PT. ANTAM (Ambil Manfaat Gcg)
-
Upload
togar-manik -
Category
Documents
-
view
41 -
download
3
description
Transcript of PT. ANTAM (Ambil Manfaat Gcg)
UNIVERSITAS INDONESIA
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
II.1. Tinjauan Pustaka
Dari berbagai penelitian sebelumnya yang membahas mengenai tanggung
jawab sosial BUMN, terdapat beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nanin Wirasita Widiatmi pada skripsi yang
berjudul Pelaksanaan Corporate Sosial Responsibility PT Pertamina (Persero).
Penelitian lain yang relevan adalah tesis yang dibuat oleh Haris Sarwoko yang
berjudul Evaluasi Penerpan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance pada PT
Aneka Tambang Tbk. Selain itu pada jurnal yang ditulis oleh Etty Murwaningsari
yang berjudul Hubungan Corporate Governance, Corporate Social
Responsibilities, dan Corporate Financial Performance Dalam Satu Continuum.
Menurut penelitian yang dilakukan Widitami, munculnya paradigma
kepentingan tercerahkan (Enlightened Self-interest) pada sisi pertengahan
mengungkapkan, stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya akan
dapat dicapai jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggung jawab sosial
kepada masyarakat paling tidak dalam tingkat minimal.
Asumsi dasar dari aliran pemikiran ini, pertama, adalah bahwa setiap
perusahaan dengan sukarela – sesuai dengan kekuatan dan kelemahannya – dapat
mengembangkan dan menjalankan CSR. Pendukung aliran ini menolak campur
tangan negara dalam mengatur CSR di perusahaan. Kedua, kepedulian terhadap
masyarakat atau konsumen dapat mendorong keuntungan ekonomi suatu
perusahaan. Ketiga, keberadaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat tempat perusahaan tersebut beroperasi. Enlightened self interest atau
kepentingan perusahaan yang tercerahkan, berarti memasukan dimensi
masyarakat tanpa mengabaikan tujuan utama dari perusahaan yaitu mengejar
keuntungan semaksimal mungkin.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
13
Pada tesis yang dibuat oleh Haris Sarwoko menegaskan bahwa intinya
corporate governace tidak berbicara tentang kekuasaan, melainkan berkaitan
dengan upaya pencarian cara-cara yang dapat menjamin keputusan-keputusan
dibuat secara efektif. Agar proses pembuatan keputusan perusahaan dapat
berlangsung secara efektif, maka dibutuhkan hubungan kolaboratif di antara
pihak-pihak manajemen dengan dewan komisaris (board of directors). Dalam hal
ini, dewan komisaris (BoD) tidak hanya sekedar berperan sebagai pengawas dari
tindakan direksi (pihak manajemen) tetapi juga berperan sebagai ’partner’ direksi
(pihak manajemen) di dalam proses pembuatan keputusan perusahaan.
Dari pendapat tersebut diatas terlihat bahwa CG tidak hanya dipandang
sebagai sistem yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku
atau tindakan dari para manajer melainkan juga sebagai sistem yang dapat
menjamin terciptanya proses pembuatan keputusan yang efektif dengan cara
melibatkan atau mengundang partisipasi dari pemegang saham dan anggota dewan
di dalam proses pembuatan keputusan perusahaan. Ini berarti telah terjadi
pergeseran penekanan dari pengertian konsep CG, yaitu dari pengertian yang
memfokuskan pada kegiatan pemantauan prilaku atau tindakan dari para manajer
menjadi pengertian yang lebih menekankan pada perbaikan dalam proses
pembuatan keputusan.
Pada jurnal yang ditulis oleh Murwaningsari diungkapkan bahwa
Pelaksanaan GCG sangat diperlukan untuk memenuhi kepercayaan masyarakat
dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perindustrian untuk
berkembang dengan baik dan sehat yang tujuan akhirnya untuk mewujudkan
stakeholder value.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
14
Tabel 5: perbandingan pemikiran mengenai GCG dan CSR
1 2 3 4
PENELITI Nanin Wirasita Widiatmi(S1)
Haris Sarwoko (S2)Etty Murwaningsih
(Jurnal)Penulis
JUDULPENELITIAN
Pelaksanaan CorporateSosial Responsibility PTPertamina (Persero) (StudiDesdkriptif Pada ProgramSehati Periode Tahun 2007di posyandu KartiniKecamatan Koja)
Evaluasi Penerpan Prinsip-prinsip Good CorporateGovernance pada PT AnekaTambang Tbk.
Hubungan CorporateGovernance, CorporateSocial Responsibilities,dan Corporate FinancialPerformance DalamSatu Continuum.
Pelaksanaan GoodCorporateGovernance PadaProgram CorporateSocial ResponsibilityPT Antam Tbk.
1. Mengetahui latarbelakang pelaksanaan CSRpada PT Pertamina(Persero).
1. Untuk menggambarkandan mengevaluasipenerapan prinsip GCGpada PT Antam Tbk.
1. Untuk mengetahuipenerapan prinsip-prinsip GCG dalamimplementasinya padaprogram CSR.
2. Menggambarkanpelaksanan programSEHATI pada PTPertamina (Persero)Sebagai salah satu bentukdari CSR Pertamina.
2. Menganalisis kendalayang dihadapi dalampenerapan prinsip-prinsipGCG pada PT Antam Tbk.
2. Untuk mengetahuihambatan implementasipenerapan GCG padaprogram CSR.
TUJUANPENELITIAN
3. Mengetahui manfaat dankendala dalam pelaksanaanProgram SEHATI pada PTPertamina (Persero).
Untukmengidentifikasipengaruh antarastruktur CorporateGovernance yangdiproksikan sebagaikepemilikaninstitusional,kepemilikanmanajerial terhadapCorporate SocialResponsibility danCorporate SocialResponsibilityterhadap corporatesocial performance.
METODEPENELITIAN
Pendekatan Kualitatifdengan Wawancara danDeskriptif.
menguraikan secaraDeskriptif Analistis, Metodepenelitian dilakukan denganstudi kepustakaan dankuisioner.
Menggunakan DataSekunder dari laporantahunan 2006perusahaan publikyangterdapat di PusatReferensi Pasar Modal(PRPM) BEI.
teknik pengumpulandata melalui studikepustakaan danmelalui studi lapangan
HASILPENELITIAN
Pertamina mengelolapendanaan CSR melaluiAnggaran BiayaOperasional (ABO), denganadanya ABO Pertaminamelaksanakan kegiatanCSR dengan dana khusussendiri bukan berdasarkankeuntungan yang telahdihasilkan saja.
Penerapan prinsip-prinsipGCG PT Antam Tbk.belum berjalan secarakeseluruhan, dalam prinsipfairness perlindungan hak-hak pemegang sahamminoritas telah tertuangdalam Anggaran Dasar,tetapi belum memilikipedoman CG. Pelaksanaanresponsibility sudahberjalan melalui programcommunity development.
Mayoritas perusahaanmanufaktur yangterdaftar di BEI padatahun 2006 sudahmelakukan praktikpengungkapantanggung jawab sosial.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
15
1 2 3 4
PENELITI Nanin Wirasita Widiatmi(S1)
Haris Sarwoko (S2)Etty Murwaningsih
(Jurnal)Penulis
Dengan adanya ProgramCommunity DevelopmentSEHATI Pertamina yangdilaksanakan di kecamatanKoja termasuk dalamprogram jangka pendek.
Untuk prinsiptransparency yang sudahberjalan dengan baikadalah adanya auditorindependen Komite Audit,satuan pengawas intern.
Melalui pendekatananalisa jalur (pathanalysis) menunjukanGCG yaitu kepemilikanmanajerial daninstitusionalmempunyai pengaruhterhadap kinerjaperusahaan(TOBINS’Q)
-
Pertamina belum memilikilaporan khusus mengenaipelaksanaan programSEHATI, termasuk laporanterhadap stakeholder.
Untuk prinsip akuntabilitasdari sisi penerapan hukum,PT Antam Tbk. telahmemenuhi regulatory framework,d an telah terbentukkomite audit dan komisarisindependen serta telahmenggunakan AuditorIndependen.
Selanjutnya hasilpenelitian ini dapatmembuktikan bahwaGCG yang diamatimelalui kepemilikanmanajerial daninstitusional,mempunyai pengaruhterhadap pengungkapanCSR.Sementara itu,CSR berpengaruhsignifikan terhadapkinerja perusahaan.
-
HASILPENELITIAN
Kendala yang dihadapi dalampenerapan GCG adalah masihkuatnya dominasi pemegangsaham mayoritas untukmengambil keputusanstrategis perusahaan dandewan komisaris kurangefektif yang disebabkan olehkurang variasinya knowledgeyang dimiliki serta akurasiinformasi juga menjadikendala bagi dewankomisaris dalam pelaksanaanfungsinya.
-
Sumber : diolah oleh peneliti.
II.2. Kerangka Pemikiran
Maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini yang dapat membantu
menggambarkan konsep penelitian yang dilakukan antara lain teori kebijakan,
manfaat dan prinsip CG, CSR dan konsep-konsep yang berkaitan, serta Konsep
Pembangunan Berkelanjutan, selanjutnya dapat dilihat sebagai berikut:
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
16
II.2.1 Teori Kebijakan
Istilah kebijakan (policy) pada prinsipnya didefinisikan cukup beragam,
bergantung para ahli dengan berbagai macam pengertian. Dalam buku yang ditulis
oleh Drs.J.E. Hosio, M.Si. Kebijakan Publik dan Desentralisasi 2007 disebutkan
bahwa menurut Robert Eyestone mendefinisikan policy sebagai “The relationship
of a government unit its Environment” (Hubungan suatu lembaga pemerintah
terhadap lingkungannya). Sedangkan Carl J. Friedrich mendefinisikan policy
sebagai “A proposed course of action of a person, group, or government within a
given environment providing obstacles and opportunities which the policy was
proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an
objective or a purpose.” Dengan kata lain kebijakan adalah suatu arah tindakan
yang diusulkan pada seseorang, golongan, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatan, yang
diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut dalam rangka
mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tertentu.
Berdasarkan beberapa batasan tersebut, dapat dipahami bahwa kebijakan
adalah suatu keputusan yang dilaksanakan oleh pejabat pemerintah untuk
kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat disini merupakan keseluruhan
kepentingan yang utuh dari perpaduan pendapat, keinginan, dan tuntutan yang
disampaikan kepada pemerintah. Berdasarkan beberapa definisi tersebut,
kebijakan dapat didefinisikan berdasarkan elemen-elemen yang terdiri atas (1)
kebijakan sebenarnya mencakup perilaku dan harapan-harapan, (2) mencakup
adanya tindakan atau ketiadaan tindakan, (3) mempunyai hasil akhir yang hendak
dicapai, (4) muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu, dan (5)
kebijakan negara menyangkut peran fungsi lembaga yang ada (Hosio, 2007).
II.2.2. Manfaat dan Prinsip-prinsip Corporate Governance
Banyak perusahaan menyusun pedoman atau kode (code) good corporate
governance. Praktek menyusun code of good corporate governance tersebut tidak
hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia, melainkan juga oleh
Negara lain. Badan Pengelola Pasar Modal di banyak Negara menyatakan
penerapan CG di perusahaan-perusahaan public secara sehat, telah berhasil
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
17
mencegah praktek pengungkapan laporan keuangan perusahaan kepada pemegang
saham, investor, dan pihak lain yang berkepentingan secara tidak transparan.
Mereka juga mengutarakan BOD perusahaan-perusahaan yang menerapkan
prinsip CG dapat melakukan bimbingna kepada manajemen perushaan mereka
secara lebih efektif. GCG dapat membantu BOD mengarahkan dan
mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan sesuai dengan tujuan yang diinginkan
pemiliknya (Sutojo dan Aldridge, 2008).
Walaupun telah terbukti di banyak Negara penerapan prinsip-prinsip GCG
membawa banyak manfaat, namun tidak sedikit cendikiawan memberikan catatan
tentang perbedaan tingkat manfaat yang dapat tercapai masing-masing
perusahaan. Salah seorang cendikiawan yang mengutarakan hal itu adalah
Hon.Justice Owen (Commissioner of Australian Royal Commission). Dalam salah
satu paragraph laporan beliau tentang hasil analisis kejatuhan HIH Insurance
Company Ltd, sebuah perusahaan asuransi terbesar di Australia, ia mengutarakan
tentang CG bahwa manfaat optimal GCG tidak sama dari satu perusahaan ke
perusahaan yang lain bahkan pada perusahaan-perusahaan public sekalipun.
Karena perbedaan faktor-faktor intern perusahaan, termasuk riwayat hidup
perusahaan, jenis usaha bisnis, jenis resiko bisnis, struktur permodalan dan
manajemennya, manfaat yang dapat diperoleh secara optimal oleh satu perusahaan
belum tentu dapat diperoleh secara penuh oleh perusahaan yang lain. Oleh karena
itu, guna mencapai manfaat secara optimal, seringkali diperlukan modifikasi
penerapan prinsip-prinsip GCG dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Pengelolaan terhadap perusahaan sudah dilakukan sejak dahulu
sebagaimana dibahas dibanyak literatur manajemen. Namun demikian frasa CG
semakin mengemuka seiring dengan perkembangan kompleksitas perusahaan dan
tuntutan dari banyak pihak untuk menjadikan perusahaan memperhatikan aspek-
aspek yang lebih luas. Berbagai skandal yang melibatkan perusahaan menguatkan
pentingnya CG agar perusahaan dapat memerankan diri tidak semata sebagai
entitas yang bertujuan meraih kesejahteraan ekonomi tetapi juga sebagai entitas
yang bertujuan untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan sosial termasuk
lingkungan alam.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
18
Pendekatan atas CG yang mengadopsi perspektif konvensional menyatakan
bahwa CG dibatasi pada hubungan antara perusahaan dengan para pemegang
sahamnya. Seperti dalam buku Corporate Governance Warsono, Amalia, dan
Raharjeng 2009 Parkinson (1994) mendefinisikan CG dari perspektif keuangan
sebagai berikut :
”...the process of supervision and control intended to ensure that the company’s
management acts in accordance with the interest of shareholder.”
Disisi lain, pendekatan atas CG yang mengadopsi persektif kontemporer
menyatakan bahwa CG merupakan suatu jaringan hubungan antara sekelompok
luas pemangku kepentingan (stakeholders), tidak hanya pemegang saham
(stockholders). Berikut ini salah satu definisi CG yang mengadopsi perspektif
kontemporer dalam buku Corporate Governance Warsono, Amalia, dan Raharjeng
2009 oleh Solomon (2007) sebagai berikut :
“… the system of check and balance, both internal and external to companies
discharge their accountability to all their stakeholder and act in a socially
responsible way in all areas their business activity.”
Definisi CG berbasis perspektif kontemporer ini didasarkan pada persepsi
bahwa perusahaan dapat memaksimalkan penciptaan nilai (value creation) dalam
jangka panjang dengan menunaikan tanggung jawab terhadap semua pemangku
kepentingan.
Perkembangan terkini menunjukan bahwa CG dimaksudkan untuk
pencapaian tujuan yang lebih luas, yaitu tujuan stakeholders, disbanding sebatas
pemegang saham (Solomon, 2007; Luo, 2007; Monks and Minow, 2008). Di
Indonesia, Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan
CG sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemangku
kepentingan, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan internal dan eksternal lainnya.
Mendasarkan diri pada usaha pencapaian tujuan jangka panjang yang tidak
semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi tetapi juga untuk kebutuhan
sosial, dalam buku Corporate Governance Warsono, Amalia, dan Raharjeng 2009
mendefinisikan CG sebagai system yang terdiri dari fungsi-fungsi yang dijalankan
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
19
oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memaksimalkan penciptaan nilai
perusahaan sebagai entitas ekonomi maupun entitas sosial melalui penerapan
prinsip-prinsip dasar yang umum menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) yang di adopsi dari Organization for Economic Co-
operation and Development (OECD), yaitu transparency, accountability,
responsibility, , independency, dan fairness.
Transparansi (transparency) yaitu perusahaan harus menyediakan
informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan
dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh
pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.
Akuntabilitas (accountability) yaitu perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu
perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan
perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lain.
Responsibilitas (responsibility) yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan
perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat
dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka
panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good corporate citizen.
Indepedensi (independency) yaitu perusahaan harus dikelola secara
independent sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi
dan tidak diintervensi oleh pihak lain.
Kewajaran dan Kesetaraan (fairness) yaitu perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
II.2.3. CSR dan Konsep–konsep Yang Berkaitan
Konsep CSR saat ini dapat dipandang sebagai titik awal maupun
katalisator bagi lahirnya konsep-konsep yang memiliki keterkaitan sangat erat
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
20
dengan CSR. Selain itu, konsep CSR juga sangat dipengaruhi dan mempengaruhi
perkembangan lebih lanjut dari konsep-konsep yang berhubungan dengan CSR.
Konsep-konsep tersebut adalah manajemen para pemangku kepentingan,
corporate social performance (CSP), corporate social responsiveness, business
ethics, dan corporate citizenship. Selain itu ada juga dua konsep yang berkaitan
dengan CSR yaitu corporate governance dan sustainable development yang juga
memiliki hubungan dengan CSR. Gambar di bawah ini menggambarkan
keterkaitan antara konsep CSR dengan konsep-konsep lainnya (Solihin, 2008).
Sebagaimana dapat dilihat pada gambar diatas, konsep corporate social
performance mencakup di dalamnya konsep CSR yang dikemukakan oleh
Wartick dan Cohran (1985) di dalam buku Solihin 2008 disebut sebagai prinsip
CSR dan konsep corporate social responsiveness. Adapun konsep CSR sendiri
mencakup di dalamnya konsep corporate citizenship. Konsep CSR juga
mengandung di dalamnya unsur corporate governance yang akan menunjang
keberhasilan perusahaan di dalam memperoleh laba sebagai salah satu kategori
CSR yakni economic responsibilities. Sedangkan corporate citizenship
merupakan bagian dari CSR yang berkaitan dengan discretionary responsibilities.
Corporate Social Performance (kinerja sosial perusahaan)
Corporate Social Responsibility Corporate Citizenship Corporate Governance
Corporate Social Responsiveness Pasif Reaktif Proaktif
Etika PerusahaanManajemen Para Pemangku
Kepentingan PerusahaanPembangunan yang
Berkelanjutan
Gambar 2: Keterkaitan antara konsep CSR dengan konsep-konsep Corporate Social Performance, Corporate
Social Responsiveness, Corporate Citizenship, Corporate Governance, Etika Perusahaan, Manajemen
Para Pemangku Kepentingan Perusahaan, dan Pembangunan yang Berkelanjutan
Sumber : Solihin, 2009: 33
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
21
Dalam hal ini, perusahaan seperti halnya warga Negara melakukan berbagai
macam kebajikan untuk dapat diakui/memiliki reputasi sebagai warga Negara
yang baik (good citizen).
Pelaksanaan corporate social performance maupun CSR sendiri, dilandasi
oleh pilihan etis yang berada di dalam domain etika bisnis (business ethics) dari
para pelaku bisnis. Pelaksanaan CSR juga dilandasi oleh konsep manajemen para
pemangku kepentingan yang mengakui adanya pemegang kepentingan lain di luar
pemegang saham di mana perusahaan memiliki tanggung jawab social kepada
para pemangku kepentingan ini. Akhirnya pelaksanaan CSR juga didasari oleh
adopsi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) dengan
menerapkan alat ukur yang dikenal dengan triple bottom line (TBL) yaitu
economic growth, social welfare, dan environment protection.
Corporate Citizenship
Corporate Citizenship menjadi semakin terkenal dalam beberapa dekade
terakhir (Solihin, 2008:83). Bahkan beberapa perusahaan bersar di dunia saat ini
mengidentifikasikan perusahaan mereka sebagai “good corporate citizen”
menurut Jeurissen, 2004 dalam buku Solihin 2008 halaman 83 sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 : Codes of Conduct Beberapa Perusahaan Multinasional
NO Nama Perusahaan Codes of Conduct
1. ABN Amro“We are responsible institution and a good corporate
citizen”
2. Boeing “Good corporate citizenship is a key Boeing value”
3. Hitachi“The Hitachi company strives to be a responsible corporate
citizen in community worldwide”
4. Shell“To conduct business as a responsible corporate member of
society”
Sumber : Solihin 2009 : 83
Konsep corporate citizenship sendiri dapat dipandang sebagai metafora dari
istilah kewarganegaraan (citizenship) yang berlaku bagi perusahaan. Sebagaimana
halnya kewarganegaraan yang mencakup di dalamnya hak dan kewajiban bagi
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
22
warga Negara (citizen), maka konsep corporate citizenship pun menunjukan hak
dan kewajiban perusahaan sebagai bagian integral dari komunitas suatu Negara.
Keterkaitan antara CSR dengan Corporate Citizenship dapat dilihat dengan
asumsi bahwa perusahaan yang menjalankan CSR sudah dikelola dengan baik
yaitu sudah menjalankan good corporate governance yang akan menjamin
tercapainya maksimalisasi laba dan mempertahankan daya saing perusahaan;
patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu dengan
menjalankan legal responsibilities; serta kegiatan usaha perusahaan dijalankan
secara etis yaitu dengan memenuhi kewajiban ethical responsibilities maka
menurut Carroll pada dasarnya corporate citizenship adalah identik dengan
kategori kewajiban keempat dari CSR yakni discretionary responsibilities. Oleh
karena itu, Carroll merevisi komponen keempat CSR pada tahun 1991 menjadi
corporate citizenship.
Kendati demikian, barengkali akan lebih tepat bila dikatakan bahwa
corporate citizenship merupakan pelaksanaan CSR yang disesuaikan dengan
kontteks hak dan kewajiban tempat perusahaan beroperasi. Dengan demikian,
dasar dari pelaksanaan corporate citizenship, tetaplah merupakan berbagai
aktifitas CSR yang dijalankan secara bersamaan dengan kepatuhan perusahaan
terhadap peraturan perundangan-undangan tempat perusahaan beroperasi.
Corporate Governance
Corporate Governance (tata kelola perusahaan) berasal dari suatu analogi
antara pemerintahan suatu Negara atau kota dengan pemerintahan dalam suatu
perusahaan (Solihin, 2008:115). Sebagaimana halnya pemerintahan Negara yang
melibatkan berbagai kelompok dengan berbagai kepentingan berbeda untuk
mencapai suatu tujuan, CG juga berkaitan dengan penyelarasan masalah tindakan
kolektif yang melibatkan berbagai investor. CG juga menyangkut rekonsiliasi
berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari para pemangku kepentingan. Hal
tersebut berarti bahwa tanpa adanya CG yang baik akan terjadi konflik
kepentingan yang bisa memberi dampak buruk bagi kinerja perusahaan.
Menurut buku yang ditulis Ismail Solihin (2008:119), Tim Studi Pengkajian
Prinsip-prinsip OECD 2004 yang dibentuk oleh Badan Pengawas Modal dan
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
23
Lembaga Keuangan, terdapat dua teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan
konsep CG. Teori pertama adalah stewardship theory, teori ini dibangun atas
asumsi filosofis mengenai sifat manusia yang pada hakikatnya dapat dipercaya,
mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, serta memiliki integritas dan
kejujuran terhadap pihak lain. Bila asumsi stewardship theory ini diterapkan
dalam manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk bertindak sebaik-
baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun para pemegang saham
(shareholders) pada khususnya.
Teori yang kedua adalah agency theory yang memandang bahwa
manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham, akan bertindak
dengan penuh kesadaran bagi kepentingan sendiri (self-interest) bukan sebagai
pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana
diasumsikan dalam stewardship theory. Bertentangan dengan stewardship theory,
agency theory memandang bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk
bertindak dengan sebaiknya-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya dan
para pemegang saham khususnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respons lebih
luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyatan yang ada. Berbagai
pemikiran mengenai CG berkembang dengan bertumpu pada agency theory di
mana pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan
bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan
dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai
agency cost yang mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham;
biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan transparan,
termasuk biaya audit yang independen serta biaya yang disebabkan karena
menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham karena adanya pemberian opsi
dan berbagai manfaat yang diberikan kepada manajemen oleh pemegang saham
dengan tujuan menyelaraskan kepentingan pemegang saham dengan manajemen..
Proses pelaksanaan CG melibatkan berbagai pihak baik yang berada di
dalam perusahaan yaitu pemegang sahan, direksi, dan karyawan maupun berbagai
pihak yang ada di luar yaitu para pemangku kepentingan dalam arti luas. Dalam
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
24
pedoman umum GCG Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG) dinyatakan bahwa GCG diperlukn untuk
mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, penerapan GCG perlu didukung
oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai
regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna
produk dan jasa dunia usaha. Tanpa adanya peran serta ketiga pihak dalam
pelaksanaan GCG, maka pelaksanaan GCG diperkirakan tidak akan berjalan
secara optimal.
Keterkaitan antara CG dengan CSR yaitu, implementasi program CSR oleh
perusahaan pada hakikatnya bersifat orientasi dari dalam ke luar. Hal tersebut
berarti sebelum melaksanakan aktivitas CSR yang bersifat discretionary /
voluntary, perusahaan terlebih dahulu harus membenahi kepatuhan perusahaan
terhadap hukum. Perusahaan pun harus menjalankan bisnisnya dengan baik
sehingga dapat menjamin tercapainya maksimalisasi laba (economic
responsibilities). Selain itu, perusahaan perlu mengambangkan sejumlah
kebijakan untuk menuntun pelaksanaan CSR. Semua hal tersebut tidak akan
terlaksana dengan baik bila perusahaan tidak menerapkan GCG yang baik.
Implementasi CSR juga menjadi salah satu prinsip pelaksanaan GCG,
sehingga perusahaan yang melaksanakan GCG sudah seharusnya melakukan
pelaksanan CSR. Sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia
khususnya prinsip responsibilitas, dimana dalam pedoman tersebut dinyatakan,
”perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai
good corporate citizen”.
Corporate Social Responsiveness
Selama kurun waktu tiga dekade pertama abad ke-20 sampai era tahun
1970-an, merupakan periode lahir dan berkembangnya konsep corporate social
responsibility (CSR). Konsep ini menekankan adanya kewajiban (obligation) bagi
perusahaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan memperbaiki
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
25
keadaan sosial terutama melalui aktivitas derma, philanthrophy, dan stewardship
(Solihin, 2008:71).
Mulai awal tahun 1970-an, sebuah konsep baru yang bernama corporate
social responsiveness muncul dan mulai bersaing dengan konsep pendahulunya
CSR. Konsep corporate social responsiveness lebih nerujuk kepada kapasitas
yagn dimiliki perusahaan dalam memberikan tanggapan terhadap tekanan sosial.
Dalam kaitan ini, Frederick mendefinisikan konsep corporate social
responsiveness sebagai berikut.
”corporate social responsiveness refers to the capacity of a corporation to
respond to social pressures. The literal act of responding or of achieving a
generally responsive posture, to society is the focus of corporate social
responsiveness.”
Para pendukung konsep corporate social responsiveness mengajukan
setidak-tidaknya tiga keberatan utama terhadap konsep CSR sehingga mereka
lebih memilih corporate social responsiveness. Pertama, terdapat ketidakjelasan
makna mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam hal ini terdapat
ketidakjelasan, apakah yang dimaksud tanggung jawab sosial merujuk kepada
berbagai tindakan yang dilakukan perusahaan sesuai dengan tuntutan hokum yang
berlaku ataukah tanggung jawab sosial merunjuk kepada berbagai tindakan yang
secara sukarela dilakukan oleh perusahaan dan melebihi ketentuan hokum yang
berlaku? Apakah tanggung jawab sosial itu berarti berbagai tindakan yang
dilakukan perusahaan sesuai dengan ekspektasi public saat ini tanpa
menghiraukan apakah hal tersebut diatur oleh hokum atau tidak, atau apakah
tanggung jawab sosial itu merupakan berbagai tindakan yang dilakukan sesuai
operasional utama perusahaan harus dilibatkan dalam setiap tindakan yang
dianggap memiliki tanggung jawab sosial ataukah pelaksanaan tanggung jawab
sosial hanya melibatkan aktifitas operasi perusahaan yang peripheral saja sebagai
pengejawantahan misi perusahaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat sulit
untuk dicarikan jawabannya secara tepat, sehingga makna CSR sejak awal
memiliki ketidakjelasan dan memicu perdebatan mengenai makna sesungguhnya.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
26
Kedua, kritik terhadap konsep CSR berasal dari ketidakjelasan mengenai
mekanisme instutisional melalui mana ide CSR dapat dilaksanakan. Mekanisme
institusional yang mungkin digunakan oleh perusahaan dalam melaksanakan
kegiatan CSR mencakup tanggapan yang dilakukan perusahaan dalam terhadap
kekuatan-kekuatan pasar (dengan tujuan memperoleh laba atau mencegah
kerugian); respon dari perusahaan dalam bentuk berbagai aktifitas sukarela yang
tidak memerhatikan dampak pengembalian secara ekonomi dalam jangka pendek;
tanggapan perusahaan terhadap berbagai isu sosial dengan dibantu oleh
pemerintah melalui subsidi, keringanan pajak, dan lain-lain; pemerintah
menetapkan standar yang harus dipenuhi perusahaan dalam kaitannya dengan
pelaksanaan tanggung jawab sosial. Pertanyaan yang timbul adalah mana diantara
mekanisme kelembagaan tersebut yang akan menghasilkan dampak tanggung
jawab sosial yang diharapkan.
Ketiga, masih terdapat ketidakjelasan sampai sejauhmana pertukaran (trade
off) antara tujuan ekonomi dengan biaya dapat dilakukan. Tujuan ekonomi yang
dimaksud, misalnya peningkatan laba perusahaan, sedangkan biaya yang
dimaksud misalnya biaya untuk melaksanakan program CSR. Pada sisi lain
muncul pula pertanyaan sejauhmana pertukaran antara tujuan sosial dan biaya
dapat dilakukan ? yang dimaksud tujuan sosial dalam hal ini adalah dampak yang
ingin ditimbulkan melalui pelaksanaan berbagai program CSR seperti dampak
pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kesehatan
masyarakat, dan sebagainya. Sedangkan biaya yang dimaksud adalah biaya
investasi sosial dalam bentuk pelaksanaan program-program CSR yang dibiayai
oleh perusahaan. Kedua sisi ini perlu dikaji secara seimbang karena pada satu sisi
barangkali benar bahwa peningkatan kinerja ekonomi suatu perusahaan atau
(ekonomi betterment sebagai tujuan perusahaan) mengakibatkan kerugian pihak
lain (misalnya dampak polusi yang harus ditanggung komunitas lokal). Akan
tetapi, pada sisi yang lain, bisa pula terjadi bahwa perbaikan kondisi sosial (social
betterment) sebagai dampak pelaksanaan CSR oleh perusahaan harus dibayar
dengan penurunan laba, pengurangan jumlah karyawan, beban pajak yang lebih
tinggi, bahkan bisa jadi penutupan operasi perusahaan karena bangkrut.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
27
Tabel 7 : Perbedaan konsep corporate social responsibility dengan corporate social responsiveness
Social Responsibility Social Responsiveness
Pertimbangan Utama Etis Pragmatis
Unit Analisi Mayarakat Perusahaan
Fokus Akhir Alat
Tekanan Obligasi Respons
Peraturan Perusahaan Agen Moral Produsen Barang dan Jasa
Kerangka Kerja Keputusan Jangka Panjang Jangka Pendek dan Menengah
Sumber : Solihin 2009 : 74
Tabel 7 (tujuh) menjelaskan beberapa perbedaan yang menonjol antara
konsep CSR dengan corporate social responsiveness. Misalnya di dalam konsep
CSR, perusahaan dipandang sebagai agen moral yang melakukan aktifitas
tanggung jawab sosial berdasarkan pertimbangan moral. Sedangkan dalam konsep
corporate social responsiveness, perusahaan dipandang sebagai penghasil barang
dan jasa yang memberikan tanggapan terhadap tekanan sosial secara pragmatik.
Keterkaitan antara CSR dengan corporate social responsiveness
Baik konsep CSR era tahun 1970-an mapun konsep CSR pasca adopsi
konsep sustainable development, keduanya memberikan domain kewajiban
perusahaan terhadap para pemangku kepentingan. Salah satu komponen
kewajiban perusahaan terhadap para pemangku kepentingan yang bersifat unik
dan menjadi cirri khas CSR adalah discretionary responsibility. Kewajiban ini
memiliki beberapa tafsiran sebagai berikut. Pertama, makna discrectionary
memiliki arti bahwa perusahaan terlebih dahulu harus mematuhi hokum dan
perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara dalam melakukan operasi
perusahaan. Bila ternyata setelah perusahaan menjalankan operasinya sesuai
dengan hokum dan undang-undang yang berlaku, tetapi masih menimbulkan
dampak yang merugikan para pemangku kewajiban maka muncullah kewajiban
perusahaan untuk mengatasi dampak negative tersebut dalam bentuk CSR atau
pun corporate social responsiveness.
Kedua, kalaupun perusahaan telah mematuhi hokum dan undang-undang
yang berlaku serta operasi perrusahaan tidak memberikan dampak negatif bagi
para pemangku kepentingan, namun perusahaan masih dapat mewujudkan
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
28
kewajiban discretionary-nya dalam bentuk pelaksanaan berbagai program CSR.
Kegiatan CSR yang dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pelaksanaan
kegiatan CSR tersebut akan mempertinggi legitimasi perusahaan di mata public.
Bila hal ini dilihat dari sudut pandang corporate social responsiveness, maka
aktifitas CSR yang dilakukan perusahaan dalam kondosi seperti ini menjnukan
respon yang proaktif dari perusahaan untuk dapat menempatkan posisi perusahaan
lebih baik dimata publik.
Konsep CSR memberikan batasan mengenai hal-hal apa saja yang menjadi
kewajiban perusahaan terhadapa para pemangku kepentingan. Apabila sisi
pandangannya dibalik, CSR menunjukan berbagai tindakan yang diharapkan (oleh
para pemangku kepentingan) akan dilakukan perusahaan. Kewajiban perusahaan
tersdebut mencakup economic responsibilities, legal responsibilities, ethical
responsibilities, dan discretionary responsibilities. Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan discretionary responsibilities adalah discretionary responsibilitiesmenurut
tafsiran pertama maupun kedua.
Corporate Social Performance (CSP)
Corporate Social Performance (CSP) muncul seiring dengan terjadinya
berbagai penyempurnaan terhadap konsep CSR. Salah satu tema sentral yang
dibawa oleh konsep CSP adalah bagaimana perusahaan dapat mengukur tindakan
serta hasil dari tindakan sosial yang dilakukan perusahaan, seperti halnya
perusahaan dapat mengukur aktifitas operasional lainnya. Hal ini menjadi sangat
penting bagi perusahaan, karena pelaksanaan program CSR yang dilakukan
perusahaan dibiayai oleh sumber dana perusahaan yang sifatnya terbatas. Padahal
dana yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kegiatan CSR jumlahnya tidaklah
kecil. Sebagai contoh PT Antam Tbk selama tahun 2008, total biaya yang
dikeluarkan Antam mencapai Rp 244,3 miliar, yang terdiri dari biaya Program
Kemitraan (kinerja ekonomi) sebesar Rp 9,3 miliar, Pengembangan masyarakat
dan Bina Lingkungan (kinerja sosial) sebesar Rp 185,9 miliar, dan biaya
Lingkungan (kinerja lingkungan hidup) sebesar Rp 49 miliar. Total biaya CSR
keseluruhan mencapai hampir 5% dari laba bersih perusahaan tahun 2007. Oleh
sebab itu, aktifitas sosial yang didanai oleh perusahaan harus dapat diukur
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
29
hasilnya. Perusahaan juga ingin mengetahui bagaimana dampak aktivitas tersebut
terhadap kinerja perusahaan, sebagaimana halnya perusahaan dapat mengukur
dampak investasi yang dilakukan terhadap kinerja keuangan perusahaan atau
dampak investasi dalam bentuk pengembangan sumber daya manusia (human
capital) terhadap kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Berdasarkan model CSP yang dikembangkan oleh Carroll selanjutnya
pada tahun 1985 Wartick dan Cochran (1985:758) merumuskan CSP, sebagai
berikut (Solihin, 2008:102) :
“Model CSP menggambarkan adanya interaksi antara berbagai prinsip tanggung
jawab sosial, proses sosial responsiveness dan pengembangan berbagai
kebijakan untuk mengatasi berbagai masalah sosial.”
Konsep CSP yang dikemukakan oleh Wartick dan Cochran, selanjutnya
disempurnakan lagi oleh Wood (1991) yang memberi rumusan CSP sebagai
berikut
“Suatu konfigurasi prinsip-prinsip tanggung jawab sosial, proses sosial
responsiveness seta berbagai kebijakan, program, dan hasil-hasil yang bisa
diobservasi sebagai hasil dari hubungan sosial yang dilakukan perusahaan.”
(Solihin, 2008 : 103)
Konsep CSP yang dikembangkan oleh Carroll, Wartick, dan Cochran, serta
Wood telah memperluas dimensi konsep CSR. Bila pada awalnya konsep CSR
lebih menunjukan doamain kewajiban sosial perusahaan dalam bentuk empat
kategori yaitu economic responsibilities, legal responsibilities, ethical
responsibilities, dan discretionary responsibilities sebagaimana dikemukakan oleh
Carroll, maka konsep CSP memadukan dimensi kewajiban/motivasi pelaksanaan
CSR ini dengan dimensi lain yang bersifat lebih pragmatis yakni corporate social
responsiveness. Penambahan dimensi ini lebih dapat menjelaskan fenomena
pelaksanaan berbagai program CSR yang dilakukan perusahaan sebagai respons
atas tekanan masyarakat, tanpa mengaitkan pelaksanaan program tersebut dengan
domain filosofis etis pelaksanaan CSR.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
30
Dari ketiga dimensi model CSP (terutama model CSP menurut Wood),
dimensi hasil perilaku perusahaan (outcomes of corporate behaviour) merupakan
dimensi yang paling tmapak dan dapat diukur. Hasil perilaku perusahaan
outcomes of corporate behaviour) mencakup tiga kategori hasil, yakni dampak
dari perilaku perusahaan terhadap masyarakat (social impact of corporate
behaviour) tanpa memerhatikan motivasi dan proses perilaku tersebut; kebijakan-
kebijakan yang dibuat perusahaan untuk mengatasi isu-isu sosial (corporate social
programs and policy); berbagai program yang dibuat perusahaan sebagai bentuk
implementasi tanggung jawab sosial mereka kepada masyarakat. Melalui adanya
dimensi yang bisa diukur ini, maka dapat dicari hubungan yang lebih luas antara
dimensi domain CSR, proses respons, dan hasil yang dapat diukur (Solihin,
2008:110-111).
II.2.4. Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Di penghujung tahun 1980-an tepatnya pada tahun 1987, The World
Commision on Environment and Development yang lebih dikenal dengan The
Brundtland Commission (sesuai dengan nama ketua komisi tersebut Gro Harlem
Bundtland) mengeluarkan laporan yang dipublikasikan oleh Oxford University
Press berjudul “Our Common Future”. Salah satu poin penting dalam laporan
tersebut adalah diperkenalkannya konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainability development), yang didefinisikan oleh The Brundtland
Commission sebagai berikut.
“Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan manbusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhan mereka”
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
31
Konsep sustainability development sendiri, mengandung dua ide utama di
dalamnya, yaitu sebagai berikut.
1. Untuk melindungi lingkungan, dibutuhkan pembangunan ekonomi.
Kemiskinan merupakan suatu penyebab penurunan kualitas lingkungan.
Masyarakat yang kekurangan pangan, perumahan, dan kebutuhan dasar
untuk hidup cenderung menyalahgunakan sumber daya alam hanya untuk
tujuan bertahan hidup. Oleh karena itu, perlindungan terhadap lingkungan
hidup membutuhkan standar hidup yang memadai untuk seluruh
masyarakat dunia.
2. Kendati demikian, pembangunan ekonomi harus memerhatikan
keberlanjutan, yakni dengan cara melindungi sumber daya yang dimiliki
bumi bagi generasi mendatang. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa
dibenarkan dengan merusak hutan, lahan pertanian, air, dan udara di mana
semua sumber daya tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung
kehidupan manusia di planet ini. Kita harus menjadi penghuni bumi ini
sebaik mungkin.
(Solihin 2009:27)
The Brundtland Commission dibentuk untuk menanggapi keprihatinan yang
semakin meningkat dari para peminpin dunia terutana menyangkut peningkatan
kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain
itu, komisi ini juga dibentuk untuk mencermati dampak kerusakan lingkungan
hidup oleh sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. Oleh
karenanya, konsep sustainability development dibangun diatas tiga pilar yang
berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya. Ketiga pilar tersebut
adalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam
The United Nations 2005 World Summit Outcome Document.
Pengenalan konsep sustainability development memberi dampak besar
kepada perkembangan konsep CSR selanjutnya. Sebagai contoh The Organization
for Economic Corporation and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai,
”business’s contribution to sustainable development and that cooperate behavior
must only ensure returns to shareholders, wages to employees, and products and
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
32
service to consumers, but they must respond to societal and environmental
concerns and value” (“kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta
adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya
pengembalian bagi para pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan
pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan perusahaan bisnis
juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta
nilai-nilai masyarakat”). Pada tahun 2000, OECD melakukan revisi terhadap The
Guidelines for Multinational Enterprises, yang kemudian digunakan oleh Negara-
negara yang tergabung dalam OECD. Dalam kaitan dengan pelaksanaan aktivitas
CSR, pedoman tersebut terutama bertujuan untuk mendorong transparansi dan
akuntabilitas perusahaan, terutama yang menyangkut bidang-bidang sebagai
berikut.
Disclosure of material information (Pengungkapan informasi yang material)
Employment and industrial relation (Hubungan ketenagakerjaan danindustrial)
Environmental management (Manajemen lingkungan hidup)
Bribery (Penyuapan)
Competition (Kompetisi)
Consumer interests (Kepentingan pelanggan)
Science and technology diffusion (Penyebaran ilmu pengetahuan danteknologi)
Taxation (Perpajakan)
Rumusan lain mengenai CSR yang sejalan dengan konsep sustainability
development diberikan oleh The Commission for European Communities.
Organisasi ini memandang CSR (yang disampaikan dalam dokumen The Green
Paper), sebagai, “essentially a concept whereby companies decide voluntarily to
contribute to a better society and a cleaner environment”. Organisasi ini menilai
bahwa perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial, bukanlah perusahaan
yang semata-mata memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya menurut
aturan hokum melainkan perusahaan yang melaksanakan kepatuhan melampaui
ketentuan hukum serta melakukan investasi lebih di bidang human capital,
lingkungan hidup, dan hubungan dengan para pemangku kepentingan.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
33
The Green Paper selanjutnya membagi CSR yang dilakukan perusahaan ke
dalam dua kategori, yaitu :
Internal dimension of CSR (mencakup manajemen sumber daya manusia,
kesehatan dan keselamatan kerja, adaptasi terhadap perubahan dan pengelolaan
dampak lingkungan, serta sumber daya alam.)
External dimension of CSR (mencakup pemberdayaan komunitas local, partner
usaha yang mencakup para pemasok dan konsumen, hak asasi manusia, dan
permasalahann lingkungan global). Organisasi ini mengajukan pendekatan secara
holistic terhadap CSR, yang di dalamnya mencakup hal-hal berikut ini.
Social responsibility integrated management
Social responsibilty reporting and auditing
Quality in work
Social and eco label
Social responsible investment
Sebagai adopsi atas konsep sustanable development, saat ini perusahaan
secara sukarela menyusun laporan setiap tahun yang dikenal dengan sustainable
report atau beberapa perusahaan (misalnya Microsoft) menggunakan nama
corporate citizeship report. Laporan tersebut menguraikan dampak organisasi
perusahaan terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan. Salah satu model awal yang
digunakan oleh perusahaan dalam menyusun sustainibility report mereka adalah
dengan mengadopsi metode akuntansi baru yang dinamakan triple bottom line.
Menurut John Elkington (1997), konsep triple bottom line tunggal yakni hasil-
hasil keuangan dari aktivitas ekonomi perusahaan. Secara lebih rinci, Elkington
menjelaskan triple bottom line sebagai berikut.
”The three lines of the triple bottom line represent society, the economy and the
environment. Society depent on the global ecosystem, whose health represents the
ultimate bottom line. The three lines are not stable; they are in constant flux, due
to social, political, economic and environental pressures, cycle, and conflicts.”
Baik tidaknya corporate sustainibility reporting yang disusun perusahaan
dengan menggunakan metode akuntansi triple bottom line, akan mempengaruhi
indeks perusahaan di dalam Dow Jones Sustainibility Group Index (DJGSI)
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
34
(Solihin, 2009:30). Saat ini, penyusunan sustainability report perusahaan lebih
banyak mengacu kepada pedoman penyusunan sustainability report dari Global
Reporting Initiative (GRI). GRI didirikan pada tahun 1997 oleh perusahaan-
perusahaan dan berbagai organisasi yang tergabung dalam Coalition for
Environmentally Responsible Economies (CERES).
Berdasarkan pedoman penyusunan sustainability report dari GRI (GRI
Guidelines Versi 3, 2000-2006), perusahaan harus menjelaskan dampak operasi
perusahaan terhadap ekonomi, lingkungan, dan sosial pada bagian standard
disclosures. Pada bagian ini dampak operasi perusahaan secara sosial dibagi lagi
ke dalam emapt aspek yang berbeda, yaitu: labor practies dan decent work;
human rights, society, dan product responsibility.
Perkembangan penting lainnya yang terjadi saat ini adalah rencana
implementasi ISO 26000 yang mengatur tentang standar social responsibility.
Berdasarkan draft ISO 26000, yang dimaksud dengan social responsibility adalah
tanggung jawab suatu perusahaan atas dampak dari berbagai keputusan dan
aktivitas mereka terhadap masyarakat dan lingkungan melalui suatu perilaku yang
terbuka dan etis, yang:
Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
Memperhatikan ekspektasi para pemangku kepentingan;
Tunduk kepada hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma perilaku
internasional;
Diintegrasikan ke dalam seluruh bagian organisasi.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
35
Berbagai isu yang tercakup dalam tanggung jawab sosial digambarkan
pada gambar 4 di bawah ini.
Gambar 3: Subjek – Subjek Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut ISO 26000
Sumber : Solihin 2009 halaman 30
Sebagaimana ditunjukan pada gambar 3, terdapat tujuh subjek yang
merupakan penjabaran tanggung jawab sosial suatu perusahaan. Ketujuh sibjek
tersebut selanjutnya masih dijabarkan lagi ke dalam beberapa subsubjek. Sebagai
contoh fair operating practices sebagai salah satu subjek dijabarkan lagi ke dalam
lima subsubjek sebagai berikut.
1. Anti-corruption and anti-bribery (anti korupsi dan anti suap)
2. Responsible political political involvement (keterlibatan politik yang
bertanggung jawab)
3. Fair competition (kompetisi yang adil)
4. Promoting social responsibility through the supply chain (meningkatkan
tanggung jawab perusahaan melalui siklus persediaan)
5. Respect for propery right (mengalami hak kepemilikan)
Environment(Lingkungan)
Labour Practice(PraktikKetenagakerjaan)
Human Rights(Hak Asasi manusia)
OrganizationalGovernance(Tata kelolaOrganisasi)
Socially Responsible(Tanggung Jawab
Sosial)
Fair OperatingPractices(Praktik OperasiYang Adil)
Consumer Issues(Isu-isu Konsumen)
Social Development(PembangunanSosial)
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
36
II.2.5 BUMN dan Corporate Governance
Jika dilihat dari struktur governance di BUMN terlihat relatif spesifik, bila
dibandingkan dengan perusahaan swasta penuh, karena terlibatnya beberapa
stakeholders kunci di dalam menjaga kepentingan publik. Secara umum struktur
governance di BUMN dapat dibedakan dalam artian sempit serta dalam artian
lebih luas (Prof.Dr.H.Akhmad Syakhroza, SE., AK,MAFIS, 2005). Dalam artian
sempit, struktur governance di BUMN adalah sebagaimana layaknya korporasi
atau perusahaan swasta lainnya di Indonesia dalam arti entitas bisnis. Dalam
pengertian sempit, struktur governance setiap BUMN yang membentuk tripod
(Antara BUMN berbentuk Perseroan dan Perum terdapat perbedaan dalam bentuk
struktur Governance walaupun masih berbentuk tripod. Berbeda dengan BUMN
berbentuk perseroan, untuk Perum dikenal istilah “dewan pengawas” yang
berfungsi seperti “dewan komisaris” Dalam entitas berbentuk perseroan diatur
dalam PP Nomor 63 tahun 2001) yang terdiri dari ; (a) RUPS yang diwakili oleh
Kementerian BUMN, (b) Dewan Komisaris, serta (c) Dewan Direksi. Secara
sederhana struktur ini dapat dianggap sebagai struktur governance “internal” dari
sebuah BUMN.
Dalam buku Prof.Dr.H.Akhmad Syakhroza, SE., AK,MAFIS, 2005 tertulis
pada halaman 40 Tabalujan (2002) berpendapat bahwa faktir budaya akan
menjadi sangat kritikal di dalam mempengaruhi efektifitas pelaksanaan hokum
dan aturan main di suatu Negara jika praktik governance di adopsi tanpa
memerhatikan kondisi local penerapannya. Hal ini mendasari dianutnya isu non-
konvergensi di dalam pendekatan good governance, sebagaimana diakui oleh
OECD (1999) dengan slogan terkenalnya “no-one-size-fits-all- approach”. Hal ini
mengindikasikan perlunya kajian faktor spesifik di setiap Negara dalam
mengadopsi perangkat governance. Untuk itu akan sangat memungkinkan
terdapatnya berbagai model governance yang berbeda untuk BUMN di setiap
Negara.
II.2.6 Implementasi Penerapan GCG melalui Program CSR
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan (trend) meningkatnya tuntutan
publik atas transparansi dan akuntabilitas perusahaan sebagai wujud implementasi
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
37
good corporate governance (GCG). Salah satu implementasi GCG di perusahaan
adalah penerapan corporate social responsibility (CSR). Dalam era globalisasi
kesadaran akan penerapan CSR menjadi penting seiring dengan semakin
maraknya kepedulian masyarakat terhadap produk (barang) yang ramah
lingkungan.
Menurut Muh. Arief Effendi, 2006 definisi CSR menurut World Business
Council on Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari
perusahaan untuk berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development).
Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan
keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara
perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat
komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan CSR
sebagai akuntabilitas publik. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan
menjadi penting, diantaranya adalah; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan
(3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat,
corporate, dan pemerintah) (5) mempunyai nilai keuntungan.
Salah satu prinsip GCG adalah masalah pertanggung jawaban
(responsibility) yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat. Akhir-akhir ini terdapat tiga kepentingan publik yang oleh perusahaan
cenderung terabaikan.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di
Rio de Jeneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan,
dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang
berkelanjutan (Sustainable Development). Dalam perspektif perusahaan, di mana
keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-
usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-
masing stakeholder.
Pertama, perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap
pemegang sahamnya (shareholder), sedangkan masyarakat tempat di mana
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
38
perusahaan tersebut berdomisili kurang diperhatikan. Kedua, dampak negatif yang
ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan harus ditanggung oleh
masyarakat sekitar. Sementara itu sebagian besar keuntungan manfaat hanya
dinikmati oleh pemilik saham perusahaan saja. Ketiga, masyarakat sekitar
perusahaan yang menjadi korban sebagian besar mengalami kesulitan untuk
menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Itu karena belum ada hukum (regulasi)
yang mengatur secara jelas tentang akuntabilitas dan kewajiban perusahaan
kepada publik.
Selain tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham tanggung
jawab lainnya menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) dan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup (sustainable
environtment responsibility).
Dalam era reformasi yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya
keterbukaan, seharusnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya semakin
meningkat. Perusahaan yang tidak memiliki kepedulian sosial dengan lingkungan
sekitarnya akan banyak menemui berbagai kendala, misalnya sering didemo oleh
masyarakat, bahkan ada perusahaan yang terpaksa ditutup oleh pihak yang
berwenang.
Kita selama ini hanya mengenal audit keuangan (financial audit) saja,
namun suatu saat nanti bisa muncul suatu audit sosial (social audit). Yang mulai
berkembang saat ini adalah audit lingkungan (environtment audit). Paradigma
baru perusahaan yang dianggap tumbuh & berkelanjutan (growth & sustainable
company) saat ini tidak hanya diukur dari pencapaian laba (profit) saja, namun
juga diukur dari kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik terhadap
komunitas lokal, masyarakat luas maupun lingkungan hidup.
Berkenaan dengan hal tersebut, muncul triple bottom line model, yang
terdiri dari profit, people & planet (3P). Laporan suatu perusahaan yang
menggunakan model triple bottom line, selain melaporkan aspek keuangan juga
melaporkan aspek kepedulian sosial dan upaya pelestarian lingkungan hidup.
Beberapa waktu yang lalu telah diperkenalkan sustainable reporting, yaitu
suatu laporan yang bersifat non-finansial yang dapat dipakai sebagai acuan oleh
perusahaan untuk melihat pelaporan dari dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
39
Global Reporting Initiative & Value Reporting telah mengeluarkan pedoman yang
disebut Sustainable Reporting Guidelines. New York Stock Exchange di Amerika
Serikat telah memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) sejak tahun 1999,
yang telah memasukkan nilai corporate sustainability untuk saham-saham
perusahaan dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Inggris melalui
London Stock Exchange (LSE) memiliki Socially Responsible Investment Index
(SRI Index). Hanseng Stock Exchange (HSE) dan Singapore Stock Exchange
(SSE) saat ini juga mulai berinisiatif untuk mengikuti trend di atas. Adanya
kecenderungan tersebut dapat mendorong para investor terutama pihak asing
untuk memilih menanamkan investasinya pada perusahaan yang telah menerapkan
CSR dengan baik.
Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR,
yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan
(internal drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya
regulasi, hukum, dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan
(Amdal).
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah
memberlakukan audit Proper (Program penilaian peningkatan kinerja perusahaan).
Pendorong dari dalam perusahaan terutama bersumber dari perilaku manajemen
dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk tingkat kepedulian / tanggung
jawab perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar (community development
responsibility).
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan,
maka sudah saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha
membuat laporan setiap tahunnya kepada stakeholdernya. Laporan bersifat non
financial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat
dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.
Karena itu penerapan Good Corporate Governance (GCG) merupakan
suatu keharusan dalam situasi kompetisi global antar korporasi seperti saat ini.
Praktik GCG menjadi salah satu indikator kritikal bagi investor dalam memilih
suatu perusahaan untuk kepentingan investasi. Survei yang dilakukan oleh Bank
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
40
Dunia – McKinsey Consulting Group mengindikasikan bahwa investor asing
(Asia, Eropa, Amerika Serikat) bersedia memberikan premium sebesar 26% -
28% bagi perusahaan Indonesia yang secara efektif telah mengimplementasikan
praktik GCG. GCG meliputi pada semua jenis perusahaan baik perusahaan
tertutup maupun terbuka, profit maupun non-profit.
Dengan diterapkannya GCG melalui program CSR maka image
perusahaan pun akan meningkat karena laporan perusahaan tersebut sudah
menggunakan model triple bottom line artinya menerapkan GCG pada program
CSR nya. Selain itu dapat dilihat pula adanya sustainable reporting pada
perusahaan tersebut, jika perusahaan tersebut ada sustainable reporting-nya maka
perusahaan tersebut sudah menerapkan GCG pada program CSRnya.
II.2.7 Hambatan Penerapan GCG melalui Program CSR
Segenap upaya dilakukan dalam rangka sosialisasi dan implementasi GCG
di Indonesia mulai dari Keputusan Menteri BUMN dalam mendorong pelaksanaan
GCG khususnya bagi BUMN, regulasi di bidang pasar modal serta lembaga
independen seperti Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Sementara
regulator seperti Bank Indonesia, Departemen Keuangan juga telah menetapkan
salah satu sasarannya adalah menciptakan GCG sebagai bagian dari penciptaan
nilai tambah dari Sistem Keuangan Indonesia.
Menyikapi keinginan kuat tersebut, perusahaan-perusahaan di Indonesia
pun tidak ketinggalan dalam mendukung dan memperkuat implementasi GCG,
salah satunya dengan cara melakukan proses transformasi menyeluruh yang
menyentuh segenap pribadi mulai dari level top management sampai level
terendah serta memasukkan aspek-aspek GCG dalam budaya perusahaan yang
dimilikinya.
Namun demikian sejauh ini CSR belum bisa menjanjikan keberdayaan
masyarakat lokal, hal ini disebabkan masih memungkinkan adanya konflik
kepentingan publik maupun politik sehingga terkadang mempengaruhi aturan
main antara keterwakilan stakeholders dalam keanggotaan dewan komisaris
dengan departemen teknis dan departemen keuangan terhadap BUMN.
Pelaksanaan good corporate..., Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, FISIP UI, 2010