“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai...

144
i “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Transcript of “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai...

Page 1: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

i “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Page 2: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

i “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya semata sehingga Buku Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penganggaran Berbasis Kearifan Lokal ini dapat tersusun dengan baik . Buku ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai gagasan pemikiran hasil kajian maupun penelitian dalam upaya mengembangkan pengetahuan dan wawasan keilmuan secara teoritis maupun praktis. Perkembangan zaman tidak mempengaruhi aktivitas lokal yang dilakukan di Suku Tengger sebagai kajian dalam buku ini. Proses penganggaran yang merupakan aktivitas rutin dilakukan di berbagai tingkatan, baik desa, kecamatan, kabupaten, propinsi maupun negara merupakan proses untuk menjaring aspirasi masyarakat karena pada hakekatnya masyarakat yang tahu kebutuhannya. Hadirnya buku ini semoga memberi gambaran terhadap proses penganggaran daerah yang ada di Pemrintah Daerah.Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan buku ini masih terdapat kekurangan maupun keterbatasan, untuk itu kritik dan saran sebagai upaya perbaikan dan kesempurnaan sangat diharapkan. Dalam kesempatan ini tidak lupa perkenankan kami mengucapkan terimakasih kepada Universitas Widyagama Malang serta berbagai pihak yang membantu terlaksananya kegiatan smeinar dan tersusunnya prosiding ini.

Wassalammualaikum Wr.Wb.

Malang, 2 Oktober 2017 Penulis

Ana Sopanah

Page 3: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

iiii

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

PROSES PENGANGGARAN DAERAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Penyusun : Dr. Ana Sopanah, SE.,Ak.,CA.,CMA.,CIBA.Penerbit : Badan Penerbitan Universitas Widyagama Malang Jl. Borobudur 35 Malang, 65128Tahun Terbit : 2017

Page 4: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

iii “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

Bab 1. Pendahuluan ................................................................................... 1A. Good Governance B. Dasar Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan

Pembangunan C. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan PembangunanD. Mekanisme Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan

Pembangunan E. Partisipasi Masyarakat Jauh Dari Harapan

1. Partisipasi Semu2. Dominasi Penguasa

F. Implementasi Nilai Lokal Dalam Perencanaan dan Penganggaran

G. Sekilas Partisipasi Masyarakat Suku TenggerBab 2. Suku Tengger, Melawan Modernisasi dengan Mempertahankan

Budaya Lokal .................................................................................12A. Desa-desa Tengger

1. Desa Ngadiwono2. Desa Wonokitri3. Desa Ngadas

a. Sistem Pemerintahan Desa Ngadasb. Adat Istiadat Desa Ngadas

4. Desa Ranupane

5. Desa Ngadisari

B. Asal-usul Suku Tengger

1. Asal Usul Nama Tengger

C. Sistem Pemerintahan

D. Kepercayaan dan Agama

E. Kebiasaan, Adat dan Budaya

F. Pendidikan

G. Mata Pencaharian

Bab 3. Menggali Kearifan Lokal Ritual Adat Tengger ........................... 37

A. Pengertian dan Konsep Nilai Kearifan Lokal

Page 5: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

iviv

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

B. Menggali Nilai Kearifan Lokal Suku Tengger Melalui Ritual Adat

1. Kepatuhan Melaksanakan Upacara Adat

2. Kegotong Royongan Mempersiapkan dan Mengikuti Upacara Adat

3. Kejujuran Melaksanakan Upacara Adat

C. Internalisasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Kehidupan Masyarakat Tengger

1. Aturan Adat

2. Konsep Hidup

3. Kelembagaan

4. Konsep Ruang - Kepala Administrasi dan Kepala Adat (Dukun)

5. Kebiasaan dan Sikap Hidup

6. Penganggaran

Bab 4. Kepatuhan: Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Perencanaan Pembangunan ....................................................... 57

A. Potret Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan

1. Kepatuhan Suku Tengger Melaksanakan Musrenbang Desa

2. Musrenbang Kecamatan Sukapura – Hanya Sebatas Formalitas

3. Forum Sinkronisasi Kecamatan dan SKPD Kabupaten Probolinggo – Dominasi Birokrasi

4. Musrenbang Kabupaten Probolinggo: Pertemuan Multi Stakeholders – Dominasi Pejabat

B. Kendala Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Penganggaran: Sebuah Persoalan Bersama

1. Eksekutif dan legislatif sengaja membatasi partisipasi tidak langsung yang tidak memiliki konsekuensi mengikat mereka (no binding)

Page 6: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

v “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

2. Penganggaran daerah terikat pada skedul yang ketat dan berkaitan d

3. Penganggaran dianggap wilayah sakral eksekutif dan legislatif engan penganggaran di level pemerintahan yang lebih tinggi

4. Keterbatasan informasi kunci dan dokumen perencanaan pembangunan

C. Harmonisasi Musrenbang Formal Versus Informal: Sebuah Indeksikalitas Kepatuhan

1. Musrenbang Desa Tengger

2. Rembug Warga Tengger

Bab 5. Kegotongroyongan: Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Pelaksanaan Pembangunan ............................................ 82

A. Dominasi Penguasa dalam Pembangunan Menyebabkan Kegagalan

B. Realisasi Pembangunan Hasil Musrenbangdes Suku Tengger – Desa Ngadisari

C. Indeksikalitas Kegotongroyongan: Berpartisipasi Dalam Pelaksanaan Pembangunan

1. Sayan

2. Sesanti pancasetia

D. Mempertahankan nilai kegotong royongan, mendukung pelaksanaan pembangunan

Bab 6. Kejujuran: Bentuk Pertanggungjawaban Ala Masyarakat Suku Tengger ......................................................................................... 99

A. Ceremonial Accountability: Sebuah Akuntabilitas Formal

B. Menguak Motif di Balik Panggung Pertanggungjawaban Langsung “Ala Rakyat” Bupati Probolinggo

C. Indeksialitas Kejujuran Dalam Pertanggungjawaban Petingi Suku Tengger

Bab 7. Refleksivitas Nilai Kearifan Lokal: Memformalkan Kelembagaan Partisipasi Masyarakat ............................................................... 114

Page 7: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

vivi

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

A. Musrenbang Dalam Dilema

1. Kekurangan Musrenbang

2. Kearifan Lokal, Solusi Kekurangan Musrenbang

B. Menghidupkan Kembali Nilai Kearifan Lokal: Mengurangi Dominasi Kekuasaan

Bab 8. Formalisasi “Rembug Tengger”: Sebagai Model Partisipasi Berbasis Kearifan Lokal .............................................................120

Bab 9. Penutup ....................................................................................... 122

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................126

Page 8: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

1 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 1

Pendahuluan

Dalam kosep good governance, ada tiga stakeholder utama yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat (Sukardi, 2005; 37)

Wong Tengger tidak paham good governance, tetapi semua masyarakat, tokoh adat, pamong desa bekerja bersama-sama untuk menciptakan pemerintahan desa yang baik dan transparan (Supoyo, Petinggi Tengger, 30 Januari 2010)

A. Good Governance

Dalam beberapa dekade terakhir, di negara berkembang, termasuk Indonesia, isu good governance menjadi perdebatan. Hal tersebut dikarenakan ada tuntutan perubahan dalam pengelolaan kehidupan kenegaraan.

Perubahan dari sisi pemerintah yang diharapkan adalah perubahan dalam penggunaan sumber daya publik yang lebih efisien dan efektif (Edralin, 1997; Gaebler dan Osborne, 1992; 184; Yeremias, 2000; 2, Sumarto, 2004; 1, Sukardi, 2009; 36). Sementara itu, perubahan dari sisi masyarakat terdapat peningkatan demokratisasi yang ditandai salah satunya dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan urusan publik (Callahan, 2002; Ebdon, 2002; Muluk, 2007; dan Syarifudin, 2010).

Kendati sering disebut dalam berbagai peristiwa dan forum oleh berbagai kalangan, pengertian good governance masih berlainan antara yang satu dengan yang lainnya.

Beberapa institusi global yang sukses “mengekspor” paket good governance ke seluruh dunia di antaranya United Nation Development Program (UNDP), World Bank, dan Canadian International Development Agency (CIDA). UNDP (1997) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Sementara Word Bank (2006) mendefinisikan good governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sedangkan CIDA (1997) mendefinisikan good governance sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan keefektifan, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas.

Berbeda dengan definisi yang disampaikan oleh UNDP dan World Bank, Effendi (2005) menyatakan bahwa good governance merupakan suatu proses

Page 9: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

22

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

yang dinamis dan berlangsung secara terus-menerus, sedangkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dianggap sebagai nilai intrinsik bagi setiap proses. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipannya sebagai berikut:

“Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance yakni: goverment (pemerintah), civil society (masyarakat adat, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha. Good governance akan tercapai apabila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga pilar tersebut setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan tersebut dapat berkembang baik jika ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti. Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas” (Sukardi, 2009; 38)

Berdasarkan konsep governance di atas, Sukardi (2009; 41) membagi konsep tersebut dalam dua alur pemikiran. Alur pemikiran pertama, menganggap bahwa governance merupakan konsep yang statis dan hanya dikaitkan dengan misi dan kepentingan yang spesifik dengan menetapkan sejumlah aturan tertentu. Sementara alur pemikiran kedua, menganggap bahwa konsep governance lebih dinamis karena berkaitan dengan proses manajemen pemerintah dalam mengelola sumberdaya dengan melibatkan seluruh aktor (stakeholder), yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat sipil. Hal ini seperti yang di tunjukkan dalam gambar 1 berikut:

Sumber: Diolah dari beberapa definisi (Sukardi, 2009, 41)Gambar 1: Model Governance dalam konteks Civil Society

Page 10: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

3 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Berdasarkan gambar di atas, terdapat tiga aktor utama dalam menciptakan good governance, yaitu: pemerintahan negara (daerah) dimana birokrasi termasuk di dalamnya; dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara); dan masyarakat (termasuk masyarakat adat). Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggung jawab, dan kemampuan yang diperlukan, untuk suatu proses pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan. Dalam konsep good governance, ketiga aktor dalam sistem administrasi negara tersebut ditempatkan sebagai mitra yang setara.

Berdasarkan definisi good governance yang telah dikemukakan sebelumnya, untuk menciptakan kondisi tersebut, diperlukan sejumlah norma, nilai, aturan hukum dan kriteria, seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektifitas, dan sebagainya. Dalam buku ini penulis lebih menekankan pada prinsip partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran daerah.

Proses penganggaran daerah terdiri dari empat tahap yaitu: tahap penyusunan, pengesahan, implementasi dan pertanggungjawaban. Dari keempat tahapan tersebut, hanya tahapan pengesahan anggaran, dimana masyarakat tidak punya peluang atau ruang untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, fokus pembahasan buku ini, adalah mengenai partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran, implementasi pembangunan dan pertanggungjawaban anggaran.

B. Dasar Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan

Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan penganggaran daerah yang biasa disebut Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Diantaranya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Permendagri No. 13/2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, UU No. 25/2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional dan Surat Edaran Bersama Bappenas dan Mendagri Nomor 1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan Perencanaan Partisipatif Daerah.

Page 11: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

44

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

C. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan

Implikasi dari berbagai peraturan tersebut di atas adalah, masyarakat dapat terlibat baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban pembangunan, dengan dana APBD. Berdasarkan pengalaman penulis terlibat dalam pendampingan proses perencanaan penganggaran di beberapa daerah khususnya Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu) menunjukkan bahwa, meskipun partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran daerah telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, realitasnya partisipasi masyarakat dalam proses tersebut masih belum efektif. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran masih rendah dan hanya sebatas “hadir” dalam proses musrenbang (Sopanah, 2004).

Partisipasi masyarakat yang didorong oleh organisasi masyarakat sipil bertujuan membangun demokrasi yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat akan mendorong negara untuk memperkuat dirinya agar terjadi balance of power. Sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan yang bermuara pada terjadinya check and balance dalam proses penyelenggaraan negara.

Menurut Hikam (1998; 10) ada tiga ciri utama civil society, yaitu; pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, terutama ketika berhadapan dengan negara; kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik; ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara, agar negara tidak melakukan intervensi.

Sejalan dengan ciri kedua dari civil society di atas, partisipasi masyarakat dalam pembangunan harus dilihat sebagai jendela mental (mental window), yaitu dengan membuka hati masyarakat untuk secara sadar dan tulus terlibat dalam proses pembangunan. Selain itu, partisipasi masyarakat merupakan bentuk keterlibatan aktif dan kreatif yang diiringi oleh potensi keahlian, kemampuan, pengetahuan dan kesediaan berkorban untuk turut serta memecahkan masalah mereka sendiri (Anthony, 1984)1. Partisipasi masyarakat sangat penting bagi suatu pemerintahan, sebagai upaya untuk meningkatkan arus informasi, akuntabilitas, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkesinambungan (Sisk, 2002; 33).

Secara politis partisipasi masyarakat dalam penganggaran dapat

1 Anthony juga menjelaskan bahwa konsep partisipasi masyarakat erat kaitan-nya dengan manajemen partisipatif. Ia mengartikan participative management seb-agai the process of involving subordinates in the decision making process .

Page 12: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

5 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

memperkuat proses demokratisasi, karena dengan partisipasi masyarakat berarti: 1). memberi kesempatan yang nyata kepada mereka untuk mempengaruhi pembuatan keputusan, tentang masalah kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari, dan mempersempit jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat, 2). memperluas peluang pendidikan politik bagi masyarakat, sebagai landasan bagi pendidikan demokrasi, sehingga rakyat menjadi terlatih dalam menyusun prioritas-prioritas kebutuhan dan kepentingannya, serta menemukan kompromi di antara kepentingan-kepentingan yang berbeda, 3). memperkuat solidaritas komunitas masyarakat lokal (Islami, 2001; 5; Callahan, 2002; 299, dan Ebdon 2002; 275).

Penelitian Muluk (2007) dengan menggunakan pendekatan berpikir sistem, berhasil menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah mengalami peningkatan dalam era reformasi. Peningkatan partisipasi mengacu pada pola kurva S yang berarti ada peningkatan dalam tahap awal era reformasi. Namun secara perlahan peningkatan ini mengalami perlambatan hingga mengalami stagnasi. Akan tetapi, partisipasi masyarakat telah berada dalam derajat yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan partisipasi era sebelumnya.

D. Mekanisme Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan

Muluk (2007) juga menjelaskan bahwa mekanisme partisipasi masyarakat telah berkembang menjadi dua jenis, yaitu mekanisme partisipasi yang disediakan berdasarkan berbagai peraturan yang ada, seperti musrenbang, masa reses DPRD, dan rapat terbuka DPRD (disebut sebagai mekanisme formal), dan mekanisme yang murni berasal dari inisiatif masyarakat dan tidak diatur secara resmi dalam peraturan perundang-undangan (disebut mekanisme non formal).

Musrenbang sebagai mekanisme formal adalah mekanisme perencanaan pembangunan yang bersifat bottom-up. Dengan musrenbang diharapkan adanya keterlibatan masyarakat sejak awal dalam proses perencanaan pembangunan. Musrenbang dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota/kabupaten.

Selain musrenbang, mekanisme formal lainnya adalah masa reses DPRD dan rapat terbuka DPRD. Masa reses adalah masa jeda sidang DPRD untuk berkomunikasi dengan konstituennya, dengan tujuan untuk mencari masukan, aspirasi, dan persoalan nyata yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga menjadi bahan dalam menjalankan perannya sebagai anggota dewan. Sedangkan rapat terbuka DPRD, adalah rapat yang dapat dihadiri oleh masyarakat untuk memberikan masukan secara langsung pada saat rapat paripurna, rapat kerja, dan rapat dengar pendapat.

Page 13: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

66

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Sementara hasil penelitian Sukardi (2009; 311) dengan menggunakan kasus Pemerintah Jawa Timur dan Kabupaten Malang, menyimpulkan bahwa pelembagaan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan, khususnya penyusunan perencanaan dan penganggaran (participatory planning and budgeting) masih menghadapi berbagai persoalan. Mulai dari yang bersifat fundamental sampai yang bersifat teknis operasional. Persoalan tersebut di antaranya dalam bentuk perbedaan dalam: pemaknaan partisipasi, pendekatan partisipasi, sektor yang melibatkan partisipasi, konsistensi mekanisme partisipasi, dan distorsi sistem politik.

E. Partisipasi Masyarakat Jauh Dari Harapan

1. Partisipasi Semu

Fakta-fakta empiris partisipasi masyarakat seperti yang dijelaskan di atas, apabila diukur dari derajat partisipasi, berada pada tingkatan yang masih rendah. Jika digunakan tangga partisipasi model Arnstain (1971; 70), tingkat partisipasi masyarakat tersebut masih berada pada tingkat “konsultasi”. Hal ini dikarenakan, meskipun sudah ada forum musrenbang yang melibatkan masyarakat, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah. Masyarakat tidak mempunyai saluran resmi untuk menyampaikan keberatan atau komplain atas usulan-usulan masyarakat yang tidak diterima. Kondisi ini dalam tangga partisipasi Arnstein (1971; 70) disebut “tokenisme” atau partisipasi semu.

Hasil penelitian lain yang dapat diperbandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana (2003), yang memberikan gambaran bahwa tingkat kesadaran berpartisipasi masyarakat sudah mulai bangkit setelah era reformasi.

Penelitian Sukardi (2009; 286) membuktikan bahwa telah terjadi “kesadaran palsu” atau “kesadaran pura-pura” pada berbagai kelompok masyarakat. Ketika awal reformasi, masyarakat menaruh harapan besar akan munculnya perubahan mendasar dalam melembagakan partisipasi pada tingkat akar rumput. Namun, harapan tersebut berubah menjadi apatisme, setelah melihat kenyataan bahwa partisipasi yang dibangun pemerintah pada era reformasi tidak lebih hanya perbedaan istilah, atau “ganti baju” dengan partisipasi yang dibangun pada masa sebelumnya.

Penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan anggaran telah dilakukan oleh penulis sejak tahun 2003. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003, 2004, 2005 menunjukkan hasil bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan penganggaran sangat penting, karena dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Hasil lain juga menunjukkan bahwa meskipun partisipasi sangat penting, dalam realitasnya

Page 14: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

7 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

partisipasi masyarakat masih rendah. Penelitian lanjutan yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009 menunjukkan adanya perubahan partisipasi masyarakat, yang semula rendah menjadi tinggi karena adanya dorongan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat.

Sopanah (2003) melakukan penelitian, dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran masih sangat minim dan hampir tidak ada partisipasi. Hasil penelitian ini di dukung oleh Prasetyo (2003), yang menunjukkan hasil bahwa kebijakan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif di Kota Malang, mengabaikan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik.

Dalam proses penyusunan APBD partisipasi masyarakat masih dalam tahap tokenisme. Hanya secara formalitas belaka melalui tahapan penentraman, pengiformasian dan konsultasi. Hal ini menyebabkan adanya distorsi dalam proses penyusunan anggaran. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut, yang dapat di lakukan adalah membentuk peraturan hukum (Peraturan Daerah) yang mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dan pelaksanaan APBD. Adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD, diharapkan akan meminimalisasi terjadinya distorsi dalam penyusunan anggaran.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, Sopanah dkk. (2004) melakukan penelitian lanjutan tentang partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran di Wilayah Malang Raya. Hasilnya menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran masih sangat kecil. Sehingga menyebabkan terjadinya distorsi pada saat penyusunan anggaran. Ketidakefektifan mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD secara umum di sebabkan karena tidak adanya sosialisasi dari pemerintah daerah, mekanisme partisipasi yang di tempuh hanya formalitas belaka, dan ketidaksadaran dari masyarakat relatif kecil. Hasil lain juga menunjukan bahwa terdapat tiga model partisipasi yang efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yaitu: Pendekatan versi pemerintah, Pendekatan versi OMS (Ormas, LSM, PT, OKP dll.), dan pendekatan versi multistakeholder.

Hasil penelitian Sopanah dan Wahyudi (2005) menunjukkan, sekurang-kurangnya terdapat lima distorsi dalam proses penyusunan APBD Kota Malang Tahun 2005. Kelima distorsi tersebut adalah sebagai berikut: (1) terjadinya assimetri anggaran dengan problem nyata yang dihadapi, (2) sebagian besar dana APBD dinikmati birokrasi, (3) anggaran tidak perspektif gender, (4) tertutupnya akses anggaran kepada publik, dan (5) minimnya partisipasi masyarakat. Kelima distorsi tersebut terjadi bukan semata-mata persoalan administrasi dan manajerial. Melainkan juga adanya kesalahan asumsi yang digunakan oleh aparat birokrasi dalam merencanakan pembangunan.

Page 15: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

88

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Persoalan yang sampai sekarang dihadapi adalah belum terakomodasinya kepentingan rakyat secara optimal dalam proses perencanaan penganggaran, belum tampak adanya integrasi antara proses perencanaan dan penganggaran, serta meninggalkan nilai “kearifan lokal”.

2. Dominasi Penguasa

Fakta lainnya di lapangan menunjukkan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan perencanaan penganggaran daerah dianggap sangat penting, akan tetapi beberapa penelitian menunjukkan partisipasi masyarakat masih sangat rendah (Cooper dan Elliot, 2000, Layzer, 2002, Navaro, 2002, Laurian dan Adams, 2004). Rendahnya partisipasi tersebut, dapat ditunjukkan oleh Laurian dan Adams (2004) dari rendahnya tingkat kehadiran mereka dalam berbagai temu publik. Temu publik dianggap kurang efektif sebagai alat persuasi rasional. Namun demikian temu publik ini tetap berperan untuk memelihara sistem demokrasi lokal.

Jika diperhatikan lebih dalam, ketidakefektifan temu publik dalam proses pembangunan dan penganggaran daerah di beberapa kota/kabupaten, disebabkan lebih dominannya unsur kekuasaan pemerintah, dibandingkan kesukarelaan warga masyarakat. Khususnya di era sebelum desentralisasi tahun 1990an. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tim FISIP UI (2001), Hidayat (2001), Hendytio (2003), Tim FIKB (2002), Sopanah, (2003), dan Muluk (2007). Hidayat (2001).

Sopanah dkk (2004) secara lebih khusus menemukan alasan baru, mengapa temu publik kurang efektif, yaitu adanya dominasi elit pemerintahan (Kepala Desa dan perangkat desa) serta elit masyarakat seperti Ketua Rukun Warga (RW), Ketua Rukun Tetangga (RT), dan Tokoh Masyarakat dalam pelaksanaan temu publik.

Hasil penelitian Hidayat (2001) menunjukkan bahwa implementasi desentralisasi banyak ditandai oleh tawar-menawar dan pengembangan koalisi antar elit pemerintahan maupun elit masyarakat. Oleh sebab itu, tidak dapat dihindari bahwa proses pembuatan keputusan cenderung terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Khususnya mereka yang memegang kekuasaan dan mempunyai akses di pemda dan DPRD2. Sudah semestinya penekanan dapat dilakukan dalam proses perencanaan dan penganggaran terhadap kearifan lokal, yaitu dengan menjadikan norma adat dan tradisi budaya sebagai muatan

2 Hidayat juga mengungkap adanya perilaku eksklusif elit lokal yang dikembang-kan. Perilaku tersebut memiliki dua karakteristik, pertama, kecenderungan atas monocentric loyality yang berarti adanya suatu loyalitas tunggal dari elit lokal kepa-da atasan atau sesama elit daripada kepada masyarakat. Kedua, perilaku elit yang lebih memposisikan dirinya sebagai penguasa otonom yang berhak menentukan nasib masyarakat setempat.

Page 16: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

9 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

dalam peraturan perundang-undangan.

Proses perencanaan penganggaran selama ini banyak didominasi oleh eksekutif dan legislatif. Oleh sebab itu dengan memasukkan partisipasi masyarakat, diharapkan anggaran akan lebih berpihak pada kepentingan masyarakat (pro poor budget).

F. Implementasi Nilai Lokal Dalam Perencanaan dan Penganggaran

Proses perencanaan dan penganggaran merupakan dua hal yang saling terkait dan harus seimbang. Sebagai alat manajemen, maka perencanaan harus mampu menjadi panduan strategis dalam mewujudkan tujuan yang akan di capai. Keduanya merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mengelola pembangunan daerah secara efisien dan efektif. Hasil yang baik akan dicapai apabila terhadap keduanya diberikan perhatian yang seimbang. Kemudian penganggaran tidak mendikte proses perencanaan, dan perencanaan perlu mempertimbangkan ketersediaan dana (Kementerian Keuangan RI, 2010).

Sebagai alat manajemen, perencanaan dan penganggaran dapat pula berpegangan pada nilai kearifan lokal. Maksud dari kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Dimana masyarakat terlibat dan berpartisipasi dalam proses perencanaan penganggaran. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar, sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga dalam penganggaran daerah. Selagi taat pada setiap tahapan perencanaan penganggaran dan berpedoman terhadap peraturan perundang-undangan.

Aspek penganggaran merupakan kelanjutan dari aspek perencanaan. Proses perencanaan penganggaran daerah diawali dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), mulai dari kelurahan/desa sampai musrenbang kota/kabupaten3. Hasil dari proses musrenbang yang berjenjang tersebut adalah tersusunnya Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), yang kemudian dijadikan dasar untuk menyusun Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), Rencana Kerja Anggaran SKPD (RKA-SKPD) dan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD.

3 Musrenbang Kelurahan dilaksanakan pada bulan Januari-Februari, dilanjut-kan dengan Musrenbang Kecamatan Pada Bulan Februari-Maret, dan Musrenbang Kota/Kabupaten Maret-April.

Page 17: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

1010

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Dengan demikian, untuk menjamin terintegrasinya proses perencanaan dan penganggaran dalam konteks penyusunan Rancangan APBD, maka setiap pemerintah daerah melakukan perbaikan proses dan mekanisme musrenbang.

Perbaikan mekanisme musrenbang di antaranya dilakukan dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat, pengawalan usulan musrenbang desa ke musrenbang kecamatan. Dengan memperhatikan nilai kearifan lokal, dan berbagai upaya lainnya yang diharapkan dapat menghasilkan rumusan kegiatan yang secara substansi memang berpihak pada masyarakat.

Nilai lokal dapat terimplementasi melalui kewenangan dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola musrenbang. Seperti kewenangan ketua adat dalam mengajukan usulan dan pengambilan keputusan, serta aturan sanksi dan denda sosial bagi pelanggar peraturan. Selain itu apabila keseluruhan proses mekanisme musrenbang dilakukan secara integratif, terbuka dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi masyarakat, maka APBD diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi jika implementasi dan pengawasan APBD juga berjalan dengan baik.

Implementasi nilai lokal dalam perencanaan penganggaran dapat dilihat melalui mekanisme non formal yang berasal dari prakarsa inovatif masyarakat. Sebenarnya mekanisme non formal ini lebih efektif, daripada mekanisme formal seperti Musrenbang (Waidl, dkk. 2008).

Sumarto (2004: 18) telah menemukan berbagai prakarsa inovatif dan partisipasi yang mampu mengangkat isu-isu local participation dalam proses pembangunan. Setidaknya terdapat 20 prakarsa inovatif yang telah ditemukan dalam bentuk program kegiatan yang di prakarsai LSM, beberapa di antaranya adalah Sawarung, Parekat Ombara, Dialog Stakeholder Jawa Barat, Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S), dan lain-lain. Berbagai prakarsa inovatif partisipasi masyarakat tersebut, sejalan dengan upaya yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, untuk melakukan advokasi agar proses penyusunan APBD melahirkan belanja publik yang lebih pro poor (Wiratraman, 2004; 38).

G. Sekilas Partisipasi Masyarakat Suku Tengger

Masyarakat Suku Tengger mempunyai adat istiadat dan budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Perbedaan ini memungkinkan melahirkan bentuk partisipasi yang berbeda. Buku ini ingin mengkaji nilai lokalitas masyarakat Suku Tengger yang mewarnai proses perencanaan penganggaran, implementasi pembangunan, dan pertanggungjawaban pembangunan.

Suku Tengger yang secara geografis, masih tinggal di kawasan Tengger, dalam kehidupan sehari-hari dan keterkaitan dengan sesama Suku Tengger secara umum, sikap dan perilaku sosialnya masih mencerminkan budaya

Page 18: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

11 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Tengger. Adapun sikap dan perilaku sosial yang masih tampak dalam kehidupan Suku Tengger adalah pola hidup gotong royong, sinoman atau mbetekan, sayan, rojong atau nglawat dan tunggukan. Suku Tengger dalam kehidupannya juga mengembangkan kehidupan bermasyarakat yang ditandai oleh prinsip rukun, harmonis dan terbuka (blater). Nilai-nilai etik, keluhuran budi sebagai cita-cita manusia utama dan pengembangan persaudaraan dikembangkan, dengan dilandasi sikap penghormatan terhadap sesama. Mereka berusaha untuk senantiasa berbuat baik, tidak menyakiti dan berupaya untuk menyelesaikan setiap permasalahan dengan jalan musyawarah. Termasuk diantaranya perencanaan dan penganggaran, maupun pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, selalu didahulukan untuk di musyawarahkan. Keseimbangan dan keselarasan hubungan dengan keseluruhan tata semesta tercermin dalam kehidupan mereka bersama.

Penelitian Syarifudin (2010) menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian guna menemukan nilai kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger yang mempunyai agama Hindu, tetapi mempunyai adat istiadat serta budaya yang berbeda dengan masyarakat hindu lainnya di nusantara. Upacara adat yang menjadi ciri masyarakat Suku Tengger adalah upacara Karo dan Kasodo yang tidak dilakukan di suku yang lainnya. Widjaya (1986; 9) mengungkapkan bahwa pranata sosial dan budaya akan mempengaruhi cara orang untuk bertindak dan membentuk perilakunya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat “nilai kearifan lokal” masyarakat Suku Tengger dalam proses perencanaan penganggaran, implementasi pembangunan, dan pertanggungjawaban anggaran.

Isu partisipasi masyarakat berbasis kearifan lokal Suku Tengger menarik untuk dikaji karena Suku Tengger mempunyai pranata sosial dan budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Alasan lainnya, secara normatif, desa-desa Suku Tengger dapat mengajukan usulan program dan kegiatan pembangunan melalui mekanisme musrenbang desa dan kecamatan. Sebagaimana desa-desa lainnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan Perencanaan Partisipatif Daerah. Apakah terdapat perbedaan antara musrenbang yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger dengan masyarakat lainnya?.

Buku ini lebih memfokuskan pada partisipasi masyarakat Suku Tengger dalam proses penganggaran yang mempertahankan nilai kearifan lokal budaya Suku Tengger. Sehingga penulis berfokus pada pertanyaan: Bagaimana Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal di Masyarakat Suku Tengger?

Page 19: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

1212

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 2

Suku Tengger, Melawan Modernisasi dengan

Mempertahankan Budaya Lokal

Rona wajah yang memerah, kain sarung yang selalu dililitkan dilehernya, serta kupluk yang menjadi penutup kepala merupakan ciri khas Suku Tengger yang

merupakan hasil adaptasi dari suhu gunung bromo yang begitu dingin (Yudi, 1 Februari, 2010)

Dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger terdapat konsep anteng-seger (damai dan makmur) dan konsep yang mendasari hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan

hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship) (Tomo, Dukun Pandhita, 2 Februari, 2010)

Gunung Bromo, gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Dengan ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut, gunung eksotis ini berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai, dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.

Gunung Bromo atau Brahma merupakan gunung yang suci, bagi Suku Tengger. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo sebelah utara, dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari, setiap bulan purnama, sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Perjalanan menembus Gunung Bromo dapat ditembuh melalui 4 rute yaitu Cemoro Lawang, Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo, Nongkojajar, Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan, Desa Ngadas Kabupaten Malang, dan Desa Ranupane Kabupaten Lumajang.

Perjalanan menuju ke Gunung Bromo pertama kali dilakukan pada tanggal 6 Januari 2010, melewati rute Porwodadi Kabupaten Pasuruan, dengan menembus beberapa desa dan pegunungan. Diantaranya Desa Cowek, Lebakrejo, Dawuhansengon, Kecamatan Nongkojajar. Naik keatas lagi melintasi desa-desa ditepi pegunungan dan keluar masuk hutan serta tepian

Page 20: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

13 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

sawah diantaranya Desa Sumberpintu, Kalipucang yang masuk di Kecamatan Tutur disuguhi pemandangan indah alami dan suhu yang sangat dingin.

A. Desa-desa Tengger

Suku Tengger tinggal di daerah pedalaman pegunungan Bromo yang tersebar di 4 (empat) kabupaten, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Pasuruan. Jumlah desa di seluruh 4 (empat) kabupaten yang dihuni oleh Suku Tengger sebanyak 33 (tiga puluh tiga) desa.

Dari sekian banyak desa Suku Tengger, penulis hanya mengamati yang ada di Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo. Desa ini merupakan desa tertinggi dan paling dekat lokasinya dengan Kawah Gunung Bromo dibandingkan desa-desa lain, serta menjadi pusat lokasi upacara adat Kasodo Suku Tengger. Akan tetapi beberapa desa lain, juga dikunjungi. Berikut adalah beberapa desa Suku Tengger yang didatangi penulis termasuk Ngadisari, diurutkan sesuai waktu kunjungan.

1. Desa Ngadiwono

Di Perbatasan Desa NgadiwonoSumber: Dokpri

Page 21: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

1414

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Setelah melewati Desa Wonosari dan Kandangan serta desa-desa lainnya yang selalu di selimuti kabut di siang hari, tepat di batas desa dan pintu masuk Desa Ngadiwono, pertama kali di temukan beberapa situs sebagai penanda kepercayaan masyarakat setempat. Diantaranya ada sesaji dan dupa di pura kecil, sebagai persembahyangan yang di balut kain berwarna hitam putih yang dinamakan Kamen atau Saput. Di beberapa pohon besar di pinggir jalan serta di tikungan juga di temukan sesaji.

Selama dalam perjalanan di Desa Ngadiwono berulang kali bersimpangan dengan beberapa orang di jalan yang mengkalungkan kain sarung sebagai penanda khas bahwa orang tersebut adalah Suku Tengger. Terlihat pula dari kejauhan beberapa orang sedang menjalankan aktifitasnya, seperti bercocok tanam di ladang atau sawah dan ada pula yang merumput.

Sampai di Desa Ngadiwono, tempat dan orang pertama yang penulis cari adalah balai desa dan Petinggi (Kepala Desa) Ngadiwono. Secara kebetulan beberapa perangkat desa serta Petinggi Desa sedang berkumpul, karena melaksanakan rapat membahas PNPM Mandiri Pedesaan. Pak Petinggi dengan sangat ramah, menerima kedatangan penulis dan meminta untuk memperkenalkan diri, serta menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan ke Desa Ngadiwono. Kemudian, penulis ikut terlibat dalam rapat PNPM Mandiri pedesaan yang difasilitasi oleh fasilitator kecamatan yang membahas tentang pembangunan di Desa Ngadiwono. Sikap ramah dan terbuka yang diperlihatkan oleh Petinggi, mencerminkan bahwa masyarakat Tengger hidup dalam keterbukaan dan menghargai orang lain meskipun pendatang baru.

Setelah selesai mengikuti kegiatan rapat di Balai Desa Ngadiwono penulis melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Bromo dengan melewati Desa Podokoyo 1, Kecamatan Tosari, Desa Podokoyo 2 dan sampailah di Desa Wonokitri.

2. Desa Wonokitri

Desa Wonokitri adalah desa paling pucuk dan terakhir, yang ada di lereng pegunungan penanjakan. Di Tepi desa inilah dapat dilihat panorama paling eksotik dan mengagumkan. Antara lain matahari terbit, Gunung Bromo, dan Gunung Semeru yang menjulang tinggi ke angkasa dan selalu mengeluarkan asap mengepul. Di tempat ini pula dapat dilihat luasnya lautan pasir, sebagian Padang Safana serta gunung Batok yang bersebelahan dengan Gunung Bromo.

Selain bertemu dengan wisatawan-baik wisatawan domestik maupun mancanegara-, juga dapat bertemu dengan masyarakat Suku Tengger di penanjakan, yang rata-rata berprofesi sebagai pemandu wisata. Dari sinilah mulai didapatkan cerita dan gambaran tentang kehidupan Suku Tengger di Wonokitri, di sisi barat Gunung Bromo yang secara adminstratif masuk di

Page 22: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

15 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

wilayah Kabupaten Pasuruan

Desa Wonokitri adalah salah satu desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), dan merupakan desa tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Desa Wisata Budaya dengan obyek wisata potensial, berupa budaya, pola kehidupan sosial budaya masyarakat, serta adat-istiadat Suku Tengger. Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri bersumber dari nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat, yang merupakan bentuk nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya adalah kearifan lokal untuk menjaga lingkungan, ladang, sawah hutan serta fasiltas umum lainnya. Dengan adanya kearifan lokal yang masih relevan diaplikasikan untuk melestarikan dan menjaga keberlanjutan Desa Wonokitri, menjadikan desa ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut.

3. Desa Ngadas

Perjalanan kedua menembus Gunung Bromo dilakukan pada tanggal 26 Januari 2010, tidak kalah menariknya. Rute yang dilalui, melewati Desa Ngadas Kecamatan Poncokusomo Kabupaten Malang.

Di Perbatasan Desa NgadasSumber: Dokpri

Page 23: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

1616

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas Kabupaten Malang masih memegang teguh adat istiadat dan kehidupan masyarakatnya lebih plural. Desa Ngadas adalah satu-satunya Desa Suku Tengger di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, dan merupakan desa paling tinggi di Jawa Timur. Desa yang letaknya terpencil, jauh dari pusat kota dan berada di sekitar Gunung Semeru dan Gunung Bromo.

Keelokan Desa Ngadas bukan saja pada panorama alamnya, tapi juga keanekaragaman adat istiadat dan budaya di dalamnya. Desa yang dihuni Suku Tengger itu mampu mempertahankan budaya di tengah derasnya arus globalisasi.

Kebudayaan Suku Tengger yang tetap terjaga kuat di desa ini, menjadikannya berbeda dengan desa lainnya. Padahal masyarakatnya sangat plural dari sisi keyakinan. Sebab, di desa ini sekitar 1.820 warganya menganut agama yang beragam. Ada yang beragama Islam, Buddha, Katolik, Kristen dan Hindu.

Keyakinan yang berbeda tersebut, tak menyurutkan masyarakatnya mempertahankan adat Suku Tengger. Tak hanya orang dewasa, tapi juga ditanamkan sejak dini pada anak-anak. Dengan kuatnya menjaga ada istiadat itu, Desa Ngadas diakui menjadi Desa Tengger, desa yang didiami oleh Suku Tengger asli yang sangat kuat mempertahankan dan menjalankan budaya serta adat istiadat Tengger.

Sebagaimana telah disebutkan, ada 33 Desa Tengger. Di wilayah Kabupaten Malang hanya ada satu yakni Desa Ngadas. Sebelumnya, di wilayah kabupaten ada tiga Desa Tengger, yakni Desa Gubuk Klakah (Poncokusumo), Desa Tosari (Tumpang), dan Desa Ngadas sendiri. Namun sekarang Desa Tosari dan Desa Gubuk Klakah sudah tergerus zaman sehingga hanya sebagian kecil saja masyarakatnya yang mempertahankan tradisi Tengger. Karena itu, keduanya tidak lagi masuk dalam golongan Desa Tengger.

Tidak masuknya Desa Tosari dan Desa Gubuk Klakah di jajaran Desa Tengger tidak lepas dari pergeseran nilai budaya pada masyarakatnya. Maklum saja, letak geografis di dua desa itu sudah berada di bawah Desa Ngadas. Sehingga transformasi dan akulturasi budaya lebih cepat, karena akses jalan ke perkotaan lebih enak.

Kondisi itu berbeda dengan Desa Ngadas. Lokasinya di ujung timur kabupaten yang terpisah dengan desa lain, membuat desa ini sangat orisinil dalam menjalankan adat dan budaya Tengger. Baik adat desa maupun spiritualitas. Mereka tetap memegang teguh budaya yang diwariskan nenek moyangnya. Hal tersebut, ditunjukkan dengan menghormati para leluhur yang babat alas (mendiami atau menghuni lebih dulu) menghidupi keluarganya.

Page 24: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

17 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Mereka tetap meyakini leluhur akan menciptakan kedamaian di desa.

a. Sistem Pemerintahan Desa Ngadas

Kepala desa Ngadas, lebih mudah mengatur sistem pemerintahannya. Mengingat kondisi masyarakat yang mudah diatur, roda pemerintahan desa bisa berjalan sesuai dengan kesepakatan bersama. Walau masyarakatnya tidak tahu politik, warga Ngadas sebenarnya sudah sejak dulu sadar berpolitik. Misalnya, masalah pemilihan kepala desa. Calon kepala desa diajukan oleh masyarakat. Mereka yang ditunjuk harus siap lahir batin. Pengajuan para calonnya pun melalui rapat adat. Setelah diajukan dan memenuhi persyaratan pencalonan, masyarakatlah yang akan mengumpulkan dana untuk pesta demokrasi tersebut. Sedangkan para calon tidak boleh mengeluarkan dana sedikit pun. Begitu juga saat terpilih, calon yang kalah harus bijaksana ikut mengantar atau mengarak Kades terpilih ke balai desa.

Walau tidak mengeluarkan uang satu sen pun, tugas Kades di desa tidaklah mudah. Selain menjalankan pemerintahan desa, dia juga menjadi pelayan masyarakat yang baik. Misalnya, saat orang akan melahirkan. Dia harus siap kapan pun mengantar.

Selain itu kades juga dituntut memberikan keputusan yang tepat saat mengambil sebuah kebijakan. Dengan memiliki kesadaran berpolitik secara alami, kondisi desa tetap aman. Tidak ada yang mempermasalahkan siapa yang menjadi pimpinan desa. Masyarakat tetap menerima dan menghormati hasil pemilihan yang telah dilakukan.

b. Adat Istiadat Desa Ngadas

Kades juga diminta menjaga adat istiadat desa. Salah satunya menjaga tanah desa tetap utuh dimiliki warga desa sendiri. Warga dari desa tetangga atau luar desa dilarang membeli tanah di kawasan Desa Ngadas. Karena itu tanah di desa tetap utuh dikelola masyarakat sendiri. Itu juga menjadi salah satu faktor mengapa kebudayaan di Ngadas tetap terjaga.

Hingga sekarang, tanah pertanian yang ada semuanya dikelola masyarakat setempat. Tidak satu pun penduduk luar desa yang mengelola. Walau diberi harga yang sangat tinggi, aturan adat, tidak memperbolehkan masyarakat menjualnya. Hanya boleh pada masyarakat yang ada di desa. Sedangkan hasil pertanian maupun peternakan dijual kepada pengepul.

Kebanyakan para pengepul sayuran datang langsung ke desa tersebut. Mereka langsung membeli tanaman dari petani. Harganya pun mengikuti pasar. Tergantung musim panen pada saat itu. Para petani menggunakan pupuk organik. Pupuk tersebut didapat dari kotoran atau sisa makanan hewan ternak yang mereka pelihara di ladang. Karena pupuk dari kotoran hewan itulah

Page 25: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

1818

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

tanaman di Desa Ngadas tumbuh subur. Resep tersebut sudah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang warga sekitar

Baik kunjungan pertama maupun kunjungan selanjutnya ke Desa Ngadas, penulis diterima oleh Kepala Desa. Pada kunjungan kedua, Kepala Desa sedang menerima tamu (warga keturunan tiong hoa) yang mengurus pembuatan KTP. Saya menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan di Desa Ngadas yaitu melakukan survey pendahuluan tentang penelitian Tengger.

Bersama Petinggi Ngadas & Warga Tiong HoaSumber: Dokpri

Kepala desa kemudian menyampaikan, kalau pada tanggal 1 Februari 2012 akan ada Musrenbang Desa Ngadas. Saya dipersilahkan untuk datang dan bergabung dalam Musrenbangdes tersebut. Dengan senang hati saya mengiyakan. Saya bersyukur selama melakukan perjalanan survey ke tiga kabupaten, semua kepala desa sangat ramah dan terbuka menerima kehadiran saya.

Pada tanggal 1 Februari 2012 saya pun memenuhi panggilan untuk menghadiri acara Musrenbang Desa. Ratusan masyarakat Suku Tengger hadir dalam acara musrenbang. Ibu-ibu juga semangat ikut menghadiri musrenbang. Sambil menunggu acara Musrenbang di mulai, ibu-ibu duduk di depan kantor kelurahan, membicarakan masalah kentang yang akan dijadikan produk

Page 26: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

19 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

unggulan, yakni keripik kentang.

Ibu-ibu duduk di depan kantor kelurahan, sambil menunggu musrenbang Desa Ngadas dimulaiSumber: Dokpri

4. Desa Ranupane

Perjalanan yang tidak kalah menariknya adalah perjalanan ketiga menembus bromo dilakukan pada tanggal 30 Januari 2010, melewati Desa Ranupane Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.

Desa Ranupane Kecamatan SenduroSumber: Dokpri

Page 27: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

2020

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Kerukunan umat beragama di desa ini patut diacungi jempol. Kerja keras adalah bagian dari hidup mereka. “Bekerja berarti makan untuk hari esok”, itulah salah satu falsafah hidup masyarakat Suku Tengger di Desa Senduro Kabupaten Lumajang. Pura, masjid dan gereja harus dihargai dan dijaga walaupun mereka hidup berlainan agama.

Transportasi ke desa ini tergolong sulit. Tidak semua kendaraan dapat melewatinya, hanya sekelas mobil jip dan truk saja. Kondisi jalannya tidak beraspal dan medan yang ditempuh melalui pegunungan tipis, menanjak, menyusuri lereng berliku-liku dan menyusuri jalan berlubang. Naik truk atau jip di daerah ini punya keunikan tersendiri. Mobil Jip diisi 20 penumpang yang seluruhnya diharuskan berdiri. Sedangkan truk diisi 50 orang yang berdiri berdesak-desakan. Selain penumpang, kendaraan ini juga membawa kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat Ranupane.

Truk Mengangkut Sayuran dan Masyarakat Suku TenggerSumber: Dokpri

Ranupane terletak pada ketinggian 2200 m dpl. Terdapat dua danau, yaitu Ranupane dan Ranuregolo. Dari desa ini terlihat megahnya pucak Semeru yang perkasa mengepulkan asap ke angkasa. Desa ini adalah pintu gerbang atau persinggahan terakhir untuk mendaki Gunung Semeru. Udaranya sangat dingin, apalagi di musim kemarau bisa mencapai 3 derajat Celsius di malam hari. Maka tak heran, bila di musim kemarau desa ini sering dilanda hujan es. Wajib untuk mempersiapkan baju hangat, penutup kepala dan kaus tangan untuk melawan dinginnya udara.

Page 28: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

21 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Mayoritas penduduk yang bermukim di Ranupane adalah Suku Tengger, dengan ciri khasnya yang tidak pernah lepas dari kain sarung. Konon menurut mereka sarung dapat melawan dinginnya udara yang selalu menyelimuti kawasan ini.

Bersama dengan Wong Tengger yang baru pulang dari ladangSumber: Dokpri

Rumah-rumah permanen yang diplester dengan semen, terlihat di perkampungan ini. Menandakan ada kemajuan kehidupan masyarakat setempat. Roda perekonomian mereka ditopang oleh produksi kentang, kol, daun bawang, wortel dan lainnya yang ditanam di sekitar perbukitan. Mencari kayu bakar di hutan atau di gunung adalah pekerjaan mereka. Baik pria maupun wanita secara bersama bahu membahu bekerja di sawah atau di ladang.

Berbagai macam agama ada di sini. Mulai dari Hindu yang telah berbaur dengan kepercayaan Jawa, ditandai dengan adanya pura. Islam dengan adanya masjid dan gereja bagi umat Kristen. Uniknya kerukunan umat beragama di sini terasa begitu damai. Pluralisme terjaga utuh dan toleransi dijunjung tinggi serta saling menghargai. Bila ada perayaan hari besar salah satu umat beragama, maka yang lainnya ikut berpartisipasi merayakannya.

Bahasa pengantar sehari-hari menggunakan bahasa Tengger dan bahasa Jawa yang telah berbaur. Walaupun mereka telah mengenal dan

Page 29: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

2222

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai bahasa pengantar dengan pendatang, masih cenderung menggunakan bahasa Jawa.

Masyarakat Ranupane mempunyai kebiasaan hidup damai, sederhana, rajin bekerja dan hemat. Bila ada warga yang melakukan kesalahan atau pelanggaran hanya cukup ditindak oleh kepala desa. Namun jika setelah mendapatkan tindakan masih juga melanggar, maka akan didiamkan oleh seluruh warga.

Alam pegunungan tampak indah dan berkabut di sore hari. Pertumbuhan penduduk di sini masih sangat kecil. Saat ini Ranupane semakin semarak karena sudah mulai banyak dikunjungi oleh wisatawan asing dan lokal. Kabarnya terjadi peningkatan kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun.

Angin segar tidak pernah berhenti berhembus di Desa Ranupane. Keindahan alam dan budaya yang dilestarikan masyarakatnya, memberikan corak tersendiri bagi keragaman hidup mereka. Ranupane memang patut dilestarikan. Desa ini menyimpan berbagai potensi keindahan alam dan kerukunan umat beragama. Saat itu, saya menggunakan sepeda motor dan sempat beberapa kali harus mendorong sepeda karena jalannya putus.

Berbeda dengan Desa Tengger lainnya, yang hampir 99 Persen beragama hindu, di desa ini hampir seluruh agama ada. Ditandai dengan adanya Wihara, Pura, Musholla dan Gereja. Saya sempat melakukan sholat Dhuhur di sana.

Seperti pada kunjungan sebelumnya, saya berkesempatan bertemu dengan Pak Petinggi yang saat itu sedang menerima tamu, mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang akan melakukan KKN. Kami semua diterima sangat baik dan terjadi diskusi kecil terkait dengan peran Suku Tengger dalam pembangunan. Pak Petinggi memberikan informasi bahwa Musrenbang baru saja dilakukan seminggu yang lalu. Setelah memperoleh informasi secara umum terkait dengan musrenbang, saya pun pamit melanjutkan perjalanan ke Malang.

Bersama dengan Kepala Desa Senduro dan Mahasiswa UB yang mau KKNSumber: Dokpri

Page 30: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

23 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

5. Desa Ngadisari

Perjalanan terakhir menembus Gunung Bromo melewati jalur Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo pada tanggal 31 Januari 2010. Pada saat itu, udara begitu dingin ketika saya melangkah memasuki Desa Ngadisari. Namun kehangatan warga Tengger seolah mengusir hawa dingin yang mencapai 10 derajat Celcius menjelang pagi. Secangkir kopi yang disuguhkan dan keramahan warga sekitar memberikan kesan tersendiri.

Desa ini merupakan pintu gerbang menuju kawasan wisata Bromo-Tengger-Semeru, dan merupakan desa terakhir sebelum turun ke lautan pasir yang menjadi lokasi beberapa gunung seperti Gunung Bromo.

Desa Ngadisari Dusun Cemoro Lawang, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo terletak pada ketinggian 1200 hingga 2000 m di atas permukaan laut, di sebelah timur laut pegunungan Tengger (gunung Bromo). Ngadisari berjarak sekitar 50 km dari Kota Probolinggo, atau 1 jam perjalanan. Ngadisari adalah jalur utama menuju puncak Bromo.

Bersama Pak Poyo, Petinggi NgadisariSumber: Dokpri

Seperti perjalanan sebelumnya, saya pun menemui petinggi untuk menyampaikan maksud dan tujuan ke Desa Ngadisari. Saya diterima sangat baik oleh Pak Supoyo selaku Petinggi Desa Ngadisari. Kami berbincang-bincang tentang pembangunan di Desa Ngadisari.

Dalam penjelasannya Pak Poyo (panggilan Bapak Supoyo) menyampaikan bahwa Rembug Desa Ngadisari telah dilakukan pada akhir Desember, sekaligus

Page 31: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

2424

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

pertanggungjawaban Kepala Desa. Pada saat itu, disampaikan seluruh kegiatan yang telah dilakukan selama setahun. Masyarakat Suku Tengger hampir semua hadir, guna menyampaikan usulan untuk tahun berikutnya. Di kesempatan itu juga, masyarakat Suku Tengger menerima sturk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Berdasarkan informasi dari Pak Poyo, selama ini masyarakat Suku Tengger 100 (seratus) persen tertib membayar PBB dan tepat pada waktunya.

Dalam perjalanan menuju Ngadisari saya menjumpai seorang nenek tua yang sedang menggendong kayu bakar dari hutan. Saya menyapa nenek tersebut dengan senyuman, dan Nenek tua tersebut memperkenalkan diri sebagai Nek Siyem. Setiap harinya Nek Siyem mencari kayu di hutan dan dijual untuk membeli makan dan buat keperluan sehari-hari. Dia hidup sebatang kara, tetapi tidak menceritakan secara detail dimana keluarganya.

Nek Siyem sepulang dari hutan mencari kayuSumber: Dokpri

Masyarakat Suku Tengger terkenal dengan karakter, keluhuran budi pekerti dan sikapnya yang sadar hukum. Di Suku Tengger sangat jarang terjadi tindakan pencurian, pembunuhan atau tindakan kriminal lainnya. Kehidupan masyarakat Suku Tengger sangat harmonis.

Masyarakat Suku Tengger kebanyakan hidup dari kegiatan bercocok tanam. Meskipun banyak dari mereka yang berpendidikan tinggi dan melek teknologi, umumnya mereka lebih suka kembali ke desa dan menjalani kehidupan yang bersahaja. Filosofi hidup masyarakat Suku Tengger yaitu catur guru bekti, yaitu taat pada Tuhan, taat pada orang tua, taat pada pasinaon (guru) formal dan nonformal, dan taat pada pemerintah.

Page 32: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

25 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Di Desa Ngadisari, khususnya yang dipimpin oleh Bapak Supoyo, terdapat kearifan lokal tersendiri yang diterapkan oleh beliau untuk memajukan desanya, dengan tetap melestarikan budaya luhur. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain, pertama adanya penghargaan bagi warga Ngadisari yang berhasil sekolah hingga menjadi Sarjana S1. Mereka diberikan penghargaan dengan cara pelaksanaan Upacara Mayu Ilmu Sarjana. Hal ini dilakukan untuk memotivasi penduduk agar rajin menuntun ilmu.

Kedua, pembangunan Seruni Point Yes, dengan rencana pembangunan toilet dan fasilitas lain. Seruni Point Yes adalah tempat alternatif untuk melihat puncak Bromo, agar kawasan bibir Bromo tetap lestari. Karena sejak dulu mobil Jeep dan kuda digunakan banyak wisatawan menuju bibir Bromo sehingga bibir Bromo mengalami penipisan. Hal lain yang dilakukan adalah melengkapi museum di Bromo dengan alat seismograf, agar pengunjung dapat melihat secara nyata kinerja alat tersebut dan keadaan gunung Bromo.

Ketiga, larangan tidak boleh menikah sebelum lulus SMA. Hal ini dilakukan agar kaum perempuan tidak dirugikan dan agar remaja terpenuhi pendidikannya. Dengan ini juga diharapkan meminimalisir pernikahan dini yang beresiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kemiskinan, penyakit kandungan pada wanita, dll.

Masyarakat Suku Tengger amat percaya dan menghormati dukun di wilayah mereka, dibandingkan pejabat administratif. Karena dukun sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger.

Masyarakat Suku Tengger mengangkat masyarakat lain dari luar masyarakat Suku Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak semuanya bisa menjadi warga kehormatan. Masyarakat muslim Suku Tengger biasanya tinggal di desa-desa yang agak bawah. Sedangkan Hindu Suku Tengger tinggal di desa-desa yang ada di atasnya.

Seperti orang Jawa lainnya, masyarakat Suku Tengger menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Pada umumnya masyarakat Suku Tengger mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi, karena pada saat upacara perkawinan diucapkan janji perkawinan yaitu Sri Kawin Rali Ringgit Arta Perak Utang, yang artinya hutang tanggung jawab sampai mati tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan dibawah umur juga jarang terjadi. Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari upacara perkawinan ditentukan, maka diawali

Page 33: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

2626

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih).

Masyarakat Suku Tengger mempunyai salam yaitu Hong Ulun Basuki Langgeng, yang harus dijawab dengan Langgeng Basuki. Hong berarti sebutan untuk Tuhan, Ulun berarti kita, Basuki berarti selamat, dan Langgeng berarti kekal. Jadi Hong Ulun Basuki Langgeng berarti semoga kita dalam keadaan selamat atas karunia Tuhan Yang Maha Esa. Salam ini dipakai dalam setiap pertemuan, tidak peduli agama masyarakat Suku Tengger yang ada di pertemuan tersebut Hindu, Islam, Katolik, atau yang lainnya.

Masyarakat Suku Tengger mempunyai ciri khas memakai sarung karena dingin, sehinga menjadi tradisi. Selain itu, mereka juga mempunyai pakaian kebesaran untuk laki-laki, berupa ikat kepala (udeng), celana, rompi hitam, dan jarik dibebet. Sedang perempuan memakai kebaya hitam, jarik, selendang kuning dan sanggul. Bagi masyarakat Suku Tengger warna hitam mempuyai arti kedamaian.

Cerita di atas telah memberikan gambaran perjalanan panjang menembus Gunung Bromo yang diawali dari Desa Ngadiwono di Kabupaten Pasuruan, dilanjutkan ke Desa Ngadas di Kabupaten Malang, kemudian Desa Ranupane di Kabupaten Lumajang, dan terakhir di Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo. Perjalanan menembus Gunung Bromo melalui empat lereng tersebut memberikan kesan bahwa masyarakat Suku Tengger sangat ramah, terbuka, memiliki adat istiadat dan berbagai macam upacara adat yang berbeda dengan masyarakat suku lainnya. Semua hal tersebut, sampai saat ini masih terpelihara dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Petinggi dan Dukun di Suku Tengger.

Kantor Desa Ngadisari, tempat fokus penelitianSumber: Dokpri

Page 34: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

27 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Berdasarkan perjalanan panjang menembus Gunung Bromo dan pengalaman-pengalaman yang didapat selama di lapangan, penulis memutuskan untuk memilih Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura di Kabupaten Probolinggo sebagai situs penelitian. Berbagai pertimbangan tersebut di antaranya: Pertama, Kabupaten Probolinggo merupakan satu-satunya Kabupaten di Jawa Timur yang memiliki Perda Transparansi dan Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan di antara ketiga Kabupaten lainnya yang memiliki Suku Tengger. Kedua, Masyarakat Suku Tengger di Kabupaten Probolinggo masih mempertahankan nilai lokalitas, diantaranya ritual adat, posisi dukun masih cukup signifikan atas keterlibatannya dalam proses pembangunan, dan nuansa mistik/supranatural masih sangat kental. Ketiga, Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura adalah tempat yang dipilih untuk melakukan ritual adat karena paling dekat dengan Gunung Bromo. Keempat, kemudahan akses menuju lokasi penelitian. Dan terakhir, kelima, hubungan baik antara peneliti dengan key informan memudahkan untuk memperoleh data penelitian.

B. Asal-usul Suku Tengger

Wong TenggerSumber: Dokpri

Rona wajah yang memerah, kain sarung yang selalu dililitkan dilehernya, serta kupluk atau topi yang menjadi penutup kepala. Semuanya adalah ciri khas dan penanda Suku Tengger, yang merupakan hasil adaptasi untuk menyesuaikan dengan suhu Gunung Bromo yang begitu dingin dan beku.

Kawah Gunung Bromo posisinya berada di atas kawah (kaldera) Tengger sehingga tampak kawah dalam kawah, dan selalu mengeluarkan asap yang mengepul-menggelembung ke angkasa. Di dalam kawah tersebut Masyarakat Suku Tengger melakukan upacara dan melempar sebagian hasil bumi atau ternak, sebagai pelaksanaan dari pesan leluhur mereka, untuk membuat

Page 35: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

2828

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

persembahan kepada Syang Hyang Widhi dengan perantara Gunung Bromo sebagai gunung suci. Di antara kawasan Tengger, Gunung Bromo tergolong gunung terendah dan dianggap sebagai gunung suci yang membawa berkah.

Sejak tahun 927 M masyarakat Suku Tengger patuh dan taat pada Syang Hyang Widhi. Pada saat itu raja tidak memungut pajak kepada wilayah Tengger. Sebagai gantinya masyarakat harus melakukan persembahyangan kepada Syang Hyang Widhi pada hari-hari yang ditentukan. Hal ini diungkapan oleh Mudjono (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Probolinggo sekaligus dukun di Desa Ngadas) sebagai berikut:

“Prasasti Walandit tahun 927 dan 1256 Saka menyebutkan bahwa desa pertama kali di Tengger adalah Desa Walandit pada zaman Majapahit. Desa ini selalu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dari para raja-raja yang berkuasa, namun sebagai gantinya, desa ini diharuskan membuat persembahan kepada Syang Hyang Widhi dengan perantara Gunung Bromo sebagai tanah suci”.(M, 6 Sept 2010 )

Suku Tengger adalah sisa pelarian masyarakat Majapahit. Sewaktu Islam masuk ke Majapahit, mereka lari dan bersembunyi di dataran tinggi, menutup diri dan memelihara tata cara kepercayaannya. Tabir sejarah Suku Tengger masih misteri, asal nenek moyangnya belum terbukti hingga kini.

1. Asal Usul Nama Tengger

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Sutomo (Dukun Desa Ngadisari sekaligus pemangku adat dan sesepuh Suku Tengger), bahwa asal-usul Tengger didasarkan pada nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Rara Anteng (Puteri Prabu Brawijaya dari Majapahit) menikah dengan Jaka Seger (keturunan Brahmana dari Majapahit). Berikut petikan wawancaranya;

“.....Tengger diambil berdasarkan suku kata Teng dari nama Rara Anteng dan Ger dari nama Jaka Seger. Keduanya, menikah dan lama tidak dikarunia anak, sampai akhirnya mereka semedi di puncak bromo meminta pada Syang Hyang Widi dan jika dikabulkan mereka akan mengorbankan putera bungsunya Kusuma. Tetapi mereka tidak menepati janjinya. Syang Hyang Widi murka yang ditandai dengan meletusnya Gunung Bromo. Kusuma yang saat itu sedang bersembunyi, tiba-tiba hilang dan bersamaan dengan itu terdengar suara kusuma dari dalam kawah yang meminta kepada orang tua dan saudara-saudaranya merelakan kepergiannya. Ia juga berpesan kepada saudara-saudaranya agar selalu hidup rukun, menyelenggarakan upacara kurban hasil bumi atau ternak setahun sekali tiap hari keempat belas bulan Kasada (sampai saat ini upacara ini dikenal dengan Yadnya Kasada. (S, 6 September 2010)

Page 36: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

29 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

C. Sistem Pemerintahan

Berbeda dengan desa lainnya di Indonesia, sistem pemerintahan desa yang berlaku di Tengger lebih lengkap. Tujuannya untuk menjaga kehidupan budaya dan adat istiadat Tengger. Berikut adalah susunan pemerintahan di Desa Ngadisari sebagai desa yang hampir semua masyarakatnya (99%) adalah Suku Tengger:

1. Kepala desa, mempunyai tugas mengurusi semua bidang kegiatan desa.

2. Sekretaris desa, mempunyai tugas mengurusi administrasi urusan desa.

3. Dukun, seorang yang mempunyai tugas di bidang keagamaan termasuk pelaksanaan upacara dan pembinaan adat. Tanggung jawab Dukun mengurus kematian, perkawinan dan upacara-upacara desa lain.

Dukun mempunyai dua orang pembantu, yaitu

a. Wong Sepuh, bertugas mengurus upacara-upacara adat dan kematian serta menyiapkan segala macam sesajian.

b. Legen, bertugas mengurus upacara perkawinan dan mempersiapkan sesajian.

4. Kepala Dusun (Kasun) mempunyai tugas layaknya kepala desa di dusunnya masing-masing.

5. Kepala Seksi mempunyai tugas di bidang teknis sesuai dengan urusan seksinya masing-masing yang terdiri dari seksi pemerintahan pembangunan dan kesra.

6. Kepala Urusan mempunyai tugas sesuai dengan urusannya masing-masing dan bertanggungjawab pada sekretaris desa.

Keunikan lain dari sistem pemerintahan Suku Tengger adalah, perangkat desa terpilih, setelah dilantik oleh pihak pemerintah, harus menjalani upacara adat, yaitu upacara reresik. Tujuan dari upacara ini untuk mensinkronkan keberadaan perangkat desa dengan danyang (makhluk halus yang diyakini sebagai penjaga desa), sehingga danyang memberi restu untuk bisa menjalankan tugas-tugas dalam pemerintahan dengan lancar. Upacara ini harus dilakukan oleh semua perangkat desa. Mulai kepala desa sampai pamong-pamong desa. Masing-masing perangkat desa memberi sesaji tumpeng, ingkung, gedang ayu dan pembacaan mantra yang ditujukan kepada Danyang Banyu.

Page 37: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

3030

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

D. Kepercayaan dan Agama

Sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tengger adalah tradisional, yang tercermin dalam berbagai upacara seperti Upacara Kasodo, Karo, Entas-Entas, Unan-Unan, Perkawinan, Kematian, Pendirian Rumah dan sebagainya. Tujuan dilakukan berbagai upacara tersebut pada intinya adalah untuk meminta keselamatan baik dunia maupun akhirat. Keselamatan dunia berkaitan dengan keselamatan dalam berumah tangga, bertetangga, menempati rumah, keberhasilan dalam bertani, dan sebagainya. Sedangkan keselamatan akhirat berkaitan dengan terbebasnya dari dosa sehingga dapat masuk surga atau moksa. Tempat suci yang digunakan untuk upacara adat adalah laut pasir (Segara Wedhi).

Masyarakat Tengger juga percaya pada dewa-dewa, salah satu dewa yang mereka sembah adalah Dewa Bumi Truka Syang Hyang Dewata Batur. Selain percaya kepada dewa, mereka juga percaya adanya roh, arwah orang meninggal, makhluk halus (Adma). Adma di personifikasikan sebagai danyang atau penunggu desa dan diperlakukan sangat terhormat. Tempat khusus yang disediakan untuk melakukan penghormatan kepada danyang adalah pundhen danyang.

Pundhen adalah tempat yang dikeramatkan, yang dibagi menjadi dua yaitu pundhen danyang, dan pundhen sanggar. Pundhen danyang merupakan tempat untuk menghormati adma, sedangkan pundhen sanggar merupakan tempat untuk melakukan Upacara Unan-unan.

Masyarakat Suku Tengger menyebut dirinya sebagai pemeluk agama Hindu Dharma. Sedangkan buku suci yang menjadi pedoman disebut Primbon, yang ditulis di atas daun lontar dengan bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta. Primbon hanya dimiliki dukun atau pemangku adat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mudjono (Ketua Parisada Hindu Dharma Probolinggo)(6, September 2010)

“Agama kami adalah Hindu Dharma yang ditunjukan dengan upacara-upacara seperti Upacara Galungan, Kuningan, Nyepi, Saraswati dan lain-lain. Sejumlah mantra yang kami ucapkan pada setiap upacara adat juga mengandung ajaran agama Hindu. Kami menyebut Tuhan dengan sebutan Syang Hyang Widhi Wasa. Dan kami juga percaya pada Syang Hyang Agung sebagai pencipta alam semesta, penguasa alam raya, penentu segala kehendak dan perbuatan manusia, dan sebagai penguasa atas segalanya. Sedangkan kitab suci kami adalah Primbon”.

Salah satu ajaran Hindu Dharma adalah Panca Sradha yang ringkasnya sebagai berikut:

Page 38: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

31 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

a. Syang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Pencita Alam

b. Adanya Adma(n), yaitu roh leluhur atau rohnya sendiri.

c. Adanya karmapala, yaitu hukum sebab akibat. Percaya pada adanya karmapala merupakan inti ajaran Agama Hindu dan Budha yang bermakna, bahwa semua perbuatan manusia pasti terikat pada hukum sebab akibat yang di alami oleh manusia baik sekarang maupun hidup yang akan datang.

d. Punarbawa (reinkarnasi). Kepercayaan ini berasal dari agama Hindu dan Budha, bahwa manusia terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengan dharma hidup sebelumnya.

e. Moksa (Sirna), yaitu bila manusia telah mencapai moksa maka tidak akan terikat pada Punarbawa. Mereka akan berada pada tempat kedamaian abadi.

Ajaran keimanan pada Syang Hyang Widhi Wasa ini tidak didasarkan pada konsep religius avatara, yang berarti percaya akan adanya perwujudan Tuhan. Tetapi mereka tetap percaya bahwa Syang Hyang Widhi tidak dapat dilihat secara konkret dan nyata. Adapun konsep-konsep religi yang mereka anut adalah 1) konsep monoisme, yaitu segalanya adalah Tuhan, 2) konsep monoteisme immanent, yaitu Tuhan meliputi segala ciptaannya, 3) konsep Personal God, yaitu Tuhan dapat berwujud sebagai makhluk hidup seperti dewa.

Ketika melaksanakan kegiatan upacara keagamaan didasarkan pada kalender Tengger yang terbagi dalam dua belas bulan, yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kasepuluh, Kadesta, dan Kasuda. Mengenai hari dalam seminggu menurut Masyarakat Adat Tengger adalah Dite (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Budha (Rabu), Respati (Kamis), Sukro’ (Jum’at), dan Tumpuk (Sabtu). Sedangkan hari-hari pasarannya adalah Petakan (Legi dalam Bahasa Jawa), Abritan (Pahing dalam Bahasa Jawa), Jene (Pon dalam Bahasa Jawa), Cemengan (Wage dalam Bahasa Jawa), dan Manca Warna (Kliwon dalam Bahasa Jawa).

E. Kebiasaan, Adat dan Budaya

Pola perkampungan Suku Tengger adalah mengelompok. Dimana jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya sangat rapat, dan tidak dibatasi oleh pagar pembatas antar rumah. Hal ini menunjukkan sikap hidup masyarakat yang suka bekerja sama, bergotong royong (sayan) dan merasa sebagai sebuah keluarga dengan anggota masyarakat lainnya. Salah satu contoh kegiatan gotong-royong adalah ketika membangun fasilitas publik, seperti jalan, gorong-gorong, tempat peribadatan dan lainnya.

Page 39: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

3232

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Masyarakat Suku Tengger, sedang bergotong-royong memperbaiki jalanSumber: Dokpri

Gambar di atas merupakan salah satu bukti bahwa nilai kegotong-royongan mewarnai kehidupan masyarakat Suku Tengger. Ketika mereka membangun jalan, masyarakat Suku Tengger secara sukarela menyelesaikan pekerjaan yang didanai oleh pemerintah melalui dana APBD. Di samping itu, dikenal sistem sambatan (gotong-royong untuk kepentingan orang lain) seperti pendirian rumah, sinoman untuk masyarakat yang punya hajat, dan sebagainya.

Setiap memasuki wilayah pedesaan terdapat pintu gerbang (gapura) sebagai tanda batas antar wilayah desa. Di sebelah gapura biasanya terdapat bangunan kecil sebagai tempat pemujaan kepada dewa (arwah leluhur), yang disebut pundhen atau sanggar pamujan. Di sanggar ini biasanya para tokoh-tokoh agama mengajarkan pendidikan agama secara non formal pada anak-anak setelah matahari terbenam.

Berkaitan dengan sistem kekerabatan, masyarakat Suku Tengger sama seperti masyarakat jawa pada umumnya, yang memperhitungkan keturunan melalui garis laki-laki maupun perempuan. Dalam sistem ini, setiap individu akan mengenal baik anggota keluarganya dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Masyarakat Suku Tengger juga mengenal adanya sistem kekerabatan batih atau keluarga inti dan kelompok kekerabatan kindred. Sistem kekerabatan ini dapat berkembang karena adanya perkawinan sesama masyarakat Suku Tengger, baik dengan masyarakat desa sendiri maupun dengan masyarakat desa Tengger lain yang tersebar di empat kabupaten. Jarang sekali terjadi perkawinan warga Tengger dengan warga lain. Hal ini tercermin dari hasil wawancara dengan Mudjono (Dukun Ngadas) sebagai

Page 40: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

33 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

berikut;

“Masyarakat Suku Tengger selalu memegang teguh apa yang diwariskan oleh nenek moyang termasuk dalam hal perkawinan. Perkawinan yang terjadi rata-rata sesama warga Tengger. Meskipun pemuda/pemudi diberi kebebasan memilih sebelumnya, jika dihitung berdasarkan saptawara dan pancawara tidak baik maka mereka akan patuh dan tidak akan melanggar pantangan. (M, 6 September 2010)

Kehidupan adat istiadat masyarakat Suku Tengger ditegakkan. Norma-norma yang berlaku dianut, bahkan berlaku hukum karma yang menjadi ikatan dalam pergaulan diantara warga masyarakat. Ada dan berlakunya hukum karma ini, diakui oleh seluruh masyarakat sejak nenek moyang.

Nilai-nilai sosial dari budaya paternal tersebut mereka pegang teguh dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu dalam kehidupannya masyarakat Suku Tengger selalu berusaha untuk berbuat baik. Pola hidup tentram, tenang, rukun, dan tolong menolong sangat terlihat pada setiap jiwa warga masyarakat Suku Tengger. Hubungan tersebut nampak dalam kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Bila ada suatu rencana kegiatan yang dilakukan oleh desa, mereka datang berbondong-bondong untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa diundang.

Masyarakat Suku Tengger memiliki ajaran Welas Asih Pepitu (cinta kasih yang tujuh) yang dijadikan sebagai pedoman ketika masyarakat menyelesaikan persoalan. Isi Welas Asih Pepitu adalah sebagai berikut.

1. Welas Asih marang Bapa Kuasa

2. Welas Asih marang Ibu Pertiwi

3. Welas Asih marang Bapa Biyung

4. Welas Asih marang Rasa Jiwa

5. Welas Asih marang Sepadane Urip

6. Welas Asih marang Sato Kewan

7. Welas Asih marang Tandur Tetuwuh

Masuknya modernisasi di kawasan Tengger, tidak menghilangkan nilai-nilai budaya Tengger baik yang berkaitan dengan identitas diri maupun yang berkaitan dengan hal-hal umum. Sebagai contoh selama penulis berada disuku Tengger, masyarakat Suku Tengger selalu memakai sarung kemana saja pergi, melakukan berbagai upacara adat baik untuk kepentingan diri maupun masyarakat, selalu berpegang teguh pada ajaran welas asih pepitu, dan lain

Page 41: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

3434

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

sebagainya.

Budaya yang melekat pada diri mereka dipandang sebagai suatu kumpulan pola tingkah laku manusia, dengan bersandar pada daya cipta dan keyakinan untuk keperluan hidup. Maka tidak heran jika budaya warisan leluhur masih terjamin keasliannya hingga sekarang.

Budaya lokal tersebut direpresentasikan dan dipertahankan, dengan berbagai upacara adat. Jenis-jenis upacara adat tersebut, diantaranya: upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan, upacara adat yang berkaitan dengan budaya masyarakat, dan upacara yang berkaitan dengan siklus alam. Diantara kegiatan upacara adat terselip kegiatan keagamaan. Berikut adalah beberapa jenis upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger.

a. Upacara Berkaitan dengan Siklus Alam

Masyarakat Suku Tengger percaya adanya hubungan timbal balik dalam kehidupan manusia, antara kehidupan di dunia dan akhirat. Setiap perubahan kehidupan yang dialami seseorang mengalami perkembangan yang dapat mempengaruhi keseimbangan seluruhnya. Salah satu usaha yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan tersebut, adalah dengan melakukan upacara atau selamatan, yang dilaksanakan sejak manusia dalam kandungan, kelahiran sampai kematian. Upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan seseorang diantaranya: upacara sayut, upacara cuplak puser atau kekerik, upacara tugel gombak/kuncung, upacara perkawinan, upacara ruwat sangkolo, upacara kematian, dan upacara entas-entas.

b. Upacara Berkaitan dengan Bulan

Masyarakat Suku Tengger juga mempertahankan budaya dengan melakukan berbagai upacara adat yang dikaitkan dengan bulan menurut hitungan Suku Tengger. Mereka percaya bahwa tanah di sekitar pegunungan bromo yang dihuni oleh masyarakat Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila (suci) sejak jaman majapahit, dan penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan dari Syang Hyang Widi Wasa. Sampai saat ini ditengah arus globalisasi masyarakat Tengger masih mewarisi tradisi Hindu sejak jaman kejayaan majapahit. Agama Hindu di Bali dan Tengger pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma. Pembedanya adalah tidak adanya kasta di Suku Tengger dan masih mempertahankan tradisi paternalis. Maksud paternalis yaitu kegiatan ritual yang dilakukan secara bersama-sama dan para pelaku terikat oleh perasaan yang sama. Beberapa upacara adat yang berkaitan dengan bulan, diantaranya upacara Karo, upacara Pujan Kapat, upacara Pujan Kapitu, upacara Pujan Kawolu, upacara Pujan Kasanga, upacara Pujan Kasada, dan upacara Unan-Unan.

c. Upacara Berkaitan dengan Siklus Alam

Page 42: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

35 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Ketiga, adalah upacara yang berkaitan dengan siklus alam. Termasuk di dalamnya adalah upacara Leliwet, upacara mendirikan rumah, dan Barikan. Masyarakat Suku Tengger percaya bahwa tanda-tanda atau gejala alam dapat mempengaruhi perjalanan kehidupan seseorang. Karena itu mereka selalu waspada dan mempersiapkan diri menghadapi segala sesuatu yang dapat mencelakakan atau merugikan. Gejala-gejala alam selalu mendapat perhatian khusus dan selalu mengadakan selamatan. Gerhana matahari dan gempa bumi, adalah beberapa gejala alam yang tak luput untuk diselamati.

Gejala alam mereka anggap sebagai malapetaka yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan manusia. Jika gejala-gejala alam tersebut muncul, maka lima atau tujuh hari setelah peristiwa tersebut orang mengadakan Upacara Barikan. Tujuannya agar diberi keselamatan dan menolak bahaya yang bakal datang. Sebaliknya bila gejala-gejala alam tersebut menurut ramalan baik, upacara ini diadakan dengan maksud sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Syang Hyang Maha Agung. Upacara Barikan dilakukan untuk menghibur atau mendapatkan hati baik para Jin Setan dan menjauhkan diri dari segala penyakit.

F. Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat Suku Tengger umumnya adalah lulusan SD. Masyarakat Suku Tengger jarang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Karena cenderung melibatkan anak-anak yang menginjak remaja untuk turut serta bekerja di lahan pertanian. Tanah pertanian suku tengger sangat subur (gemah ripah loh jinawi) dan terkenal sebagai tanah adat, yang tidak bisa diperjualbelikan pada orang di luar masyarakat Suku Tengger.

Di beberapa Desa Tengger, sudah ada masyarakatnya yang sanggup bersekolah hingga S1. Untuk menghormati orang berpendidikan tinggi, ada upacara tertentu. Seperti di Desa Tengger Ngadisari yang mengadakan Upacara Mayu Ilmu Sarjana, bagi warganya yang sanggup menamatkan Sarjana. Tujuannya adalah untuk memotivasi penduduk agar rajin menuntun ilmu. Selain itu, juga diterapkan larangan menikah sebelum lulus SMA, agar anak-anak terpenuhi kebutuhan pendidikan formalnya.

Pengetahuan masyarakat Suku Tengger juga dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan para wisatawan yang berkunjung ke Gunung Bromo. Interaksi yang mereka lakukan membawa dampak dalam kehidupan. Sehingga terjadi akulturasi budaya dan menciptakan adanya budaya baru. Dimana budaya baru tersebut, bisa menambah atau mengurangi budaya asli. Interaksi tersebut menyebabkan terjadi perubahan dalam kehidupan sehari-hari, di bidang sosial, budaya, dan ekonomi khususnya tentang penganggaran.

Page 43: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

3636

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

G. Mata Pencaharian

Sebagian besar masyarakat Suku Tengger bertani hortikultura. Beberapa tanaman sayur mayur yang banyak dijumpai diantaranya kentang, wortel, bawang daun, tomat, sawi, putih, kol merah dan kembang kol. Tempat untuk bercocok tanam adalah di perbukitan. Selain bercocok tanam, penduduk juga mencari kayu bakar di hutan atau gunung. Baik pria maupun wanita, bersama bahu membahu bekerja di sawah atau ladang.

Mereka menjual hasil panennya ke luar desa menggunakan truk sebagai satu-satunya alat transportasi umum di pegunungan Tengger. Selain menjual dengan cara diangkut truk, pengepul sayuran juga sering datang ke Desa Suku Tengger. Mereka langsung membeli tanaman dari petani. Harganya mengikuti pasar, tergantung musim panen pada saat itu.

Para petani Tengger menggunakan pupuk organik. Pupuk tersebut didapat dari kotoran atau sisa makanan hewan ternak yang mereka pelihara di ladang. Karena pupuk dari kotoran hewan itulah tanaman tumbuh subur. Resep tersebut sudah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang Suku Tengger.

Masyarakat Suku Tengger juga menjadi pemandu wisata, menyewakan penginapan, sewa kuda dan mobil jeep. Tentu saja pekerjaan ini, hanya dapat dilakukan oleh warga yang rumahnya ada di sepanjang jalur masuk ke Gunung Bromo. Salah satunya adalah daerah penanjakan di Desa Wonokitri. Tetapi menjadi petani sudah menjadi nafas kehidupan mereka.

Page 44: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

37 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 3

Menggali Kearifan Lokal Ritual Adat Tengger

He bapak karo ibu lan dulur-dulur kabeh

Reang wis urip seneng ana kene

Nanging siro kabeh pada ilingo nyang reang

Saban rembulan handadari wektu Kasada

Reang njaluk tandur tuwuhe lemah kene

Muga-muga slamet sak turun-turunanmu kabeh

Wis sakmono wae reang

(Pembacaan Sejarah Kasada Oleh Dukun Pandita pada saat Upacara Kasada)

Modernisasi yang masuk ke wilayah tengger tidak akan melunturkan identitas wong tengger, mereka berpegangteguh pada ajaran welas asih pepitu dan tetap melakukan berbagai upacara adat (Supoyo, Petinggi, 2010)

Masyarakat Suku Tengger yang tinggal di lereng Gunung Bromo, merupakan masyarakat adat yang mempunyai pranata sosial dan kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dalam menghadapai berbagai perubahan yang disebabkan modernisasi, mereka melakukan penyesuaian dengan tidak meninggalkan nilai kearifan lokal yang ada.

Pola interaksi dan komunikasi antar sesama manusia yang bertujuan untuk meneruskan tradisi, identitas nyata, cita-cita, tujuan, tata nilai dalam berpikir serta perasaan, sikap, dan tingkah laku nyata yang mereka punyai mengakibatkan sistem kemasyarakatan Suku Tengger cepat atau lambat mengalami perubahan. Disisi lain masyarakat Suku Tengger tetap mempertahankan semua aturan, dan pandangannya pada sistem kemasyarakatan yang sudah lama bersama dengan keberadaan mereka.

Secara hakiki, nilai-nilai di masyarakat Suku Tengger belum beruba. Umpamanya kesadaran bergotongroyong, kepatuhan terhadap Syang Hyang Widhi Wasa, keadilan, kejujuran, dan sebagainya. Secara temporer yang bersifat instrumental belum banyak berubah, kecuali beberapa pola yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomis. Misalnya, penggunaan kuda yang semula sebagai alat angkut hasil bumi, dengan masuknya para wisatawan kuda dimanfaatkan sebagai alat transportasi untuk mengangkut

Page 45: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

3838

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

wisatawan mencapai Gunung Bromo. Semula sebagai alat pengangkut barang, sekarang digunakan untuk mencari keuntungan dalam bentuk uang. Contoh lain penggunaan rumah-rumah penduduk sebagai tempat penginapan. Melihat hal-hal yang seperti ini, perubahan yang terjadi hanya pada taraf temporer artinya pada permukaan saja. Kebiasaan secara relatif masih tetap, contohnya upacara untuk memperingati Hari Raya Karo, Kasada, Unan-unan, pelaksanaan adat (berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian, memulai bertanam dan memetik hasil panen, mendirikan rumah dan menempati rumah), mantra pada upacara adat dan masih banyak lagi.

A. Pengertian dan Konsep Nilai Kearifan Lokal

Kearifan lokal masyarakat (local wisdom) sudah ada dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu. Mulai dari zaman pra-sejarah hingga sekarang. Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya, yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah, dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.

Secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, lokal berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat juga dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ernawi 2009:7). Pengertian di atas, disusun secara etimologi, dimana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap, sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi.

Local Wisdom juga biasa disebut dalam disiplin antropologi, yang dikenal dengan istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mulai pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara

Page 46: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

39 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Diantaranya, Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: (1). mampu bertahan terhadap budaya luar; (2). memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3). mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4). mempunyai kemampuan mengendalikan; (5). mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau “ajeg” dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Geriya (2003) mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode panjang, yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Geertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal, dari para elit dan masyarakatnya.

Nilai kearifan lokal adalah nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, nilai yang diyakini keberadaannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-

Page 47: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

4040

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

hari bagi masyarakat setempat. Oleh karena itu nilai kearifan lokal sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Kearifan lokal berisi unsur kecerdasan, kreatifitas, dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya. Keraifan lokal juga usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam budaya masyarakat tertentu (indegeneous psychology). Hasil akhir dari indegenouse psycology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah laku yang mencerminkan budaya asli.

Teezzi, etc. (1995) dalam Ridwan (2007) mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi etc. (2003) mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).

Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu yang berwujud nyata (tangible) dan yang tak berwujud (intangible). Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi merupakan kearifan lokal yang berwujud nyata. Selain itu ada pula yaitu bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.

Hubungan antara kearifan local dan budaya lokal, adalah kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Sedangkan budaya lokal merupakan suatu budaya yang dimiliki suatu masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat di tempat yang lain. Yang

Page 48: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

41 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

dimaksud dengan kearifan lokal adalah sesuatu yang berkaitan khusus dengan budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu, serta memiliki nilai-nilai tradisi atau ciri lokalitas yang mempunyai daya-guna untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang secara universal didamba-damba oleh manusia, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

B. Menggali Nilai Kearifan Lokal Suku Tengger Melalui Ritual Adat

Sampai saat ini nilai-nilai budaya Suku Tengger masih dipegang teguh oleh masyarakat. Baik yang berhubungan dengan umum maupun yang berhubungan dengan diri sendiri. Modernisasi yang masuk bersamaan dengan interaksi yang mereka lakukan, tidak mampu melunturkan identitas diri mereka. Identitas tersebut begitu melekat dengan jiwa mereka, misal dipakainya sarung kemana saja pergi, berpegang teguh pada ajaran welas asih pepitu, 20 wasiat, melakukan berbagai ritual adat, dan sebagainya.

Budaya yang telah melekat pada diri mereka dipandang sebagai suatu kumpulan pola tingkah laku manusia, dengan bersandar pada daya cipta dan keyakinan untuk keperluan hidup. Sehingga budaya warisan leluhur masih terjamin keasliannya hingga sekarang. Budaya warisan tradisi nenek moyang tersebut dibedakan menjadi, ritual atau upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan, upacara yang berkaitan dengan budaya masyarakat, dan upacara yang berkaitan dengan siklus alam. Diantara kegiatan upacara adat terselip kegiatan keagamaan. Dalam kegiatan upacara tersebut terungkap indeksikalitas baik secara eksplisit maupun implisit.

1. Kepatuhan Melaksanakan Upacara Adat

Selama kurang lebih dua tahun bercengkerama dengan masyarakat Suku Tengger, berbagai upacara adat telah diikuti. Diantaranya upacara Kasada, Karo, Entas-Entas dan Unan-Unan. Dari berbagai upacara adat yang diikuti, penulis dapat mengambil dan menyimpulkan banyak nilai kearifan lokal yang secara ekslipsit maupun implisit dinyatakan oleh Informan dalam penelitian ini. Sebagai contoh, pada saat mengikuti upacara Kasodo tahun 2010, Menteri Pendidikan Budaya dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wajik dalam konferensi pressnya di Kawah Gunung Bromo menyatakan bahwa:

“Tujuan Masyarakat Suku Tengger melakukan Yadya Kasada adalah untuk memberi korban suci agar mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran...”

“Saudara Masyarakat Suku Tengger sangat ramah, tadi malam saya banyak belajar dan berdiskusi dengan pimpinan desa, bahwa masyarakat Suku Tengger sangat melaksanakan catur guru yang

Page 49: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

4242

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

harus di taati. Yaitu Taat (patuh) pada Tuhan YME, patuh pada orang tua, patuh pada guru, patuh pada pemerintah. Nah, untuk patuh pada pemerintah ada dua hal yang harus diperhatikan, pertama rakyat harus patuh pada pemerintah (pemimpin), dan pemimpin harus menghormati dan memperhatikan rakyatnya...”

Dalam kutipan konferensi pers tersebut, secara eksplisit mengungkapkan bahwa tujuan dari upacara Kasada adalah untuk memohon keselamatan dan keberkahan, dengan cara melempar sedekah hasil bumi yang disiapkan dalam bentuk Ongkek. Selain itu masyarakat Suku Tengger juga patuh kepada 4 hal yang dikenal sebagai Catur Guru yang harus di taati. Yaitu Taat (patuh) pada Tuhan YME, patuh pada orang tua, patuh pada guru, patuh pada pemerintah.

Selain mengikuti upacara adat, penulis juga mengikuti upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan, yaitu upacara perkawinan. Masyarakat Suku Tengger mempunyai tata cara dan aturan tersendiri dalam pemilihan jodoh. Proses perkawinan yang dilakukan, juga berbeda dengan masyarakat umum. Prosesnya terdiri dari lamaran, sabda perkawinan, temu penganten dan bebanten. Penentuan hari H pelaksanaan sabda perkawinan masih menggunakan perhitungan weton, hari kelahiran dan pasaran. Hal ini karena masyarakat Suku Tengger percaya bahwa ada hari-hari tertentu yang tidak boleh digunakan untuk melangsungkan suatu hajat. Setelah pelaksanaan sabda perkawinan, acara berikutnya adalah Walagara. Kemudian proses upacara perkawinan yang terakhir adalah bebanten, yang ditujukan pada Syang Hyang Widhi, sebagai rasa syukur dari semua keluaga

Semua rangkaian upacara perkawinan serta peraturannya yang telah disebutkan, dipatuhi dan dihormati, oleh masyarakat Suku Tengger. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Dukun dan Bapak Supoyo, Kepala Desa Ngadisari.

“Orang tengger kalau mau menikahkan anaknya, pasti akan kesini dan tanya hari baik untuk mengadakan berabgai rangakaian upacara walagara...”

“Untuk membuktikan kepatuhan saya pada orang tua dan adat yang berlaku di lingkungan masyarakat kami, ketika pernikahan saya rela memutus pacar saya karena dipandang tidak baik oleh adat. Saya takut akan kuwalat”.

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku Tengger sangat patuh dan hormat terhadap aturan yang ada di Tengger, dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.

Upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan terakhir, yang diikuti adalah upacara entas-entas. Entas-Entas merupakan upacara sakral yang

Page 50: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

43 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

paling ditakuti. Sebab jika sampai ada keluarga yang lupa menyelenggarakan upacara tersebut bagi sanak saudaranya yang telah meninggal, maka keluarga tersebut akan mendapatkan musibah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Wong Sepuh Tengger

“Upacara Entas-Entas harus dilakukan untuk menebus arwah sanak saudaranya yang telah meninggal, kalau tidak dilakukan (patuh) maka ia akan maka mendapatkan musibah, Apalagi jika keluarga tersebut pernah bernadzar untuk mengentaskan arwah si leluhur...”

Dari tiga upacara yang telah dikuti, dapat disimpulkan bahwa nilai kearifan lokal “kepatuhan” telah teridentifikasi. Nilai tersebut mewarnai kehidupan masyarakat Suku Tengger. Secara lebih jelas analisis indeksikalitas kepatuhan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5: Analisis Indeksikalitas Kepatuhan

Tahapan Bentuk Data Indeksikalitas RefleksivitasBagian 1: Meng-gali Nilai Kearifan

Lokal

Kepatuhan

Mengikuti Upacara Adat yaitu Kasada.

Ugorampe yang harus disediakan adalah berba-gai hasil bumi yang disiapkan dalam bentuk ongkek.

Ungkapan Menbudpar Jero Wajik Pada saat upacara Kasodo “Masyarakat Suku Tengger Patuh Pada Catur Guru”

Secara eksplisit menbudpar menya-takan bahwa masyarakat suku tengger patuh pada Tuhan YME, Orang tua, guru dan pemerin-tah.

Makna dari upacara kasodo dilakukan untuk mencari berkah dan keselamatan dengan melempar sebagain hasil bumi di kawah gunung bromo sebagai tanda menghormati Dewa Bromo.

Page 51: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

4444

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Mengikuti Upacara yang berhubungan dengan Siklus kehidupan yaitu upacara perkawinan.

Ugorame yang harus dise-diakan adalah tumpeng, gedang ayu, ingkung, sego golong, jenang abang dan putih, arang-arang kam-bang, ketan dan kelapa.

Ungkapan Dukun Pandita (seorang yang mempunyai tugas di bidang keagamaan termasuk pelak-sanaan upacara dan pembinaan adat)

“Masyarakat Suku Tengger mempunyai tata cara dan aturan tersendiri dalam pemilihan jodoh”

Secara eksplisit Dukun Pandita menyatakan bahwa proses perkawinan yang harus dilakukan masyarakat Suku Teng-ger adalah lamaran, sabda perkawinan, temu pengant-en, bebanten.

Semua proses ini harus di patuhi dan dilaksanakan.

Makna penen-tuan hari H untuk pelaksanaan sabda perkaw-inan harus sesuai dengan hitungan tengger berdasar-kan perhitungan weton dan pasa-ran. Masyarakat SukuTengger per-caya bahwa ada hari-hari tertentu yang tidak boleh digunakan untuk melangsungkan suatu hajat.

Mengikuti Upacara ber-hubungan dengan Siklus kehidupan yaitu upacara Entas-Entas

Ugorampe dalam upacara ini adalah kain putih, cepel, bebek, cowek, beras, kulak, ayam.

Ungkapan Wong Sepuh “En-tas-Entas merupakan upacara sakral yang harus dilakukan untuk mengentas-kan arwah leluhur

Secara eksplisit Wong Sepuh menyatakan upacaya Entas-Entas harus dilakukan untuk menebus ar-wah sanak sau-daranya yang telah mening-gal, kalau masyarakat Suku Teng-ger tidak patuh maka ia akan maka mendapatkan musibah.

Makna upacara entas-entas adalah untuk menyempurnakan arwah orang yang telah mening-gal dunia dan semoga masuk ke alam nirwana

2. Kegotong Royongan Mempersiapkan dan Mengikuti Upacara Adat

Selain nilai kearifan “kepatuhan” yang terungkap dalam berbagai upacara adat, nilai kearifan lokal “kegotong royongan” juga terungkap dalam upacara adat Karo, Unan-Unan dan Pujan Kasanga. Upacara Karo diselenggarakan selama dua minggu yang dipusatkan di daerah pedesaan. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru, dan perabot juga baru (dalam tradisi islam seperti hari raya). Hari raya Karo menggambarkan

Page 52: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

45 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

makna asal mula adanya manusia, manusia menurunkan keturunannya sampai kembalinya roh kehadapan Syang Hyang Widhi Wasa.

Untuk keperluan upacara, setiap rumah secara bergotong royong mengirim Tumpeng Bandungan ke Balai Desa atau rumah Petinggi. Sebelum tumpeng dimakan bersama, terlebih dahulu dimantrai oleh dukun. Untuk kelengkapan upacara diadakan pertunjukan kesenian yang disebut Tari Sodoran. Tarian ini melambangkan waluyo jati, yang menunjukkan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang sedang dilanda sampyuh (cinta). Inilah inti dari Upacara Karo yang permainannya dilakukan oleh 12 orang dengan formasi yang saling berhadapan. Demikian makna dari pelaksanaan Upacara Karo, seperti yang diungkapkan oleh Dukun Tengger:

“Tarian Sodoran melambangkan waluyo jatine. Pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang sedang dilanda sampyuh (cinta) kemudian bercampur hingga melebur waluto jati, kemudian timbullah bibit manusia dalam rahim ibu dan muncullah anak”.

Setelah acara sodoran, masing-masing rumah penduduk siap menerima tamu, baik dari dalam maupun luar Tengger. Wong Tengger dengan suka cita akan menerima tamu, dan dijamu berbagai hidangan, makanan dan minuman. Pada hari berikutnya kepala desa (petinggi) berkunjung ke seluruh rumah warga desa untuk melakukan anjang sana dengan warga.

Selain Upacara Karo, upacara Unan-Unan yang diadakan setiap sewindu sekali juga melibatkan hampir seluruh masyarakat Suku Tengger. Tujuan dari upacara ini adalah memohon keselamatan kepada Syang Hyang Widi Wasa, membersihkan desa dari gangguan makhluk halus, dan menyucikan adma yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal secara sempurna, yaitu nirwana.

Dalam upacara Unan-Unan, diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan. Sesajian yang harus disediakan serba 100 buah, yaitu berkatan 100 buah, lauk-pauk 100, nasi 100, jajan 100. Sesajian tersebut yang menyediakan adalah kepala desa, ditanggung oleh secara gotong royong oleh seluruh warga masyarakat desa. Setelah sesajian dimantrai dibagi ke masyarakat. Upacara ini merupakan upacara penolakan celaka (tolak balak) yang sangat besar, sebab semua mantra Purwa Bumi dan Mandhalagiri dibaca lengkap.

Ketiga ada Upacara Pujan Kasanga, yang jatuh pada panglong 9 (sembilan) dalam kalender Tengger atau tanggal 24 bulan sembilan (sanga) tahun Saka. Pelaksanaan Pujan Kasanga melibatkan semua lapisan masyarakat secara bergotong-royong. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, pria maupun wanita. Upacara diawali dengan para wanita yang mengantarkan sesaji ke

Page 53: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

4646

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

rumah kepala desa untuk dimantrai oleh dukun. Selanjutnya dukun dan para sesepuh desa membentuk barisan, bersama-sama masyarakat berkeliling desa dengan membawa gamelan (bunyi-bunyian) seperti gentha, sapu, sekrop, cangkul, obor, bedhor, dan lain-lain sambil menaburkan bunga dipimpin oleh Wong Sepuh.

Dari ketiga upacara yang diikuti dan digali informasinya, didapatkan nilai kearifan lokal “kegotong-royongan” dalam penyediaan sesajen untuk keperluan upacara tersebut. Secara lebih jelas dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 6: Analiss Indeksikalitas Kegotong-royongan

Tahapan Bentuk Data Indeksikalitas Refleksifitas

Bagian 1: Menggali Nilai Kearifan

Lokal

Kegotong

royongan

Mengikuti Upacara Adat yaitu Karo .

Ugorampe yang harus disediakan Kayopan Agung, yang terdiri dari tiga nyiur berisi sembilan buah tumpeng kecil beserta lauk pauk seperti apem, pisang, seikat pisang gubahan, daun sirih, kapur dan sepotong pinang atau jambe ayu.

Ungkapan Kepala Desa (Petinggi) pada saat Upacara Karo “Masyarakat Suku Tengger bersuka cita merayakan karo dan untuk keperluan upacara mereka menyiapkan sesaji bersama-sama”

Secara eksplisit Kepala Desa (Petinggi) menyatakan bahwa masyarakat suku tengger menyambut upacara karo dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru, makanan berlimpah dan untuk kebutuhan upacara di balai desa disiapkan secara bersama-sama dan bergotong royong oleh semua masyarakat Suku Tengger.

Makna dari upacara karo adalah mengadakan pemujaan terhadap Syang Hyang Widhi Wasa dan menghormati arwah leluhur.

Page 54: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

47 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Mengikuti Upacara yang berhubungan dengan Adat yaitu Upacara Unan-Unan

Ugorame yang harus disediakan Sesajian yang harus disediakan serba 100 buah, yaitu berkatan 100 buah, lauk-pauk 100, nasi 100, jajan 100.

Ungkapan

Dukun Pandhita

“Dalam upacara Unan-Unan, diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Sesajian yang harus disediakan serba 100 buah”.

Secara eksplisit Dukun Pandhita menyatakan bahwa Sesajian yang harus disediakan sangat banyak, masing-masing 100 dan akan di tanggung secara gotong royong oleh seluruh warga masyarakat desa Setelah sesajian dimantrai dibagi ke masyarakat dan dimakan bersama-sama. , pada upacara ini

Makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara unan-unan adalah pemberian kurban kepada raksasa agar tidak mengganggu ketenteraman dunia, dan penyucian diri dari kegelapan.

Menggali Informasi berkaitan Dengan Upacara Pujan Kasanga

Ungkapan Dukun Pandhita “Upacara Pujan Kasanga diawali dengan para wanita yang

Secara Eksplsit Dukun menyatakan Pelaksanaan Pujan Kasanga melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa pria maupun wanita untuk bergotong-royong keliling desa membunyikan berbagai bunyi-bunyian

Makna dari upacara Pujan Kasanga adalah memohon kepada Syang Hyang Widhi Wasa untuk membersihkan desa dari mara bahaya dan bencana.

3. Kejujuran Melaksanakan Upacara Adat

Nilai kearifan lokal lain yang ditemukan dalam upacara ritual adat kasada dan pujan kapitu adalah nilai kejujuran. Pada saat upacara Kasada diharapkan tidak ada masyarakat yang meninggal dalam waktu 44 hari, karena dianggap “kotor”. Oleh karena itu masyarakat Suku Tengger diharapkan kejujurannya untuk tidak ikut melempar berkah ke Gunung Bromo.

Sementara itu, upacara Pujan Kapitu yang didalam nya dilakukan upacara megeng patigeni bagi semua Dukun seperti yang diungkapkan oleh Dukun Tengger sebagia berikut:

“Semua Dukun wajib melakukan megeng patigeni, untuk tidak berhubungan dengan duniawi khususnya tidak kumpul istri” disini di tuntut kejujuran dan kekuatannya…”

Page 55: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

4848

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Tabel 7: Analisis Indeksikalitas Kejujuran

Tahapan Bentuk Data Indeksikalitas Refleksifitas

Bagian 1: Menggali Nilai Kearifan

Lokal

Mengikuti Upacara Adat yaitu Kasada.

Ugorampe yang harus disediakan adalah berbagai hasil bumi yang disiapkan dalam bentuk ongkek.

Ungkapan Dukun “Jika 44 hari sebelum perayaan Kasada ada orang yang meninggal, maka dari desa tersebut tidak membuat ongkek karena dianggap kotor”

Secara implisit makna kata kotor adalah didesa tersebut ada orang yang telah berbuat kesalahan, sehingga diharapkan kejujurannya untuk tidak mengikuti upacara kasada dengan melempar ongkek.

Makna dari upacara kasodo dilakukan untuk mencari berkah dan keselamatan dengan melempar sebagain hasil bumi di kawah gunung bromo sebagai tanda menghormati Dewa Bromo.

Menggali Informasi dengan Dukun tentang Upacara Adat yaitu Megeng Patigeni Pujan Kapitu.

Ugorampe yang harus disediakan adalah tumpeng yang dibawa ke rumah Dukun

Ungkapan Dukun Pandhita pada saat Wawancara “

Semua Dukun wajib melakukan megeng patigeni pada saat upacara pujan kapitu”

Secara eksplisit Dukun Pandhita menyatakan bahwa “Semua Dukun wajib melakukan megeng patigeni, untuk tidak berhubungan dengan duniawi khususnya tidak kumpul istri” disini di tuntut kejujuran dan kekuatannya.

Makna dari upacara Megeng Patigeni adalah

meminta keselamatan desa, meminta supaya mantra dukun mujarab, dan meminta supaya keluarga diberi keselamatan, rezeki dan kesejahteraan.

C. Internalisasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Kehidupan Masyarakat Tengger

Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger bersumber dari nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat yang kemudian membentuk nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya adalah kearifan lokal dalam membangun sistem kemasyarakatan, sistem kehidupan maupun system lingkungan.

Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan kandungan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alam semesta, dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.

Page 56: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

49 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

1. Aturan Adat

Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku dan tindakan masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari diatur oleh ketentuan adat, berupa aturan-aturan adat dan hukum adat yang berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat. Hal ini seperti yang diungkapkan Salvina (2003:91-92), bahwa ada sebuah sistem pengendalian sosial yang disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat Suku Tengger, yaitu adanya hukum adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari antara lain: 1. Tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang (kecuali untuk korban dan dimakan); 2. Tidak boleh mencuri; 3. Tidak boleh melakukan perbuatan jahat; 4. Tidak boleh berdusta; dan 5. Tidak boleh minum minuman yang memabukkan. Aturan-aturan adat tersebut juga berlaku umum di masyarakat Suku Tengger di desa yang lainnya.

Fungsi hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat adalah: 1. Memberikan keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat-istiadat Tengger yang berlaku; 2. Memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan kejahatan; 3. Mengembangkan rasa malu; dan 4. Mengembangkan rasa takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak menyimpang dari ketentuan adat.

2. Konsep Hidup

Pada kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari terdapat konsep yang menjadi landasan sikap hidup masyarakat, yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship). Berdasarkan hasil penelitian Sukari et al. (2004:47-51) konsep tryadic relationship dijelaskan sebagai berikut: 1. Konsep Tri Sandya, konsep karma pahala, dan hukum tumimbal lahir mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Tri Sandya diaplikasikan dengan melakukan sembahyang tiga kali sehari (pagi, sore, malam). Konsep karma pahala menyatakan bahwa hidup atau nasib manusia tergantung dari pahalanya, sedangkan hukum tumimbal lahir adalah hukum hidup yang harus dipatuhi, berbunyi ”Sapa nandur kebecikan bakal ngundhuh kabecikan. Sapa nandur barang ora becik bakal ngundhuh kacilakan”; 2. Sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan (saling mengunjungi), sayan (gotong-royong, saling bantu membantu) yang didasari semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten kuat (saling tolong-menolong) merupakan dasar ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia; dan 3. Sikap hidup yang menganggap lingkungan alam (air,tanah,hutan,tegalan) sebagai

Page 57: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

5050

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

sumbere panguripan mengatur hubungan manusia dengan lingkungan alam. Selain itu masih terdapat kepercayaan bahwa tanah atau pekarangan “angker”, sehingga muncul sikap tidak boleh sembarangan menebang pohon. Kecuali kalau pohon itu mengganggu lingkungan. Hubungan manusia dengan alam diwujudkan dalam suatu slogan yang berbunyi “tebang satu tanam dua”, artinya jika masyarakat menebang satu pohon, maka dia harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama

3. Kelembagaan

Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Fungsinya sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur struktur hirarki sosial dan kelompok masyarakat. Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat tertentu dapat berupa organisasi adat yang terdiri dari beberapa kelompok adat. Demikian halnya yang terdapat pada Suku Tengger Desa Ngadisari, dimana terdapat organisasi adat yang bertugas mengelola kehidupan masyarakat yaitu lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat.

Dalam konsep Hindu Tengger terdapat pengelompokan antara sistem religi yang bersumber dari ajaran ketuhanan berdasarkan agama Hindu, dengan sistem adat yang bersumber dari kepercayaan dan tradisi turun-temurun dari nenek moyang Suku Tengger. Namun demikian dalam tahap pelaksanaannya dilakukan asimilasi ajaran agama Hindu dengan ajaran adat-istiadat/kepercayaan Suku Tengger. Hal ini tercermin dari melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan berdasarkan ajaran agama Hindu, dan kepatuhan melaksanakan berbagai upacara adat.

Adanya pengelompokan kegiatan religi dan adat berpengaruh terhadap pembagian tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat, sebagai berikut:

a. Lembaga pemuka agama

Lembaga pemuka agama merupakan lembaga agama yang mewadahi ketua dan pengurus kegiatan keagamaan di Desa Wonokitri. Struktur kepengurusan Lembaga Pemuka Agama terdiri dari: 1. Mangku Gedhe, ketua agama yang bertugas mengurusi dan memimpin pelaksanaan upacara-upacara keagamaan atau mengurusi urusan-urusan yang berkaitan dengan keagamaan di Desa Ngadisari; 2. Mangku Gelar; dan 3. Mangku Alit.

b. Lembaga dukun adat

Lembaga dukun adat berfungsi sebagai lembaga adat yang mewadahi ketua dan pengurus adat. Struktur kepengurusan lembaga dukun adat terdiri dari: 1. Dukun Adat, ketua adat yang mengurusi upacara adat di Desa Ngadisari;

Page 58: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

51 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

2. Legen, bertugas untuk membuat sesajian dan mendoakan sesajian pada saat upacara adat; 3. Sanggar; dan 4. Sepuh.

Dukun, Legen, Sanggar dan Sepuh bertanggungjawab atas padanyangan (danyang), yang merupakan area yang disucikan secara adat. Selain itu peran seorang dukun adat adalah mengawasi pelaksanaan aturan-aturan adat dan hukum adat.

4. Konsep Ruang - Kepala Administrasi dan Kepala Adat (Dukun)

Hal unik yang terdapat dalam pranata kehidupan kemasyarakatan masyarakat Suku Tengger selain pembagian tugas dan fungsi antara lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat, yaitu adanya konsepsi ruang. Dimana konsep ini membagi wilayah, menjadi wilayah administrasi dan wilayah adat. Seperti desa lain pada umumnya, wilayah administrasi Desa Ngadisari dikepalai oleh seorang kepala desa. Namun yang membedakan dengan desa kebanyakan adalah, dukun/tetua adat yang berperan penting dalam memimpin wilayah adat sebagai seorang kepala adat.

Masyarakat Suku Tengger yang terbagi dalam dua wilayah adat, yakni sabrang kulon (diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan) dan sabrang wetan (diwakili oleh Desa Ngadisari, Wanantara, Jetak, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo). Kedua wilayah ini, terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing dipimpin oleh kepala adat. Dengan demikian yang menjadi batas wilayah kerja dukun adat adalah wilayah adat dan umat masyarakat yang terdapat di desa tempat ia menjabat sebagai dukun adat. Di masing-masing kabupaten terdapat dukun koordinator wilayah yang disebut Dukun Pandhita yang bertugas mengkoordinir dukun adat di wilayahnya.

Dukun adat yang berada di masing-masing wilayah desa komunitas Suku Tengger umumnya dihormati dan sangat dipercaya. Dikarenakan peranannya yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger. Secara struktural dukun adat dalam kehidupan Masyarakat Suku Tengger tergolong sebagai orang-orang terpandang, yang menjadi tokoh panutan masyarakat, dan lebih dihormati dibanding lembaga aparatur desa.

Sebagai seorang kepala adat, dukun adat memiliki fungsi spiritual dan fungsi sosial. Fungsi spiritual dukun adat yaitu memimpin upacara adat. Sedangkan fungsi sosialnya adalah sebagai mediator antara masyarakat dan urusan yang berhubungan dengan pemerintahan. Selain itu, dukun adat juga memiliki kewenangan tertentu dalam pengambilan keputusan, aturan, sanksi, atau denda sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat. Sebagai contoh kewenangan dukun adat dalam pengambilan keputusan, adalah pada waktu terjadi bencana, dukun adat berhak menentukan kapan masyarakatnya harus

Page 59: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

5252

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

mengungsi atau tetap mendiami desa.

5. Kebiasaan dan Sikap Hidup

Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul, sabit dan semacamnya. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya. Oleh sebab itu, harus membuat gubuk-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin, dari pagi hingga petang hari di ladangnya.

Suku Tengger tidak mengenal sistem buruh tani, walaupun lahan pertanian yang harus dikerjakan cukup luas. Pekerjaannya cukup dilakukan dengan cara sayan, suatu kegiatan saling membantu tanpa upah. Baik itu saat menggarap lahan pertanian sampai saat panen. Hal tersebut dilakukan, apabila pengerjaannya memerlukan tenaga kerja lebih banyak. Bahkan anak-anak dan remaja, usai pulang sekolah membantu ke sawah, baik itu milik keluarga sendiri atau keluarga tetangga terdekat.

Laki-laki dan perempuan masyarakat Suku Tengger memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengolah lahan. Sudah menjadi pemandangan yang biasa, jika ibu-ibu membawa alat-alat pestisida sambil mengendong bayinya. Sang bayi digendong didepan, sementara alat-alat pestisida ditaruh dipunggungnya. Kebersamaan dalam mengolah lahan pertanian dengan sistem sayan itu merupakan bagian dari tradisi dan nilai-nilai luhur para pendahulunya yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Sistem sayan tidak hanya terimplementasi dalam pekerjaan bercocok tanam saja, namun juga terimplementasi dalam pola kehidupan lain, seperti hajatan warga, upacara adat maupun pembangunan desa.

Sayan adalah bentuk kegotong-royongan yang telah diwarisi masyarakat Suku Tengger, sebagai satu cara untuk mempertahankan pola interaksi dan sikap peduli terhadap sesama warga masyarakat Suku Tengger. Sayan dilakukan untuk saling membantu meringankan pekerjaan dan dilakukan secara bergantian tanpa pamrih. Hal ini merupakan modal social, karena didalamnya terdapat nilai, kepercayaan dan jejaring dalam kehidupan.

Rasa taat kepada adat dan agamanya membuat kehidupan dan budaya mereka masih murni dan kukuh, tak terpengaruh oleh tata kehidupan dan budaya dari luar. Banyak hal menarik menyangkut adat dan budaya masyarakat Tengger, tentang keteguhan dan kepatuhannya dalam mempertahankan tradisi, tentang wilujengan atau upacara-upacaranya yang kompleks, unik dan sarat akan lambang-lambang terselubung penuh makna, ada yang memiliki relevansi

Page 60: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

53 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

dengan kelestarian alam dan lingkungan.

Pada umumnya masyarakat Suku Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat-istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.

Kehidupan pada masyarakat Suku Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh Petinggi (Kepala Desa) dan dipatuhi. Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayar pajak, kerja bakti dan sebagainya.

Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu:

1. Setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;

2. Setya wacana artinya setia pada ucapan;

3. Setya semàya artinya setia pada janji;

4. Setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;

5. Setya mitra artinya setia kawan.

Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat Suku Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat (patuh), tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung jawab. Contohnya, kebiasaan mereka bekerja di ladang dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore, setiap hari secara tekun. Sikap gotong-royong terlihat pula pada waktu mendirikan Ponten Ngadisari. Ponten ini adalah hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo. Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan social, tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.

Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap perkembangan. Mereka bersedia untuk menerima orang asing atau orang lain,

Page 61: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

5454

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger. Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tentram dan damai.

Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:

1. Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;2. Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;3. Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau

pemerintah;4. Prasetya berarti setya;5. Prayitna berarti waspada.

Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap kejujuran, kebijaksanaan, kepatuhan, kesetiaan dan kewaspadaan. Disamping sikap hidup tersebutm, dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya. Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan gotong-royong.

Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi. Sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.

Sikap hidup masyarakat Suku Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun.

Page 62: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

55 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur. Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup semata-mata diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).

Masyarakat Suku Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan. Harapannya anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan orangtuanya.

Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik. Terbukti mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.

6. Penganggaran

Nilai kearifan lokal yang terinternalisasi dalam proses penganggaran dapat teridentifikasi menjadi tiga yaitu nilai kepatuhan (setuhu), nilai kegotongroyongan (sayan), dan nilai kejujuran (prasaja). Nilai kepatuhan atau setuhune wong tengger diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme proses perencanaan penganggaran dan mengikuti jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan pemerintah meskipun sesungguhnya mekanisme tersebut sudah dilakukan.

Nilai kearifan lokal kegotong royongan (sayan) diwujudkan dalam implementasi pembangunan di wilayah Suku Tengger. Sepanjang peneliti melakukan observasi dan berada di lapangan, hampir semua pembangunan baik yang didanai oleh APBD maupun oleh swadaya masyarakat dilakukan secara gotong-royong. Gotong-royong dilakukan oleh semua masyarakat terutama bapak-bapak dan pemuda yang melakukan pembangunan, sedangkan ibu-ibu dan pemudi bergotong royong menyiapkan makanan dan minuman. Sikap hidup gotong-royong benar-benar membumi hampir disetiap kegiatan masyarakat Suku Tengger.

Nilai kearifan kejujuran (prasaja) diwujudkan dalam proses pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Pertanggungjawaban anggaran yang dilakukan oleh Petinggi atau Lurah pada akhir tahun, merupakan kegiatan yang tidak dilakukan oleh pemimpin desa lain. Sebagai bentuk kejujuran pemimpin kepada rakyat yang telah mempercayainya, di masyarakat Suku Tengger selalu diadakan rembug warga tengger. Kegiatan ini dilakukan, dalam

Page 63: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

5656

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

kerangka menjelaskan setiap kegiatan yang telah dilakukan selama satu tahun, serta menampung berbagai masukkan untuk kegiatan tahun berikutnya. Kegiatan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh petinggi di Suku Tengger hampir tidak dijumpai di daerah lainnya di Indonesia.

Page 64: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

57 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 4

Kepatuhan:

Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Perencanaan Pembangunan

“Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran dilakukan melalui mekanisme musrenbang. Musrenbang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten telah dilaksanakan sesuai aturan perundang-undangan. Di desa Ngadisari Suku Tengger, mereka melakukan partisipasi dalam bentuk “Rembug Desa Tengger”, sebagai wahana untuk menggali ide dan menampung usulan masyarakat. Walaupun telah berpartisipasi yang sesungguhnya, mereka tetap melakukan musrenbang di bulan januari sekedar bentuk kepatuhan kepada pemerintah.

(GW, 22 Februari 2010)

“ Dalam tradisi masyarakat Tengger ketika melaksanakan semua kegiatan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak kami selalu menentukan hari baik menurut hitungan Tengger, kami percaya bahwa dengan menghitung hari baik, semua proses akan berjalan dengan lancar....”

(S, 2 Februari 2011)

Reformasi yang bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 telah membawa perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Tuntutan terhadap penyelengaraan pemerintah yang bersih dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme semakin tinggi. Selain itu, semenjak reformasi, istilah partisipasi menjadi sangat terkenal. Sekalipun dalam metode penelitian, pendekatan partisipatif sudah berkembang sejak akhir tahun 80an. Hampir segala aktivitas pembangunan kemudian dilaksanakan dengan apa yang disebut dengan pendekatan partisipatif, pembanguan partisipatif dan segala macam hal disebut partisipatif. Bahkan karena sudah menjadi ”idola” maka pendekatan yang bottom up disebut pula dengan partisipatif.

Salah satu bentuk partisipasi dalam perencanaan penganggaran adalah menghadiri forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang dilaksanakan melalui mekanisme dan tahapan berjenjang. Diawali dari musrenbang tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat propinsi sampai dengan tingkat nasional. Musrenbang diharapkan menjadi wadah dalam menetapkan prioritas pembangunan, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dapat tercapai melalui pembangunan.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 2009 yang diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan Nomor 33 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang

Page 65: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

5858

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, selain berkewajiban melaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), pemerintah daerah berkewajiban menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Penyusunan berbagai dokumen perencanaan pembangunan di atas didasari oleh beragam landasan hukum tentang perencanaan pembangunan. Landasan hukum (legal normative) merupakan bagian yang penting dari pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sukardi (2009) menyatakan bahwa landasan hukum bukan hanya menunjukkan komitmen pemerintah untuk berbagi kekuasaan, pemikiran atau ide-ide, dan beban pekerjaan dengan warga. Tetapi landasan hukum juga mengatur prinsip, hak dan kewajiban, serta sanksi bagi yang tidak melaksanakan atau melanggar. Landasan hukum merupakan aturan main (rules of the game) yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat (stakeholders), secara konsisten baik oleh pemerintah daerah maupun oleh masyarakat, dalam kerangka pelembagaan partisipasi secara berkesinambungan. Bukan hanya sekedar “formalitas” yang menyebabkan partisipasi kehilangan makna.

Dalam konteks perencanaan pembangunan, berbagai landasan hukum di atas diharapkan menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah dalam pelibatan masyarakat untuk merencanakan pembangunan di wilayahnya. Masyarakat dianggap lebih mengerti dan paham terhadap kebutuhan pembangunan sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Adanya pelibatan masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam konteks Kabupaten Probolinggo, Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Perencanaan Pembangunan Kabupaten Probolinggo, menjadi payung bagi masyarakat Kabupaten Probolinggo untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan.

Pada bagian ini, kita akan memahami, tentang potret partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran daerah. Mulai dari musrenbang desa, musrenbang kecamatan, Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan musrenbang kabupaten, kendala partisipasi masyarakat Suku Tengger, dan Setuhune wong tengger dalam perencanaan pembangunan.

A. Potret Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan

1. Kepatuhan Suku Tengger Melaksanakan Musrenbang Desa

Musrenbang desa adalah forum musyawarah tahunan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menyepakati Rencana Kerja Pembangunan

Page 66: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

59 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Desa (RKP) tahun anggaran yang direncanakan. Pedoman teknis musrenbang desa di Kabupaten Probolinggo dituangkan dalam Surat Edaran Bupati Probolinggo yang mengatur secara rinci, aspek-aspek yang harus menjadi pedoman oleh pihak-pihak yang terlibat dalam musrenbang.

Tujuan dari pelaksanaan musrenbangdes adalah: (a) menampung dan menetapkan prioritas kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari usulan RT/RW, (b) menetapkan prioritas kegiatan desa yang akan didanai oleh APBD, (c) menetapkan prioritas kegiatan desa yang akan diajukan dan dibahas dalam musrenbang kecamatan. Musrenbangdes sesuai dengan aturan dilaksanakan di bulan Januari dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Sebagai mana gambar berikut:

Tabel 7: Jadwal Musrenbang

Bulan Musrenbang Desa

Musrenbang Kec

Forum SPKD

Musrenbang Kota/Kab

JanuariFebruariMaretApril

Pelaksanaan musrenbang desa dimulai dari penyelenggaraan “rembug warga” pada tingkat Dusun, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Rembug ini merupakan tahap persiapan yang biasanya dilakukan oleh masing-masing desa meskipun tidak ada mekanisme formal yang mengatur kegiatan ini. Dalam acara rembug ini, semua warga secara individual mempunyai hak yang sama untuk hadir dalam menyampaikan aspirasinya. Artinya, rembug warga merupakan refleksi dari aspirasi warga yang belum terkontaminasi oleh kepentingan penguasa. Usulan pada saat rembug warga dari tingkat Dusun, RT, dan RW menjadi bahan usulan pada saat musrenbang desa.

Untuk menganalisis apakah nilai kearifan lokal yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, yaitu kepatuhan, kegotong royongan dan kejujuran, penulis melakukan tahapan analisis kedua yaitu mengikuti proses perencanaan penganggaran baik formal maupun informal dengan cara menghadiri forum, melakukan wawancara dan melakukan pengamatan disetiap proses perencanaan penganggaran. Hasil kutipan diskusi dengan Bapak Supoyo selaku Petinggi Tengger pada tanggal 31 Desember 2010 seperti disampaikan dalam kutipan berikut.

Page 67: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

6060

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Peneliti : Pak Inggi, musrenbang desa sini kapan ya pak? Apa sudah ?Petinggi : Belum bu yang formal, dalam waktu dekat ini, nanti saya

kabari ya. Tapi Bulan Desember kemarin ada acara rembug warga Tengger, yang hampir di hadiri oleh seluruh masyarakat Tengger

Peneliti : Owh gitu, rembug warga tengger tujuannya untuk apa pak?Petinggi : Rembug Warga Tengger dilakukan untuk mempertanggung-

jawabkan seluruh kegiatan selama satu tahun sekaligus fo-rum untuk mengusulkan pembangunan.

Peneliti : Berarti sudah musyawarah ya pak, tetapi apa musrenbang yg sesuai aturan tetap dilakukan.

Petinggi : Iya bu, masyarakat tengger patuh sama pemerintah, jadi meskipun informalnya sudah musyawarah, formalnya tetap dilakukan.

Dari kutipan hasil wawancara di atas ungkapan indeksikalitas tentang kepatuhan secara eksplisit disampaikan oleh Petinggi. Makna dari ungkapan ini adalah bahwa nilai kearifan lokal kepatuhan terinternalisasi dalam proses perencanaan pembangunan. Makna refleksivitas dari ungkapan “...Tapi Bulan Desember kemarin ada acara rembug warga Tengger, yang hampir dihadiri oleh seluruh masyarakat Tengger...” menunjukkan bahwa hampir seluruh warga tengger hadir. Hal ini membuktikan nilai kepatuhan terhadap undangan rapat yang disampaikan oleh Petinggi. Jadi nilai kearifan lokal kepatuhan terbentuk karena masyarakat Suku Tengger patuh kepada pemimpin dan pemerintah.

Pada tanggal 7 Februari 2010, peneliti kembali ke Desa Ngadisari dan didapatkan Informasi dari Bapak Santoso Seksi Kaur Pemerintahan Desa Ngadisari, bahwa pelaksanaan musrenbang Desa Ngadisari telah dilakukan pada tanggal 4 Februari 2010. Informasi ini didapatkan ketika datang ke Balai Desa Ngadisari dan selanjutnya peneliti meminta foto kopi tentang usulan hasil musrenbang.

Sebagaimana desa-desa lainnya di Indonesia, usulan rencana/proyek pembangunan di Desa Ngadisari di bagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang fisik prasarana, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya. Berikut adalah hasil rekap usulan musrenbang Desa Ngadisari pada tahun 2010.

Tabel 8: Rekapitulasi Usulan Rencana Pembangunan Bidang Fisik dan Prasarana

No Pembangunan APBD Swadaya 1 Perbaikan gang desa 21.000.000 1.000.000 2 Balai bina adat 80.000.000 15.000.000

Page 68: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

61 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

3 Paving Pura Tunggal Jati 35.690.000 6.100.000 4 Pengaspalan jalan 165.600.000 7.500.000 5 Pembuatan drainase 153.000.000 10.000.000 6 Pengerasan jalan 330.000.000 10.500.000 7 Plengsengan 70.000.000 5.000.000

855.290.000 55.100.000 Sumber: Musrenbang Ngadisari, 4 Februari 2010

Tabel 9: Rekapitulasi Usulan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi dan KeuanganNo Pembangunan APBD Swadaya

1 Pasar Desa 57.000.000 10.000.000 2 Peralatan Sablon 30.000.000 2.500.000 3 Bibit akasia 10.000.000 2.000.000 4 Bibit cemara 30.000.000 6.000.000 5 Bibit kentang 100.000.000 6 Bibit jagung 70.000.000

297.000.000 20.500.000 Sumber: Musrenbang Ngadisari, 4 Februari 2010

Tabel 10: Rekapitulasi Usulan Rencana Pembangunan Bidang Sosbud No Pembangunan APBD Swadaya

1 Sanggar tari 150.000.000 30.000.000 2 Musium budaya tengger 100.000.000 3 Balai bina umat 80.000.000 15.000.000

330.000.000 45.000.000 Sumber: Musrenbang Ngadisari, 4 Februari 2010

Berdasarkan ketiga tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa jumlah usulan musrenbang Desa Ngadisari bidang fisik dan prasarana sebesar Rp. 855.290.000 akan didanai APBD dan Rp. 55.100.100 didanai oleh swadaya masyarakat. Sedangkan untuk bidang ekonomi dan keuangan usulannya sebesar Rp. 297.000.000 didanai oleh APBD dan Rp. 20.500.000 akan didanai oleh swadaya masyarakat. Sementara untuk bidang sosial budaya (sosbud) usulannya sebesar Rp. 330.000.000 akan didanai oleh APBD dan Rp. 45.000.000 didanai oleh swadaya masyarakat. Sehingga total usualan

Page 69: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

6262

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

dana APBD untuk pembangunan di desa Ngadisari pada tahun 2011 sebesar Rp. 1.602.890.000 yang terdiri dari usulan dengan dana APBD sebesar Rp. 1.482.290.000 dan dana swadaya masyarakat sebesar Rp. 120.600.000.

Berdasarkan informasi dari Bapak Santoso jumlah usulan pembangunan di Desa Tengger setiap tahunnya bertambah. Rata-rata 10% dari tahun sebelumnya, dan rata-rata pembangunan didanai oleh dana swadaya dari masyarakat juga sebesar 10%.

Malam harinya peneliti bertandang ke rumah Pak Santoso untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang musrenbang desa. Saya diterima di dapur sambil menghangatkan badan karena hawa begitu dingin. Ibu Santoso-pun membuatkan kopi untuk saya. Berikut kutipan hasil wawancara dengan Pak Santoso pada tanggal 7 Februari 2010 di rumah pak santoso

Peneliti : Pak akhirnya musrenbang desa jadinya kapan?

Santoso : Tanggal 4 Februari 2010, sedikit terlambat bu, karena banyak kegiatan.

Peneliti : Oo...usulannya banyak ya pak? Kalau dibandingkan tahun sebelumnya gimana?

Santoso : Ya... naik bu.. sedikit... rata-rata 10%, dana swadaya juga 10% dari total yang dianggarkan.

Peneliti : Apa gak tergantung kebutuhan desa pak? Kenapa naiknya Cuma 10%?

Santoso : Kalau ngomong kebutuhan ya banyak bu...tapi dana pemerintah kan terbatas, ya kita manut aja dengan anggaran yang ada..

Peneliti : Pernah gak pak, ada masyarakat yang protes karena usulannya gak didanai,

Santoso : Gak pernah bu, warga sini patuh sama pak inggi dan pemerintah.

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, beberapa indeksikalitas kepatuhan secara eksplisit mempengaruhi masyarakat Suku Tengger ketika mereka merencanakan pembangunan. Kata kepatuhan terungkap dengan bahasa “manut”, yang maknanya sama bahwa orang tengger meskipun mempunyai usulan yang banyak tetapi menyadari bahwa adanya keterbatasan anggaran. Maka Suku Tengger tidak pernah protes ketika usulannya tidak diterima. Secara refleksif juga terungkap bahwa data historis juga mempengaruhi mereka ketika membuat usulan anggaran seperti dalam ungkapan “Ya...naik bu..sedikit...rata-rata 10%, dana swadaya juga 10% dari total yang dianggarkan”.

Untuk mengetahui keterlibatan perempuan Tengger dalam perencanaan pembangunan, peneliti juga melakukan wawancara dengan ibu Inggi (Istri

Page 70: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

63 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Pak Supoyo selaku Petinggi) dan Ibu Sri yang merupakan pengurus PKK dan berprofesi sebagai guru SMP. Berikut hasil kutipan wawancara dengan ibu-ibu PKK.

“ Ibu-ibu di desa sini rajin mengikuti kegiatan PKK di Balai Desa Ngadisari, acara PKK yang rutin setiap bulan kegiatan utamanya adalah arisan. Selain itu biasanya ada informasi dari PKK kecamatan. Peran ibu-ibu yang dalam kegiatan desa adalah menyediakan sesajen (sandingan) jika ada upacara adat...” (IP, 31 Des 2010)

“...terkait dengan usulan pembangunan, biasanya Ibu-Ibu juga mengusulkan program yang terkait dengan pemberdayaan perempuan dan diajukan dalam rapat musrenbang desa. Kalau usulannya di danai, ya kita senang.....tapi biasanya hanya sedikit usulan yang didanai, tetapi kita juga gak pernah protes, gak ilok (tidak sopan)...”

Berdasarkan kutipan wawancara dengan Ibu-Ibu PKK masyarakat Suku Tengger, indeksikalitas kepatuhan secara implisit terdapat dalam kata-kata “Kalau usulannya didanai, ya kita senang.....tapi biasanya hanya sedikit usulan yang didanai, tetapi kita juga gak pernah protes, gak ilok (tidak sopan)...”. Kata ga’ ilok (tidak sopan) maknanya sama bahwa orang tengger patuh terhadap pemerintah dan petinggi dengan tidak melakukan protes ketika usulannya tidak diterima. Secara refleksif juga terungkap bahwa “Ibu-ibu di desa sini rajin mengikuti kegiatan PKK di Balai Desa Ngadisari..” menunjukkan bahwa Ibu-Ibu patuh dan hormat dengan pemerintah dan petinggi Suku Tengger.

2. Musrenbang Kecamatan Sukapura – Hanya Sebatas Formalitas

Setelah proses musrenbang desa, maka tahapan perencanaan selanjutnya adalah musrenbang kecamatan. Musrenbang kecamatan merupakan forum stakeholder tingkat kecamatan untuk mendapatkan masukan prioritas kegiatan dari desa/kelurahan, serta menyepakati kegiatan di kecamatan tersebut, sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota pada tahun berikutnya.

Tujuan dari pelaksanaan musrenbang kecamatan adalah: (a) membahas dan menyepakati hasil-hasil musrenbangdes yang akan menjadi prioritas kegiatan pembangunan di tingkat kecamatan yang bersangkutan, (b) membahas dan menetapkan prioritas kegiatan pembangunan di tingkat kecamatan yang belum terakomodir dalam prioritas kegiatan pembangunan desa, dan (c) melakukan klasifikasi atas prioritas kegiatan pembangunan kecamatan sesuai dengan fungsi-fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten.

Selain tujuan yang telah disebutkan di atas forum musrenbangcam merupakan wahana untuk menyamakan persepsi, membangun komitmen bersama, memodernisasikan usulan-usulan program/kegiatan hasil

Page 71: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

6464

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

musrenbangdes, serta memadukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan. Sehingga akan menghasilkan suatu kesepakatan mengenai rencana program/kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan desa sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan.

Ditinjau dari aspek masukan, musrenbang kecamatan bersumber dari tiga masukan, yaitu desa, kecamatan dan kabupaten. Masukan dari desa adalah daftar usulan prioritas kegiatan masing-masing desa. Masukan dari kecamatan adalah profil wilayah kecamatan yang berisi potensi pemasalahan kecamatan. Masukan dari Kabupaten adalah prioritas pembangunan daerah untuk tahun mendatang. Selain masukan tersebut di atas, masukan dalam musrenbangcam lainnya adalah daftar nama anggota delegasi desa, LSM, ormas, dan jumlah forum SKPD yang telah di tentukan oleh bappeda.

Berdasarkan hasil obeservasi pada saat musrenbang kecamatan Sukapura yang dilaksanakan pada tanggal 22 Februari 2010, disimpulkan bahwa kelengkapan dokumen masukan dari Kecamatan Sukapura adalah lengkap. Kecuali prioritas kegiatan pembangunan daerah untuk tahun mendatang, yang dirinci berdasarkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) beserta rencana pendanaannya di kecamatan tersebut.

Tabel berikut adalah rekapitulasi usulan musrenbang kecamatan Sukapura tahun 2010 yang jumlahnya sebesar Rp. 20.590.310.000, terdiri dari tiga bidang yaitu bidang fisik dan prasarana sebesar Rp.7.140.000.000, bidang ekonomi dan keuangan sebesar Rp.3.930.310.000, serta bidang sosial budaya sebesar Rp. 9.520.000.000.

Kecamatan Sukapura terdiri dari 12 (dua belas) Desa dan salah satunya adalah desa Ngadisari. Dari total usulan kecamatan Sukapura, sejumlah Rp. 1.602.890.000 atau kurang lebih 8% nya adalah usulan dari Desa Ngadisari yaitu sebesar Rp. 1.602.890.000.

Tabel 11: Rekapitulasi Usulan Musrenbang Kecamatan Sukapura

No Bidang Usulan1 Fisik dan Prasarana Rp. 7.140.000.0002 Ekonomi dan keuangan Rp. 3.930.310.0003 Sosial Budaya Rp. 9.520.000.000

Rp.20.590.310.000Sumber: Musrenbang Kecamatan Sukapura, Tanggal 22 Februari 2010

Page 72: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

65 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Ditinjau dari aspek mekanisme, proses penyelenggaraan musrenbang kecamatan sepenuhnya tanggung jawab camat. Dimulai dari pembentukan tim penyelenggara melalui surat keputusan Camat. Tugas dari tim penyelenggara musrenbangkec adalah: (a) mengkompilasi prioritas kegiatan pembangunan berdasarkan fungsi dan tanggung jawab SKPD dari masing-masing desa, (b) menyusun jadwal dan agenda musrenbangcam, (c) mengumumkan jadwal, agenda, dan tempat penyelenggaraan musrenbang (minimal 7 hari sebelum kegiatan dilakukan), (d) mengundang peserta musrenbang, (e) menyiapkan peralatan dan bahan serta notulensi.

Tabel 12: Keanggotaan Penyelenggaraan Musrenbang Kecamatan Sukapura

No Jabatan Unsur Jumlah (orang)1 Penanggungjawab Camat 12 Ketua Kasi Pembangunan 13 Sekertaris Sekcam 14 Anggota Kasi kecamatan 3-55 Bendahara Staf Kecamatan 16 Pudekdok Staf Kecamatan 27 Admin Staf Kecamatan 28 Konsumsi PKK Kecamatan 5

Dari tabel di atas terlihat bahwa keanggotaan tim penyelenggaran musrenbang kecamatan didominasi oleh pihak kecamatan. Hal ini sedikit berbeda dengan penyelenggaraan musrenbang desa dimana ruang partisipasi masyarakat lebih luas. Di tingkat musrenbang kecamatan peran dari masyarakat diposisikan hanya sebagai peserta. Hasil dari wawancara dengan pihak kecamatan alasannya untuk memudahkan jika dilakukan koordinasi sehingga lebih efisien soal waktu dan biaya. Hal ini menyebabkan tidak ada proses pembelajaran bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keberdayaannya.

Sukses dan tidaknya penyelenggaraan musrenbang kecamatan ditentukan oleh kinerja tim penyelenggara musrenbang (TPM) kecamatan, dalam memfasilitasi proses pelaksanaan, agar kegiatan musrenbang kecamatan berjalan secara demokratis, partisipatif, transparan, efisien dan efektif. Sayangnya, fungsi fasilitator ini banyak tereduksi sedemikian rupa, sehingga lebih pada penanganan unsur-unsur yang bersifat administratif. TMP yang hanya di SK kan untuk setahun hanya bertanggungjawab dalam

Page 73: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

6666

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

penyelenggaraan musrenbang tahun tersebut. Sehingga pelembagaan musrenbang kecamatan sebagai salah satu mata rantai dalam mekanisme perencanaan tampaknya belum bisa diharapkan sebagai pelembagaan partisipasi publik. Permasalahan ini dapat dipertimbangkan untuk membuat desain penyelenggaraan musrenbang yang “melembaga” sebagai salah satu media pelembagaan partisipasi publik.

Kalau dibandingkan dengan penyelenggaraan musrenbang Desa Ngadisari, nilai kearifan lokal “kepatuhan” tidak begitu nampak, karena keanggotaan TMP didominasi oleh birokrasi dari kecamatan. Peserta yang mengikuti Musrenbang kecamatan berasal dari masing-masing perwakilan desa di 12 desa yang jumlahnya 5 orang (minimal 1 orang harus perempuan). Peserta dari masing-masing desa berjuang untuk mengusulkan pembangunan di masing-masing desanya.

Berdasarkan jadwal dan agenda, pelaksanaan musrenbang kecamatan seharusnya adalah dua hari. Dimana hari pertama adalah acara seremonial dan penyampaian usulan program dan kegiatan dari masing-masing desa. Sedangkan hari kedua difokuskan kepada diskusi yang membahas prioritas program dan kegiatan sesuai dengan kelompok bidang, yaitu bidang sarana dan prasarana, bidang sosial dan budaya, dan bidang ekonomi. Namun hasil pengamatan peneliti, ternyata pelaksanaan musrenbang kecamatan hanya dilakukan sehari dengan pertimbangan lebih efsien dan efektif. Hal ini seperti yang disampaikan oleh beberapa peserta musrenbang kecamatan sebagai berikut.

“Musrenbang kecamatan mestinya dilakukan dua hari sesuai jadwal, tetapi pada faktanya, peserta menginginkan di padatkan menjadi satu hari saja. Alasannya biar lebih efektif dan efisien, sebagai penyelenggaraan ditingkat kecamatan ya kita manut saja...” (S, 22 Februari 2010)

Menurut saya tidak ada masalah jika musrenbang yang mestinya dilakukan dua hari dijadikan satu hari yang penting outputnya selesai dan bagus. Yang penting hal ini sudah menjadi kesepakatan antara panitia penyelenggara dengan peserta. (A, 22 Februari 2010).

Berbeda pendapat dengan apa yang disampaikan oleh peserta dari pihak pemerintah, salah satu fasilitator musrenbang dan peserta dari perwakilan masyarakat menyatakan bahwa proses perencanaan yang dilakukan secara tergesa-gesa dan maraton dapat menghasilkan perencanaan yang kurang berkualitas. Meskipun tidak ada jaminan kalau perencanaan yang dilakukan lebih lama akan menghasilkan kualitas perencanaan yang lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam pernyataannya sebagai berikut.

Page 74: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

67 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

“Sebagai fasilitator sebenarnya saya keberatan kalau pelaksanaan musrenbang yang mestinya dilakukan dua hari dipadatkan menjadi satu hari dengan alasan lebih efisien dan efektif. Dapat dipastikan kalau perencanaan yang dilakukan dalam waktu yang pendek dan dilakukan dengan tergesa-gesa akan menghasilkan keputusan yang kurang berkualitas...” (GS, 22 Februari 2010)

“Sebagai perwakilan masyarakat dari tokoh perempuan, saya sih tidak keberatan kalau musrenbang dilakukan satu hari yang penting output selesai semua. Tetapi memang, saya juga meragukan kualitas perencanaan yang dihasilkan secara singkat karena waktu untuk berdiskusi hanya sebentar apalagi pemahaman kami sebagai masyarakat awam masih rendah...” (S, 22 Februari 2010)

Berdasarkan hasil pengamatan, keterlibatan peneliti dalam proses musrenbang kecamatan dan juga hasil dari wawancara dengan berbagai peserta menunjukkan fakta bahwa penyelenggaraan musrenbang kecamatan terkesan hanya sekedar “formalitas”, untuk memenuhi mekanisme perencanaan pembangunan. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan Musrenbang Desa Ngadisari, dimana prosesnya tidak hanya sekedar partisipasi semu, tetapi diikuti oleh partisipasi sesungguhnya, yang dilakukan secara informal.

Berkaitan dengan pelaksanaan musrenbang kecamatan yang hanya satu hari, peneliti juga mengkonfirmasi dengan camat sebagai penanggungjawab kegiatan. Dalam wawancara dengan camat diketahui bahwa biaya penyelenggaraan musrenbang kecamatan dibebankan pada anggaran kecamatan, dengan jumlah yang sangat minim. Berikut petikan hasil wawancara dengan camat.

“Biaya penyelenggaraan musrenbang kecamatan dibebankan pada anggaran kecamatan yang minim dan hanya cukup untuk konsumsi dan snack saja. Jadi kalau dijadikan sehari tanpa mengurangi kualitas perencanaan, uang konsumsi peserta bisa dijadikan sedikit uang transpot...”(H, 22 Februari 2010)

Sementara kalau dilihat dari proses dinamika peserta rapat, hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa musrenbang kecamatan berjalan demokratis, partisipatif dan transparan. Semua peserta diberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapatnya. Namun kesempatan yang ada lebih banyak digunakan oleh pihak SKPD. Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa peran SKPD yang lebih dominan dalam forum, disebabkan pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dalam mengikuti proses perencanaan pembangunan. Sementara masyarakat yang aktif hanya beberapa, karena minimnya pengetahuan dan kurangnya sosialisasi musrenbang. Dominannya peran SKPD memunculkan ego sektoral untuk menggolkan usulan masing-masing SKPD sesuai dengan bidang yang ditanganinya.

Page 75: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

6868

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Persoalan lain yang juga ditemukan dalam praktek penyelenggaraan musrenbang kecamatan adalah tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban terhadap usulan masyarakat (hasil musrenbangdes) yang ditolak dalam musrenbang kecamatan, secara tertulis. Akibatnya setiap penyelenggaraan musrenbang kecamatan tidak diketahui berapa banyak daftar usulan dari masyarakat yang ditolak, yang direvisi, dan berapa banyak usulan baru yang diterima. Perihal ini merupakan persoalan penting yang mestinya menjadi perhatian kita bersama, agar dibuatkan mekanisme pertanggungjawaban terhadap usualan dari musrenbangdes. Sehingga semua dokumentasi tentang penyelenggaraan musrenbang lengkap. Oleh karena itu diperlukan “pelembagaan partisipatif” yang mengatur tentang hal ini.

Ditinjau dari aspek keluaran, musrenbang kecamatan akan menghasilkan dokumen masukan bagi forum SKPD dan musrenbang kabupaten. Beberapa dokumen yang dihasilkan diantaranya; (a) daftar rekapitulasi prioritas kegiatan, (b) daftar delegasi kecamatan, (c) dokumen perencanaan yang dirinci berdasarkan kelompok bidang SKPD. Untuk menyusun berbagai dokumen tersebut dibutuhkan keahlian, ketrampilan serta pengalaman terutama terkait dengan berapa jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu program dan kegiatan. Pertanyaan besarnya, mungkinkah masyarakat umum mampu berpartisipasi menyelesaikan dokumen ini?. Jawabannya, mungkin mampu atau hanya “pasrah” pada tim penyelenggara. Sepanjang masyarakat tidak ditingkatkan kemampuan dan keberdayaannya maka yang terjadi adalah hanya “partisipasi semu” yang hanya memenuhi prosedur formalitas perencanaan pembangunan.

Temuan dalam penyelenggaraan musrenbang dikelompokkan dalam beberapa aspek diantaranya aspek masukan, aspek mekanisme dan aspek keluaran.

Terkait dengan aspek mekanisme dalam musrenbang, ada beberapa temuan yang menjadi perhatian penulis yaitu, (a) dominasi peran dari pemerintah karena sedikitnya delegasi dari masyarakat, (b), tidak ada kriteria atau mekanisme penentuan prioritas usulan, akibatnya argumentasi yang lebih kuat dalam forum musrenbang yang dijadikan sebagai dasar penentuan prioritas, dan (c) tidak ada mekanisme tertulis terhadap usulan desa yang ditolak termasuk alasan-alasannya, akibatnya tidak ada dokumen historis atas usulan-usulan yang pernah diajukan.

Sementara berkaitan dengan aspek keluaran musrenbang, beberapa temuan yang menjadi perhatian peneliti adalah; (a) tidak adanya dokumen perencaan historis menyebabkan terjadi pengulangan-pengulangan usulan tahun sebelumnya, (b) ketiadaan dokumen historis tersebut menyebabkan substansi partisipasi, transparansi dan akuntabilitas kehilangan makna, (3) belum ada sistem yang mempermudah aktivitas perencanaan baik di tingkat

Page 76: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

69 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

desa, kecamatan dan kabupaten.

3. Forum Sinkronisasi Kecamatan dan SKPD Kabupaten Probolinggo – Dominasi Birokrasi

Forum SKPD merupakan forum yang sangat strategis untuk mempertemukan berbagai pelaku pembangunan dan mempertemukan proses perencanaan dengan penganggaran. Forum ini membahas prioritas kegiatan pembangunan hasil musrenbang kecamatan dengan gabungan SKPD untuk penyusunan renja SKPD.

Tujuan Forum SKPD diantaranya: (a) mensinkronkan prioritas kegiatan pembangunan dari berbagai kecamatan dengan Renja SKPD, (b) menetapkan prioritas kegiatan yang akan di muat dalam Renja SKPD, (c) menyesuaikan prioritas Renja SKPD dengan plafon/pagu dana SKPD, dan (d) mengidentifikasi keefektifan berbagai regulasi yang berkaitan dengan fungsi SKPD untuk mendukung terlaksananya Renja SKPD.

Berdasarkan aspek masukan, penyelenggaraan forum SKPD seharusnya diperkaya dengan berbagai informasi terkait dengan prioritas pembangunan di tingkat propinsi dan nasional. Selain itu materi masukan dari pemerintah kabupaten, seperti Renstra SKPD, Renja SKPD sulit dipenuhi sehingga terjadi banyak pengulangan program setiap tahunnya. Dalam forum SKPD keterlibatan masyarakat sangat dibatasi karena tidak ada delegasi atau undangan formal untuk masyarakat. Peserta di dominasi dari unsur pemerintah dan birokrat.

Berdasarkan aspek mekanisme Forum SKPD, dapat dilihat bahwa Tugas Tim Penyelenggara Forum SKPD cukup berat, karena harus mengkompilasi daftar usulan kegiatan dan Renja Kecamatan. Selain itu, TPF SKPD harus memperkirakan setiap biaya yang diusulkan. Tugas ini membutuhkan waktu yang lama dan kemampuan teknis yang memadai.

Sementara berdasarkan aspek keluaran, dapat dilihat bahwa tidak adanya dokumen perencanaan membuat usulan-usulan dari masyarakat baik yang diterima maupun ditolak sebagai bentuk akuntabilitas vertikal maupun horizontal kepada stakeholders. Terkesan ada asimetri informasi tentang prioritas pembangunan dan penganggaran sebagai akibat tidak sinkronnya jadwal perencanaan masing-masing bidang.

Selama penulis mengikuti proses forum SKPD, nilai kearifan lokal kepatuhan tidak nampak lagi dalam proses ini. Masyarakat sudah tidak terlibat lagi dalam kegiatan ini dan dokumen hasil forum SKPD hanya dibagikan kepada delegasi kecamatan. Sementara delegasi dari desa tidak mendapatkan tembusan sehingga tidak dapat mengkonfirmasi usulan program yang diajukan.

Page 77: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

7070

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

4. Musrenbang Kabupaten Probolinggo: Pertemuan Multi Stakeholders – Dominasi Pejabat

Musrenbang Kabupaten (musrenbangkab) merupakan forum yang sangat strategis dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Dari sisi proses berfungsi mengingkatkan konsistensi dan sinkronisasi di antara pelaku pembangunan, atas berbagai dokumen perencanaan yang telah di susun. Dari sisi penganggaran, berfungsi untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen diantara para pelaku pembangunan yang membutuhkan pembiayaan pembangunan. Forum musrenbang di tingkat kabupaten ini mematangkan rancangan RKPD kabupaten berdasarkan Renja SKPD yang merupakan hasil Forum SKPD.

Tujuan pelaksanaan Musrenbangkab adalah: (a) mendapatkan masukan untuk penyempurnaan RKPD yang membuat prioritas pembangunan, pagu indikatif pendanaan berdasarkan fungsi SKPD dan sumber pendanaan, (b) mendapatkan rincian rancangan awal RKA SKPD, khususnya yang berhubungan dengan pembangunan, (c) mendapatkan rincian rancangan awal kerangka regulasi menurut SKPD yang berhubungan dengan pembangunan.

Materi masukan dalam musrenbangkab yang disiapkan oleh pemerintah kabupaten (bappeda) diantaranya: (a) Dokumen perencanaan pembangunan tingkat nasional maupun tingkat propinsi jawa timur, (b) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Probolinggo Tahun 2005-2025, (c) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Probolinggo Tahun 2008-2013, (d) Draft Rancangan awal RKPD Kabupaten Probolinggo Tahun 2011, (e) Draft Rancangan Renja SKPD Tahun 2011.

Renja SKPD membuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran yang telah dipilah berdasarkan sumber pendanaan baik APBD Kabupaten, APBD Propinsi, APBN, maupun sumber pendanaan dari pihak lainnya. Sedangkan materi dari pihak kecamatan diantaranya prioritas hasil musrenbang kecamatan tahun 2011 yang memerlukan dukungan dana dari APBD tahun 2011.

Penyelenggaraan musrenbangkab di bawah tanggung jawab Bappeda. Tim penyelenggara musrenbangkab disusun berdasarkan surat keputusan bupati yang didominasi oleh unsur pejabat. Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan musrenbang dibatasi melalui sistem delegasi.

Musrenbang Kabupaten Probolinggo Tahun 2011 dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2010 yang mengusung tema “Peningkatan ketersediaan bahan pangan bagi masyarakat dengan didukung oleh peningkatan produksi hasil pertanian/perkebunan, peternakan dan perikanan serta perkuatan ekonomi sektor riil, investasi dan infrastruktur daerah”. Tema yang mengusung sektor pertanian merupakan bagian dari upaya pemerintah pusat yang berkomitmen

Page 78: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

71 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

pada ketahanan pangan, dengan didukung oleh peningkatan bidang pertanian dan ekonomi sektor riil.

Kegiatan Musrenbang Kabupaten Probolinggo Tahun 2011 meliputi sidang pleno dan sidang kelompok. Sidang pleno meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Pengarahan dan pembukaan oleh Bupati Probolinggo.

2. Sambutan oleh Kepala Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Malang.

3. Penjelasan pokok-pokok pikiran DPRD oleh ketua DPRD Kabupaten Probolinggo.

4. Paparan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Probolinggo tentang Rancangan Awal RKPD Tahun 2011.

Sidang kelompok meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut;

1. Paparan oleh masing-masing kepala SKPD tentang prioritas arah kebijakan dan isu-isu prioritas pembangunan masing-masing bidang

2. Pembahasan kesesuaian usulan prioritas kegiatan SKPD dengan usulan hasil musrenbang kecamatan, dalam rangka perbaikan rancangan awal RKPD menjadi rancangan akhir RKPD tahun 2011.

3. Penetapan program dan kegiatan SKPD yang didanai oleh APBD Kabupaten Probolinggo tahun 2011 sesuai pagu indikatif anggaran belanja langsung yang tercantum dalam rancangan awal tahun 2011

4. Pembahasan usulan program dan kegiatan yang didanai APBD propinsi dan APBN.

Terakhir pembagian kelompok dilakukan menurut bidang dan prioritas pembangunan yaitu:

1. Bidang fisik dan prasarana, diskusi dilaksanakan di ruang pertemuan Bentar, difasilitasi oleh Asisten pembangunan Sekertaris Daerah Kabupaten Probolinggo dan fasilitator perencana pembangunan bidang prasarana.

2. Bidang ekonomi dan keuangan, diskusi dilaksanakan di ruang pertemuan Bappeda, difasilitasi Asisten Administrasi Sekertaris Daerah Kabupaten Probolinggo, didampingi kepala bidang ekonomi bappeda Kabupaten Probolinggo dan fasilitator perencana pembangunan bidang ekonomi.

3. Bidang sosial budaya dan pemerintah, diskusi dilaksanakan di ruang pertemuan Tengger, difasilitasi oleh Asisten Tata Praja, Sekretaris Daerah Kabupaten Probolinggo didampingi Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda

Page 79: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

7272

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Kabupaten Probolinggo dan Fasilitator Perencanaan Pembangunan Bidang Sosbud.

Berdasarkan hasil pengamatan dan keterlibatan penulis dalam proses musrenbang kabupaten, nampak bahwa partisipasi masyarakat sangat dibatasi oleh aturan delegasi. Setiap kecamatan hanya mengusulkan wakilnya sejumlah 5 orang yang bertugas untuk memperjuangkan program dan kegiatan yang diusulkan di masing-masing kecamatan tersebut. Jadi, dalam kontek kearifan lokal kepatuhan, nilai tersebut semakin berkurang maknanya (bahkan hilang) seiring dengan proses perencanaan yang lebih tinggi, yaitu musrenbang kecamatan, forum SKPD dan terakhir musrenbang kabupaten.

B. Kendala Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Penganggaran: Sebuah Persoalan Bersama

Secara umum pelaksanaan musrenbang desa di wilayah Kabupaten Probolinggo lebih partisipatif, setelah adanya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan. Pada saat pelaksanaan musrenbang desa, masyarakat dapat mengusulkan pembangunan sesuai dengan kebutuhan di wilayahnya. Sehingga musrenbang menghasilkan rumusan kegiatan prioritas yang secara substansi lebih memihak pada kepentingan masyarakat. Apabila keseluruhan proses perencanaan dan penganggaran dilakukan secara integratif, terbuka dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi masyarakat, maka APBD setidaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terutama jika implementasi dan pengawasannya juga berjalan dengan baik. Sebagaimana pernyataan Kepala Bappeda Kabupaten Probolinggo:

“Proses penyusunan APBD di Kabupaten Probolinggo relatif lebih partisipatif setelah keluarnya Perda 13 Tahun 2008 Tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Perencanaan Pembangunan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan adalah dengan menghadiri Musrenbang Desa. Saya berharap dengan masyarakat menghadiri musrenbang, pembangunan di wilayahnya akan lebih bermanfaat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, meskipun masih banyak kendala dalam penyelenggaraan musrenbang”4 (T, 22 Maret 2010)

Berhasil tidaknya usulan program yang merupakan hasil dari pelaksanaan partisipasi masyarakat sangat tergantung pada proses pengawalan mulai dari musrenbang kelurahan/desa, kecamatan sampai pada musrenbang tingkat kota/kabupaten. Di lapangan, mekanisme musrenbang sebagai salah satu wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan

4 Wawancara dengan Kepala Bappeda Tanggal 22 Maret 2010, sesaat setelah forum SKPD Bidang Ekonomi yang dilaksanakan di ruang sidang Bappeda Kabu-paten Probolinggo.

Page 80: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

73 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

APBD masih banyak mengalami kendala, sehingga tampak bahwa proses musrenbang hanya sekedar formalitas. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan fasilitator pembangunan Kabupaten Probolinggo sebagai berikut:

Terdapat beberapa desa di Kabupaten Probolinggo yang tidak melakukan proses Musrenbang sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan. Alasannya, disamping tidak ada anggaran dari pemerintah desa, proses musrenbang hanya formalitas belaka. Karena pada kenyataannya, usulan program yang akan dibiayai sangat sedikit yang terealisasi5. (S, 23 Maret 2010)

Permasalahan yang terkait proses perencanaan pembangunan merupakan persoalan bersama dan hampir terjadi diseluruh kota/kab di Indonesia.

Temuan yang berbeda di Suku Tengger adalah mereka melakukan mekanisme partisipasi informal, yang tidak dilakukan oleh masyarakat desa lain di Indonesia. Partisipasi informal tersebut dilakukan pada bulan Desember bersamaan dengan laporan pertanggungjawaban Petinggi kepada masyarakat Tengger yang disebut “Rembug Desa Tengger”.

Rembug Desa tengger menginspirasi penulis, agar pemerintah dalam membuat berbagai aturan untuk memperhatikan nilai kearifan lokal. Menurut pengamatan penulis kelangkaan inovasi dalam praktik penganggaran daerah merupakan persoalan bersama yang memiliki banyak akar.

1. Eksekutif dan legislatif sengaja membatasi partisipasi tidak langsung yang tidak memiliki konsekuensi mengikat mereka (no binding)

Di tingkat eksekutif dan legislatif terdapat anggapan bahwa partisipasi tidak langsung yang tidak memiliki konsekuensi mengikat mereka (no binding) adalah cukup. Anggapan ini hidup berdampingan dengan anggapan bahwa politik representasi melalui partai politik di DPRD sudah memadai, kendatipun banyak kasus menujukkan terjadinya diskoneksi antara partai politik maupun politikus di DPRD dengan pemilihnya.

Munculnya respon publik yang negatif terhadap kebijakan anggaran daerah, terutama menyangkut besaran insentif bagi anggota DPRD membuktikan hal itu. Bukti-bukti tersebut akan sangat panjang jika ditambah kasus-kasus penyelewengan dan korupsi anggaran daerah, baik yang sudah terbukti secara hukum maupun yang baru dicurigai kejadiannya.

Sementara itu di lingkungan eksekutif, partisipasi secara langsung dalam penganggaran dianggap tidak efisien. Anggapan ini sangat mungkin

5 Wawancara dengan salah satu fasilitator pembangunan pada Tanggal 23 Maret 2010. Fasilitator pembangunan dipilih oleh pemerintah untuk mendampingi proses pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanan dan evaluasi berdasarkan Perda No 13 Tentang Partisipasi Dalam Perencanaan Pembangunan.

Page 81: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

7474

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

muncul karena formulasi APBD dilakukan dengan pendekatan teknokratik, yang menyebabkan publik secara luas tidak cukup menguasai alat-alat maupun prosedurnya.

2. Penganggaran daerah terikat pada skedul yang ketat dan berkaitan dengan penganggaran di level pemerintahan yang lebih tinggi

Penganggaran daerah terikat pada skedul yang ketat dan berkaitan dengan penganggaran di level pemerintahan yang lebih tinggi. Sinkronisasi hubungan antara penganggaran daerah dan penganggaran pemerintah pusat yang berpedoman pada UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak memberi ruang yang cukup bagi partisipasi masyarakat.

3. Penganggaran dianggap wilayah sakral eksekutif dan legislatif

Penganggaran dianggap sebagai wilayah dan fungsi “sakral” lembaga eksekutif maupun legislatif, terobosan prosedur maupun instrumen dianggap dapat mengurangi peran kedua lembaga tersebut. Pada titik ini kita perlu mencatat penganggaran daerah sebagai sebuah produk politik yang melibatkan tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Artinya, penganggaran daerah pada dasarnya adalah playing field yang mempertemukan kepentingan dua kekuatan itu, lengkap dengan berbagai dimensinya. Sayangnya pertemuan kepentingan dua lembaga itu tidak selalu terjadi secara dialektis melainkan dapat juga berlangsung dalam penuh kompromi. Keseimbangan dan tarik menarik itu bahkan kerap terungkap dalam bentuk pengkhianatan terhadap fungsi kontrol yang melekat pada lembaga legislatif. Dengan demikian, inovasi penganggaran daerah dapat dilihat sebagai ancaman terhadap “keseimbangan” dalam relasi tarik-menarik antara dua lembaga itu.

4. Keterbatasan informasi kunci dan dokumen perencanaan pembangunan

Perencanaan dan penyusunan anggaran daerah dilakukan berdasar informasi-informasi kunci maupun dokumen-dokumen perencanaan yang hanya dimiliki oleh birokrasi pemerintah dan sedikit kalangan luar. Faktanya, informasi-informasi kunci tersebut memang mudah diakses oleh khalayak yang berkepentingan dengan pengelolaan sumber daya publik. Hanya saja, masalahnya sungguh tidak sesederhana itu. Kerapkali, informasi-informasi penting dalam penganggaran daerah yang dipegang oleh jajaran eksekutif dan legislatif tidak merefleksikan kondisi secara akurat, baik karena metode penggaliannya yang tidak memadai maupun prosesnya yang tidak dijalankan secara cermat.

Page 82: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

75 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

C. Harmonisasi Musrenbang Formal Versus Informal: Sebuah Indeksikalitas Kepatuhan

Berbagai kendala yang terjadi dalam partisipasi pembangunan mungkin lebih panjang dari yang telah diuraikan diatas. Daftar tantangan yang panjang mungkin menumbuhkan pesimisme, namun pada saat yang sama justru menunjukkan betapa luas kemungkinan bagi inovasi dalam penganggaran daerah. Partisipasi penganggaran daerah menyimpan peluang yang dapat dieksploitasi sebagai investasi politik.

Partisipasi penganggaran yang secara formal diatur dalam mekanisme musrenbang tingkat desa di Suku Tengger, telah berjalan sesuai aturan. Sementara di Suku Tengger juga lahir partisipasi masyarakat secara informal yang roh-nya adalah penggalian ide atau gagasan dari masyarakat untuk pembangunan tahun berikutnya. Mekanisme partisipasi seperti ini-lah, merupakan bentuk partisipasi yang sesungguhnya dan wujud dari kepatuhan wong Tengger kepada pemerintah. Temuan ini juga didukung oleh hasil wawancara dengan berbagai masyarakat Suku Tengger, tidak hanya yang tinggal di Desa Ngadisari. Berikut adalah beberapa kutipan hasil wawancaranya:

“Kegiatan Musrenbang Desa di Desa Sapi Kerep dilaksanakan pada akhir Januari di Balai Desa dan di fasilitasi oleh kelurahan. Adapun yang hadir pada waktu pertemuan itu adalah RT/RW, Karang Taruna, Tokoh Masyarakat, BPMD, dan unsur kecamatan. Agenda musrenbangkel adalah melakukan pembahasan tentang prioritas usulan oleh masing-masing RT/RW. (P, 22 Februari 2010)

“Musrenbang Desa menurut saya merupakan kegiatan silaturahim antar warga Tengger, jadi meskipun di akhir tahun desa kami telah menyepakati usulan yang akan didanai di tahun 2011, tetapi kami tetap melakukan Musrenbang Desa seperti yang di atur oleh Pemerintah. (K, 22 Februari, 2010)

1. Musrenbang Desa Tengger

Dalam diskusi terfokus dengan Camat Sukapura, diketahui bahwa pedoman penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2010 relatif sama dengan pedoman tahun sebelumnya. Diantaranya ada “delegasi masyarakat” pada setiap tahapan musrenbang. Misalnya, untuk Musrenbang Kecamatan Sukapura, dihadiri perwakilan dari masing-masing desa 5 orang, yang terdiri dari Kepala Desa, Kasi Pembangunan, Badan Perwakilan Desa (BPD), Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Perempuan. Tetapi yang menjadi persoalan adalah minimnya waktu untuk sosialisasi di masing-masing desa, apalagi di Kecamatan Sukapura desanya jauh-jauh dibandingkan dengan desa di kecamatan lain. Sehingga rata-rata masyarakat baru mendapatkan penjelasan tentang mekanisme musrenbang pada saat pelaksanan kegiatan tersebut. Sebagaimana pernyataan Camat Sukapura sebagai berikut:

Page 83: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

7676

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Desa yang ada di wilayah kami semuanya melakukan musrenbang desa, hal ini dibuktikan dengan berita acara yang diserahkan ke kecamatan yang berisi rekapan usulan dari tiap-tiap bidang. Selain melakukan musrenbang desa sebagai bentuk “kepatuhan” terhadap pemerintah, Desa Tengger juga menyelenggarakan “musyawarah desa” diakhir tahun untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya selama setahun. Pada saat musyawarah desa, masyarakat mengusulkan program untuk tahun berikutnya. Mekanisme ini sebenarnya adalah partisipasi masyarakat yang sesungguhnya ada di wilayah Tengger. (A, 22 Februari 2010)

Hasil wawancara dengan Camat menegaskan bahwa mekanisme Musrenbang Desa dilakukan sebagai wujud kepatuhan wong Tengger terhadap pemerintah. Terlepas dari efektif tidaknya pelaksanaan musrenbang desa di wilayah Tengger, yang jelas Masyarakat Tengger telah melaksanakan apa yang menjadi kewajiban sebagai warga negara.

Senada dengan apa yang disampaikan camat, Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kabupaten probolinggo menyatakan bahwa, fenomena partisipasi dalam proses perencanaan penganggaran secara normatif terlaksana sesuai dengan mekanisme dan peraturan pemerintah. Meskipun di lapangan terdapat perbedaan yang disesuaikan dengan kondisi dan budaya masyarakat setempat, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Probolinggo;

“Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran dilakukan melalui mekanisme musrenbang. Musrenbang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten telah dilaksanakan sesuai aturan perundang-undangan. Di desa Ngadisari Suku Tengger, mereka melakukan partisipasi dalam bentuk “Rembug Desa Tengger”, sebagai wahana untuk menggali ide dan menampung usulan masyarakat. Walaupun telah berpartisipasi yang sesungguhnya, mereka tetap melakukan musrenbang di bulan januari sekedar bentuk kepatuhan kepada pemerintah. (GW, 22 Februari 2010)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa Petinggi di wilayah Tengger, Camat Sukapura dan Kepala Bidang Ekonomi Bappeda dapat disimpulkan bahwa, Desa Tengger melakukan Musrenbang Desa sebagai perwujudan “kepatuhan” kepada pemerintah. Terlepas dari adanya perdebatan apakah musrenbang desa hanya sekedar formalitas dalam proses perencanaan penganggaran, faktanya di lapangan selain mekanisme musrenbang desa, ada mekanisme lain sebagi wujud pelibatan masyarakat dalam pembangunan yaitu “rembug warga” di akhir tahun.

Dalam diskusi terfokus dengan beberapa perangkat Desa Ngadisari dapat disimpulkan bahwa mekanisme perencanaan pembangunan dalam bentuk musrenbang desa maupun musrenbang kecamatan secara konsep lebih maju dari musrenbang tahun-tahun sebelumnya. Perubahan yang paling signifikan

Page 84: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

77 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

adalah adanya ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas dan adanya delegasi masyarakat di tingkat musrenbang yang lebih tinggi. Hal ini seperti yang diungkap oleh kasi pembangunan Desa Ngadisari.

“Menurut saya musrenbang kecamatan sekarang lebih bagus dari sebelumnya. Karena dulu perwakilan dari masyarakat tidak ada, sekarang ada perwakilan dari tomas dan tokoh perempuan. Kalau konsep perencanaan pembangunan di desa Tengger dari dulu sampai sekarang sudah melibatkan masyarakat karena pelaksanaannya dibarengkan dengan pertanggungjawaban kepala desa di akhir tahun”. (A, 2 Februari 2011)

“....sebagai kepala BPD saya merasa proses pembangunan yang sekarang berjalan lebih baik. Masyarakat lebih antusias dalam menghadiri rapat pembangunan karena usulan mereka sebagian didanai untuk di laksanakan. Hal ini merupakan dampak adanya delegasi masyarakat di tingkatan yang lebih tinggi..” (M, 2 Februari 2011)

Adanya perubahan di tataran konsep, diharapkan membawa perubahan dalam tataran implementasi. Oleh karena itu disamping pengawalan dari masyarakat, diharapkan ada pengawalan dari DPRD terutama bagi mereka yang terpilih di dapilnya. Disamping itu peran serta dari fasilitator juga sangat dibutuhkan untuk mengawal usulan masyarakat. Fasilitator juga berfungsi untuk memberikan arahan kepada masyarakat agar dalam menyusun daftar prioritas berdasarkan “kebutuhan”, bukan berdasarkan “keinginan”. Hal ini yang biasanya menjadi persoalan di tingkat musrenbang yang lebih tinggi.

2. Rembug Warga Tengger

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa disamping musrenbang desa yang dilakukan secara formal di bulan Januari sebagai bentuk kepatuhan kepada pemerintah, perbedaan menonjol di desa Tengger khususnya Desa Ngadisari dengan desa lainnya di luar Tengger adalah dilakukannya “rembug warga” di akhir tahun. Rembug warga ini merupakan mekanisme yang sesungguhnya terjadi dan bukan hanya sekedar formalitas. Pada saat dilakukan rembug warga tersebut, semua masyarakat tanpa terkecuali, diundang untuk hadir di balai desa. Pelaksanaannya di bulan Desember dengan terlebih dahulu menentukan hari baik. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh petinggi dan sesepuh Suku Tengger sebagai berikut:

“ Dalam tradisi masyarakat Tengger ketika melaksanakan semua kegiatan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak kami selalu menentukan hari baik menurut hitungan Tengger, kami percaya bahwa dengan menghitung hari baik, semua proses akan berjalan dengan lancar....” (S, 2 Februari 2011)

“ Kami percaya bahwa semua hari baik, tapi ada satu hari yang paling baik

Page 85: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

7878

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

untuk melakukan kegiatan warga. Cara penentuan hari baik dilihat dari bintang dalam satu minggu. Kegiatan paling banyak dilakukan dihari baik yaitu ngahat, kamis dan jumuhat.....(J, 2 Februari 2011).

Berdasarkan informasi dari dua sumber tersebut peneliti mencari litetarur terkait dengan hari baik dan hari buruk di Suku Tengger. Menurut Suku Tengger, bintang-bintang yang kelihatan dalam satu minggu dapat digunakan untuk menentukan hari baik dan hari buruk. Jika bintang bersifat baik maka hari munculnya bintang tersebut merupakan hari baik. Tetapi, jika bintang ini bersifat jahat maka hari munculnya bintang tersebut merupakan hari buruk. Tabel 11 dan 12 dibawah ini dapat digunakan untuk menentukan hari baik dan hari buruk. Papan keterangan yang ada juga dapat digunakan untuk menentukan jam-jam baik dan buruk pada suatu hari.

Tabel 13: Hari Baik di Suku Tengger

Hari Bintang Keterangan Hari Nama UmumNgahad Arka Baik MatahariSenen Dwiyodipati Tidak Tentu BulanSelasa Angraka Buruk MarsRabu Rauhineya Tidak Tentu MercuriusKamis Wrihaspati Baik JupiterJumahat Arumdhati Baik VenusSabtu Shana Tidak Tentu Saturnus

Tabel 14 : Papan Keterangan Hari dan Jam yang Baik dan Tidak Baik

Hari Bintang KeteranganNgahat Arka Baik. Tetapi, segala pekerjaan dilarang

disebabkan mulai dari hari dan waktu “Arka”, penghabisan hasilnya menjadi tidak baik

Senen Dwiyodipati Tidak Menentu. Bila untuk membeli dan menjual barang akan mendapatkan untung. Jika menulis surat akibatnya jadi, dan bila berjualan hasilnya selamat. Tetapi, bagi orang yang malas dan orang yang bekerjanya perlahan-lahan, hasilnya buruk

Selasa Angaraka Buruk. Jika mulai berjalan atau sesuatunya akan mendapat celaka. Jika berbicara dusta akan mendapat persoalan. Jika mempunyai maksud tertentu, jangan dilakukan

Page 86: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

79 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Rabu Rauhineiya Tidak menentu. Untuk melakukan pembelian dan penjualan akan mendapat untung. Bila menulis sesuatu dapat terlaksana. Bila mulai berjalan akan selamat. Buat orang yang malas dan pelan bekerjanya akan merupakan hari buruk

Kamis Prihaspati Baik. Bila mulai berjalan atau berbuat sesuatu maka hasilnya akan selamat. Bila membuat surat perjanjian, hasilnya akan baik dan selamat. Jika mendapat sakit tidak akan lama. Dan bila ada maksud tertentu, dapat dilaksanakan

Jumahat Arumdhati Baik. Bila mengadakan perhelatan atau main wayang atau gamelan akan berjalan dengan selamat. Juga bila bertunangan dengan maksud untuk menikah akan memberi hasil yang baik. Dan baik juga bila memakan obat bila sakit maka akan cepat sembuh

Sabtu Shana Buruk. Jangan percaya pada orang pada hari dan waktu Shana karena dapat berbalik menjadi buruk. Buruk juga untuk melakukan segala pekerjaan. Yang dapat berhasil hanya bila melakukan pekerjaan untuk membuat rumah, mengerjakan sawah atau membuka tanah. Jika ada niat, jangan dilaksanakan kemauannya. Jangan minum atau memakai obat pada waktu Shana

Untuk melihat waktu yang baik dan buruk dalam satu hari dan malam dapat dicari dalam tabel 11 dan 12 di atas. Pada baris jam, pada kolom pertama menentukan bintang yang berpengaruh pada waktu itu. Tempat-tempat dimana matahari terbit lebih awal dari pukul 06.00, maka waktu antara matahari terbit dan pukul 2.00 siang hari harus dibagi dalam enam bagian yang sama. Hal yang sama juga harus dilakukan jika matahari tenggelamnya lebih dari pukul 06.00, maka waktu antara pukul 12.00 dan tenggelamnya matahari harus dibagi dalam enam bagian yang sama. Dengan demikian, sore hari dan malam hari akan menjadi lebih pendek. Papan keterangan di atas dapat dijadikan sebagai pedoman tanpa harus melakukan perhitungan. Hal yang diperlukan hanyalah mencari bintang yang bersangkutan sebagai panduan untuk mencari hari dan jam yang baik dan buruk.

Tabel 11 dan 12 di atas juga menunjukkan bahwa hari baik menurut orang Tengger adalah Ngahat, Kamis dan Jum’at. Untuk menentukan hari baik di antara ketiga hari tersebut, masyarakat biasanya datang ke Dukun dan meminta saran kapan waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan. Penentuan hari juga berlaku untuk rangkaian kegiatan perkawinan seperti temu pengantin, upacara

Page 87: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

8080

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Walagara, dan Bebanten. Begitu pula dengan penentuan kegiatan masyarakat seperti “rembug warga” pasti akan di tentukan hari baiknya. Rembug warga yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger tahun 2010 pada tanggal 26 Desember 2010 bertepatan dengan hari minggu. Selain hari minggu sebagai hari baik, hampir semua masyarakat yang bekerja selain petani di ladang, juga dapat ikut hadir memberi masukan kepada pemerintah desa.

Pelaksanaan Musrenbang Desa Ala masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadisari menurut teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dikategorikan dalam tangga partisipasi yang ketiga, yaitu derajat tangga partisipasi penuh. Tangga ini ditandai dengan adanya kemitraan, pendelegasian wewenang dan adanya kontrol oleh warga. Dalam derajat ini tampak bahwa partisipasi masyarakat Suku Tengger dalam proses perencanaan penganggaran berbeda dengan desa-desa lainnya di luar wilayah Suku Tengger. Temuan ini menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan pelembagaan partisipasi informal.

Sedangkan menurut teori partisipasinya Moynihan (2003) termasuk dalam partisipasi penuh, dimana dengan keterwakilan yang luas keputusan dibuat oleh pejabat pemerintah dengan pengaruh yang sangat kuat dari partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat Suku Tengger terjadi dengan adanya diskusi yang cukup intensif antara masyarakat dengan tokoh masyarakat, pemerintah desa dan tokoh adat. Sedangkan menurut teori partisipasinya Vaneklasen dan Miller (2002) termasuk dalam partisipasi intensif di mana masyarakat Suku Tengger hadir secara langsung mengikuti rembug Desa Tengger untuk memberikan usulan pembangunan dan mendengarkan pertanggungjawaban kegiatan selama satu tahun berjalan. Sementara ibu-ibu rumah tangga menyiapkan sesaji dan selamatan untuk kelancaran pelaksanaan Rembug Desa Tengger tersebut.

Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan penganggaran, partisipasi masyarakat masih semu atau sekedar formalitas yang disebabkan oleh banyak hal, diantaranya: (1). partisipasi di dominasi kalangan elit tertentu, (2). partisipasi yang dimobilisasi oleh kelompok kepentingan tertentu, (3). partisipasi yang dikemas dalam acara entertaiment tertentu. Partisipasi yang sekedar formalitas hampir terjadi dihampir seluruh daerah berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Prasetyo; 2005, Muluk; 2007, Sopanah; 2008, 2009, Sukardi; 2009, Razak; 2011, dan Ridwan; 2012).

Pelaksanaan Musrenbang Informal Ala Tengger dengan sebutan “Rembug Desa Tengger” menjadi temuan menarik, karena partisipasi informal ini merupakan salah satu bentuk inovasi yang dilakukan oleh desa dengan memperhatikan nilai kearifan lokal. Partisipasi informal ini perlu dilembagakan yang disesuaikan dengan karakteristik daerahnya, sebagaimana partisipasi formal yang telah diatur oleh pemerintah. Indeksikalitas Kepatuhan atau dalam

Page 88: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

81 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

bahasa Tengger “Setuhu” di wujudkan dengan tetap melakukan mekanisme musrenbang formal meskipun roh partisipasinya terdapat dalam musrenbang informal. “Setuhu” yang merupakan salah satu nilai kearifan lokal Suku Tengger tetap dipertahankan dalam konteks penganggaran merupakan bentuk kepatuhan kepada pemerintah.

Page 89: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

8282

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 5

Kegotongroyongan:

Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Pelaksanaan Pembangunan

Hayo rowang hangayahi kardi, nora kendat pembangunan deso, pamuji murih becik’e, supoyo tansyah maju (mari saudara-saudara menjalankan kewajiban, jangan sampai berhenti membangun desa, memuji sesuatu yang lebih baik, supaya senantiasa maju

(Langgam Mbagun Deso)

Semua pembangunan di Tengger dilakukan secara gotong royong oleh semua warga baik pembangunan didanai APBD maupun swadaya masyarakat. Para bapak-bapak yang kerja, para ibu-ibu menyiapkan makanan dan minuman

(J, Warga Tengger, 2011)

Petikan langgam mbangun deso di atas sering terdengar pada saat masyarakat Suku Tengger melakukan pembangunan. Dalam lirik langgam tersebut menyiratkan ajakan agar masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sehingga desanya semakin maju. Bentuk dari partisipasi masyarakat Suku Tengger dalam melakukan pembangunan adalah gotong-royong yang dilakukan hampir di seluruh wilayah Suku Tengger. Semua masyarakat Suku Tengger berbondong-bondong datang dan bersama-sama secara sukarela memberikan tenaga dalam membangun desanya.

Pembangunan merupakan proses untuk mewujudkan cita-cita bernegara yaitu menuju masyarakat makmur sejahtera, secara adil dan merata, bagi seluruh rakyat Indonesia. Idealnya pembangunan dapat memecahkan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Semakin lama pembangunan berlangsung, maka seharusnya makin sedikit persoalan-persoalan mendasar yang tersisa untuk diselesaikan. Dengan kata lain, pembangunan harus selalu diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Faktanya, apa yang selama ini disebut sebagai pembangunan ternyata tidak selalu bekerja sesuai dengan harapan itu. Berbagai persoalan pembangunan kerap terjadi. Khususnya pembangunan yang didanai oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pembangunan dengan dana pemerintah terlampau sering gagal menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan dasar. Seperti kesehatan, pendidikan, atau kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, dengan

Page 90: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

83 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

berbagai alasan. Mulai dari minimnya anggaran, alokasi yang tidak merata dan sebagianya. Lebih dari itu, fakta dari sejumlah kelompok masyarakat menunjukkan pembangunan tidak menyentuh persoalan-persoalan dasar, sehingga masyarakat tidak ikut menikmati manfaat pembangunan pada taraf yang layak bagi kemanusiaan. Bagi mereka, pembangunan yang diprogramkan pemerintah tidak membawa pengaruh signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan. Sebaliknya, pembangunan justru menggerogoti kesejahteraan masyarakat karena hanya sebagai proyek, dimana setelah proyek tersebut selesai maka selesailah pembangunan tersebut.

Dasar hukum penyelenggaraan pembangunan daerah bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18. Adapun untuk implementasi formalnya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah. Dalam implementasinya, pembangunan antar daerah tidak bisa sama. Kesenjangan antar daerah tetap ada. Misalnya kesenjangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan, kesenjangan antara wilayah di Pulau Jawa dengan Pulau di Luar Jawa. Oleh sebab itu, muncullah salah satu produk evaluasi pembangunan wilayah yaitu Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 33 dan Nomor 34 tentang Pemerintahan Daerah dan Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Adanya perubahan tersebut, mengakibatkan sistem pembangunan mengalami perubahan. Asalnya dari pendekatan perencanaan sektoral yang terpusat dan bersifat top down, menjadi pendekatan kewilayahan di tingkat lokal yang sifatnya bottom up. Pembangunan yang bersifat bottom up diharapkan dapat mengurangi berbagai persoalan yang muncul. Karena lebih memperhatikan aspirasi masyarakat yang lebih tahu tentang permasalahan yang terjadi di daerahnya.

Mahardika (2001; 10) menyatakan bahwa pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan dan implementasinya akan menghasilkan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pernyataan tersebut mendorong agar pola-pola top-down ditinggalkan dan kebijakan elit penguasa yang tidak pro-poor budget serta tidak pro-justice budget semakin dijauhi, dan lebih mengedepankan pembangunan yang partisipatif dan bottom-up.

Pembangunan partisipatif diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan pembangunan, diantaranya kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan kegagalan transformasi. Oleh karena itu diperlukan dukungan yang kuat dan kelembagaan lokal masyarakat desa sehingga dapat terwujud pembangunan seperti yang mereka harapkan (Purwaningsih, 2008).

Pada bagian ini akan diuraikan “benang kusut” dalam pembangunan;

Page 91: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

8484

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

realisasi pembangunan di desa Ngadisari, kegotong royongan mewarnai partisipasi masyarakat Suku Tengger dalam pembangunan dan potret pembangunan dalam bingkai teori partisipasi.

A. Dominasi Penguasa dalam Pembangunan Menyebabkan Kegagalan

Pembangunan diartikan sebagai proses perubahan yang terencana. Sebuah perubahan yang tidak hanya diharapkan terjadi pada kehidupan masyarakat, melainkan juga pada peranan dari unsur-unsur yang terlibat dalam proses pembangunan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Jika proses pembangunan yang terjadi hanya melibatkan pemerintah, misalnya hanya sebatas proyek pembangunan maka tujuan pembangunan tidak akan tercapai. Namun hanya sebatas menghabiskan anggaran dan sarat dengan unsur korupsi. Disamping itu, jika masyarakat tidak dilibatkan dalam pembangunan, ada ancaman bahwa pembangunan akan ditolak oleh masyarakat setempat.

Pendekatan proyek dalam implementasi pembangunan cenderung mengabaikan dimensi manfaat dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Karena pembangunan tunduk kepada kepentingan-kepentingan parsial yang tidak memiliki legitimasi moral maupun sosial dan politik. Pembangunan dijalankan dengan anggapan kebijakan yang dirancang oleh pemerintah adalah langkah yang tepat untuk menjawab semua permasalahan kehidupan masyarakat. Akibatnya, di beberapa tempat program pembangunan terkesan mengada-ada dan dipaksakan untuk konteks yang tidak sesuai. Bahkan, pembangunan banyak mengabaikan konteks lokal yang unik (Wardoyo, 2006).

Beberapa contoh pembangunan yang lebih disebabkan oleh dominasi kekuasaan dijelaskan oleh Wardoyo (2006; 8) tentang Proyek Transmigrasi Ring I di Karangsewu, Galur, Kulonprogo. Proyek ini menegaskan keengganan pemerintah mengurangi penggunaan pendekatan top-down, dan tidak pernah terjadi partisipasi masyarakat yang memadai baik dalam aspek perencanaan maupun implementasinya. Bahkan ada tanda-tanda manipulasi aspirasi masyarakat pada kasus tersebut.

Contoh lain yang menunjukkan pendekatan proyek dalam pembangunan, adalah proyek pembangunan PT Kigumas di Kabupaten Malang. Proyek yang didanai oleh anggaran APBD senilai lebih 30 Miliar, sejak diresmikan pada tahun 2004, hanya beroperasi sekali dan lebih dari 7 tahun ini tidak mampu membiayai operasinya. Untuk mengoperasionalkan kembali dibutuhkan dana 15 Miliar. Tetapi sampai sekarang proyek tersebut mangkrak alias “hidup segan mati tak mau”.

Proyek pembangunan Miniatur Ka’Bah dan Islamic Center di Kabupaten Probolinggo sempat menjadi perbincangan media. Karena diduga proyek

Page 92: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

85 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

tersebut top down dan tidak menjadi prioritas bagi masyarakat. Proyek yang nilainya lebih dari 5 Milliar ini didanai 2 tahap dan akhirnya selesai pada tahun 2008. Proyek kontraversial ini kemudian melahirkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Perencanaan Pembangunan Kabupaten Probolinggo.

Contoh-contoh pembangunan yang didominasi oleh penguasa berakibat pada gagalnya pembangunan. Bahkan menyebabkan terjadinya penolakan dalam pembangunan. Berbagai permasalahan pembangunan yang terjadi di masing-masing kota/kabupaten di Indonesia hampir sama yaitu dominannya penguasa dalam menentukan pembangunan. Sehingga pembangunan dianggap hanya sekedar proyek yang akan menguntungkan siapa yang berkuasa. Beberapa penelitian tentang anggaran mendukung hasil bahwa penentuan alokasi anggaran untuk pembangunan banyak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi serta kekuasan dan politik internal (Hackman (1985) dalam Covaleski et al (1996) dan Wildavsky (2004).

Selain Colaveski et al (1996), penelitian yang dilakukan oleh Siegel dan Marconi (1989; 24), menjelaskan adanya peran ganda dalam penganggaran yaitu berbagi kekuasaan, sekaligus sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu banyak terjadi “tawar menawar politik”. Setelah kepala daerah terpilih dan dilantik, maka yang terjadi berikutnya adalah pembagian kue kekuasaan kepada pihak-pihak yang mendukungnya, dalam bentuk bagi-bagi proyek pembangunan.

Bukti lain mendukung bahwa kegagalan pelaksanaan pembangunan adalah adanya pembangunan yang tidak tepat sasaran dan pengalihan berbagai program kegiatan hanya untuk kepentingan kekuasaan. Penolakan proyek pembangunan juga kerap terjadi di berbagai daerah baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun dari pemerintah. Fenomena penolakan pembangunan lebih disebabkan karena persoalan kebijakan yang melanggar ketentuan dan peraturan salah satunya RTRW dan RDTRK.

Sekedar sebagai contoh, penolakan pembangunan yang pernah terjadi di Kota Malang adalah proyek pembangunan Matos, MOG, pembangunan Kantor Kelurahan Oro-oro dowo di Taman Kunir, fly over Mergosono dan Arjosari. Meskipun proyek pembangunan juga terealisasi, namun menyisakan persoalan. Lebih spesifik lagi pembangunan sumur bor dari dana APBD di RT 03 RW 02 Kelurahan Polowijen dengan nilai 5 juta saja, juga di tolak oleh warga setempat. Karena dianggap prosesnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak partisipatif (Sopanah, 2010).

Penolakan pembangunan juga banyak terjadi di negara berkembang lainnya selain Indonesia. Seperti di Bolivia, Romania, Filipina, Malaysia dan Vietnam yang disebabkan tidak adanya partisipasi masyarakat (McNeish,

Page 93: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

8686

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

2006; 228, Radu, 2009; 76., Swain dan Chee, 2004). Radu (2009) menjelaskan bahwa dominasi para elit kekuasaan sangat tinggi dalam pembangunan. Sehingga beberapa pembangunan mengalami penolakan, karena masyarakat tidak puas dengan kebijakan tersebut. Sedangkan pembangunan Bendungan di Thailand dan Malaysia mengalamai penolakan karena tidak ada negosiasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat.

Secara umum berbagai kasus “benang kusut” dalam pembangunan baik yang terjadi di luar negeri maupun di Indonesia, berupa pembangunan bersifat top down, pembangunan sebatas proyek, dapat menyebabkan protes, demonstrasi, ketidakpuasan bahkan penolakan pembangunan. Semua peristiwa tersebut, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah, bahwa kebijakan pembangunan seharusnya mereflekasikan aspirasi masyarakat. Sehingga tujuan dari pembangunan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan, dapat tercapai. Kemudian kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.

B. Realisasi Pembangunan Hasil Musrenbangdes Suku Tengger – Desa Ngadisari

Sebagaimana desa-desa lainnya di Indonesia usulan pembangunan yang disampaikan dalam musrenbang desa tidak seluruhnya didanai oleh APBD karena keterbatasan anggaran. Dari hasil pengalaman penulis selama terlibat dalam proses penyusunan anggaran di Malang Raya, rata-rata jumlah usulan yang didanai berkisar antara 10%-25%. Proses penentuan skala prioritas lebih banyak menggunakan sisi prosentase dan pembagian secara merata untuk tiap-tiap desa.

Berdasarkan evaluasi APBD tahun 2011, hasil musrenbang desa Ngadisari yang di setujui atau direalisasi pada tahun 2011 sebesar Rp. 536.600.000 dari usulan sebesar Rp. 1.602.890.000 atau sebesar 36%. Jika dilihat dari usulan tiap-tiap bidang maka jumlah usulan musrenbang desa Ngadisari bidang fisik dan prasarana sebesar Rp. 855.290.000 yang direalisasi sebesar Rp. 256.600.000 atau sekitar 30%. Sedangkan untuk bidang ekonomi dan keuangan usulannya sebesar Rp. 297.000.000 yang direalisasi sebesar Rp. 130.000.000 atau sebesar 43%. Sementara untuk bidang sosbud usulannya sebesar Rp. 330.000.000 yang direalisasi sebesar Rp. 150.000.000 atau 45%. Hal ini seperti yang terlihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 16 : Realisasi Pembangunan Bidang Fisik dan PrasaranaNo Pembangunan Usulan Realisasi

1 Perbaikan gang desa 21.000.000 21.000.000 2 Balai bina adat 80.000.000 -

Page 94: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

87 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

3Paving Pura Tunggal Jati 35.690.000 -

4 Pengaspalan jalan 165.600.000 165.600.000 5 Pembuatan drainase 153.000.000 -6 Pengerasan jalan 330.000.000 -7 Plengsengan 70.000.000 70.000.000 855.290.000 256.600.000

Sumber: APBD Tahun 2011

Tabel 17: Realisasi Pembangunan Bidang Ekonomi dan KeuanganNo Pembangunan Usulan Realisasi

1 Pasar Desa 57.000.000 -2 Peralatan Sablon 30.000.000 30.000.000 3 Bibit akasia 10.000.000 -4 Bibit cemara 30.000.000 -5 Bibit kentang 100.000.000 100.000.000 6 Bibit jagung 70.000.000 -

297.000.000 130.000.000Sumber: APBD Tahun 2011

Tabel 18: Realisasi Pembangunan Bidang Sosial Budaya No Pembangunan Usulan Realisasi

1 Sanggar tari 150.000.000 150.000.000 2 Musem budaya tengger 100.000.000 3 Balai bina umat 80.000.000

330.000.000 150.000.000 Sumber: APBD Tahun 2011

Berdasarkan ketiga tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa Pemerintah Kabupaten Probolinggo cukup baik dalam memperhatikan usulan masyarakat Suku Tengger. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pejabat Bappeda Kabupaten Probolinggo.

“Sebagai suku unik yang mempertahankan nilai budaya lokal, sudah sewajarnya kalau Pemerintah Kabupaten Probolinggo memberikan anggaran yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan didaerah lainnya (H, Januari 2011).

Page 95: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

8888

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

“ Saya setuju kalau pemerintah Kabupaten Probolinggo memperhatikan Suku Tengger dengan memberikan prioritas anggaran dibanding dengan desa lainnya. Karena suku Tengger menjadi andalan pariwisata di Indonesia yang tentunya akan mendatangkan devisi tersendiri (A, Januari 2011).

Selain pihak eksekutif yang mendorong agar realisasi pembangunan yang diusulkan oleh masyarakat Suku Tengger lebih diperhatikan, tentunya perlu dukungan dari pihak legislatif. Berdasarkan hasil pengamatan, berpartisipasi dan wawancara dengan beberapa anggota DPRD yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) di kecamatan yang masyarakatnya merupakan Suku Tengger, lebih aktif dalam mengawal usulan. Kecamatan tersebut, diantaranya Kecamatan Sukapura, Kuripan, Sumber, Wonomerto, Lumbang, Bantaran, Sumberasih, dan Tongas. Hal ini seperti yang terungkap dalam wawancara dengan anggota DPRD dari dapil di Kecamatan Sukapura.

“Saya berusaha untuk mengawal usulan musrenbang di desa-desa Tengger. Menurut saya usulan dari desa-desa Tengger berdasarkan kebutuhan bukan berdasarkan keinginan....(M, 3 Februari 2011).

“Suku Tengger merupakan suku asing dan unik yang mempertahankan budaya lokal, saya selalu menyuarakan hal ini dalam rapat-rapat hearing dengan eksekutif...harapannya agar anggaran Suku Tengger lebih diprioritaskan....(J, 3 Februari 2011).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa anggota DPRD dari dapil Tengger mempunyai semangat dan motivasi yang tinggi untuk mengangkat, memperhatikan, dan mensejahterakan Suku Tengger. Sebab merupakan salah satu suku Unik di Kabupaten Probolinggo bahkan di Indonesia.

C. Indeksikalitas Kegotongroyongan: Berpartisipasi Dalam Pelaksanaan Pembangunan

Kehidupan masyarakat senantiasa mengalami perubahan, disebabkan pertambahan penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan sosial ekonomi, perkembangan politik, pengaruh berbagai konsep nilai dan norma, ataupun berbagai pengalaman baru oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut baik berjalan cepat atau lambat, dirasakan atau tidak, bersifat fundamental atau sementara, selalu mewarnai perjalanan kehidupan masyarakat bersangkutan.

Shepard (1974:235), memberi gambaran tentang kelompok sosial yang berkembang menjadi suatu bentuk struktur sosial. Ia menyatakan bahwa suatu bentuk struktur sosial akan menciptakan pola-pola interaksi antara sejumlah orang yang mempunyai tradisi, identitas nyata, cita-cita, tujuan, tata nilai dalam berpikir dan perasaan, sikap, serta tingkah laku nyata.

Page 96: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

89 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Identitas-identitas itu tercermin dalam pola komunikasi manusia yang secara langsung maupun tak langsung menciptakan pola interaksi. Dinamika bermasyarakat cenderung mengadakan hubungan dengan sesama yang berkembang menjadi hubungan terhadap alam sebagai usaha menanggapi secara aktif dan responsif terhadap lingkungan. Pola atau bentuk hubungan yang berkembang pada akhirnya memunculkan suatu bentuk atau pola kebudayaan. Pola-pola hubungan tersebut bersifat resiprokal dan merupakan dasar dari suatu interaksi sosial dalam kelompok.

Pola interaksi dan komunikasi bertujuan untuk meneruskan tradisi, identitas nyata, cita-cita, tujuan, tata nilai dalam berpikir serta perasaan, sikap, dan tingkah laku nyata yang mereka punyai. Adanya dinamika kehidupan menuntut masyarakat mengadakan penyesuaian dengan mengacu pada konsep kemasyarakatan yang maju, penuh inovasi, syarat teknologi, dan kemanusiaan. Sehingga suatu sistem kemasyarakatan akan cenderung mempertahankan semua aturan, dan pandangannya pada sistem kemasyarakatan yang sudah lama bersama dengan keberadaan mereka.

Dalam pola-pola itu, tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk kelompok sosial yang khas dan khusus sebagaimana masyarakat Suku Tengger. Dengan bentuk atau pola yang khas dan khusus tersebut, mereka menunjukkan pola hubungan antar sesama dan tanggapan manusia terhadap lingkungan hidup. Karenanya suatu nilai lama (tradisional) tetap dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang, sekalipun faktor situasi awal yang menumbuhkan nilai tersebut telah hilang. Seperti mitos tentang upacara-upacara adat yang sampai sekarang masih tetap dipegang teguh.

Aspek-aspek lain yang menarik dari masyarakat Tengger adalah ikatan keluarga dan kekerabatan antar sesama manusia yang begitu erat, sehingga tercipta suasana yang damai, semangat gotong-royong dan tolong menolong baik perorangan maupun umum. Tak terkecuali budaya masyarakat Suku Tengger dalam berpartisipasi dalam setiap proses kegiatan, baik kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial pembangunan lainnya. Nilai kegotongroyongan dalam bahasa Tengger disebut nilai sayan.

1. Sayan

Nilai sayan mewarnai kehidupan masyarakat Suku Tengger dalam kegiatan keagamaan. Sebagai contoh kegiatan upacara Kasada. Kasada merupakan hari penting untuk memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma yang diadakan pada saat purnama, bulan Kasada (kedua belas) hari keempat belas, tahun Saka. Upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Nilai sayan terlihat mulai dari persiapan upacara Kasada sampai dengan hari H pelaksanaannya. Upacara kasada menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Dalam perbincangan dengan seorang pemuda Tengger didapatkan informasi sebagai berikut:

Page 97: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

9090

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

“....Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, lomba kidung panembang, jalan santai, pameran dan sebagainya. Yang bertanggungjawab untuk mengurus tontonan ini adalah para pemuda pemudi desa Tengger. Kami akan bersama-sama bergotong royong bahu membahu untuk mensukseskan acara dengan melakukan latihan...(J, 2 Februari 2011)

Pada saat upacara Kasada Tahun 2010 di gelar pada tanggal 25-26 Agustus di Gunung Bromo, disaksikan oleh ribuan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Dalam kesempatan itu hadir juga Menteri Pariwisata Jero Wacik yang memberikan sambutan di atas puncak Gunung Bromo. Berikut petikan wawancara Jerowajik:

“Bersama-sama kita telah melakukan upacara kasada (upacara korban) dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Masyarakat Tengger adalah masyarakat yang sangat ramah dan mentaati aturan. Dalam bahasa Tengger adalah catur guru; pertama hormat pada Tuhan YME, kedua hormat pada orang tua, ketiga hormat kepada guru, keempat hormat kepada pemerintah. Selain itu, masyarakat Tengger hidup bergotong royong, saling membantu antara satu dengan lainnya..”(JW, 26 Agustus 2010)

Kebanyakan masyarakat Suku Tengger berjalan kaki dengan berkelompok menuju Gunung Bromo. Mereka berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo sekitar pukul 4 pagi, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari hasil pertanian, ternak dan sebagainya. Sesaji ini kemudian dilemparkan ke kawah Gunung Bromo, sebagai persembahan kepada Dewa Bromo yang dipercayai bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Suku Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Setelah Dukun melempar Ongkeknya (tempat sesaji), masyarakat mengikuti dengan melempar berbagai sesajian ke kawah Gunung Bromo. Jika 44 hari sebelum perayaan Kasada ada orang yang meninggal, maka dari desa tersebut tidak membuat ongkek karena dianggap kotor. Ongkek biasanya disiapkan oleh perempuan Tengger atau ibu-ibu rumah tangga secara bergotong royong seperti yang diungkapkan oleh emak warung kopi di sekitar bromo.

“Sebelum upacara kasada di laksanakan biasanya ada kumpul-kumpul yang bapak-bapak ngurus upacara, yang ibu-ibu ngurus ugo rampe (ongkek), pemuda pemudi ngurus tontonan. Jadi semuanya punya peran masing-masing. Semua kegiatan dilakukan secara bergotong royong dan saling melengkapi. Dari zaman nenek moyang masyarakat Tengger terbiasa hidup ber gotong royong atau sayan.....(E, 25 Agustus 2010).

Nilai Sayan, tidak hanya dijumpai dalam upacara keagamaan, tetapi di setiap kegiatan masyarakat Suku Tengger. Kegiatan kegotong royongan yang

Page 98: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

91 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

sangat terlihat adalah ketika para ibu-ibu sinoman (membantu) salah satu warga yang sedang mempunyai hajat secaar bergotong royong. Hal ini seperti dalam kutipan wawancara dengan ibu-ibu pada saat sedang sinoman acara mantenan salah satu warga.

Peneliti : Bu...tiang mriki ne hajatan rame sanget....niki Sa RT nggih...kok sinoman kathah

Ibu-Ibu : Niki sederek sedoyo...Peneliti : Ne teng jawa sing sinoman namun kedhik....Ibu-Ibu : Teng ngeriki kathah sing sinoman.....guyubPeneliti : Gotong royonginpun kuat nggih teng riki....Kulo saking

malang, tamunipun pak inggi, lagi penelitian...nyepengi-pun teng pak noto..sering meriki kok bu

Ibu-Ibu : Kulo nggih saking malang mbak....

Dalam dialog dengan ibu-ibu yang sedang sinoman, terungkap secara eksplisit bahwa nilai kegotong royongan mewarnai kehidupan masyarakat Suku Tengger, dalam pernyataan “Teng ngeriki kathah sing sinoman.....guyub”. Artinya di Wilayah Tengger banyak yang membantu kalau ada hajatan, hampir semua ibu-ibu datang membantu, terutama saudara. Biasanya pada saat ada hajatan, ibu-ibu membawa beras dan gula pasir sebagai sumbangan kepada yang punya hajat. Rata-rata jumlahnya 5 kg beras dan 2-3 kg gula pasir. Peneliti juga ikut hadir dan ikut memberi sumbangan disetiap acara hajatan orang tengger ketika sedang berada dilapangan.

Nilai kegotong royongan tidak luntur meskipun modernisasi telah memasuki kehidupan masyarakat Suku Tengger. Secara hakiki nilai budaya masyarakat Suku Tengger masih bersifat murni, dan secara instrumental pun belum mengalami perubahan yang berarti. Perubahan wujud nilai instrumental tidak bertentangan dengan nilai hakikinya, melainkan hanya merupakan perubahan bentuk. Misalnya dimanfaatkannya kuda dan rumah-rumah penduduk sebagai bentuk partisipasi mendukung pariwisata, guna menambah penghasilan mereka sehari-hari. Kemudian pelayanan yang ramah dan baik pada orang lain masih tetap terjaga.

Sebagai suku pelarian yang membentuk suatu masyarakat dengan berbagai pranata sosialnya, mereka memiliki beragam karakteristik sosial, budaya, politik dan agama. Bermacam-macam aspek karakteristik tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memiliki keterkaitan dengan politik dan sosial dan demikian pula sebaliknya. Namun demikian mainstream besar yang menjadi bahan perbincangan menarik dalam hal ini adalah soal bagaimana masyarakat Suku Tengger melakukan resitensi atas berbagai “serangan” dari kebudayaan lain. Sebagai suku yang memiliki

Page 99: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

9292

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

kebudayaan cukup unik, mereka merasakan memiliki sesuatu warisan budaya yang harus dipertahankan.

2. Sesanti pancasetia

Selain warisan nilai lokal kegotong royongan, masyarakat Suku Tengger memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharmonisan dan kelestarian dalam persaudaraan. Seperti yang terdapat dalam sesanti pancasetia (lima petunjuk kesetiaan), yakni setya budaya (taat dan hormat kepada adat), setya wacana (kata harus sesuai dengan perbuatan), setya semaya (selalu menepati janji), setya laksana (bertanggungjawab terhadap tugas) dan setya mitra (selalu membangun kesetiakawanan). Dengan kata lain orang memiliki bekal hidup untuk menjadi diri mereka sendiri.

Petunjuk hidup dalam sesanti pancasetia setya mitra menunjukkan bukti kuat bahwa masyarakat Tengger terlibat (berpartisipasi) dalam berbagai proses pembangunan kehidupan sosial, ekonomi, agama dan pemerintahan. Dimana derajat keterlibatan mereka wujudkan dalam keikutsertaan mereka pada setiap aktifitas yang terjadi dimasyarakatnya. Tidak terkecuali keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, dilakukan untuk menyokong kelangsungan dan perubahan sosial masyarakat, menuju masyarakat yang lebih terbuka tanpa meninggalkan nilai-nilai lokalitas.

Sudah menjadi tradisi dan kebiasaan bahwa keterlibatan mereka dalam pembangunan menjadi ciri khas karakter kegotong-royongan dan kesetiakawanan masyarakat Tengger. Karena mayoritas masyarakat Suku Tengger adalah petani, maka umumnya mereka lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong. Demikian pula mereka juga berpatisipasi dalam pembangunan baik dibidang pertanian, pariwisata, dan sumber daya alam, yang berdampak pada meningkatnya kesejahtaraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat Suku Tengger.

Di salah satu perjalanan survey pembangunan, peneliti melihat secara langung bagaimana masyarakat Suku Tengger berpartisipasi dalam pembangunan secara gotong royong. Berikut kutipan hasil wawancar dengan bapak Joko yang sedang berada dalam wilayah pembangunan jalan menuju Gunung Bromo.

Peneliti : Pak kalau boleh tahu, pembangunan ini dana nya dari mana ya pak?

Pak Joko : Dari APBD

Page 100: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

93 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Peneliti : Jadi memang, suku tengger sangat diperhatikan oleh pemerintah terbukti dengan banyaknya pembangunan yang didanai oleh APBD

Pak Joko : Iya....Peneliti : Swadaya dari masyarakat ada gak pak?Pak Joko : Swadaya masyarakat dalam bentuk gotong royong, kalau

ada dalam bentuk dana nilainya kecil..

Dalam kutipan tersebut, secara eksplisit terdapat ungkapan atau indeksikalitas yang menyatakan bahwa “Swadaya masyarakat dalam bentuk gotong royong, kalau ada dalam bentuk dana nilainya kecil..”. Secara reflektif juga tersirat bahwa banyaknya pembangunan di Suku Tengger, merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah. Walaupun usulan pembangunan yang diajukan oleh Desa Tengger tidak semua didanai atau terrealisasi, namun kalau diprosentasi jumlahnya diatas 30%. Nilai ini kalau dibandingkan dengan realisasi pembangunan di desa lain lebih tinggi. Desa lainnya rata-rata realisasi pembangunannya 10-20%.

Seperti yang telah diuraikan di bagian sebelumnya, bahwa usulan pembangunan tidak semua direalisasi. Dalam musrenbang tahun 2010 yang membahas usulan tahun 2011 dapat diketahui bahwa usulan bidang fisik dan prasarana yang direalisasi adalah perbaikan gang desa sebesar Rp. 21.000.000, pengaspalan jalan direalisasi sebesar 165.600.000, dan plengsengan direalisasi sebesar Rp. 70.000.000.

Berdasarkan hasil wawancara didapatkan informasi bahwa prioritas usulan adalah kegiatan yang merupakan kegiatan lanjutan tahun sebelumnya. Dari tiga kegiatan yang disetujui tahun 2011, merupakan lanjutan dari kegiatan tahun 2010. Hal ini seperti yang diungkap dalam wawancara dengan pamong desa sebagai berikut:

“Tidak semua usulan musrenbang desa Ngadisari didanai oleh pemerintah. Biasanya yang diprioritaskan adalah kegiatan lanjutan tahun sebelumnya dengan alasan kalau kegiatan tersebut tidak dilanjutkan maka outputnya masih belum 100%” (S, 3 Februari 2011)

“Kegiatan fisik yang diusulkan biasanya ada yang multitahun, nah kalau usulan dalam satu tahun itu ada kegiatan yang merupakan lanjutan tahun sebelumnya, maka itulah yang diprioritaskan didanai” (M, 3 Februari 2011)

Sementara kalau dilihat usulan dibidang ekonomi dan keuangan yang merupakan usulan baru semua, maka penentuan prioritasnya berdasarkan kesepakatan bersama antar warga dan pamong desa. Misalnya dibidang ekonomi, penentuan peralatan sablon sebagai bidang prioritas dibanding usulan lainnya, lebih diperuntukkan kepada pemuda dan karang taruna.

Page 101: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

9494

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Pemerintah desa melalui karang taruna melakukan berbagai kegiatan yang dapat bermanfaat bagi pemuda pemudi Tengger, diantaranya adalah melakukan pelatihan. Salah satu pelatihan yang dilakukan adalah pelatihan membuat sablon. Untuk itu diperlukan alat dan fasilitas lainnya yang mendukung kegiatan tersebut.

Sedangkan pemilihan bibit kentang sebagai prioritas program dibanding bibit yang lainnya, karena sebagian besar masyarakat Suku Tengger berprofesi sebagai petani kentang. Dengan adanya bantuan pemberdayaan bagi petani diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Tengger. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pemuda Tengger sebagai berikut:

“Masyarakat Tengger jarang yang bekerja keluar daerah. Mereka lebih memilih kerja di desanya. Sebagain besar kerja sebagai petani sayur mayur salah satunya kentang. Kalau ada bantuan bibit kentang dari pemerintah akan sangat membantu masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya” (T, 4 Februari 2011)

“Para pemuda disini banyak yang jadi guide wisata sebagai pekerjaan sampingan. Ada juga yang jadi tukang ojek. Tetapi pekerjaan utamanya tetap petani. Oleh karena itu selain jadi guide, tukang ojek, kami juga butuh ketrambilan lain untuk menambah penghasilan..(M, 4 Februari 2011)

Terakhir usulan dalam bidang sosial budaya, yang diprioritaskan adalah sanggar tari. Karena sangat dibutuhkan sebagai rangkaian dalam melakukan berbagai upacara adat. Misalnya sebelum merayakan hari besar Karo, terdapat tarian sodoran yang melambangkan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang sedang dilanda sampyuh (cinta), kemudian bercampur hingga melebur waluto jati. Pada saat upacara Kasodo juga dilakukan pertunjukan sendra tari yang mengisahkan tentang Rara Anteng dan Jaka Seger. Tari-tarian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam budaya adat Tengger.

3. Mempertahankan nilai kegotong royongan, mendukung pelaksanaan pembangunan

Dalam mengimplementasikan berbagai pembangunan masyarakat Suku Tengger selalu menerapkan nilai-nilai kegotong-royongan (sayan). Beberapa pekerjaan yang didanai oleh APBD berdasarkan hasil observasi penulis dilapangan dilakukan secara gotong royong. Sedangkan dalam kegiatan yang berupa pemberdayaan nilai kegotong-royongan diwujudkan dalam bentuk rembugan atau musyawarah untuk menentukan sebuah keputusan. Sebagai contoh pada saat penentuan prioritas pembangunan ekonomi dan keuangan serta pembangunan sosial budaya.

Selain mewarnai kegiatan keagamaan, nilai Sayan sangat terlihat dalam pembangunan fisik maupun non fisik di masyarakat Suku Tengger. Kegiatan non

Page 102: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

95 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

fisik biasanya dilakukan oleh ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) terkait dengan berbagai penyuluhan. Nilai kebersamaan dan kegotongroyongan menjadi bekal bagi ibu-ibu untuk bersama-sama belajar khususnya dalam hal kesehatan. Kegiatan yang pernah dilakukan adalah penyuluhan kesehatan oleh Bidan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota PKK Ibu Sri, yang kebetulan berprofesi sebagai guru Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Setiap bulan ibu-ibu PKK mengadakan kumpulan di balai desa. Kegiatannya macam-macam, mulai dari penyuluhan kesehatan oleh bidan, masak memasak dan juga ketrampilan. Dulu di Tengger setiap ibu yang melahirkan hanya di tolong oleh dukun bayi, sekarang sudah ada bidan yang membantu proses persalinan...(S, 7 Februari 2011).

Selain terlibat dalam kegiatan PKK, posisi perempuan dalam kehidupan Tengger sama atau sederajat dengan laki-laki. Perempuan Tengger tidak hanya mengandalkan penghasilan suami, tetapi mereka bekerja bersama-sama di ladang bagi yang bertani, atau bagi yang berjualan mereka saling membantu. Hanya sedikit dari masyarakat Tengger yang bekerja sebagai pegawai atau karyawan. Hal ini juga disampaikan oleh ibu petinggi sebagai berikut:

“Selain mengikuti kegiatan PKK, ibu-ibu membantu suaminya mencari nafkah, ada yang ke ladang, ada yang jualan ada pula yang hanya di rumah mengurus anak. Peran ibu-ibu sangat terlihat ketika ada keluarga yang mempunyai hajatan. Hampir semua ibu-ibu satu desa membantu atau dikenal dengan istilah Sinoman. Mereka semua bergotong royong menyiapkan ubo rampe, mulai dari kue, makanan, bahkan sesaji yang diperlukan (BS, 7 Februari 2011).

Realitas yang saya temukan dalam setiap pembangunan yang ada di Desa Ngadisari adalah nilai kegotong-royongan yang sangat tinggi. Tiga pembangunan fisik yang saya jumpai mulai dari perbaikan gang desa, pengaspalan jalan, maupun pembangunan plengsengan menunjukkan bahwa masyarakat Suku Tengger mempunyai kesadaran yang sangat tinggi, terhadap tanggung jawab pembangunan. Mereka tanpa pamrih bahu-membahu membantu menyelesaikan pembangunan. Berikut hasil wawancara dengan beberapa warga yang saya temui di lokasi pembangunan.

“Proyek pembangunan jalan ini didanai oleh APBD, sedangkan warga Tengger memberikan sumbangan berupa gotong-royong tenaga dan makanan. Sehingga dana yang dikucurkan oleh pemerintah murni untuk membeli bahan-bahan bangunan. Swadaya dari masyarakat dalam bentuk dana ada tetapi nilainya kecil.. (J, 27 Februari 2012).

“Dana swadaya yang berasal dari masyarakat dapat meningkatkan hasil pembangunan, misalnya saja proyek jalan yang mestinya didanai untuk pembangunan 2 KM hasilnya bisa menjadi 2.5 KM...Dengan bergotong royong akan meningkatkan manfaat pembangunan..(P, 27 Februari 2012).

Page 103: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

9696

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

“Gotong-royong tidak hanya dilakukan pada saat pembangunan desa, gotong-royong juga dilakukan pada saat masyarakat ada yang mempunyai hajatan seperti sunatan ataupun mantenan yang dikenal dengan sebutan sinoman...” (S, 28 Februari 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan partiispatif dan wawancara mendalam dengan berbagai masyarakat Suku Tengger, peneliti dapat menyimpulkan bahwa nilai kegotong-royongan atau Sayan sangat mewarnai berbagai sendi kehidupan masyarakat Suku Tengger, mulai dari kehidupan bermasyarakat, kehidupan beragama, dan kehidupan bernegara. Dimana masyarakat Suku Tengger mempunyai beberapa pedoman hidup yang dijadikan sebagai panutan dan pedoman meskipun arus modernisasi masuk di wilayah Tengger.

Arus modenisasi tidak mempengaruhi karakter kegotong-royongan masyarakat Suku Tengger. Nilai kearifan lokal kegotong royongan atau sayan yang ditemukan dalam kehidupan keseharian masyarakat Suku Tengger terungkap oleh berbagai indeksikalitas dan refleksifitas, serta mempengaruhi orang Suku Tengger, ketika berpartisipasi dalam pembangunan. Indeksikalitas kegotong royongan yang mempengaruhi sikap masyarakat Suku tengger ketika berpartisipasi dalam pembangunan merupakan temuan menarik kedua dalam penelitian ini selain nilai kearifan lokal kepatuhan dalam proses perencanaan pembangunan.

Menurut Lesser (2000), partisipasi sebagai modal sosial sangat penting bagi komunitas yang ada dalam masyarakat. Karena partisipasi akan: (1) mempermudah akses informasi bagi angota komunitas yang ada dalam masyarakat ; (2) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas yang ada dalam masyarakat; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas yang ada dalam masyarakat; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas yang ada dalam masyarakat.

Dalam kondisi tersebut terdapat interaksi yang didasari adanya trust di dalam masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Giddens di atas cocok untuk mengamati adanya perkembangan modal sosial di tingkat lokal. Dengan kata lain, trust atau kepercayaan yang bersifat timbal-balik antara seluruh komponen stakeholders menjadi modal yang penting dalam menumbuhkan partisipasi, kerjasama, bahkan kemitraan stakeholders dalam perencanaan pembangunan. Tanpa adanya trust, maka yang terbentuk adalah low trust society, di mana masyarakat tidak mempercayai pemerintah sebagai figur otoritas, dan akibatnya pemerintah kehilangan legitimasinya dalam mewujudkan tertib sosial dalam masyarakat.

Berdasarkan evaluasi APBD tahun 2011 hasil musrenbang desa Ngadisari yang disetujui atau direalisasi pada tahun 2011 sebesar 36%, dengan

Page 104: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

97 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

rincian bidang fisik dan sekitar 30%, bidang ekonomi dan keuangan sebesar 43%, dan bidang sosbud usulannya sebesar 45%. Jumlah ini relatif lebih banyak dibandingan dengan realiasi pembangunan di daerah lain.

Nilai kegotong- royongan merupakan modal sosial yang sangat baik di masyarakat Suku Tengger. Oleh karena itu nilai kegotong-royongan harus tetap dipertahankan ditengah arus modernisasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya seharusnya mulai berbenah dengan mengadopsi nilai kegotong royongan yang ada di Suku Tengger. Dengan menginternalisasi nilai kegotong royongan maka egoisme pribadi maupun kekuasaan akan terdistorsi sehingga kepentingan masyarakat yang lebih utama.

Di dalam masyarakat Suku Tengger yang sangat komunal, mereka mempunyai banyak nilai-nilai yang sebenarnya sangat mendukung pengembangan dan penguatan pembangunan. Oleh karena itu partisipasi masyarakat dalam pembangunan memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi, sebagai pilar penting pembangunan masyarakat, sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance yang sedang marak dipromosikan.

Partisipasi mempunyai suatu nilai mutual trust antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap masyarakat lainnya maupun terhadap pemimpinnya. Trust ini dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain (1) seberapa tinggi tingkat partisipasi masyarakat terhadap keberanian untuk berpendapat dengan pemimpinnya; dan (2) seberapa banyak warganegara yang menggunakan kesempatan tersebut untuk menyalurkan aspirasinya.

Partisipasi masyarakat Suku Tengger dalam pembangunan jika dikaitkan dengan teori partisipasinya Vaneklasen dan Miller (2002) termasuk dalam partisipasi intensif material dimana masyarakat Suku Tengger secara ikhlas bergotong royong menyelesaikan berbagai pembangunan yang ada di Wilayah Tengger.

Sementara menurut teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dikategorikan dalam tangga partisipasi yang ketiga yaitu derajat tangga partisipasi penuh. Tangga ini ditandai dengan adanya kemitraan, pendelegasian wewenang dan adanya kontrol oleh warga. Dalam derajat ini tampak bahwa partisipasi masyarakat Suku Tengger dalam pelaksanaan pembangunan berbeda dengan desa-desa lainnya di luar wilayah Suku Tengger.

Sedangkan menurut teori partisipasinya Moynihan (2003) termasuk dalam partisipasi penuh, dimana dengan keterwakilan yang luas keputusan dibuat oleh pejabat pemerintah dengan pengaruh yang sangat kuat dari partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat Suku Tengger terjadi dalam pelaksanaan pembangunan.

Page 105: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

9898

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Dalam konteks implementasi anggaran melalui pembangunan, nilai kearifan lokal gotong royong “sayan” yang berupa tenaga manusia maupun penyediaan makanan sampai sekarang masih dipertahankan untuk melestarikan budaya Tengger. Untuk lebih memperjelas indeksikalitas kegotong royongan disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 19: Indeksikalitas Kegotongroyongan: Berpartisipasi dalam Pembangunan

Tahapan Bentuk Data Indeksikalitas RefleksifitasBagian 2:

Mengamati

Proses Pelaksanaan

Wawancara Dengan Masyarakat

Wawancara dengan masyarakat yang sedang membangun

jalan

“ Proyek pembangunan jalan ini didanai oleh APBD, sedangkan warga Tengger memberikan sumbangan berupa gotong-royong tenaga dan makanan...”

“Swadaya dari masyarakat dalam bentuk dana ada tetapi nilainya kecil...”

Wawancara Dengan Masyarakat

Wawancara dengan masyarakat

“Gotong-royong tidak hanya dilakukan pada saat pembangunan desa..”

“...gotong-royong juga dilakukan pada saat masyarakat ada yang mempunyai hajatan seperti sunatan...”

Wawancara Dengan Masyarakat

Wawancara dengan masyarakat

“Semua kegiatan dilakukan secara bergotong royong dan saling melengkapi..”

“Sebelum upacara kasada di laksanakan biasanya ada kumpul-kumpul yang bapak-bapak ngurus upacara, yang ibu-ibu ngurus ugo rampe (ongkek)...”

Page 106: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

99 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 6

Kejujuran:

Bentuk Pertanggungjawaban Ala Masyarakat Suku Tengger

“Selama 9 tahun kepemimpinan, saya ingin melaporkan secara langsung kepada rakyat apa yang telah saya lakukan. Bentuk pertanggungajwaban secara langsung kepada rakyat merupakan tanggungjawab moral saya kepada rakyat yang telah memilih saya.” (Bupati Probolinggo, HA, 20 Februari 2012).

“ Saya sebagai pemimpin Suku Tengger yang telah dipilih oleh masyarakat dan tokoh adat, setiap tahunnya mempertanggungjawabkan kegiatannya secara langsung kepada masyarakat. Ini merupakan bentuk kejujuran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya”

(S, 20 Februari 2012).

Tanggung jawab adalah salah satu ajaran pokok dari agama, dan merupakan sifat terpuji yang mendasar dalam diri manusia. Setiap individu memiliki sifat tanggung jawab, yang akan semakin membaik jika kepribadian orang tersebut meningkat. Setiap individu pasti akan mempertanggung jawabkan perbuatannya, sekecil apapun, dan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi orang yang kurang takut terhadap Tuhan, terdapat konsep mengenai hukum karma. Bahwa alam semesta akan berfungsi sedemikian rupa sehingga setiap kejahatan akan kembali kepada si pembuatnya dengan berbagai cara.

Sementara bagi orang-orang yang tidak peduli dengan ajaran agama, masih ada keyakinan tentang hati nurani. Bahwa tubuh memiliki jiwa, dan jiwa menyimpan hati nurani, tempat dari segala kebaikan dan kebenaran. Barang siapa berbuat salah dan tidak mau mempertanggung jawabkannya, maka dia akan melawan hati nuraninya sendiri.

Tanggung jawab dikelompokkan menjadi dua. Pertama, tanggung jawab individu terhadap diri pribadinya. Dia harus bertanggung jawab terhadap akal (pikiran)-nya, ilmu, raga, harta, waktu, dan kehidupannya secara umum. Kedua, tanggung jawab manusia kepada orang lain dan lingkungan (sosial) dimana dia hidup. Kita ketahui bersama bahwa manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya untuk pengembangan diri. Dengan kata lain, ia mempunyai kewajiban-kewajiban moral terhadap lingkungan sosialnya.

Sebagai bentuk tanggung jawab, baik kepada diri pribadi maupun kepada masyarakat yang telah memilihnya, kepala daerah menyusun laporan pertanggungjawaban. Bentuk laporan pertanggungjawaban tersebut, yaitu

Page 107: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

100100

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 4 Januari 2007 telah menetapkan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur mekanisme dan tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat.

Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah, merupakan mekanisme dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas-tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah. Meliputi penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pada masyarakat selama kurun waktu satu tahun anggaran.

Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Probolinggo Tahun 2008 – 2013, strategi pembangunan daerah dituangkan dalam bentuk tema tahunan prioritas pembangunan. Tema prioritas pembangunan tersebut mencerminkan urgensi urusan yang hendak diselesaikan setiap tahunnya, tanpa mengabaikan urusan lainnya. Ada pun tema prioritas pembangunan tahun 2011 adalah “peningkatan ketersediaan bahan pangan bagi masyarakat dengan didukung oleh peningkatan produksi hasil pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan serta perkuatan ekonomi sektor riil, investasi dan infrastruktur daerah”.

Selain mekanisme formal yang diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang, Pemerintah Kabupaten Probolinggo, dalam hal ini Bupati Probolinggo menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat di Alun-Alun Kraksaan Probolinggo. Fenomena ini menarik diungkap karena belum pernah terjadi dan dilakukan oleh Kota/Kabupaten lain di Jawa Timur bahkan di Indonesia.

Fenomena pertanggung jawaban langsung, juga terjadi pada masyarakat Suku Tengger, khususnya di Desa Ngadisari. Dimana petinggi menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung kepada masyarakat Suku Tengger. Penyampaian LKPJ Kepala Desa atau biasa disebut Petinggi, dilaksanakan pada Bulan Desember, dengan dihadiri hampir seluruh masyarakat Suku Tengger. Dalam bab ini akan diuraikan tentang mekanisme pertanggungjawaban Bupati Probolinggo kepada DPRD sebagai wakil rakyat, pertanggungjawaban ala rakyat yang langsung disampaikan di hadapan rakyat, dan pertanggungjawaban petinggi Suku Tengger sebagai bentuk kejujuran kepada masyarakat.

Page 108: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

101 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

A. Ceremonial Accountability: Sebuah Akuntabilitas Formal

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kabupaten Probolinggo Tahun 2011 disusun dengan sistematika berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007, yang terdiri dari 7 bab.

Bab Pertama diuraikan secara umum mengenai dasar hukum, gambaran umum daerah yang meliputi kondisi geografis daerah, gambaran umum demografis dan kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi di Kabupaten Probolinggo diukur dari PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. Selama periode tahun 2007 – 2011 mengalami peningkatan yang signifikan. Tercatat sejak tahun 2007 mengalami pertumbuhan sebesar 7,02 %. Pada tahun 2008 mengalami perlambatan menjadi sebesar 4,74 %. Pada tahun 2009 sebesar 5,72 %, tahun 2010 menjadi sebesar 6,19 %, sedangkan pada tahun 2011 pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 6,23%. Sementara itu laju inflasi berdasarkan angka sementara tahun 2011, berada pada angka 5,96 % yang lebih rendah dibanding tahun 2010 yaitu sebesar 6,30 %. Penurunan tingkat inflasi tersebut terutama berasal dari sisi permintaan dan penawaran.

Bab kedua dijelaskan Visi dan Misi Kabupaten Probolinggo adalah sebagai berikut: Visi: “Terwujudnya Kabupaten Probolinggo Yang Sejahtera, Berkeadilan, Mandiri, Berwawasan Lingkungan Dan Berakhlak Mulia”

Untuk mewujudkan visi tersebut telah disusun misi sebagai berikut :

1. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan daya saing daerah, pertumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan, dan optimalisasi pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.

2. Mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia melalui peningkatan koalitas pelaksanaan otonomi daerah dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bersih.

Dalam mewujudkan visi dan misi tersebut prioritas pembangunan Kabupaten Probolinggo Tahun 2011 adalah :

1. Penanggulangan kemiskinan dan pengangguran2. Peningkatan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan 3. Peningkatan ketahanan pangan melalui optimalisasi produksi

pertanian, peternakan dan perikanan4. Percepatan pembangunan infrastruktur dan perekonomian daerah5. Peningkatan kualitas pelayanan publik dan pelaksanaan otonomi

daerah 6. Pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan bencana alamDalam bab ketiga dijelaskan tentang pengelolaan pendapatan daerah,

yang lebih difokuskan kepada upaya peningkatan kemampuan keuangan

Page 109: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

102102

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah. Peningkatan ini diperlukan untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, serta pelayanan pada masyarakat. Realisasi pendapatan daerah tahun 2011 sebesar Rp.1.135.278.275.012,73 atau tercapai sebesar 101,76 %. Pendapatan asli daerah realisasinya mencapai 109,60 %. Dana perimbangan tingkat realisasi sebesar 101,20 %, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah realisasinya mencapai 103,90 % dari target yang ditetapkan.

Tabel 20: Plafon Dan Realisasi Pendapatan Daerah Tahun 2011

No. URAIANTAHUN 2011

ANGGARAN REALISASI (%)

1 PENDAPATAN DAERAH 1.115.673.806.060,00 1.135.278.275.012,73 101,76

1.1 Pendapatan Asli Daerah 69.024.951.900,00 75.653.787.687,73 109,60

1.1.1 Pajak Daerah 13.086.000.000,00 14.500.649.959,00 110,81

1.1.2 Retribusi Daerah 35.898.811.500,00 37.363.470.509,99 104,08

1.1.3Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

8.180.781.000,00 8.180.781.027,47 100,00

1.1.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 11.859.359.400,00 15.608.886.191,27 131,62

1.2 Dana Perimbangan 781.354.090.000,00 790.745.075.499,00 101,20

1.2.1 Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 66.993.199.000,00 76.396.080.499,00 114,04

1.2.2 Dana Alokasi Umum 638.828.591.000,00 638.828.595.000,00 100,00

1.2.3 Dana Alokasi Khusus 75.532.300.000,00 75.520.400.000,00 99,98

1.3 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 258.794.764.160,00 268.879.411.826,00 103,90

1.3.1 Pendapatan Hibah 1.640.055.000,00 904.175.000,00 55,13

1.3.2

Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintahan Daerah Lainnya

39.942.000.000,00 44.652.270.319,00 111,79

1.3.3 Dana Penyesuain dan Otonomi Khusus 172.322.514.160,00 172.322.514,16000 100,00

1.3.4Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya

51.390.195.000,00 51.000.452.347,00 99,24

Jumlah Pendapatan 1.115.873.806,00 1.135.278.275.012,73 101,76Sumber : Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah sebelum Audit BPK RI

Page 110: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

103 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Pengelolaan belanja daerah diprioritaskan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dalam rangka melaksanakan kewenangan/urusan pemerintahan daerah. Realisasi belanja daerah tahun 2011 sebesar Rp. 1.112.595.892.782,76, apabila dibandingkan antara realisasi pendapatan dengan belanja daerah pada tahun 2011, maka terjadi surplus sebesar Rp. 22.682.382.229,97.

Tabel 21: Plafon dan Realisasi Belanja Daerah Tahun 2011

No. JENIS BELANJA DAERAH

TAHUN 2011

PLAFON REALISASI (%)

2 BELANJA 1.195.174.729.060,00 1.112.595.892.782,76 93,09

2.1 Belanja Tidak Langsung (BTL) 698.539.777.360,00 685.297.941.491,82 98,10

2.1.1 Belanja Pegawai 569.582.554.160,00 559.880.233.534,00 98,30

2.1.2 Belanja Bunga 0,00 0,00 0,00

2.1.3 Belanja Subsidi 0,00 0,00 0,00

2.1.4 Belanja Hibah 10.367.894.000,00 10.010.699.000,00 96,55

2.1.5 Belanja Bantuan Sosial 44.280.684.361,00 43.413.316.131,43 98,04

2.1.6 Belanja Bagi Hasil 256.669.000,00 256.669.000,00 100,00

2.1.7Belanja Bantuan Keuangan Kepada Pemerintahan Desa

66.670.135.839,00 66.142.865.426,39 99,21

2.1.7 Belanja Tidak Terduga 7.381.840.000,00 5.594.158.400,00 75,78

2.2 Belanja Langsung (BL) 496.634.951.700,00 427.297.951.290,94 86,04

2.2.1 Belanja Pegawai 47.699.394.500,00 43.881.437.243,56 92,00

2.2.2 Belanja Barang dan Jasa 170.697.559.800,00 157.834.177.558,38 92,46

2.2.3 Belanja Modal 278.237.997.400,00 225.582.336.489,00 81,08

Jumlah Belanja 1.195.174.729.060,00 1.112.595.892.782,76 93,09Sumber : Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (diolah)

Sedangkan realisasi penerimaan pembiayaan daerah tahun 2011 sebesar Rp. 105.730.642.211,72 dan realisasi pengeluaran pembiayaan daerah sebesar Rp. 23.970.000.000,00. Sehingga terdapat sisa pembiayaan netto sebesar Rp. 81.760.642.211,72. Dari sisa pembiayaan netto ditambah dengan surplus anggaran, maka terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran tahun 2011 sebesar Rp. 104.443.024.441,69, dan sesuai ketentuan telah dialokasikan dalam APBD Tahun 2012 sebesar Rp. 74.036.034.100,00 pada pos penerimaan pembiayaan daerah.

Page 111: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

104104

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Tabel 22: Plafon dan Realisasi Pembiayaan Daerah Tahun 2011

No. PEMBIAYAAN DAERAHTAHUN 2011

PLAFON REALISASI (%)

3 PEMBIAYAAN DERAH 81.627.003.000,00 81.760.642.211,72 100,16

3.1 Penerimaan Pembiayaan Daerah 105.652.003.000,00 105.730.642.211,72 100,07

3.1.1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 101.022.503.000,00 101.022.503.112,84 100,00

3.1.2 Transfer dari Dana Cadangan 0,00 0,00

3.1.3 Penerimaan dari Obligasi 0,00 0,00

3.1.4 Hasil Penjualan Aset Daerah yang dipisahkan 0,00 0,00

3.1.7Hasil Pengembalian Pinjaman/Modal dari Pihak ke III

4.629.500.000,00 4.708.139.098,88 101,70

3.1.8 Penerimaan Piutang Daerah 0,00 0,00

3.2 Pengeluaran Pembiayaan Daerah 24.025.000.000,00 23.970.000.000,00 99,77

3.2.1 Transfer ke Dana Cadangan 15.000.000.000,00 15.000.000.000,00 100,00

3.2.2 Penyertaan Modal (Saham) 2.725.000.000,00 2.725.000.000,00 100,00

3.2.3 Pembayaran Utang Pokok yang jatuh tempo 0,00 0,00

3.2.4 Pemberian Pinjaman/Modal kepada Pihak ke III 6.300.000.000,00 6.245.000.000,00 99,13

3.3 Sisa Lebih Pembiayaan Tahun Berkenaan 2.126.080.000,00 104.443.024.441,69

3.3.1 Sisa Lebih Pembiayaan Tahun Berkenaan 2.126.080.000,00 104.443.024.441,69

Jumlah Pembiayaan Daerah 81.627.003.000,00 81.760.642.211,72 100,16

PEMBIAYAAN NETTO (3.1-3.2) 81.627.003.000,00 81.760.642.211,72 100,16

Sumber : Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah sebelum Audit BPK-RI

Di bab keempat dijelaskan tentang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Terdapat 23 (dua puluh tiga) urusan wajib dan 8 (delapan) urusan pilihan yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah.

Dalam tulisan ini hanya akan dibahas 3 urusan wajib yang sangat berkaitan dengan hak masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan dan sosial. Penyelenggaraan program kegiatan bidang pendidikan diarahkan untuk

Page 112: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

105 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, peningkatan mutu pendidikan, perluasan akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan serta peningkatan tata kelola dan akuntabilitas publik. Program yang dilaksanakan antara lain pendidikan anak usia dini, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah serta peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Hasil yang telah dicapai, antara lain: hasil Ujian Nasional di tahun 2011 pada tingkat siswa SD/MI sampai SMA/K lulus 100 %, lembaga SD, SMP, SMA/SMK/MA yang terakreditasi sudah 100 %, guru yang bersertifikasi mulai tahun 2006 sampai tahun 2011 berjumlah 3.800 guru.

Permasalahan dalam bidang pendidikan, masih adanya kendala pemenuhan tenaga pendidik di daerah sulit, untuk penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, dan masih kurangnya kompetensi/kreativitas tenaga pendidik dalam menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Sehingga berpengaruh pada keaktifan dan kreatifitas siswa di kelas. Solusi yang diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, adalah mengadakan pemerataan tenaga pendidik di daerah sulit dan mengusulkan penambahan tenaga pendidik, serta memberi pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi/kreativitas dalam mengajar siswa di sekolah.

Penyelenggaraan program kegiatan bidang kesehatan, diarahkan untuk mencapai peningkatan perlindungan terhadap kesehatan ibu dan anak, penurunan gizi buruk pada balita, peningkatan pencegahan dan pemberantasan penyakit, peningkatan pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam perilaku hidup bersih dan sehat, serta peningkatan pemerataan dan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat. Program yang dilaksanakan antara lain, perbaikan gizi masyarakat, pengembangan lingkungan sehat, pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, serta pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin.

Permasalahan kesehatan yang terjadi diantaranya, penempatan tenaga kesehatan yang ada masih belum merata di semua wilayah, karena kurangnya jumlah tenaga kesehatan, serta angka kematian ibu dan bayi masih cukup tinggi. Solusi yang telah dilakukan adalah penambahan jumlah tenaga kesehatan secara bertahap, meningkatkan kemitraan antara bidan dan dukun bayi, melakukan kegiatan swadaya serta pelaksanaan audit maternal perinatal non medis di kecamatan. Hasil yang telah dicapai, antara lain :

1. Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) tahun 2011 sebesar 11,71 telah dapat diturunkan dibanding tahun 2010 sebesar 12,69.

2. Angka kematian ibu (per 100.000 kelahiran hidup) tahun 2011 sebesar 80,58 telah mampu diturunkan dibanding tahun 2010 sebesar 86,74.

3. Prevalensi gizi buruk tahun 2011 sebesar 2,3 %, menurun dibanding tahun 2010 sebesar 3,3 %.

Penyelenggaraan program kegiatan bidang sosial, diarahkan untuk

Page 113: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

106106

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

peningkatan koordinasi pelayanan kesejahteraan sosial, keswadayaan masyarakat dan pengembangan kapasitas kelembagaan kemasyarakatan desa / kelurahan. Program yang dilaksanakan, antara lain pemberdayaan fakir miskin, pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, serta pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial. Permasalahan yang dihadapi adalah kurang terlibatnya masyarakat dan dunia usaha dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial. Solusinya adalah peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam menangani masalah sosial. Hasil yang telah dicapai, antara lain terbentuknya 5 (lima) lembaga WKSBM (wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat) masing-masing di Kecamatan Kuripan, 3 (tiga) lembaga di Desa Jatisari, Desa Karangrejo, Desa Wringin Anom, serta di Kecamatan Dringu 2 (dua) lembaga di Desa Pabean dan Desa Tegalrejo.

Di bab kelima diuraikan tugas pembantuan, yang merupakan penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa, untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Pelaksanaan tugas pembantuan di Kabupaten Probolinggo mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Di Kabupaten Probolinggo tugas pembantuan di tujukan kepada 11 SKPD.

Bab keenam LKPJ membahas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan yang meliputi kerjasama antar daerah, kerjasama daerah dengan pihak ketiga, koordinasi dengan instansi vertikal di daerah, pembinaan batas wilayah, pencegahan dan penanggulangan bencana, pengelolaan kawasan khusus dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum.

Terakhir bab 7 (tujuh) menguraikan hal-hal pokok, sebagai ringkasan eksekutif atas rangkaian kegiatan dan hasil yang telah ditempuh Pemerintah Kabupaten Probolinggo selama tahun 2011. Berdasarkan hasil evaluasi laporan keterangan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat tahun 2011 dengan mengacu pada rencana kerja pemerintah tahun 2011, isu startegis dalam RPJMD Kabupaten Probolinggo Tahun 2008 – 2013, yang digunakan untuk menentukan isu stategis pada Tahun 2011, secara umum laporan pertanggungjawaban bupati berkinerja cukup baik.

B. Menguak Motif di Balik Panggung Pertanggungjawaban Langsung “Ala Rakyat” Bupati Probolinggo

Drama politik yang dilakonkan oleh para politisi anak negeri, selalu saja membuat hingar bingar dan menggemparkan. Bukan hanya silang sengkurat, adu kekuatan politik untuk memperebutkan kekuasaan, rakyat juga disuguhi

Page 114: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

107 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

berbagai tontonan iklan partai politik dan politisi, untuk meraup simpati dan membangun kepercayaan. Panggung politik dan kekuasaan bukan hanya sekedar dipertontonkan tetapi disuguhkan untuk mendapatkan tepuk tangan dan juga dukungan. Bahkan panggung hiburan-pun disetting sedemikian rupa, untuk dijadikan sebagai media pencitraan.

Tidak terkecuali di Kabupaten Probolinggo, sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang didiami oleh masyarakat Suku Tengger. Selain mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah kepada wakil rakyat, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, sebuah hajatan besar dan perhelatan akbar yang dibungkus acara peringatan Mauludan Nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pada Senin, 20 Februari 2012. Perhelatan ini diadakan dengan judul besar “9 tahun Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Probolinggo Ala Rakyat”.

Padatnya acara yang dimeriahkan berbagai atraksi kesenian, dari pagi hingga malam sungguh meriah dan menghipnotis seluruh masyarakat yang hadir. Sebuah “tontonan” sekaligus “tuntunan” yang belum pernah terjadi di negeri ini telah merubah tradisi, dan menambah rangkaian “inovasi” sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi di negeri ini.

Pada hari itu, lebih dari 15.000 (lima belas ribu) masyarakat Kabupaten Probolinggo telah memadati alun-alun Kraksaan. Mereka yang turun dari gunung dan datang dari pesisir, berbondong-bondong untuk menyaksikan dan mendengarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati (LKPJ) ala rakyat yang disampaikan secara langsung oleh Bupati Probolinggo.

Sebuah panggung raksasa telah disiapkan oleh panitia dengan berbagai rangkaian acara. Diantaranya, hiburan rakyat, kesenian tradisional, penampilan prestasi anak-anak sekolah, dan pemutaran film perjuangan. Sebuah even yang inovatif, kreatif dan unik, yang dilakukan oleh Kepala Daerah untuk mempertanggungjawabkan masa kepemimpinannya selama 9 tahun yang baru pertama kali terjadi.

Selama 9 tahun pengabdian, berbagai upaya telah dilakukan oleh Bupati Probolinggo untuk memajukan daerahnya. Diantaranya: 317 bangunan pendidikan, 225 bangunan kesehatan, 1,04 juta meter rehab jalan, 54 bangunan jembatan, 10.520 meter jaringan air bersih, 22,40 kilometer kolam embung, 7 bangunan monumental pelayanan publik dan berbagai program serta kegiatan lainnya yang menjadikan Pemerintah Kabupaten Probolinggo lebih baik. Berbagai program dan kegiatan yang dilakukan selama 9 tahun pengabdian, sudah sesuai dengan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), yang mencakup penyelenggaraan urusan desentralisasi, urusan tugas pembantuan dan tugas umum pemerintahan.

Page 115: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

108108

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

LKPJ merupakan bentuk akuntabilitas publik pemerintah kepada rakyatnya. Bagi pemerintah Kabupaten Probolinggo, bentuk akuntabilitas yang dilakukan oleh Bupati, tidak hanya akuntabilitas formalitas yang dilaporkan pada sidang paripurna legislatif, yang menunjukkan kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga akuntabilitas moral kepada rakyatnya secara langsung.

Menurut Rubin dalam artikelnya yang berjudul Budgeting For Accountability: Municipal Budgeting For The 1990’s ada beberapa jenis akuntabilitas yaitu, Pertama, akuntabilitas respon birokrasi dan atau kekuasaan yang lebih tinggi, yang secara khusus menunjukkan ketaatan kepada hukum. Kedua, akuntabilitas keuangan yang merupakan pelaporan kepada publik tentang bagaimana uang publik dibelanjakan. Ketiga, akutabilitas menekankan pada tanggung jawab pegawai terpilih terhadap hasil anggaran dan kualitas manajemen keuangan. Dan Keempat, akuntabilitas menekankan pada pengendalian warga negara secara langsung untuk mempengaruhi bentuk anggaran, proses, alokasi dan pioritas dalam anggaran.

Secara umum apa yang dilakukan oleh Bupati Probolinggo sesuai dengan bentuk akuntabilitas pertama dan kedua. Menurut pengamatan penulis pula, event LKPJ “Ala Rakyat” sebagai bentuk akuntabilitas publik Bupati Probolinggo kepada rakyat, merupakan event pertama di Kabupaten/Kota Jawa Timur atau bahkan di Republik Indonesia. Jika kualitas pertanggungjawaban kepada publik semakin baik, maka kepercayaan rakyat terhadap pemerintah juga semakin baik. Hal ini sejalan dengan beberapa riset terdahulu tentang akuntabilitas publik. (Deegan et al., 2002; Milne and Patten, 2002; Adams, 2004, Hyndman and Anderson, 1991; Pallot, 1992; Taylor and Rosair, 2000; Hooks et al., 2001; and Steccolini, 2004).

Dalam kesempatan wawancara dengan Bupati, dapat diungkap bahwa motivasi yang melandasi pertanggungjawaban ala rakyat adalah kejujuran, untuk mengungkap secara transparan berbagai program dan kegiatan yang telah dilakukan selama dua periode kepemimpinannya. Banyak hal yang telah dilakukan oleh Bupati Probolinggo dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti dalam kutipan pernyataannya:

“Selama 9 tahun kepemimpinan, saya ingin melaporkan secara langsung kepada rakyat apa yang telah saya lakukan bersama-sama dengan muspida dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tanpa ada kerjasama yang baik antara pemerintah, DPRD dan rakyat maka pembangunan tidak akan mencapai tujuan. Saya menyadari masih terdapat berbagai kekurangan dalam kepemimpinan saya dan semoga dapat diperbaiki di kepemimpinan mendatang. Bentuk pertanggungajwaban secara langsung kepada rakyat merupakan tanggungjawab moral saya kepada rakyat yang telah memilih saya.” (HA, 20 Februari 2012).

Page 116: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

109 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Berbagai komponen masyarakat yang hadir dalam acara tersebut, menyambut sangat gembira, adanya panggung pertanggungjawaban langsung. Ada banyak alasan mengapa masyarakat merasa senang dengan acara tersebut, diantaranya dapat melihat langsung bupatinya, ada hiburan rakyat yang sangat beragam, ada pasar rakyat dan berbagai tontonan lainnya. Berikut beberapa kutipan wawancara dengan masyarakat yang senang dan setuju adanya pertanggungjawaban secara langsung tersebut.

“Saya senang sekali bisa ketemu dan salaman sama Bapak Bupati Hasan, selama ini hanya melihat Bupati dari fotonya saja....”(T, 20 Februari 2012)

“Saya senang bisa melihat hiburan gratis dari pagi sampai malam, apalagi ada artis yang datang secara langsung dari jakarta yaitu Marzela...”( K, 20 Februari 2012)

“Alkhamdulilah saya bisa berbelanja sembako murah, terimakasih Bapak Bupati....” (W, 20 Februari 2012)

“Anak saya tiga, saya ajak semua ke alun-alun nonton pertunjukan, alkhamdulilah mereka semua senang sekali, terimakasih Bapak Bupati...” (U, 20 Februari 2012)

Selain masyarakat yang setuju, saya mencoba mencari masyarakat yang tidak setuju dengan adanya acara tersebut. Terdapat kelompok yang kurang sepaham dengan Bupati yang sedang memimpin dan menyatakan bahwa pertanggungjawaban ala rakyat penuh dengan muatan politik. Muatan politik tersebut dikaitkan dengan rencana pencalonan Ibu Tanti Aminudin, yang saat itu adalah istri Bupati. Berikut petikan wawancaranya.

“Saya melihat kegiatan ini hanya sebagai kedok karena Ibu Bupati akan mencalonkan sebagai Bupati menggantikan Bapak Hasan...Jadi bukan karena murni ingin mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, tetapi ada udang di balik batu....”(A, 20 Februari 2012)

“Sembilan tahun telah memimpin menurut saya belum ada kemajuan yang signifikan, karena masih banyak masyarakat yang miskin terutama di daerah pelosok dan pegunungan. Program yang dilakukan juga tidak merata dan lebih banyak di pusat kota. Saya mengapresiasi kegiatan ini, sayangnya ditumpangi dengan Kampanye oleh ibu Bupati..” (I, 20 Februari 2012)

“Saya berharap Bupati mendatang terpilih bukan karena menjadi Istri Bupati yang sekarang, tetapi karena kemampuannya. Meskipun saat itu deklarasi pencalonannya ikut Nebeng dengan kegiatan pertanggungjawaban Bupati. (W, 20 Februari 2012)

Dua fenomena di atas, baik yang setuju maupun yang tidak setuju

Page 117: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

110110

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

karena berbagai alasan politik, perlu mendapat ruang apresiasi. Hal tersebut, menunjukkan ada niat baik dari Bupati sebagai pemimpin untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya di depan rakyat secara langsung.

Tuntutan transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah daerah dan kepala daerah, hendaknya menjadikan rakyat berhak untuk menagih janji-janji politik ketika kampanye, kepada bupati terpilih. Dalam bentuk media apapun, Kepala Daerah berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas kinerja pemerintahan yang tidaklah harus rigit dan kaku. Tidak hanya disampaikan kepada DPRD yang notabene sebagai wakil rakyat, namun juga dapat langsung melaporkannya kepada rakyat.

Panggung pertanggungjawaban “ala rakyat” di Kabupaten Probolinggo, merupakan model pertanggungjawaban yang bisa dijadikan best practice bagi kepala daerah lainnya, untuk lebih transparan dan akuntabel, serta lebih dekat dengan rakyat, sekaligus memberikan ruang partisipasi bagi rakyat untuk terlibat.

C. Indeksialitas Kejujuran Dalam Pertanggungjawaban Petingi Suku Tengger

Konsep yang mendasari hubungan tiga arah dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger, adalah hubungan manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship). Sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan (saling mengunjungi), sayan (gotong royong, saling bantu membantu) yang didasari semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten kuat (saling tolong menolong) merupakan dasar ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia.

Selain itu, masyarakat Suku Tengger mempunyai pandangan hidup Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya; Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana; Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, artinya pimpinan atau pemerintah; Prasetya berarti setya; Prayitna berarti waspada. Nilai kearifan lokal kepatuhan (Setuhu), kegotong-royongan (sayan) dan kejujuran terinternalisasi tidak hanya dalam proses penganggaran, tetapi di segala sendi kehidupan, baik yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan maupun upacara adat.

Desa Ngadisari yang merupakan desa tertinggi di puncak Gunung Bromo, selain melaksanakan mekanisme musrenbang desa yang berbeda dengan desa lainnya di Suku Tengger, juga melakukan mekanisme pertanggungjawaban secara langsung kepada masyarakat dalam forum “rembug warga tengger”. Dalam kegiatan tersebut, Petinggi Suku Tengger yang telah memimpin desa selama waktu satu tahun, akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di akhir tahun.

Page 118: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

111 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Mekanisme pertanggungjawaban secara langsung tersebut, dibarengkan dengan mekanisme musyawarah warga. Jadi dalam rembug warga, selain petinggi memaparkan berbagai kegiatannya, juga memberikan kesempatan kepada semua masyarakat Suku Tengger yang hadir, untuk mengusulkan ide atau prakarsa pembangunan dalam bentuk berbagai kegiatan. Usulan tersebut akan dibawa pada saat mekanisme musrenbang secara formal di bulan Januari, sesuai dengan aturan pemerintah.

Rembug warga ini merupakan mekanisme yang sesungguhnya terjadi, dan bukan hanya sekedar formalitas. Pada saat dilakukan rembug warga tersebut, semua masyarakat tak terkecuali diundang untuk hadir di balai desa, yang pelaksanaannya di bulan Desember dengan terlebih dahulu menentukan hari baik. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Petinggi dan Sesepuh Tengger sebagai berikut:

“ Dalam tradisi masyarakat Tengger ketika melaksanakan semua kegiatan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak kami selalu menentukan hari baik menurut hitungan Tengger, kami percaya bahwa dengan menghitung hari baik, semua proses akan berjalan dengan lancar....” (S, 2 Februari 2011)

“ Kami percaya bahwa semua hari baik, tapi ada satu hari yang paling baik untuk melakukan kegiatan warga. Cara penentuan hari baik dilihat dari bintang dalam satu minggu. Kegiatan paling banyak dilakukan dihari baik yaitu ngahat, kamis dan jumuhat.....(J, 2 Februari 2011).

Untuk menentukan hari baik, masyarakat biasanya datang ke dukun dan meminta saran kapan waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan. Dalam penentuan hari untuk kegiatan “rembug warga”, Dukun akan menentukan kapan hari dan waktu pelaksanaanya. Berdasarkan hasil catatan di lapangan, “rembug warga” masyarakat Suku Tengger tahun 2010 dilakukan pada tanggal 26 Desember 2010 pukul 09.00 WIB, bertepatan dengan hari minggu. Selain hari minggu sebagai hari baik, hampir semua masyarakat yang bekerja selain petani di ladang, juga dapat ikut hadir memberi masukan kepada pemerintah desa. Pada hari itu, hampir seluruh masyarakat hadir, bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi, bahkan anak-anak-pun diajak, sehingga suasana begitu meriah.

Kegiatan yang dilakukan pada saat rembug warga adalah laporan pertanggungjawaban kegiatan selama satu tahun, yang telah dilakukan oleh pemerintah desa. Berdasarkan usulan hasil musrenbang sebanyak 13 kegiatan, hanya ada 6 kegiatan yang didanai pada tahun 2011, yaitu kegiatan bidang fisik prasarana. Diantaranya perbaikan gang desa, pengaspalan jalan dan pembuatan plengsengan. Sementara kegiatan bidang ekonomi dan keuangan yang didanai adalah pelatihan/peralatan sablon, dan pemberian bibit kentang

Page 119: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

112112

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

kepada petani Suku Tengger. Sedangkan kegiatan bidang sosial budaya yang didanai adalah pemeliharaan sanggar tari.

Selain petinggi (kepala desa) melaporkan semua pembangunan yang telah dilakukan dan dibiayai oleh APBD. Petinggi juga melaporkan kegiatan-kegiatan keagamaan yang didanai oleh swadaya masyarakat. Misalnya melaporkan kegiatan upacara Karo dan Kasodo yang memakan biaya yang cukup besar. Setelah kegiatan pertanggungjawaban selesai dilakukan, maka kegiatan berikutnya adalah mencari atau menampung usulan masyarakat untuk kegiatan atau pembangunan tahun berikutnya. Para ibu juga terlihat sangat repot mempersiapkan berbagai sajian, berupa makanan dan minuman. Sebelumnya saat dilakukan kegiatan rembug warga, ibu-ibu juga menyiapkan berbagai sesaji yang diperlukan.

Kegiatan pertanggungjawaban ala masyarakat Suku Tengger, berdasarkan hasil wawancara dengan Petinggi (kepala desa) Suku Tengger, merupakan bentuk kejujuran yang telah dilakukan oleh pemimpin kepada rakyatnya. Sementara dari sisi masyarakat Suku Tengger sendiri melihat, bahwa rembug desa merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger. Kegiatan ini manfaatnya sangat banyak bagi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih serta transparan. Hal ini seperti yang diungkap pada saat wawancara sebagai berikut:

“ Saya sebagai pemimpin Tengger yang telah dipilih oleh masyarakat dan tokoh adat, setiap tahunnya mempertanggungjawabkan kegiatannya secara langsung kepada masyarakat. Ini merupakan bentuk kejujuran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya” (S, 3 Februari 2011).

“ Sebagai warga Tengger saya merasa hidup damai dan tentram. Berbagai rangkaian kegiatan berjalan secara baik dan transparan. Salah satu bentuk transparansi dalam kegiatan pemerintah adalah adanya rembug desa. Semua warga masyarakat Tengger juga sangat patuh kepada pemimpinnya, baik pemimpin desa maupun pemimpin adat” (K, 3 Februari 2011)

“ Kegiatan rembug warga Tengger merupakan kegiatan rutin tahunan yang sangat bagus sebagai ajang silaturhmi. Dalam kegiatan itu banyak sekali warga Tengger yang hadir untuk mendengarkan pertanggungjawaban secara langsung pak Petinggi. Pertanggungjawaban ini merupakan kejujuran pemimpin terhadap warganya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan (P, 3 3 Februari 2011)

Berbagai ungkapan di atas menunjukkan, terdapat nilai kearifan lokal kejujuran yang terinternalisasi dalam pertanggungjawaban pembangunan selama satu tahun. Pertanggungjawaban ala rakyat yang dilakukan oleh Kepala Desa Ngadisari, selaku Petinggi Suku Tengger, merupakan bentuk

Page 120: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

113 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

kejujuran yang dilakukan pemimpin kepada rakyat yang telah memilihnya. Bentuk pertanggungjawaban langsung tidak banyak dijumpai di desa lainnnya.

Dalam konteks pertanggungjawaban petinggi kepada masyarakat Suku Tengger, dengan sebutan “ rembug desa Tengger” merupakan bentuk internalisasi nilai kearifan lokal kejujuran dan keterbukaan pemimpin kepada masyarakatnya. Bentuk indeksikalitas kejujuran dalam pertanggungjawaban seperti ini tidak ditemui di desa lainnya di luar Wilayah Tengger. Nilai kejujuran menambah nilai kearifan lokal masyarakat Suku Tengger, selain nilai kepatuhan yang terinternaslisasi dalam proses perencanaan pembangunan, dan nilai kearifan lokal kegotong royongan yang terinternalisasi dalam proses implementasi pembangunan. Jadi terdapat tiga indeksikalitas kearifan lokal dalam proses penganggaran daerah. Indeksikalitas kejujuran seperti tampak pada tabel dibawah ini.

Tabel 23: Indeksikalitas Kejujuran: Bentuk Pertanggungjawaban Rakyat Ala Tengger

Tahapan Bentuk Data Indeksikalitas Refleksifitas

Bagian 2:

Mengamati

Proses Pertanggung

jawaban

Pembangunan

Wawancara Dengan Masyarakat

Wawancaar dengan Bupati Probolinggo

“..Bentuk pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat merupakan tanggungjawab moral saya kepada rakyat yang telah memilih saya...”

Dalam bentuk media apapun Kepala Daerah berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas kinerja pemerintahan yang tidaklah harus rigit dan kaku

Wawancara Dengan Masyarakat

Wawancara dengan Petinggi Tengger

Selain petinggi (kepala desa) melaporkan semua pembangunan yang telah dilakukan dan dibiayai oleh APBD

“petinggi juga melaporkan kegiatan-kegiatan keagamaan yang didanai oleh swadaya masyarakat

Wawancara Dengan Masyarakat

Wawancaar dengan Bupati Probolinggo

..pertanggungjawaban Ini merupakan bentuk kejujuran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya

Berbagai rangkaian kegiatan berjalan secara baik dan transparan.

Page 121: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

114114

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 7

Refleksivitas Nilai Kearifan Lokal:

Memformalkan Kelembagaan Partisipasi Masyarakat

“Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) pada berbagai tingkatan masih bersifat seremonial, kurang partisipasif, bahkan cenderung dianggap tidak demokratis. Maka tidak heran jika kemudian muncul plesetan dari musrenbang yaitu “musyawarah sulit berkembang”(Tatuga, 2012)

“Masyarakat banyak mengeluh soal musrenbang karena musrenbang hanya “rekayasa” perencanaan dengan memanfaatkan masyarakat. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan yang disampaikan masyarakat tidak terakomodasi. Oleh karena itu perlu dipikirkan mekanisme untuk menjaring aspirasi masyarakat secara langsung, maupun dengan mengorganisasi komunitas-komunitas”

(Hetifah, Kompas, 11 Mei 2012).

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran daerah merupakan amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Dengan adanya mekanisme musrenbang ini, masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan sehingga proses pembangunan digagas dari bawah. Pembangunan yang berasal dari usulan masyarakat akan lebih berhasil karena masyarakat yang lebih tahu kebutuhan di daerahnya.

Bagaimana sebenarnya implementasi proses musrenbang di berbagai daerah? Beberapa hasil penelitian terdahulu, serta pengalaman penulis yang melakukan pendampingan di berbagai daerah, musrenbang terkesan hanya sebagai mekanisme formal atau ceremonial budgeting. Artinya tetap dilakukan karena telah diatur oleh berbagai peraturan. Menurut Sutoro (12 Mei 2012), semestinya sistem perencanaan pembangunan nasional mengakomodasi tiga kekuatan besar politik, yakni kepala pemerintahan, parlemen, dan masyarakat. Namun, secara empirik, sistem perencanaan dan penganggaran hanya membuka peluang perebutan proyek. Jadi, elite-lah yang menangkap alokasi anggaran untuk berbagai proyek yang akan dilakukan.

Musrenbang dilaksanakan secara berjenjang. Mulai dari pramusrenbang ditingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), musrenbang kelurahan, musrenbang kecamatan, musrenbang kota/kabupaten, musrenbang provinsi, dan musrenbang nasional.

Page 122: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

115 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Musrenbang yang bertujuan untuk membahas prioritas kegiatan pembangunan dan pengalokasian anggaran, di tiap-tiap tingkatan masih menghadapi berbagai persoalan. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP/D) yang seharusnya mengacu pada proposal hasil dari musrebang, pada kenyataannya, hampir semua kebijakan pembangunan, baik nasional maupun lokal, tidak menjawab persoalan rakyat. Tingginya angka kemiskinan yang berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat masih menjadi isu strategis hampir diseluruh daerah.

Berbagai persoalan tersebut harus segera diatasi dengan mencoba menawarkan konsep baru dalam perencanaan penganggaran daerah yang berbasis pada kearifan lokal di daerahnya. Dalam bab ini akan dibahas tentang berbagai persoalan dalam musrenbang yang dikemas dalam sub judul musrenbang dalam dilema, internalisasi nilai kearifan lokal masyarakat Suku Tengger dalam proses penganggaran daerah, dan model partisipasi masyarakat berbasis kearifan lokal masyarakat Suku Tengger.

A. Musrenbang Dalam Dilema

Implementasi musrenbang sudah berjalan selama 8 (delapan) tahun. Dimulai dari musrenbang tahun 2005 sampai sekarang 2012 (saat pelaksanaan penelitian). Sebagai agenda rutin tahunan, musrenbang dianggap sebagai forum penjaringan aspirasi publik, untuk menerima masukan terhadap berbagai rencana pemerintah. Terutama rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) maupun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Faktanya musrenbang mengalami berbagai persoalan yang hampir terjadi di setiap daerah.

1. Kekurangan Musrenbang

Menurut Amir (2012), ada beberapa persoalan yang menyebabkan musrenbang tidak efektif. Pertama, partisipasi rakyat dalam proses musrenbang sangat minim. Di tingkat rembug RW, misalnya, biasanya yang hadir hanya ketua-ketua RT dan tokoh masyarakat. Seharusnya, musrenbang RW alias rembug RW ini menghadirkan seluruh rakyat di daerahnya.

Kedua, musrenbang kurang ditopang oleh pembangunan organisasi-organisasi rakyat. Demokrasi tidak mungkin berdiri tanpa adanya rakyat yang terorganisir. Sebab, pembangunan kesadaran dan kritisisme rakyat sangat efektif dilakukan melalui organisasi-organisasi rakyat. Dengan demikian, musrenbang akan menjadi efektif kalau rakyat juga bisa kritis dan memahami apa yang menjadi kebutuhannya.

Ketiga, proposal musrenbang sering disabotase oleh birokrasi korup peninggalan kolonialisme. Dalam banyak kasus, proposal musrembang dari RW ke kelurahan/desa tidak diwakili oleh delegasi yang ditunjuk rakyat.

Page 123: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

116116

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Akhirnya, ketika musrenbang kelurahan/desa berlangsung, proposal itu hilang dan diganti oleh proposal birokrasi kelurahan/desa. Dalam banyak kasus, seperti juga diakui banyak pihak, musrenbang kelurahan hingga musrembang nasional lebih banyak diisi oleh birokrasi (kades/lurah, camat, Bupati, dll).

Keempat, proposal musrenbang tidak mempengaruhi kebijakan pembangunan nasional secara umum. Di lapangan banyak dijumpai usulan kegiatan yang tidak sinkron dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Forum Musrembang hanya akan menjadi rutinitas formal tanpa arah dan kontribusi bagi kesejahteraan rakyat. Apalagi, demokrasi liberal memang cenderung mengeluarkan rakyat dalam proses penyusunan dan pengambilan kebijakan. Akan tetapi, pada tingkat lokal, forum musrenbang berpotensi dimajukan oleh gerakan rakyat. Asalkan dapat membangkitkan partisipasi rakyat di dalamnya, maka forum musrenbang di tingkat lokal bisa menjadi alat untuk memaksa pemerintahan lokal. Memaksa dalam arti, merespon kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyat seperti: perbaikan jalan, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, kebersihan, dan lain-lain.

Sementara Tatuga (2012) menjelaskan bahwa kelemahan pelaksanaan musrenbang terjadi di berbagai tingkat. Diawali dari pra-musrenbang, terutama dalam melakukan pemetaan para pihak strategis (mapping stakeholder strategic) yang diundang untuk turut berpartisipasi (LSM tidak diikutsertakan), tahapan pelaksanaan dan evaluasinya. Selain itu, masih lemahnya komitmen kepala daerah dalam melaksanakan hasil musrenbang, dan kurangnya pengawalan dari organisasi masyarakat sipil terhadap implementasi dari usulan warga. Kualitas usulan desa pada musrenbang kecamatan juga sangat lemah. Usulan yang muncul lebih sering hanya pembangunan atau perbaikan jalan, saluran air, dan usulan yang bersifat terlihat saja. Nyaris tidak ada usulan inovatif seperti kegiatan tentang pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan kegiatan keagamaan.

Selain itu, ditemukan bahwa belum ada metode yang digunakan dalam penentuan prioritas pembangunan. Padahal ide dasar musrenbang adalah untuk melihat prioritas kegiatan pembangunan, karena kendala ketersediaan anggaran selalu tidak mencukupi kebutuhan.

Dari segi konsep dan teori, banyak model yang bisa dikembangkan dalam penentuan prioritas pembangunan. Kenyataannya, prioritas tersebut hanya beriringan dengan apa yang diinginkan oleh gubernur, bupati atau walikota, dan SKPD semata. Sementara pandangan masyarakat belum tentu demikian. Usulan dari masyarakat bawah seringkali diletakkan pada kepentingan yang ke sekian kali dari kepentingan utama. Sehingga musrenbang telah dijadikan sebagai alat legitimasi oleh pemerintah atas finalisasi rencana kerja

Page 124: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

117 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

pemerintah tahunan. Kelemahan musrenbang juga telah dijadikan alasan oleh anggota Dewan, untuk “melegalkan” dana aspirasi yang tidak dikenal dalam peraturan per undang-undangan di Indonesia. Secara “legal”, seolah-olah legislatif ingin berperan sebagai eksekutif dalam menentukan calon penerima manfaat dari program atau proyek yang dititipkan pada SKPD. Dengan alasan memenuhi kepentingan konstituen yang sering diabaikan oleh eksekutif. Dalam pelaksanaannya, dana aspirasi telah menjadi potensi sebagai lahan korupsi baru bagi DPRD Kabupaten/Kota.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh LGSP-USAID memberikan pelajaran bagi pemerintah untuk memperbaiki agenda tahunan musrenbang ini. Hasil kajian dari LGSP–USAID misalnya, telah mengidentifikasi faktor-faktor kelemahan Musrenbang, di antaranya :

1. Lemahnya pemahaman kerangka peraturan (regulatory framework) dari perencanaan dan pengganggaran.

2. Kurangnya kerangka peraturan pada tingkat daerah (provinsi, kabupaten/ kota), apalagi tingkat kecamatan dan desa.

3. Lemahnya kapasitas staf pemerintah dalam penyiapan dokumen perencanaan pembangunan.

4. Lemahnya staf dalam mengelola perencanaan partisipasif, dan5. Lemahnya keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil (CSO)

dalam proses perencanaan.

2. Kearifan Lokal, Solusi Kekurangan Musrenbang

Berbagai persoalan yang terjadi di beberapa daerah menjadi pelajaran yang berharga. Tentunya bagi pemerintah daerah, untuk terus membuka diri dengan melibatkan masyarakat dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan, agar semakin demokratis, partisipasif, dan efektif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarto (2004) ditemukan bahwa partisipasi informal dianggap lebih efektif, daripada partisipasi formal yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penelitian ini juga menemukan hasil sama, yang merekomendasi agar daerah mengakomodir partisipasi yang didasarkan pada nilai kearifan lokal di daerah.

Penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih 3 tahun di masyarakat Suku Tengger telah menemukan berbagai praktek nilai kearifan lokal yang relevan dengan upaya peningkatan partisipasi masyarakat Suku Tengger. Khususnya dalam proses penganggaran daerah yang terdiri dari tahap perencanaan, implementasi pembangunan, pengesahan dan pertanggungjawaban. Nilai kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger yang berhasil diidentifikasi diantaranya: sikap ramah tamah, kepatuhan (setuhu),

Page 125: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

118118

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

guyub rukun, sanjan-sinanjan (tolong menolong), gotong royong (sayan), dan kejujuran. Berbagai nilai kearifan lokal tersebut mewarnai seluruh kehidupan masyarakat Suku Tengger.

B. Menghidupkan Kembali Nilai Kearifan Lokal: Mengurangi Dominasi Kekuasaan

Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya persoalan musrenbang yang terjadi di berbagai daerah disebabkan besarnya dominasi birokrat, baik eksekutif maupun legislatif, dalam proses perencanaan pembangunan. Sementara perwakilan dari masyarakat terlihat sangat minim. Sehingga muncul kesan bahwa musrenbang adalah proses pelibatan masyarakat yang hanya sekedar formalitas dalam perencanaan pembangunan.

Oleh karena itu penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi berbagai nilai kearifan lokal yang terinternalisasi dalam proses penganggaran, sebagai upaya untuk mengurangi dominasi kekuasaan. Nilai kearifan lokal tersebut diantaranya nilai kepatuhan (setuhu), nilai kegotongroyongan (sayan), dan nilai kejujuran.

Nilai kepatuhan atau setuhune wong tengger, diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme proses perencanaan penganggaran dan mengikuti jadwal serta tahapan yang telah ditetapkan pemerintah. Meskipun sesungguhnya mekanisme tersebut sudah dilakukan.

Nilai kearifan lokal kegotong royongan (sayan) diwujudkan dalam implementasi pembangunan di wilayah Suku Tengger. Sepanjang penulis melakukan observasi dan berada di lapangan, hampir semua pembangunan baik yang didanai oleh APBD, maupun oleh swadaya masyarakat dilakukan secara gotong royong. Gotong royong dilakukan oleh semua warga, terutama bapak-bapak dan pemuda untuk pelaksanaan pembangunan. Sedangkan para ibu dan pemudi bergotong royong menyiapkan makanan dan minuman. Sikap hidup gotong royong benar-benar membumi hampir di setiap kegiatan masyarakat Tengger.

Nilai kearifan kejujuran, diwujudkan dalam proses pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Pertanggungjawaban anggaran yang dilakukan oleh Petinggi Suku Tengger atau Kepala Desa pada akhir tahun merupakan kegiatan yang tidak dilakukan oleh pemimpin desa lain. Sebagai bentuk kejujuran pemimpin kepada rakyat yang telah mempercayainya, di Suku Tengger selalu diadakan rembug warga Tengger, dalam kerangka menjelaskan setiap kegiatan yang telah dilakukan selama satu tahun, serta menampung berbagai masukkan untuk kegiatan tahun berikutnya.

Berbagai nilai kearifan lokal tersebut diharapkan mampu melahirkan model partisipasi berbasis kearifan lokal, yang lebih efisien dan efektif dalam

Page 126: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

119 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

proses perencanaan penganggaran daerah, maupun dalam implementasi pembangunan dan pertanggungjawaban anggaran.

Sebagai suku Tengger yang mempunyai nilai kearifan lokal kepatuhan (setuhu) diperlukan model partisipasi ala tengger, yang merupakan hasil harmonisasi antara proses musrenbang secara formal dengan proses musrenbang secara informal. Model ini diharapkan menjadi best practice bagi daerah lainnya yang mempertahankan nilai keraifan lokal sesuai dengan karakteristik daerahnya.

Page 127: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

120120

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 8

Formalisasi “Rembug Tengger”:

Sebagai Model Partisipasi Berbasis Kearifan Lokal

Berbagai kendala yang terjadi dalam proses musrenbang di daerah lain di Indonesia, tidak terlalu menjadi persolaan serius di Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo. Desa yang penduduknya 99% beragama hindu dan merupakan Suku Tengger, mempertahankan berbagai budaya lokal di tengah arus modernisasi. Sebagai bagian dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo, Desa Ngadisari juga melakukan mekanisme musrenbang desa yang dilakukan di bulan Januari atau awal Februari. Musrenbang Desa dianggap sebagai kegiatan silaturahim antar warga Tengger. Jadi meskipun di akhir tahun desa Tengger telah menyepakati usulan yang akan didanai di tahun berikutnya. Musrenbang formal tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan yang di atur oleh pemerintah.

Hal ini juga didukung dengan beberapa hasil wawancara dengan camat Sukapura, Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kabupaten Probolinggo, petinggi, tokoh adat dan beberapa masyarakat Tengger. Hasil wawancara menegaskan bahwa mekanisme musrenbang desa dilakukan sebagai wujud kepatuhan wong Tengger terhadap pemerintah. Terlepas dari efektif tidaknya pelaksanaan musrenbang desa di wilayah Tengger, yang jelas masyarakat tengger telah melaksanakan apa yang menjadi kewajiban sebagai warga negara. Perdebatan apakah musrenbang desa hanya sekedar formalitas dalam proses perencanaan penganggaran, faktanya di lapangan selain mekanisme musrenbang desa, ada mekanisme lain sebagai wujud pelibatan masyarakat dalam pembangunan yaitu “rembug warga” di akhir tahun.

Desa Ngadisari yang merupakan desa tertinggi di puncak Bromo, telah melaksanakan mekanisme musrenbang desa yang berbeda dengan dengan desa lainnya di Suku Tengger, bahkan desa di wilayah lain di Indonesia. Dalam diskusi terfokus dengan beberapa perangkat Desa Ngadisari, dapat disimpulkan bahwa mekanisme perencanaan pembangunan dalam bentuk musrenbang desa maupun musrenbang kecamatan secara konsep lebih maju dari musrenbang tahun-tahun sebelumnya. Perubahan yang paling signifikan adalah adanya ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas, dan adanya delegasi masyarakat di tingkat musrenbang yang lebih tinggi.

Adanya perubahan di tataran konsep diharapkan membawa perubahan dalam tataran implementasi. Oleh karena itu disamping pengawalan dari masyarakat, diharapkan ada pengawalan dari DPRD terutama bagi mereka yang terpilih di dapilnya. Disamping itu peran serta dari fasilitator juga sangat dibutuhkan untuk mengawal usulan masyarakat. Fasilitator juga berfungsi untuk memberikan arahan kepada masyarakat agar dalam menyusun daftar prioritas

Page 128: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

121 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

berdasarkan “kebutuhan” bukan berdasarkan “keinginan” masyarakat. Hal ini yang biasanya menjadi persoalan di tingkat musrenbang yang lebih tinggi.

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa disamping musrenbang desa yang dilakukan secara formal di bulan Januari sebagai bentuk kepatuhan kepada pemerintah, perbedaan menonjol di Desa Ngadisari yang masyarakatnya adalah Suku Tengger adalah dilakukannya “rembug warga” di akhir tahun.

Rembug warga, merupakan mekanisme yang sesungguhnya terjadi yang bukan hanya sekedar formalitas. Pada saat dilakukan rembug warga tersebut, semua masyarakat tak terkecuali diundang untuk hadir di balai desa, yang pelaksanaannya di bulan Desember dengan terlebih dahulu menentukan hari baik. Hari baik dalam Suku Tengger dihitung berdasarkan bintang sesuai dengan perhitungan Tengger. Gambar model partisipasi berbasis kearifan lokal dalam proses perencanaan pembanguan seperti yang nampak dalam gambar 5 sebagai berikut:

Nilai kearifan lokal

Suku Tengger:

1. Ramah tamah 2. Setuhu

(Kepatuhan) 3. Guyub (rukun) 4. Sanjan sinanjan

(tolong menolong) 5. Sayan (gotong

royong) 6. Kejujuran

Secara Normatif Partisipasi Masyarakat

telah diatur oleh berbagai peraturan perundang-

undangan (UU 32/2004, 33/2004, 24/2004,

17/2004, 1/2004 PP 105/2000, 108/2000,

Kepmen 29/2002, Permendagri 13/2006 dll)

Mekanisme Formal

Musrenbang Desa

Harmonisasi Musrenbang Formal Versus Informal

Mekanisme Informal

Rembug Desa

Nilai kearifan lokal Setuhu

dalam proses perencanaan penganggaran

Nilai kearifan lokal Kejujuran dalam proses pertanggungjawaban

Model Partisipasi berbasis Kearifan

Lokal

Nilai kearifan lokal Sayan

dalam proses implementasi pembangunan

Gambar 5: Model Partisipasi Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal

Page 129: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

122122

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Bab 9

Penutup

Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penganggaran di organisasi sektor public, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Probolinggo, yang terdiri dari tahap perencanaan, pengesahan, implementasi dan pertanggungjawaban sudah berjalan sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses penganggaran daerah, kecuali dalam tahap pengesahan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa proses penganggaran daerah lebih efektif jika memperhatikan nilai kearifan lokal, secara rinci hasil temuan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pelaksanaan Musrenbangdes di Kabupaten Probolinggo secara umum hampir sama dengan di daerah lainnya. Perbedaannya adalah masyarakat Suku Tengger selain melakukan Musrenbangdes secara formal, mereka melaksanakan mekanisme partisipasi informal yang disebut Rembug Desa Tengger.

Pelaksanaan Rembug Desa Tengger di Desa Ngadisari menurut teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dan Moynihan (2003) dikategorikan dalam partisipasi penuh. Temuan ini menarik karena partisipasi penuh hampir tidak pernah terjadi di daerah lainnya. Oleh karena itu, temuan ini perlu mendapat perhatian pemerintah daerah dan pusat, untuk lebih memperhatikan karakteristik daerah dan kearifan lokal, dalam proses perencanaan penganggaran dan melembagakan bentuk partisipasi informal.

Kearifan lokal atau local wisdom masyarakat Suku Tengger didasarkan pada sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship). Berdasarkan konsep tersebut dapat diidentifikasi beberapa nilai kearifan lokal di Suku Tengger diantaranya setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan, ramah, konsisten, patuh (setuhu), sayan (gotong royong), jujur dan terbuka.

Dalam konteks penganggaran daerah nilai kearifan lokal kepatuhan (setuhu) terinternalisasi dalam proses perencanaan, nilai kearifan lokal kegotong royongan (sayan) terinternalisasi dalam implementasi pembangunan, dan nilai kearifan lokal kejujuran terinternalisasi dalam pertanggungjawaban pembangunan.

Berbagai kendala yang terjadi dalam partisipasi pembangunan sangat

Page 130: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

123 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

kompleks diantaranya, Pertama, di tingkat eksekutif dan legislatif sengaja membatasi partisipasi tidak langsung yang tidak memiliki konsekuensi mengikat mereka (no binding). Kedua, penganggaran daerah terikat pada skedul yang ketat dan berkaitan dengan penganggaran di level pemerintahan yang lebih tinggi, dimana negara tidak memberi ruang yang cukup bagi partisipasi masyarakat. Ketiga, karena penganggaran dianggap sebagai wilayah dan fungsi “sakral” lembaga eksekutif maupun legislatif, terobosan prosedur maupun instrumen dianggap dapat mengurangi peran kedua lembaga tersebut. Keempat, perencanaan dan penyusunan anggaran daerah dilakukan berdasar informasi-informasi kunci maupun dokumen-dokumen perencanaan yang hanya dimiliki oleh birokrasi pemerintah dan hanya sedikit kalangan luar.

Nilai kearifan lokal kepatuhan dalam masyarakat Tengger diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme musrenbang sesuai dengan aturan perundang-undangan sebagai mekanisme formal. Selain itu mekanisme informal dalam bentuk rembug desa juga dilakukan oleh masyarakat Tengger, untuk menggali ide dan menjaring aspirasi masyarakat yang kemudian akan diusulkan pada saat musrenbang formal. Pada saat pelaksanaan berbagai kegiatan musyawarah masyarakat Suku Tengger terlebih dahulu menentukan hari baik dan menyiapkan berbagai sesaji yang diperlukan, sesuai dengan aturan adat masyarakat Suku Tengger.

Sementara nilai kearifan lokal kegotong royongan (sayan), sangat mewarnai kehidupan masyarakat baik dalam kehidupan beragama maupun keseharian yang kemudian juga terinternalisasi dalam proses implementasi pembangunan. Dalam konteks implementasi pembangunan Lesser (2000) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sebagai modal sosial yang sangat penting. Oleh karena itu nilai kegotong royongan harus tetap dipertahankan ditengah arus modernisasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya seharusnya mulai berbenah dengan mengadopsi nilai kegotong royongan yang ada di Suku Tengger. Dengan menginternalisasi nilai kegotong royongan maka egoisme pribadi maupun kekuasaan akan terdistorsi.

Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Probolinggo kepada DPRD merupakan mekanisme dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas-tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah. Selain mekanisme formal yang diatur oleh pemerintah Bupati Probolinggo juga menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung ala rakyat. LKPJ Merupakan bentuk akuntabiliats publik pemerintah kepada rakyat melalui DPRD atau LKPJ formal dan secara langsung kepada rakyat atau informal. Motif yang berhasil di ungkap adalah motivasi kejujuran dan transparansi program dan kegiatan yang telah dilakukan selama dua periode kepemimpinannya. Motif lain yang

Page 131: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

124124

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

berhasil diungkap lebih mendalam adalah adanya kepentingan politik. Terlepas dari motif politik di balik pertanggungjawaban ala rakyat, kegiatan ini perlu mendapatkan ruang apresiasi bahwa ada niat baik dari kepala daerah untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya di depan rakyat secara langsung. Model LKPJ “ala rakyat” di Kabupaten Probolinggo dapat dijadikan best practice bagi kepala daerah lainnya untuk lebih transparan dan akuntabel, lebih dekat dengan rakyat, dan memberikan ruang partisipasi bagi rakyat untuk terlibat dalam pengawasan pembangunan .

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran daerah dalam implementasinya mengalami berbagai persoalan. Berbagai persoalan tersebut menurut Amir (2012) diantaranya: Pertama, partisipasi rakyat dalam proses musrenbang sangat minim. Kedua, Musrenbang kurang ditopang oleh pembangunan organisasi-organisasi rakyat. Ketiga, proposal Musrenbang sering disabotase oleh birokrasi korup peninggalan kolonialisme.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh LGSP-USAID memberikan pelajaran bagi pemerintah untuk memperbaiki agenda tahunan musrenbang ini. Hasil kajian dari LGSP–USAID misalnya, telah mengidentifikasi faktor-faktor kelemahan musrenbang, di antaranya: (1) lemahnya pemahaman kerangka peraturan (regulatory framework) dari perencanaan dan pengganggaran, (2) kurangnya kerangka peraturan pada tingkat daerah (provinsi, kabupaten/ kota), apalagi tingkat kecamatan dan desa, (3) lemahnya kapasitas staf pemerintah dalam penyiapan dokumen perencanaan pembangunan, (4) lemahnya staf dalam mengelola perencanaan partisipasif, dan (5) lemahnya keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam proses perencanaan.

Berbagai persoalan yang terjadi di beberapa daerah menjadi pelajaran yang berharga bagi pemerintah daerah untuk terus membuka diri dengan melibatkan masyarakat dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan agar semakin demokratis, partisipasif, dan efektif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarto (2004) menyimpulkan bahwa partisipasi informal dianggap lebih effektif dari pada partisipasi formal sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penelitian ini juga menemukan hasil yang sama yang merekomendasi agar daerah mengakomodir partisipasi yang didasarkan pada nilai kearifan lokal di daerahnya.

Penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih 3 tahun di wilayah Suku Tengger telah menemukan berbagai kearifan lokal yang ada di Suku Tengger. Nilai kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger yang berhasil di identifikasi diantaranya: sikap ramah tamah, kepatuhan (setuhu), guyub rukun, sanjan-sinanjan (tolong menolong), gotong royong (sayan), dan kejujuran. Berbagai nilai kearifan lokal tersebut mewarnai seluruh kehidupan masyarakat suku

Page 132: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

125 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

tengger. Nilai kearifan lokal ini juga terinternalisasi dalam proses penganggaran daerah.

Desa Ngadisari yang merupakan desa tertinggi di puncak Bromo telah melaksanakan mekanisme musrenbang desa yang berbeda dengan dengan desa lainnya di Indonesia. Dalam diskusi terfokus dengan beberapa perangkat Desa Ngadisari dapat disimpulkan bahwa mekanisme perencanaan pembangunan dalam bentuk musrenbang desa maupun musrenbang kecamatan secara konsep lebih maju dari musrenbang tahun-tahun sebelumnya. Perubahan yang paling signifikan adalah adanya ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas dan adanya delegasi masyarakat di tingkat musrenbang yang lebih tinggi.

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa disamping musrenbang desa yang dilakukan secara formal di bulan Januari sebagai bentuk kepatuhan kepada pemerintah, perbedaan menonjol di desa Tengger khususnya Ngadisari dengan desa lainnya di luar Tengger adalah dilakukannya “rembug warga” di akhir tahun.

Rembug warga merupakan mekanisme yang sesungguhnya terjadi yang bukan hanya sekedar formalitas. Pada saat dilakukan rembug warga tersebut, semua masyarakat tak terkecuali di undang untuk hadir di balai desa yang pelaksanaannya di bulan Desember dengan terlebih dahulu menentukan hari baik.

Page 133: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

126126

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, A., Muslim, M., Rusmiyati, S., dan Wibisono, S. 2002. Good governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia. Hal. 74-75.

Adams, Brian. 2004. Public Meeting and the Democratic Process, Jan/Feb 2004

Aliadi, Arif. 2002. Pengetahuan Lokal Untuk Konservasi Sumber Daya Hutan. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi dan Budaya Lokal Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Alisjahbana, Armida dan Usui, Nario. 2003. Local Development Planning and Budgeting in dezentralization Indonesia. International Symposium on Indonesia’s Decentralization Policy: Problem and Policy Direction. Sponsored by Ministry of Foreign Affairs of Japan, Tokyo Japan, 31 January and 1 February 2003

Anonim. 2002. Studi Hukum Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat. Kerjasama WWF dengan Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHSA). Jambi.

Anthony, W. P. 1984. Partisipatif Management. Menlo Park, Calif: addison-wesley Publishing Company.

Arnstein, Sherry R., 1971. “Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation” in Edgar S. Cahn and Barry A. Passet. Citizen Participation: Effecting Community Change. New York: Praegar Publishers.

Asian Development Bank. 1999. “Governance: Sound Development Management”, hal 7-13.

Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta.

Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: an new vision for managing ingovernment. LA: University of California Press

Basjir, Wahyu W., 2006. Keindahan Yang Menipu: Partisipasi dalam Penganggaran di Indonesia. Yogyakarta: Idea dan Patnership.

Birnberg, Jacob G., dan Shield, Jefferey F.1989. Three Decades of Behavioral Research: A search for Order, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA.

Burgstahler, David dan Sundem, Gary L. 1989. The Evolution of Behavioral Accounting Reseach in the United States, 1968-1987, Behavioral Research In

Page 134: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

127 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Accounting Volume 1, Printed in USA.

Burrell, Gibson and Morgan, Gareth. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis: Elements of the sociology of corporate life. USA: Ashgate Publishing Company.

Callahan, Kathe. 2002. The Utilization and Effectiveness of Citizen Advisory Committees in the Budget Process of Local Government. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management. 14 (2) 295-319

Canadian Internasional Development Agency (CIDA). 1997. Guide To Key Concept in Governance and Development, Management Development and Governance Division Bureau for Policy and Programme Support United Nations Development Programme. http:/www.cida.org/

Caplan, Edwin H. 1989. Behavioral Accounting A Personal View, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA.

Chua, Wai Fong. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, Vol 61, No 4.

Clark, Peter, Pozzoni, Barbara, Gaventa, John, and Nierras, Rose Marie. 2002. Annotated Bibliography on Citizen Participation and LocalGovernance, Logo Link.

Cohen, S., dan R. Brand. 1993. Total Quality Management: a practical guide for thereal world. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Cooper, Lourdes M. dan Elliot, Jennifer. 2000. Public Participation and Social Acceptability in the Philippine EIA Process. September 2000.

Cornwall, Andrea. 2002. Making Spaces, Changing Places: Situating Participation in Development, IDS Working Paper 170, Oktober 2002

Cornwall, Andrea dan Gaventa, John. 2001. From Users and Choosers to Makers and Shapers: Repositioning Participation in Social Policy, IDS Working Paper 127, Juni 2001.

Coulon, Alain. 2008. Etnometodologi. Jakarta: Penerbit Lengge bersama Kelompok Kajian Studi Kultural. Diterjemahkan dari L’etnometodologie. Paris: Presses Universitaires de France.

Covaleski, M.A., M. Dirsmith, dan S. Samuel. 1996. Managerial Accounting Research: The Contributions of Organizational and Sociological Theories, Journal of Management Accounting Research, Vol. 8: 1-35

Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing

Page 135: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

128128

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Among Five Approches. Second Edition. Sage Publication. Inc. California.

Denzin, Norman K. dan Younna S. Lincoln. 1994. Strategies of Qualitative Inquiry. Sage Publication. USA

Development Assistant Committee. 1997. “Evaluation of Programs Promoting Participatory Development and Good Governance, hal 22

Djamhury, Ali. 2009. A Case Study of Governmental Accounting and Budgeting Reform at Local Authority In Indonesia: An Institutionalist Perspective, Doctor Disertation, Universiti Sains Malaysia.

Ebdon, Carol. 2002. Beyond the Public Hearing: Citizen Participation in the Local Government Budgeting Process.Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management, 14 (2) 273-294.

Ebdon, Carol. and Franklin, Aimes L. 2006. Citizen participation in Budgeting Theory, Public Administration Review. May-June 2006.

Edralin, J.S. 1997. The new local governance and capacity building: A strategic approach . Regional Development Studies, Vol. 3

Eriksson, Paivi. and Kovalainen, Anne. 2008. Qualitative Methods in Business Research. SAGE Publications Inc, New Delhi.

Ernawati, Purwaningsih. 2008. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa, Jantra Vol. III, No. 6, Desember 2008, ISSN 1907-9605, Balai Pelestarian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta hal: 443-453 Ernawi, I.S. 2009. Kearifan Lokal Dalam Perspektif Ruang. “Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota; Untuk Mewujudkan Arsitektur Kota yang Berkelanjutan. Group Konservasi Arsitektur & Kota: Malang.

Farhan, Yuna. 2007. “Kerangka Kebijakan Partisipasi Masyarakat dalam Penganggaran, Prakarsa, Jogjakarta

Fuady, Ahmad Helmi, Fatimah, Dati, Andriono, Rinto dan Basjir, Wahyu W. 2002. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta: Idea Press

Furchan, Arief. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Pertama Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Gani, Abdul Yuli Andi. 2005. Tindakan Kolektif Antara Pemerintah Local, Swasta Dan Masyarakat Sipil Dalam Rangka Proses Pembuatan Kebijakan Public Yang Demokratis, Suatu Studi Tentang Proses Pembuatan Kebijakan Public Dalam Penataan Sector Informal Khususnya PKL Di Kota Malang, Disertasi Program Doktor FIA Universitas Brawijaya Malang, Tidak di Publikasikan

Page 136: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

129 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Gaventa, John. 2002. Introduction: Exploring Citizenship, Participation and Accountability, dalam IDS Bulletin Vol.33, NO.2, 2002

Geertz, C. 1992.Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b

Gobyah, I Ketut, 2003. Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam http://www.balipos.co.id, didownload 17/9/03.

Gray, S.J. 1988. Towards a theory of cultural influence on the development of accounting systems internationally. Abacus. Vol. 24: 1-15.

Greer, S. dan C. Patel. 2004. Accounting and Culture: The Issue of a Unique Australian Indegenious Word View. Critical Perspective on Accounting.

Greisgraber, J.M. and Gunter, B.M. 1996. Development: New Paradigms and Principles for the Tweenty-First Century. (East Haven, CT: Pluto Press, pp. 144-145.

Haeruman, H. 1995. Peranan Kehutanan Dalam Pembangunan Nasional Indonesia. Dalam E Suhendang (ed) 1995. Menguak Permasalahan Pengeloalaan Hutan Alam Tropis Di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Have, Paul Ten. 2004. Understanding Qualitative Research and Ethnomethodology. SAGE Publications Inc. New Delhi.

Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Lkis Yogyakarta.

Hendytio, Medelina K. 2003. Regional Autonomy: Its Social and Cultural Impact. In T.A. legowo and Muneoo Takashi (ed.) Regional Autonomy and Social Economic Development in Indonesia: Multidimensional Analysis. Chiba,

Japan: Institute of Developing Economies, Japan External Trade Organization

Hidayat, Syarif. 2001. Understanding The Nature of Indonesian Decentralization, dalam Hidayat, Syarif And Firdausy.Carunia Mulya. 2001. Beyond Regional Autonomy: Local State Elit’s Perspectice on The Concept and Practice of Decentralization In the Contemporary Indonesia. Jakarta: Pustaka Quantum 2003. p 53.

Hikam, Muhammad AS. 1998. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES

Hill Michael dan Hupe, Peter. 2002, “Implementing Public Policy: Governance in Theory and in Practice”, USA: Sage Publication, hal 161 – 197

Hofstede, G. 1980. Culture's consequences: International differences in work-related values. London: Sage Publications.

Page 137: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

130130

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Hofstede, G. 1983. National cultures in four dimensions. International Studies of Management and Organizations. Vol. 13: 46-74.

Hofstede, G. and M.H. Bond, M.H. 1988. The Confucius connection: from cultural roots to economic growth. Organizational Dynamics. Vol. 16: 4-22.

Hopwood, G. Anthony. 1989. Behavioral Accounting In Retrospect And Prospect, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA.

Islamy, Muhammad Irfan. 2001. Upaya menumbuhkan Partisipasi Masyarakat dalam pemerintahan dan Pembangunan di daerah. makalah yang dipresentasikan pada seminar penumbuhan partisipasi masyarakat, di DPRD Pasuruan

Jeffery, C., Alexander. 1981. Revolution, Reaction, and Reform: The Change Theory of Parson, Sociological Inquiry 51: 267-268.

Kamelus, Deno, Ludwig, Jessica dan Suhirman. 2004. Efisiensi dan Efektifitas Proses Perencanaan dan Penganggaran Daerah. Peneltian di Kabupaten Bima, Sumba Timur dan Alor NTT. Kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Kementerian Kerjasama ekonomi dan Pembangunan Jerman dalam proyek Penanggulangan Kemiskinan dan Dukungan Daerah NTB dan NTT

Kell, Antoft and Novack, Jack. 1998. Grassroots democracy: local government in the maritimes, Nova Scotia: Henson College, Dalhousie University, p.81.

Kenneth, Lee and Anne Mills. 1982. Policy Making dan Planing in the health sector. London: Croom Helm, p.130-131.

Key, V.O. 1940. The Lack of a Budgetary Theory, The American Political Science Review, Vol. 34, No. 6, pp. 1137-1144, Published by: American Political Science Association Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1948194

Korten, David C. 1988. Pembangunan Bepusat Pada Rakyat: Menuju suatu kerangka kerja, dalam Korten, David C dan Syahrir (Peny.) 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Krina P., Loina Lalolo. 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Jakarta: Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Laurian, Lucie. 2004. Public Participation in Environmental Decision Making: Findings from Communities Facing Toxic Waste Cleanup, Winter

Layzer, Judith A. 2002. Citizen Partisipation and Government Choice in Local Environmental Controversies.Policy Studies Journal, Urbana: Vol.30, Iss.2

Page 138: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

131 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Lord, Alan T. 1989. The Development of Behavioral Thought in Accounting 1952-1981, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA.

Ludigdo, Unti. 2005. Pemahaman Strukturasi Atas Praktik Etika Di Sebuah Kantor Akuntan Publik. Disertasi Program Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya. Tidak di Publikasikan.

Mahardika, Timur. 2001. Pendidikan Politik Pemberdayaan Desa: Panduan Praktis, Pustaka Utama LAPERA, Jogjakarta.

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI Yogyakarta

Mayer, Igor S. 1997. Debating Technologies: A Metodological Contribution to the Design and Evaluation of Participation Policy Analiysis. Tilburg: Tilburg University Press.

Meuthia, Ganie-Rochman. 2000. Good Governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, dalam HAM: Penyelenggaraan Negara Yang Baik dan Masyarakat Warga, Jakarta : KOMNAS HAM.

Miles, Matthew and Huberman, A. Michael. 2002. The Qualitative Researcher Companion. SAGE Publications Inc. New Delhi.

Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Moynihan, D.P. 2003. Normative and Instrumental Perspektive on Public Participation, American Review of Public Administration, V 33 (2) pp. 164-188.

Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin Yogyakarta.

Muluk, M.R. Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintah Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Bayu Media-Lembaga Penerbitan FIA-Unibraw, Malang.

Navarro, Zander. 2002. Dezentralization, Participation and Social Control of Public Resources: Participatory Budgeting in Porto Alegre, Brazil dalam seminar: Citizen Partisipation in the Context of Fiscal Decentralization: the Best practices in Municipal Administration,. Tokyo dan Kobe jepang September 2002.

Nugroho, Iwan dan Dahuri, Rochmin. 2004. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 1997. “Evaluation of Program Promoting Participatory Development and Good Governance, http:/www.oecd.org.

Page 139: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

132132

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Osborne, D. dan Gaebler,.T. 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik, Lembaga Manajemen PPM dan PT Pustaka Binaman Preseindo, Jakarta

Parson, Talcott. 197., Social System and The Eavolution of Action Theory, The Free Press, Coiler Macmilian Publishers London.

Peter, B. Guy, 2001, “The Politics of Bureaucracy”, London : Routledge, hal 299-381.

Poloma, M. Margaret. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada. Diterjemahkan dari Contemporary Sociological Theory. Third Edition

Prasetyo, Ngesti. 2003. Studi Identifikasi Pembuatan Kebijakan Bidang APBD di Kota Malang. PP Otoda Universitas Brawijaya Malang Kerjasama dengan Yappika Jakarta.

Purwanto, Edi. 2007. Representasi Wong Tengger Atas Perubahan Sosial Dalam Persepektif Social Identity Theory, Skripsi Universitas Islam Negri (UIN) Malang, Fakultas Psikologi, Tidak di Publikasikan

Purwanto, Y. dan Efendi, Oscar. 2008. Etnologi Masyarakat Maya di Teluk Manyailibit, Pulau Waiego Kab. Raja Ampat. Ekspedisi Widya Nusantara. Puslit Biologi. LIPI. Bogor.

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Penerbit Prestasi Pustaka Publisher.

Ramirez, R. 1999. Stakeholder Analysis and Conflict Management dalam Daniel Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural Resource Management, WBI Washinton, DC, USA.

Ratnawati. Tri. 2003. Desentralisasi dalam konsep dan implementasinya di Inonesia di masa transisi: Kasus UU Nomor 22 1999 tentang Pemda, Dalam Abdul Gaffar Karim dkk (peny), Kompleksitas persoalan otonomi daerah di Indonesia. (Yogyakarta. Pustaka Pelajar)

Razak. 2011. Praktik Etika Di Dalam Proses Perencanaan Dan Penganggaran Kota Mayapada, Disertasi Program Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya. Tidak di Publikasikan.

Ridwan. 2012. Analisis Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui PendekatanPerencanaan Partisipatif Di Kabupaten Bima, Disertasi Program Doktor Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Brawijaya. Tidak di Publikasikan.

Page 140: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

133 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern, Perpustakaan Nasional, Jakarta.

S. Swarsi Geriya. 2003. “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, dalam http://www.balipos.co.id

Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif. Edisi Kedua. Jogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Salvina, D.S. 2003. Modal Sosial Masyarakat adat Tengger Dalam Menjaga Tatanan Sosial dalam Nurdin et al. (Ed), Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS dan UMM Press.

Sartini. 2012. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian,jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewPDFInterstitial/.../41 download 14/03/12

Siegel, G. dan Helena, M. Marconi. 1989. Behavioral Accounting, South Western Publishing Co. Ohio.

Sirajuddin, Najih, M. Fifi, dan Sopanah. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara, Malang Corruption Watch dan YAPPIKA.

Sisk, Timothy D. (ed.). 2002. Demokrasi ditingkat Lokal: Buku Panduan Internasional IDEA Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan, Seri 4, Internasional IDEA, Jakarta, hal. 189.

Sopanah dan Wahyudi, Isa. 2005a. Strategi Penguatan Masyarakat sipil dalam meminimalisasi Distorsi Penyusunan APBD Kota Malang, dalam Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005

_______ dan Wahyudi, Isa. 2005b. Strategi Penguatan Partisipasi Rakyat terhadap Pengawasan dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Kota Malang, dalam Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005

_______, Wahyudi, Isa dan Azmi, Happy. 2004. Strategi penguatan masyarakat dalam pengawasan proses penyusunan dan pelaksanaan APBD Kota Malang, Laporan penelitian tidak dipublikasikan MCW dan YAPPIKA.

Sopanah. 2003. Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah, dalam Proceding Simposium Nasional akuntansi VI, Membangun Citra Akuntan melalui Peningkatan Kualitas Pengetahuan, Pendidikan dan Etika Bisnis, Surabaya, 16-17 Oktober 2003

_______. 2007. Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Page 141: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

134134

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Berprespektif Gender, dalam Proceding Konfrensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik I, Pascasarja UPN V Jatim, Surabaya, 25-26 April 2007

_______. 2008. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang,Junal Akuntansi dan Keuangan, Volume 7 Edisi April, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

_______. 2009. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang, dalam Proceding Konfrensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik II, Balitbang Depdagri, Jakarta, Juni 2009

_______. 2009. Studi Fenomenologis: Menguak Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang, Proceding Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 12 Tanggal 4-6 November 2009 di Palembang

Spradley, J.P. 1997. Metoda Etnografi. Jogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana. Diterjemahkan dari The Ethnographic Interview.

Suhardi, Suryadi, dan Julmansyah. 2001. Partisipasi Politik masyarakat dalam Pengembangan Demokrasi, Riset tentang Kasus Legislasi Peraturan daerah tentang Badan Perwakilan Desa di Kabupaten Sumbawa, diterbitkan atas kerjasama Konsorsium untuk Studi Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI), LP3ES dan Pustaka Pelajar atas dukungan The Ford Fundation

Suhirmanto. 2009. Ruang Sosial Pembangunan Pertanian Pada Masyarakat Suku Tengger. Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Tidak di Publikasikan.

Sukardi, Akhmad. 2009. Participatory Governance dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Pressindo. Yogyakarta.

Sukari, et al. 2004. Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Sumarto, Hetifah. Sj. 2004. Inovasi Partisipasi dan Good Governance (20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sutoro, Eko. 2007. Daerah Budiman: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan, Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional: Lebih Dari Sekadar Penghapusan Kemiskinan: Memajukan Kebijakan Sosial yang Komprehensif di Era Desentralisasi”, yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Prakarsa, Ford Foundation, OXFAM Great Britain, Kantor Menkro Kesra, Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Kota Serdang Badagai, ADKASI, IESR dan KruHa, Jakarta 26-28 Juni 2007.

Page 142: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

135 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Sutoro, Eko. 2008. Pro Poor Budget: Politik Baru Reformasi Anggaran Daerah Untuk Pengurangan Kemiskinan Ire’s Insight Working Paper/Eko/I/February /2008.Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta

Syarifuddin. 2010. Kebijakan Anggaran: Aksentuasi Drama Politik dan Kekuasaan, Disertasi Program Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya. Tidak di Publikasikan. Tiezzi, E.,Marchettini, T., and Rossini, M. TT. 1995. Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. Dalam Ridwan,Nurma Ali, 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, Jurnal Studi Islam dan Budaya,P3M STAIN Purwokerto ,Ibda, Vol. 5, No. 1, Jan-Jun 2007,27-38

Tim Peneliti FIKB. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Jurnal Forum Inovasi. Vol 3, Juni-Agustus, 2002, 100-107.

Tim Peneliti FISIP UI. 2001. Pelaksanaan Otonomi Daerah MendukungGood Governance, Jakarta: FISIP UI

Turner, Jonathan H. 1997. The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company, Printed in The United States of America

United Nation Development Programme (UNDP). 1997. Reconceptualising Governance, Management Development and Governance. Division Bureu for Policy and Programme Support United Nation Development Programme, New York 1997. http:/www.undp.org/

Vaneklasen, Lisa and Miller, Valerie. 2002. A New Weave of Power, People and Politics : The Action Guide for Advocacy and Citizen Participation.

Violet, W.J. 1983. The development of international accounting standards: an anthropological perspective. The International Journal of Accounting. Vol. 18: 1-12.

Waidl, A., Sudjito, A., Bahagijo, S. (ed.). 2008. Mendahulukan si Miskin (Buku Sumber bagi Anggaran Pro Rakyat). Yogyakarta: LKiS-Pelangi Aksara.

Wildavsky, A. 2004. The New Politics of The Budgetary Process. Fifth Edition. Pearson Education Inc. United States.

Wiratraman, R.H.P., 2004. Pro-Poor Budget: Analisis Anggaran Sebagai Kerja Akar Rumput dan Strategi Merebut Sumberdaya Keputusan Yang Berpihak Bagi Rakyat Miskin, LBH, Surabaya

World Bank. 2006. Governance, Development, and Civil Society in Armenia. Prepared for the Fourth International AIPRG Conference on “Armenia: Public Sector Governance and Economic Efficiency” January 14-15, 2006. http:/www.worldbank.org.

Page 143: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

136136

“Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Peraturan Perundang-undangan :

Republik Indonesia, Bappenas & Depdagri. 2002. Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah. hal 20.

Republik Indonesia, Penyelenggaraan Pemerintah dan Pembangunan Daerah. 2010. Kementrian Keuangan Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Republik Indonesia, Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Menteri Dalam Negeri No.1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan Perencanaan Partisipatif Daerah.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara,

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Harian Surat Kabar dan Internet:

Effendi, Sofian. 2005. Membangun Good Governance Tugas Kita Bersama, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 26 Desember 2005, http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf

Hetifah dan Sutoro. 2012. Musyawarah pembangunan tidak effektif, Kompas, 11 Mei 2012, http://kaukustujuhbelas.org/baca/147241/Musrenbang-Dinilai-Tidak-Efektif.html?lang=id

Amir. 2012. Musrenbang Dan Macetnya Partisipasi Rakyat, http://amirforrakyat.blogspot.com/2012/02/musrenbang-tidak-relevan-dengan.html

Tatuga. 2012. Musrenbang dalam Dilema,http://sekolahdemokrasi.elpagar.org/tulisan/006.htm

Page 144: “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal” · pengakuan civil society, sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Civil society yang kuat

137 “Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal”

Dr. Ana Sopanah, SE.,M.Si.,Ak.,CA.,CMA.,CIBA., adalah Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Widyagama Malang. Menyelesaikan Program S1 Akuntansi di Universitas Widyagama Malang Tahun 1997 dan Master of Science (M.Si) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2001, Pendidikan Profesi Akuntan di Tempuh di STIE Malang KuÇeÇwara Tahun 2014 dengan Predikat Cumlaude, dan Program Doktor Ilmu Akuntansi di Universitas Brawijaya Malang Tahun 2013. Selain menjadi Dosen, Ana juga aktif di berbagai organisasi profesi dan terlibat langsung

sebagai pengurus didalamnya. Seperti, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik (FDASP), dan Certified Management Accountant Indonesia (CMA). Selain aktif didunia akademik, Ana juga menjalankan Bisnis Konsultan Manajemen yang sudah ditekuninya selama 6 tahun. Sampai saat ini, Ana berpartisipasi aktif dalam program-program bergensi berskala nasional maupun internasional. Tak sedikit karya tulis ilmiahnya yang didaulat sebagai karya tulis terbaik, diantaranya dalam acara Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 16 di Manado tahun 2014, dan Paper Terbaik di Konferensi Regional Akuntansi (KRA) III di Jember Tahun 2016. Sementara dalam kancah internasional, karya bersama dua orang rekannya (Prof. Janek Ratnatunga dan Prof. Paul Serge), masuk dalam tiga terbaik, di Srilanka.Selain aktif mengajar, Ana juga aktif menjadi nara sumber di Pemerintah Daerah dan DPRD untuk peningkatan kapasitas Building, aktif melakukan penelitian baik yang di danai DIKTI maupun Pemda. Setidaknya lebih dari 25 judul penelitian yang telah di danai. Publikasi Jurnal International ada 4 Jurnal dan Publikasi Jurnal Nasional dan Proceeding sekitar 20. Beberapa Buku yang pernah di tulis diantaranya Metode Membaca dan Analisa Anggaran Publik, Modul MCW-YAPIKA (kontributor) 2005, Ruang Gelap Penganggaran Daerah dalam Buku Dinamika Politik Lokal, Penerbit UMM Press, Kontributor (2006), Participatory Budgeting: Arah Baru Penyusunan APBD dalam Buku, Hak Rakyat Mengontrol Negara, Penerbit Intrans, Malang, Kontributor (2006)