Proposal Ghufron
-
Upload
ghufron-doank -
Category
Documents
-
view
37 -
download
3
description
Transcript of Proposal Ghufron
(BELUM DITENTUKAN)
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh :
MUHAMAD GHUFRON
NIM. 09060059
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dekade terakhir ini, insidens Infeksi Menular Seksual (IMS) mengalami
peningkatan yang cukup cepat. Peningkatan insidens IMS dipengaruhi oleh berbagai
faktor sebagai berikut: Perubahan demografi, fasilitas kesehatan yang tersedia kurang
memadai, pendidikan kesehatan dan pendidikan seksual kurang tersebar luas, kontrol IMS
belum dapat berjalan baik serta adanya perubahan sikap dan perilaku masyarakat
terutama dalam bidang agama dan moral. Peningkatan kasus IMS dari waktu ke waktu
akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang sangat serius dan berdampak besar pada
masa yang akan datang, apabila tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang
intensif (Komite, 2001).
World Health Organisation (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta
penderita baru penyakit IMS di negara berkembang seperti Afrika, Asia, Asia Tenggara,
Amerika Latin. Di negara industri prevalensinya sudah dapat diturunkan, namun di
negara berkembang prevalensinya masih tinggi. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang dengan prevalensi penderita IMS masih sangat tinggi yaitu berkisar antara
7,4% - 50% (Yuwono, 2007).
Kasus penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) terus mengalami peningkatan,
fenomena peningkatan dan penyebaran kasus infeksi menular seksual yang terjadi pada
kelompok resiko tinggi demikian cepat, salah satu kelompok resiko tinggi adalah WPS.
Masalah lain bahwa penyakit infeksi menular seksual sangat berpotensi meningkatkan
resiko penularan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) melalui hubungan seksual,
yang sekarang menjadi perhatian dan komitmen global dalam pencegahan dan
penanganannya (Daili, 2000).
Salah satu fenomena sosial yang menjadi penyebab meningkatnya penularan
penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Namun fenomena tersebut hingga saat ini belum
bisa diatasi, bahkan secara kuantitas justru meningkat dan penyebarannya semakin merata
hampir di seluruh dunia. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua
umur kehidupan manusia itu sendiri, yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali
dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal
batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berkembang dan
senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi (Kartono,
2005).
Seseorang yang memutuskan menjadi pelacur sebenarnya bukan tujuan dalam
mencari nafkah, melainkan sebagai salah satu dari upaya untuk mencapai tujuan lain yang
lebih utama, karena mereka tidak pernah bercita-cita menjalani profesi sebagai penjaja
seks dan mau menjalani profesinya karena berbagai faktor. Profesi PSK selama ini sulit
untuk dihilangkan, karena sebagian besar dari mereka hanya dapat bergantung pada
profesi tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Kartono (dalam Patnani,
1999) faktor utama yang mendorong seseorang berprofesi sebagai PSK adalah faktor
keterbatasan ekonomi, sehingga seorang perempuan menerjuni dunia prostitusi untuk
memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Faktor tersebut dapat diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Yahman (1999) di komplek resosialisasi Silir Surakarta, diperoleh hasil bahwa dari 12
pekerja seksual yang diamati dan diwawancarai ditemukan hampir 100% pekerja seks
tersebut menjadi pelacur karena faktor desakan ekonomi walaupun pemahaman mereka
terhadap nilai-nilai moral dan etika cukup baik. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Purnomo & Siregar (dalam Yahman, 1999) di kompleks pelacuran Dolly Surabaya,
menemukan bahwa dari 48 orang responden yang diwawancarai, 66,67% memilih profesi
sebagai pekerja seks karena alasan ekonomi. Dari jumlah tersebut 19 orang menyatakan
pekerjaan yang ditekuninya cepat menghasilkan uang, dan sisanya 13 orang mengaku
tidak memiliki ketrampilan kerja lain sehingga terpaksa menjadi pekerja seks. Kemudian
12,5% karena alasan psikologis, seperti patah hati, balas dendam, dipaksa untuk menikah.
Sisanya 20,83% tidak tahu kalau dijebloskan ke dalam pekerjaan sosial.
Usaha pemerintah Jawa Timur dalam menghilangkan kegiatan praktik prostitusi
kembali dikerjakan. Beberapa tokoh agama, parpol Islam dan Ormas Islam di Jatim
mendesak kepada pemerintah daerah agar tempat-tempat prostitusi di Jatim segera
ditutup. Wali Kota Kediri dr. Samsul Ashar menyebutkan, pihaknya akan membahas lagi
realisasi penutupan lokalisasi Semampir dengan jajaran Muspida Kota Kediri. Dia
berharap tahun ini, lokalisasi yang sekarang masih dihuni lebih dari 100 PSK itu sudah
dapat ditutup total. “Sebenarnya lokalisasi Semampir sudah resmi ditutup sejak era Pak
Maschut (walikota lama). Namun sampai sekarang masih ada yang beroperasi,” kata dr
Samsul Ashar, usai mengikuti pembukaan Rakernas I PPP di Ponpes Lirboyo, Selasa
(21/2/2012). (TRIBUNNEWS.COM – Rab 22 Februari 2012). Namun usaha tersebut
masih belum dapat direalisasikan sampai pada saat ini, karena pada kenyataanya masih
terjadi praktek prostitusi di eks-lokalilasi Semampir.
Berdasar permasalahan di atas peneliti menyadari bahwa wacana pemerintah untuk
melakukan penutupan lokalisasi di Semampir masih perlu dilakukan pengkajian ulang,
hal ini dikarenakan dampak dari penutupan eks-lokalisasi di Semampir belum tentu
berdampak positif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang bertema Hubungan Antara Peraturan Pemerintah Kota Kediri Tentang
Larangan Keberadaan Tempat Prostitusi (Lokalisasi) Dengan Perilaku Mantan
Wanita Pekerja Seks (WPS) Di Eks-Lokalisasi Semampir Dan Keterkaitanya Dengan
Angka Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Masyarakat Di Kota
Kediri. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat membantu pemerintah dalam
mengambil kebijakan yang tepat terkait keberadaan lokalisasi di kota Kediri serta
memberikan gambaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap keberadaan
lokalisasi di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah adalah
penelitian ini adalah “Apakah Ada Hubungan Antara Peraturan Pemerintah Kota Kediri
Tentang Larangan Keberadaan Tempat Prostitusi (Lokalisasi) Dengan Resiko
Peningkatan Penularan Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Masyarakat Di
Kota Kediri?”
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara peraturan pemerintah kota Kediri tentang
larangan keberadaan tempat prostitusi (lokalisasi) dengan resiko peningkatan
penularan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) pada masyarakat di kota
Kediri.
1.3.2. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi mekanisme dan fungsi penerapan peraturan daerah pada
masyarakat.
Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat beresiko meningkatkan
penularan penyakit Infeksi Menular Seksual pada masyarakat.
Mengidentifikasi perbandingan perilaku antara Wanita Pekerja Seks
(WPS) di lokalisasi yang dilarang dengan lokalisasi yang mendapat ijin
untuk beroprasi.
Mengidentifikasi perbandingan angka kejadian penyakit Infeksi Menular
Seksual (IMS) antara daerah yang melarang keberadaan prostitusi dengan
daerah yang mengijinkan keberadaan tempat prostitusi.
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Pendidikan
1.4.2. Bagi Rumah Sakit
1.4.3. Masyarakat
1.4.4. Pemerintah
1.4.5. Peneliti