Pu bencana-kupang

6
Dicari, Pemimpin Dicari, Pemimpin Daerah Sadar Bencana Daerah Sadar Bencana 1 Patrisius Usfomeny Boleh jadi, saat ini banyak pihak yang masih belum tahu tentang kehadiran UU Penanggulangan Bencana (UUPB) No.24/2007 yang telah disahkan pada 26 April 2007. Terlepas dari perdebatan soal plus-minus isinya, kehadiran UU ini rupanya membawa angin segar dalam kaitan dengan penanganan bencana di Indonesia. Berbagai peraturan kebencanaan yang ada selama ini belum bisa menjadi landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penanganan bencana, serta kebanyakan tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga menghambat upaya penanggulangan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu. Penanggulangan bencana selama ini masih parsial, sektoral dan terbagi-bagi. Inilah salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari upaya penanggulangan bencana, yang mengindikasikan perlunya kebijakan dasar yang baik untuk mengatur fungsi dan peran dari para pelaku penanggulangan bencana. Secara sederhana, tujuan UUPB ini dari sisi pemerintah dapat dilihat sebagai upaya untuk memberikan kerangka hukum (legal framework) untuk tindakan penanggulangan yang mencakup masa sebelum bencana, saat tanggap darurat serta periode pasca bencana. Termasuk di dalamnya kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dalam penataan kelembagaan untuk respons bencana, tindakan-tindakan kesiap-siagaan, tindakan tanggap darurat, dan lain-lain. Dengan demikian UUPB ini akan memberikan kepastian hukum kepada pemerintah dalam melindungi negara dan warganya dari akibat bencana. Dari sisi masyarakat, sisi penting kehadiran UUPB ini adalah memberikan pelindungan dan rasa aman kepada masyarakat dari ancaman bencana. Hal ini sejalan dengan pergeseran pendekatan penanggulangan bencana dari perlindungan masyarakat sebagai perwujudan kekuasaan pemerintah kepada perlindungan sebagai hak azasi. Sisi penting kedua, pergeseran pendekatan pun terjadi pada penanggulangan bencana sebagai tanggung jawab pemerintah semata kepada keterlibatan masyarakat lewat strategi manajemen resiko bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk management). Dalam kaitan ini, semua aspek penanggulangan bencana, mulai dari kebijakan, kelembagaan serta mekanisme harus membuka akses untuk peran serta masyarakat luas, serta dunia usaha. Sisi Kritis UUPB 1 Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Umum Pos Kupang, Mei 2007, ditambah beberapa revisi dan penambahan data terbaru.

Transcript of Pu bencana-kupang

Page 1: Pu bencana-kupang

Dicari, Pemimpin Dicari, Pemimpin Daerah Sadar BencanaDaerah Sadar Bencana11

Patrisius Usfomeny

Boleh jadi, saat ini banyak pihak yang masih belum tahu tentang kehadiran UU

Penanggulangan Bencana (UUPB) No.24/2007 yang telah disahkan pada 26 April 2007.

Terlepas dari perdebatan soal plus-minus isinya, kehadiran UU ini rupanya membawa angin

segar dalam kaitan dengan penanganan bencana di Indonesia. Berbagai peraturan

kebencanaan yang ada selama ini belum bisa menjadi landasan hukum yang kuat dan

menyeluruh dalam penanganan bencana, serta kebanyakan tidak sesuai dengan perkembangan

dan kebutuhan masyarakat, sehingga menghambat upaya penanggulangan secara terencana,

terkoordinasi, dan terpadu. Penanggulangan bencana selama ini masih parsial, sektoral dan

terbagi-bagi. Inilah salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari upaya penanggulangan bencana,

yang mengindikasikan perlunya kebijakan dasar yang baik untuk mengatur fungsi dan peran dari

para pelaku penanggulangan bencana.

Secara sederhana, tujuan UUPB ini dari sisi pemerintah dapat dilihat sebagai upaya untuk

memberikan kerangka hukum (legal framework) untuk tindakan penanggulangan yang

mencakup masa sebelum bencana, saat tanggap darurat serta periode pasca bencana.

Termasuk di dalamnya kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dalam penataan

kelembagaan untuk respons bencana, tindakan-tindakan kesiap-siagaan, tindakan tanggap

darurat, dan lain-lain. Dengan demikian UUPB ini akan memberikan kepastian hukum kepada

pemerintah dalam melindungi negara dan warganya dari akibat bencana.

Dari sisi masyarakat, sisi penting kehadiran UUPB ini adalah memberikan pelindungan dan

rasa aman kepada masyarakat dari ancaman bencana. Hal ini sejalan dengan pergeseran

pendekatan penanggulangan bencana dari perlindungan masyarakat sebagai perwujudan

kekuasaan pemerintah kepada perlindungan sebagai hak azasi. Sisi penting kedua, pergeseran

pendekatan pun terjadi pada penanggulangan bencana sebagai tanggung jawab pemerintah

semata kepada keterlibatan masyarakat lewat strategi manajemen resiko bencana berbasis

masyarakat (community based disaster risk management). Dalam kaitan ini, semua aspek

penanggulangan bencana, mulai dari kebijakan, kelembagaan serta mekanisme harus

membuka akses untuk peran serta masyarakat luas, serta dunia usaha.

Sisi Kritis UUPB

1 Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Umum Pos Kupang, Mei 2007, ditambah beberapa revisi dan penambahan data terbaru.

Page 2: Pu bencana-kupang

Sekalipun demikian, menjadi penting untuk melihat secara kritis substansi UUPB sebagai

payung hukum sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Jika dilakukan analisis kritis atas

isi produk hukum ini, ditemukan masih adanya beberapa gap, baik dari sisi penyelenggaraan

penanggulangan bencana, sistem kelembagaan, kerangka hukum penyelenggaraan, serta

pemaduannya ke dalam penyelenggaraan pembangunan hingga aras daerah.2 Sebagai contoh,

di dalam UUPB, mekanisme pembagian kewenangan dan tanggungjawab belum diatur secara

jelas antara berbagai unit dan tingkatan pemerintahan maupun antara Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),

untuk menjamin penyelenggaraan penanggulangan bencana secara efektif. Lebih jauh soal

pengaturan kewenangan ini, di dalam UUPB pun sepertinya masih terbawa semangat

sentralisasi dan dominasi pemerintah pusat. Pembagian kewenangan dan tanggungjawab masih

sangat kabur sehingga dikuatirkan akan berimplikasi pada ketidakjelasan pengaturan apa yang

harus dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Persoalan pembagian kewenangan ini masih diikuti dengan soal kelembagaan, semisal

ketidakjelasan pengaturan tentang pembentukan kelembagaan BNPB dan BPBD sebagai

entitas pemerintah yang menyelenggarakan mandat ini; belum jelasnya mekanisme pengelolaan

dana oleh BPBD; kekuatiran terjadinya politisasi dalam pelaksanaan uji kelayakan oleh DPR/D

terhadap para ahli dan profesional yang akan duduk sebagai anggota dalam Badan Pengarah

BNPB dan BPBD; hingga terjadinya benturan tingkat eselonisasi yang diatur dalam UUPB

dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah. Bahkan bisa dikatakan, ada ketidak-konsistenan antara PP ini dengan UUPB. Pasal-

pasal dalam PP No 41/2007 yang mengatur tentang tata organisasi badan yang ada di daerah

justru kontradiktif dan mereduksi substansi beberapa pengaturan kunci dalam UUPB, padahal

PP ini lahir beberapa bulan setelah UUPB disahkan.

2 Bandingkan dengan Laporan Kajian Perumusan Rekomendasi Bagi Penyusunan Peraturan Pelaksanaan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, BAPPENAS, MAP-UGM, UNDP, Yogyakarta, September 2007

Author: Patrisius_Usfomeny/05/07 2

Page 3: Pu bencana-kupang

Inkonsistensi ternyata muncul lagi di dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 8/2008

tentang BNPB yang baru saja diparaf Presiden Yudhoyono. Misalnya soal salah satu fungsi

Unsur Pengarah (UPn) yaitu melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan penanggulangan

bencana. Ayat ini dianggap gamang karena kewenangan evaluasi yang dilakukan UPn itu bakal

menjadi tak bergigi. Efektivitas evaluasi dipertanyakan karena bagaimana mungkin UPn ini akan

melakukan evaluasi dengan efektif dan bebas bias jika secara struktural ia berada di bawah

Kepala Badan. Contoh lain, pengaturan tentang keanggotaan Unsur Pelaksana (UPl) di dalam

Perpres No. 8/2008 ini juga mereduksi substansi pengaturan yang ada di dalam UUPB. Pada

pasal 15 ayat (3) UUPB, disebutkan, keanggotaan UPl terdiri atas tenaga profesional dan ahli.

Pengaturan ini sebenarnya memberikan peluang bagi masyarakat profesional/ahli (dari unsur

non-pemerintah) untuk menjadi anggota UPl, tetapi di dalam Perpres tentang BNPB, peluang itu

tidak ditemukan lagi.

Gap lain yang ditemukan di dalam UUPB adalah soal sinkronisasi dan pemaduan antara

sistem perencanaan penanggulangan bencana dengan sistem perencanaan di daerah yang

belum diatur secara tegas; masih belum jelasnya pengaturan sistem akuntabilitas dan

transparansi anggaran dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana; adanya perbenturan

antara urusan yang diwajibkan dalam UU No 24 Tahun 2007 dengan Peraturan Pemerintah No

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Porsi masyarakat di dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana pun masih agak sumir alias belum nampak dengan

jelas, yakni hak dan kewajiban masyarakat untuk terlibat di samping peran wajib pemerintah.

Rentan Bencana

Dalam beberapa bulan ke depan hingga tahun 2009, akan dilakukan pemilihan kepala

daerah (Pilkada) di beberapa kabupaten di NTT, Pilkada gubernur, pemilihan umum (Pemilu)

legislatif hingga pemilu presiden. Proses suksesi kepemimpinan termasuk di wilayah NTT ini

membuka satu spektrum diskursus baru akan pentingnya memilih pemimpin daerah yang ‘sadar

bencana’. Rasanya bukan masanya lagi untuk mengatakan isu bencana bukan menjadi satu hal

urgen di Propinsi NTT. Kekeringan panjang yang disusul gagal tanam dan gagal panen di

mayoritas kabupaten di NTT - bahkan dampaknya masih terasa hingga saat ini, berupa

ketidakamanan pangan di masyarakat – banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Benanain yang

terus berulang tiap tahun, banjir dan tanah longsor di Manggarai pada bulan Maret 2007 lalu

dengan korban puluhan jiwa melayang, serta yang paling akhir angin kencang yang

merobohkan rumah penduduk di beberapa wilayah awal tahun 2008 ini. Semua itu

mengindikasikan NTT sebagai salah satu wilayah dengan keragaman jenis bencana paling

kompleks di Indonesia (disaster-prone area). Sebagai ilustrasi, data yang dikeluarkan

Author: Patrisius_Usfomeny/05/07 3

Page 4: Pu bencana-kupang

Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana (PMPB) NTT menunjukan, sepanjang

1997-2004 terjadi 12 jenis bencana, dengan empat besar jenis bencana yaitu

kekeringan/kemarau panjang, hama/penyakit tanaman, banjir serta wabah penyakit. Kerugian

dalam periode itu (sesuai laporan Gubernur NTT kepada Menko Kesra) mencapai Rp. 119

milyard lebih.

Kompleksitas ancaman bencana sebagaimana digambarkan di depan menampakan bahwa

kejadian bencana di NTT merupakan suatu keniscayaan, terutama jika dikaitkan dengan

berbagai kerentanan yang ada, baik dari sisi fisik/lingkungan, sosial-ekonomi maupun

sikap/motivasi. Secara sederhana, persinggungan antara bentuk-bentuk ancaman dengan

kerentanan akan menghasilkan bencana (Blaike at.al., 1994). Semakin besar ancaman bencana

serta kerentanan yang ada maka semakin besar pula risiko yang bakal dihadapi.3

Ketiga bentuk kerentanan dalam masyarakat tersebut sebenarnya berhulu pada sejumlah

akar masalah, seperti kemiskinan, kelangkaan partisipasi dan akses masyarakat atas kebijakan

publik, praktek pembangunan yang tidak populis, dan lain sebaginya. Berbagai kondisi rentan

inilah yang memunculkan risiko kerusakan dan kehilangan ketika bertemu dengan ancaman.

Misalnya kehilangan nyawa atau cacat, kerusakan infrastruktur vital; kehilangan mata

pencaharian dan aset-aset produktif; kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity);

perubahan fisik dan kimiawi lingkungan hidup, kondisi chaotic sosial dan politik, dan sebagainya.

Pergeseran Paradigma

Jika kita melihat ke belakang pada upaya penanganan jenis-jenis bencana tersebut, ada

beberapa keterbatasan yang perlu dicermati. Pertama, penanggulangan bencana selama ini

masih menggunakan paradigma respons kedaruratan (emergency response). Padahal, dalam

kerangka mereduksi risiko bencana yang lebih besar (disaster risk reduction), upaya

penanggulangan harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi kesiap-siagaan/mitigasi,

tanggap darurat serta rehabilitasi/rekonstruksi. Cara pandangnya bukan lagi bagaimana

melakukan respon kedaruratan, tetapi bagaimana melakukan manajemen risiko sehingga

dampak yang lebih merugikan dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali.

Keterbatasan kedua, kebijakan. Pada konteks daerah, hal ini erat terkait dengan dukungan,

arah dan komitmen politik legislatif dan eksekutif daerah dalam pembuatan kebijakan publik,

3 ADPC (2007) mendeskripsikan kerentanan sebagai kecenderungan untuk menderita kerugian akibat suatu peristiwa eskternal; sekumpulan kondisi konsekuensial (fisik, sosial prilaku) yang berdampak merugikan terhadap kemampuan masyarakat untuk mencegah, memitigasi, siap-siaga dan tanggap terhadap peristiwa bencana. Dengan kata lain, kerentanan (vulnerability), yang dalam defenisi ini lebih diarahkan pada aras komunitas, mengacu ke kelemahan (weakness) yang merupakan kondisi berlawanan dari daya tahan (resilience) terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa bencana.

Author: Patrisius_Usfomeny/05/07 4

Page 5: Pu bencana-kupang

tidak saja yang terkait dengan bencana, tetapi juga kebijakan-kebijakan sektoral. Kesemuanya

itu bisa terlihat dari sudah adakah perspektif pengurangan resiko bencana di dalam

perencanaan pembangunan daerah, praktek pemerintahan, atau alokasi anggaran

pembangunan? Jika kita ambil alokasi anggaran bagi penanganan kebencanaan sebagai

contoh, dapat dipastikan, hampir tidak ada satu kabupaten/kota pun yang menyediakan alokasi

dana khusus untuk penanggulangan bencana. Yang ada adalah dana tak terduga yang masih

samar peruntukannya bagi penanganan bencana karena dipadukan dengan kebutuhan lain.

Pola penganggaran ini tentu saja masih sangat dipengaruhi oleh paradigma respons

kedaruratan.

Ketiga, kelembagaan. Tak bisa disangkal, kelembagaan penanggulangan bencana yang ada

selama ini hanya bersifat koordinasi (coordinating agency), ad-hoc, yang karena itu lebih banyak

konsern pada periode ketika bencana terjadi. Revitalisasi kelembagaan, karena itu, menjadi

kebutuhan saat ini untuk melakukan pengaturan wadah yang mencerminkan tatanan otoritas,

fungsi dan tanggung jawab perangkat-perangkat pemerintahan untuk secara komprehensif

menangani bencana. Aspek kelembagaan ini sepatutnya juga didukung dengan penataan

mekanisme atau tata gerak keseluruhan unsur dalam wadah penanggulangan bencana

tersebut, juga terkait dengan bagaimana koordinasi bisa dikembangkan dengan sektor-sektor

lain di daerah.

Agenda ke Depan

Di level regional Asia, harapan terbesar penanggulangan bencana (diasosiasikan dengan

peran pemerintah) adalah terkait dengan isu-isu alokasi anggaran publik daerah, penyiapan

kerangka hukum, dukungan legislatif dan eksekutif, pengarus-utamaan disaster risk reduction ke

dalam perencanaan pembangunan dan manajemen sumberdaya manusia. Di level nasional,

secara khusus, hal ini didasarkan pada serangkaian gap dan kebutuhan yang ditemukan dalam

kebijakan nasional terkait manajemen bencana, serta kebutuhan untuk diagendakan di dalam

komponen kebijakan daerah. Serangkaian gap dan kebutuhan tersebut, sebagai contoh,

bagaimana mengintegrasikan disaster risk reduction ke dalam perencanaan pembangunan serta

program yang didukung dengan data bencana terpilah dan terstandarisasi, pemetaan ancaman,

risiko, kerentanan dan kapasitas; bagaimana membuat peraturan pelaksana untuk implementasi

UU No. 24/2007; bagaimana melakukan pengaturan institusional pada institusi yang

bertanggung jawab terhadap manajemen kebencanaan yang didukung dengan sumberdaya

manusia yang memadai, metode kerja, infrastruktur dan teknologi serta peralatan. Dan akhirnya,

bagaimana menstimulasi alokasi budget khusus bagi manajemen kebencanaan di dalam

anggaran publik.

Author: Patrisius_Usfomeny/05/07 5

Page 6: Pu bencana-kupang

Di aras daerah, pemerintah daerah (pemda) perlu juga melihat perlindungan warganya

sebagai suatu mandat yang sama dengan mandat lain seperti peningkatan kesejahteraan.

Sudah saatnya pemda mulai mengintegrasikan reduksi risiko bencana ke dalam perencanaan

pembangunan daerah serta alokasi anggaran dalam APBD; menyusun suatu rencana aksi

daerah (RAD) penanggulangan bencana sebagai turunan dari rencana aksi nasional (RAN)

yang telah dikeluarkan pemerintah tahun 2006 lalu, penataan kelembagaan daerah khusus

untuk penanggulangan kebencanaan, atau bahkan menyusun suatu peraturan daerah (perda)

untuk implementasi UUPB.

Karena itu, saat ini mau tidak mau masyarakat memerlukan pemimpin daerah yang sadar

bencana. Penting bagi warga Propinsi NTT yang siap menyongsong pilkada, untuk dari

sekarang melihat-lihat calon pemimpinnya yang sadar bencana, yang sudah berada pada

paradigma ‘reduksi risiko bencana’ dan bukan masih berkutat dengan paradigma lama yang

hanya melihat bencana dari sudut respons kedaruratan, sehingga risiko bencana apapun yang

terjadi di daerah tercinta ini bisa direduksi, atau bahkan ditiadakan sama sekali. * * *

Daftar Pustaka

Asian Disaster Preparedness Centre. (2007). Course Module on the 2nd Regional Course on Governance and Disaster Risk Reduction (GDRR-2) - September 2007. Bangkok-Thailand: ADPC;

Blaike, P., Canon, T., Davis, I., Wisne, B. (1994). At Risk: Natural Hazard, People’s Vulnerability and Disasters. London: Routledge;

Hewit, K. Dan Burton, I. (1971). The hazardousness of a Place: a Regional Ecology of Damage Events. Toronto: University of Toronto;

Perkumpulan Masyarakat Penanggulangan Bencana. (2005). Analisis Contingency Planning. Kupang: PMPB;

UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana;

Perpres No. 8/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;

Laporan Kajian Perumusan Rekomendasi Bagi Penyusunan Peraturan Pelaksanaan UU No.

24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, BAPPENAS, MAP-UGM, UNDP, Yogyakarta,

September 2007.

Author: Patrisius_Usfomeny/05/07 6