punyo stepi
-
Upload
trissa-wulanda-putri -
Category
Documents
-
view
223 -
download
1
description
Transcript of punyo stepi
PATOFISIOLOGI
Virus rabies masuk kedalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan selaput
mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebasar 50:1. Virus rabies tidak bisa menemus kulit
yang utuh. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokolasi
dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler. Setelah virus menempel
pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf
motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100mm per
hari. Setelah melewati medulla spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion
sensoris, akhirnya mencapai otak. Kolkisin dapat menghambat secara efektif transport akson
tipe cepat tersebut. Virus melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies
melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak
sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke
dalam sel inang. Pada tahap penetrasi virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan
penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi
Genom RNA untai direkam oleh polymerase RNA terkait, varion menjadi lima sepsis
mRNA. Genom ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang menimbulkan
pembentukan RNA keturunan RNA genomic berhubungan dengan transkriptase virus,
fosfoprotein dan nukleuprotein. Setelah enkapsidasi, partikel berbentuk peluru mendapat
selubung melalui pertusan yang melalui slaput plasma. Protein matriks virus membentuk
lapisa pada sisi dalam seubung. Sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan
membentuk duri. Setelah bagian-bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatuh diri kembali dan
membentuk virus baru yang menginfeksi inang yang lainnya, kemudian melanjutkan diri
bergerak secara sentripetal sebagai sub viral, tanpa nukleoplasmid menuju jaringan otak.
Setelah melewati medulla spinalis virus akan menginfeksi tegmentum batang
otak dan nukleus selebralis batang otak selanjutanya virus akan menyebar ke sel purkinya
selebrum, diencephalon, basal ganglia dan akhirnya menunju hipokampus terjadi lebih lambat
dengan girus dentatus yang relatif tidak terinfeksi. Virus rabies tidak bias menginfeksi sel
granuler pada girusdentatus yang sebagian besar mengandung reseptor AMPA dan Kinate
Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar
kedalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khususterhadap sel-sel sistim
limbik, hipotalamus, dan batang otak. Khusus mengenaisystem limbik dimana berfungsi erat
dengan pengontrolan dan kepekaan emosi. Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem
limbic ini, pasien akan mengigit mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer dalam
serabut aferen dan pada serabut saraf volunteer maupun otonom. Dengan demikian, virus
dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam
jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multiorgan melalui neuron
otonom dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas
infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar saraf terjadi pada
kelenjar ludah, lemak coklat, dan kornea. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasi
bergantung pada latar belakang genetic inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor
virus pada sel inag, jumlah nokulen, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus
untuk bergerak dari titik masuk ke susunan sarf pusat. Gambaran yang paling menonjol
dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas terdapat dalam sitoplasma sel
ganglion besa. Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu
atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih).
Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia
dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang
terjadi. Masa inkubasi tergantung pada umur pasien, latar belakang genetic, status immune,
strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu. Masuknya ke
susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari lamanya
pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60
hari, pada gigitan ditangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-
kira 30 hari.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis rabies pada manusia dan hewan dapat dibuat dengan 4 metode: (1) histopatologi
(2) Kultur virus (3) Serologi (4) deteksi virus antigen. Meskipun masing-masing dari 3
metode pertama memiliki keunggulan yang berbeda, tidak memberikan diagnosis definitif
yang cepat.
1. Histopatologi - Negri bodies merupakan ciri khas virus rabies. Namun, Negri bodies
hanya hadir dalam 71% kasus.
2. Kultur virus - Cara yang paling definitif diagnosis adalah dengan budidaya virus dari
jaringan yang terinfeksi. Kultur jaringan , seperti WI-38, BHK-21, atau CER. Sejak
virus rabies menginduksi CPE minimal, jika secara rutin digunakan untuk mendeteksi
keberadaan Ag virus rabies dalam kultur jaringan. Metode yang lebih umum
digunakan untuk isolasi virus adalah dengan inokulasi air liur, jaringan kelenjar ludah
dan jaringan otak intracerebrally ke tikus bayi. Tikus harus mengalami kelumpuhan
dan kematian dalam waktu 28 hari. Setelah kematian, otak diperiksa untuk
keberadaan virus dengan imunofluoresensi.
3. Serologi - antibodi beredar dan muncul perlahan dalam perjalanan infeksi tetapi
mereka biasanya hadir pada saat timbulnya gejala klinis. Tes serologi yang paling
sering digunakan adalah uji netralisasi infeksi tikus (MNT) atau rapid fluorescent
focus inhibition test (RFFIT). Serologi telah dilaporkan menjadi metode yang paling
berguna untuk diagnosis rabies.
4. Rapid Virus Antigen Detection - dalam beberapa tahun terakhir, deteksi virus antigen
banyak digunakan. Jaringan yang berpotensi terinfeksi diinkubasi dengan antibodi
berlabel fluorescein. Sel-sel diperiksa dengan mikroskop fluoresen untuk melihat
inklusi flourescent intrasitoplasma
Ada beberapa pemeriksaan pada penyakit rabies yaitu:
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus
dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
Panel elektrolit
Skrining toksik dari serum dan urin
GDA
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang < 200 mq/dl
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 mEq/dl)
TATALAKSANA
Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang
digigit hewan yang menderita rabies kemungkinan tidak akan menderita rabies. Orang
yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak
memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi
rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah dan kelelawar)
diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut mungkin saja
terinfeksi rabies. Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka
gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan
yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita
yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan
immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan.
Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan
pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14 dan 28. Nyeri dan
pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi
yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi. Jika
penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka resiko menderita rabies akan
berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin
(pada hari 0 dan 2).
Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10
hari.Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalur pernafasan (asfiksia),
kejang,kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga
tidak dapatdihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan
ke ruangperawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru,
jantung dan otak.Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif
jika suatu saatpenderita menunjukkan gejala-gejala rabies.
Jenis -jenis vaksin anti rabies:
1. Vaksin sel diploid manusia (HDCV)
Untuk mendapatkan suspensi virus rabies bebas dari protein asing dan susunan
saraf pusat, virus rabies diadaptasi untuk tumbuh dalam jalur sel fibroblas normal
manusia WI-38. Sediaan virus rabies dipekatkan melalui ultrafiltrasi dan diinaktivasi
dengan β-propiolakton. Bahan ini cukup antigenik sehingga hanya perlu diberikan
lima dosis HDCV untuk mendapatkan respons antibodi substansial pada sebagian
besar resipien. Reaksi lokal (eritema, gatal, bengkak pada tempat suntikan) terjadi
pada 30-70% resipien, dan reaksi sistemik ringan (sakit kepala, mual, mialgia, pusing)
terjadi pada sekitar seperlima resipien. Tidak dilaporkan adanya reaksi anafilaktik,
neuroparalitik, atau ensefalitik yang serius. Vaksin ini telah digunakan di Amerika
Serikat sejak tahun 1980.
Berdasarkan atas jaringan asalnya, HDCV terdiri atas:
a. Nerve tissue vaccine (NTV)
NTV adalah vaksin yang terbuat dari jaringan saraf melalui vaksin yang berasal dari
otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba, kera dan tikus; dan vaksin yang
berasal dari otak bayi mencit.
b. Non-nerve tissue vaccine
Merupakan vaksin yang terbuat dari jaringan bukan saraf, yang meliputi vaksin yang
berasal dari telur itik bertunas serta Tissue Culture Vaccine (TCV) yang merpakan
vaksin yang terbuat dari biakan jaringan.
Tissue Culture Vaccine (TCV)
Cara ini mulai ditemukan pertama kali oleh Kissling dkk. pada tahun 1963 dengan
menanam virus rabies strain CVS 11 pada biakan jaringan ginjal hamster, kemudian
sekitar tahun 1964 Wiktor, Fernandes dan Koprowski mulai mencoba menanam virus
rabies dari barbagai suku virus fike seperti CVS, Flury HEP, Pyttman Moore dan lain-
lain pada kultur dari human diploid cell tipe WI-38.
Pada garis besarnya TCV ini bila ditinjau dari kegunaannya terdiri atas:
1. Untuk pencegahan sebelum digigit anjing (pre-exposure)
a. Vaksinisasi pencegahan terhadap kemungkinan rabies, diberikan pada mereka yang
karena tugasnya berhubungan dengan hewan ternak atau hewan percobaan, misalnya
dokter hewan, ahli bologi, petugas karantina, petugas pada kandang hewan percobaan,
petugas rumah gotong dan lainlain, terutama pada daerah endemis rabies.
b. Pada anak-anak dapat juga diberikan vaksinasi pencegahan oleh karena resiko
tertular virus rabies secara statistik besar sekali.
2. Untuk pengobatan setelah digigit (post-exposure)
Gunakanlah rekomendasi WHO jika ada kemungkinan ditulari dengan virus rabies.
Cara pemakaian:
Dengan menggunakan jarum besar, vaksin beku-kering yang tersedia dilarutkan
dalam botolnya dengan 1 ml pelarut khusus yang ada di dalam disposible syringe
yang tersedia dalam kemasan. Kocok perlahan-lahan kemudian isap kembali
seluruhnya (dosis untuk orang dewasa). Kemudian vaksin rabies tersebut disuntikan
secara subkutan atau secara intra-muskuler dengan menggunakan jarum kecil. Vaksin
beku-kering ini berwarna putih kelabu tapi setelah dilarutkan berwarna merah jambu.
2. Vaksin Rabies Absorpsi (RVA)
Vaksin yang dibuat dalam jalur sel diploid yang berasal dari sel paru janin monyet
resus telah diijinkan di Amerika Serikat pada tahun 1988. Vaksin virus
diinaktivasi dengan β-propiolakton dan dipekatkan melalui adsorpsi terhadap
fosfat alumunium. Vaksin HDCV dan RVA cukup manjur dan aman.
3. Vaksin Jaringan Saraf
Vaksin ini dibuat dari otak domba, kambing, atau tikus yang terinfeksi dan
digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Vaksin ini menyebabkan sensitisasi terhadap jaringan saraf dan menyebabkan
ensefalitis pascavaksinisasi (suatu penyakit alergik) dengan frekuensi yang tinggi
(0,05%).
4. Vaksin Embrio Bebek
Vaksin ini dikembangkan untuk mengurangi masalah ensefalitis pascavaksinasi.
Virus rabies ditumbuhkan dalam telur bebek terembrionasi, tetapi kepala diangkat
sebelum vaksin disiapkan, dengan tujuan untuk mengeluarkan jaringan saraf dan
menghindari ensefalitis alergi. Secara teratur vaksin ini menimbulkan reaksi
setempat dan reaksi sistemik (demam, malaise, mialgia) pada sepertiga resipien.
Reaksi neuroparalitik (<0,001%) dan anafilaktik (<1%), jarang terjadi, tetapi
antigenitas vaksin rendah. Karena itu harus diberikan banyak dosis (16-25) untuk
menimbulkan respon antibodi pascapemaparan yang memuaskan. Vaksin ini
digunakan di AS di masa lalu tetapi sekarang tidak lagi digunakan.
5. Virus hidup dilemahkan
Virus hidup dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh dalam embrio ayam
(contohnya, strain Flury) digunakan untuk hewan tetapi tidak untuk manusia.
Kadang-kadang, vaksin seperti ini dapat menyebabkan kematian akibat rabies
pada kucing atau anjing yang disuntikan. Virus rabies yang ditumbuhkan pada
berbagai biakan sel hewan juga telah digunakan sebagai vaksin untuk hewan
peliharaan.