Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3
-
Upload
gerbang-lastra-3 -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
description
Transcript of Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3
PUISI PILIHAN LOMBA PEMBACAAN PUISI GERBANG LASTRA 3
Sungai Sajak
Oleh: Syaifuddin Gani
Seluas apa sungai sajakmu
Sedalam tatapan gerhana
Atau setetes embun?
Mungkin tajuk pinus itu
Lebih tajam dari rindumu
Bahkan lembah
Tak terukur sebagai rahim
Kau pun jadi setakzim ilalang
Rebah dan tegak
Di bilah-bilah subuh
Yang masih kau ragukan
Apakah iblis tak sungkan berkawan?
Seluas apa sungai sajakmu
Mungkin kau tak perlu
Menunggu angin terluka
Sebab gelombang lebih merdeka
Dari laut yang menampungnya
Kaulah sajak itu!
Wangi-wangi
Oleh: Syaifuddin Gani
Di pulau-pulau terjauh
Bintang bergetaran
Perahu-perahu menjauh
Lelampu bertangisan
Ombak membuih
Gugur jua dipangkuan karang
Pepasir memutih
Pudar dalam tangisan malam
Pangkal teluk merah dan memar
Di rongrong persengaamaan alam
Gadis-gadis berdaging samar
Lambaikan senyum tangiskan salam
Kutinggalkan dermaga wangi-wangi
Angin gemetar merangkul nafasmu wangi
Tahun depan angin timur tinggallah kenangan
Aku datang mengepang rambutmu jadi delapan
Kesaksian
Oleh: Irianto Ibrahim
Beginikah kau mengajariku tentang jarak dan waktu-
Sebentuk wajah yang hanya bisa kulihat dari
Gerak daunan mungil
Dan sepasang senyumku yang beku dalam cermin
Aku merindukanmu
Seperti dahulu kaupun memberi jemari untuk kusimpan
Lalu nada pada piano segera mengirimkan bait-bait ngilu
Lagu yang selalu kau nyanyikan seusai mandi
Yang telah membuatku berkali-kali mati
Dan terlahir lagi sebagai penanti
Aku belum bisa menerjemahkan waktu
Setelah usia sungguh-sungguh menua digelasku
Matahari yang menepi dimatamu
Atau laut yang menentramkan maut
Serupa nyala: kedipan pada matamu
Beginikah aku mengajari tentang jarak dan waktu-
Ketika aku hanya bisa bernyanyi
Seperti dirimu yang tak henti-henti memintaku menari
Sambil menggendong sepi
Setiap senja selesai
Jalan Pulang
Oleh: Irianto Ibrahim
Mungkin aku butuh semacam kantong ajaib
Yang membuatku tiba-tiba menjadi sajak
Yang tidak pernah sungguh-sungguh mencintai
Sampai baris akhir
Atau aku butuh semacam topi pesulap
Yang membuatku lenyap seketika
Kepergian yang tak pernah kembali
Yang tak akan pernah datang lagi
Mungkin masih ada jejak senyum
Atau malam bisu di ranjang
Karena alamat hari masih tersimpan di saku bajuku
Di dada sebelah kiri
Tempat jantungku biasa memaggilmu
Aku tidak bicara pada kenangan
Pada laut yang menjelma ombak dalam dirimu
Atau lagu terakhir yang dinyanyikan para pemabuk
Sudah lama tak kupikirkan rimbun mawar
Atau kabut asap sepanjang penantian
Sebab kenangan bukan jalan pulang untuk kembali
Bukan isyarat hari yang mau berbagi
Perjamuan
Oleh: Irianto Ibrahim
Berapa luka yang kau minta
Sedanau darah atau secangkir nestapa
Di dada, sesayat jantungku
Sudah kuhidang di meja makan
Kutambahkan air mata setia
Penyedap rasa dan aroma kesukaanmu
Apa kau minta juga mimpiku
Sekerat angan yang kusimpan di bawah bantal
Tempat kubaringkan kepalaku yang sudah kosong
Sebab katamu dendeng otaklah
Yang paling kau gemari
Berapa iga lagi yang kau perlu
Sepasang paru atau sumsum tulang belakang
Sebagai sop yang kau didihkan sepanjang hari
Sepanjang jalan pulang yang sudah kulupa selamanya
Kumohon, jangan lidahku
Jangan ambil lidahku
Karena dia menerjemahkan
Detak dalam dadaku
INAWA
Oleh: Salim
Sebelum nyawa itu ada maka hidup telah ada. tetapi nyawa menyunting hidup biar ada
pengakuan yang makin bergema sampai kini, maka berucap sederet kata yang beruntun mengalir
dalam tubuh, sampai Malaikat sujud hormat menjalani isyarat yang tak bisa dihalaunya dan
teruslah mengungkap isi bumi yang utuh lagi perawan membawa martabatnya pada sisi yang
tersendiri dan disebut itu paling mulia di sisiNya
teriaklah di setiap waktu nyawa yang baru, meraung ampun pada hidup yang dijumpainya
Namun erat kepalan tangan terlalu rahasia adanya sambil membawa tangis dari langit ketujuh,
Tepat dua setengah purnama lampu minyak kampua menyala-nyala mengikuti lantunan
barasandi pertanda perang telah dimulai dengan selamat
Karena waktu, ubun-ubun mulai membatu dan canda itu mulai mengigit tubuh malaikat,
terlihatlah sifat baru di hadirat Tuhan, maka dupa dibakar dalam empat unsur bumi yang
menyertai bacaan modhi mengelus pundak guna menyapa ruh titipan Tuhan lewat malaikat nyata
yang bernama Ina
Kini usia semakin matang menantikan kawan yang hendak menemunya, turunlah cinta dari
langit tenggelam dalam batinnya melahirkan perasaan yang sama di antara mereka, kehadiran
cinta mengenalkan pada kesepian, maka sunyi mulai menikam hati
Diseberang dunia turunlah api yang membara hinggap di antara angan, menguji cinta yang asing,
lalu rasa itu bertasbih buat menepis baranya yang jatuh di antara langit dan bumi
KALAMBE
:Pingit
Oleh: Deasy Tirayoh
Perdu bersemak selagi mata mengisyaratkan dongeng leluhur
Saat tunas ranum menemani rintik-rintik kegadisan
Lantas gong bunyi
Tetabuh mengungsikan sepi ditarung hasrat
Menarilah dengan tungkai sekokoh akar jati
Sebab gong telah menandai
Bibir terkatup menimbun doa
Angka dimatangkan agar siap pada goda
Apa yang menganga?
Perawan tak baik bila berisik
Kuburkan deburan tubuhmu di kesenyapan
Hingga dahaga peziarah datang menimba
Di kala rintik-rintik kegadisan pecah dalam upacara
Deras menghujani gersang
Perdu bersemak selagi benakmu masih kuncup
Kalambe, engkau bukanlah perdu itu
Yang jamak terinjak dan tumbuh sembarang
Pupuklah sebilang kata paling menjaga
Jangan durhaka!
Bunga mawar mekar mengiring musim
Siapa yang sungguh tertusuk duri?
Terminal Bulan
Oleh: La Ode Muh Rauf Alimin
Pekat malam menggulung lidah
Menunjuk ke angin belukar
Darahmu bagai berpaku berlalu
Langit, langit
Keluasan hati berdesakan
Terbebas di keras muka
Siapakah yang sangat waktu
Bila detik mengandung sepi
Bulan keguguran
Bulan hangus di jari
Tidak ada warna
Tidak ada tari
Hujan suntuk terbilang hati
Tunggu bulan lain datang
Menggelinding di ranting pohon jati
Yang takkan patah
Di bumi angin
Berikan peka ke hati
Tak perlu jarak pandang mempertua
Bulan juga tahu
Suara angin memaki sepi
SENJA
Oleh : Eka Cahyo
Aku menatap senja
Begitu cerah, walau ada
Guratan sendu disana
Teringat ku sejumput kenangan
Bayangan memori yang
Menabur pilu
Asaku terus membumbung
Jauh menututp nyataku
Mengenang jutaan kenangan
Yang mengalahkan kenyataan
Namun, realita membangunkan aku
Mengajak aku kembali pada senja
Sesak aku akan kenangan itu
Namun rindu terus menghasut
Memaksa otakku untuk terus
Mengenangnya
Akhirnya aku tersadar,
Kau hanyalah bagian indah
Yang menjadi pilu
Dan kini menjelma sebagai
Memori terindah dalam
Senjaku….
SELERA DUSTA
Oleh : Mas Jaya
Hambar kata kehilangan makna
Ujur ingkar membumbui ucap
Pada racikan sup retorika
Yang terhidang di meja harap,
Menyajikan mimpi yang didramatisir kata-katanya
Hinggapun indahnya menyaingi surga Tuhan.
Dan pada mata, telinga kita yang terlanjur
Melahap sup-sup dari lidah dusta pun
Ikiut-ikutan memuntahkan madu pada setiap dusta
Yang membuat ngiler penuh harap oleh
Si Dungu.
Mungkin saja kita telah membungkam mulut hati
Hingga nurani pun tercipta bagai kosa kata hampa
Di atas hawa setan yang terpompa
Di jantung kita sendiri.
Lalu si Dungu yang ikut terbodohi dusta
Mencoba meracik kembali resep dan
Mencipta kepalsuan baru dari bahan-bahan
Berasa dan beraroma dusta
Tuk dihidangkan lagi
Di meja aktor baru yang menggantikannya Kelak.
Siklus dusta pun melingkar tiada ujung dan
Memang tak putus mewariskan generasinya.
Mari merenung; sejarah penuh dusta
telah mencipta kekinian penuh dusta
dan mungkin saja, juga masa depan
penuh dusta.
Mungkin inilah kita?