puskesmas sebagai
seorang sarjana secara merata di kecamatan-kecamatan. Dengan sendirinya harapan dari
seluruh masyarakat kecamatan adalah mendapatkan manfaat dari keahliannya dalam
bidang kesehatan masyarakat maupun pandangan dan cara berpikir yang luas dan kreatif
dari seorang sarjana. Maka peranan dokter Puskesmas di Kecamatan disamping sebagai
Pimpinan Puskesmas, juga merupakan tenaga ahli dan pendamping Camat.
Kesimpulan:
Dokter Kepala Puskesams bertangguang jawab terhadap secara teknis kesehatan dan
administratif kepada Dokabu / Kepala Dinas kesehatan Dati II. Hubungan dengan Camat
adalah hubungan koordinasi, namun demikian tanggung jawab secara moril dokter Kepala
Puskesmas terhadap Camat tetap ada. Rakorbang tingkat kecamatan berfungsi merupakan
wahana untuk menilai pembangunan dan perkembangan masyarakat sehinggga kemudian
dapat dilakukan upaya perbaikan dan pengendalian pembangunan.
Tingginya angka kejadian DBD pada Kecamatan Melati menandakan bahwa
Puskesmas Putih-Putih sebagai primary care belum mampu melaksanakan tugasnya yang
tidak hanya melaksanakan program kuratif dan rehabilitatif, tetapi juga promotif dan
preventif pada masyrakat Kecamatan Melati.
(sumber: Hatmoko. Materi Kuliah Manajemen Kesehatan Mahasiswa Program Studi Kedokteran Universitas Mulawarman: Sistem Pelayanan Kesehatan Dasar Puskesmas. 2006. Samarinda: IKM PSKU Universitas Mulawarman
Posyandu
Posyandu adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilalkukan
disuatu wilayah kerja puskesmas (Muninjaya, 2004). Posyandu adalah wadah komunikasi
alih teknologi dalam pelayanan kesehatan masyarakat dari keluarga berencana dari
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan pelayanan serta
pembinaan teknik dari petugas kesehatan dan keluarga berencana
Tujuan Penyelenggaraan Posyandu
Menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (ibu hamil,
melahirkan dan nifas)
Membudayakan NKKBS
Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan
kegiatan kesehatan dan KB serta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya
masyarakat sehat sejahtera
Berfungsi sebagai Wahana Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan
Ketahanan Keluarga dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera.
Kegiatan Pokok Posyandu
KIA
KB
Imunisasi
Gizi
Penanggulangan diare
Penerapan Menajemen Di Posyandu
1. Perencanaan
Merupakan awal dan arah dari proses menajemen posyandu secara keseluruhan.
Perencanaan program posyandu terdiri dari lima langkah penting yaitu;
Menjelaskan berbagai masalah
Menentukan perioritas masalah
Menetapkan tujuan dan indikator keberhasilannya
Mengkaji hambatan dan kendala
Menyusun rencana kerja operasional
2. Pengorganisasian
Dari struktur organisasi Puskesmas dapat diketahui mekanisme pelimpahan
wewenang dari pimpinan kepada staf sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan.
3. Penggerakan-pelaksanaan
Keberhasilan pengembangan fungsi menajemen ini sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan pimpinan Puskesmas menumbuhkan motivasi kerja staf dan semangat kerja
sama antara staf dengan staf lainnya di Puskesmas (lintas program), antara staf Puskesmas
dengan masyarakat, dan antara staf Puskesmas dengan pimpinan instansi di tingkat
kecamatan (lintas sektoral).
Hal- hal yang perlu diperhatikan untuk melestarikan pelaksanaan program posyandu
Kembangkan mekanisme kerja sama yang positif antara dinas-dinas sektoral
ditingkat kecamatan, antara staf Puskesmas sendiri dan antara Puskesmas dan
organisasi formal dan informal ditingkat desa/ dusun.
Gali potensi masyarakat dan kembangkan kerja sama yang ada (terutama dengan
PKK), untuk dapat menunjang kegiatan program posyandu.
Kembangkan motivasi staf dan kader kesehatan sebagai anggota kelompok kerja
program posyandu sehingga peran sert mereka dapat ditingkatkan untuk menunjang
pelaksanaan program posyandu.
4. Pengawasan dan pengendalian
Salah satu aspek yang diawasi selama pelaksanaan program posyandu di lapangan
adalah ketrampilan kader dalam melakukan penimbangan dan membuat pencatatan dan
pelaporan posyandu.
Langkah penting fungsi pengawasan dan pengendalian program posyandu ini adalah;
Menilai apakah ada kesenjangan antara target masing masing program dan standar
unjuk kerja staf dan kader untuk melaksanakan tugas-tugasnya? (aspekpengawasan)
Apa analisis faktor-faktor penyebab timbulnya kesenjangan tersebut?
Merencanakan dan melaksanakan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan
yang muncul berdasarkan faktor-faktor penyebab yang sudah diidentifikasi (aspek
pengendalian).
Menurut teori Blum, status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 4 faktor:
1. Genetik (20%)
2. Lingkungan (20%)
3. Perilaku (50%)
4. Pelayanan kesehatan (10%)
Dengan demikian, faktor perilaku adalah faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap
status kesehatan. Faktor perilaku sendiri dipengaruhi oleh (Green):
1. Predisposing factor
2. Enabling factor (faktor pemungkin)
3. Reinforcing factor (faktor yang memperkuat)
Faktor predisposisi:
Di desa Madudu, kemungkinan faktor predisposisi yang membentuk perilaku mereka
adalah pendidikan, pengetahuan, serta kepercayan dan tradisi (kentalnya ritual adat).
Faktor pendidikan seseorang sangat menentukan pola pengambilan keputusan dan
penerimaan informasi. Pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan dan persepsi
seseorang tentang pentingnya suatu hal. Selain itu, seseorang dengan tingkat pendidikan lebih
tinggi memiliki pandangan yang lebih terbuka tentang suatu hal dan lebih mudah untuk
menerima ide atau cara kehidupan baru. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi bagaimana
seseorang bertindak dan mencari solusi untuk masalah yang dijumpainya, serta pola pikir
individu tersebut di mana orang yang berpendidikan tinggi cenderung lebih rasional. Menurut
Notoadmodjo, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin banyak materi, bahan,
atau pengetahuan yang diperoleh untuk mencapai perubahan tingkah laku yang baik. Merujuk
pada kasus, tentunya dengan tingkat pendidikan SMP, seharusnya masyarakat desa Madudu
cukup mampu menerima dan memahami informasi dan ide baru dengan strategi komunikasi
yang baik. Contohnya, ibu Ida sudah memahami perilaku kesehatan yang sifatnya kuratif, ia
sadar bahwa jika anaknya sakit harus dibawa ke dokter (Puskemas), upaya pemeliharaan
kesehatan juga sudah ada di mana ia membawa anaknya ke Posyandu. Namun melihat
tingginya angka kejadian DBD di desa ini, untuk perubahan perilaku kesehatan secara
optimal tentu masih dipengaruhi oleh faktor lainnya, salah satunya tradisi masyarakat tersebut
sehubungan dengan perilaku yang berkaitan dengan kesehatan.
Faktor predisposisi yang kemungkinan juga berpengaruh adalah pengetahuan.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu sobjek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior), sebab dari
pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari dari pengetahuan akan lebih
bertahan (long lasting) dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Banyak
faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang terhadap suatu hal, antara lain adalah
pendidikan, akses terhadap informasi, dan sosial budaya, umur, lingkungan, dan pengalaman.
Dengan demikian, pendidikan dan pengetahuan merupakan hal yang saling berkaitan. Di
kasus ini dari hasil temuan Dr.Eko telah disebutkan bahwa salah satu penyebab tersebarnya
penyakit DBD di desa Madudu adalah kurangnya accessibility of information, yang
menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit tersebut. Sebab dengan
semakin kurangnya akses, maka informasi yang didapat juga minim, sehingga pengetahuan
pun sedikit. Kurangnya pengetahuan akan mempengaruhi sikap serta tindakan masyarakat
terkait dengan perilaku kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri.
Proses pengambilan keputusan untuk menerima suatu inovasi meliputi empat tahap
yaitu tahap pengetahuan (knowledge), tahap persuasi (persuasion), tahap pengambilan
keputusan (decision), dan tahap konfirmasi (confirmation). Suatu inovasi dapat diterima
maupun ditolak setelah melalui tahap-tahap tersebut. Inovasi ditolak bila inovasi tersebut
dipaksakan oleh pihak lain, inovasi tersebut tidak dipahami, inovasi tersebut dinilai sebagai
ancaman terhadap nilai-nilai penduduk. Sementara itu, inovasi yang diterima tidak akan
diterima secara menyeluruh tetapi bersifat selektif dengan berbagai macam pertimbangan.
Dari teori di atas, jelas bahwa faktor pengetahuan berperan penting untuk perubahan perilaku
kesehatan suatu komunitas, termasuk di desa Madudu, dan penolakan untuk mengubah
perilaku dapat terjadi di desa ini jika bertentangan dengan tradisi penduduk, sebab mereka
masih sangat kental dengan ritual adat.
Kentalnya ritual adat akan mempengaruhi tradisi, kepercayaan, dan kebiasaan
masyarakat tersebut. Perilaku dalam ritual adat ini terkadang justru berpengaruh buruk
terhadap kesehatan, namun karena sudah dijunjung tinggi dan dilakukan turun-temurun, maka
akan sulit untuk diubah, sehingga diperlukan strategi komunikasi, edukasi, dan promosi
kesehatan yang baik. Contohnya: pada kasus, kemungkinan masyarakat desa Madudu yakin
bahwa satu-satunya sumber air di desa mereka adalah sungai, sehingga mereka mungkin
melakukan aktivitas MCK di sana. Sungai di sana dikelilingi oleh kebun karet, maka dengan
tingginya aktivitas masyarakat di sana, kemungkinan mereka untuk tergigit nyamuk Aedes
juga semakin besar. Pekerjaan sebagai petani karet juga berpengaruh terhadap perilaku.
Contohnya menyadap karet pada malam hari meningkatakan risiko penyakit malaria karena
nyamuk Anopheles menggigit pada malam hari. Tempat penampungan getah karet dapat
tergenang air dan menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk. Kebun karet juga dapat
menjadi habitat yang ideal bagi nyamuk Aedes.
Faktor pemungkin:
Terkait dengan kasus, sarana kesehatan sudah tersedia dan dapat dicapai, yaitu
Puskesmas dan Posyandu, yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi pelayanan kesehatan
primer dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan. Namun faktor lain yang harus
diperhatikan adalah kurangnya akses terhadap informasi. Seperti yang dijelaskan di atas,
akses akan mempengaruhi pengetahuan yang kemudian berpengaruh terhadap perilaku.
Kurangnya akses kemungkinan karena letak desa yang terisolasi serta ketergantungan
masyarakat terhadap tokoh adat yang dianggap memegang peranan yang penting. Selain itu,
sarana MCK yang layak juga kemungkinan belum ada karena masyarakat kemungkinan
masih melakukan MCK di sungai.
Faktor penguat:
Salah satu faktor penguat adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Terkait dengan
kasus, kita tidak mengetahui bagaimana sikap dan perilaku petugas eksehatan di sana. Dari
kebingungan ibu Ida, mungkin dapat disimpulkan bahwa edukasi dari pihak penyedia jasa
kesehatan kepada ibu Ida ini masih kurang baik. Sikap dan perilaku petugas yang positif akan
menimbulkan pengaruh positif pula terhadap masyarakat di sana, karena mereka cenderung
meneladani perilaku tokoh panutan (person of reference). Di Desa Madudu, selain petugas
kesehatan, kemungkinan tokoh lain yang menjadi panutan antara lain kepala desa , tokoh
agama, dan tokoh adat. Hal lain yang menjadi faktor penguat adalah punishment dan reward.
Terkait dengan kasus, hal ini juga tidak diketahui. Namun jika ada ganjaran atau hadiah
tertentu, seseorang juga akan lebih termotivasi untuk bertindak sesuai dengan ganjaran yang
didapat.
Sedangkan menurut teori Snehandu B. Karr, ada 5 determinan perilaku, yaitu:
1) Adanya niat (intention).
2) Adanya dukungan dan masyarakat sekitarnya (social support)kasus
3) Terjangkaunya informasi (accessibility of information)kasus
4) Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personnal autonomy) untuk mengambil
keputusan. Di Indonesia, terutama ibu-ibu, kebebasan pribadinya masih terbatas,
terutama lagi di pedesaan. Seorang istri, dalam pengambilan keputusan masih sangat
tergantung kepada suami.
5) Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation)
Menurut teori WHO, ada 4 alasan pokok (determinan), yaitu:
1) Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling).
2) Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personnal
references).
3) Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat
4) Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
perilaku seseorangkasus: tradisi ritual adat
Menurut G.M. Foster (1973), aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan seseorang
antara lain adalah : 1) tradisi, 2) sikap fatalism, 3) nilai, 4) ethnocentrism, 5) unsur budaya.
Perilaku kesehatan
Perilaku seseorang adalah sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas.
Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya 3 area,
wilayah, ranah atau domain perilaku ini, yakni:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Pengetahuan
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis
besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu: Tahu (know), Memahami
(comprehension), Aplikasi (application), Analisis (analysis), Sintesis (synthesis), Evaluasi
(evaluation)
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang
sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-
tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).
Newcomb, salah seorang ahli psikologisosial menyatakan, bahwa sikap merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat – tingkat berdasarkan
intensitasnya, sebagai berikut : Menerima (receiving), Menanggapi (responding), Menghargai
(valuing), Bertanggung jawab (responsible).
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah
diyakininya.
3. Tindakan atau Praktik (practice)
Seperti telah disebutkan diatas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak
(praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya suatu
tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
Seorang ibu hamil sudah tahu bahwa periksa hamil itu penting untuk kesehatannya dan
janinnya, dan sudah ada niat (sikap) untuk periksa hamil. Agar sikap ini meningkat menjadi
tindakan, maka diperlukan bidan, Posyandu atau Puskesmas yang dekat dari rumahnya atau
fasilitas tersebut mudah dicapainya. Apabila tidak, kemungkinan ibu tersebut tidakakan
memeriksakan kehamilannya.
Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:
a. Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjekatau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada
tuntunan atau menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu hal secara
otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya seorang ibu selalu
membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang tanpa harus menunggu perintah dari
kader atau petugas kesehatan.
c. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, pa yang
telah dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.
Banyak teori tentang determinan perilaku ini, masing-masing mendasarkan pada asumsi-
asumsi yang dibangun. Dalam bidang perilaku kesehatan, ada 3 teori yang sering menjadi
acuan dalam penelitian-penelitian kesehatan masyarakat. Ketiga teori tersebut adalah:
Teori Lawrence Green
Berangkat dan analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua
determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non
behavioral factors atau faktor non-perilaku. Selanjutnya Green menganalisis, bahwa faktor
perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:
1) Faktor-faktor predisposisi (disposing faktors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-niali, tradisi, dan sebagainya. Seorang ibu mau membawa
anaknya ke Posyandu, karena tahu bahwa di Posyandu akan dilakukan penimbangan anak
untuk mengetahui pertumbuhannya. Anaknya akan memperoleh imunisasi untuk pencegahan
penyakit, dan sebagainya. Tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan ini, ibu tersebut mungkin
tidak akan membawa anaknya ke Posyandu.
2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan
faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku
kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, rumah sakit, tempat pembuangan air, tempat
pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan bergizi, uang, dan sebagainya.
3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang tahu dan mampu
untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Seorang ibu hamil tahu manfaat periksa
hamil, dan di dekat rumahnya ada Polindes, dekat dengan bidan, tetapi ia tidak mau
melakukan periksa hamil, karena ibu lurah dan ibu-ibu tokoh lain tidak pernah periksa hamil,
namun anaknya tetap sehat. Hal ini berarti, bahwa untuk berperilaku sehat memerlukan
contoh dari para tokoh masyarakat.
Teori Snehandu B. Karr
Karr seorang staf pengajar Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku,
Universitas Kalifornia di Los Angeles, mengidentifikasi adanya 5 determinan perilaku, yaitu:
Adanya niat (intention).
Adanya dukungan dan masyarakat sekitarnya (social support).
Terjangkaunya informasi (accessibility of information).
Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personnal autonomy) untuk mengambil
keputusan. Di Indonesia, terutama ibu-ibu, kebebasan pribadinya masih terbatas, terutama
lagi di pedesaan. Seorang istri, dalam pengambilan keputusan masih sangat tergantung
kepada suami.
Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation).
Teori WHO
Tim kerja pendidikan kesehatan dan WHO merumuskan determinan perilaku ini sangat
sederhana. Mereka mengatakan, bahwa mengapa seseorang berperilaku, karena adanya 4
alasan pokok (determinan), yaitu:
Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling).
Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personnal
references).
Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku
seseorang atau masyarakat.
Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
perilaku seseorang.
Aspek Sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan
1. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Status Kesehatan dan Perilaku Kesehatan
Ada beberapa aspek sosial yang mempengaruhi status kesehatan, antara lain adalah: 1)
umur, 2) jenis kelamin, 3) pekerjaan, 4) sosial ekonomi.
Menurut H. Ray Elling, (1970), ada beberapa faktor sosial yang berpengaruh pada
perilaku kesehatan, antara lain: 1) self concept, dan 2) image kelompok. Di samping itu, G.M
Foster (1973) menambahkan, bahwa identifikasi individu kepada kelompoknya juga
berpengaruh terhadap perilaku kesehatan.
a. Pengaruh Self Concept terhadap Perilaku Kesehatan
Self concept kita ditentukan oleh tingkatan kepuasaan atau ketidakpuasan yang kita
rasakan terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita
kepada orang lain. Apabila orang lain melihat kita positif dan menerima apa yang kita
lakukan, kita akan meneruskan perilaku kita. Tetapi apabila orang lain berpandangan
negatif terhadap perilaku kita dalam jangka waktu yang lama, kita akan merasa suatu
keharusan untuk melakukan perubahan perilaku. Oleh karena itu, secara tidak langsung
self concept kita cenderung menentukan, apakah kita akan menerima keadaan diri kita
seperti adanya atau berusaha untuk mengubahnya.
b. Pengaruh Image Kelompok terhadap Perilaku Kesehatan
Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelomok. Sebagai contoh, anak
seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-orang dengan
pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar dengan Lingkungan
medis dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk menjadi dokter. Dengan
demikian, kedua anak tersebut mempunyai perbedaan konsep tentang peranan dokter.
Ttau dengan kata lain, perilaku dari masing-masing individu cenderung merefleksikan
kelompoknya.
c. Pengaruh Identifikasi Individu kepada Kelompok Sosialnya terhadap Perilaku Kesehatan.
Mengacu pada teori-teori di atas, maka kaitannya dengan kasus:
Perilaku kesehatan penduduk Desa Madudu untuk mencegah dan mengatasi DBD belum
terbentuk, hal ini dikarenakan:
1. Pengetahuan penduduk mengenai DBD, seperti cara pencegahan DBD masih sangat
kurang, sehingga perilaku kesehatan dalam usaha pencegahan DBD belum terbentuk.
2. Kurangnya pengetahuan mengenai cara pencegahan DBD tersebut terkait dengan
kurang terjangkaunya informasi (accessibility of information)
3. Kurangnya social support di desa ini serta adat istiadat yang sangat kuat di desa ini
sehingga peran dari tokoh masyarakat di desa tersebut sangat berpengaruh pada
pembentukan perilaku kesehatan.
4. Perilaku juga dipengaruhi oleh faktor sosio budaya penduduk setempat yang pada
kasus diketahui bahwa penduduk desa mayoritas petani karet yang umumnya
berpendidikan setingkat SMP dengan adanya ritual adat yang sangat kental.
PROMOSI KESEHATAN
Promosi Kesehatan adalah proses memberdayakan/memandirikan masyarakat untuk
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran,
kemauan dan kemampuan, serta pengembangan lingkungan sehat.
Promosi kesehatan mencakup aspek perilaku, yaitu upaya untuk memotivasi,
mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat agar
mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Disamping itu promosi
kesehatan juga mencakup berbagai aspek khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan
atau suasana yang mempengaruhi perkembangan perilaku yang berkaitan dengan aspek sosial
budaya, pendidikan, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan.
Sesuai dengan konsep promosi kesehatan, individu dan masyarakat bukan hanya
menjadi objek yang pasif (sasaran) tetapi juga subjek (pelaku).
Dalam konsep tersebut masalah kesehatan bukan hanya menjadi urusan sektor kesehatan
tetapi juga termasuk urusan swasta dan dunia usaha yang dilakukan dengan pendekatan
kemitraan. Dengan demikian kesehatan adalah upaya dari, oleh dan untuk masyarakat yang
diwujudkan sebagai gerakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Dalam upaya penerapan promosi kesehatan dilakukan 3 strategi sebagai berikut ;
1. Advokasi kesehatan, yaitu : pendekatan kepada para pimpinan atau pengambil
keputusan agar dapat memberi dukungan , kemudahan, perlindungan pada upaya
pembangunan kesehatan.
2. Bina suasana, yaitu suatu upaya untuk menciptakan suasana kondusif untuk
menunjang pembangunan kesehatan sehingga masyarakat terdorong melakukan
PHBS.
3. Gerakan masyarakat, yaitu upaya memandirikan masyarakat agar secara proaktif
mempraktikkan hidup bersih dan sehat secara mandiri.
Ketiga strategi tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan (sinergis) namun
ditandai dengan fokus yang berbeda, yaitu :
1. Advokasi kesehatan lebih diarahkan kepada sasaran tersier yang menghasilkan
kebijakan.
2. Bina suasana lebih diarahkan kepada sasaran sekunder yang menghasilkan kemitraan
dan opini.
3. gerakan masyarakat lebih diarahkan pada sasaran primer yang menghasilkan kegiatan
masyarakat mandiri.
Kasus:
Sasaran primer: keluarga di desa Madudu
Sasaran sekunder: tokoh agama, kader, tokoh masyarakat lainnya
Sasaran tersier: kepala desa
Advokasi kesehatan ditempuh melalui kerangka advokasi yang memuat 6 langkah yaitu:
a. Melakukan analisis
Yang temasuk dalam analisis adalah:
- Identifikasi masalah: tingginya frekuensi DBD akibat kurangnya support dan akses
informasi
- Identifikasi kebijakan yang ada
- Program-program komunikasi yang telah dilaksanakan dalam mendukung kebijakan
sehat
- Perubahan kebijakan yang diinginkan oleh tingkat tertentu
- Stake holder (mitra kerja) yang terkait dengan perubahan kebijakan
- Jejaring untuk penentu kebijakan
- Sumber daya yang memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan sehat.
b. Menyusun strategi
Yang termasuk dalam strategi adalah:
- membentuk kelompok kerja PHBS
- Identifikasi sasaran primer dan sekunder
Sasaran primer: keluarga di desa Madudu
Sasaran sekunder: tokoh agama, kader, tokoh masyarakat lainnya
- Mengembangkan tujuan “SMART” (Spesific/spesifik, Measurable/dapat diukur,
Appropriate/tepat, Realistic/nyata, Time bound/sesuai jadwal)
- Menentukan indikator
- Menyiapkan dukungan dana
- Menempatkan “issue” yang penting mendapat dukungan dari penentu kebijakan
- Merencanakan perbaikan sarana komunikasi
c. Menggalang kemitraan
- Menyusun Planning of Action bersama
- Saling tukar menukar pengalaman dan informasi
- Mendelegasikan tanggung jawab
- Adanya kesinambungan kerjasama
d. Tindakan/pelaksanaan
- melaksanakan rencana advokasi (plan of action)
- mengumpulkan pesan mitra
- menyajikan pesan yang tepat
- menepati jadwal
- mengenmbangkan jaringan komunikasi dengan mitra.
Adapun kegiatan yang bernuansa advokasi seperti seminar sehari, orientasi, lobby,
kampanye, sarassehan dan kegiatan lain yang sesuia dengan kondisi setempat. Sedangkan
waktu untuk melakukan advokasi dapat dipilih sesuai dengan pesan yang akan disampaikan
atau disesuaikan dengan kebutuhan mitra dan masyarakat setempat.
e. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengukur pencapaian tujuan (proses dan output) melalui
pengecekan dokumentasi tentang kegiatan--kegiatan yang seharusnya dilaksanakan, materi
KIE yang telah diterbitkan dan disebarluaskan serta produk-produk kebijakan yang
diterbitkan.
f. Kesinambungan proses
Melaksanakan proses komunikasi secara terus-menerus dengan memanfaatkan hasil
evaluasi.
Dalam melakukan advokasi kesehatan ada beberapa etika yang perlu diperhatikna yaitu:
1. Mulai dengan sisi yang positif sasaran misalnya isu apa saja yang mendapat perhatian
khusus dari sasaran. Pintu masuknya tidak selalu harus dari maslah-masalah kesehatan.
2. Mau kompromi, sabar dan tegar tidak menyalahkan sasaran
3. sampaikan pesan dan informasi dengan bahasa yang menggugah
4. Kemukakan hal-hal moratif sesuai dengan kebutuhan sasaran.
5. Gunakan visualisasi yang menarik dan mengesankan.
Bina suasana adalah menjalin kemitraan untuk pembentukan opini publik dengan berbagai
kelompok opini yang ada di masyarakat seperti : tokoh masyarakat, tokoh agama, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), dunia usaha/swasta, media massa, organisasi profesi
pemerintah dan lain-lain. Bina suasana dilakukan untuk sasaran sekunder atau petugas
pelaksana diberbagai tingkat administrasi (dari pusat hingga desa).
Bina suasana sering dikaitkan dengan pemasaran sosial dan kampanye, karena
pembentukan opini memerlukan kegiatan pemasaran sosial dan kampanye. Namun perlu
diperhatikan bahwa bina suasana dimaksud untuk menciptakan suasana yang mendukung,
menggerakkan masyarakat secara partisipatif dan kemitraan. Metode bina suasana yang dapat
diterapkan untuk Desa Madudu antara lain:
- Pelatihan
- Semiloka
- Dialog terbuka
- Sarasehan
- Penyuluhan
- Pendidikan
- Lokakarya mini
- Pertunjukkan tradisional
- Diskusi meja bundar (Round table discussiaon)
- Pertemuan berkala di desa
- Kunjungan lapangan
Kemitraan dalam kesehatan berarti menggalang partisipasi semua sektor untuk
meningkatkan harkat hidup dan derajat kesehatan, semua sektor, kelompok masyarakat,
lembaga pemerintah dan non pemerintah bekerjasama berdasarkan kesepakatan dan fungsi
masing-masing. Untuk menjaga kelanggengan dan keseimbangan bina suasana diperlukan :
- forum komunikasi
- dokumen dan data yang up to date (selalu baru)
- mengikuti perkembanagan kebutuhan masyarakat
- hubungan yang terbuka, serasi dan dinamis dengan mitra
- menumbuhkan kecintaan terhadap kesehatan
- memanfaatkan kegiatan dan sumber-sumber dana yang mendukung upaya pembudayaan
perilaku hidup bersih dan sehat
- adanya umpan balik dan penghargaan
Terkait dengan kasus, melihat kurangnya dukungan sosial, berarti bina suasana harus
diterapkan dengan intensif.
Strategi gerakan masyarakat adalah cara untuk menumbuhkan dan mengembangkan
norma yang membuat masyarakat mampu untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta secara aktif dalam
PHBS. Yang dimaksud sasaran primer adalah masyarakat yang terkena masalah baik di kota
maupun di desa. Contohnya di desa Madudu adalah anggota keluarga di desa tersebut,
khusunya para ibu dan kepala keluarga.
Pelaksanaan strategi gerakan masyarakat yang diharapkan adalah sebagai berikut :
a. pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya dalam peningkatan kemampuan
masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan derajat kesehatannya.
b. Peningkatan keberdayaan berarti peningkatan kemampuan dan kemandirian
masyarakat agar dapat mengembangkan diri dan memperkuat sumber daya yang
dimiliki untuk mencapai kemajuan.
Secara keseluruhan pendekatan gerakan masyarakat dilakukan melaui; KIE, pengembangan
institusi masyarakat, pendekatan hukum dan regulasi, penghargaan (insentif), serta
peningkatan ekonomi produktif (income generating)
Dalam melaksanakan gerakan masyarakat perlu memperhatikan karakteristik masyarakat
setempat yang dapat dikelompokkan sebagai bnerikut:
a. masyarakat pembina (caring community)
yaitu masyarakat yang peduli kesehatan, misalnya: LSM kesehatan, organisasi profesi
yang bergerak di bidang kesehatan.
b. Masyarakat setara (coping community)
Yaitu masyarakat yang karena kondisinya kurang memadai sehingga tidak dapat
memelihara kesehatannya.
Program Promosi: Precede-Proceed
PRECEDE (Predisposing Reinforcing and Enabling Causes in Educational Diagnosis
and Evaluation). PRECEDE memberikan serial langkah yang menolong perencana untuk
mengenal masalah mulai dan kebutuhan pendidikan sampai pengembangan program untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. PROCEED: Policy, Regulatory, Organizational Construct
in Educational and Environmental Development. PRE CEDE-PRO CEED harus dilakukan
secara bersama-sama dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi. PRECEDE
digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah dan tujuan program,
sedangkan PROCEED digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan, serta
implementasi dan evaluasi.
Phase 5
Administrative
&
policy
Diagnosis
Phase 4
Educational
and
Organizational
Diagnosis
Phase 3
Behavioral
and
Environmenta
l
Diagnosis
Phase 2
Epidemio
logical
Diagnosis
Phase 1
Social
Diagnosi
s
Phase 6
Implementation
Phase 7
Process evaluation
(Monitoring)
Phase 8
Impact
evaluation
Phase 9
Outcome
evaluatio
n
Langkah-Langkah Dalam Perencana Promosi Kesehatan
I. Menentukan kebutuhan promosi kesehatan:
1. Diagnosis masalah: tingginya angka kejadian DBD, kentalnya ritual adat, akses
informasi yang kurang, kurangnya dukungan sosial, kondisi lingkungan yang
sesuai untuk perkembangan vektor DBD
2. Menetapkan prioritas masalah
II. Mengembangkan komponen promosi kesehatan:
1. Menentukan tujuan promosi kesehatan: menurunkan angka kejadian DBD dan
mencegah DBD di Desa Madudu
2. Menentukan sasaran promosi kesehatan
Sasaran primer: keluarga di desa Madudu
Sasaran sekunder: tokoh agama, kader, tokoh masyarakat lainnya
Sasaran tersier: kepala desa
3. Menentukan isi promosi kesehatan: edukasi dan penyuluhan mengenai DBD,
pengolahan sampah, sanitasi dan higienitas lingkungan, sumber air dan MCK.
4. Menentukan metode yang akan digunakan: pendekatan pada tokoh masyarakt dan
tokoh adat, penyuluhan, dialog terbuka, kunjungan lapangan, pelatihan, pertemuan
berkala di desa
5. Menentukan media yang akan digunakan: audiovisual
6. Menyusun rencana evaluasi
7. Menyusun jadwal pelaksanaan
Diagnosis Masalah
Fase 1: Diagnosis Sosial (Social Need Assessment): kentalnya ritual adat, sungai dipercaya
sebagai satu-satunya sumber air sehingga dipakai sebagai tempat MCK.
Diagnosis sosial adalah proses penentuan persepsi masyarakat terhadap kebutuhannya
atau terhadap kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas
hidupnya melalui partisipasi dan penerapan berbagai informasi yang didesain sebelumnya.
Pengumpulan datanya dapat dilakukan dengan cara: wawancara dengan informan kunci,
forum yang ada di masyarakat, Focus Group Discussion (FGD), nominal group process, dan
survei.
Fase 2: Diagnosis Epidemiologi: tingginya angka kejadian DBD
Pada fase ini dicari faktor kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang
ataupun masyarakat sebagaimana yang terdiagnosis pada fase 1. Pada fase ini dicari faktor
kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang atau ,masyarakat. Oleh sebab itu,
masalah kesehatan harus digambarkan secara rinci berdasarkan data yang ada, baik yang
berasal dari data lokal, regional maupun nasional. Pada fase ini harus diidentifikasi siapa atau
kelompok mana yang terkena masalah kesehatan (umur, jenis kelamin, lokasi, suku, dll),
bagaimana pengaruh atau akibat dari masalah kesehatan tersebut (mortalitas, morbiditas,
disability, tanda dan gejala yang ditimbulkan) dan bagaimana cara untuk menanggulangi
masalah kesehatan tersebut (imunisasi, perawatan atau pengobatan, perubahan lingkungan
maupun perubahan perilaku). Informasi ini sangat diperlukan untuk menetapkan prioritas
masalah, yang biasanya didasarkan atas pertimbangan besarnya masalah dan akibat yang
ditimbulkannya serta kemungkinan untuk diubah.
Dalam menentukan prioritas masalah kita harus mempertimbangkan beberapa faktor
seperti:
a. Beratnya masalah dan akibat yang ditimbulkannya
b. Pertimbangan politis
c. Sumber daya yang ada di masyarakat
Prioritas masalah kesehatan harus tergambar pada tujuan program dengan ciri who will
benefit how much of what outcome by when.
Fase 3: Diagnosis Perilaku dan Lingkungan
Faktor perilaku: kentalnya ritual adat yang kemungkinan berpengaruh buruk terhadap
kesehatan, pekerjaan sebagai petani karet, kebiasaan MCK disungai yang dikelilingi kebun
karet.
Faktor non perilaku (lingkungan): tempat penampungan getah karet dapat menjadi tempat
perkembangbiakan vektor
Pada fase ini selain diidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi masalah
kesehatan juga sekaligus diidentifikasi masalah lingkungan (fisik dan sosial) yang
mempengaruhi perilaku dan status kesehatan ataupun kualitas hidup seseorang atau
masyarakat.
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status kesehatan seseorang,
digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilization), upaya
pencegahan (Preventive action), pola konsumsi makanan (consumption pattern), kepatuhan
(compliance), upaya pemeliharaan kesehatan sendiri (self care). Dimensi perilaku yang
digunakan adalah: earliness, quality, persistence, frequency dan range. Indikator lingkungan
yang digunakan meliputi: keadaan sosial, ekonomi, fisik dan pelayanan kesehatan, dengan
dimensinya yang terdiri dari keterjangkauan, kemampuan dan pemerataan. Langkah yang
harus dilakukan dalam diagnosis prilaku dan lingkungan adalah: 1) memisahkan faktor
perilaku dan non perilaku penyebab timbulnya masalah kesehatan; 2) mengidentifikasi
perilaku yang dapat mencegah timbulnya masalah kesehatan dan perilaku yang berhubungan
dengan tindakan perawatan / pengobatan, sedangkan untuk faktor lingkungan yang harus
dilakukan adalah mengeliminasi faktor non perilaku yang tidak dapat diubah, seperti: faktor
genetis dan demografis; 3) urutkan faktor perilaku dan linkungan berdasarkan besarnya
pengaruh terhadap masalah kesehatan; 4) urutkan faktor perilaku dan lingkungan berdasarkan
kemungkinan untuk diubah; 5) tetapkan perilaku dan lingkungan yang menjadi sasaran
program. Setelah itu tetapkan tujuan perubahan perilaku dan lingkungan yang ingin dicapai
program.
Fase 4: Diagnosis Pendidikan dan Organisasi
Tetapkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai berdasarkan factor predisposisi yang
telah diidentifikasi. Selain itu, berdasarkan faktor pemungkin dan penguat yang telah
diidentifikasi ditetapkan tujuan organisasi yang akan dicapai melalui upaya pengembangan
organisasi dan sumber daya yang telah tersedia dan yang akan didapatkan.
Faktor predisposisi: tradisi, kebiasaan, dan adat
Faktor pemungkin: kurangnya akses terhadap informasi
Faktor yang memperkuat: kurangnya dukungan sosial
Fase 5. Diagnosis Administratif dan Kebijakan
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan peraturan yang berlaku yang
dapat memfasilitasi atau menghambat pengembangan program promosi kesehatan.
Pada diagnosis administratif dilakukan 3 penilaian, yaitu: sumber daya yang dibutuhkan
untuk melaksanakan program, sumber daya yang ada di organisasi dan masyarakat, serta
hambatan pelaksanaan program. Sedangkan pada diagnosis kebijakan dilakukan identifikasi
dukungan dan hambatan politis, peraturan dan organisasional yang memfasilitasi program
dan pengembangan lingkungan yang dapat mendukung kegiatan masyarakat yang kondusif
bagi kesehatan.
Sumber daya yang dibutuhkan: sarana MCK: sumur, jamban
Hambatan: kepercayaan ritual adat yang kental (menganggap sungai sebagai satu-satunya
sumber air)
Hambatan politis: masih sangat tergantung dengan tokoh adat
Pengembangan lingkungan: membangun sarana MCK yang jauh dari sungai, membersihkan
kebun karet
Pelaksanaan Promosi Kesehatan
Pelaksanaan adalah penerapan dari hal-hal yang telah direncanakan. Kesalahan sewaktu
membuat perencanaan akan terlihat selama proses pelaksanaan, demikian pula halnya dengan
kekuatan dan kelemahan yang muncul selama waktu pelasanaan merupakan refleksi dari baik
tidaknya suatu proses perencanaan.
Program promosi: pendekatan kepada tokoh adat, penyuluhan dan edukasi pada masyarakat,
pemberdayaan masyarakat, pembersihan tanaman di sekitar pohon karet dan lingkungan
(tidak membuang sampah sembarangan, tidak membiarkan air tergenang), pembuatan sumber
air lain (sumur), pembuatan sarana MCK, fogging, pemberian bubuk abate di tempat
penampungan air, program 3M(menutup, menguras, menimbun) dan ikan tempalo, penerapan
pembuangan dan pengolahan sampah secara terpadu.
Pemantauan dan Evaluasi Promosi Kesehatan
Pemantauan adalah suatu upaya agar proses pelaksanaan dari hal-hal yang telah
direncanakan berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Bila pada saat
pemantauan ada hal-hal yang tidak sesuai dengan prosedur / perencanaan maka hal tersebut
bisa segera diperbaiki.
Evaluasi adalah suatu masa di mana dilakukan pengukuran hasil (outcome) dari promosi
kesehatan yang telah dilakukan. Pada fase ini juga dilihat apakah perencanaan dan
pelaksanaan yang telah dilakukan dapat dilanjutkan. Selain itu, evaluasi diperlukan untuk
pemantauan efficacy dari promosi kesehatan dan sebagai alat bantu untuk membuat
perencanaan selanjutnya.
Pada prinsipnya, evaluasi promosi kesehatan sama dengan evaluasi kesehatan lainnya,
Karakteristiknya ialah indikator yang digunakan bukan hanya indikator epidemiologik
sebagai indikator dampak seperti pada upaya kesehatan lainnya, namun juga menggunakan
indikator perilaku untuk pengukuran efek.
Social Support dan Accesibility Of Information.
Pengertian Dukungan Sosial
Terdapat banyak definisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli.
Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber
daya yang disediakan lewat interaksi dengan orang lain. “Social support is the
resources provided to us through our interaction with other people” (Trismiati, 2006).
KONSEP DUKUNGAN SOSIAL
1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah perasaan positif, menyukai, kepercayaan, dan perhatian dari
orang lain yaitu orang yang berarti dalam kehidupan individu yang bersangkutan,
pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentuk tertentu (Katc
dan Kahn, 2000).
Menurut Landy dan Conte (2007) dalam Mudita (2009), dukungan sosial adalah
kenyamanan, bantuan, atau informasi yang diterima oleh seseorang melalui kontak
formal maupun informal dengan individu atau kelompok.
2. Aspek-Aspek Dukungan Sosial
House (Suhita, 2005) berpendapat bahwa ada empat aspek dukungan sosial yaitu:
a. Emosional
Aspek ini melibatkan kekuatan jasmani dan keinginan untuk memperbaiki daerahnya
sehingga terciptanya derajat kesehatan masyarakat
b. Instrumental
Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah sebagai contohnya adalah
peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung lain dan termasuk didalamnya
memberikan peluang waktu.
c. Informatif
Aspek ini berupa pemberian informasi untuk mengatasi masalah kesehatan. Aspek
informatif ini terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan, dan keterangan lain yang
dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan.
d. Penilaian
Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik, perbandingan
sosial, dan afirmasi.
Adanya dukungan dari masyarakat seperti keterlibatan aktif serta dukungan dari tokoh
masyarakat setempat akan mempermudah masuknya indormasi mengenai kesehatan. Selain
itu, adanya akses untuk menjangkau informasi juga memegang peranan penting dalam
tersampaikannya informasi kepada masyarakat. Dalam kasus ini ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap akses informasi, antara lain:
1. Lokasi pemukiman.
Desa Madudu wilayahnya sebagian besar bergunung, hal ini akan kemungkinan akan
menyebabkan jauhnya akses terhadap informasi serta terisolirnya dari dunia luar.
Oleh karena itu, kita diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai pentingnya penanganan demam dengue.
2. Tingkat pendidikan.
Masyarakat di desa Madudu pada umumnya berpendidikan setingkat SMP,
sebenarnya mereka sudah cukup mampu untuk menerima informasi namun
kemungkinan belum mampu untuk mengaplikasikan dan mengolah informasi yang
diberikan. Oleh karena itu, sebagai tenaga kesehatan kita perlu melakukan penyuluhan
dan memberikan langkah-langkah yang dapat diaplikasikan di masyarakat untuk
mempermudah mereka meningkatkan derajat kesehatannya.
3. Ritual adat.
Dalam skenario disebutkan bahwa desa Madudu masih kental dengan ritual adat dan
kepercayaan terhadap tokoh masyarakat masih tinggi. Hal ini juga berperan dalam
dukungan sosial masyarakat terhadap program-program yang akan dilakukan oleh
puskesmas, karena dengan adanya dukungan dari tokoh masyarakat setempat maka
dapat merangkul masyarakat yang ada di kawasan tersebut untuk menjalankan
program-program yang telah dibuat oleh puskesmas.
Peran Dinkes dalam meningkatkan derajat kesehatan penduduk desa:
1. Meminta laporan perkembangan status kesehatan masyarakat di daerah tersebut secara
rutin kepada dokter yang bertugas.
2. Memantau secara langsung ke daerah untuk menilai:
a. Sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan program penanganan
masalah kesehatan
b. Sumber daya yang ada pada masyarakat (memanfaatkan keberadaan tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan mereka yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat)
c. Hambatan pelaksanaan program (dari segi teknis maupun pembiayaan, Dinkes
diharapkan dapat menjadi fasilitator yang akan menyediakan sarana serta prasarana
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program penanganan masalah kesehatan di daerah
tersebut
3. Melakukan kerjasama lintas sektoral dengan dinas lain yang terkait, seperti dinas pertanian
dan perkebunan dalam upaya sosialisasi mengenai penerapan aktivitas pengolahan
perkebunan yang baik dan benar agar tidak menimbulkan dampak terhadap kesehatan.
Analisa sistem yang komprehensif dan holistik
Analisa sistem yang komprehensif dan holistik berarti bahwa dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, diperlukan suatu pendekatan yang menyeluruh dari semua
aspek manusia baik menyangkut fisik, mental, hingga kondisi sosial.