PROP-KU
description
Transcript of PROP-KU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Material nanokristal ferromagnetik merupakan material yang menarik
perhatian para peneliti beberapa tahun terakhir ini. Salah satunya adalah oksida
heksagonal ferit atau lebih dikenal dengan sebutan heksaferit. Barium heksagonal
ferit (BaM) merupakan material heksaferit yang paling banyak dimanfaatkan
secara komersial dan hingga kini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mengembangkan material tersebut baik dari segi fabrikasinya maupun
penggunaannya (Dimri dkk, 2004).
Barium heksaferit dan seluruh turunannya memiliki sifat magnet yang spesifik
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai magnet permanen, media peredam magnetik
dan peralatan aplikasi gelombang mikro lainnya. Kemampuan bahan ferit
heksagonal sebagai peredam gelombang elektromagnetik inilah yang diharapkan
dapat diaplikasikan sebagai bahan antiradar yang sangat diperlukan dalam
pertahanan militer negara.
Beberapa sintesis partikel nano yang telah dilaporkan dalam jurnal
internasional sebelumnya diantaranya adalah metode prekursor sitrat , high-energy
ball milling (HEBM) process, gel self-propagating combustion (GSPC) technique,
metode sol-gel, reaksi larutan padat dan metode kopresipitasi. Dari sekian metode
yang dipaparkan dalam beberapa jurnal, metode kopresipitasi merupakan metode
yang paling sederhana untuk dilakukan, membutuhkan waktu yang relatif lebih
cepat dan temperatur pemanasan yang lebih rendah.
Hsiang dkk (2007) menggunakan metode kopresipitasi dengan bahan dasar
, , dan dengan kondisi pH 13. Fasa
kristalin terbentuk sempurna pada temperatur 600 ºC selama 2 jam.
Lisjak dkk (2006) memanfaatkan metode kopresipitasi dengan bahan dasar
, , yang dilarutkan dalam etanol atau aquades dan
diendapkan dalam dengan pH 13. Mereka menciptakan variasi keadaan
yang bergantung pada jenis garam pereaksi, suasana ketika proses pengendapan
(dialirkan gas Ar atau udara), proses aging, waktu dan temperatur kalsinasi.
1
Secara umum fasa kristalin berukuran nanometer mulai terbentuk
pada temperatur 500ºC meskipun berupa fase amorfus dan terbentuk sempurna
ketika mencapai temperatur ≥700ºC.
Lisjak dkk (2007) menyempurnakan pekerjaan sebelumnya dengan
menggunakan bahan dasar , , , , yang
dilarutkan dalam ethanol atau aquades dan diendapakan dalam pada pH
13. Hasil yang sama diperoleh seperti penelitian sebelumnya. Dan fasa
terbentuk sempurna pada temperatur kalsinasi 600ºC selama 5 jam,
bahkan hanya 1 jam pada 700-800 ºC.
Dari penelitian Lisjak dkk di atas disimpulkan bahwa pembentukan
dengan metode kopresipitasi dapat tercapai melalui 2 mekanisme,
yaitu (i) tidak langsung, melalui fasa peralihan ( ) dan (ii) langsung dari
fasa prekursornya ( ). Pada mekanisme kedua, pembentukan
membutuhkan temperatur yang lebih rendah dibandingkan mekanisme pertama.
Berdasarkan hasil di atas, diusulkan penelitian untuk mensintesis serbuk
berfasa tunggal berukuran partikel < 100 nm dengan metode
kopresipitasi pada variasi temperatur rendah dengan bahan dasar ,
dan pasangan asam-basa kuat yaitu sebagai pelarut serta sebagai
pengendapnya. Pasangan asam-basa kuat tersebut merupakan media yang baik
karena mudah dihilangkan melalui proses pencucian dengan aquades maupun
pemanasan pada temperatur rendah. Sehingga diharapkan serbuk
dapat terbentuk sempurna dan tidak ada impuritas lain di dalamnya.
Karakterisasi serbuk hasil penelitian dilakukan menggunakan difraktometri
sinar-X. Adapun analisis kuantitatif data difraksi dilakukan dengan software
Rietica atau Maud. Analisis termal dilakukan menggunakan uji DTA/TGA. Dan
untuk mengetahui distribusi fase serta mikrostrukturnya menggunakan uji SEM.
1.2 Perumusan Masalah
2
Permasalahan yang akan ditangani dalam penelitian ini adalah bagaimana
pengaruh bahan dasar terhadap temperatur pemanasan pada penerapan metode
kopresipitasi dalam proses fabrikasi partikel nano .
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan partikel nano dengan metode
kopresipitasi pada temperatur rendah.
1.4 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada sintesis partikel nano .
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai metode
sintesis kopresipitasi untuk menghasilkan partikel nano sehingga
dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Barium Heksaferit ( )
Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, heksaferit dikelompokkan
menjadi 5 tipe, yaitu : tipe-M , tipe-W , tipe-X
, tipe-Y , tipe-Z dan
tipe-U (Özgüri dkk, 2009). Barium heksaferit memiliki rumus
kimia . Sel komplek barium heksaferit tersusun atas 2
sistem kristal yaitu struktur kubus-pusat-sisi (face-centered-cubic) dan heksagonal
mampat (hexagonal-close-packed) seperti terlihat pada Gambar 2.1 .
Gambar 2.1. Struktur kristal (wikipedia.com, 2009)
Sruktur memanjang ke arah sumbu z dengan c = 23,2 A˚ dan a =
5,88 A˚. Ion-ion dan memiliki ukuran yang besar, hampir sama dan
bersifat non magnetik. Keduanya tersusun dalam model close pecked (tertutup).
Ion menempati posisi interstisi. Ion yang bersifat magnet dalam
hanyalah ion , tiap-tiap ion dengan nilai momen magnetik .
Gambar 2.2 menunjukkan skema struktur kristal . Tanda panah
pada ion Fe menunjukkan arah polarisasi spin. 2a, 12k, dan 4f2 adalah struktur
oktahedral, 4f1 adalah struktur tetrahedral, dan 2b adalah struktur heksahedral
(trigonal bipiramida). Satu unit sel berisi 38 ion O2-, 2 ion Ba2+, dan 24 ion Fe3+.
Ion Fe3+ dalam 12k, 2a dan 2b (16 atom tiap satu unit sel) memiliki spin up,
4
: ion O2-
: ion Ba2+
: ion Fe3+
sedangkan ion Fe3+ dalam 4f1 dan 4f2 (8 atom tiap satu unit sel) memiliki spin
down, maka jumlah totalnya adalah 8 spin up. Oleh karena itu, momen magnet
total setiap satu unit se; adalah 8 x 5 = 40 yang berisi dua ion Ba2+. Sub unit
R dan S menunjukkan rumus kimia R = dan S = .
Asterix (*) menunjukkan bahwa sub-unit berotasi 180º mengelilingi sumbu
heksagonal.
Gambar 2.2 Skema struktur kristal (Özgüri dkk, 2009)
Barium heksaferit merupakan material magnetik dengan medan anisotropik
yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan pada frekuensi yang lebih tinggi
daripada ferit spinel atau garnet (di atas 30 GHz). Kristal magnet anisotropik
berasal dari struktur kristal dengan anisotropik tinggi. Pertumbuhan butir struktur
5
kristal tersebut juga bersifat anisotropik, dengan bentuk morfologi seperti bidang
heksagonal yang memberikan peningkatan sisi anisotropiknya. Akibatnya, Barium
heksaferit menghasilkan koersifitas tinggi. Syarat itulah yang harus dimiliki oleh
magnet permanen.
Berbagai macam metode telah dilakukan untuk menghasilkan serbuk BaM
diantaranya adalah : metode prekursor sitrat , high-energy ball milling (HEBM)
process, gel self-propagating combustion (GSPC) technique, metode sol-gel,
reaksi larutan padat dan metode kopresipitasi. Dari sekian metode yang
dipaparkan dalam beberapa jurnal, metode kopresipitasi merupakan metode yang
paling sederhana untuk dilakukan, membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat
dan temperatur pemanasan yang lebih rendah.
Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Lisjak dkk (2007), pembentukan
BaM dengan metode kopresipitasi dapat tercapai melalui 2 mekanisme, yaitu : (i)
langsung dari fase precursornya, (ii) tidak langsung, melalui BaFe2O4 sebagai fase
intermediate. Pada mekanisme pertama, pembentukan BaM membutuhkan
temperatur yang lebih rendah karena energi aktivasi lebih rendah dibandingkan
mekanisme kedua. BaCO3 dibentuk dari prekursor selama proses preparasi
dilakukan. Pembentukan BaFe2O4 dan BaFe12O19 dimulai dengan proses degradasi
BaCO3 pada temperatur 700-900˚ C. Jadi, pembentukan BaCO3 dibutuhkan untuk
membentuk BaFe12O19 pada temperatur rendah. Berikut reaksi kimia yang terjadi :
………………(2.1)
………………………………….…(2.2)
.........................................................(2.3)
......................(2.4)
..................................(2.5)
.......................................................(2.6)
Berikut ini beberapa referensi pola difraksi sinar X serbuk yang
diperoleh dari beberapa jurnal internasional.
6
Gambar 2.3 Pola difraksi sinar X File JCPDS standrat (27-1029)
(Shepperd dkk,2006)
Gambar 2.4 Pola difraksi sinar X standart µPDSM No. 84-0757
(Lisjak dkk, 2006)
Gambar 2.5 Pola difraksi sinar X File JCPDS standart (40-0002) (Lee dkk, 2010)
2.2 Barium Karbonat (Ba CO 3)
Barium karbonat atau dikenal dengan sebutan witherite, adalah senyawa kimia
yang biasa digunakan sebagai bahan dasar racun tikus, batu bata, gelas keramik
dan semen.
Struktur kristal dari barium karbonat adalah sistem ortorombik. Barium
karbonat dapat berubah menjadi barium sulfat oleh reaksi air yang mengandung
kalsium sulfat. Secara komersil barium karbonat dibuat secara komersil dari
7
barium sulfide baik melalui perlakuan dengan sodium karbonat pada suhu 60 ˚ C
sampai 70˚ C atau menambahkan karbon dioksida pada 40˚ C sampai 90˚ C.
Reaksi kimia barium karbonat dengan beberapa larutan asam untuk
mendapatkan garamnya, sebagai contoh reaksi barium karbonat dengan asam
klorida dapat menghasilkan barium klorida seperti reaksi di bawah ini:
BaCO3(s) + 2 HCl(aq) → BaCl2(aq) + CO2(g) + H2O(l).................................(2.7)
2.3 Besi (III) klorida ( )
Besi(III) klorida atau ferit klorida, adalah suatu senyawa kimia yang
merupakan komoditas skala industri dengan rumus kimia FeCl3. Senyawa ini
umumnya digunakan dalam pengolahan limbah, produksi air minum maupun
sebagai katalis, baik dalam industri maupun laboratorium.
Gambar 2.6 Serbuk (wikipedia.com, 2009)
Warna dari kristal besi (III) klorida tergantung pada sudut pandangnya: dari
cahaya pantulan ia berwarna hijau tua, tapi dari cahaya pancaran ia berwarna
ungu-merah. Besi (III) klorida bersifat berbuih di udara lembap, karena
munculnya HCl, yang terhidrasi membentuk kabut. Bila dilarutkan dalam air, besi
(III) klorida mengalami hidrolisis yang merupakan reaksi eksotermis
(menghasilkan panas). Hidrolisis ini menghasilkan larutan yang kuning
kecoklatan , asam, dan korosif yang digunakan sebagai koagulan pada pengolahan
limbah dan produksi air minum. Larutan ini juga digunakan sebagai pengetsa
untuk logam berbasis-tembaga pada papan sirkuit cetak (PCB). Besi(III) klorida
memiliki titik lebur yang relatif rendah dan mendidih pada 315 °C. Uapnya
merupakan di-mer Fe2Cl6, yang pada suhu yang semakin tinggi lebih cenderung
8
terurai menjadi monomer FeCl3, daripada penguraian reversibel menjadi besi(II)
klorida dan gas klorin.
2.4
Besi (III) oksida
Besi (III) oksida atau dikenal juga dengan nama bijih besi adalah salah satu
senyawa oksida dari besi dan mempunyai rumus kimia Fe2O3 yang mempunyai
sifat paramagnetik. Ada beberapa fasa besi (III) klorida, yaitu :
2.4.1 Bentuk alfa
α-Fe2O3 atau hematite mempunyai struktur rombohedral, seperti corundum (α-
Al2O3) merupakan bentuk yang paling banyak ditemukan. Senyawa dalam bentuk
ini terbentuk secara alamiah sebagai mineral bijih besi yang ditambang sebagai
bijih besi utama. Senyawa ini bersifat antiferromagnetik di bawah suhu ~260 K
(suhu transisi Morin), dan ferromagnetik lemah antara 260 K dan 950 K (suhu
Neel). Besi(III) oksida mudah disiapkan menggunakan dekomposisi termal dan
pengendapan dalam suatu cairan. Sifat magnetiknya dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti tekanan, ukuran partikel, dan intensitas medan magnet.
(a) (b)
Gambar 2.7 a.) Struktur kristal α-Fe2O3 b.) serbuk Fe2O3 (wikipedia.com, 2009)
2.4.2 Bentuk beta
β-Fe2O3 mempunyai struktur kristal face centered cubic, metastabil, pada suhu
di atas 500 °C berubah ke bentuk alfa. Besi (III) oksida dalam bentuk ini bisa
disiapkan dengan cara reduksi dari bijih besi oleh karbon, pyrolysis dari larutan
besi (III) klorida, atau dekompsisi termal dari besi (III) sulfat.
9
2.4.3 Bentuk gamma
γ-Fe2O3 berbentuk kubik, metastabil, berubah ke bentuk alfa saat suhu tinggi.
Terbentuk secara alamiah sebagai mineral maghemite dan bersifat ferimagnetik.
Partikel yang berukuran lebih kecil dari 10 nanometer merupakan
superparamagnetik. Bisa disiapkan dengan dehidrasi termal dari gamma besi (III)
oksida-hidroksida, oksidasi dari besi (II,III) oksida dengan hati-hati. Partikel-
partikel yang berukuran sangat kecil bisa disiapkan dengan cara dekomposisi
termal dari besi (III) oksalat.
2.4.4 Bentuk epsilon
ε –Fe2O3 berbentuk seperti belah ketupat, memperlihatkan sifat perantara
antara bentuk alfa dan gamma. Sejauh ini tidak disiapkan dalam bentuk murninya,
melainkan selalu tercampur dengan bentuk alfa atau gamma. Bahan dengan kadar
besi (III) oksida dengan bentuk epsilon tinggi bisa disiapkan dengan transformasi
termal dari bentuk gamma. Bentuk epsilon ini metastabil, berubah ke bentuk alpha
pada suhu antara 500˚C dan 750˚C. Bisa juga disiapkan dengan cara oksidasi dari
besi atau dengan cara pengendapan sol-gel dari besi (III) nitrat.
2.5 Sifat kemagnetan bahan
Dalam fisika, magnetisme adalah salah satu fenomena dimana material
mengeluarkan gaya menarik atau menolak pada material lainnya. Beberapa
material yang memiliki sifat magnet adalah besi, dan beberapa baja, namun
seluruh material pasti terpengaruh walaupun sedikit saja oleh kehadiran medan
magnet meskipun dalam kebanyakan kasus pengaruhnya sangat kecil untuk
dideteksi tanpa alat khusus.
Berdasarkan sifat kemagnetannya, material digolongkan menjadi dua bagian:
1. Golongan pertama:
Momen tunggal
Antara satu atom dengan atom yang lain tidak saling mempengaruhi
Ada dua klasifikasi:
10
a. Diamagnetik ( bahan yang ditolak oleh medan magnet), diamagnetik
merupakan sifat universal dari atom karena terjadi gerakan elektron pada
orbitalnya mengelilingi nukleus. Elektron dengan gerakan seperti ini
merupakan suatu rangkaian listrik dan dari hukum Lenz diketahui bahwa
gerakan ini diubah oleh medan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga
menimbulkan gaya tolak. Diamagnetik terjadi pada material-material yang
semua spinnya berpasangan.
Beberapa contoh material diamagnetik adalah sebagai berikut :
(i) Gas seperti hidrogen, nitrogen, klorin, dan bromida. Gas mulia
seperti He, Ne, Ar, Kr, Xe.
(ii) Elemen kimia dari grup IIA (2); grup IIIA(13) : B, Ga, In, Ti; grup
IVA(14) : C, Si, Ge, Pb; grup VA(15): P, As, Sb, Bi; grup
VIA(16): S, Se, Te; grup IA(11): Cu, Ag dan Au; grup IIA(12): Zn,
Cd, Hg;
(iii) Material kristal padat seperti magnesia (MgO) dan intan.
(iv) Superkonduktor tipe I
b. Paramagnetik, terdapat kelebihan spin tanpa pasangan yang
menghasilkan resultan momen magnetik. Pada material ini apabila diberi
medan eksternal, akan timbul sifat kemagnetan bahan tetapi sangat kecil.
Material yang termasuk golongan ini misalnya BaFe2O4.
2. Golongan kedua :
Orientasi coupling magnetic
Penggandengan momen
Antara satu atom dengan yang lain saling mempengaruhi
Ada tiga klasifikasi:
a. Feromagnetik, pada material ini semua spin paralel dan sejajar. Seperti
pada material paramagnetik, pada material feromagnetik sifat kemagnetan
bahan berasal dari spin elektron. Namun pada material ini dapat dihasilkan
magnet permanen. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan dari spin
elektron untuk tidak berubah arah meskipun medan ditiadakan. Material
logam yang termasuk feromagnetik antara lain: besi, iron, kobal, dan nikel.
11
b. Anti-feromagnetik, material jenis ini momen bersih dari atom
bertetangga mempunyai arah berlawanan, yaitu anti paralel. Jika diberi
medan luar, maka akan timbul sifat kemagnetan bahan, tetapi akan hilang
apabila medan ditiadakan. Contoh bahan anti-feromagneti antara lain:
CoO, MnO,dan CuCl2.
c. Ferimagnetik, beberapa material magnetik mempunyai sifat diantara
feromagnetik dan antiferomagnetik. Hal ini terjadi apabila momen dalam
satu arah tidak sama dengan momen dalam arah lain. Jika bahan
ferimagnetik diberi medan eksternal maka timbbul sifat kemagnetan, tetapi
masih ada momen sisa ketika medan eksternal ditiadakan.
Gambar 2.5 menunjukkan momen magnetik dalam tiga tipe magnetisasi.
Tanpa medan ada medan magnet magnet luar (H=0) luar (H)
Gambar 2.8 Momen magnetik dalam magnetisasi material
(Callister, 1985)
2.6 Metode Kopresipitasi
Kopresipitasi merupakan salah satu metode basah yang melibatkan reaksi
kimia di dalamnya dan digunakan dalam fabrikasi serbuk nanokristalin Al2O3,
MgO, spinel MgAl2O4, , dan serbuk keramik lainnya. Pada metode
tersebut, serbuk dasar dilarutkan dalam larutan asam kuat dan dihasilkan produk
garam metal. Kemudian ditambahkan larutan basa sedikit demi sedikit sambil
diaduk untuk menghasilkan endapan yang memiliki homogenitas
tinggi. Homogenitas larutan ditentukan oleh lamanya bahan bereaksi dan
12
temperatur yang digunakan. Hasil endapan tersebut selanjutnya disaring dan
dibilas dengan aquades untuk menghilangkan sisa asam dan kotoran lainnya.
Biasanya digunakan senyawa-senyawa karbonat sebagai bahan pengendap
yaitu NaOH. Hanya saja kerugiannya adalah kation-kation Na+ dapat diabsorpsi
oleh endapan hidroksida, sedangkan pencucian untuk membebaskan endapan dari
kation-kation ini sangat sulit dilakukan. Pengotoran seperti ini yang menurunkan
mutu alumina yang dibuat. Penggunaan lebih menguntungkan, karena
sisa yang mengotori endapan dapat dihilangkan dengan jalan
memanaskan endapan pada suhu tinggi.
Pada dasarnya terdapat aturan umum yang menyatakan bahwa suatu partikel
bulat haruslah berdiameter lebih besar dari ±10-4 cm agar mengendap di dalam
larutan sebagai endapan. Partikel dengan garis tengah 10-4 sampai dengan 10-7 cm
disebut koloid. Proses pengendapan ditunjukkan pada Gambar 2.15. Jika beberapa
koloid berkoagulasi mengangkut turun sejumlah besar air maka akan
menghasilkan endapan mirip selai yang disebut gel atau hidrogel dengan air
sebagai pelarutnya. Secara kimia, serbuk yang dipresipitasi mempunyai
kemurnian yang tinggi, ukuran partikel kecil dan kecenderungan untuk
beraglomerasi.
Gambar 2.8 Perubahan ukuran partikel pada proses pengendapan (Day, 1989)
Reaksi yang terjadi pada pembentukan endapan pada proses
kopresipitasi adalah sebagai berikut :
…………………………………...…(2.8)……………………………..…
(2.9)
(2.10)
BAB III
13
METODOLOGI
3.1 Preparasi Sampel dan Sintesis
Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah , ,
12,063 M, 6,5 M, dan aquades. Sedangkan peralatan yang digunakan
adalah pengaduk magnet (stirring magnetic), timbangan digital, oven, furnace, pH
meter, piknometer untuk menghitung densitas serbuk sintesis, termometer digital,
gelas beker, gelas ukur, spatula, pipet dan bohlam 75 watt untuk mengeringkan
endapan hasil sintesis.
Langkah-langkah sintesis adalah sebagai berikut. dilarutkan
dalam aquades dan diaduk menggunakan spatula hingga terlarut sempurna.
Sedangkan serbuk direaksikan dengan larutan menggunakan stirring
magnetic hingga terlarut sempurna. Komposisi bahan dihitung berdasarkan
stoikiometri reaksi kimia pada persamaan (2.8) sampai (2.10) seperti ditunjukkan
pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Komposisi material dasar
No Material Dasar Massa/Volume
1 dan aquades 10 gram dan 0,,67 ml
2 dan 0,61 gr dan 0,51 ml
3 Larutan 3,1 ml
4 Larutan 18,52 ml
Selanjutnya, larutan dimasukkan ke dalam larutan dan
yang berada di atas stirring magnetic. Apabila kedua larutan telah tercampur
dengan homogen, larutan ditambahkan sedikit demi sedikit hingga
terbentuk endapan. Hasil endapan tersebut dibilas dengan aquades dan diendapkan
menggunakan magnet. Pembilasan dilakukan hingga sisa asam, kotoran dan
impuritas di dalam endapan menghilang. Hal itu bisa dilakukan dengan mengukur
pH endapan menggunakan pH meter. Kemudian endapan dikeringkan
menggunakan bohlam 75 watt supaya terjadi penguapan sempurna. Hasil sintesis
yang telah kering diuji DTA/TGA untuk mengetahui temperatur terjadinya
14
transformasi fasa. Selanjutnya, sampel hasil sintesia dipanaskan dalam oven dan
furnace pada temperatur 150ºC, 200ºC, dan 250ºC dengan variasi waktu 1 jam dan
2 jam. Kemudian dilakukan uji XRD dan SEM untuk melakukan identifikasi fasa,
ukuran kristal dan mengetahui mikrostruktur sampel. Secara terperinci, diagram
alir penelitian dapat dilihat pada diagram 3.1.
Berikut ini diagram alir penelitian sintesis partikel nano dengan
metode kopresipitasi.
15
Uji DTA/TGA, XRD, SEM
+ (10 gr ) (0,67 ml)
+ (0,61 gr ) (0,51 ml)
+ +
Endapan
Pembilasan dengan aquades
Pemanasan 150ºC, 200ºC, dan 250ºC selama 1 dan 2 jam
Ditambahkan 3,1 ml
Ditambahkan 18,52 ml
Pengeringan dengan bohlam
Uji DTA/TGA
3.2 Karakterisasi Sampel
3.2.1 Uji DTA/TGA
16
dicampurkan
Karakterisasi sampel yang pertama kali dilakukan adalah uji DTA/TGA. DTA
(Differential Termal Analize) merupakan analisis termal yang mengukur
perbedaan suhu (ΔT) antara sampel dan material referen yang inert sebagai fungsi
dari suhu. Sedangkan TGA ( Termogravimetrik Analize) secara otomatis
merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi suhu dan waktu. Keduanya
adalah alat untuk melakukan analisis termal dengan tujuan penentuan reaksi
keadaan padat, dekomposisi termal, terjadinya transisi fasa dan penentuan
diagram fasa.
Pengujian dilakukan di Balai Penelitian Universitas Negeri Malang (UNM).
Analisis termal dilakukan pada temperatur 100-1300ºC dengan langkah
pengukuran 10ºC/menit.
3.2.2 Uji XRD
Identifikasi fasa sampel hasil sintesis dilakukan dengan melakukan pengujian
difraksi sinar-x Tipe Philips XPert MPD (Multi Purpose Diffractometer) di
Laboratorium Difraksi Sinar-X RC (Research Center) LPPM ITS Surabaya.
Karakterisasi pengukuran mengambil sudut 2θ mulai dari 20o hingga 70o dengan
step 0,004. Panjang geombang yang dipakai adalah CuKα 1,54 Ǻ, 40 kV, 30 mA.
Pengujian dengan XRD dilakukan untuk mengidentifikasi phasa yang terbentuk
dari hasil sintesis. Dari pola difraksi dapat diperkirakan ada tidanya fasa Kristal
atau masih amorf. Fasa Kristal ditunjukkan dengan adanya puncak-puncak
difraksi sedangkan fasa amorf ditunjukkan dengan pola difraksi yang berbentuk
punuk atau intensitas latar yang tidak teratur.
Proses identifikasi fasa didasarkan pada pencocokan data posisi-posisi puncak
difraksi terukur dengan basis data (database). Identifikasi fasa juga dinamakan
cari-dan-cocokkan (search-match) yang dapat dilakukan dengan cara manual atau
yang berbasis komputer.
Selain untuk mengetahui fasa apa saja yang terkandung didalam bahan yang
telah disintesis, karakterisasi XRD juga dilakukan untuk mengetahui ukuran
Kristal yang terbentuk. Ukuran Kristal yang terbentuk dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan Scharrer, yaitu:
17
D =
3.1
sedangkan perhitungan ralat ukuran kristalnya:
σD = D
3.2
dengan
λ = Panjang gelombang sinar-X (Å)
HL = Komponen peleran puncak lorenzian (rad)
HL,S = Komponen pelebaran puncak lorenzian standar (rad)
nilai HL dan HL,S merupakan output atau parameter keluaran dari analisis Rietveld.
Ukuran Kristal diasumsikan hanya bepengaruh pada fungsi lorentzian saja
(Pratapa, 2009).
3.3.3 Uji SEM (Scanning Electron Microscopy)
Untuk mengetahui mikrostruktur permukaan sampel hasil sintesis dilakukan
uji SEM (Scanning Electron Microscopys). Selain itu, dapat digunakan untuk
mengetahui ukuran partikel sampel. Uji SEM dilakukan di laboratorium COE
(Center of Energy) pada gedung robotika ITS Surabaya.
RENCANA DAN JADWAL KERJA SERTA PENYUSUNAN TESIS
18
Kegiatan penelitian berlangsung selama 6 bulan, dimulai bulan Pebruari 2011
sampai dengan Juni 2011 dengan rincian kegiatan sebagai berikut :
No KegiatanBulan Ke-
2 3 4 5 6 71 Studi Literatur2 Sintesa Material3 Pengambilan Data4 Analisis5 Penulisan Tesis6 Publikasi Ilmiah
DAFTAR PUSTAKA
19
Abdullah, Mikrajuddin. & Khairurrijal. ”Review: Karakterisasi Nanomaterial”,
Jurnal Nanoscience dan Teknologi vol.2, No.1, (Februari 2008).
Callister, Jr., W.D., ”Material Science and Engineering”, 1985.
Day, Jr, R. A dan Underwood, A.L. 1989. ”Analisis Kimia Kuantitatif”.
Jakarta:Erlangga.
Dimri, M.C, dkk. ”Electrical and magnetic properties of barium hexaferrite
nanoparticles prepared by citrate precursor method”, Ceramics
International 30, 1623-1626 (2004).
Hsing, Hsing-I & Ren-Qian Yao. ”Hexagonal Ferrite Powder Synthesis Using
Chemical Coprecipitation”. Material Chemistry and Physics 104 (2007) 1-
4.
Lee, Hye Moon dkk. ”Crystallization of Colloidal Amorphous Precursor Particles
into BaFe12O19 with Hexagonal Structure by Aerosol Anneling Process”.
Journal of Alloys and Compounds xxx (2010) xxx-xxx.
Lisjak, D. & Miha Drofenik. ”The low temperature formation of barium
hexaferrites”, Journal of the European Ceramic Society 26, 3681-3686
(2006).
Lisjak, D. & Miha Drofenik. ”The mechanism of the low temperature formation
of barium hexaferrites”, Journal of the European Ceramic Society 27,
4515-4520 (2007).
Pratapa, Drs, Suminar, M.Sc., Ph.D. 2009. ’’Analisis Data Difraksi Menggunakan
Metode Rietveld”. Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya.
Qiu, Jianxun, dkk. ”Microwave absorption of nanosized barium ferrite particles
prepared using high-energy ball milling”, Journal Powder Technology 154,
116-119 (2005).
Qiu, Jianxun. & Mingyuan Gu. ”Crystal structure and magnetic properties of
barium ferrite synthesized using GSPC and HEBM”, Journal of Alloys and
Compounds 415,209-212 (2006).
Shepherd, P, dkk. ”Magnetic and structural properties of M-type barium
hexaferrite prepared by co-precipitation”. Juornal of Magnetism and
Magnetic Materials 311, 683-692 (2007).
20
Özgür et al. ”Microwave Ferrites, Part 1: Fundamental properties”. Journal of
Material Science: Material in Electronics, 2009.
www.wikipedia.com . Barium Karbonat.
www.wikipedia.com . Besi (III) Klorida.
www.wikipedia.com . Besi Oksida.
www.wikipedia.com . Magnetisme .
21