Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

55
20 I. PENDAHULUAN Kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu fungsi pemerintahan modern yang penting (Roberson, 2008). Dukungan atas pandangan ini dapat dilihat dari fenomena trend penguatan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah oleh pemerintah pusat yang terjadi baik pada negara dengan sistem pemerintahan federasi maupun pemerintahan terpusat, terutama di era 1990-an (Inman, 2008). Sebagai konsekuensinya, porsi dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap total belanja pemerintah pusat merupakan pengeluaran pemerintah yang signifikan. Sebagai contoh, dalam anggaran pemerintah federal Amerika Serikat pada tahun 1996, transfer pemerintah federal menempati porsi sebesar 6 persen dari GDP dan 17 persen dari total pengeluaran publik (Knight 2002)). Di Indonesia, penguatan kewenangan pemerintah daerah tampak nyata setelah berakhirnya era orde baru di akhir tahun 1990- an dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah ini, porsi belanja transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (dana perimbangan) juga meningkat secara signifikan baik secara nominal maupun proporsinya terhadap total belanja pemerintah. Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan dana transfer merupakan suatu instrumen untuk memastikan bahwa

description

draft proposal

Transcript of Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

Page 1: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

I. PENDAHULUAN

Kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu fungsi pemerintahan modern

yang penting (Roberson, 2008). Dukungan atas pandangan ini dapat dilihat dari

fenomena trend penguatan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah oleh

pemerintah pusat yang terjadi baik pada negara dengan sistem pemerintahan federasi

maupun pemerintahan terpusat, terutama di era 1990-an (Inman, 2008).

Sebagai konsekuensinya, porsi dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah terhadap total belanja pemerintah pusat merupakan pengeluaran pemerintah yang

signifikan. Sebagai contoh, dalam anggaran pemerintah federal Amerika Serikat pada

tahun 1996, transfer pemerintah federal menempati porsi sebesar 6 persen dari GDP dan

17 persen dari total pengeluaran publik (Knight 2002)). Di Indonesia, penguatan

kewenangan pemerintah daerah tampak nyata setelah berakhirnya era orde baru di akhir

tahun 1990-an dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan kebijakan otonomi

daerah ini, porsi belanja transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (dana

perimbangan) juga meningkat secara signifikan baik secara nominal maupun proporsinya

terhadap total belanja pemerintah.

Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan dana transfer merupakan suatu instrumen

untuk memastikan bahwa ketersediaan dan mutu layanan publik di seluruh wilayah dalam

suatu negara memenuhi tingkat/standar minimum yang ditetapkan melaui suatu alokasi

yang memenuhi kriteria normatif yaitu alokasi yang efisien dan berkeadilan/equity

(Roberson, 2008). Di samping itu, kebijakan dana transfer juga dapat membantu untuk

mencapai alokasi sumber daya yang lebih efisien untuk sektor pemerintahan melalui

internalisasi eksternalitas dalam suatu wilayah pemerintahan lokal (Hyman, 2010).

Selanjutnya Hyman (2010) menyatakan bahwa kegagalan menginternalisasi eksternalitas

dalam suatu wilayah pemerintahan lokal akan mengakibatkan penyediaan barang publik

yang tidak optimal.

Dalam praktiknya, kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu kebijakan

transfer tidak hanya merupakan proses teknokratik yang menekankan pada aspak tujuan

Page 2: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

eknomi namun juga merupakan proses politik yang belum tentu selalu sejalan dengan

tujuan ekonomi (Bappenas, 2011). Proses teknokratis dalam perumusan suatu kebijakan

transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tampak dari perumusan kebijakan

dengan menggunakan formula untuk mendapatkan keputusan mengenai besaran dana

transfer dan penerima dana transfer.

Selain proses teknokratik, proses politik juga berperan penting dalam perumusan

kebijakan dana transfer. Di dalam suatu sistem demokrasi, proses politik merupakan satu

proses yang penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan merupakan

suatu kebijakan yang optimal (pareto efisien). Namun demikian, disadari bahwa, proses

politik juga dapat berperan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal (pareto

dominated) (Barry R. Weingast, 1981). Peneliti di bidang kebijakan publik telah berhasil

mengidentifikasi inefisiensi keputusan kebijakan publik yang bersumber antara lain dari

perilaku birokrasi, institusi legislatif, pengaruh kelompok kepentingan, keinginan politisi

untuk memenangkan pemilihan dan ilusi fiskal (Weingast et al, 1981).

Walaupun proses teknokratik, tampak sebagai mekanisme yang tidak mudah

diintervensi secara politik, namun sebenarnya politisi memiliki berbagai cara untuk

mempengaruhi keputusan alokasi dana transfer. Sebagai contoh dalam konteks alokasi

grant untuk federal highway aid program di Amerika Serikat yang merupakan satu

program yang dibiayai dari dana transfer pemerintah federal kepada pemerintah negara

bagian dengan sumber pembiayaan Federal Higway State Fund. Penentuan besaran dana

transfer tersebut menggunakan suatu formula sebagai dasar alokasi kepada negara bagian.

Namun demikian keputusan alokasi tersebut dapat dipengaruhi politisi antara lain dengan

cara usulan earmarked project oleh anggota kongres dan project tersebut dibiayai dari

Federal Highway State Fund. Cara kedua, yaitu anggota kongres atau senat dapat

mengusulkan program baru yang dibiayai dari Federal Higway State Fund. Cara lainnya

adalah dengan menggunakan pengaruh politik untuk membiayai proyek tertentu di negara

bagian yang merupakan daereh pemilihannya yang akan dibiayai oleh Federal Highway

State Fund (Knight, 2002).

Di samping faktor politik pada tingkat pemerintah pusat pada saat penentuan

alokasi dana transfer, interaksi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam

Page 3: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

konteks kebijakan dana transfer juga berpengaruh terhadap hasil dari keputusan-

keputusan yang akan diambil baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

(Volden, 2007).

Pemahaman mengenai bagaimana variabel politik dapat mempengaruhi kebijakan

dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (khususnya alokasi dana

transfer) serta adanya keterkaitan antara keputusan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah dalam suatu kebijakan dana transfer akan merupakan area penelitian yang menarik

dan penting. Untuk konteks penelitian di Indonesia, penelitian yang mengenai bagaimana

variabel politik mempengaruhi alokasi dana perimbangan serta bagaimana respon

pemerintah daerah terhadap alokasi dana transfer dari pemerintah pusat akan menabah

pemahaman mengenai disain kebijakan dana transfer agar dapat mencapai tujuannya.

II. PERMASALAHAN PENELITIANBerdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana

Perimbangan, disebutkan bahwa dana perimbangan terdiri atas 3 komponen yaitu Dana

Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada

penelitian ini, lingkupnya dibatasi pada kajian atas dana alokasi khusus (DAK). Secara

lebih spesifik, bidang yang akan diteliti adalah dana alokasi khusus bidang pendidikan.

Bappenas (2011) menyebutkan bahwa dari perspektif teori, DAK yang diterapkan

di Indonesia sejauh ini termasuk conditional, closed-ended, and binding constrain

matching grant. Artinya, DAK di Indonesia merupakan transfer bersyarat dengan tujuan

khusus yang besaran dananya (pagu) telah ditetapkan sejak semula. Dana alokasi khusus

(DAK) yang merupakan suatu bentuk dana transfer pemerintah pusat/dana perimbangan

yang bersifat earmarked, close ended, matching grant memiliki karakteristik belanja

yang rentan terhadap praktik distributive politics. Hal ini disebabkan karena belanja DAK

secara spesifik ditujukan untuk daerah geografis tertentu (dalam hal ini pemerintah

daerah).

Proses penetapan alokasi DAK melibatkan proses teknokratik dan juga proses

politik. Proses teknokratik merupakan suatu proses perencanaan yang terutama dilakukan

oleh eksekutif di tingkat pemerintah pusat dalam merancang arah kebijakan, dan

penetapan kriteria serta melakukan seleksi dan perhitungan besaran alokasi DAK yang

Page 4: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

akan diterima oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk pencapaian tujuan prioritas

nasional yang sudah diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah dengan adanya

desentralisasi/otonomi daerah.

Kriteria daerah penerima DAK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55

tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Di dalam peraturan pemerintah tersebut,

disebutkan bahwa daerah penerima DAK adalah daerah yang memenuhi kriteria umum,

kriteria khusus dan kriteria teknis (pasal 51 ayat 2 dan pasal 54 ayat 2). Selanjutnya juga

ditegaskan dalam pasal 54 ayat 2 yang menyatakan bahwa daerah yang layak menerima

DAK harus memenuhi ketiga kriteria tersebut (kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria

teknis) secara parallel. Penentuan alokasi DAK dan besaran DAK bagi daerah penerima

pada tahapan proses teknokratik melibatkan kementrian teknis (dhi. Kementrian

Pendidikan), Kementrian Keuangan dan Bappenas. Proses teknokratik menghasilkan

daerah serta besaran alokasi DAK bagi daerah yang menerima DAK. Beberapa kajian

yang menekankan pada proses teknokratik untuk memilih daerah penerima DAK dan

menentukan alokasi DAK menyimpulkan bahwa mekanisme yang berlaku cenderung

kompleks (Bappenas, 2011).Sesuai pasal 58, keputusan definitif mengenai daerah

penerima DAK dan besaran DAK yang diterima oleh masing-masing daerah ditetapkan

melalui peraturan menteri keuangan.

Namun demikian, penetapan mengenai daerah penerima DAK dan besaran DAK

yang cenderung kompleks secara teknokratis tersebut juga harus melalui proses politik

yaitu adanya pembahasan mengenai daerah penerima DAK dan besaran DAK dengan

DPR. Pembahasan mengenai daerah penerima DAK dan besaran alokasi DAK dengan

DPR dilakukan pada pembahasan tingkat I nota keuangan dan rancangan APBN berupa

rapat komisi, rapat gabungan komisi dan rapat Badan Anggaran. Proses politik dalam

penetapan alokasi DAK merupakan proses di tingkat I melibatkan anggota legislatif DPR

RI (komisi X/bidang pendidikan, komisi XI/bidang keuangan dan Badan Anggaran) dan

eksekutif yaitu Kementrian Teknis, Bappenas, Kementrian Keuangan.

Adanya proses politik dalam penentuan daerah peneriman DAK dan besaran

alokasi DAK diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang pengalokasian dana

transfer daerah. Sebagai contoh untuk alokasi DAK tahun anggaran 2013 hal tersebut

Page 5: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

disebutkan pada pasal 52 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 165/PMK.7/2012

tentang Pengalokasian Dana Transfer Daerah Tahun Anggaran 2013 dan pasal 46

Perturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.7/2013 tentangn

Pengalokasi Anggran Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2014. Pembahasan mengenai

daerah penerima DAK dan besaran alokasi DAK dengan DPR untuk alokasi tahun

anggaran lain dapat dilihat dari konsideran peraturan/keputusan menteri keuangan

mengenai alokasi anggaran transfer ke daerah untuk tahun anggaran bersangkutan.

Proses politik dalam penentuan daerah peneriman dan alokasi dana transfer

pemerintah pusat tentunya tidak harus selalu dipandang negatif. Keterlibatan anggota

legislatif dalam proses penentuan alokasi dana transfer akan berkontribusi untuk

mendorong alokasi dana transfer yang efisien jika proses politik dapat memastikan bahwa

proses teknokratik dapat membawa alokasi sumber daya ke daerah-daerah dengan excess

demand yang tinggi untuk barang publik sektor tertentu (dhi. Barang publik sektor

pendidikan). Dengan kata lain, ketika suatu daerah yang diwakili oleh legislator pada

komisi bidang pendidikan mengalami kondisi kekurangan barang publik bidang

pendidikan yang besar, maka peran legislator yang mewakili daerah pemilihan di daerah

tersebut untuk mengalokasikan dana transfer bidang pendidikan yang besar ke daerah

pemilihannya memang sejalan dengan tujuan kebijakan dana transfer. Namun demikian,

penempatan anggota legislatif pada alat kelengkapan dewan legislatif (komisi dan badan

anggaran) tidak hanya mempertimbangkan kondisi obyektif daerah pemilihan seorang

legislator (excess demand untuk barang publik tertentu yaitu barang publik sektor

pendidikan). Penempatan anggota dewan dalam komisi atau badan anggaran juga

ditentukan oleh faktor lain melalui proses internal di dalam partai politik.

Dalam realitasnya, politisi dan partai politik di lembaga legislatif memiliki

motivasi lain yaitu berusaha mempengaruhi alokasi DAK untuk memenuhi tujuannya

keuntungan politik seperti pemenangan pemilihan umum sehingga dapat mendistorsi

tujuan kebijakan DAK yaitu mencapai sasaran program prioritas nasional yang sudah

dijabarkan dalam rencana kerja pemerintah (RKP). Jika pengaruh politisi dan partai

politik menjadi sangat kuat dan mendistorsi kebijakan alokasi DAK maka alokasi yang

dihasilkan melalui kesepakatan antaran eksekutif dan legislatif di tingkat pemerintah

pusat menjadi tidak efisien. Hal tersebut dapat dilihat dari mekanisme pemilihan daerah

Page 6: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

penerima DAK yang diatur dalam peraturan menteri keuangan mengenai aloksi dana

DAK yang memperlakukan kriteria penerima DAK tidak harus memenuhi kriteria umum,

kriteria khusus dan kriteria teknis secara paralel. Sebagai ilustrasi, untuk alokasi DAK

tahun anggaran 2013 dan 2014, sebagaimana diatur oleh pasal 50 peraturan menteri

keuangan untuk alokasi DAK TA 2013 dan pasal 44 Peraturan Menteri Keuangan untuk

alokasi DAK TA 2014, dinyatakan bahwa walaupun suatu daerah tidak memenuhi

kriteria umum, namun masih dapat menerima DAK, jika daerah tersebut merupakan

daerah otonomi khusus yaitu Papua dan Papua Barat, daerah tertinggal, daerah dengan

indeks fiskal wilayah (IFW) di atas rata-rata IFW nasional, daerah indeks fiskal wilayah

teknis (IFWT) di atas rata-rata IFWT nasional. Ketentuan pasal 50 dan pasal 44 tersebut

tidak sejalan dengan ketentuan pasal 54 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun

2005 tentang Dana Perimbangan. Kajian SMERU (2008) menyatakan bahwa proses

politik yang menghasilkan kompromi antara eksekutif (pemerintah) dengan legislatif

(DPR) dalam alokasi DAK bidang pendidikan mengakibatkan sebanyak 87 daerah

penerima DAK bidang pendidikan seharusnya tidak layak menerima DAK pada tahun

anggaran 2007. Kuatnya intervensi proses politik dalam kebijakan DAK khususnya di

bidang pendidikan juga terlihat dari adanya keharusan bahwa petunjuk teknis DAK

bidang pendidikan harus terlebih dahulu dikonsultasikan/mendapatkan persetujuan

Komisi X DPR-RI yang membidangi pendidikan sebagaimana tercantum pada Pasal 27

UU Nomor 10 tahun 2010 tentang APBN. Bappenas (2011) juga menyebutkan bahwa

proses teknokratis dalam penentuan alokasi DAK yang cenderung kompleks ini tidak

akan memberikan banyak makna jika proses penentuan alokasi DAK lebih didominasi

oleh proses politik dan pork-barrelling tidak dapat dihindarkan.

Selain itu, pemerintah daerah penerima alokasi DAK akan merespon penerimaan

DAK dari pemerintah pusat dengan melakukan alokasi belanja publik di tingkat

pemerintah daerah. Secara konseptual, pemilihan mekanisme matching grant seperti

DAK ditujukan untuk menginternalisasi eksternalitas antar wilayah geografis sehingga

mekanisme ini akan meningkatkan efisiensi alokasi belanja publik untuk sektor tertentu

yang mendapat matching grant (Hyman, 2010). Kegagalan menginternalisasi esternalitas

antar wilayah geografis akan mengakibatkan kurangnya penyediaan barang publik sesuai

yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian pemberian matching grant oleh

Page 7: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan mendorong alokasi yang lebih besar

untuk belanja publik sektor yang sama oleh pemerintah daerah. Sehingga, total belanja

publik untuk sektor yang menerima matching grant menjadi lebih besar. Asumsinya,

variabel matching grant diperlakukan sebagai variabel eksogen. Secara empiris, pendapat

ini sudah diuji dan dibuktikan dengan berbagai kajian antara lain oleh

Namun demikian, Knight (2002) membuktikan bahwa pemberian dana transfer

kepada pemerintah daerah dalan bentuk matching grant tidak selalu menstimulus

pengeluaran publik oleh pemerintah daerah, bahkan pemberian matching grant

berdampak crowd out belanja publik oleh pemerintah lokal/negara bagian. Dengan kata

lain, pemberian matching grant oleh pemerintah federal akan mengurangi alokasi belanja

publik pada sektor tersebut oleh pemerintah negara bagian. Knight (2002)

memperlakukan variabel matching grant untuk kasus Federal Highway Aid Program di

Amerika Serikat sebagai variabel endogen, dan bukan sebagai variabel eksogen. Knight

(2002) memandang bahwa baik pemberian matching grant oleh pemerintah federal

maupun alokasi belanja publik sektor yang diamati ditentukan melalui suatu proses

politik. Pada tingkat pemerintah federal, terjadi proses politik di kongres untuk

menentukan alokasi matching grant. Hasil dari kesepakatan politik tersebut

merefleksikan preferensi konstituen yang diukur berdasarkan keterwakilan negara bagian

tersebut pada komisi transportasi di kongres. Dengan mengoreksi permasalahan

endogeinitas antara variabel matching grant dengan belanja publik oleh pemeirntah

negara bagian, ternyata hubungan antara matching grant dengan belanja publik sektor

tersebut oleh pemerintah negara bagian menjadi berbanding terbalik. Hasil kajian Knigt

(2002) memberikan kontribusi untuk menjelaskan fenomena flypaper effect dimana

interaksi antara grant yang bersumber dari pemerintah pusat dengan respon belanja

publik oleh pemerintah daerah/lokal yang selalu berdampak stimulus dapat dijelaskan

melalui faktor politik.

Dalam konteks Indonesia, skema DAK, juga ditujukan untuk menstimulasi

pengeluaran publik oleh pemerintah daerah untuk sektor yang menjadi prioritas nasional

namun telah diserahkan menjadi urusan daerah melalui otonomi daerah. Dengan

demikian, pemerintah pusat menginginkan total kebutuhan belanja publik pada sektor

yang sebagian dibiayai dari DAK, akan dapat dipenuhi dengan tambahan alokasi belanja

Page 8: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

publik yang bersumber dari APBD. Dengan kata lain, pemerintah pusat menginginkan

agar alokasi DAK untuk sektor pendidikan akan menstimulasi pengeluaran publik sektor

pendidikan oleh pemerintah daerah sehingga ketersediaan barang publik di sektor

pendidikan akan dapat tercukupi/optimal dengan kombinasi pembiayaan dari APBN dan

APBD. Hal ini tampak dari adanya kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakan

dana pendamping bagi dana DAK yang disediakan oleh pemerintah pusat. Tujuannya

tentu penyediaan barang publik (dalam hal ini sektor pendidikan) yang telah menjadi

urusan pemerintah daerah akan terpenuhi sesuai kebutuhan dengan adanya tambahan

DAK bidang pendidikan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, proses penentuan alokasi DAK oleh

pemerintah pusat juga ternyata dipengaruhi oleh proses politik dengan DPR-RI terutama

di tingkat komisi dan badan anggaran. Di samping itu proses penentuan belanja publik

oleh pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh proses politik di tingkat lokal. Dengan

demikian pemerintah daerah tidak memandang alokasi DAK merupakan suatu variabel

eksogen ketika menentukan alokasi belanja publik.

Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor prioritas nasional yang sudah

menjadi urusan daerah pemerintah daerah melalui desetralisas/otonomi daerah. Dengan

demikian, pemerintah pusat masih tetap berperan penting untuk

Kajian empiris mengenai kebijakan tranfer DAK yang memasukkan variabel

politik serta saling keterkaitan antara antara proses penetapan alokasi DAK di tingkat

pemerintah pusat dengan penerimaan DAK oleh pemerintah daerah serta respon

pemerintah daerah dalam merancang alokasi belanja publik di tingkat lokal (APBD)

tampaknya belum ditemukan dalam konteks Indonesia. Pengetahuan mengenai hal ini

akan menambah literatur di bidang ini dalam konteks Indonesia serta dapat memberikan

implikasi kebijakan mengenai proses politik dan proses teknokratik dalam proses

penetapan alokasi DAK serta disain regulasi yang akan mendorong efisiensi alokasi DAK

di tingkat pusat serta alokasi belanja publik di tingkat daerah.

III. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menentukan dampak dari faktor politik di tingkat

pemerintah pusat terhadap alokasi dana transfer kepada pemerintah daerah serta respon

Page 9: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

pemerintah daerah dalam konteks alokasi dana transfer pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah yang memiliki karakteristik closed ended, matching grant. Secara

spesifik tujuan kedua dari penelitian ini adalah:

a. Melakukan evaluasi atas adanya interaksi antara aktor-aktor politik di tingkat

pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap keputusan

alokasi dana transfer (variabel g dalam model Volden, 2007) yang memiliki

karakteristik earmarked, closed ended, matching grant (dhi. DAK) oleh pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah.

b. Melakukan evaluasi atas adanya interaksi antara aktor-aktor politik di tingkat

pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap respon

keputusan alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah sebagai respon atas alokasi

dana transfer (variabel qs dalam model Knight, 2002) yang memiliki karakteristik

earmarked, closed ended, matching grant (dhi. DAK) dari pemerintah pusat.

IV. Tinjauan PustakaPenelitian mengenai keterkaitan keputusan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah serta faktor politik dalam konteks distribusi dana perimbangan oleh pemerintah

pusat yang memiliki karakteristik closed ended, matching grant dengan keputusan

alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah sudah cukup banyak dilakukan. Namun

demikian, penelitian empiris secara sistematis untuk konteks Indonesia tampaknya belum

banyak dilakukan. Terdapat setidaknya dua alasan mengenai masih kurangnya penelitian

dalam hal ini untuk konteks Indonesia. Alasan pertama, dana transfer pemerintah pusat

dengan karakteristik closed ended, matching grant baru mulai diimplementasikan pada

tahun 2003 dengan alokasi yang relatif kecil. Selanjutnya memang terjadi peningkatan

nilai alokasi secara dari sampai saat ini namun proporsi DAK terhadap total dana

perimbangan masih relatif kecil. Alokasi DAK yang relatif kecil dibanding total nilai

belanja dana perimbangan pemerintah pusat secara keseluruhan kemungkinan membuat

penelitian dalam hal ini dalam konteks Indonesia belum menjadi perhatian. Alasan kedua

yaitu implementasi dana perimbangan dan secara khusus dana alokasi khusus (DAK)

baru dimulai tahun. Di masa orde baru, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan

yang luas dalam pengelolaan sumber daya. Pengelolaan sumber daya keuangan negara

Page 10: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

berada di tangan eksekutif pemerintah pusat. Distribusi sumber daya kepada pemerintah

daerah lebih banyak dalam bentuk dana inpres yang dalam konteks undang-undang yang

berlaku saat ini mirip dengan dana tugas pembantuan atau dana dekonsentrasi. Selain itu,

di masa pemerintah orde baru, kekuasaan dalam merancang dan memutuskan suatu

kebijakan publik didominasi oleh eksekutif sehingga variabel legislatif tampaknya tidak

banyak berpegaruh kepada pengambilan kebijakan. Dengan demikian, penelitian alokasi

DAK dengan mempertimbangkan variabel politik dalam hal ini lembaga legislatif

tampaknya tidak begitu signifikan di era orde baru.

Untuk memahami dampak saling keterkaitan antara keputusan pemerintah pusat

dan pemerintah daerah serta faktor politik terhadap alokasi DAK oleh pemerintah pusat

serta respon alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah, maka dilakukan reviu atas

literatur terkait. Secara garis besar, kelompok literatur yang akan dibahas pada bagian ini

adalah tiga kelompok besar yaitu literatur yang menekankan pada keputusan terkait

kebijakan dana transfer di tingkat pemerintah pusat (model distributive politics), literatur

yang menekankan pada keputusan respon penerimaan dana transfer oleh pemerintah

daerah (model kurva indifference keuangan publik klasik (Teori keuangan publik klasik)

dan model keputusan politik di tingkat pemerintah daerah) serta literatur yang

menekankan pada interaksi keputusan di tingkat pemerintah pusat dan keputusan di

tingkat pemerintah daerah atas kebijakan dana transfer (model principal-agent, dan

model game teori non-cooperative dan model endogenous grant).

Distributive Politics/Pork Barrel Politics

Secara garis besar model distributive politics dapat dikelompokkan atas dua

kelompok teori yaitu implicit distributive politics model dan eksplisit distributive politics

model (Volden, 2007). Model implisit dari distributive politics tidak memodelkan proses

bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik karena diasumsikan bahwa

politisi memiliki bias atas kepentingan politiknya yang mengakibatkan kebijakan

ekonomi yang dilakukan melalui suatu proses politik tidak efisien. Hal ini dikenal dengan

adanya permasalahan common pool problem (contoh model implisit distributive politics

dikembangkan oleh Weingast et al,1981). Sedangkan model eksplisit dari distributive

politics memodelkan proses bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik

Page 11: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

(contoh proses yang dimodelkan adalah proses bargaining dalam lembaga

perwakilan/legislatif atau legislative bargaining yang dikembangkan oleh (Baron, 1989)).

Alternatif pengelompokan model distributive politic adalah

non-partisan/representative distributive politics theory dan partisan distritubutive

politics theory (Levit dan Poterba, 1999). Non-partisan distributive politics theory pada

dasarnya menekankan pada efek keterwakilan/representativeness dalam lembaga

legislative terhadap distribusi dana pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Asumsi

utama dari model ini adalah setiap anggota legislatif memiliki kecenderungan untuk

mendorong/mendukung alokasi sumber daya pemerintah pusat untuk daerah

pemilihannya baik secara implisit (common pool problem) maupun secara eksplisit

melalui proses legislative bargaining. Dengan demikian model non-partisan distributve

politics menekankan pada insentif bagi individu legislator dalam pengampilan keputusan

alokasi sumber daya publik (Levit dan Poterba, 1999).

Sedangkan partisan distributive politics theory menekankan pada efek strategi

partai politik dalam rangka mempertahankan suara konstituen dengan cara

mempengaruhi alokasi sumber daya pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Berbeda dengan model sebelumnya, model partisan distributive politics menekankan

pada kepentingan partai politik dalam rangka mempertahankan konstituen di daerah

pemilihan tertentu (Levit dan Poterba, 1999).

Non-partisan Distributive Politics Theory

Model pengambilan keputusan oleh lembaga perwakilan yang dibuat oleh

Weingast, Shepsle dan Johnsen (1981) merupakan model non-partisan distributive

politics yang banyak dirujuk oleh peneliti lain untuk pengujian empiris. Model yang

dibangun ini merupakan suatu model statis. Prediksi model ini menunjukkan bahwa

lembaga perwakilan akan secara sistematis mengambil keputusan yang bias dalam

keputusan publik serta mengakibatkan alokasi sumber daya publik menjadi tidak efisien

melalui kebijakan yang disebut distributive policy/pork barrel politics. Yang

dimaksudkan dengan distributive policy adalah alokasi sumber daya publik untuk proyek-

proyek, program dan bantuan yang hanya memberikan manfaat kepada konstituen pada

suatu wilayah geografis tertentu (pork barrel politics). Weingast et al (1981)

mengidentifikasi 3 sumber bias dari keputusan politik oleh lembaga perwakilan. Ketiga

Page 12: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

sumber bias tersebut adalah adanya perbedaan definisi untuk suatu biaya dan manfaat

menurut definisi politik dan definisi ekonomi. Sumber bias kedua adalah mekanisme

pembagian wilayah pemilihan yang membagi suatu perekonomian menjadi sejumlah n

wilayah pemilihan (district). Sedangkan sumber bias ketiga adalah metode pembiayaan

bagi proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari pajak yang dipungut secara umum

yang tidak secara spesifik digunakan untuk membiayai setiap proyek yang akan dibiayai.

Selanjutnya Weingast et. al (1981) juga menyatakan bahwa mekanisme pemilihan

anggota legislatif yang mementingkan popularitas seorang anggota dewan untuk dapat

meningkatkan peluang elektabilitas seorang anggota legislatif juga berperan menambah

faktor bias dalam suatu pilihan politis yang tidak efisien. Hasil dari model menunjukkan

bahwa suatu keputusan politik oleh lembaga perwakilan akan menghasilkan alokasi

sumber daya yang tidak efisien (distributive politics/pork barrel politics) dan juga akan

mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang terlalu besar. Namun demikian, model

Weingast et. al (1981) tidak memperlihatkan bagaimana proses pengambilan keputusan

oleh legislator (legislative bargaining) karena diasumsikan bahwa pengambilan kebijakan

oleh legislatur menganut aturan universalism. Dengan norma universalism, setiap

anggota legislatif berperilaku sama yaitu memutuskan setiap proyek yang akan dibiayai

oleh anggaran pemerintah hanya untuk daerah pemilihannya saja dan selanjutnya pajak

yang ditetapkan untuk dapat membiayai seluruh pengeluaran yang ditetapkan. Dengan

demikian kebijakan pork barrel policy merupakan suatu permasalahan dalam setiap

penganggaran pemerintah oleh anggota legislatif (common pool problem).

Kajian Empiris dari Model Non-Partisan Distributive Politics

Model atau teori yang dikembangkan oleh Weingast et. al (1981) telah banyak

diuji dan dikonfirmasi melalui berbagai penelitian empiris. Beberapa penelitian empiris

menggunakan data Amerika Serikat yang merujuk pada model ini antara lain adalah

penelitian oleh Del Rossi dan Inman (1999) menemukan bahwa besarnya nilai proposal

untuk sektor air bersih yang dibiayai dari anggaran pemerintah federal akan menurun

secara signifikan ketika bagian pendanaan dari proyek yang bersumber dari keuangan

pemerintah negara bagian meningkat. Kajian empiris oleh Knight (2004) menemukan

bahwa anggota legislatif kemungkinan akan memilih/mendukung pengeluaran

pemerintah federal bagi daerah pemilihannya dibanding proposal pengenaan pajak yang

Page 13: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

rendah namun hasil pungutan pajak tersebut akan dibelanjakan di luar daerah

pemilihannya. Baqir (2002) juga menemukan adanya hubungan positif antara besarnya

ukuran legislatif di tingkat kota dengan pengeluaran publik. Selanjutnya, kajian oleh

Gilligan dan Matsusaka (1995) dan Bradbury dan Crain (2001) juga menemukan

hubungan positif antara besarnya ukuran legislatif di tingkat negara bagian dengan

pengeluaran publik. Selain itu, Knight (2005) mengungkapkan bahwa anggota komisi

legislatif menggunakan kewenangannya untuk mengajukan anggaran untuk

mempengaruhi proyek di bidang transportasi secara tidak proporsional untuk wilayah

pemilihannya. Levitt dan Snyder (1997) menyatakan bahwa daerah pemilihan yang

memiliki banyak konstituen Partai Demokrat mendapatkan lebih banyak anggaran

pemerintah federal antara tahun 1984 dan 1990, dimana pada masa itu Partai Demokrat

menguasai kongres. Levitt dan Poterba (1999) juga menemukan bahwa negara bagian

yang diwakili oleh anggota legislatif yang berpengalaman menikmati pertumbuhan

ekonomi yang lebih cepat dibanding negara bagian lain, walaupun hal ini tidak dapat

dijelaskan melalui pengeluaran pemerintah federal untuk negara-negara bagian.

Partisan Distributive Politics Theory

Model partisan distributive politics antara lain dikembangkan oleh Coker dan Crain

(1994), Cox dan McCubbins (1993), Rohde (1991) dan Snyder (1994). Perbedaan model

ini dengan model non-partisan menekankan pentingnya peran partai politik dibanding

peran individu anggota legislatif dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya

publik pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian prediksi alokasi

sumber daya publik akan berbeda dengan model sebelumnya (model non-partisan

distributive politics).

Kajian Empiris Model Partisan Distributive Politics

Model partisan distributive politics telah diuji antara lain oleh Levit dan Poterba (1999)

dan menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara memiliki tingkat persaingan politik

yang ketat di Amerika Serikat dengan tingkat pertumbuhan per kapita di negara bagian

tersebut. Namun demikian penelitan Levit dan Poterba (1999) tidak menemukan

hubungan antara tingkat persaingan politik di negara bagian dengan alokasi sumber daya

oleh pemerintah federal.

Page 14: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Teori Klasik Keuangan Publik dan Teori Politik pada Pengambilan Keputusan di

tingkat Pemerintah daerah

Kajian teori yang menekankan pada keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah

daerah terdiri atas dua kelompok teori yaitu teori keuangan publik klasik yang

memanfaatkan model kurva indifferens dengan kendala anggaran yang dikembangkan

antara lain oleh Scot (1952) dan Wilde, (1971) serta teori politik yang secara khusus

menekankan pada proses politik di tingkat pemerintah daerah yang dikembangkan antara

lain oleh (Romer, 1980).

Kajian Empiris untuk teori keuangan publik klasik dan teori politik pemerintah

daerah

Kajian empiris yang dilandasi oleh kelompok teori ini mempelajari bagaimana

pemerintah daerah mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan apakah suatu

pemerintah daerah menerima dana transfer dari pemerintah pusat serta respon pemerintah

daerah atas dana transfer yang diterimanya (Volden, 2007).

Kontribusi kajian-kajian empiris pada kelompok ini antara lain adalah adanya bukti

respon asimetris oleh pemerintah daerah akibat adanya kenaikan dan penurunan dana

bantuan pemerintah pusat seperti yang dilakukan antara lain oleh Volden (1999) dan

Gamkhar (2000). Selain itu kajian empiris pada kelompok ini mengungkap adanya

fenomena “fly paper effect” yang menyatakan bahwa dampak transfer pemerintah pusat

terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah lebih besar dari dampak pendapatan

pajak daerah terhada belanja publik oleh pemerintah daerah (Volden, 1999). Berbagai

kajian mengenai fenomena fly paper effect antara lain oleh Inman (2008) ; Bailey dan

Connolly (1998). Inman (2008) melakukan evaluasi atas berbagai kajian mengenai

fenomena fly paper effect dan penjelasan mengenai fenomena tersebut. Terdapat 4

kemungkinan penjelasan mengenai fenomena fly paper effect yaitu:

a. Permasalah dengan data yang digunakan;

Terkait dengan hal ini, Inman (2008) menyebutkan bahwa peneliti kemungkinan

memperlakukan matching grant sebagai bantuan yang bersifat eksogen.

b. Permasalahan ekonometrika

Page 15: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Bantuan yang bersifat eksogen berkorelasi dengan variabel-variabel yang tidak

dimasukkan ke dalam model sehingga akan mengakibatkan bias estimasi yang terlalu

rendah untuk efek pendapatan daerah dari dana transfer serta bias estimasi yang

terlalu tinggi untuk efek dari dana transfer.

c. Permasalahan spesifikasi model

Representasi dari konstituen (biasanya diasumsikan sebagai median voter) bisa saja

tidak mendapatkan informasi mengenai dana transfer yang bersifat lumpsum atau

kalaupn mendapat informasi mengenai dana transfer pemerintah pusat namun salah

dalam mempersepsikan dampak dana transfer dengan dengan estimasi sebesar rata-

rata efek substitusi atau kalaupun konstituen melihat dan memahami dampak dana

transfer terhadap anggaran pemerintah daerah, respon alokasi dari angaran daerah

untuk keperluan “publik” atau “privat” dilakukan melalui bagian-bagian yang

terpisah.

d. Politik

Melalui pendekatan ini, diasumsikan bahwa konstituen (median voter) memiliki

informasi yang cukup mengenai efek suatu dana transfer pemerintah pusat namun

tidak menyatakan secara jujur preferensinya jika hal tersebut akan

menguntungkannya. Perilaku seperti ini mensyaratkan adanya institusi yang tidak

efisien sehingga memungkinkan tidak terungkapnya preferensi voter secara lengkap

yang tampak dalam bentuk adanya suatu lembaga perwakian (lembaga legislatif) atau

adanya suatu mekanisme/aturan pengambilan keputusan melalui suara terbanyak

(majority voting rules).

Inman (2008), menyatakan bahwa faktor politiklah yang merupakan penjelasan yang

terbaik di antara penjelasan lain untuk menjelaskan fenomena fly paper effect.

Kajian teori yang menggabungkan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah ke dalam satu model (Principal-Agent Model, Non-cooperative

game theoretic model dan Endogenous Grant Model)

Kajian teori pada kelompok ini menggabungkan keputusan-keputusan di tingkat

pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam satu model. Terdapat beberapa model

Page 16: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

yang dapat diklasifikasikan ke dalam kategori ini yaitu: Principal agent model yang

diusulkan oleh Chubb (1985), Non-cooperative game theoretic model oleh Volden (2007)

serta endogenous grant model oleh Knight (2002). Masing-masing model tersebut akan

diulas pada bagian ini.

Principal Agent Model

Salah satu model kategori ini merujuk pada model principal-agent untuk

menggambarkan interaksi antara politisi pemerintah pusat dan birokrasi pemerintah

pusat. Selanjutnya birokrasi pemerintah pusat menyusun ketentuan terkait kebijakan dana

transfer bagi pemerintah daerah serta melakukan pemantauan atau pengawasan atas

ketentuan oleh pemerintah daerah seperti yang dikembangkan oleh Chubb (1985).

Chubb (1985) juga melakukan pengujian empiris untuk model yang dikembangkannya

untuk dua jenis dana transfer pemerintah pusat yaitu dana transfer yang bersifat

conditional, close-ended matching maupun conditional, close-ended lump sum. Chubb

(1985) menyimpulkan bahwa model ekonomi tanpa memperhitungkan faktor politik tidak

dapat secara baik menjelaskan dampak pemberian dana transfer pemerintah pusat

terhadap keputusan alokasi belanja pemerintah daerah. Faktor politik yang diidentifikasi

berperan dalam keputusan pemberian dana transfer adalah faktor ideologi serta motivasi

untuk memenuhi permintaan konstituen pada tingkat pemerintah pusat baik oleh anggota

kongres maupun birokrat di tingkat pemerintah pusat.

Endogenous Grant Model

Knight (2002) memodifikasi model Bradford dan Oates (1971) dengan

mengasumsikan bahwa terjadi endogeinity antara pemberian grant oleh pemerintah pusat

dengan respon alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah.

Volden (2007) memandang kajian Knight (2002) sebagai kajian dengan kategori

yang berbeda dari 3 kelompok teori yang mengkaji kebijakan dana transfer karena mode

yang dikembangkan memasukkan unsur hubungan simultan pemerintah pusat dan

pemerindah daerah namun tidak dalam bentuk hubungan principal – agent seperti yang

dikembangkan oleh Chub (1985). Knight menggunakan rujukan model mengenai

keterkaitan antara belanja transfer pemerintah pusat dengan alokasi belanja publik oleh

pemerintah daerah penerima bantuan yang dikembangkan oleh Bradford dan Oates

Page 17: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

(1971). Knight (2002) menambahkan adanya endogeinity atau hubungan antara preferensi

dengan dana transfer yang diukur menggunakan variabel keterwakilan negara bagian

pada lembaga legislative di tingkat pmerintah federal. Endogeinity tersebut sudah mulai

dikembangkan di era awal tahun 1970-an. Model yang sederhana dikembangkan oleh

Bradford dan Oates (1971) yang memprediksi bahwa belanja publik yang merupakan

transfer dari pemerintah pusat akan mengakibatkan efek crowd out terhadap alokasi

belanja publik di tingkak pemerintah daerah. Model yang dikembangkan oleh Bradford

dan Oates ini memperlakukan transfer pemerintah pusat sebagai variabel eksogen bagi

pemerintah daerah penerima bantuan. Model ini telah banyak diuji secara empiris, namun

banyak hasil penelitian empiris hanya menemukan efek crowd out yang lemah bahkan

beberapa kajian menemukan bahwa transfer pemerintah pusat memberikan efek crowd in

terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah (Knight, 2002). Efek crowd in dari

belanja publik oleh pemerintah daerah sebagai respon dari belanja transfer oleh

pemerintah pusat disebut fly paper effect (Knight, 2008).

Non-Cooperative Game Theoritic Model

Volden (2007), mengkritisi model-model yang hanya menekankan pada keputusan di

satu tingkat pemerintahan (pemerintah pusat/daerah secara terpisah). Hal ini disebabkan

karena model-model tersebut mengabaikan adanya keterkaitan dalam keputusan-

keputusan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Sebagai contoh besarnya dana transfer dan syarat-syarat yang dikenakan atas penyaluran

dana transfer oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh respon pemerintah daerah serta

kemungkinan respon oleh pemerintah daerah atas dana transfer yang akan diberikan oleh

pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh formulasi dana transfer yang ditentukan oleh

pemerintah pusat. Volden (2007) juga mengkritisi keterkaitan keputusan pemerintah

pusat dan pemerintah daerah dengan pendekatan prinsipal-agent model. Argumennya

adalah pendekatan prinsipal-agent model tidak menggambarkan realitas hubungan antara

peerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah pada suatu sistem federasi

berbeda dengan birokrat di tingkat pemerintah pusat yang menjalankan visi politisi

tingkat pemerintah pusat. Pemerintah daerah daerah juga memiliki sumber pembiayaan

Page 18: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

yang terpisah dan juga kekuatan politik dan harus merespon konstituen di tingkat lokal

yang dapat berbeda dengan keinginan politisi di tingkat pemerintah pusat.

Selanjutnya, Volden (2007) mengusulkan pendekatan berbeda untuk kelompok

teori kategori ini yaitu dengan menekankan pada aspek adanya kompetisi antara

pemerintah/politisi di tingkat pemerintah pusat dengan pemerintah/politisi di tingkat

daerah yang mempengaruhi sistem dan mekanisme transfer dana antar pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah. Diasumsikan bahwa dana transfer pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah merupakan dana transfer dengan kategori lump-sum grant.

Kebijakan transfer sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

atau kepada individu dalam masyarakat merupakan suatu fungsi pemerintahan modern

yang penting dimana proses formulasi dan penetapan kebijakan transfer pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah melibatkan proses teknokratik dan proses politik. Peneliti di

bidang kebijakan publik telah berhasil mengidentifikasi inefisiensi keputusan kebijakan

publik yang bersumber antara lain dari perilaku birokrasi, institusi legislatif, pengaruh

kelompok kepentingan, keinginan politisi untuk memenangkan pemilihan dan ilusi fiskal

(Weingast et al, 1981).

Kajian empiris model endogeinity tranfers pemerintah pusat dengan alokasi belanja

publik oleh pemerintah daerah

Knight (2002) melakukan pengujian empiris atas model endogeinity belanja

transfer pemerintah federal di Amerika Serikat dengan alokasi belanja publik oleh

pemerintah negara bagian untuk program bantuan jalan pemerintah federal yang

merupakan suatu bentuk grant dengan karakteristik open ended, matching grant. Hasil

kajian ini menyimpulkan adanya fenomena crowd out pada alokasi belanja pemerintah

negara bagian dengan sebagai adanya endogeinity antara pemberian bantuan dengan

alokasi belanja pada pemerintah negara bagian.

V. Kerangka Konseptual (Conceptual Framework)Kerangka konseptual dalam kajian ini mengadaptasi hasil kajian Volden (2007)

pengujian empiris kebijakan alokasi dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah. Model yang dikembangkan oleh Volden (2007) diadaptasi untuk jenis grant yang

bersifat conditional, closed ended , matching grant ( sesuai karakteristik DAK) karena

Page 19: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

model yang dikembangkan oleh Volden (2007) menggunakan asumsi dana transfer lump-

sum grant. Selanjutnya akan dikembangkan proposisi dari model yang diadaptasi

tersebut.

Di samping itu, pada kajian ini mengadopsi hasil kajian Knight (2002) untuk

mengevaluasi dampak pemberian dana transfer oleh pemerintah pusat terhadap alokasi

belanja publik oleh pemerintah daerah.

Model yang dikembangkan Volden (2007) menekankan pada adanya suatu

kompetisi antara politisi yang dipilih pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah untuk

dapat keuntungan politik dari kebijakan penyediaan barang dan jasa publik pada area

kebijakan tertentu, serta dari perannya untuk mengarahkan kebijakan pada area tersebut.

Keuntungan politik yang didapatkan oleh para politisi tersebut terjadi melalui pilihan-

pilihan arah kebijakan dalam suatu area kebijakan tertentu (misalnya area kebijakan di

sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain) serta para politisi berusaha

memenuhi keinginan konstituen di wilayah pemilihannya untuk meningkatkan peluang

keterpilihan kembali. Konstituen mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang dan

jasa publik untuk area kebijakan tertentu namun tidak menyukai konsekuensi

pembiayaannya yaitu membayar pajak. Preferensi konstituen juga dipengaruhi oleh

kemampuannya untuk ikut mempengaruhi arah kebijakan dana transfer oleh pemerintah

pusat.

Pemerintah daerah juga berkontribusi terhadap penyediaan barang dan jasa publik

pada area tertentu dan juga mempunyai otoritas untuk mengarahkan arah kebijakan pada

area tersebut. Sebagai contoh pemerintah daerah membelanjakan penghasilan pajak

daerah untuk tujuan pendidikan, kesehatan dan belanja lainnya. Selain itu pemerintah

daerah mengeluarkan seperangkat aturan bagi pengeluaran di area-area tersebut.

Pemerintah pusat dapat memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk

mengarahkan kebijakan pada area tersebut (dalam konteks Indonesia menyerahkan

kewenangan tersebut sebagai urusan daerah), atau pemerintah pusat juga dapat

memberikan bantuan keuangan kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana transfer

dengan persyaratan tertentu (dalam konteks Indonesia pemerintah pusat memberikan

dukungan dana bagi pemerintah daerah untuk membiayai urusan daerah yang merupakan

prioritas nasional dalam bentuk dana alokasi khusus/DAK).

Page 20: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Proses tersebut diatas, oleh Volden (2007) dimodelkan melalui suatu permainan

yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Model ini mengasumsikan terdapat dua aktor yaitu politisi pemerintah pusat dan

politisi pemerintah daerah. Untuk pemerintah daerah diasumsikan terdapat hanya satu

representasi pemerintah daerah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai

kompetisi antara politisi di kedua tingkat pemerintahan. Dengan demikian model ini

mengabaikan suatu kemungkinan adanya kompetisi horizontal di antara pemerintah

daerah. Pada keseluruhan permainan, diasumsikan pemerintah daerah juga menyediakan

barang dan jasa publik yang berarti model ini tidak cocok diterapkan untuk area

kebijakan dimana peran pemerintah daerah merupakan peran yang terbatas (seperti area

pertahanan nasional yang merupakan urusan pemerintah pusat).

Pemerintah pusat mengambil keputusan lebih dulu yaitu memilih antara tidak

alternatif kebijakan yaitu:

1) tidak ikut menyediakan barang dan jasa publik di area tertentu (menyerahkan

sepenuhnya kepada pemerintah daerah;

Seandainya pemerintah pusat memutuskan untuk menyerahkan kewenangan

penyediaan barang dan jasa publik kepada pemerintah daerah, maka barang publik

seluruhnya akan disediakan oleh pemerintah daerah (qs) dan pemerintah daerah akan

Page 21: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

menetapkan arah kebijakan bagi penyediaan baran dan jasa publik tersebut (y).

Parameter arah kebijakan (y) ini disimplifikasi sebagai suatu pilihan dari garis

kebijakan satu dimensi, dengan adanya kemungkinan bahwa arah kebijakan oleh

pemerintah daerah dapat berbeda dengan arah kebijakan oleh pemerintah pusat. Arah

kebijakan ini dimodelkan secara terpisah dari jumlah pengeluaran dan dapat

dipandang dapat “menangkap” preferensi yang berbeda mengenai bagaimana sumber

daya tersebut dibelanjakan. Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat meningkatkan

gaji guru, sementara pemerintah pusat mungkin lebih menginginkan adanya

penyelenggaran ujian nasional, selain itu pemerintah di tingkat pusat dan daerah dapat

berbeda arah kebijakan mengenai bagaimana cara menurunkan tingkat polusi udara,

meningkatkan ketertiban publik atau meningkatkan jangkauan layanan kesehatan

publik.

2) ikut menyediakan barang dan jasa publik di area tertentu;

Jika pemerintah pusat memutuskan untuk secara bersama-sama pemerintah daerah

untuk penyediaan barang publik di area tertentu (qN dan qs), maka pemerintah pusat

dan pemerintah daerah secara berurutan memilih jumlah barang publik yang akan

disediakan (qN dan qs). Pada skema ini, pemerintah daerah masih dapat menentukan

arah kebijakan untuk barang publik yang disediakannya (y).

3) menawarkan bantuan dana transfer kepada pemerintah daerah untuk pembiayaan

barang dan jasa publik di area tertentu dengan persyaratan/ketentuan yang mengikat

pemerintah daerah;

Jika pemerintah pusat memutuskan untuk memberikan dana transfer bagi pemerintah

daerah maka, pemerintah pusat akan memutuskan besarnya dana transfer (g) dan

menetapkan syarat-syarat bagi pemberian bantuan dalam bentuk arah kebijakan (y).

Dalam model yang dibuat Volden (2007) ini diasumsikan bahwa bentuk dana transfer

adalah lumpsum grant. Selanjutnya, Volden (2007) menyebutkan bahwa model ini

dapat dikembangkan untuk dapat mengeksplorasi model untuk jenis grant lain seperti

block grant dan matching grant. Selanjutnya pemerintah daerah akan dapat menerima

atau menolak tawaran pemerintah pusat dengan mempertimbangkan arah kebijakan

yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Jika pemerintah daerah menerima tawaran

dana transfer tersebut, selanjutnya pemerintah daerah akan memutuskan jumlah

Page 22: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

barang publik yang akan disediakan (qs), namun jika pemerintah menolak penawaran

dana transfer maka pemerintah daerah akan memutuskan jumlah barang publik yang

disediakan (qs) serta arah kebijakan (y).

Ketiga pilihan keputusan ini merupakan pilihan kebijakan pemerintah pusat yang lazim

dalam suatu sistem pemerintahan federasi.

Tujuan Politisi

Seperti telah diuraikan sebelumnya, baik politisi pemerintah pusat maupun politisi

pemerintah daerah sebenarnya merupakan aktor yang merepresentasikan konstituennya.

Politisi mendapatkan keuntungan politik untuk kebijakan penyediaan barang publik bagi

konstituennya, menetapkan tingkat pajak yang rendah dan menetapkan arah kebijakan

yang merefleksikan preferensi konstituennya. Secara spesifik, persamaan kepuasan

politisi pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

Suku pertama dari persamaan (1) dan (2) adalah keuntungan politik yang didapatkan dari

penyediaan barang publik bagi politisi. Semakin banyak barang publik yang disediakan

(qs +qn) pada tingkat permintaan barang publik (d) maka politisi akan mendapatkan lebih

banyak keuntungan politik. Keuntungan politik tersebut dibagi kepada politisi di tingkat

pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Suku kedua dari persamaan (1) dan (2) adalah beban politik yang harus ditanggung oleh

politisi akibat mengenakan pajak kepada konstituen untuk pembiayaan barang publik.

Beban politik akan semakin besar secara kuadratik pada tingkat total pajak (t s + tN),

sehingga akan menurunkan tingkat kepuasan politisi jika pengenaan pajak terlalu tinggi.

Beban politik akan ditanggung oleh politisi pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah

(fB,N) dan (fB,s), Secara bersama, suku pertama dan suku kedua dari persamaan (1) dan (2)

merefleksikan suatu skema dimana terdapat suatu tingkat pengeluaran/belanja publik

antara nol sampai tidak terbatas. Pada tingkat yang ideal, pengurangan pengeluaran

publik akan menghasilkan pengurangan kepuasan untuk penyediaan barang publik , dan

peningkatan pengeluaran publik akan menghasilkan pengurangan kepuasan akibat

peningkatan pajak.

Page 23: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Suku ketiga dari persamaan kepuasan politisi “menangkap” pengurangan kepuasan

politisi yang berkaitan dengan arah kebijakan yang berbeda dengan arah kebijakan yang

diinginkan oleh politisi. Masing-masing pemerintah memiliki suatu posisi kebijakan yang

ideal yaitu xn bagi pemerintah pusat maupun xs bagi pemerintah daerah. Masing-masing

pemerintah akan mendapatkan tambahan kepuasan dari arah kebijakan dana transfer (y)

yang mendekati posisi kebijakan idealnya. Volden (2007) mengasumsikan xn ≥ xs = 0.

Adanya konflik antara tujuan pemeritah pusat dengan pemerintah daerah ditunjukkan

dengan nilai xn yang besar (xn >> 0).

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 1, maka variabel-variabel kebijakan meliputi

jumlah barang publik yang disediakan, arah kebijakan dan besarnya dana transfer (q, y,

dan g). Pilihan tingkat pajak didapatkan melalui asumsi anggaran berimbang (balanced

budget) sehingga pajak yang dikenakan akan mampu membiayai pengeluaran publik atau

tingkat dana transfer. Secara spesifik, dalam model, barang publik diasumsikan memiliki

biaya marginal yang tetap, yang dapat berbeda antara pemerintah pusat (mn) dengan

pemerintah daerah (ms) bergantung pada kemampuan masing-masing pemerintah

menyediakan barang publik tersebut. Pembiayaan barang publik berasal dari pajak

dimana untuk pemerintah pusat tn=mNqN/αN dan untuk pemerintah daerah ts=msqs/αs.

Parameter α (0 < α ≤ 1) menunjukkan tingkat efisiensi masing-masing pemerintah dalam

memungut pajak. Nilai yang kecil dari parameter α menunjukkan inefisiensi pemerintah

dalam memungut pajak dan nilai 1 menunjukkan kemampuan pemerintah memungut

pajak secara efisien. Model ini dapat membedakan kemampuan memungut pajak yang

berbeda bagi setiap tingkat pemerintah.

Model ini tidak secara eksplisit memasukkan adanya perbedaan preferensi belanja,

namun secara implisit masuk dalam biaya marginal (m) dan efisiensi pemungutan pajak

(α). Pemerintah yang dapat menyediakan barang publik lebih murah atau memungut

pajak lebih efisien lebih menyukai tingkat pajak dan pengeluaran yang lebih besar.

Untuk kasus skema dana transfer (g>0), maka barang publik yang langsung diadakan

oleh pemerintah pusat menjadi nol (qN =0) dan tingkat pajak yang ditetapkan oleh

pemerintah pusat berdasarkan besarnya dana transfer yang diberikan adalah:

tN = g/αN (3)

Page 24: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Pemerintah daerah yang menerima dana transfer tidak perlu meningkatkan pajak begitu

besar sehingga tingkat pajak menjadi :

ts= (msqs – g/αs) (4)

Pertimbangan Alokasi Transfer oleh Pemerintah Pusat

Sejalan dengan tujuan partai politik dan anggota legislatif di tingkat pemerintah pusat,

maka pertimbangan alokasi transfer oleh pemerintah pusat adalah alokasi yang dapat

memaksimumkan fungsi tujuan partai politik maupun anggota legislatif di tingkat

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Pertimbangan Alokasi Belanja Publik oleh Pemerintah Daerah

Proses yang terjadi di tingkat pemerintah daerah adalah menerima/tidak menerima

bantuan serta keputusan alokasi belanja publik di tingkat pemerintah daerah. Proses yang

terjadi di pemerintah daerah juga melibatkan proses teknoktratik dan proses politik di

tingkat lokal. Dengan demikian juga melibatkan suatu fungsi tujuan pengambil kebijakan

publik di tingkat lokal dengan kendala sumber daya yang tersedia.

Keseimbangan Model/Keseimbangan Politik

Keseimbangan model adalah keseimbangan politik terjadi ketika strategi yang dipilih

oleh merupakan respon terbaik oleh pemerintah daerah dan strategi tersebut

mamaksimumkan fungsi tujuan masing-masing pemerintah.

Model yang dibangun Volden ini merupakan suatu model dengan informasi lengkap

(complete information) dan tidak berulang (non-repeated). Solusi dari model ini adalah

solusi subperfect equilibrium (SPNE) yang didapatkan melalui backward induction.

VI. Metode dan Prosedur PenelitianFokus bagian teori dari penelitian ini adalah melakukan modifikasi atas model

interaksi keputusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam keputusan politik

alokasi dana transfer yang diusulkan oleh Volden (2007). Pada model yang dibangun

oleh Volden (2007) diasumsikan bahwa dana transfer pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah merupakan dana transfer yang bersifat lumpsum (lump sum grant).

Bagian teori dalam penelitian ini mengeksplorasi penggunaan closed ended matching

grant dalam konteks model ini.

Page 25: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Selanjutnya, bagian empiris dari penelitian ini adalah melakuan pengujian atas

alokasi dana transfer yang bersifat closed ended, matching grant oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah serta respon belanja publik oleh pemerintah daerah yang

mengacu dari model Volden (2007) yang telah diadaptasi untuk jenis belanja transfer

yang bersifat conditional, close-ended, matching grant untuk kasus Indonesia dengan

menggunakan data panel tahun 2004-2014.

VII. Jenis dan Sumber DataData yang dibutuhkan dalam kajian ini adalah alokasi DAK untuk setiap

pemerintah daerah untuk setiap tahun anggaran mulai tahun anggaran 2005-2014. Data

ini didapatkan dari dokumen penetapan alokasi DAK per bidang oleh Menteri Keuangan.

Selain itu juga dibutuhkan data anggota dewan di tingkat pusat (DPR) untuk

setiap daerah pemilihan di tingkat pemerintah daerah untuk periode 2004-2009 serta

perioade 2009-2014. Data ini ditapatkan dari dokumen penetapan anggota legislatif hasil

pemilihan legislatif DPR RI oleh KPU.

Selanjutnya juga dibutuhkan data alokasi belanja publik di tingkat pemerintah

daerah untuk periode tahun anggaran terutama untuk bidang pendidikan, kesehatan dan

infrastruktur selama tahun anggaran 2005-2014.

Page 26: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Daftar Pustaka

Baron, D. a. (1989). Bargaining in Legislatures. Americal Political Sciences Review, 83(4), 1181-1206.

Barry R. Weingast, K. A. (1981, Augustus). The Political Economy of Benefits and Costs: A Neoclassical Approach to Distributive Politics. Journal of Political Economy, 89(4), 642-664.

Bradbury J. and Crain, M. (2001, December). Legislative organization and government spending: cross-country evidence . Journal of Public Economics, 82(3), 309-325.

Chubb, J. (1985). The political economy of federalism. American Political Science Review, 79, 994-1015.

Coker, D. a. (1994). Legislative Committees as loyalty-generating institution. Public Choce, 81(3-4), 195-221.

Connolly, S. J. (1998, June). The Flypaper Effect: Identifying Areas for Further Research. Public Choice, 95(3/4), 335-361.

Cox, G. W. (1993). Legislative Leviathan: Party Government in the house. Berkeley, California: University of California Press.

Del Rossi, A. a. (1999, Februari). Changing the price of pork: the impact of local cost sharing on legislators' demand for distributive politics goods. Journal of Public Economics, 72(2), 247-273.

Gamkhar, S. (2000). Is the response of state and local highway spending symmetric to increase and decrease in federal highway grants? Public Finance Review, 24(1), 3-25.

Giligan, T. a. (1995, July). Deviations from constituent interest: the role of legislative structure and political parties in the states . Economic Enquiry, 383-410.

Hyman, D. N. (2010). Public FInance : A Contemporary Application of Theory to Polici (10th ed.). Joe Sabatino.

Knight, B. (2005, December). Estimating the value of proposal power. American Economic Review, 95(5), 1639-1652.

Knight, B. (March 2002). Endogenous Federal Grants and Crowd-out of State Government Spending: Theory and Evindence from the Federal Highway Aid Program. The American Economic Review, 92(1), 71-92.

Page 27: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Levit S. and Poterba, J. (1999, April). Congressional Distributive Politics and State Economic Performance. Public Choice, 185-216.

Levit S. and Snyder, J. (1997, February). The Impact of Federal Spending on House Election Outcomes. Journal of Political Economy, 105(1), 30-53.

R, B. (2002, December). Districting and Government Overspending. Journal of Political Economy, 110(6), 1318-1354.

Roberson, B. (2008, June). Pork-barrel Politics, Targetable Policies and Fiscal Federalism. Journal of the European Economic Association, 6(4), 819-844.

Robert P, I. (December 2008). The Flypaper Effect. National Bureau of Economics Research Working Paper, NBER Working Paper 14579.

Rohde, D. (1991). Parties and Leareds in the post-reform house. Chicago: University of Chicago Press.

Romer, T. a. (1980). An Institutional theory of the effect of Intergovernmental grants. National Tax Journal, 33, 451-458.

Scot, A. (1952). The Evaluation of Federal Grants. Econometrica, 19, 377-394.

Snyder, J. J. (1994). Safe seats, marginal seats and party platforms: The logic of platform differentiation. Economics and Politics, 6(3), 201-213.

Volden, C. (1999). Asymmetric effects of intergovernmental grants: Analysis and implications for U.S. welfare policy. Publius: The Journal of Federalism, 29(3), 51-73.

Volden, C. (2007, Spring). Intergovernmental Grants: A Formal Model of Interrelated National and Subnational Politica Decisions. Publius, 37(2), 209-243.

Wilde, J. (1971). Grants-in-aid: The analytics of design and response. National Tax Journal, 24, 143-156.

Page 28: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Politik Ekonomi Belanja Transfer:

Kajian atas Matching Grant di Indonesia

PROPOSAL

Oleh :

IMAN SUFRIAN

NPM. 1206313974

Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi

Fakultas Ekonomi

UNIVERSITAS INDONESIA

2015

Page 29: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

DAFTAR ISI

I

II

III

PERMASALAHAN UMUM

PERUMUSAN MASALAH (PERMASALAHAN PENELITAN)

TUJUAN PENELITIAN

1

8

9

IV REVIU LITERATUR 10

1. Literatur yang menekankan pada keputusan dana transfer di tingkat pemerintah

pusat

a. Model Distributive Politics;

2. Literatur yang menekankan pada keputusan pemerintah daerah sebagai respon

penerimaan dana transfer

a. Model kurva indifference uangan publik klasik (Teori keuangan publik klasik);

b. Model keputusan politik di tingkat pemerintah daerah.

3. Literatur yang menekankan pada interaksi keputusan di tingkat pemerintah pusat

dan keputusan di tingkat pemerintah daerah dalam konteks kebijakan dana transfer

a. Model principal-agen;

b. Model game teori non-cooperative;

c. Model endogenous grant.

11

11

15

17

V

VI

VII

KERANGKA KONSEPTUAL

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

JENIS DAN SUMBER DATA

20

26

26

Page 30: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Volden (2007) mengidentifikasi setidaknya 4 keputusan yang berbeda namun

saling terkait dalam proses kebijakan dana transfer yang dilakukan oleh pemerintah baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Masing-masing keputusan tersebut telah

banyak dikaji baik secara teoritis maupun empiris. Keputusan-keputusan tersebut adalah:

1. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah pusat menetapkan alokasi dana transfer

kepada pemerintah daerah;

2. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah pusat menentukan syarat dan ketentuan

yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah yang akan menerima dana transfer;

3. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah daerah memutuskan menerima/menolak

dana transfer pemerintah pusat;

4. Pembuat kebijakan di tingkat pemerintah daerah menetapkan kebijakan alokasi

belanja di tingkat pemerintah daerah.

Selanjutnya Volden (2007) juga mengklasifikasikan landasan teoritis untuk ke-empat

jenis keputusan di atas yang terbagi atas 3 kelompok teori yaitu:

1. Kajian teori yang menekankan pada keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat

(keputusan satu dan dua);

Model penting yang dilandasi oleh kajian teori kelompok ini adalah model

distributive politics. (Volden, 2007) mengkategorikan model distributive politics atas

dua jenis yaitu model implisit dari distributive politics maupun model eksplisit dari

distributive politics. Model implisit dari distributive politics tidak memodelkan proses

bargaining dalam suatu pengambilan keputusan politik karena diasumsikan bahwa

politisi memiliki bias atas kepentingan politiknya yang mengakibatkan kebijakan

ekonomi yang dilakukan melalui suatu proses politik tidak efisien. Hal ini dikenal

dengan adanya permasalahan common pool problem (contoh model implisit

distributive politics dikembangkan oleh Weingast et al,1981). Sedangkan model

eksplisit dari distributive politics memodelkan proses bargaining dalam suatu

pengambilan keputusan politik (contoh proses yang dimodelkan adalah proses

bargaining dalam lembaga perwakilan/legislatif atau legislative bargaining yang

dikembangkan oleh (Baron, 1989)).

Page 31: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Alternatif pengelompokan model distributive politics adalah non-partisan distributive

politics dan partisan distributive politics (Levit dan Poterba,1999). Non-partisan

distributive politics theory pada dasarnya menekankan pada efek

keterwakilan/representativeness dalam lembaga legislative terhadap distribusi dana

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Asumsi utama dari model ini adalah

setiap anggota legislatif memiliki kecenderungan untuk mendorong/mendukung

alokasi sumber daya pemerintah pusat untuk daerah pemilihannya baik secara implisit

(common pool problem) maupun secara eksplisit melalui proses legislative

bargaining. Dengan demikian model non-partisan distributve politics menekankan

pada insentif bagi individu legislator dalam pengampilan keputusan alokasi sumber

daya publik (Levit dan Poterba, 1999). Sedangkan partisan distributive politics theory

menekankan pada efek strategi partai politik dalam rangka mempertahankan suara

konstituen dengan cara mempengaruhi alokasi sumber daya pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Berbeda dengan model sebelumnya, model partisan distributive

politics menekankan pada kepentingan partai politik dalam rangka mempertahankan

konstituen di daerah pemilihan tertentu (Levit dan Poterba, 1999).

Berbagai kajian empiris telah dilakukan dengan model distributive politics sebagai

landasan teorinya. Sebagai contoh, kajian-kajian mengenai keputusan alokasi bantuan

pemerintah federal/pemerintah pusat kepada pemerintah negara bagian/pemerintah

daerah melalui suatu proses politik pada lembaga perwakilan/legislatif dipengaruhi

antara lain oleh variabel-variabel koalisi, posisi kunci anggota legislatif dan pimpinan

partai politik, serta hal lain yang menjadi perhatian di tingkat pemerintah pusat seperti

persaingan di antara partai politik (Volden, 2007). Model distributive politics juga

digunakan sebagai landasan teori untuk kajian terkait bagaimana pemerintah pusat

menetapkan syarat dan ketentuan terhadap suatu alokasi dana transfer kepada

pemerintah daerah. Sebagai contoh alokasi dana jalan bebas hambatan (highway

funds) kepada negara bagian di Amerika Serikat dikaitkan dengan ketentuan batas

kecepatan berkendara yang ditetapkan oleh pemerintah negara bagian (Volden, 2007).

Volden (2007) memandang bahwa kegunaan model distributive politics mampu

menjelaskan kapan, dimana dan bagaimana ketentuan dana bantuan pemerintah pusat

dialokasikan kepada pemerintah daerah.

Page 32: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

2. Kajian teori yang menekankan pada keputusan yang dilakukan oleh pemerintah

daerah (keputusan tiga dan empat);

Kajian teori yang menekankan pada keputusan-keputusan yang diambil oleh

pemerintah daerah terdiri atas dua kelompok teori yaitu teori keuangan publik klasik

yang memanfaatkan model kurva indifferens dengan kendala anggaran yang

dikembangkan antara lain oleh Scot (1952) dan Wilde, (1971) serta teori politik yang

secara khusus menekankan pada proses politik di tingkat pemerintah daerah yang

dikembangkan antara lain oleh Romer (1980).

Kajian empiris yang dilandasi oleh kelompok teori ini mempelajari bagaimana

pemerintah daerah mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan apakah suatu

pemerintah daerah menerima dana transfer dari pemerintah pusat serta respon

pemerintah daerah atas dana transfer yang diterimanya (Volden, 2007). Kontribusi

kajian-kajian empiris pada kelompok ini antara lain adalah adanya bukti respon

asimetris oleh pemerintah daerah akibat adanya kenaikan dan penurunan dana

bantuan pemerintah pusat seperti yang dilakukan antara lain oleh Volden (1999) dan

Gamkhar (2000). Selain itu kajian empiris pada kelompok ini mengungkap adanya

fenomena “fly paper effect” yang menyatakan bahwa dampak transfer pemerintah

pusat terhadap belanja publik oleh pemerintah daerah lebih besar dari dampak

pendapatan pajak daerah terhada belanja publik oleh pemerintah daerah (Volden,

1999). Berbagai kajian mengenai fenomena fly paper effect antara lain oleh Inman

(2008) ; Bailey dan Connolly (1998). Inman (2008), menyatakan bahwa dari beberapa

kandidat yang dapat menjelaskan fly paper effect, faktor politiklah yang merupakan

penjelasan yang terbaik.

3. Kajian teori yang menggabungkan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah ke dalam satu model (keputusan satu sampai empat);

Kajian teori pada kelompok ini menggabungkan keputusan-keputusan di tingkat

pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam satu model. Salah satu model

kategori ini merujuk pada model principal-agent untuk menggambarkan interaksi

antara politisi pemerintah pusat dan birokrasi pemerintah pusat. Selanjutnya birokrasi

pemerintah pusat menyusun ketentuan terkait kebijakan dana transfer bagi pemerintah

Page 33: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

daerah serta melakukan pemantauan atau pengawasan atas ketentuan oleh pemerintah

daerah seperti yang dikembangkan oleh Chubb (1985).

Chubb (1985) juga melakukan pengujian empiris untuk model yang

dikembangkannya untuk dua jenis dana transfer pemerintah pusat yaitu dana transfer

yang bersifat conditional, close-ended matching maupun conditional, close-ended

lump sum. Chubb (1985) menyimpulkan bahwa model ekonomi tanpa

memperhitungkan faktor politik tidak dapat secara baik menjelaskan dampak

pemberian dana transfer pemerintah pusat terhadap keputusan alokasi belanja

pemerintah daerah. Faktor politik yang diidentifikasi berperan dalam keputusan

pemberian dana transfer adalah faktor ideologi serta motivasi untuk memenuhi

permintaan konstituen pada tingkat pemerintah pusat baik oleh anggota kongres

maupun birokrat di tingkat pemerintah pusat.

Volden (2007), mengkritisi model-model yang hanya menekankan pada keputusan di

satu tingkat pemerintahan (pemerintah pusat/daerah secara terpisah). Hal ini

disebabkan karena model-model tersebut mengabaikan adanya keterkaitan dalam

keputusan-keputusan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah. Sebagai contoh besarnya dana transfer dan syarat-syarat yang dikenakan atas

penyaluran dana transfer oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh respon

pemerintah daerah serta kemungkinan respon oleh pemerintah daerah atas dana

transfer yang akan diberikan oleh pemerintah pusat juga dipengaruhi oleh formulasi

dana transfer yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Volden (2007) juga mengkritisi

keterkaitan keputusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pendekatan

prinsipal-agent model. Argumennya adalah pendekatan principal-agent model tidak

menggambarkan realitas hubungan antara peerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pemerintah daerah pada suatu sistem federasi berbeda dengan birokrat di tingkat

pemerintah pusat yang menjalankan visi politisi tingkat pemerintah pusat. Pemerintah

daerah daerah juga memiliki sumber pembiayaan yang terpisah dan juga kekuatan

politik dan harus merespon konstituen di tingkat lokal yang dapat berbeda dengan

keinginan politisi di tingkat pemerintah pusat.

Page 34: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

Selanjutnya, Volden (2007) mengusulkan pendekatan berbeda untuk kelompok teori

kategori ini yaitu dengan menekankan pada aspek adanya kompetisi antara

pemerintah/politisi di tingkat pemerintah pusat dengan pemerintah/politisi di tingkat

daerah yang mempengaruhi sistem dan mekanisme transfer dana antar pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah. Diasumsikan bahwa dana transfer pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah merupakan dana transfer dengan kategori lump-sum grant.

Knight (2002) memodifikasi model Bradford dan Oates (1971) dengan

mengasumsikan bahwa terjadi endogeinity antara pemberian grant oleh pemerintah

pusat dengan respon alokasi belanja publik oleh pemerintah daerah.Volden (2007)

memandang kajian Knight (2002) sebagai kajian dengan kategori yang berbeda dari 3

kelompok teori yang mengkaji kebijakan dana transfer karena model yang

dikembangkan memasukkan unsur hubungan simultan pemerintah pusat dan

pemerindah daerah namun tidak dalam bentuk hubungan principal – agent seperti

yang dikembangkan oleh Chub (1985). Knight menggunakan rujukan model

mengenai keterkaitan antara belanja transfer pemerintah pusat dengan alokasi belanja

publik oleh pemerintah daerah penerima bantuan yang dikembangkan oleh Bradford

dan Oates (1971). Knight (2002) menambahkan adanya endogeinity atau hubungan

antara variabel preferensi politisi pada pemerintah federal dengan alokasi dana

transfer kepada pemerintah negara bagian di Amerika Serikat melalui variabel

keterwakilan negara bagian pada lembaga legislatif di tingkat pemerintah federal.

Endogeinity tersebut sudah mulai dikembangkan di era awal tahun 1970-an. Model

yang sederhana dikembangkan oleh Bradford dan Oates (1971) yang memprediksi

bahwa belanja publik yang merupakan transfer dari pemerintah pusat akan

mengakibatkan efek crowd out terhadap alokasi belanja publik di tingkak pemerintah

daerah. Model yang dikembangkan oleh Bradford dan Oates ini memperlakukan

transfer pemerintah pusat sebagai variabel eksogen bagi pemerintah daerah penerima

bantuan. Model ini telah banyak diuji secara empiris, namun banyak hasil penelitian

empiris hanya menemukan efek crowd out yang lemah bahkan beberapa kajian

menemukan bahwa transfer pemerintah pusat memberikan efek crowd in terhadap

belanja publik oleh pemerintah daerah (Knight, 2002). Efek crowd in dari belanja

Page 35: Proposal Disertasi- Kumpul 5 Agustus 2015

20

publik oleh pemerintah daerah sebagai respon dari belanja transfer oleh pemerintah

pusat disebut fly paper effect (Knight, 2008).

Knight (2002) melakukan pengujian empiris atas model endogeinity belanja transfer

pemerintah federal di Amerika Serikat dengan alokasi belanja publik oleh pemerintah

negara bagian untuk program bantuan jalan pemerintah federal yang merupakan suatu

bentuk grant dengan karakteristik open ended, matching grant. Hasil kajian ini

menyimpulkan adanya fenomena crowd out pada alokasi belanja pemerintah negara

bagian dengan sebagai adanya endogeinity antara pemberian bantuan dengan alokasi

belanja pada pemerintah negara bagian.