Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

18
DRAFT PROPOSAL PENYUSUNAN INDIKATOR DAN PEMETAAN DAERAH RAWAN PANGAN DI KABUPATEN PONOROGO BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO PROPINSI JAWA TIMUR

description

oke oke

Transcript of Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

Page 1: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

DRAFT

PROPOSAL

PENYUSUNAN INDIKATOR DAN PEMETAAN DAERAHRAWAN PANGAN DI KABUPATEN PONOROGO

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO

PROPINSI JAWA TIMUR

BEKERJASAMA DENGAN

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010

Page 2: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Permasalahan pangan merupakan masalah pokok bagi penduduk negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 1984 Indonesia pernah mengalami masa kejayaan di bidang pangan yaitu tercapainya swasembada pangan (beras). Namun masa-masa keemasan penyediaan papan tersebut telah menurun pada dekade akhir-akhir ini. Untuk mengatasi kekurangan beras, maka pemerintah mengambil kebijakan impor beras. Hal ini akan membawa dampak buruk terhadap laju perkembangan pembangunan di sektor lainnya.

Hasil studi Dewan Ketahanan Pangan Republik Indonesia dan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 29 kabupaten di Jawa Timur, 40 persen atau sebanyak 12 kabupaten termasuk rawan pangan. Hal tersebut seperti yang digambarkan dalam Peta Kerawanan Pangan Indonesia Tahap Satu Propinsi Jawa Timur (Jatim) Tahun 2003. Kedua belas kabupaten di Jatim yang dinyatakan rawan pangan adalah Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Tuban, Bojonegoro, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Malang, dan Pacitan. (Badan Ketahanan Pangan Nasional, 2006).

Penyebab kerawanan pangan tersebut tidak saja hanya disebabkan oleh ketersediaan pangan. Dianatara dua belas kabupaten, terdapat tiga kabupaten di Jatim yang dinyatakan mempunyai tingkat kerawanan pangan paling tinggi yaitu Kabupaten Bangkalan, Sampang, Sumenep. Di ketiga daerah tersebut menunjukkan tingginya tingkat penduduk miskin, sebgian besar penduduk tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan buta huruf, banyak kasus balita kurang gizi, serta areal hutan dan lahan yang terdegradasi sangat luas dibandingkan dengan luas kabupaten.

Meski Kabupaten Ponorogo tidak termasuk dalam peta daerah rawan pangan, namun dengan perkembangan penduduk, pertanian dan perekonomian maka tidak menutup kemungkinan dapat terjadi rawan pangan. Jika dilihat dari struktur ekonominya, Kabupaten Ponorogo merupakan daerah yang memiliki struktur ekonomi pertanian (sektor primer). Hal ini ditunjukkan oleh kontribusi Sektor Pertanian dari tahun ke tahun yang terbesar adalah Sektor Pertanian.

Namun yang perlu digaris bawahi disini yaitu masalah distribusi produksi atau hasil produksinya. Ada kemungkinan produksi sektor ini banyak dihasilkan oleh daerah tertentu saja. Selain itu distribusinya kemungkinan juga tidak merata karena berbagai alasan, terutama dari kondisi ekonomi sebagian anggota masyarakat strata tertentu.

Dalam Deklarasi World Food Summit Tahun 1996 di Roma, negara-negara peserta sepakat untuk menurunkan kerawanan pangan dunia hingga separuhnya pada tahun 2015. Dari sini upaya untuk menurunkan kerawanan pangan tingkat dunia sudah dimulai, salah satunya dalam bentuk penentuan indikator-indikator rawan pangan itu sendiri.

Permasalahan yang muncul dan perlu diungkap terkait daerah rawan pangan di Kabupaten Ponorogo, khususnya untuk mengetahui penyebab permasalahan rawan pangan di wilayah tersebut, dan untuk menentukan suatu daerah dinyatakan sebagai daerah rawan pangan, maka diperlukanlah indikator yang menjustifikasi bahwa daerah tersebut merupakan daerah rawan pangan. Indikator tersebut antara lain: 1) indikator-indikator yang relevan dalam pengukuran daerah rawan pangan, 2) indikator-indikator penduduk yang rawan pangan, dan 3) peta wilayah rawan pangan.

Permasalahan pangan dapat menjadi permasalahan jangka pendek, menengah, maupun panjang. Meski di Kabupaten Ponorogo untuk saat ini tidak termasuk dalam peta rawan pangan nasional tetapi perlu adanya antisipasi. Dalam rangka melakukan upaya antisipasi tersebut, maka pemerintah daerah perlu melakukan studi penyusunan indikator dan pemetaan daerah/wilayah rawan pangan di Kabupaten Ponorogo.

1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari Penyusunan Indikator Peta Rawan Pangan adalah untuk memetakan

wilayah Kabupaten Ponorogo menurut kategori rawan pangan dan tahan pangan. Selain dengan pendekatan lingkup wilayah, disini juga akan dilihat dari lingkup kependudukannya.

Tujuan:

Page 3: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

1. Mengidentifikasi dan menentukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menentukan secara relevan dan tepat terhadap wilayah rawan pangan dan wilayah tahan pangan di Kabupaten Ponorogo.

2. Memetakan wilayah di Kabupaten Ponorogo yang termasuk dalam kategori rawan pangan dan tahan pangan.

1.3 SasaranSasaran dari Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan adalah sebagai

berikut:A. Sasaran UmumSasaran umum kegiatan Penyusunan Indikator Ekonomi dan Pemetaan Rawan Pangan di

Kabupaten Ponorogo, yaitu tersusunnya peta rawan pangan dan tahan pangan di Kabupaten Ponorogo. Sasaran lainnya yaitu teridentifikasinya golongan penduduk yang rawan pangan dan tahan pangan.

B. Sasaran KhususBerkaitan dengan tujuan pemetaan rawan pangan yang sudah diuraikan dimuka, disini ada

beberapa sasaran kegiatan yang hendak dicapai, yaitu:a. Terpilihnya indikator rawan pangan yang tepat dan relevan bagi wilayah-wilayah

kecamatan di Kabupaten Ponorogob. Terpilihnya indikator rawan pangan yang tepat dan relevan bagi penduduk di

Kabupaten Ponorogoc. Teridentifikasinya wilayah Kabupaten Ponorogo yang termasuk dalam wilayah yang

rawan pangan dan wilayah yang tahan pangan.d. Teridentifikasinya golongan penduduk di Kabupaten Ponorogo yang termasuk dalam

rawan pangan dan tahan pangane. Tersusunnya peta ketahanan pangan untuk unit analisa tingkat kecamatan di

Kabupaten Ponorogo

1.4 Manfaat Adapun manfaat kegiatan adalah :

1. Bagi pemerintah kabupaten Ponorogo sebagai sumber informasi dalam pengambilan kebijakan penanganan kondisi rawan pangan di wilayah pemerintahan kabupaten.

2. Sebagai pertimbangan bagi dinas untuk mengatur kebijakan ketahanan pangan di daerah, khususnya di daerah yang sangat rentan dengan kerawanan pangan.

3. Sebagai landasan merumuskan kebijakan dalam menyusunan program-program yang berkaitan ketahanan pangan dan penanganan kerawanan pangan.

1.5 Keluaran (Output)Kegiatan Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan di Kabupaten

Ponorogo diharapkan dapat menghasilkan keluaran sebagai berikut:a. Indikator rawan pangan Kabupaten Ponorogo, danb. Peta daerah rawan pangan

II. KERANGKA KONSEPKonsep Kerawanan Pangan

Pemerataan pembangunan nasional yang telah dimulai dejak repelita ke 2 mendorong Indonesia menghadapi permasalahan baik dibidang sosial, ekonomi, dan politik. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, semakin banyak penduduk yang harus memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi yang sekarang terjadi adalah kondisi menghadapi rawan pangan. Secara umum, Indonesia mempunyai permasalahan serius yang berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga untuk 10 tahun terakhir seperti halnya prevalensi anak-anak kurang gizi. Kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah sederhana dapat diatasi sesaat saja, melainkan masalah yang kompleks, karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan program-program yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu sendiri.

Page 4: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

Kerawanan pangan dapat diartikan kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat (Anonim, 2001). Keadaan rawan pangan dapat dilihat kondisi pada daerah/wilayah atau rumah tangga yang terganggu ketersediaan pangannya, dan kondisi lain pada masyarakat atau keluarga yang terganggu kemampuan akses terhadap pangan.

Kerawanan pangan dapat dilihat dari sisi produksi, konsumsi dan distribusi. Aspek produksi rawan pangan adalah kemampuan menghasilkan tidak seimbang dengan pemenuhan kebutuhan. Disini hanya dilihat sisi kemampuan produksi bukan sisi ketersediaan, karena ketersediaan dapat dipenuhi dari adanya pasokan antar wilayah. Aspek konsumsi adalah ketidakmampuan membeli pangan karena tidak ada daya beli atau masyarakat miskin. Aspek distribusi adalah ketidakseimbangan supply memenuhi demand sehingga terjadi kelangkaan pangan pada suatu tempat, waktu, jumlah dan harga yang memadai. Bahan pangan tidak hanya beras sebagai sumber pangan utama bagi konsumen, tetapi berbagai sumber pangan, yang meliputi diversifikasi pangan sesuai dengan kebiasaan/ budaya masyarakat setempat.

Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan tuntutan lingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian. Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Paradigma baru ketahanan pangan tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Perubahan Paradigma Pemantapan Ketahanan Pangan

Pendekatan Paradigma lama Paradigma baru

1. Pendekatan pengembangan

Pemantapan ketahanan pangan pada tatanan makro/agregat

Pemantapan ketahanan pangan rumah tangga

2. Pendekatan manajemen pembangunan Pola sentralistik Pola desentralistis

3. Pendekatan utama pembangunan Dominasi pemerintah

Dominasi peran masyarakat

4. Fokus pengembangan komoditas pangan Bertumpu pada beras

Pengembangan komoditas pangan secara keseluruhan

5. Upaya mewujudkan keterjangkauan rumah tangga atas pangan

Pengadaan pangan murah

Peningkatan daya beli

Sumber : Dewan Ketahanan Pangan, 2001

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII pada tahun 2004 merumuskan bahwa Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia pada tingkat konsumsi sebesar 2.000 Kkal per orang per hari maka Angka Kecukupan Protein (AKP) sebesar 52 gram per kapita per hari. Sedangkan pada tingkat ketersediaan energi sebesar 2.200 Kkal maka AKP adalah sebesar 57 gram per kapita per hari. Apabila angka tersebut tidak dapat dicapai oleh suatu rumah tangga, maka rumah tangga tersebut berpotensi mengalami rawan pangan.

Kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat (Anonim, 2001). Dari sini terdapat dua kondisi yang dapat dilihat, yaitu kondisi yang terjadi pada daerah/wilayah atau rumah tangga yang terganggu ketersediaan pangannya, dan kondisi lain pada masyarakat atau keluarga yang terganggu kemampuan akses terhadap pangan.

Berdasarkan pemetaan ketahanan pangan pada tahun 2005, rawan pangan terjadi ketika masyarakat di suatu wilayah, menkonsumsi energi dibawah 70 persen dari kebutuhan

Page 5: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

semestinya. Kebutuhan energi harian manusia adalah 2.000 kalori. Selain itu juga terjadi penurunan berat badan secara drastis. Peta rawan pangan itupun, bisa berubah karena sifatnya temporer dan kronis. Temporer misalnya bila terjadi bencana alam. Sedangkan kronis jika memenuhi 10 variable rawan pangan. Diantaranya, ketersediaan pangan yang minim, kemiskinan, buta huruf, gizi rendah, berat bayi lahir dibawah normal, ketiadaan akses listrik dan susah mendapatkan fasilitas kesehatan.

Kejadian kerawanan pangan dapat bersifat kronis (cronical) maupun sementara dan mendadak (transient). Kronis adalah keadaan kekurangan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam (SDA) dan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM), sehingga menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin. Kerawanan pangan yang bersifat sementara akibat kejadian yang mendadak (transient) disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga, seperti bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang, konflik sosial, dan sebagainya. Keadaan kerawanan pangan baik yang bersifat kronis maupun transien harus dapat dideteksi sedini mungkin dan segera dapat diketahui penyebab terjadinya kerawanan pangan, sehingga dapat diambil langkah-langkah kegiatan pemberdayaan di daerah rawan pangan.

Berdasarkan kondisi kerawanan pangan yang terjadi, maka penetapan kebijakan penanganan rawan pangan dapat dimulai dengan melakukan identifikasi dengan menggunakan instrumen yang ada atau yang disepakati secara terkoordinasi di daerah, terhadap kondisi yang melatar belakangi terjadinya rawan pangan. Kelembagaan di daerah untuk menangani kasus rawan pangan merupakan ujung tombak, karena sebenarnya daerah yang lebih dahulu tahu dan mengerti persis penyebab munculnya masalah rawan pangan serta tindakan pencegahan dan penanggulangan yang diperlukan.

Setelah ditemukan penyebab kerawanan pangan, kemudian perlu melakukan tindakan intervensi yang ditujukan kepada kelompok/rumah tangga tertentu untuk meningkatkan kemampuan akses terhadap pangan. Adapun bentuk langkah yang dapat diambil antara lain : 1) melakukan kegiatan capacity building, 2) pemberian bantuan langsung pada kelompok masyarakat tani sesuai hasil identifikasi, dalam rangka memfasilitasi agar masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (self help) (Deptan, 2001).

Data daerah rawan pangan yang paling mutakhir, menurut Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Departemen Pertanian Tjuk Eko Hari Basuki, masih data tahun 2005. Saat ini, lanjutnya, instansinya tengah mendata kembali daerah-daerah yang rawan pangan. Pendataan daerah rawan pangan dilakukan setiap tiga tahun ( Anonymous, 2005 ).

Berdasarkan kajian dari Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur terdapat beberapa kabupaten yang mengalami rawan pangan khususnya di wilayah Madura, wilayah rawan pangan ini disebabkan terutama karena tingginya persentase penduduk miskin, perempuan buta huruf, rendahnya umur harapan hidup, tingginya persentase anak balita yang mengalami kurang gizi, rendahnya akses air bersih, dan kurangnya wilayah yang masih berhutan.

Daerah lainya yang mengalami kondisi rawan pangan adalah di wilayah tenggara Jatim seperti Bondowoso, Probolinggo, dan Situbondo Penyebabnya adalah tingginya proporsi penduduk yang tidak mendapat kesempatan kerja yang cukup, tingginya jumlah perempuan buta huruf, rendahnya umur harapan hidup, tingginya jumlah anak balita yang mengalami kurang gizi, kurangnya jumlah dokter, dan tingginya degradasi lahan.

Menyangkut kelestarian produksi pangan, mau tidak mau suatu daerah juga harus memiliki wilayah-wilayah pendukung, seperti areal hutan sebagai sumber air. Bila suatu wilayah tidak memiliki wilayah hutan, menjadi pertanyaan bagaimana wilayah itu akan tetap surplus pangan karena tidak ada sumber air yang memadai. Tiadanya areal hutan menjadi sumber kerentanan pangan di masa yang akan datang. Berdasarkan kajian departemen pertanian diidentifikasi sebanyak 100 kabupaten di seluruh Indonesia masih berstatus rawan pangan. Kondisi ini didukung dengan permasalahan yang terjadinya seperti kondisi perubahan iklim, bagi sektor pertanian, juga faktor-faktor lainya, diantaranya bencana alam yang berakibat pada gagal panen di beberapa daerah akan menambah jumlah daerah yang berstatus rawan pangan.

Pengembangan Peta Kerawanan Pangan dengan Indikator Kerawanan Pangan Permasalahan kerawanan pangan yang berakibat pada keadaan yang bersifat transient

maupun kronis di berbagai daerah dan wilayah di Indonesia memerlukan tindakan serius dan tindak lanjut. Penanganannya didukung optimal melalui kebijakan khusus, pemantauan,

Page 6: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

analisis, dan evaluasi faktor-faktor penyebabnya, dan dilanjutkan dengan perumusan strategi dan penyusunan program kegiatan pencegahan dan penangulangan masalah rawan pangan spesifikasi lokasi.

Pemetaan daerah rawan pangan disusun sebagai patokan suatu daerah dalam membuat target dan prioritas pembangunan. Prioritas pembangunan di sector pendukung diantaranya sector pertanian, yaitu sisi pasokan atau produksi pangan diarahkan ketersediaannya cukup untuk memenuhi di daerah. Sektor pendidikan diarahkan pada penanganan pendidikan diantaranya, persentase penduduk yang tidak tamat sekolah dasar sangat besar sehingga pemerintah daerah setempat harus memberi perhatian pada perbaikan pendidikan.

Penyusun peta kerawanan pangan memberikan manfaat agar masyarakat dan pemerintah setempat bisa menyiapkan diri bila suatu saat terjadi bencana. Persiapan itu bisa dilakukan dengan membentuk lumbung padi, mengatur pola tanam padi tadah hujan, mengembangkan rencana berbagai kemungkinan antisipasi menghadapi bencana, serta memperkenalkan reklamasi lahan dan hutan.

Agar penangganan masalah kerawanan pangan di daerah dapat lebih terfokus, perlu adanya indikator dan peta kerawanan pangan sebagai alat (tool) pemantauan dan analisis rawan pangan, dalam memberi informasi bagi pengambil kebijakan daerah, agar mampu menyusun perencanaan yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif, dan efisien dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan baik yang transien maupun kronis.

Analisis komponen utama (principal component analysis) dalam pemetaan kerawanan pangan secara nasional digunakan 10 indikator yang dianggap berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan (memiliki pengaruh yang signifikan). Kesepuluh indikator yang tercakup di dalam 3 aspek/ dimensi ketahanan pangan tersebut adalah :

1. Dimensi Ketersediaan pangan (Food Availiblity)- Kebutuhan konsumsi normatif terhadap ketersediaan serealia (Consumtion to

Net Cereal Avaibility Ratio);2. Indikator akses terhadap pangan (Food Access)

- Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (Population Below Poverty Line);

- Persentase keluarga yang tidak dapat mengakses listrik (Access to Electricity);- Persentase infrastruktur jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat

(Villages with connectivity);3. Indikator penyerapan pangan (Utilization)

- Angka kematian bayi waktu lahir (Infant Mortality Rate)- Umur harapan hidup anak usia 1 tahun (life expectancy);- Persentase anak yang kurang gizi (Childern under weight);- Persentase Penduduk yang dapat mengakses air bersih (Access to safe

drinking water)- Persentase penduduk yang tinggal >5 km dari puskesmas (Access to

Puskesmas);- Persentase wanita yang buta huruf (Female Illiteracy)

Berdasarkan indikator – indikator kerawanan pangan maka dapat disajikan dalam peta kerawanan pangan. Peta Kerawanan Pangan Indonesia (nasional per kabupaten) merupakan peta tematik yang menunjukan adanya kerawanan pangan di suatu daerah yang diindikasikan oleh 10 indikator dan dikelompokkan ke dalam 3 aspek/dimensi ketahanan pangan yaitu: Dimensi ketersediaan pangan (Food Access), dan penyerapan pangan (Food Consumtion, Health, and Nutrition). Ketiga dimensi tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan yang bersifat kronis (cronic food insecurity) yang memerlukan penanganan jangka panjang.

Sedangkan untuk kerawanan pangan yang bersifat transient (transient food security) terjadi akibat adanya bencana alam, yaitu pada daerah yang rentan terhadap bencana alam dan memerlukan penanganan jangka pendek. Kerentanan pangan (Food Vulneralbility) yang berakibat terjadinya kerawanan pangan dan antara lain dipengaruhi oleh persentase area tak berhutan, persentase area yang terkena puso, persentase wilayah yang rawan terhadap banjir dan tanah longsor, serta fluktuasi curah hujan. Sebagaimana tersaji dalam tabel 2 .

Page 7: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

Tabel 2. Dimensi dan Indikator Kerawanan Pangan Dimensi kelompok indikator IndikatorKetersediaan pangan 1. Konsumsi normatif perkapita terhadap ratio ketersediaan

bersih padi, jagung, ubikayu dan ubi jalar.Akses pangan dan mata pencaharian

2. % KK yang hidup di bawah garis kemiskinan 3. % desa yang tidak bisa dilalui roda empat.4. % KK yang tidak mempunyai akses listrik.

Kesehatan dan Gizi 5. Angka harapan hidup pada saat lahir6. Berat badan balita dibawah standar7. % perempuan buta huruf8. Angka kematian bayi9. % penduduk tanpa akses ke air bersih10. % penduduk yang tinggal > 5 km dari puskesmas

Kerawanan Pangan 11. % daerah berhutan12. % daerah puso13. Daerah rawan banjir14. Penyimpangan curah hujan

Dalam penyajian peta kerawanan digunakan pola warna yang seragam dengan 3 gradasi warna merah dan tiga gradasi warna hijau. Gradasi warna merah peta menunjukan tingkat atau level kerawanan pangan suatu kabupaten (merah tua = sangat rawan pangan/prioritas 1, merah = rawan pangan/ prioritas 2, merah muda = agak rawan pangan/prioritas 3). Sedangkan gradasi hijau menunjukan tingkat atau level ketahanan pangan (hijau tua = sangat tahan pangan/ prioritas 6, hijau = tahan pangan/priritas 5, dan hijau muda cukup tahan pangan/ prioritas 4).

Peta kerawanan pangan Indonesia (nasional per Kabupaten) yang dibuat per individu indikator dan peta komposit (gabungan). Masalah utama dalam penyusunannya adalah ketersediaan data, sebagai solusi, sebagian data diperoleh dari pusat melalui BPS, BMG, dan instansi terkait sedangkan selebihnya dari daerah. Namun demikian, semua data tersebut tetap dimintakan respon/validasi dai instansi terkait didaerah melalui wadah Dewan Ketahanan Pangan untuk validasi dan konfirmasi data tahun terakhir. Adapun data yang digunakan untuk menyususn FIA adalah data tahun terakhir, kecuali untuk indikator ketersediaan pangan yang menggunakan data 3 tahun terakhir. Peta kerawanan pangan komposit merupakan gabungan adari ketiga aspek/ dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersedaiaan pangan, Akses terhadap pangan, dan Penyerapan Pangan. Dalam perhitungan untuk pemetaannya digunakan indeks dari ke empat kelompok indikator tersebut. Adapun range indeks dari ketahanan pangan komposit adalah sebagai berikut:

>0.8 sangat rawan pangan 0,64 - <0,8 rawan pangan 0,48 - <0,64 agak rawan pangan 0,32 - < 0,48 cukup tahan pangan 0,16 - <0,32 tahan pangan <0,16 sangat tahan pangan

Berdasarkan hasil pemetaan Peta Kerawanan Pangan Komposit dapat dilihat bahwa secara nasional berada dalam kondisi sangat rawan pangan hingga sangat tahan pangan dengan perbandingan yang tidak begitu mencolok. Hal ini ditunjukan dengan tidak adanya warna yang mendominasi (sebaran warna hampir merata). Hanya saja untuk daerah yang sangat tahan pangan (prioritas 6, warna hijau tua) persentasenya lebih besar dibandingkan kategori lainnya yaitu terdapat di 65 kabupatendari 265 kabupaten yang ada di Indonesia atau sebesar 24,53 persen. Untuk daerah yang tahan pangan (prioritas 5, warna hijau) terdapat di 50 kabupaten atau sebesar 18,87 persen, begitupun daerah yang cukup tahan pangan (prioritas 4, warna hijau muda) yang juga terdapat di 50 kabupaten atau sebesar 18,87 persen. Sedangkan untuk daerah yang agak rawan pangan (prioritas 3, warna merah muda) terdapat di 40 kabupaten atau sebesar 15, 09 persen dan untuk daerah yang rawan pangan (prioritas 2 warna

Page 8: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

merah) serta daerah yang sangat rawan pangan (prioritas 1, warna merah tua) sama-sama terdapat di 30 kabupaten atau sebesar 11,32 persen.

Upaya selanjutnya yang sangat penting adalah mengadvokasi ke daerah-daerah agar memiliki respon terhadap penyusunan peta kabupaten yang dirinci lagi per kecamatan dalam provinsi dan pemanfaatan Peta Kerawanan Pangan tersebut. Hasil pemetaan selanjutnya dapat digunakan dalam mengidentifikasi daerah kerawanan pangan pada suatu daerah yang divisualkan dengan warna merah, Hasil peta tersebut bukan merupakan hasil akhir tetapi semata-mata hanya merupakan suatu alat (tool) dalam melihat dan mengidentifikasi daerah rawan pangan. Sebagai tindak lanjut dari penyusunan peta tersebut adalah menelusuri daerah mana yang rawan dan apa penyebab kerawanan tersebut. Berdasarkan hasil analisa terhadapa sebab-sebab terjadinya kerawanan pangan maka dapat ditentukanprogram/ kebijakan pada sektor terkait dalam penanganan kerawanan pangan, yang dapat dirinci menjadi program jangka pendek, menengah, dan jangka panjang oleh daerah tersebut.

Analisis Kerawanan PanganAnalisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kuantitatif.

Analisis data secara kuantitatif yang digunakan hanya untuk mengetahui gambaran keadaan ketahanan pangan di suatu yang diteliti. Peneliti menjelaskan atau mencari hubungan, tidak menguji hipotesis atau melakukan prediksi sehingga menyajikan hubungan antara indikator yang mendukung kerawanan pangan.

Analisis data pada penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas dari keadaan yang diteliti. Analisis yang digunakan adalah analisis indikator. Untuk analisis indikator penelitian ini akan merujuk pada standar Food Insecurity Atlas (FIA). FIA adalah sebuah alat (tool) pemantauan dan analisis rawan pangan, dalam memberi informasi bagi pengambil kebijakan di tingkat pusat, provinsi, maupun Kabupaten agar mampu menyusun perencanaan yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif, dan efisien dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan baik yang transient maupun kronis.

Kesepuluh indikator yang dikelompokkan ke dalam 3 aspek/dimensi ketahanan pangan yang ditetapkan oleh FIA adalah:

1. Aspek Ketersediaan Pangan (Food Availibility)- Kebutuhan konsumsi normatif terhadap ketersediaan serealia atau Rasio

Konsumsi Ketersediaan (Consumption to Net Cereal Availability Ratio). Parameter penilaian indikator :

Sangat Rawan (>=1.5)Rawan (1.25 -<1.50)Agak rawan (1.00 - 1.25)Agak Tahan (0.75 -< 1.00)Tahan (0.5 -< 0.75)Sangat Tahan (< 0.50)

2. Aspek Akses Terhadap Pangan (Food Access)- Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (Population

Below Poverty Line). Parameter Penilaian Indikator:Sangat Rawan (>= 35)Rawan (25 -< 35)Agak rawan (20 -< 25)Agak Tahan (15 -< 20)Tahan (10 -<15)Sangat Tahan (0 -< 10)

- Persentase rumah tangga yang tidak dapat mengakses listrik (Access to Electricity). Parameter penilaian indikator :

Sangat Rawan (>= 50)Rawan (40 -< 50)Agak Rawan (30 -< 40)Agak Tahan (20 -< 30)Tahan (10 -<20)Sangat Tahan (0 -< 10)

- Persentase Infrastruktur jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat (Villages with connectivity). Parameter Penilaian Indikator:

Page 9: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

Sangat Rawan (>= 30)Rawan(25 -< 30)Agak Rawan (20 -< 25)Agak Tahan (15 -< 20)Tahan (10 -<15)Sangat Tahan (0 -< 10)

3.     Aspek Penyerapan Pangan / Aspek Gizi dan Kesehatan (Food Absorption / Healthiness and Nutrient)- Angka kematian bayi waktu lahir (Infant Mortality Rate /IMR) Parameter

penilaian indikator:Sangat Rawan(>= 55)Rawan(50 -< 55)Agak Rawan (45 -< 50)Agak Tahan (40 -< 45)Tahan (31 -<40)Sangat Tahan (< 31)

- Angka Harapan Hidup anak usia 1 tahun (Life Expectancy) Parameter penilaian indikator:

Sangat Rawan(>= 58)Rawan(58 -< 61)Agak Rawan (61 -< 64)Agak Tahan (64 -< 67)Tahan (67 -<70)Sangat Tahan (=< 70)

- Persentase anak yang kurang gizi (Children Underweight) Parameter Penilaian Indikator:

Sangat Rawan (>= 55)Rawan (50 -< 55)Agak Rawan (45 -< 50)Agak Tahan (40 -< 45)Tahan (31 -< 40)Sangat Tahan (< 31)

- Persentase penduduk yang dapat mengakses air bersih (Access to safe drinking water). Parameter Penilaian Indikator:

Sangat Rawan (>= 70)Rawan (60 -< 70)Agak Rawan (50 -< 60)Agak Tahan (40 -< 50)Tahan (30 -<40)Sangat Tahan (< 30)

- Persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari puskesmas (Access to puskesmas). Parameter Penilaian Indikator:

Sangat Rawan (>= 60)Rawan(50 -< 60)Agak Rawan (40 -< 50)Agak Tahan (30-< 40)Tahan (20 -<30)Sangat Tahan (< 20)

- Persentase wanita yang buta huruf (Female Illiteracy)Sangat Rawan (>= 40)Rawan (30 -< 40)Agak Rawan (20 -< 30)Agak Tahan (10 -< 20)Tahan (05 -<10)Sangat Tahan (< 10)

KompositUntuk menentukan nilai komposit dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode

skoring untuk mendapatkan nilai yang relevan dan seragam dalam penilaian indikator. Setelah

Page 10: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

di skoring maka akan dicari rerata skor, kemudian dibagi nilai tertinggi dari skor yang digunakan. Komposit dari peta ketahanan pangan ini yang akan menjadi sebuah kesimpulan mengenai ketahanan pangan disuatu wilayah.

Langkah – langkah yang harus dijalankan untuk mengetahui komposit dari tiap Kabupaten adalah:

1. Mengkonversi tiap indikator menjadi skor yang telah ditetapkan. Skor 60 = Sangat Rawan Pangan Skor 50 = Rawan Pangan Skor 40 = Agak Rawan Pangan Skor 30 = Agak Tahan Pangan Skor 20 = Tahan Pangan Skor 10 = Sangat Tahan Pangan

Mencari rerata skor tiap Kecamatan.

Σ= ................. (1)

Keterangan :X = Indikator Penilaian Kerawanan Pangan (10 indikator)

2. Membuat komposit dari masing-masing kecamatan

K = ..............................(2)

3. Penentuan Prioritas Penanganan K >= 0,8 Prioritas 1 Sangat Mendesak K >= 0,64 – 0,8 Prioritas 2 Mendesak K >= 0,48 – 0,64 Prioritas 3 Agak Mendesak K >= 0,32 – 0,48 Prioritas 4 Agak Tidak Mendesak K >= 0,16 – 0,32 Prioritas 5 Tidak Mendesak K <=0,16 Prioritas 6 Sangat Tidak Mendesak

III. METODOLOGIPelaksanaan pekerjaan menggunakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang

menjelaskan dan menyajikan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.menghimpun data dan menyajikannya. Pendekatan pelaksanaan pekerjaan menggunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilaksanakan untuk merumuskan indikator rawan pangan yang relevan dengan wilayah yang dikaji. Pendekatan kualitatif digunakan sebagai pembanding dan memperjelas data kuantitatif yang ada dengan memakai strategi studi kasus. Strategi studi kasus dipilih karena kekhasan masalah, selain kemampuannya dalam menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam (Cresswel, 1994; Babie 2004 dalam Sitorus,1999 ).

a. Lokasi dan Waktu kegiatanLokasi pelaksanaan pekerjaan adalah di satu kecamatan, Kabupaten Ponorogo. Waktu

pelaksanaan kegiatan dilaksanakan selama 3 bulan.

b. Data Penunjangi. Data Dasar

Dilihat dari sumbernya, data dasar yang digunakan dalam Studi ini ada dua jenis yaitu data sekunder dan data primer.1. Data Sekunder

Data ini merupakan data yang telah dikumpulkan dan sajikan oleh pihak lain. Adapun data sekunder yang akan digunakan dalam studi ini adalah data time series lima tahun terakhir, yaitu:a. Data padi menurut kecamatan di seluruh kabupaten:

1. Intensitas tanam padi per tahun

Rerata Skor Kecamatan

60

X1 + X2 + X3 + X4 + X5 + X6 + X7 + X8 + X9 + X10

10

Page 11: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

2. Luas tanaman padi per tahun/per tanam3. Luas tanaman padi yang rusak per tahun4. Luas panen padi per tahun5. Jumlah produksi padi per tahun6. Rata-rata harga gabah per tahun7. Luas lahan pertanian yang menganggur/tidak digarap

b. Data palawija (non padi) menurut kecamatan di seluruh kabupaten:1. Intensitas tanam per tahun2. Luas tanaman per tahun/per tanam3. Luas tanaman yang rusak per tahun4. Luas panen per tahun5. Jumlah produksi per tahun6. Rata-rata harga per tahun7. Jumlah ternak

c. Data kesehatan/gizi penduduk menurut kecamatan di seluruh kabupaten:1. Prevalensi balita kurang energi protein2. Angka kelahiran dan jumlah ibu3. Angka kematian bayi waktu lahir (IMR)4. Umur harapan hidup anak usia 1 tahun5. Jumlah anak kurang gizi6. Jumlah penduduk yang dapat mengakses air bersih7. Jumlah penduduk menurut jarak tempat tinggal dengan puskesmas8. Wanita yang buta huruf

d. Data sosial ekonomi penduduk menurut kecamatan di seluruh kabupaten:Jumlah penduduk/kepala keluarga miskin (keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I)

e. Data pendukung lainnya1. Angka kejahatan (pencurian)2. Pola konsumsi pangan (peralihan dari pangan pokok ke lainnya)3. Mobilitas tenaga kerja lokal ke daerah lain4. Frekuensi jual beli ternak

Sumber DataData-data sekunder yang disebutkan dimuka dikumpulkan dari berbagai sumber resmi, yaitu:

1. BPS,2. Bappeda3. Dinas Pertanian,4. BKKBN5. Dinas Kesehatan

2. Data PrimerData ini merupakan data yang diperoleh langsung dari obyek studi. Adapun data primer yang digunakan dalam studi ini diantaranya meliputi: kondisi visual lapangan, informasi masyarakat langsung, pendapat dan pandangan dari pemerintah daerah

ii. Data DasarKerangka studi khususnya kerangka analisis dapat didukung oleh pustaka-pustaka

teoritis. Hal ini akan membantu mengarahkan proses kegiatan agar tepat sasaran.

c. Lingkup Kegiatan dan Tenaga Ahlii. Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Ponorogo sebagai berikut:

1. Kegiatan PersiapanKegiatan ini meliputi persiapan administrasi dan teknis termasuk perekrutan tenaga pelaksana

2. Survey dan Pengumpulan Data

Page 12: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

i. Untuk mengidentifikasi, memahami karakteristik lokasi perencanaan berikut potensi yang perlu dikembangkan dan permasalahannya.

ii. Ditujukan untuk mengumpulkan data-data, baik primer dan sekunder untuk bahan pengkajian dan analisa pengembangan.

3. Pengolahan Data dan AnalisaKegiatan ini meliputi:a. Inventarisasi dan pengujian data;b. Analisis data dan penyajian hasilnyac. Kajian pembahasan Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

Kabupaten Ponorogo4. Pelaporan

Pelaporan ini dibagi menjadi tiga, yaitu:a. Laporan awal, berupa penyampaian metode studi;b. Laporan kemajuan, berupa hasil pengumpulan data dan pembahasan hasil analisis,

danc. Laporan akhir, berupa laporan pemetaan daerah rawan pangan.

ii. Perkiraan Jangka Waktu Pelaksanaan PekerjaanKegiatan Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan pangan ini akan

dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, dengan perhitungan berikut: Persiapan Survey = 1 minggu Survey = 3 minggu Analisa Data = 3 minggu Rancangan Rencana = 2 minggu Rencana/pelaporan = 3 mingguDisamping kegiatan diatas, untuk lebih terkoordinasi dengan baik, konsultan diwajibkan

senantiasa berkonsultasi kepada Tim Teknis/Pimpinan Proyek untuk penyesuaian jadwal apabila ada perubahan sewaktu-waktu.

Dalam pelaksanaan kegiatan Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan ini memerlukan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu diantaranya:

Ketua Tim : Prof.Dr.Ir. Henny Pramoedyo,MS(Pemetaan Kawasan Rawan Pangan)1. Dr. Ir. Wahib Muhaimuin (Ekonomi pangan rumah tangga)2. Dr.Ir. M. Dawam M (Pertanian)3. Sativana Sari, ST (Planologi)4. Ida Bagus Wahyu Saskara, ST (Perencanaan Wilayah dan Ruang)5. Ir. Ety Setianingsih Analisis kerawanan pangan)(Mhs S2 PSLP, asal Magetan)6. Drs. Hasyim (Pemberdayaan lumbung pangan masyarakat)(MhsS2 PSLP, asal malang)

d. Sumber Pendanaan dan Instansi Penanggungjawabi. Sumber Pendanaan

Sumber dana kegiatan kajian ini berasal dari APBD Kabupaten Ponorogo 2010 sebesar Rp.79.050.000,- (tujuh puluh sembilan juta lima puluh ribu rupiah)

ii. Nama Proyek dan Instansi PenanggungjawabNama proyek adalah Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

Kabupaten Ponorogo. Instansi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Ponorogo adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Ponorogo.

IV. SISTIM PELAPORANSistim pelaporan yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut:

a. Tahapan Pelaporan1. Laporan Pendahuluan

Laporan ini berisi tentang uraian rencana substansi studi dan proses pelaksanaannya sesuai dengan kerangka acuan kerja (KAK) yang terdiri atas pendahuluan, kajian teori, pendekatan/metodologi pelaksanaan pekerjaan, rencana kegiatan, dan organisasi kerja. Ukuran laporan yaitu ukuran A4.

2. Laporan Fakta dan Analisa

Page 13: Proposal Indikator Dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan

Buku laporan ini berisikan mengenai hasil survey lapangan dan hasil analisis kegiatan studi serta pembahasannya. Ukuran laporan yaitu ukuran A4

3. Laporan AkhirBuku laporan akhir ini berisi tentang pembahasan hasil analisis dan peta daerah

rawan pangan, baik dalam bentuk deskriptif maupun grafis. Peta secara deskriptif yaitu uraian daerah-daerah rawan pangan yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau angka. Peta grafis yaitu peta daerah rawan pangan yang disajikan dengan peta grafis tematik.

b. Teknik PenyajianKetiga laporan tersebut disajikan dengan metode sebagai berikut:

1. Pengetikan laporan dengan jarak baris 1,5 spasi pada kertas HVS polos warna putih ukuran A4

2. Seluruh dokumen pelaporan mulai pendahuluan, kompilasi data dan analisa sampai dengan laporan akhir didokumentasikan dalam bentuk Compact Disk (CD)

V. INSTANSI PENANGGUNG JAWABInstansi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan Penyusunan Indikator dan Pemetaan

Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Ponorogo adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Ponorogo.