Proposal Riset Gulam

download Proposal Riset Gulam

of 36

description

ygy

Transcript of Proposal Riset Gulam

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit trofoblas yang dibicarakan disini, yaitu mola hidatidosa, mola invasive dan choriocarcinoma, berhubungan dengan kehamilan, jadi tidak termasuk penyakit trofoblas yang secara primer timbul di ovarium atau testis.

Menurut Valpeau (1872), Virchow (1853) dan Marchand (1895) dalam tulisan Findley 10, penyakit ini berasal dari kelainan pertumbuhan korion plasenta. Namun sifat pertumbuhannya belum jelas, apakah mola hidatidosa suatu pertumbuhan degenerative atau suatu tumor 17,36.

Penyakit trofoblas menjadi penting, karena disamping penyebabnya belum diketahui, penyakit ini mempunyai potensi untuk tumbuh menjadi ganas. Sifat ini menurut Findley 10 telah dilihat oleh Gregorini (1795) pada kasus mola hidatidosa dengan metastasis di paru-paru.

Negara Eropa Barat telah mendapat kemajuan pesat dalam mengelola penyakit trofoblas berhubung dengan keberhasilan dalam penelitian secara imunologik, sitogenetik maupun kemajuan dalam sarana diagnostic dan pengobatan kemoterapi serta perubahan dalam organisasi mediknya. Untuk diagnose awal pertumbuhan ganas dan pengawasan pengobatan kemoterapi telah dikembangkan metode penilaian kadar HCG dengan beta sub unit radioimmunoassay 11,21,30. Di samping itu telah banyak digunakan ultrasonografi dan arteriografi, untuk menemukan metastasis tumor pada alat-alat panggul40.

Insiden penyakit trofoblas di Asia, antara lain Indonesia, relative lebih tinggi daripada Negara Barat. Menurut Acosta sison1 keadaan ini berhubungan erat dengan tingkatan social ekonomi yang rendah, umumnya didapatkan di Negara sedang berkembang.

Di Indonesia masih banyak dijumpai hambatan-hambatan, baik dalam sarana diagnostic dan mahalnya kemoterapi maupun hambatan social yang disebabkan penderita belum menyadari sepenuhnya akan bahaya penyakit ini. Dengan demikian meskipun telah banyak dibuat tulisan-tulisan mengenai penyakit trofoblas oleh ahli-ahli Indonesia, namun masalahnya belum dapat diatasi seluruhya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Seberapa efektifkah penatalaksanaan pada pasien penyakit trofoblas ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati? Seberapa besar pengaruh tindakan operatif pada penatalaksanaan penyakit trofoblas Dalam studi ini akan dipergunakan hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:2. ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati?3. Seberapa besar pengaruh terapi medika mentosa pada pasien penyakit trofoblas ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati? 1.3 Hipotesis1. Penaatalaksanaan pada pasien penyakit trofoblas ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati sangat efektif.

2. Tindakan Operatif yang dilanjutkan dengan penataklasanaan medika mentosa sangat efektif terhadap kesembuhan pasien penyakit trofoblas ganas. 1.4 Tujuan StudiSecara umum studi ini ingin menentukan seberapa efektifkah penatalaksanaan yang dilakukan terhadap pasien penyakit trofoblas ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati terhadap tingkat kesembuhannya. Selaain itu penelitian ini juga secara khusus meneliti tentang:

1. Menentukan besarnya pengaruh variabel tindakan operatif terhadap tingkat kesembuhan pasien penyakit trofoblas ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.2. Menentukan besarnya pengaruh variabel penatalaksanaan medika mentosa terhadap tingkat kesembuhan pasien penyakit trofoblas ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.1.5 Manfaat Studi

1. Sebagai bahan penulisan riset khususnya untuk kelengkapan data primer, yang harus dipenuhi dalam rangka penyelesaian Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Mendapatkan standar pelayanan penatalaksanaan penyakit trofoblas ganas yang efektif di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati dan membandingkannya dengan literatur yang telah ada. BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori2.1.1 SEJARAHTidak diketahui dengan pasti sejak kapan penyakit trofoblas dikenal. Dalam tulisan Findley 10 dikemukakan bahwa :

Pada awal abad ke XVI Aetius van Ameda telah menulis tentang mola hidatidosa yang merupakan kepustakaan pertama mengenai penyakit trofoblas waktu itu.

Whitridge Williams berpendapat, bahwa Aetius sangat mungkin telah menggolongkan mola hidatidosa bersama-sama dengan hidramnion dan missed labor.

Christoph Avega mengemukakan, bahwa gelembung mola terbentuk dari persenyawaan sperma dengan getah rahim. Goeze (1782) menganggap gelembung mola sebagai parasit dan kemudian Malpight berpendapat, bahwa gelembung mola berasal dari vili sedangkan Busych percaya bahwa mola hidatidosa terjadi dari jaringan plasenta yang tertinggal. Namun demikian para ahli pada waktu itu umumnya sependapat, bahwa untuk terjadinya mola hidatidosa tidak diperlukan konsepsi.Setelah abad ke XIX gambaran para ahli mengenai penyakit trofoblas semakin jelas. Menurut Valpeau (1827) gelembung mola terjadi dari pertumbuhan degenerasi vili, selanjutnya oleh Virchow (1853) Dikemukakan degenerasi vili tadi sebagai degenerasi myxomatosus. Marchand (1895) menggambarkan mola hidatidosa sebagai proliferasi sel-sel trofoblas dan degenerasi hidropik vili. Lebih lanjut dikemukakannya, bahwa mola hidatidosa cenderung untuk tumbuh menjadi penyakit yang ganas. Sifat pertumbuhan ganas ini telah dikenal jauh sebelumnya, Gregorini (1795) melaporkan satu kasus mola dengan metastasis di appru-paru. Sanger (1888) menganggap pertumbuhan ganas ini sebagai sarcoma yang berasal dari jaringan maternal, disebut sarcoma desidual. Franekel berpendapat, bahwa tumor ganas tadi berasal dari epitel korion dan disebutnya sebagai chorioepithelioma malignum.

Meskipun telah dikenal gejala mola hidatidosa, namun diagnosis baru dapat ditegakkan setelah gelembung mola keluar. Semula pengobatan dengan membersihkan rongga rahim dengan sendok kuret dipandang cukup. Ternyata cara penanganan demikian tidak menguntungkan penderita, karena terjadinya pertumbuhan ganas pasca mola seringkali terlambat diketahui.Telah dilakukan berbagai penelitian mengenai insidensi mola hidatidosa di beberapa Negara, sehingga dapat diketahui hubungan insisdensi mola hidatidosa dengan factor geografi, suku bangsa, social ekonomi, umur dan paritas penderita.

Sebelumnya telah diketahui, bahwa sel trofoblas menghasilkan hormon HCG. Juga telah dibuktikan, baik secara imunologik maupun secara biologic, bahwa hormon ini identik dengan hormon HCG pada kehamilan normal, hanya pada mola hidatidosa kadar HCG lebih tinggi Kemajuan-kemajuan dalam teknologi kedokteran membawa perubahan besar dalam penanganan penyakit trofoblas. Mula-mula penilaian kadar HCG digunakan percobaan binatang, namun tidak satupun yang cukup peka sedangkan biayanya mahal dan banyak menggunakan waktu. Kemudian dikembangkan metode , imunologik, dikenal sebagai tes kehamilan komersial. Tes ini dapat dikerjakan dalam waktu singkat, positif bila kadar HCG air seni diatas 1000-6000 IU/L37.Belakangan ini banyak digunakan penilaian dengan metoda radioimunologik yang mampu menggantikam metoda biologic biologic dan imunologik. Tetapi masih didapatkan Crossed Reaction antara hormone HCG dan hormone LH. Seperti diketahui hormone hCG terdiri atas rantai alpha dan beta; rantai alpha hormone hCG dan LH adalah identik, tetapi tidak demikian dengan rantau beta hormone hCG 7,46.Menurut7 Vaitukaitis (1972) telah menggunakan metoda beta sub unit radioimmunoassay, disamping peka juga sangat spesifik karena yang diukur hanya kadar hCG saja tanpa LH.Metoda ini telah digunakan baik untuk diagnosa awal pertumbuhan ganas maupun dalam pengobatannya dan pengawasan tindak lanjut 11,19,21,46.Menurut Ratnam40, Donald (1961) telah merintis penggunaan ultrasonografi untuk diagnose awal mola hidatidosa. Metoda ini kemudian dikembangkan oleh Thompson (1967) menjadi B scan ultrasonografi, tetapi dengan metoda ini Kobayashi (1972) masih banyak mendapatkan kesalahan diagnose. Kemudian oleh Sauvage (1974) .Dengan kemajuan yang telah diperoleh, untuk memulai suatu pengobatan tidak perlu lagi menunggu data histopatologik. Sekarang para ahli cenderung untuk mengikuti perjalanan klinik penyakit, untuk diagnose awal peprtumbuhan ganas.Kadar hCG dinilai dengan beta sub unit radioimmunoassay sedangkan metastasis ke paru-paru dicari dengan pemeriksaan foto rontgen atau metastasis ke alat panggul dengan ultrasonografi atau arteriografi 7,40.

Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi pula perubahan dan perkembangan dalam organisasi medic, khususnya dalam penanganan penyakit trofoblas ganas. Di beberapa rumah sakit besar, seperti di Amerika, Perancis dan Jepang telah berdiri Pusat Pengelola Penyakit Trofoblas. Disini penderita ditangani dengan sistim pengobatan tertentu dan dengan pengawasan yang baik.Kemajuan kemajuan ini umumnya terjadi di Negara Barat, sedangkan di Asia hanya Jepang dan Filipina saja yang telah mendapatkan kemajuan baik di bidang penelitian maupun di bidang pengobatan1,24.

Di Indonesia kenyataan ini masih sangat jauh dari baik, dalam sarana diagnostic, pengobatan maupun pengawasan tindak lanjut. Keadaan ini, disamping factor-faktor lain menyebabkan prognosa penyakit trofoblas tetap buruk.2.1.2 DefinisiPenyakit trofoblas adalah sesuatu kelainan pertumbuhan korion plasenta. Terdapat berbagai keadaan biologik yang satu sama lain masih saling berhubungan, sehingga dapat digambarkan sebagai suatu spectrum.

Saat ini ada berbagai nama berhubung dengan klasifikaksi yang dipergunakan, akan tetapi pada dasarnya bersumber pada pembagian sbb14:

1. Mola Hidatidosa, adalah kelainan pertumbuhan korion yang berupa degenerasi kistik vili yang avaskuler: kista menunjukkan degenerasi hidropik dari stroma vili dan dijumpai proliferasi sel trofoblas. Mola hidatidosa bersifat jinak.

2. Chorioadenoma destruens, adalah tumor yang umumnya terjadi setelah mola hidatidosa. Satu atau lebih vili menyerbu kedalam myometrium atau pembuluh darah atau kedua-duanya.

Daya penetrasi tumor besar namun derajat keganasannya rendah, disebut juga mola invasive.

3. Choriocarcinoma, tumor trofoblas yang bersifat ganas, mikroskopik terdiri atas sel sinsitium dan sitotrofoblas. Bentuk vili tidak diketemukan lagi, sel tumor mempunyai daya penetrasi yang sangat besar dan dapat terjadi metastasis ke organ yang jauh seperti paru-paru, otak, vagina dan alat panggul lainnya.

Choriocarcinoma dapat berasal dari mola, abortus atau kehamilan aterm.2.1.3 KlasifikasiBelum ada istilah dan klasifikasi yang secara umum dapat dipergunakan. Klasifikasi yang seragam sangat diperlukan, agar dalam membuat studi peprbandingan dari data berbagai pusat penelitian dapat digunakan dasar yang sama.

Menurut sejarahnya, sejak zaman Marchand (1895) mula-mula penyakit Trofoblas dibedakan atas 10:

1. Mola Hidatidosa

2. Chorioadenoma destruens

3. Choriocarcinoma

Dalam tulisan Ratnam40, Ewing (1910) membagi penyakit trofoblas menjadi:

1. Mola Hidatidosa

2. Endometritis sinsisial

3. Chorioadenoma destruens

4. Choriocarcinoma

Kemudian dijelaskannya, bahwa Novak dan Seah (1954) menganggap endometritis sinsisial adalah keadaan endometrium yang sering dijumpai pada pasca mola, abortus dan persalinan.

Selanjutnya Ratnam40 mengemukakan, Prawirohardjo (1957) telah mengganti nama chorioadenoma destruens dengan choriocarcinoma vilosum, sehingga klasifikasi menjadi :

1. Mola hidatidosa

2. Choriocarcinoma vilosum

3. Choriocarcinoma non vilosum

Klasifikasi ini telah dipergunakan di Singapura dan Indonesia37,40.

Seringkali rontgenologik didapatkan metastasis di paru-paru atau dengan arteriografi panggul didapatkan metastasis di organ panggul dan kadar hCG dalam air seni tinggi, keadaan ini disebut sebagai choriocarcinoma klinik. Meskipun pemeriksaan histopatologik belum dapat dikerjakan, untuk kepentingan data statistic harus dimasukkan kedalam klasifikasi31,40 :

1. Mola hidatidosa

2. Choriocarcinoma klinik

3. Choriocarcinoma vilosum

4. Choriocarcinoma non vilosum

Dengan penemuan kemoterapi untuk pengobatan pertumbuhan ganas maka tindakan pembedahan sudah banyak ditinggalkan ; sehingga material untuk diagnose histopatologik menjadi banyak berkurang, pada saat ini perjalanan klinik penyakit menjadi lebih penting.

Hertz (1961), seperti dikutip oleh Lewis Jr27, menggunakan klasifikasi yang banyak digunakan di Amerika yaitu :

1. Penyakit trofoblas metastatic

2. Penyakit trofoblas non metastatic

Oleh karena tipe vilosum dan non vilosum dimasukan dalam satu grup, sedangkan masing-masing prognosonya berbeda maka dibuat klasifikasi :401. Kehamilan mola

a. Pra evakuasi

b. Pasca evakuasi (sebelum 9 minggu)

2. Mola persisten (setelah 9 minggu)

3. Penyakit trofoblas non metastatic :

a. Histopatolgik tidak ada choriocarcinoma

b. Choriocarcinoma

4. Penyakit trofoblas metastatic :

a. Histopatolgik tidak ada choriocarcinoma

b. Choriocarcinoma dengan resiko rendah

c. Choriocarcinoma dengan resiko tinggi

Kemudian kalsifikasi ini lebih disederhanakan oleh Goldstein (1976) menjadi 40 :

1. Kehamilan mola

2. Tumor trofoblas invasive lokal

3. Tumor trofoblas metastatic dengan resiko rendah

4. Tumor trofoblas metastatic dengan resiko tinggi

Dengan keterbatasan sarana diagnostic di Indonesia, maka klasifikasi diatas tidak dapat digunakan sepenuhnya. Disamping itu di Indonesia masih banyak dilakukan pengobatan dengan pembedahan 16,45, sebagai akibat mahalnya kemoterapi, sehingga diagnose masih banyak dititik beratkan pada data histopatologik.

Bagian Obstetri dan Ginekologi RSCM Jakarta menggunakan klasifikasi sbb37 :

1. Mola hidatidosa

2. Penyakit trofoblas ganas jenis vilosum

3. Penyakit trofoblas ganas yang tak jelas jenisnya

Dan Penyakit trofoblas ganas masih dibedakan lagi atas :

1. Metastatik

2. Non metastatic

Belakangan ini Marta adiesobrata31 mengusulkan klasifikasi baru dengan maksud agar dapat dipakai sebagai wadah sementara, diharapkan suatu saat akan berubah sesuai dengan criteria internasional, yaitu :

1. Mola hidatidosa

2. Choriocarcinoma klinik

3. Choriocarcinoma vilosum

4. Choriocarcinoma non vilosum

5. Choriocarcinoma unclassified

Klasifikasi ini digunakan dengan batasan :

1. Mola hidatodosa.

Diagnosa berdasarkan pemeriksaan makroskopik, didapatkan gelembung mola ; mikroskopik, stroma vili udem, ada proliferasi sel trofoblas, perdarahan dan nekrose.

2. Choriocarcinoma klinik.

Diagnosa berdasarkan :

a. Reaksi GM tanpa pengenceran setelah 6 minggu pasca kurey tetap positif.

b. Rontgenologik didapatkan metastasis di paru-paru.

3. Choriocarcinoma jenis vilosum/non vilosum.

Diagnosa dibuat secara mikroskopik, sesuai dengan criteria Tjondronegoro.

4. Choriocarcinoma unclassified

Untuk kasus mola yang kemudian meninggal dengan gejala perdarahan per vaginam atau batuk-batuk darah dalam jangka 2 tahun setelah keluar dari perawatan.

2.3.1.1 Mola Hidatidosa1. Insidensi

Dari laporan banyak peneliti, insidensi mola hidatidosa sangat bervariasi. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan geografis, suku bangsa atau perbedaan dalam criteria diagnosis dan pengolahan data secara statistic (lihat table I)8.Insidensi mola hidatodosa di Amerika Serikat adalah 1 : 2000-2500 kehamilan, sedangkan di Asia relative lebih tinggi yaitu 1 : 80-400 persalinan36,44 .

Menurut Willson51, berdasarkan penelitian pada kasus abortus spontan ; Hertig (1940) berkesimpulan bahwa insidensi mola hidatodosa yang sebenarnya tidak diketahui, karena 40% dari abortus spontan yang mengalami degenerasi mola bentuk awal umumnya tidak terdiagnosa.

Di Indonesia insidensi mola hidatidosa hanya dijumpai dari laporan rumah sakit pendidikan saja, yang merupakan data penderita yang dirawat disana (lihat table II)48.

Mola hidatidosa yang terjadi pada setiap saat dalam masa mampu hamil. Penderita termuda yang pernah dijumpai berumur 14 tahun dan penderita tertua 54 tahun.

Tabel I.INSIDEN MOLA HIDATODOSA MENURUT BEBERAPA PENELITI*

No.NegaraPenelitiInsidensi

(per-kehamilan)

1.TaiwanWei & Ouyang1 : 82

2.MeksikoMarquez-Monter1 : 200

3.FilipinaAcosta Sison1 : 200

4.JepangHasegawa1 : 232

5.IndiaRao1 : 361

6.HongkongKing1 : 530

7.GuetamalaAramburu1 : 670

8.SingapuraTow1 : 689

9.AustraliaCoppleson1 : 820

10.ChiliCabrera1 : 829

11.BrasiliaFernandez & Marquez1 : 1071

12.Irlandia UtaraStevenson et al1 : 1190

13.USAHertig & Sheldon1 : 2062

From Tow, 1964.

*Dikutip dari : DOUGLAS & STROMME, Operative Obstet.

Tabel II. INSIDEN MOLA HIDATODOSA DI RS PENDIDIKAN, INDONESIA*

No.RS PendidikanInsidensi

(per-kehamilan)

1.Jakarta1 : 82

2.Bandung1 : 63

3.Surabaya1 : 84

4.Yogyakarta1 : 89

5.Palembang1 : 113

6.Padang1 : 53

7.Medan1 : 132

8.Menado1 : 254

9.Ujung Pandang1 : 51

*Dikutip dari : SASTRAWINATA, Mother & Child 1 : 49,1980Insidensi mola hidatidosa meningkat, khususnya setelah umur 39 tahun, sedangkan primigravida dibawah umur 20 tahun mempunyai risiko yang sama1. 2. Etiologi

Etiologi mola hidatidosa tidak diketahui. Penyelidikan beberapa tahun belakangan ini menjukkan bahwa mola erat sekali hubungannya dengan defisiensi makanan selama kehamilan. Defisiensi protein tingkat tinggi dalam diit merupakan factor penyebab terjadinya mola hidatidosa. Hal ini telah dibuktikan Acosta Sison1 di Filipina, Cina India dan Indonesia. MC Corriston (1968), menurut Willson51 tidak sependapat dengan teori Acosta Sison. Berdasarkan hasil penelitiannya di Honolulu berkesimpulan, bahwa justru yang berpengaruh disini adalah factor genetic dan suku bangsa.

Oleh Reynolds39 lebih ditekankan kepada defisiensi asam folat, bahan yang sangat penting untuk metabolisme asam amino esensial. Asam folat dengan histidine membentuk purine dan pyrimidine; senyawa ini sangat penting dalam sintesa DNA dan RNA yang dibutuhkan oleh sel dan jaringan tubuh untuk pertumbuhan termasuk perkembangan mudigah. Defisiensi asam folat atau histidine (asam amino esensial) akan menimbulkan gangguan angiogenesis janin yang mengakibatkan kematian janin. Kematian janin merupakan satu tahap dari pertumbuhan mola.

Hertig dan Edmond (1940), seperti dikutip Willson51, telah meneliti kasus abortus spontan. Ternyata setengah kasus mempunyai ovum yang abnormal yang dua pertiganya menunjukkan degenarasi mola tingkat awal. Kemudian dibuat satu konsep, bahwa mola hidatidosa adalah bentuk tertentu dari missed abortion. Dari pada itu janin tidak ditemukan pada mola hidatidoasa. Pada kehamilan gemeli 2 ovum kadang-kadang didapatkan janin dengan plasenta yang normal, sedangkan plasenta yang lain tumbuh menjadi mola1,20,36.Berdasarkan penelitian Baggish (1968), Tominaga (1966), seperti dikutip Pritchard38, mola hidatidosa umumnya mempunyai gambaran kromatin seks positif dan cenderung tumbuh menjadi ganas.

Adanya janin bersama-sama dengan mola hidatidosa dapat juga ditemukan pada kehamilan dari satu ovum, oleh Vassilakos50 disebut sebagai mola parsial yang mempunyai susunan kromosom triploid. Karena tidak didapatkan choriocarcinoma setelah satu tahun, maka tidak perlu dilakukan pengawasan lanjutan seperti mola hidatidosa. Namun LOOI28 pernah mendapatkan satu kasus mola parsial yang 9 tahun kemudian menjadi choriocarcinoma, sehingga menurut pendapatnya agar kasus ini ditangani seperti mola hidatidosa.

Oleh karena pendapat ahli yang satu dengan yang lain tidak ada persamaan, maka etiologi mola hidatidosa masih tetap menjadi teka-teki.3. Patologi

Makroskopik tampak sebagai gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Diameter gelembung mola antara 0,5mm 3cm, maasing-masing bertangkai yang saling berhubungan membentuk susunan seperti buah anggur (lihat gambar II). Mola hidatidosa biasanya tumbuh dengan cepat, sehingga seluruh rongga rahim terisi gelembung. Dari pada itu ukuran uterus pada kehamilan mola umumnya lebih besar dari umur kehamilannya dan tidak didapatkan janin1,37,51.

Mikroskopik terdiri atas proliferasi sel sinsisio dan sitotrofoblas, degenerasi hidropik stroma vili yang avaskuler. Gambaran ini bervariasi sesuai dengan aktifitas sel trofoblas; ada mitosis dan bentuk sel pleomorfik, sering juga didapatkan penetrasi sel trofoblas ke dinding uterus1,8,20,36,38,51. Bila didapatkan proliferasi sel trofoblas yang berlebihan dan bentuk anaplastik, harus dicurigai adanya keganasan. Menurut Acosta Sison1 bila gelembung mola berdiameter kecil (1-2 mm) dan banyak jaringan padat, sangat potensial menjadi choriocarcinoma.

Mola parsial, histopatologik maupun sitogenetik berbeda dengan mola hidatidosa, mikroskopik masih didapatkan gambaran vili yang normal50.4. Patogenesa

Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai proses pertumbuhan mola, proses degenerative ataut tumor, para ahli antara lain Hando`17 lebih condong pada konsep missed abortion dari Hertig dan Edmond(1940). Dengan mekanisme imunoselektif trofoblas, janin yang telah mati tidak segera dikeluarkan dan vili tetap tumbuh. Sebagai akibat kematian janin vili menjadi avaskuler, cairan yang diambil oleh sel trofoblas dari sirkulasi maternal dikumpulkan didalam stroma vili (degenerasi hidropik). Sementara sel trofoblas berproliferasi , penimbunan cairan oleh sel trofoblas berlangsung terus sehingga vili berubah menjadi gelembung yang berisi cairan jernih. Tetapi kalau diingat bahwa 50% choriocarcinoma berasal dari mola hidatidosa, maka menurut Acosta Sison1 dan Green Jr12 keadaan ini dapat menunjang konsep Park (1959,1967) bahwa mola adalah tumor. Disini kelainannya terletak pada sel trofoblas yang dapat menyebabkan kematian janin.5. Perjalanan Klinik

Mola hidatidosa adalah suatu kelainan kehamlan; pada bulan-bulan pertama kehamilan, sering sulit dibedakan dengan kehamilan normal. Semua gejala dan tanda kehamilan muda dapat dijumpai, hanya biasanya dalam bentuk yang berlebihan.

a. Hiperemesis

Gejala muntah berlangsung lebih sering dan lebih lama, kadang-kadang sampai tidak dapat makan sama sekali. Penderita menjadi kurus, muka cekung, pucat dan tampak sangat menderita. Keadaan demikian sering membawa kecurigaan kepada mola hidatidosa20.

.

b. Pre eklampsi

Biasanya timbul sebelum umur kehamilan 24 minggu, dapat dijumpai pada hampir separuh penderita mola. Diperkirakan ada hubungannya dengan kecepatan pertumbuhan uterus pada mola hidatidosa, uterus lebih besar dari umur kehamilannya, sehingga perlu dibedakan dengan kehamilan gemeli1,38,51.

c. Perdarahan

Merupakan gejala keguguran mola yang sering dikelirukan dengan abortus imminens20,51. Perdarahan sangat bervariasi, dimulai dari sedikit-sedikit sampai perdarahan banyak. Biasanya terjadi pada umur kehamilan mola 12- 14 minggu, atau setelah 24 minggu. Komplikasi yang sering terjadi adalah anemia, dapat menjadi lebih berat bila sebelumnya telah terjadi hiperemesis37,38.

Keluarnya gelembung mola selalu diikuti dengan perdarahan banyak, yang sering menimbulkan shock atau menyebabkan kematian1. Curry 6 mendapatkan 89% dari 347 mola hidatidosa dengan gejala perdarahan.d. Uterus

Kira-kira separuh penderita mempunyai uterus lebih besar dari umur kehamilannya dan sisanya lebih kecil atau sama besar20,37. Acosta Sison1 mendapatkan 70,7% uterusnya lebih besar, 17,9% uterusnya lebih kecil dan 11,4% uterusnya sama besar dari 140 mola hidatidosa. Pada mola dengan uterus lebih kecil biasanya gelembung mola telah keluar lebih dulu. e. Janin

Biasanya pada mola hidatodosa tidak didapatkan janin, kecuali pada mola parsial50 atau kadang-kadang pada kasus gemeli dari dua ovum1 dapat dijumpai janin bersama-sama gelembung mola. Menurut Pritchard38, Jones dan Lauersen (1975) mendapatkan 8 kasus mola yang disertai janin diantara 175.000 kehamilan.f. Kista lutein

Disebabkan stimulasi ovarium oleh hormone hCG dan biasanya bilateral, dapat dijumpai pada 20 60% kasus mola20,38. Diameternya dapat mencapai 10 cm atau lebih, sehingga sering menimbulkan gejala tekanan didalam rongga perut, torsi kista, inkarserasi atau rupture yang tidak jarang membutuhkan peembedahan36.

Dari 121 mola hidatidosa MORROW30 mendapatkan 29,8% dengan kista lutein (diameter lebih dari 5cm), diantaranya 52,8% bilateral. CURRY6 mendapatkan 14% kista lutein (diameter lebih dari 8cm) diantara 325 mola hidatodosa. Selanjutnya MORROW30 melaporkan, bahwa 50% dari kasus dengan kista lutein mengalami pertumbuhan ganas, bila dibandingkan dengan kejadian keganasan pasca mola tanpa kista lutein perbedaannya sangat bermakna (p < 0,01). CURRY6 mendapatkan hasil yang sama (49% dengan PTG), pertumbuhan ganas akan lebih tinggi apabila kista lutein digabunngkan dengan besarnya uterus.

g. Hipertiroid

Disebabkan stimulasi kelenjar tiroid oleh TSH like substance yang dihasilkan oleh jaringan mola 20,34,38. Gejala hipertiroid biasanya terjadi pada permulaan pertumbuhan mola, sesuia dengan kenaikan kadar hCG pada saat itu46. Bila gelembung mola telah dikeluarkan, maka gejala ini akan menghilang dengan senirinya20,27. Tetapi tidak selalu demikian, SUYONO43 melaporkan satu kasus dengan hipertiroid meninggal pasca evakuasi karena krisis tiroid dan kemudian MARTAADISOEBRATA33 melaporkan 4 dari 11 kasus dengan hipertiroid meninggal pasca evakuasi. Maka ditekankan untuk memperhatikan gejala hipertiroid pada setiap mola hidatidosa, agar dapat dilakukan pengobatan seperlunya sebelum tindakan evakuasi.

h. Hormon hCG

Menurut Delf (1957), seperti dikutip Willson53, pada kehamilan normal kadar hCG serum pada hari ke 45 amanore akan meningkat sampai 50 ribu IU dan mencapai maksimum (600 ribu IU) pada hari ke 60. Jumlah ini akan menurun sehingga setelah 100 hari amenore kadarnya tidak lebih dari 20 ribu IU. Pada mola hidatidosa kadar hCG serum setelah 100 hari amenore dapat mencapai 1,5 2 juta IU.

Ekskresi hormone hCG melalui air seni, sehingga kadarnya dapat diukur melalui pemeriksaan air seni. Pada kehamilan normal 12 14 minggu berkisar antara 10 30 ribu IU/24 jam, sedangkan pada mola hidatidosa antar 350 ribu 3juta IU/24 jam20.

Pemeriksaan kadar hCG air seni atau serum setelah 100 hari amenore sangat penting untuk diagnose mola hidatidosa. Penilaian hCG dapat dilakukan dengan :

1) Metode biologik

Yang banyak digunakan adalah tes Galli Mainini (tes GM), tes positif bila didalam air seni terdapat 25 ribu IU/liter7. Jumlah total hCG pada mola hidatidosa dapat diketahui dengan menggunakan pengeceran air seni sampai tes GM masih positif.2) Metode imunologik

Lebih peka dan lebih cepat dibandingkan dengan tes GM, dikenal sebagai tes kehamilan komersial. Tes ini positif bila didalam air seni kadar hCG 1000-6000 IU/liter37.6. Diagnosa

Diagnosa mola hidatidosa dapat dibuat apabila telah ditemukan gelembung mola dan secara histopatologik masih harus dibuktikan, bahwa belum terjadi pertumbuhan ganas1,8. Sebelum gelembung mola ditemukan, diagnose hanya dibuat dengan kemungkinan atau persangkaan mola hidatidosa. Untuk sampai kepada diagnose mola hidatidosa dibutuhkan waktu, untuk ini dilakukan :a. Pemeriksaan Klinik

Amenore, pendarahan per vaginam dan uterus yang lebih besar dari umur kehamilan, merupakan gejala yang harus dicurigai. Pada pemeriksaan selanjutnya tidak didapatkan tanda-tanda pasti dari kehamilan berupa gerakan dan bagian-bagian janin atau denyut jantung janin. Hasil pemeriksaan dengan tes GM setelah 100 hari amenore, akan lebih banyak memberikan keterangan kearah diagnosa1,36,37.

Kelemahan metode ini sering membuat kesalahan, bila dilakukan pada uterus sebesar kehamilan kurang dari 4 5 bulan. Pada kehamilan normal kurang dari 4 bulan amenore biasanya desidua vera belum bersatu dengan desidua kapsularis, sehingga ketika sonde dimasukkan lewat diantara kedua desidua ini, kesannya perasat Acosta Sison positif. Parasat Acosta Sison mudah dikerjakan, murah dan cepat; pada kasus dengan uterus sebesar kehamilan lebih dari 4- 5 bulan, Acosta Sison1 mendapatkan ketepatan diagnose mola hidatidosa 100%.

Menurut Prawirohardjo37, Hanifa (1962) membuat modifikasi parasat Acosta Sison yang dikenal dengan parasat Acosta Sison-Hanifa. Sonde yang dimasukkan kedalam uterus dibengkokkan dengan sudut 300 pada jarak 7 cm dari ujung sonde, bila tidak ada hambatan waktu dimasukkan dan dipilih maka hasilnya positif. Bila pemeriksaan sonde uterus hasilnya positif, melalui cervix dimasukkan cunam untuk mendapatkan gelembung mola1,37.

b. Pemeriksaan Rontgenelogik

KING (1956), dikutip oleh ACOSTA SISON1, membuat diagnose mola hidatidosa secara rontgenelogik pada kasus dengan perdarahan per vaginam, uterus lebih besar dari umur kehamilan, gestosis dan tes GM positif; apabila tidak didapatkan gambaran kerangka janin maka diagnose adalah mola hidatidosa.

Metode ini dapat dilakukan pada uterus gravidus 16 minggu; disamping beban biaya dapat menimbulkan bahaya radiasi, bila terjadi kesalahan dengan kehamilan normal khususnya kehamilan gemeli40,51.

Pemeriksaan lain ialah dengan menggunakan bahan kontras, dikenal dengan amniosentesis dan amniografi, mola hidatidosa akan memberikan gambaran seperti rumah tawon (honeycomb) atau busa sabun20,40. Bila terjadi kesalahan dengan kehamilan normal, sering terjadi abortus atau partus premature.c. Pemeriksaan Ultrasonografi

Karena alat ini tidak menimbulkan efek radiasi, maka sering digunakan untuk pemeriksaan pada kehamilan muda dengan perdarahan dan kelainan kehamilan lainnya. Pemeriksaan dapat dilakukan berulang kali tanpa menimbulkan efek jelek pada ibu dan janinnya7.

Prinsip kerja alat ini berdasarkan perbedaan echo yang dihasilkan oleh getaran suara berfrekuensi tinggi, setelah melewati organ-organ yang kepadatannya berbeda. Echo kemudian disalurkan melalui alat tertentu ke oscilloscope, sehingga dapat dianalisa. Mola hidatidosa memberikan gambaran yang khas, seperti gambaran badai salju, dengan demikian dapat digunakan untuk diagnose awal mola hidatidosa.7. Penanganan

Mengingat bahwa 9,2% mola hidatidosa dapat berkembang menjadi choriocarcinoma, maka untuk kasus-kasus dengan resiko tinggi harus diperhatikan mengenai1,40:

a. Umur dan paritasnya

b. Ada tidaknya kista lutein dan hipertiroid

c. Ukuran uterus

Penanganan mola hidatidosa terdiri atas :

a. Membersihkan rongga rahim (evakuasi)

Biasanya digunakan vakum kuretase, disamping cepat dan aman juga perdarahannya sedikit. Oleh karena dapat terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi, maka penyediaan uterotonika dan darah tranfusi adalah mutlak perlu pada waktu evakuasi mola34. Selain dengan vakum kuretase, evakuasi mola dapat dikerjakan dengan : induksi dengan obat-obatan, histerektomi dan histeretomi.

1) Vakum kuretase

Ekspulsi mola sering disertai dengan perdarahan banyak yang dapat menimbulkan shock. Kuretase sebaiknya ditunda, sampai keadaan umumnya dapat diatasi dengan tranfusi atau pemberian cairan infuse dan obat obatan lainnya1. Setelah keadaan umum teratasi segera dilakukan vakum kuretase, untuk membersihkan jaringan mola.

Apabila cervix masih menutup, pembukaan dapat dilakukan dengan batang laminaria atau dilatators, sehinggga ujung vakum kuret dapat melewati cervix1,37. Selama kuretase diberikan infuse oksitosin dalam 500 cc dextrose 5% (40 U/ liter), untuk menghindari komplikasi perdarahan dan perforasi, dan transfuse darah34.

2) Induksi

Cara ini dimaksudkan agar timbul kontrasi uterus, sehingga jaringan mola terlepas dari dinding uterus yang selanjutnya akan dikeluarkan. Untuk induksi dipergunakan oksitosin 5 10 U dalam 500cc dextrose 5% atau prostaglandin. Induksi dapat diulangi, bila cervix tidak membuka atau tidak terjadi ekspulasi mola44. Metode ini sudah jarang dikerjakan, karena sering menimbulkan komplikasi perdarahan dan emboli paru7,34.

3) Histeretomi

Cara ini sudah lama ditinggalkan, biasanya dipakai pada mola hidatidosa yang disertai janin. Insidensi pertumbuhan ganas pasca mola lebih tinggi pada kasus dengan histerotomi dibandingkan dengan kasus yang menggunakan vakum kuret20. Seperti yang dilaporkan oleh CURRY6, pertumbuhan ganas paca kuretase 18,7% sedangkan pasca histeretomi 34,0%.

4) Histerektomi

Karena histerektomi ternyata dapat menurunkan kejadian pertumbuhan ganas pasca mola sampai 4 kali, maka metode ini sangat dianjurkan untuk :

a) Tidak ingin hamil lagi atau telah mempunyai anak hidup 3 atau lebih.

b) Telah berumur 40 tahun atau lebih.

HARAHAP16 melakukan histerektomi sebagai pengganti kuretase ulangan pada umur diatas 30 tahun, ternyata 8 dari 15 pasca mola telah terjadi pertumbuhan ganas. Setelah diawasi selama satu tahun, tidak dijumpai tanda tanda keganasan.

b. Pengawasan tindak lanjutan (follow up)

Penderita yang telah keluar dari perawatan, harus diawasi mengingat12 :

1) Mungkin masih tersisa jaringan mola.

2) Mola cenderung untuk menjadi ganas.

3) Hasil pemeriksaan histopatologik belum dapat dipakai untuk menentukan prognosa mola menjadi choriocarcinoma.

Menurut PRAWIROHARDJO37, Bagian Obstetri dan Ginekologi RSCM Jakarta melakukan pengawasan pasca mola selama 3 tahun dengan waktu kunjungan sbb :

1) Setiap minggu selama trimester I.

2) Setiap 2 minggu selama trimester II.

3) Setiap bulan selama 6 bulan berikutnya.

4) Setiap 2 bulan selama tahun ke II.

5) Setiap 3 bulan selama tahun ke III.

Untuk mencurigai pertumbuhan ganas pasca mola, harus diperhatikan gejala sbb :

1) Perdarahan per vaginam

Apabila selama 14 hari pasca evakuasi masih ada perdarahan atau timbul perdarahan baru, wajib dicurigai adanya pertumbuhan ganas20,30.

2) Batuk darah pada pasca mola terjadi metastasis di paru-paru. Hal ini dapat ditunjukkan secara rontgenelogik, didapatkan gambaran coin lesion di paru-paru40.

3) Amenore, membuktikan masih ada pengaruh hormon hCG, namun serinng tidak jelas berhubung dengan gejala perdarahan20.

4) Secara ginekologik didapatkan kista lutein atau uterus sub involusi atau benjolan merah keunguan yang rapuh di vagina/vulva.

5) Kenaikan kadar hCG

Kenaikan produksi hCG membuktikan masih ada sel trofoblas yang aktif21; tidak aktif lagi bila kadar hCG air seni kurang dari 250-500 IU/liter37. Dengan demikian untuk diagnose awal keganasan pasca mola, harus dapat menilai kadar hCG terendah. Hal ini hanya mungkin, apabila kunjungan maupun pemeriksaan kadar hCG dilakukan secara teratur.

Tes GM dan tes kehamilan komersial tidak dapat digunakan untuk menilai kadar hCG terendah, karena kurang peka 1,3. HARAHAP15 menggunakan tes kehamilan komersial (Prognosticon) dan air seni penderita selama 24 jam yang dikentalkan secara ultrafiltrasi, kadar hCG terendah yang dapat diukur 25 IU/liter. Percobaan ini perlu dikembangkan dan diuji agar dapat digunakan secara luas. Metode radioimmunoassay, khususnya beta sub unit, merupakan metode yang sangat peka dan spesifik untuk menilai kadar hCG, kadar terendah yang masih dapat diukur adalah 5ml IU/ml11,21,30,46. Menurut BAGSHAWE4 apabila kadar hCG tetap tinggi selama 2 bulan pasca evakuasi atau tidak pernah turun sampai normal selama 5-6 bulan pasca evakuasi, maka ada indikasi untuk memberikan kemoterapi.

Pasca evakuasi biasanya kadar hCG akan menurun ssampai normal; berapa lamanya kadar hCG menjadi normal, sangat tergantung pada metode penilaian yang digunakan. Dengan tes GM biasanya tes menjadi negative setelah 1-2 bulan pasca evakuasi1; sedangkan HO YUEN18 menggunakan beta sub unit radioimmunoassay pada 120 pasca evakuasi, hCG menjadi normal setelah 73,6 hari

Karena hormone hCG pada kehamilan normal dan penyakit trofoblas tidak dapat dibedakan, maka sebaiknya pasca mola menggunakan kontrasepsi agar tidak hamil selama dalam pengawasan lanjutan. Setiap jenis kontrasepsi mempunyai resiko; pasca mola diatas 40 tahun atau telah mempunyai anak 3, sebaiknya dilakukan histerektomi. Disamping kejadian pertumbuhan ganas pasca mola dapat ditekan, kontrasepsi tidak lagi diperlukan20,40. Meskipun IUD cukup aman sebagai kontrasepsi, namun sering menimbulkan perforasi atau perdarahan bila terjadi keganasan20,37. STONE (1976), dikutip oleh BAGSHAWE4, mendapatkan pada pasca mola yang menggunakan pil kontrasepsi, pemakaian kemoterapi meningkat sampai 2,6kali. SURWIT46 tidak mendapatkan bukti-bukti tersebut dalam penelitiannya. Pil kontrasepsi sebaiknya dinberikan setelah kadar hCG (menggunakan beta sub unit radioimmunoassay) menjadi normal selama 3 bulan dan kehamilan dapat dianjurkan setelah 6 bulan kadar hCG tetap normal, demikian BAGSHAWE4. Dalam penelitian AGUS UTORO2 disimpulkan, bahwa sebaiknya pil kontrasepsi tidak diberikan pada pasca mola, sebelum dapat digunakan metode beta sub unit radioimmunoassay.8. Komplikasi

Umumnya penderita tidak mengalami akibat yang berat setelah kuretase. Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan yang dapat menimbulkan shock, bila tidak segera diatasi akan mengakibatkan kematian.

LOPEZ-LLERA25, TSAKOK49 mengemukakan, bahwa pada mola sering terjadi kelainan koagulasi dan fibrinolisis, karena terlepasnya zat tromboplastin dari jaringan mola. Keadaan ini akan menimbulkan dissiminated intravascular coagulation setelah melahirkan jaringan mola; penderita tertolong dengan pemberian tranfusi.

Pada kasus dengan hipertiroid dapat meninggal karena krisis tiroid pasca evakuasi, demikian dilaporkan SUYONO43 dan MARTAADISOEBRATA33. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah infeksi/sepsis, pre eklampsi/eklampsi dan emboli paru34,44.3 MOLA INVASIF

1. Patologi

Mola invasive bersifat jinak, tetapi derajat keganasannya lebih besar dibandingkan dengan mola hidatidosa. Vili masuk kedinding uterus, bisa mencapai ligamentum latum atau alat panggul. Sifat demikian dapat menimbulkan perforasi dan perdarahan hebat dalam rongga perut7,51.

Mikroskopik tidak berbeda dengan mola hidatidosa; karena gambaran vili masih dipertahankan maka PRAWIROHARDJO (1957), dikutip oleh ACOSTA SISON1, menggunakan nama choriocarcinoma vilosum.

Umumnya mola invasive berasal dari mola hidatidosa, meskipun pernah dilaporkan satu kasus yang berasal dari kehamilan aterm oleh ACOSTA SISON1. Menurut HANDO17 mola invasive bukan bentuk sekunder dari mola hidatidosa, tetapi telah ada pada mola in situ. Antara mola invasive dan choriocarcinoma klinik berbeda, sel trofoblas pada mola invasive bersifat jinak dan mempunyai batas umur tertentu sehingga dapat regresi spontan.2. Insidensi

Mengingat bahwa diagnose mola invasive hanya mungkin dibuat setelah histerektomi, maka insidensi yang sesungguhnya tidak diketahui7. Diperkirakan insidensi mola invasive adalah 1 :50 mola hidatidosa (lihat table III).

Tabel III INSIDENSI MOLA INVASIF DARI HISTEREKTOMI*

No.PenelitiMola in situMola invasive

AB

1.Douglas (1962)1141

2.Llewllyn-Yones (1967)71?5

3.Takamizawa (1973)30178

4.Fukushima (1976)632218

JUMLAH175

43

(41,3%)32

(18,2%)

(A). invasi ke endometrium. (B). invasi ke myometrium.

*Dikutip dari : HANDO T. Nature of trophoblstic disease. Proceedings of the IX World Congress of Gynecol and Obstet.1979.3. Diagnosa

Diagnosa mola invasive sangat sulit, hanya mungkin setelah histerektomi atau biopsy. Klinik mola invasive juga sulit untuk dibedakan dengan choriocarcinoma, karena dari penilaian kadar hCG tidak mungkin untuk membedakannya3,38. Menurut HANDO17 mola invasive mempunyai beberapa perbedaan prinsip dengan choriocarcinoma :

a. Mortalitasnya rendah, kematian pada mola invasive biasanya disebabkan oleh perdarahan atau infeksi.

b. Biasanya mola invasive terjadi lebih awal daripada choriocarcinoma.

c. Choriocarcinoma adalah suatu tumor ganas, kadar hCG meningkat dengan cepat berbeda dengan mola invasive.

d. Percobaan kultur jaringan menunjukkan perbedaan antara keduanya, sel trofoblas pada invasive mempunyai batas umur tertentu.

Pada pengawasan lanjutan pasca mola yang dilakukan dengan teratur, pertama-tama harus dicurigai mola invasive bila didapatkan1,44 :

a. Pasca evakuasi masih tetap ada perdarahan per vaginam.

b. Kadar hCG tetp tinggi atau naik kembali setelah menjadi normal.

c. Uterus sub involusi.

BREWER3, LEWIS Jr27 menyebut keadaan ini sebagai mola persisten, segera diberikan kemoterapi. Selanjutnya ditambahkan oleh DI SAIA7 dan SURWIT46, diagnostic kuretase sebaiknya dihindarkan karena :

a. Sering menimbulkan komplikasi perforasi atau perdarahan hebat, bila telah terjadi pertumbuhan ganas.

b. Tidak membawa hasil, karena sel tumor tidak dapat dicapai oleh sendok kuret.4. Penanganan

Setelah diagnose ditentukan, klinik atau histopatologik, maka untuk pengobatannya dapat dipertimbangkan1,51 :

a. Kemoterapi

b. Histerektomi

c. Kombinasi kemoterapi dan histerektomi

BREWER3 di PASSAVANT MEMORIAL HOSPITAL mengobati 79 mola invasive dengan kombinasi MTX dan actinomycin-D, hasil peneyembuhannya 100%. Penderita mola invasive yang telah keluar dari perawatan, harus diawasi ketat selama 2 tahun setelah kadar hCG menjadi normal. Tahun pertama pemeriksaan dilakukan setiap bulan secara teratur antara lain51 :

a. Pemeriksaan ginekologik

b. Foto paru-paru

c. Pemeriksaan kadar hCG

Pada tahun kedua pemeriksaan dilakukan setiap 4 bulan, bila tidak didapatkan bukti-bukti residif maka dinyatakan sembuh.4 CHORIOCARCINOMA

Choriocorcinoma adalah tumor yang sangat ganas, dapat terjadi dari suatu bentuk kehamilan setelah melewati periode laten. Periode laten ini dapat berlangsung sampai 5 tahun atau lebih, tetapi dapat kurang dari 2 tahun1,20.

1. Insidensi dan etiologi

Choriocorcinoma sangat jarang, distribusinya sama dengan distribusi mola hidatidosa. Insidensi di Amerika Utara dan Inggris rata-rata antara 1:50.000-70.000 kehamilan, di Asia dan Afrika Tengah insidensiny LEBIH TINGGI RATA-RATA 1:5000-6000 kehamilan20.

SASTRAWINATA48 membandingkan insidensi choriocarcinoma dari berbagai tempat di Asia (lihat table IV).

Ternyata insiedensi di Negara-negara Asia jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan insidensi di Meksiko dan Australia, belum lagi bila dibandingkan dengan insedensi di Negara Barat (Amerika dan Inggris).

Variabilitas ini disebabkan oleh banyak factor, misalnya di Asia pada multiparitas terdapat insidensi yang tertinggi sedangkan di AMerika Utara dan Inggris justru pada primigravida20. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan teori immune tolerance to paternal alloantigen bahwa ada hubungan antara kejadian choriocarcinoma dengan factor suami (paternal), sehingga kehamilan pertama merupakan tes bagi wanita untuk mendapatkan choriocarcinoma20,26.

Tabel. IV INSIDENSI CHORIOCARCINOMA DI ASIA*

NegaraTempatTahunInsidensi

IndonesiaSurabaya62 631 : 570

TaiwanTaipeh51 601 : 496

FilipinaManila-1 : 1382

HongkongHongkong621 : 1331

SingapuraSingapura63 651 : 4298

MeksikoMeksiko54 611 : 11148

AustraliaSydney50 661 : 15000_

*Dikutip dari : SASTRAWINATA S. Mother & Child 1 : 49.1980

**setiap kehamilan

Apabila banyak dilakukan histerektomi pada pasca mola, akan didaptkan lebih banyak data mengenai choriocarcinoma. Seperti yang dilaporkan oleh SUBAGIJO45, untuk tujuan sterilisasi pada pasca mola diatas 35 tahun, hasilanya 44,4% choriocarcinoma non vilosum dan 33,3% choriocarcinoma vilosum.

Choriocarcinoma dapat terjadi dari mola hidatidosa, abortus, kehamilan aterm atau kehamilan ektopik1,7. Biasanya insidensi mola hidatidosa yang tinggi, akan memberikan insidensi yang tinggi pula untuk choriocarcinoma.

Insedensi choriocarcinoma dari tiap bentuk kehamilan, 2. Patologi

Biasanya choriocarcinoma tumbuh pada dinding uterus, tetapi dapat juga pada cervix, tuba, ovarium atau ligamentum latum1. Tumor sebagai masa nekrotik dan hemoragik pada fundus uteri. Mikroskopik terdidri atas kelompok sel sinsisio dan sitotrofoblas dengan mitosis yang berlebihan. Biasanya didapatkan bentuk anaplastik, sedangkan gambaran vili tidak diketemukan lagi. Karena gambaran vili tidak ada lagi, maka disebut juga sebagai choriocarcinoma non vilosum37,40.

Karena sifat pertumbuhannya infiltrative dan destruktif, choriocarcinoma dapat menimbulkan perforasi, perdarahan dan metastasis. Metastasis dapat terjadi secara hematogen, tumbuh seperti tumor induknya di paru-paru, cervix, vagina, otak, hepar, ginjal dan alat pencernaan.

ACOSTAN SISON1 meneliti distribusi metastasis pada berbagai alat tubuh, lihat table VI.

Tabel VI.DITRIBUSI METASTASIS CHORIOCARCINOMA MENURUT TEMPATNYA.*

Alat tubuhJumlah %

Paru-paru93,8

Vagina43,8

Otak28,1

Hepar28,1

Ginjal25,0

Ovarium21,9

*Dikutip dari : Greenhill JP. Obstet 12th ed. 1961

HARAHAP13 mendapatkan metastasis ke paru-paru dan otak 80,2% ke vulva dan vagina 19,8%. Metastasis terbanyak dijumpai pada paru-paru dan vagina, sehingga dengan membuat foto baru dan biopsi diagnose choriocarcinoma dapat ditegakkan.3. Perjalanan Klinik

Gejala pertama yang banyak dijumpai adalah perdarahan tumor di endometrium, dari perdarahan sedikit sampai perdarahan banyak. Atau hanya didapatkan pembesaran uterus yang lunak, tumor di myometrium, perdarahan baru terjadi bila tumor tumbuh ke endometrium atau perimetrium1.

Sifat metastatic choriocarcinoma sering menimbulkan gejala yang menyerupai gejala penyakit lain, akibatnya mempersulit diagnose, misalnya7:

a. Metastasis ke paru-paru sering dianggap sebagai serangan asthma atau tbc paru, karena gejala batuk darah disertai sesak nafas.

b. Metastasis ke hepar, ovarium atau proses di uterus didiagnosa sebagai kehamilan tuba yang terganggu, karena perdarahan dalam perut.

c. Metastasis ke otak menimbulkan gejala-gejala neurologic, menyerupai gejala tumor otak atau perdarahan otak.

d. Metastasis ke ginjal menimbulkan hematuri atau ke usus menimbulkan melena.

4. Diagnosa

Diagnosa choriocarcinoma biasanya dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologik dari kuretase, histerektomi, biopsy atau atopsi1. Seringkali diagnose histopatologik tidak dapat dibuat, berhubung dengan besarnya resiko pembedahan atau tidak tersedianya bahan pemeriksaan.

Agar prognasa penderita menjadi lebih baik, sebaiknya diagnose dibuat lebih awal sehingga pengobatan dapat segera diberikan. Pasca mola yang mendapat pengawasan dengan baik, maka tidak ada kesulitan untuk membuat diagnose choriocarcinoma.

Menurut ACOSTA SISON1 diameter tumor 3-4 cm telah mampu menghasilkan tes GM positif. Tetapi dia mendapatkan tes GM negative pada 2 kasus yang meninggal. Dengan demikian diperlukan metode pemeriksaan hCG yang lebih peka, agar diagnose choriocarcinoma dibuat lebih awal tidak seperti 2 kasus yang meninggal dari ACOSTA SISON. BREWER3 membuktikan, sebaiknya tes imunologik (tes kehamilan komersial) tidak dipergunakan untuk diagnose dan pengawasan pengobatan pada mola invasive dan choriocarcinoma. BREWER3, GOLDSTEIN11, JONES21 dalam menangani penyakit trofoblas ganas, menggunakan metode beta sub unit radioimmunoassay. Metode ini sangat peka dan spesifik, karena dapat untuk menilai kadar hCG terendah, maka banyak dipergunakan untuk menentukan diagnose awal, prognosa dan hasil pengobatan penyakit trofoblas ganas. Dengan demikian data klinik menjadi lebih penting dan lebih diperhatikan dari pada data histopatologik46.

Diagnosa choriocarcinoma yang berasal dari abortus, kehamilan ektopik dan kehamilan aterm, karena sejak awal kurang mendapat perhatian maka biasanya diketemukan sudah metastasis.

Dengan demikian apabila ada perdarahan yang bukan menstruasi atau dari metastasis tumor yang asalnya tidak diketahui dalam periode mampu hamil, pertama-tama harus dicurigai adanya choriocarcinoma. Untuk ini harus dilakukan pemeriksaan kadar hCG, agar dapat menentukan diagnose dan pengobatannya7,29,46.

Untuk menentukan metode pengobatan, choriocarcinoma dikatagorikan atas46,47 :

a. Choriocarcinoma dengan prognosa jelek, bila terdapat :

1) Metastasis ke otak atau hepar

2) Kadar hCG serum lebih dari 40.000 ml IU/ml atau kadar hCG air seni lebih dari 100.000 IU/24 jam (penilaian dengan metode beta sub unit radioimmunoassay).

3) Telah mendapat kemoterapi, belum ada remisi.

4) Berasal dari kehamilan aterm (prognasa biasanya jelek)

b. Choriocarcinoma dengan prognosa baik.

Adalah Choriocarcinoma non metastasik dan Choriocarcinoma metastatic yang tidak termasuk kategori prognosa jelek.5. Penanganan

SURWIT46 mengemukakan bahwa dengan beta sub unit radioimmunoassay sebagai kontrol, ternyata keberhasilan yang diperoleh kemoterapi untuk pengobatan penyakit trofoblas ganas dengan prognosa baik adalah 100%. Sedangkan penyakit trofoblas ganas dengan prognosa jelek merupakan kasus-kasus yang sukar. Penyakit ini harus ditangani secara aktif dengan :

a. Pemberian kemoterapi menurut protocol tertentu.

b. Memberikan obat tambahan, seperti antibiotic dan roboransia secukupnya.

c. Bila perlu dilakukan pembedahan.

d. Pemberian nutrisi parental.

e. Masih memberikan kemoterapi, meskipun kadar hCG telah normal, maka keberhasilannya 90%.

Menurut RATNAM40 untuk menangani penyakit trofoblas ganas secara modern adalah dengan : Pencegahan; Kemoterapi; Pembedahan; Raditerapi; Imunoterapi.

a. Pencegahan

Telah dilakukan sejak dari awal, dengan seleksi pengobatan pada pasca mola dengan resiko tinggi dan pengawasan yang teratur.

b. Kemoterapi

Yang serig dipergunakan adalah MTX dan actinomycin D; dapat diberikan sebagai kemoterapi tunggal atau kombinasi51.

BREWER3 disamping menggunakan kombinasi MTX, actinomycin D, dan cyclophosphamide. Pada setiap pemberian kemoterapi, harus diperiksa mengenai :

1) Kadar hemoglobin

2) Hitung jenis

3) Jumlah lekosit dan trombosit

4) Pemeriksaan fungsi hepar dan fungsi ginjal

5) Rontgenologik (foto baru)

6) Kadar hormone hCG

Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui hasil pengobatan dengan kemoterapi seperti penyembuhan, efek toksis obat atau resistensi obat. Kemoterapi diberikan apabila didapatkan harga normal dari kadar Hb, hitung jenis, jumlah lekosit dan trombosit, pemeriksaan fungsi hepar dan fungsi ginjal. Keberhasilan kemoterapi dilihat dari hasil pemeriksaan kadar hCG atau rontgenologik; bila ada penyembuhan kadar hCG akan menurun dapat sampai normal, rontgenologik metastasis tumor menghilang. Maka dari itu pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin, pada setiap pemberian kemoterapi.

GOLDSTEIN11 membuat protocol penilaian kadar hCG dengan menggunakan beta sub unit radioimmunoassay selama pengobatan dengan kemoterapi, sbb :

1) Selamapemberian kemoterapi kadar hCG diperiksak setiap minggu.

2) Kemoterapi dihentikan jika kadar hCG menjadi normal.

3) Jika kadar hCG sudah normal 12 kali berturut-turut, pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan selama 6 bulan.

4) Penderita tidak boleh hamil.

5) Apabila kadar hCG bulanan normal 12 kali berturut-turut, jika dikehendaki boleh hamil lagi.

6) Kemoterapi diberikan kembali, jika kadar hCG naik lagi atau ada metastasis.

7) Bila kemoterapi diberikan 2 seri dan ternyata kadar hCG masih tetap tinggi, sebaiknya kemoterapi diganti.

Belum ada persamaan pendapat mengenai saat yang tepat untuk menghentikan kemoterapi. CURRY6 dan GOLDSTEIN11 menghentikan kemoterapi setelah kadar hCG normal, sedangkan SURWIT46 masih melanjutkan satu seri lagi dan RATNAM40 2 seri lagi setelah kadar hCG normal. Menurut HERTZ (1963), dikutip oleh JONES21, Choriocarcinoma dianggap sembuh bila pemeriksaan kadar hCG 3 kali berturut-turut normal.

Kemoterapi dapat juga dihentikkan karena ada gejala toksik seperti40 :

1) Anemia

2) Jumlah lekosit kurang dari 3.000/mm33) Jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm34) Jumlah polimorfonukleus kurang dari 1.500/mm35) Stomatitis, diare, kenaikan suhu, rambut rontok.

6) SGOT, SGPT dan alkali phosphatase meningkat.

Setelah keadaan umum penderita diperbaiki, kemoterapi diganti atau dapat dengan kombinasi kemoteapi. Dengan menggunakan kombinasi kemoterapi, dicapai beberapa keuntungan47 :

1) Anti tumor bertambah

2) Karena masing-masing berbeda, maka resistensi dari masing-masing obat berkurang.

3) Kurang toksik.

Setelah diberikan beberapa serikemoterapi, sering tidak ada kemajuan kadar hCG tetap tinggi. Mungkin sel tumor sudah resisten, maka kemoterapi diganti atau dengan kombinasi kemoterapi atau kemoterapi dikombinasikan dengan pembedahan51.

Dalam percobaan KOIDE23 telah dibuktikan, bahwa kemoterapi dapat merusak sel trofoblas jinak. GOLDSTEIN (1971), dikutip oleh WILLSON51 memberikan aactinomycin-D sebelum kuretase sebagai kemoterapi profilaktik 2% dan tanpa kemoterapi profilaktik 4%. CURRY6 melaporkan bahwa dari 24 kasus mola yang mendapat MTX pada waktu kuretase sebagai profilaktik, 16% mengalami pertumbuhan ganas, tidak ada kematian dan beberapa kasus mengalami toksis yang berat. DI SAIA7, RATNAM40 dan SURWIT46 tidak pernah memberikan kemoterapi profilaktik, karena keganasan pasca mola hanyaa 10-15% dan pengobatan penyakit trofoblas ganas dengan prognosa baik menggunakan kemoterapi hasilnya 100%. JUNAIDI22 beprpendapat bahwa MTX profilaktik tidak dapat mencegah terjadinya pertumbuhan ganas. Meskipun demikian tidak ada keberatan untuk memberikan kemoterapi profilaktik, demikian DI SAIA7, yaitu :

1) Bila insidensi pertumbuhan ganas pasca mola tinggi, sedangkan pengawasan pasca mola tidak dapat dilakukan dengan baik.

2) Bila akan dilakukan pembedahan (histerektomi), dengan kemoterapi profilaktik dimaksudkan untuk melokalisir tumor.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal pada kemoterapi Choriocarcinoma dibedakan :

1) Untuk Choriocarcinoma dengan prognosa baik.

RATNAM40 menggunakan kemoterapi tunggal MTX; bila terjadi efek toksik atau resistensi diganti dengan actinomycin-D atau kemoterapi kombinasi. Dosis MTX 0,2mg/kgBB/hari diberikan intramuskuler selama 4 hari. Bila tidak ada gejala toksik, dapat diulangi dengan interval 10 hari. Setelah 3 seri MTX tidak ada kemajuan (kadar hCG tetap tinggi), sebaiknya diberikan juga actinomycin-D dengan dosis 10ug/kgBB/hr secara intravena. Supaya tidak terjadi residif MTX masih diberikan sebanyak 2 seri setelah kadar hCG normal.

SURWIT46 memebrikan MTX dengan dosis 20-25 mg/hari secara intramuskuler selama 5 hari. Seri berikutnya diberikan dengan interval 7 hari. Setelah 5 seri MTX dan kadar hCG masih tinggi, MTX diganti dengan actinomycin-D 0,5 mg/hari secara intramuskuler. Untuk mencegah residif masih diberikan MTX satu seri lagi, setelah kadar hCG normal.

Dengan kemoterapi tunggal dan pengawasan yang baik, ternyata tidak didapatkan kematian.

2) Untuk Choriocarcinoma dengan prognosa jelek.

SURWIT46 menganjurkan penanganan langsung ditangani oleh Pusat Pengelola Penyakit Trofoblas. Penanganan kasus sedemikian sangat sulit, karena banyak persoalan yang dijumpai. Dari 51 kasus dalam kategori ini, dengan menggunakan kemoterapi menurut protocol tertentu (lihat table VII) penyembuhannya hanya 72%. Setelah pengobatan 3 tahun penyembuhan seluruhnya hanya 90%. Kemoterapi yang diberikan adalah kombinasi MTX, actinomycin-D dan chlorambucil.

Tabel VII

POTOKOL MENURUT MODIFIKASI BAGSHAWE.*

HariJamKemoterapi

1500mg Hydroxyurea, 4x/hari, per oral.

Actinomycin-D. 0,2mg, intravena.

207.00Vincristine. 1 mg/m2, intravena.

19.00MTX. 100mg/m2, intravena dengan tekanan

MTX. 200mg/m2, dalam infuse selama 12 jam

Actinomycin-D. 0,2mg, intravena

319.00Actinomycin-D. 0,2mg, intravena

Cytoxan. 500mg/m2, intravena

Folinic acid 14mg, intramuskuler

401.00Folinic acid 14mg, intramuskuler

07.00Folinic acid 14mg, intramuskuler

13.00Folinic acid 14mg, intramuskuler

19.00Folinic acid 14mg, intramuskuler

Actinomycin-D. 0,5mg, intravena

501.00Folinic acid 14mg, intramuskuler

19.00Actinomycin-D. 0,5mg, intravena

6Istirahat

7Istirahat

8Cytoxan. 400mg/m2, intravena.

Adriamycin. 30mg/m2, intravena.

*Dikutip dari : PITKIN RM (Edit). Year book of Obstet Ginekol. P 286,198046.

Pada kasus dengan resiko tinggi, harus diperhatikan adanya anemia, infeksi/sepsis. Sering diperlukan pengobatan dengan antibiotic, tranfusi dan obat-obat steroid. Pemberian makan secara intravena sangat dibutuhkan dalam merawat kasus demikian46.

BARKOWITZ5 memberikan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi dan pembedahan, ternyata masih didapatkan 11 kematian. Analisa factor kegagalan menunjukkan :

1) Keterlambatan membuat diagnose.

2) Dari 11 kematian, 6 kasus dari kehamilan aterm.

Menurut SURWIT46 kegagalan disebabkan :

1) Keterlambatan memebuat diagnose.

2) Pemberian kemoterapi tidak menggunakan protocol.

3) Adanya resintensi terhadap obat.

Selanjutnya dikemukakan bahwa kasus dengan periode laten kurang dari 4 bulan atau yang sebelumnya telah mendapat kemoterapi, prognosanya lebih baik daripada yang dengan periode laten lebih dari 4 bulan atau yang sebelumnya belum pernah mendapat kemoterapi.

Agar jangan terjadi residif maka pemberian kemoterapi kombinasi dapat diteruskan 2 8 seri setelah kadar hCG normal, biasanya diberikan sampai 3 seri setelah kadar hCG normal.

c. Pembedahan

Pembedahan diharapkan dapat membantu kemoterapi untuk penyembuhan yang optimal. Dengan demikian pembedahan bukan sebagai pengganti kemoterapi27,40. Keuntungan pembedahan27 :

1) Untuk mengontrol perdarahan

2) Menghilangkan atau mengurangi sumber-sumber tumor

Dan dapat dilakukan apabila :

1) Ada indikasi untuk pembedahan

2) Tidak menginginkan anak lagi

3) Resisten terhadap kemoterapi

d. Radioterapi

Jarang dipergunakan, BAGSHAWE4 memberikan 4500 raad dikombinasikan dengan MTX dosis tinggi untuk choriocarcinoma metastatic (metastasis ke otak); hasilnya belum memuaskan. Pemberian radioterapi pada metastasis ke paru-paru dapat menimbulkan fibrosis paru-paru40.

Setelah pengobatan dijalankan secara aktif dan didapatkan penyembuhan optimal, maka harus dilakukan pengawasan lanjutan pada pasca choriocarcinoma. Secara teratur dilakukan pemeriksaan kadar hCG, ginekologik rutin dan rontgenologik, sehingga bila terjadi residif dapat diketahui lebih awal. Pemeriksaan dapat dilakukan46 :

1) Setiap 2 minggu selama 3 bulan

2) Setiap bulan selama 3 bulan berikutnya

3) Setiap 2 bulan selama 6 bulan berikutnya

4) Setiap 6 bulan untuk selamanya

Setelah 1 tahun tidak ada halangan untuk hamil kembali. Setelah pemakaian kemoterapi tidak didapatkan kelainan fertilitas atau peningkatan insidensi kelainan congenital, meskipun sering dijumpai abortus atau plasenta akreta7,46. Kelainan congenital yang dijumpai pada pasca choriocarcinoma, menurut WALDEN52, masih perlu diteliti. Dikemukakannya bahwa penyakit trofoblas sendiri sudah merupakan riwayat obstetric yang jelek bagi pasca choriocarcinoma, bukan semata-mata disebabkan oleh efek kemoterapi.

2.1 Kerangka KonseptualStudi kuantitatif tentang efektivitas penatalaksanaan penyakit trofoblas ganas melibatkan aspek-aspek yang meliputi tindakan operatif dan terapi medika mentosa. Keterlibatan aspek-aspek tersebut merupakan suatu proses menuju tingkat kesembuhan yang kompleks. Studi kuantitatif dengan pendekatan model matematika belum banyak diteliti. Kerangka Konsep penelitian ini disajikan dalam bentuk skema sebagai berikut :Gambar 2.2: KERANGKA KONSEP

2.3Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel-variabel dalam studi ini adalah sebagai berikut:

a. Permintaan pertolongan persalinan di Puskesmas: realisasi ibu untuk melahirkan di Puskesmas. Pengukuran variabel dengan menanyakan kepada ibu melahirkan, apakah melahirkan di Puskesmas atau di tempat lain selain Puskesmas, untuk responden itu bersalin pada periode (bulan Maret 2009 April 2010)

b. Kebutuhan pertolongan persalinan di Puskesmas: kebutuhan yang dirasakan ibu terhadap pertolongan persalinan yang diberikan oleh Puskesmas. Diukur dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kebutuhan ibu, yang dinilai adalah butuh atau tidak butuh.

c. Umur ibu: usia atau banyaknya tahun kalender yang telah dijalani oleh ibu sesuai yang tertera pada KTP atau kartu identitas lain. Dalam penelitian ini, umur dihitung dengan pembulatan ke bawah. Misalkan 25 tahun 4 bulan dibulatkan 25 tahun, 26 tahun 9 bulan dibulatkan 26 tahun.

d. Paritas Ibu :jumlah kehamilan yang pernah dialami ibu, baik yang berakhir dengan kelahiran hidup ataupun mati.

e. Pendidikan : pendidikan formal ibu, dihitung banyaknya tahun sukses yang pernah dijalani. Misal SLTP kelas I dihitung 7.

f. Pekerjaan ibu : pekerjaan yang dilakukan ibu dan mendapat upah berupa uang atau barang. Profesi/jenis pekerjaan adalah macam pekerjaan yang sedang dilakukan oleh responden, yaitu (1) tenaga profesional, tehnisi dsb (2) tenaga kepeminpinan dan ketatalaksanaan (3) tenaga tata usaha (4) tenaga usaha penjualan (5) tenaga usaha jasa (6) tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan (7) tenaga produksi, operator alat angkutan, pekerja kasar (8) lainnya.

g. Pengetahuan ibu: diukur dengan beberapa pertanyaan, yang harus dinilai benar atau salah. Kemudian jumlah jawaban yang bernilai benar dikategorikan dengan pengetahuan tinggi, sedang dan rendah.

h. Etnik : suku bangsa dari ibu, berdasarkan tempat kelahiran ibu atau faktor keturunan ibu. Ditanayakan etnik mana yang paling mempengaruhinya, dicocokkan dengan pemakaian bahasa sehari-hari.

i. Pengambil keputusan dalam keluarga: dilihat yang paling dominan, apakah suami, istri, suami-istri (bersama) atau orang tua.

j. Penghasilan keluarga: silihat dari jumlah pendapatan keluarga rata-rata selama satu bulan. Untuk pengukuran, dihitung rata-rata pendapatan selama satu bulan dari seluruh anggota keluaga, dalam artian jumlah pendapatan riil dari anggota keluarga (suami, istri, anak dan anggota keluarga yang lain yang tinggal bersama dan makan dalam satu dapur). Pendapatan riil maksudnya pendapatan yang benar-benar disumbangkan (dikontribusikan) untuk pebiayaan kelangsungan hidup seluruh angggota rumah tangga.

k. Tingkat risiko ibu hamil: diukur dengan skor tinggi, sedang, dan rendah.

l. Tersedianya pelayanan pertolongan persalinan yang lain : sarana pertolongan persalinan selain Puskesmas (dukun, bidan, Rumah sakit, polindes).

m. Biaya : biaya yang dikeluarkan untuk proses pertolongan persalinan.

n. Kebiasaan masyarakat dalam persalinan: Apakah ada kebiasaan masyarakat dalam memilih tempat melakukan persalinan seperti: di rumah sendiri, dukun, bidan, puskesmas, Polindes atau rumah sakit.

o. Sistem birokrasi : alur pelayanan yang berlaku untuk mendapatkan pelayanan rumit atau tidak, menurut responden. Dalam artian tahap pelayanannya dan biaya yang harus dikeluarkan, misalnya alurnya berbelit-belit tetapi biayanya murah atau sebaliknya.

p. Jarak : jarak antara rumah dengan Puskesmas tempat persalinan, baik jarak fisik (dalam Km) maupun jarak tempuh (dalam menit).

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1Jenis Studi

Jenis studi yang digunakan adalah penelitian retrospektif. Sampel atau data didapat dari SMF Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.. Rancangan studi yang digunakan untuk menentukan efektivitas tindakan operatif dan terapi medika mentosa adalah Operational Research System Analysis ( ORSA ) dengan beberapa pendekatan yang digunakan dalam tabel berikut :Tabel 3.1 Teknik Operational Research System Analysis JENIS MODELSIFAT MODEL

1 Linear Programming

2 Network Analysis

3 Inventory, Production and Scheduling

4 Econometric, Forecasting and Simulation

5 Integer Programming

6 Dynamic Programming

7 Stochastic Programming

8 Non Linear Programming

9 Game Theory

10 Optimal Control

11 Queuing

12 Difference Equation

13 Dan lain-lainD

D,P

D,P

D,P

D

D,P

P

D

P

D,P

P

D

Keterangan

D = Model Deterministik

P = Model Probabilistik3.2Lokasi Studi

Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati dipilih sebagai lokasi studi karena Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati adalah salah satu Rumah Sakit Pusat Pemerintah yang ada di DKI Jakarta dan juga menjadi tempat studi kepaniteraan Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah. 3.3Populasi atau Obyek Studi

Sebagai populasi dalam sampel penelitian ini adalah semua pasien penyakit trofoblas ganas yang melakukan pengobatan di RSUP Fatmawati pada tahun 2005-2010.3.4Pengolahan Data

Data sekunder didapat dari medical record ,untuk memperoleh data penatalaksanaan terhadap pasien penyakit trofoblas ganas di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati3.6Perangkat Analisis

Penelitian ini menggunakan Operational Research System Analysis ( ORSA ) sebagai perangkat analisis . Medika mentosa

operatif

Penatalaksanaan efektif

Kesembuhan pasien penyakit trofoblas ganas