Project Concept Note - World Bank · Web viewProposal-proposal akan disaring sehubungan dengan...

261
Dokumen Bank Dunia HANYA DIGUNAKAN UNTUK KEPERLUAN DINAS Laporan No: 46825 DOKUMEN PENILAIAN PROYEK HIBAH YANG DIUSULKAN SENILAI US$ 50 JUTA KEPADA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA UNTUK PROYEK VN-HANOI URBAN TRANSPORT PROJECT 5 Desember 2008 Dokumen ini didistribusikan secara terbatas dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas resmi penerimanya. Isi dokumen ini

Transcript of Project Concept Note - World Bank · Web viewProposal-proposal akan disaring sehubungan dengan...

Project Concept Note

Dokumen

Bank Dunia

HANYA DIGUNAKAN UNTUK KEPERLUAN DINAS

Laporan No: 46825

DOKUMEN PENILAIAN PROYEK

HIBAH YANG DIUSULKAN SENILAI

us$ 50 juta KEPADA

Republic Of Indonesia IF <> "" Republic Of Indonesia {borrower} \* MERGEFORMAT PEMERINTAH RepubliK Indonesia

UNTUK

PROYEK FASILITAS PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN EKONOMI - Aceh

5 Desember 2008

Dokumen ini didistribusikan secara terbatas dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas resmi penerimanya. Isi dokumen ini tidak boleh disingkapkan dengan cara-cara lain tanpa seizin Bank Dunia.

EKUIVALEN MATA UANG

(KURS BERLAKU PADA TANGGAL 1 DESEMBER 2008)

Satuan Mata Uang

=

Rupiah (IDR atau Rp.)

IDR 1,000

=

US$ 0.102

US$ 1

=

IDR 12,837

TAHUN ANGGARAN

1 Januari

31 Desember

SINGKATAN DAN AKRONIM

ADB

Asian Development Bank

AMDAL

Analisa Mengenai Dampak Lingkungan

BAPPEDA

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Pemerintah Aceh)

BAPPENAS

Departemen Perencanaan Pembangunan Nasional (Pemerintah Indonesia)

BPKP

Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan

BRR

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Aceh dan Nias

CAS

Country Assistance Strategy (Strategi Bantuan Negara)

CQ

Seleksi Berdasarkan Kualifikasi Konsultan

DIPA

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (Government of Indonesia annual budget allocation document)

EA

Analisa Lingkungan

EDFF

Economic Development Financing Facility (Proyek Fasilitas Pembiayaan Pembangunan Ekonomi)

EIA

Environmental Impact Assessment (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan/ AMDAL)

EMP

ESMF

EST

Environmental Management Plan (Rencana Pengelolaan Lingkungan)

Environmental and Social Management Framework (Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial)

External Support Team (Tim Pendukung Eksternal)

FM

Financial Management (Pengelolaan Keuangan)

FMS

Financial Management Specialist (Spesialis Pengelolaan Keuangan)

GoA

Government of Aceh (Pemerintah Aceh)

GOI

Government of Indonesia (Pemerintah Indonesia)

IBRD

International Bank for Reconstruction and Development (Bank Dunia)

ICB

International Competitive Bidding

IC

Individual Consultants (Konsultan Perorangan)

IDA

International Development Association

IFR

Interim Financial Report (Laporan Keuangan Sementara)

KPA

Kuasa Pengguna Anggaran

KPDT

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal

KPI

Indikator Kinerja Utama

LGIP

Local Government Annual Investment Plan (Rencana Investasi Tahunan Pemeritah Daerah)

MBD

MDF

Model Bidding Documents (Model Dokumen Lelang)

Dana Perwalian Multi Donor untuk Aceh dan Sumatra Utara

MOF

Departemen Keuangan (Depkeu)

MoU

MTR

Memorandum Kesepahaman

Review Jangka Menengah

NCB

National Competitive Bidding

NGO

Non-Governmental Organization (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM)

O&M

Operations and Maintenance (Operasi dan Pemeliharaan)

PGIP

Provincial Government Annual Investment Plan (Rencana Investasi Tahunan Pemerintah Provinsi)

OM

Operations Manual (Manual Operasional)

PA

Pengguna Anggaran

PMU

Project Management Unit (Unit Pengelola Proyek)

QBS

Quality-Based Selection (Seleksi Berdasarkan Kualitas)

QCBS

Quality and Cost Based Selection (Seleksi Berdasarkan Kualitas dan Biaya)

RFP

Permintaan Pengajuan Proposal

RKL/RPL

Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pengawasan Lingkungan

RPJMD

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Medium Daerah (Aceh)

SA

SBD

SIE

Rekening Khusus

Dokumen Lelang Standar

Entitas Pelaksana Sub proyek

SOE

Laporan Pengeluaran

SP2D

Surat Perintah Penyaluran Dana (dikeluarkan oleh KPPN)

SPP-LS

Surat Perintah Membayar Langsung (dikeluarkan oleh KPA)

SSS

Single-Source Selection (Pemilihan Sumber Tunggal)

TA

Bantuan Teknis

TOR

Kerangka Acuan Kerja (TOR)

UKL/UPL

Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pengawasan Lingkungan

UNDP

United Nations Development Program

Wakil Presiden:

James W. Adams

Direktur Negara:

Joachim von Amsberg

Direktur Sektor/Manajer Sektor:

Vikram Nehru/Tunc Uyanik

Ketua Tim Kerja:

Thomas A. Rose

Indonesia

PROYEK fasilitas pembiayaan pembangunan ekonomi - aceh

daftar isi

Page

1I. KONTEKS STRATEGIS DAN DASAR PEMIKIRAN

1a. masalah nasional dan sektor

3b. dasar pemikiran keterlibatan mdf dan bank dunia

4c. tujuan lebih penting yang disumbangkan proyek

4II. URAIAN PROYEK

4a. instrumen peminjaman

5b. tujuan pembangunan proyek dan indikator utama

6c. komponen proyek

7d. pelajaran yang diperoleh dan direfleksikan dalam desain proyek

9e. desain alternatif yang dipertimbangkan dan alasan penolakan

10III.PELAKSANAAN

10a. pengaturan kemitraan

10b. pengaturan kelembagaan dan pelaksanaan

12c.Pengawasan dan evaluasi outcomes/hasil

13d. strategi peralihan dan keinambungan

15e. risiko- resiko penting dan kemungkinan adanya aspek kontroversial

15f. syarat dan ketentuan hibah

17iv.RINGKASAN PENILAIAN

17a. analisan ekonomi dan keuangan

18b. teknis

18c. fidusia

20d. rencana aksi pemberantasan korupsi

22e. sosial

23f. lingkungan

24g. kebijakan pengamanan

25h. perkecualian kebijakan dan kesiapan proyek

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

LATAR BELAKANG NEGARA DAN SEKTOR

27

LAMPIRAN 2

PROYEK-PROYEK BESAR TERKAIT YANG DIBIAYAI BANK DUNIA DAN/ATAU LEMBAGA-LEMBAGA LAIN

50

LAMPIRAN 3

KERANGKA HASIL DAN PENGAWASAN

51

LAMPIRAN 4

URAIAN PROYEK YANG TERPERINCI

59

LAMPIRAN 5

BIAYA PROYEK

70

LAMPIRAN 6

RISIKO PENTING, TINDAKAN MITIGASI DAN PERINGKAT

72

LAMPIRAN 7

PENGATURAN PELAKSANAAN

78

LAMPIRAN 8

KAJIAN PENGELOLAAN KEUANGAN

100

LAMPIRAN 9

PENGATURAN PENGADAAN BARANG/JASA

112

LAMPIRAN 10

ANALISA EKONOMI DAN KEUANGAN

129

LAMPIRAN 11

MASALAH KEBIJAKAN PENGAMANAN

132

LAMPIRAN 12

RENCANA AKSI PEMBERANTASAN KORUPSI

141

LAMPIRAN 13

STRATEGI KOMUNIKASI

148

LAMPIRAN 14

PERSIAPAN PROYEK DAN SUPERVISI

152

LAMPIRAN 15

DOKUMEN DALAM ARSIP PROYEK

157

DAFTAR TABEL

TABEL 1

Pertumbuhan Ekonomi Di Aceh Tahun 2003-07

29

TABEL 2

PRODUKSI PERTANIAN DI ACEH

30

TABEL 3

KOMPOSISI PDB BERDASARKAN PENGELUARAN (%) TAHUN 2003-2006

32

TABEL 4

FORMASI MODAL BRUTO

32

TABEL 5

TENAGA KERJA ACEH TAHUN 2003-2007

33

TABEL 6

PELAKU REKONSTRUKSI DI SEKTOR MATA PENCAHARIAN DI ACEH

50

TABEL 7

KERANGKA DAN PENGATURAN PENGAWASAN HASIL

54

TABEL 8

BIAYA PROYEK DAN SUMBER PENDANAAN

70

TABEL 9

PERKIRAAN ALOKASI UNTUK KOMPONEN-KOMPONEN PROYEK

70

TABEL 10

BIAYA PENGELOLAAN PROYEK TERPERINCI (KOMPONEN 2)

71

TABEL 11

RISIKO PENTING DAN TINDAKAN MITIGASI YANG DIUSULKAN

72

TABEL 12

KAJIAN RISIKO DAN RINGKASAN TINDAKAN MITIGASI

101

TABEL 13

ALOKASI HIBAH

110

TABEL 14

RENCANA AKSI PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KONDISIONALITAS

111

TABEL 15

KAJIAN RISIKO UMUM

115

TABEL 16

KEBIJAKAN PENGAMANAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL

134

TABEL 17

PENGATURAN KELEMBAGAAN UNTUK PELAKSANAAN ESMF

137

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1

ANGKA PENGANGGURAN DI ACEH TAHUN 2002-2007

27

GAMBAR 2

INDEKS HARGA KONSUMEN DI ACEH DAN INDONESIA SETELAH TSUNAMI

31

GAMBAR 3

UPAH MINIMUM PROVINSI DI ACEH DIBANDINGKAN DENGAN TINGKAT NASIONAL

31

GAMBAR 4

SURVEI IFES TAHUN 2007: KEADAAN-KEADAAN SPESIFIK DI ACEH

34

GAMBAR 5

TINJAUAN SINGKAT METODOLOGI

43

GAMBAR 6

STRUKTUR UMUM PROYEK EDFF

79

GAMBAR 7

STRUKTUR ORGANISASI BAPPEDA DAN UNIT-UNIT PENGADAAN

118

INDONESIA

FASILITAS PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN EKONOMI - aceh

KAWASAN ASIA TIMUR DAN PASIFIK

EASPR - EASFP

Tanggal: 5 Desember 2008

Direktur Negara: Joachim von Amsberg

Direktur/Manajer Sektor: Vikram Nehru /Tunc Uyanik

ID Proyek: P109024

Instrumen Peminjaman: Hibah (MDF)

Ketua Tim: Thomas A. Rose

Sektor: Sektor Swasta

Tema: Pembangunan Sektor Swasta

Kategori Penyaringan Lingkungan: B

Kategori Penyaringan Pengamanan : Dampak Terbatas

Data Pembiayaan Proyek

[ ] Pinjaman [ ] Kredit [ X ] Hibah [ ] Jaminan [ ] Lain-lain:

Total Biaya Proyek: US$52,85 juta

Jumlah Hibah MDF: US$50 juta

Kontribusi Pemerintah: US$2.85 juta

Rencana Pembiayaan (US$ juta)

Sumber

Lokal

Asing

Total

Peminjam

2,85

0,0

2,85

MDF

5,0

45,0

50,0

Total

7,85

45,0

52,85

Penerima Hibah: Departemen Keuangan, Pemerintah Indonesia

Penanggung Jawab: Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) dan Pemerintah Aceh

Alamat: Jl. Abdul Muis No. 7 Jakarta Pusat, 10160

Contact Person: Untuk KPDT: Ir. Rachmat Tatang Bachrudin, Deputi Bidang Pembinaan Ekonomi dan Dunia Usaha

Untuk Pemerintah: Prof. Munirwansyah, Kepala BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Aceh

Perkiraan Pencairan (US$ 50 juta/Tahun Anggaran)

TA

TA09

TA10

TA11

TA12

TA13

Tahunan

5,0

16,0

16,0

11,0

2,0

Kumulatif

5,0

21,0

37,0

48,0

50,0

Periode pelaksanaan proyek: Januari 2009 Berakhir: Juni 2012

Tanggal penutupan diperkirakan: 30 Juni 2012

Apakah proyek dikembangkan dari CAS dalam hal isi atau hal-hal penting lainnya? [ ]Ya [ X ] Tidak

Apakah proyek memerlukan perkecualian dari kebijakan Bank Dunia? [ ] Ya [ X ] Tidak

Apakah perkecualian ini telah disetujui oleh manajemen Bank Dunia? [ ] Ya [ X ] Tidak

Apakah dibutuhkan persetujuan Direksi atas perkecualian kebijakan? [ ] Ya [ X ] Tidak

Apakah proyek mencakup risiko-risiko penting yang dinilai “substansial” atau “tinggi”? [X ]Ya [ ] Tidak

Apakah proyek memenuhi kriteria Daerah untuk kesiapan pelaksanaan? [ X]Ya [ ] Tidak

Tujuan pengembangan proyek: Mendorong pemulihan ekonomi pasca tsunami dan meningkatkan pembangunan ekonomi jangka panjang yang adil dan berkelanjutan di Aceh sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi Pemerintah Aceh (RPJMD).

Uraian proyek: Proyek akan mendukung inisiatif sub proyek untuk pembangunan ekonomi Aceh dan menyediakan bantuan di bidang pengelolaan proyek dan peningkatan kapasitas.

Kebijakan pengamanan apa yang dipicu, bila ada? Kajian Lingkungan (OP. 4.01)

Kondisi signifikan, non-standar, bila ada: Tidak ada

INDONESIA

PROYEK FASILITAS PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN EKONOMI - aceh

RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Kehancuran yang disebabkan oleh Tsunami pada bulan Desember 2004 serta pergolakan sipil pada tahun-tahun sebelumnya turut menyebabkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Sebagian besar penduduk Aceh tetap rawan dengan konsumsi rata-rata hanya di atas garis kemiskinan, sehingga goncangan kecil saja seperti berakhirnya upaya rekonstruksi dapat menyebabkan mereka kembali ke garis kemiskinan. Tsunami tidak hanya menyebabkan hilangnya banyak nyawa tetapi juga mengakhiri prospek-prospek lapangan pekerjaan jangka panjang bagi banyak orang. Sekitar 80.000 usaha kecil dan menengah yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi 140.000 orang telah hancur. Upaya rekonstruksi telah menciptakan kesempatan kerja baru di beberapa sektor (konstruksi, transportasi) tetapi kesempatan-kesempatan kerja ini berkaitan erat dengan ketersediaan dana rekonstruksi dan kemungkinan tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang.

2. Pemerintah Pusat (GoI) dan Pemerintah Daerah Provinsi Aceh (GoA) telah berkomitmen untuk membangun masyarakat Aceh menjadi lebih kuat dan lebih baik daripada sebelum Tsunami. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh telah mengidentifikasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagai unsur-unsur yang penting bagi pemulihan dari dampak Tsunami. Pemerintah Aceh, melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), telah mengidentifikasi faktor-faktor utama yang menghambat pembangunan ekonomi Aceh seperti lembaga pemerintah yang lemah, rusaknya prasarana dan rendahnya tingkat investasi. Pemerintah Aceh telah menjabarkan kerangka strategis pembangunan ekonominya yang mengidentifikasi tiga sektor ekonomi utama — pertanian, perdagangan dan jasa, yang menjadi penting karena kontribusinya kepada produksi daerah maupun lapangan pekerjaan. Pemerintah Pusat, melalui BAPPENAS, juga telah menyusun cetak biru yang luas tentang pembangunan Aceh di masa mendatang.

3. Upaya rekonstruksi saat ini yang diperkirakan mencapai kurang lebih US$ 7,7 milyar dalam jangka waktu lima tahun adalah salah satu upaya terbesar di suatu negara berkembang. Kedermawanan para donor dan program rekonstruksi telah mendongkrak perekonomian Aceh dalam jangka pendek. Upaya rekonstruksi ini telah menciptakan peningkatan kegiatan pembangunan yang pesat di beberapa bagian dari provinsi tersebut. Perekonomian Aceh yang didominasi oleh produksi migas mencapai 28 persen dari PDB daerah (2007) dan mencakup lebih dari 90 persen ekspor provinsi tersebut. Namun, sektor pertambangan dan sektor manufaktur terkait telah mengalami kemunduran selama beberapa tahun dan cadangan gas bumi diperkirakan akan terus berkurang dan mendekati angka nol pada tahun 2014. Hal ini dan kecenderungan pertumbuhan saat ini yang terkonsentrasi pada sektor-sektor, serta kebutuhan dana yang besar untuk pekerjaan rekonstruksi membuat perekonomian di Aceh semakin memprihatinkan setelah tahun 2009. Oleh karena itu, upaya-upaya baru dibutuhkan untuk menciptakan kondisi yang mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan di Aceh untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mengentaskan kemiskinan.

4. Proyek Fasilitas Pembiayaan Pembangunan Ekonomi (EDFF) yang diusulkan, suatu Hibah MDF yang terdiri dari dua komponen utama untuk dilaksanakan dari Januari 2009 sampai Juni 2012, akan mendukung inisiatif-inisiatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan lapangan pekerjaan di seluruh Aceh, sesuai dengan RPJMD Aceh dan cetak biru BAPPENAS. Komponen Satu (US$44.5 juta) akan mendukung sub proyek (subproyek) yang mencakup masalah-masalah penting yang mempengaruhi pembangunan ekonomi di Aceh dengan mendukung pemulihan ekonomi pasca tsunami dan membangun lingkungan usaha yang lebih bersaing dan lebih mendukung yang diperlukan untuk menciptakan kesempatan kerja dan pertumbuhan sektor swasta secara luas yang menargetkan masyarakat miskin dan kelompok rawan lainnya. Komponen Dua (US$5.5 juta) akan mendanai pengelolaan proyek dan peningkatan kapasitas termasuk konsultasi internasional untuk membantu pengelolaan proyek.

5. Sub proyek yang akan didukung di bawah proyek hendaknya menyumbang kepada pencapaian tujuan pembangunan berikut ini yang diidentifikasi oleh Pemerintah Aceh sebagai kunci pemulihan dan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan di Aceh: (i) pengembangan badan usaha berbasis pasar dan penciptaan lapangan kerja yang dilibatkan dalam pengolahan dan manufaktur bernilai tambah, terutama di sektor pertanian dan perikanan; (ii) peningkatan kualitas dan nilai produksi secara berkelanjutan di sektor pertanian, perikanan dan tanaman perkebunan yang menyumbang kepada pengentasan kemiskinan; (iii) peningkatan perdagangan internasional, khususnya ekspor langsung; dan (iv) peningkatan investasi dalam dan luar negeri di Aceh. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, EDFF akan mendukung sub proyek di bidang-bidang yang luas berikut ini : (i) Peningkatan Lingkungan Usaha; (ii) Dukungan Sektor Swasta; dan (iii) Prasarana Publik.

6. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) akan menjadi badan pelaksana utama GOI di tingkat pusat. Proyek akan dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh melalui BAPPEDA Aceh, yang akan mewadahi Unit Pengelola Proyek (PMU) dengan dukungan sebuah perusahaan konsultan internasional. Sub proyek akan dilaksanakan oleh berbagai entitas (seperti LSM (lokal dan internasional), organisasi swasta dan lembaga bantuan internasional). Lembaga-lembaga ini akan menyusun permohonan pembentukan sub proyek dan bertanggung jawab untuk menelusuri kinerja setiap sub proyek sesuai dengan sasaran (milestones) dan indikator kinerja yang disepakati. Kemajuan dalam mencapai tujuan proyek akan diukur melalui sistem Pengawasan dan evaluasi yang komprehensif. Bank Dunia akan berfungsi sebagai lembaga mitra berdasarkan kerangka hukum MDF dan bertanggung jawab atas pengawasan proyek EDFF. Bank Dunia akan mengadakan review terhadap pelaksanaan proyek sebagai bagian dari pengawasan normal setiap setengah tahun, yang disertai dengan review-review yang lebih sering selama tahap awal pelaksanaan proyek.

7. Proyek menghadapi beberapa risiko dan yang terbesar di antaranya adalah: bahwa Pemerintah Aceh tidak dapat memenuhi perannya dalam mengawasi pelaksanaan proyek; pemerintahan dan kapasitas yang lemah di berbagai tingkatan berdampak pada pelaksanaan sub proyek secara tepat waktu; dan risiko bahwa konflik dapat terjadi lagi. Tindakan-tindakan mitigasi yang diidentifikasi saat ini sedang berlangsung, atau dikembangkan dalam desain proyek. Sebuah Rencana Aksi Anti Korupsi telah dirancang untuk proyek. Selama pelaksanaan, tim Bank Dunia akan memantau unsur-unsur dari Rencana Aksi ini.

8. Pengadaan barang/jasa akan dilaksanakan sesuai dengan “Pedoman Bank Dunia: Pengadaan Barang/Jasa yang Dibiayai Pinjaman IBRD dan Kredit IDA” tertanggal bulan Mei 2004 dan telah diubah bulan Oktober 2006, “Pedoman: Penyeleksian dan Penggunaan Jasa Konsultan oleh Negara Peminjam Bank Dunia” tertanggal bulan Mei 2004 dan telah diubah pada bulan Oktober 2006, dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Perjanjian Hibah. Kebijakan dan prosedur akuntansi terutama akan mengikuti prosedur pengelolaan keuangan Pemerintah Indonesia (GOI), yang akan diperkuat bilamana perlu. Pengeluaran hibah dan kegiatan-kegiatan akan dilaporkan kepada Bank Dunia setiap triwulan.

9. EDFF diklasifikasi sebagai proyek kategori B menurut definisi Kebijakan Operasional Bank Dunia. Oleh karena itu, semua sub proyek yang akan dibiayai oleh EDFF harus memenuhi peraturan dan ketentuan lingkungan hidup maupun kebijakan lingkungan hidup dari Bank Dunia. Sub proyek yang akan dibiayai oleh EDFF berskala kecil dan menengah sehingga tingkat risiko sosial yang ditimbulkannya terbatas. Diperkirakan tidak satupun kebijakan pengamanan sosial Bank Dunia akan dipicu. Perlu dipastikan bahwa proyek akan bermanfaat bagi kaum pria maupun perempuan, dan mempertimbangkan kebutuhan khusus kaum perempuan dengan memperkuat partisipasi mereka dalam perekonomian dan mempertimbangkan kendala-kendala terhadap partisipasi mereka. Hal ini akan dibahas dan dipantau di tingkat sub proyek.

INDONESIA

PROYEK FASILITAS PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN EKONOMI - aceh

I. Konteks strategis dan dasar pemikiran

a. Masalah Nasional dan Sektor

1. Kehancuran yang disebabkan oleh Tsunami pada bulan Desember 2004 serta pergolakan sipil pada tahun-tahun sebelumnya turut menyebabkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Sebagian besar penduduk Aceh tetap rawan dengan konsumsi rata-rata hanya di atas garis kemiskinan, sehingga goncangan kecil saja seperti berakhirnya upaya rekonstruksi dapat menyebabkan mereka kembali ke garis kemiskinan Tsunami tidak hanya menyebabkan hilangnya banyak nyawa tetapi juga mengakhiri prospek-prospek lapangan pekerjaan jangka panjang bagi banyak orang . Diperkirakan sekitar 80.000 usaha kecil dan menengah (SME), yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi 140.000 orang telah hancur. Upaya rekonstruksi telah menciptakan kesempatan kerja baru di beberapa sektor (konstruksi, transportasi) tetapi kesempatan-kesempatan kerja ini berkaitan erat dengan ketersediaan dana rekonstruksi dan kemungkinan tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang. Lampiran 1 memberikan perincian tentang masalah-masalah nasional dan sektoral.

2. Pemerintah Pusat (GOI), melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Aceh dan Nias (BRR), dan Pemerintah Provinsi Aceh (GoA) berkomitmen untuk membangun masyarakat Aceh menjadi lebih kuat dan lebih baik daripada sebelum Tsunami. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh telah mengidentifikasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagai unsur-unsur yang penting bagi pemulihan dari dampak Tsunami. Pemerintah Aceh, melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), telah mengidentifikasi faktor-faktor utama yang menghambat pembangunan ekonomi Aceh seperti lembaga pemerintah yang lemah, rusaknya prasarana dan rendahnya tingkat investasi. RPJMD juga mengidentifikasi kendala-kendala utama terhadap kegiatan ekonomi di beberapa sektor: di sektor pertanian, ketersediaan lahan, produktivitas yang rendah, kualitas produksi yang rendah, dan kurangnya akses ke input dan pasar diidentifikasi sebagai kendala dalam manufaktur, lingkungan usaha yang lemah, kualitas produksi yang rendah maupun kegagalan untuk menerapkan perubahan-perubahan teknologi baru. Perekonomian Aceh yang didominasi oleh produksi migas mencapai 28 persen dari PDB daerah (2007) dan mencakup lebih dari 90 persen ekspor provinsi tersebut. Namun, sektor pertambangan dan sektor manufaktur terkait telah mengalami kemunduran selama beberapa tahun dan cadangan gas bumi diperkirakan akan terus berkurang dan mendekati angka nol pada tahun 2014. Hal ini dan kecenderungan pertumbuhan saat ini yang terkonsentrasi pada sektor-sektor, serta kebutuhan dana yang besar untuk pekerjaan rekonstruksi membuat perekonomian di Aceh semakin memprihatinkan setelah tahun 2009.

3. Tingkat perekonomian di Aceh menurun 10 persen pada tahun 2004 (sebelum Tsunami) dan 10 persen lagi pada tahun 2005 (pasca Tsunami). Menurunnya tingkat perekonomian tersebut disebabkan oleh menurunnya kegiatan di sektor pertambangan dan manufaktur terkait, serta dampak dari Tsunami, yang mengakibatkan menurunnya kegiatan di sektor manufaktur dan pertanian. Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 1,6 persen pada tahun 2006, terutama karena pertumbuhan di sektor-sektor jasa yang terkait dengan upaya-upaya rekonstruksi. Jika sektor-sektor pertanian dan manufaktur tidak dapat pulih secara signifikan maka Aceh akan mengalami kemerosotan struktural pada saat upaya rekonstruksi berakhir pada tahun 2009. Ini akan berimplikasi negatif pada lapangan pekerjaan dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan..

4. Upaya rekonstruksi saat ini yang diperkirakan mencapai kurang lebih US$ 7,7 milyar dalam jangka waktu lima tahun adalah salah satu upaya terbesar di suatu negara berkembang. Kedermawanan para donor dan program rekonstruksi telah mendongkrak perekonomian Aceh dalam jangka pendek. Upaya rekonstruksi yang dimulai pada tahun 2005 dan menjelang tahun 2006 ini menjadi penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi. Upaya rekonstruksi ini telah menciptakan peningkatan kegiatan pembangunan yang pesat di beberapa bagian dari provinsi tersebut. Tetapi karena tidak mengatasi persoalan yang terkait dengan daya saing perekonomian Aceh dan kesinambungan kecenderungan pertumbuhan saat ini maka upaya rekonstruksi tersebut kurang sejalan dengan Rencana Induk BAPPENAS yang memperkirakan pemulihan perekonomian Aceh sebagai bagian dari tahap ketiga rekonstruksi di provinsi tersebut. Selain itu, masuknya bantuan dalam jumlah besar dan kendala-kendala awal dari sisi penawaran telah turut menyebabkan tingginya tingkat inflasi yang melebihi 40 persen per tahun sejak Desember 2005. Sejak itu, tingkat inflasi di Aceh dan secara nasional hampir sama, tetapi pada bulan Mei 2008 inflasi di Aceh yang mencapai 15,3 persen masih jauh lebih tinggi daripada tingkat inflasi secara nasional sebesar 10,4 persen.

5. Di Aceh, pangsa investasi dari PDB hanya 7 persen pada tahun 2004, jauh di bawah pangsa investasi daerah lainnya di Indonesia atau negara-negara lain di kawasan regional. Sejak itu, investasi meningkat secara signifikan sebagai hasil dari investasi dana rekonstruksi secara besar-besaran di provinsi tersebut, dan pada tahun 2006, investasi ini menjadi 14 persen dari PDB. Angka ini masih jauh lebih rendah daripada investasi di daerah-daerah lain di Indonesia.Oleh karena itu, diperlukan upaya lain untuk merehabilitasi sektor pertanian yang akan meningkatkan kesempatan-kesempatan kerja dalam jangka yang lebih panjang. Prasyarat pemulihan ekonomi ditetapkan. Ada stabilitas politik yang lebih kuat dan dukungan kelembagaan yang lebih besar untuk pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan meningkat mengenai sektor-sektor penting yang secara realistis dapat dikembangkan dan kerangka strategi pertumbuhan ekonomi yang jelas mulai diterapkan. Tahap selanjutnya dalam memberikan bantuan kepada masyarakat dan daerah-daerah pedesaan di Aceh hendaknya dikembangkan berdasarkan keberhasilan-keberhasilan di masa lalu.

6. Stategi Pembangunan Ekonomi Pemerintah Aceh. Karena tingkat kehancuran yang ditimbulkannya maka Pemerintah Indonesia menyatakan Tsunami di Aceh sebagai bencana nasional dan merumuskan suatu rencana induk untuk rekonstruksi Aceh. Tantangan-tantangan untuk menyukseskan pemulihan Aceh diidentifikasi, yang mencakup kebutuhan sosial ekonomi semua sektor, pemulihan lembaga-lembaga daerah dan kapasitas pelaksanaan serta membangun perdamaian dan rekonsiliasi. Salah satu prinsip utama dari rencana ini adalah bahwa “rekonstruksi hendaknya bukan sekadar bangkit dari kemiskinan, tetapi memastikan agar perekonomian daerah cukup kuat untuk mencegah timbulnya kemiskinan dalam jangka panjang”. Pemerintah Aceh melalui Gubernur terpilihnya memainkan peranan utama dalam penyusunan rencana dan kebijakan strategis untuk Aceh. Baru-baru ini, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (dan perincian mengenai RPJMD dapat dilihat dalam Lampiran 1). Pemerintah Aceh telah menjabarkan kerangka strategis pembangunan ekonominya berdasarkan konsep Tiga-A, yang terdiri dari Atlas (kompilasi data ekonomi yang relevan), Agenda (yang memberikan visi pembangunan ekonomi dan strategi-strategi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi) serta Aturan-main, yang menjelaskan mekanisme-mekanisme kelembagaan di mana visi ini dan strategi-strategi dapat dijalankan. Kerangka ini mengidentifikasi tiga sektor ekonomi utama untuk provinsi tersebut (pertanian, perdagangan dan jasa), yang menjadi penting karena kontribusinya kepada produksi daerah maupun lapangan pekerjaan

B. Dasar Pemikiran Keterlibatan MDF dan Bank Dunia

7. Dasar Pemikiran Keterlibatan MDF.Dana Multi-Donor untuk Aceh dan Nias (MDF) berhasil menggalang dana yang mencapai lebih dari US$650 juta dalam bentuk sumber daya hibah yang dijanjikan untuk disediakan oleh negara-negara donor dan lembaga-lembaga internasional yang mendukung pelaksanaan cetak biru rehabilitasi dan rekonstruksi pemerintah. MDF dirancang untuk mendukung rekonstruksi Aceh dan mengatasi kesenjangan rekonstruksi serta mendukung rehabilitasi Aceh dan Nias sepenuhnya setidaknya sampai pada kondisi pra-bencana dengan tetap mengakui bahwa masih banyak yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa rekonstruksi bukan sekadar bangkit dari kemiskinan. Salah satu sasaran dari rekonstruksi adalah pemulihan ekonomi daerah secara berkelanjutan (produksi, perdagangan, perbankan dan sebagainya). Tujuan keseluruhan dari Pemerintah Indonesia adalah “Membangun Kembali Dengan Lebih Baik” seluruh Aceh yang didukung oleh tujuan-tujuan MDF: pengentasan kemiskinan, mata pencaharian aktif kembali, prasarana masyarakat digerakkan kembali, prasarana yang lebih besar diperbaiki, tata pemerintahan dibangun kembali dan lingkungan dilestarikan.

8. Dasar Pemikiran Keterlibatan Bank Dunia. Bank Dunia akan berperan sebagai lembaga mitra. Keterlibatannya secara ekstensif di Aceh maupun pekerjaan pembangunan yang lebih luas di Indonesia dan negara-negara lain di dunia memberi Bank Dunia latar belakang yang kuat untuk proyek ini (Lampiran 2 menyajikan daftar proyek yang didukung oleh Grup Bank Dunia dan lembaga-lembaga lain). Bank Dunia telah mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan bantuan di bidang-bidang di mana lembaga ini memiliki keunggulan komparatif, yang sebagian besar didasarkan pada arahan-arahan penting yang dituangkan dalam Strategi Bantuan untuk Indonesia (Indonesia Country Assistance Strategy) TA04-07, yang menekankan peran masyarakat dan pemerintah lokal dalam menentukan tujuan-tujuan pembangunan mereka sendiri, dan menekankan Strategi Kemitraan Negara (Country Partnership Strategy (CPS)) 2009-12 yang belum lama ini disetujui untuk Indonesia untuk mengandalkan dan memperkuat sistem-sistem pemerintahan. CPS juga memperkirakan keterlibatan Bank Dunia di Aceh dan Nias akan berlanjut selama jangka waktu CPS (sampai tahun 2012) dan perlunya MDF mendukung peralihan dari rekonstruksi pasca Tsunami ke pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di Aceh.

9. Proyek EDFF yang diusulkan ini dibangun berdasarkan jaringan dan hasil kerja Bank Dunia di berbagai tingkatan di provinsi, yaitu, Program Pengembangan Kecamatan di tingkat desa, dan program Dukungan Daerah Miskin dan Tertinggal di tingkat kabupaten. Selain itu, Bank Dunia juga telah mengelola sebuah program penelitian sehubungan dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di Aceh sejak tahun 2006 untuk mengarahkan pembahasan dengan instansi pemerintah daerah dalam mempersiapkan proyek ini, dengan memantau indikator-indikator makro di provinsi dan analisa yang lebih mendalam sehubungan dengan kemiskinan, iklim investasi, strategi pembangunan yang berkelanjutan serta keuangan negara.

10. Bank Dunia mempunyai posisi yang tepat untuk menambah nilai dalam mendukung instansi-instansi Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan melaksanakan program pembangunan ekonomi termasuk menyediakan bantuan dan nasihat teknis mengenai berbagai masalah kebijakan sehubungan dengan pengembangan sektor swasta dan penciptaan lapangan pekerjaan. Suatu tim khusus Bank Dunia bekerja erat dengan tim-tim lain yang berkedudukan di Aceh untuk menangani masalah-masalah konflik, prasarana, pengelolaan lahan dan pembangunan masyarakat serta staf lokal dari International Finance Corporation (IFC), wakil Grup Bank Dunia dari sektor swasta. Tim ini akan didukung oleh suatu tim yang lebih besar yang berkedudukan di Jakarta dengan keahlian yang luas di bidang pengelolaan ekonomi, pembangunan pedesaan dan sosial, serta pembangunan sektor swasta dan keuangan. Selain itu, tim ini juga berhubungan erat dengan Unit Sektor Swasta dan Keuangan di Kawasan Asia Timur sehingga mempunyai akses ke keahlian dan pengetahuan yang lebih luas.

C. Tujuan Lebih Penting yang Disumbangkan Proyek

11. Tujuan lebih penting yang disumbangkan proyek adalah pemulihan ekonomi pasca tsunami, pembangunan ekonomi secara berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Sesuai dengan rencana Pemerintah Pusat (GOI) dan Pemerintah Aceh sendiri untuk rekonstruksi Aceh pasca Tsunami, EDFF juga turut membangun kembali daerah-daerah yang secara tidak langsung terkena dampak Tsunami. EDFF akan menyediakan pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung yang berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan rehabilitasi mata pencaharian yang hasilnya telah terbukti meningkat dengan pesat untuk dampak yang lebih besar atas lapangan pekerjaan dan pembangunan ekonomi jangka panjang. EDFF juga akan berupaya membiayai proyek-proyek baru yang dirancang untuk mengatasi kesenjangan pembangunan ekonomi lainnya.

II. URAIAN PROYEK

a. Instrumen Peminjaman

12. Proyek EDFF, suatu Fasilitas yang bernilai US$50 juta yang didanai oleh hibah dari MDF, terdiri dari dua komponen — pertama adalah fasilitas pembiayaan (US$44,5 juta) dan komponen kedua akan memfasilitasi dan memperkuat operasi pengelolaan proyek Pemerintah Aceh dan KPDT (US$5,5 juta).

b. Tujuan Pembangunan Proyek dan Indikator Utama

13. Proyek akan mendorong pemulihan ekonomi pasca tsunami dan pembangunan ekonomi yang adil secara berkelanjutan di Aceh sesuai dengan rencana Pemerintah Aceh sendiri untuk pembangunan ekonomi (RPJMD). Untuk mencapai hal ini maka proyek akan membiayai sub proyek yang menyumbang kepada tujuan-tujuan pembangunan di bawah ini, yang diidentifikasi oleh Pemerintah Aceh sebagai kunci untuk pembangunan ekonomi secara berkelanjutan di Aceh:

(a) Pengembangan badan usaha berbasis pasar dan penciptaan lapangan kerja yang dilibatkan dalam pengolahan dan manufaktur bernilai tambah, terutama di sektor pertanian dan perikanan;

(b) peningkatan kualitas dan nilai produksi secara berkelanjutan di sektor pertanian, perikanan dan tanaman perkebunan yang menyumbang kepada pengentasan kemiskinan;

(c) peningkatan perdagangan internasional, khususnya ekspor langsung; dan

(d) peningkatan investasi dalam dan luar negeri di Aceh.

14. Tujuan-tujuan pembangunan ini akan dicapai melalui outcomes antara sebagai berikut: (i) Meningkatkan Lingkungan Usaha: Lingkungan pendukung yang lebih baik untuk pengembangan dan investasi sektor swasta; (ii) Dukungan Sektor Swasta: dukungan untuk meningkatkan produktivitas sektor swasta, petani dan nelayan; dan (iii) Prasarana Publik: pembiayaan prasarana ekonomi yang diperlukan untuk pengembangan usaha dan penciptaan lapangan pekerjaan. Penerima manfaat dari sub proyek secara langsung maupun tidak langsung adalah rakyat dan masyarakat Aceh. Karena penerima manfaat ini didefinisikan sebagai kelompok maka pengusul sub proyek bukan bersifat individu. Fokus proyek adalah pembangunan ekonomi secara adil dan berkelanjutan. Meskipun tergolong besar, proyek ini masih sangat kecil jika diukur dengan tantangan pembangunan ekonomi dan kebutuhan Aceh sehingga proyek akan berperan sebagai titik tolak dan demonstrasi dari apa yang dapat dilakukan di provinsi Aceh.

15. Salah satu aspek penting dari proyek ini adalah peningkatan kapasitas BAPPEDA, Badan Perencanaan Pembangunan di Aceh. BAPPEDA, dengan bantuan sebuah perusahaan konsultan internasional, akan belajar dari pengalaman praktis caranya mengevaluasi, memilih dan memantau implementasi sub proyek untuk mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang. Hal ini khususnya penting mengingat besarnya sumber daya yang tersedia bagi pemerintah provinsi dan keputusan baru-baru ini untuk mengalokasikan Dana Otonomi Khusus berbasis program antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Pengalaman yang diperoleh dari Proyek akan lebih mendukung Pemerintah Aceh untuk meningkatkan pelaksanaan agenda pembangunan ekonominya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri.

16. Indikator kinerja utama (KPI) berikut ini akan digunakan untuk menilai kemajuan terhadap pencapaian hasil-hasil dari outcomes pembangunan yang disebutkan di atas:

(a) Jumlah kendala usaha yang berhasil dihapuskan di Aceh

(b) Lapangan pekerjaan yang dihasilkan dalam perusahaan-perusahaan dukungan proyek

(c) Jumlah pengguna prasarana publik yang dibiayai proyek

(d) Tingkat keberhasilan sub proyek yang dibiayai proyek

c. Komponen Proyek

17. Proyek terdiri dari dua komponen utama yang akan dilaksanakan dari bulan Januari 2009 sampai Juni 2012. Fasilitas Pembiayaan akan berkoordinasi secara erat dengan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan oleh pihak-pihak lain sejak Tsunami maupun untuk mengatasi sebagian kesenjangan yang telah teridentifikasi. Kemudian, diharapkan Pemerintah Aceh dapat menambah dana Fasilitas dengan sumber dayanya sendiri untuk mendukung pelaksanaan strategi pembagunan ekonominya.

18. Komponen Pertama. Komponen ini akan mendukung kegiatan-kegiatan spesifik yang dirancang untuk meningkatkan pemulihan dan pembangunan ekonomi dengan mencakup bidang-bidang yang diidentifikasi memerlukan upaya lebih lanjut, atau bidang-bidang yang belum dicakup. Komponen ini akan mendukung sub proyek yang mencakup masalah-masalah penting yang mempengaruhi pembangunan ekonomi di Aceh dengan turut membangun lingkungan usaha yang lebih bersaing dan mendukung yang diperlukan untuk menciptakan kesempatan kerja dan pertumbuhan di sektor swasta secara luas, dengan sasaran rakyat miskin dan kelompok rawan lainnya.

19. EDFF akan mendukung sub proyek yang mengatasi kesenjangan strategis dan pembiayaan berdasarkan visi pembangunan ekonomi yang secara eksplisit dimuat dalam RPJMD, dalam bidang-bidang berikut ini:

(a) Meningkatkan Lingkungan Usaha

(b) Dukungan kepada Sektor Swasta

(c) Prasarana Publik

20. Sub proyek EDFF akan didasarkan pada kemampuan untuk menyumbang kepada tujuan-tujuan pembangunan EDFF dan berfokus pada ketiga bidang yang disebutkan di atas. Perhatian khusus akan diberikan kepada peningkatan partisipasi kaum miskin dan perempuan dalam perekonomian. Analisa yang lebih terperinci terhadap masalah-masalah spesifik yang akan diselesaikan dan hasil-hasil yang dapat dicapai oleh setiap sub proyek akan dilaksanakan di tingkat sub proyek. Analisa terhadap kendala pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan lapangan pekerjaan, serta evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang diusulkan oleh sub proyek untuk mengatasi kendala-kendala tersebut akan menjadi bagian dari proses pemilihan setiap sub proyek. Selain itu, sebagai bagian dari proses permohonan, para pengusul sub proyek diminta untuk membahas kegiatan-kegiatan yang relevan di sektor mereka yang telah dilaksanakan di Aceh oleh mereka sendiri ataupun pelaku rekonstruksi lain, dengan tujuan untuk menjabarkan faktor-faktor keberhasilan dan pelajaran yang diperoleh untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan sub proyek. Analisa terhadap kendala pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan serta kegiatan-kegiatan yang dapat dibiayai di tingkat proyek hendaknya bersifat lebih makro atau umum mengingat fakta bahwa ini adalah proyek jenis fasilitas, dan setiap sub proyek dan kegiatan hanya akan diidentifikasi pada tahapan selanjutnya (Lampiran 4 menyajikan uraian proyek yang lebih terperinci berdasarkan jenis sub proyek yang dapat dibiayai proyek untuk mengatasi kendala-kendala yang diidentifikasi).

21. Komponen Kedua. Komponen ini akan mendanai pengelolaan proyek dan peningkatan kapasitas termasuk jasa konsultan internasional untuk membantu Pemerintah Aceh dalam pembentukan dan pengelolaan Unit Pengelola Proyek (PMU) dan KPDT dalam pelaksanaan proyek di tingkat pemerintah pusat. Komponen ini mencakup kajian dan review terhadap sub proyek, pengadaan, pengelolaan keuangan, ketaatan kepada ketentuan pengamanan (safeguards), implementasi, pengawasan dan sebagainya. Selain itu, perusahaan konsultan juga akan meyediakan pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi staf lokal PMU dan KPDT.

d. Pelajaran yang Diperoloh dan Direfleksikan dalam Desain Proyek

22. Proyek dikembangkan berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman secara luas dalam pembangunan sektor swasta dan secara spesifik memanfaatkan pengalaman yang luas dari Bank Dunia dan pengalaman spesifik dari Indonesia. Sejumlah pelajaran telah diperoleh dari review terhadap upaya-upaya pembangunan ekonomi yang terkait dengan rekonstruksi selama ini. Desain proyek mempertimbangkan pelajaran-pelajaran berikut ini:

(a) Proyek merefleksikan pelajaran yang diperoleh dari kegiatan analisa pasca Tsunami yang dilaksanakan oleh Bank Dunia. Pemerintah Aceh mempunyai sumber daya besar yang siap digunakan dan akan terus memiliki sumber daya tersebut dalam waktu dekat. Namun, pengalokasian sumber daya yang tidak efisien dan kapasitas pengelolaan keuangan publik yang lemah akan menghambat pengelolaan sumber daya yang besar tersebut menjadi pelayanan publik yang lebih baik atau perekonomian yang lebih kuat. Analisa terhadap pokok-pokok perekonomian juga telah mengidentifikasi beberapa masalah penting yang dihadapi Aceh dewasa ini yang akan coba diselesaikan oleh proyek ini.

(b) Perlunya komitmen dan rasa memiliki dari pemerintah. Sebagaimana terlihat pada sejumlah proyek, tanpa komitmen nyata pemerintah maka proyek ini tidak akan menghasilkan manfaat yang maksimal dan tidak dapat berkelanjutan. Pemerintah Aceh mempunyai komitmen yang tinggi terhadap proyek ini dan telah mengidentifikasi tujuan-tujuan yang akan didukung oleh EDFF yang meliputi penciptaan lapangan pekerjaan, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan sektor swasta yang dapat bertahan sebagai bagian penting dalam menangani rekonstruksi pasca Tsunami. Pemerintah Aceh juga telah berkomitmen untuk menugaskan suatu tim yang bertanggung jawab atas proyek EDFF.

(c) Perlunya transparansi dan strategi komunikasi yang jelas. Informasi yang jelas dan tersedia tentang sub proyek, serta keberhasilan dan kegagalannya akan membantu memberikan pelajaran yang berharga kepada pihak-pihak lain di masyarakat dan dapat membantu mengurangi ketidakpercayaan dan kecurigaan akibat favoritisme. Informasi ini juga akan memfasilitasi “pengelolaan harapan” warga masyarakat yang dianggap penting karena rakyat mencari pekerjaan dan menghadapi perekonomian yang tidak pasti.

(d) Perlunya menyeimbangkan kebutuhan rekonstruksi. Penting untuk merancang proses pemilihan sub proyek yang berasal dari pemerintah lokal sehingga investasi yang dibiayai sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan sekaligus meningkatkan kapasitas pihak yang melaksanakannya jika pelaksananya adalah pemerintah lokal sendiri. Oleh karena itu, EDFF dirancang untuk melakukan koordinasi dan pengelolaan yang efisien terhadap sumber daya yang tersedia dan sub proyek yang merefleksikan kebutuhan dan prioritas pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang dituangkan dalam strategi pembangunan ekonomi Pemerintah Aceh sendiri. Hal ini akan dicapai dengan mengharuskan agar sub proyek yang dibiayai EDFF dipilih oleh Pemerintah Aceh berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

(e) Pentingnya fokus yang kuat atas hasil disertai sasaran (milestones) yang realistis untuk dicapai telah dicantumkan dalam desain proyek.

(f) Perlunya bantuan profesional dalam membentuk dan mengoperasikan PMU juga telah dicantumkan dalam EDFF.

(g) Pelajaran dari proyek-proyek lain di bidang pembangunan ekonomi yang sedang dilaksanakan di Aceh. Ada sejumlah proyek yang berfokus pada mata pencaharian masyarakat dan pemulihan perekonomian di provinsi ini. Setelah dilaksanakan selama 3 tahun, proyek-proyek ini memberikan pelajaran penting mengenai apa yang berhasil dan yang tidak, dan apa saja faktor-faktor keberhasilannya. Rapat CFAN mendatang di akhir tahun 2008 akan berfokus pada pelajaran yang dapat diperoleh dalam upaya rekonstruksi, termasuk pembangunan ekonomi. Selain itu, BRR akan memimpin kegiatan untuk menyaring pelajaran yang diperoleh oleh lembaga-lembaga pelaksana proyek di Aceh di bidang mata pencaharian dan pembangunan ekonomi dan bagaimana pelajaran ini dapat diterapkan dalam desain proyek-proyek yang akan dibiayai oleh EDFF.

(h) Perlunya memastikan bahwa proyek akan bermanfaat bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Proyek mengakui bahwa jika perhatian khusus tidak diberikan kepada kebutuhan khusus kaum perempuan dan kendala yang mereka hadapi untuk meningkatkan partisipasi maka kemampuan mereka untuk mendapatkan manfaat dari proyek ini maupun kontribusi mereka untuk pembangunan ekonomi di provinsi Aceh akan berkurang. Oleh karena itu, proyek akan mempertimbangkan kebutuhan khusus kaum perempuan, berupaya untuk memperkuat partisipasi kaum perempuan dalam perekonomian dan mempertimbangkan kendala-kendala terhadap partisipasi mereka. Upaya ini meliputi tindakan-tindakan untuk memastikan bahwa konsideran gender dicakup dan dipantau dalam merancang dan melaksanakan sub proyek di mana mungkin. Laporan sementara pada tahap awal pelaksanaan proyek selanjutnya akan menjabarkan strategi untuk mempertimbangkan kebutuhan kaum perempuan dalam penyusunan sub proyek.

e. Desain Alternatif yang Dipertimbangkan dan Alasan Penolakan

23. Desain yang diusulkan didasarkan pada proposal dari Pemerintah Aceh, BRR dan Bank Dunia, dan kajian-kajian terhadap solusi yang sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan rekonstruksi dalam pembangunan ekonomi jangka panjang di Aceh. Opsi-opsi untuk membiayai sub proyek pembangunan ekonomi sebagaimana yang direncanakan dalam EDFF terbatas dalam konteks Aceh. Namun, beberapa pendekatan berikut ini telah dipertimbangkan:

(a) Mencari dukungan multilateral dan bilateral khususnya untuk pembangunan ekonomi di Aceh. Mengingat adanya Dana Perwalian Multi Donor (Multi Donor Trust Fund) untuk rekonstruksi Aceh, maka pendekatan ini ditolak karena bersifat duplikatif dan dapat menimbulkan persaingan berbagai program yang tidak dapat menyelesaikan kesenjangan yang diidentifikasi oleh Pemerintah Aceh.

(b) Pembiayaan langsung oleh Pemerintah Aceh. Kendala kapasitas yang ada membatasi opsi ini, tetapi desain proyek mengakui bahwa pendekatan ini untuk mendanai kegiatan-kegiatan di masa depan dan, dengan demikian, EDFF dapat menjadi contoh demonstrasi yang baik.

(c) Pembiayaan pendamping (co-financing) dengan dana dari Pemerintah Aceh. Telah ditentukan bahwa kemungkinan ketidaksesuaian siklus anggaran dan prosedur administratif dapat menimbulkan penundaan yang tidak perlu. Proyek seperti yang telah dirancang memberi Pemerintah Aceh suatu kerangka sebagai dasar untuk pembiayaan pembangunan ekonomi sekarang maupun yang akan datang, dan tidak menghilangkan potensi Pemerintah Aceh untuk menambah Fasilitas dengan dana tambahan apabila diinginkannya. Hal ini dapat terjadi jika EDFF mengidentifikasi sejumlah proposal yang layak namun tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai kegiatan tersebut.

(d) Pembiayaan oleh bank dan pihak lain di sektor swasta. Pembahasan diadakan dengan sektor perbankan dan asosiasi bankir lokal, dan keputusannya adalah bahwa kesempatan akan hilang selama beberapa tahun karena menunggu kesiapan pihak bank untuk mulai memprosesnya. Ada kekhawatiran terjadi penundaan peminjaman dan investasi sektor swasta.

(e) Pelaksanaan oleh pihak ketiga. Kekhawatiran terhadap lamanya pelaksanaan telah mendorong pembahasan mengenai penggunaan pihak ketiga untuk melaksanakan proyek. Meskipun ada banyak keuntungan dari pendekatan ini, diputuskan bahwa untuk pembangunan jangka panjang secara keseluruhan di Aceh, pemerintah lokal perlu memainkan peran utama.

(f) Identifikasi sub proyek (sub-proyek). Tim (yang mencakup Pemerintah Aceh, BRR dan Bank Dunia) telah mempertimbangkan untuk mengembangkan sub proyek untuk mengerjakan bidang-bidang yang didefinisikan dengan sangat sempit dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang didefinisikan dengan sangat spesifik. Namun, tim memutuskan bahwa sub proyek spesifik yang telah ditentukan sebelumnya dan kebutuhan pembiayaan selama persiapan dapat menimbulkan kesenjangan yang belum diselesaikan secara optimal karena tidak semua informasi tersedia pada saat persiapan proyek. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan PMU yang cukup kuat untuk membantu proses pemilihan sub proyek yang memfasilitasi indentifikasi kesenjangan dan kebutuhan. Selanjutnya, tim mengakui bahwa ada banyak informasi mengenai kesenjangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan cara-cara untuk mengatasi kesenjangan tersebut oleh lembaga-lembaga yang saat ini melaksanakan proyek-proyek di lapangan, dan cara terbaik untuk menggunakan informasi tersebut adalah dengan mengundang proposal-proposal yang memungkinkan entitas pelaksana sub proyek (Subproject Implementing Entities/SIEs) mempunyai fleksibilitas maksimum dalam desain proyek melalui permintaan proposal yang terkendali sebagaimana diusulkan dalam EDFF.

III.PELAKSANAAN

a. Pengaturan Kemitraan

24. EDFF disusun sebagai kegiatan program dengan desain jenis rangka yang melaluinya proyek ini akan membiayai sejumlah sub proyek yang akan disusun, dilaksanakan dan diawasi oleh pihak lain. Perjanjian akan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan KPDT sebagai lembaga pelaksana proyek Pemerintah Indonesia di tingkat pusat. KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal) akan mendelegasikan anggaran kepada pemerintah provinsi Aceh sebagai Dana Tugas Perbantuan dan akan membentuk satuan kerja (Satker) proyek yang juga akan ditunjuk oleh Gubernur Aceh sebagai PMU untuk proyek. PMU berkedudukan di BAPPEDA Aceh, dan bertanggung jawab atas seluruh pengelolaan anggaran tahunan. Bank Dunia akan berperan sebagai lembaga mitra berdasarkan kerangka hukum MDF dan bertanggung jawab atas pengawasan proyek.

b. Pengaturan Kelembagaan dan Pelaksanaan

25. Pelaku dan Fungsi Pelaksanaan. Proyek akan menggunakan struktur pengelolaan yang mendukung partisipasi pemerintah lokal, peningkatan kapasitas dan pencapaian manfaat maksimum dari EDFF. Pelaksanaan proyek secara keseluruhan akan berada di Pemerintah Aceh melalui BAPPEDA Aceh, dalam wadah Unit Pengelola Proyek (PMU). PMU akan didukung oleh sebuah perusahaan konsultan internasional. Setiap sub proyek akan dilaksanakan oleh pihak ketiga seperti yang ditetapkan dalam dokumen ini. Seluruh proses evaluasi, pemilihan dan pengawasan sub proyek terpilih telah dirancang untuk meminimalkan gangguan dan duplikasi yang tidak perlu. Pemilihan sub proyek akan berlangsung setelah proyek disetujui untuk memastikan transparansi dan konsistensi dalam proses pemilihan. BAPPEDA akan mengelola PMU dan akan memainkan peran utama dalam proses pemilihan sub proyek melalui kepemimpinan dan partisipasinya dalam Komite Seleksi. Meskipun BAPPEDA Aceh akan menjadi lembaga pelaksana EDFF di tingkat provinsi, untuk memastikan bahwa EDFF mendukung pelaksanaan strategi Pemerintah Aceh terkait dengan pembangunan ekonomi di provinsi ini maka penting untuk memastikan dukungan dari Dinas dan pemerintah kabupaten terkait untuk kegiatan-kegiatan yang dibiayai melalui proyek ini. EDFF akan mendukung program-program tingkat provinsi untuk pengembangan kelompok-kelompok ekonomi; dengan demikian tanggung jawab fiskal untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh EDFF terletak pada pemerintah provinsi. Meskipun demikian, penting untuk memastikan partisipasi dari kabupaten dan/atau Dinas terkait dalam mengidentifikasi prioritas-prioritas dan dalam merancang sub proyek. BAPPEDA Aceh telah mulai mengadakan pembahasan dengan dinas terkait yang akan menjadi intensif pada tahap-tahap awal pelaksanaan proyek. Selain itu, entitas-entitas yang mengusulkan sub proyek untuk pendanaan EDFF akan diminta untuk berkonsultasi secara ekstensif dengan dinas dan pemerintah kabupaten terkait dan melaporkan kegiatan konsultasi mereka dalam proposal

26. BAPPENAS, sebagai lembaga penanggung jawab proyek dari Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas perencanaan dan evaluasi secara keseluruhan sesuai dengan perjanjian hibah antara Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia. BAPPENAS juga akan mengadakan koordinasi yang diperlukan dengan Departemen Keuangan (Depkeu/MOF), KPDT dan lembaga-lembaga pemerintah pusat lainnya. BAPPENAS bertanggung jawab atas anggaran pendampingan (honor pegawai pemerintah, pajak dan biaya-biaya operasional lain) untuk BAPPENAS dan KPDT. KPDT bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek dan pelaksanaan anggaran secara keseluruhan termasuk mengajukan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) kepada Depkeu dan membentuk satuan kerja proyek (satker) yang akan ditempatkan di BAPPEDA Aceh. BAPPEDA bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran tahunan (DIPA) secara keseluruhan. Permohonan alokasi anggaran adalah sebagai berikut: (i) pembayaran kepada perusahaan konsultan yang mendampingi BAPPEDA dan KPDT, (ii) biaya operasional BAPPEDA Aceh dan KPDT, (iii) hibah blok (block grant) untuk sub proyek di tingkat provinsi. Pengalokasian hibah blok lebih lanjut tidak memungkinkan pada saat penyusunan dokumen anggaran (DIPA) karena pemilihan proyek-proyek (dan alokasi dana untuk sektor dan kabupaten) merupakan bagian dari pelaksanaan proyek. Dan yang terakhir, BAPPEDA bertanggung jawab untuk menangani permohonan penarikan dana oleh entitas pelaksana sub proyek (SIEs) setelah permohonan tersebut disetujui oleh PMU.

27. Unit Pengelola Proyek. PMU, yang akan berkedudukan di BAPPEDA, beranggotakan perusahaan konsultan (yang akan dipekerjakan dengan pendanaan EDFF) dan staf dari Pemerintah Aceh. Perusahaan konsultan mempunyai dua peran utama yang saling berkaitan. Pertama, bertanggung jawab atas efektivitas operasi PMU, dan kedua, peningkatkan kapasitas dalam lingkungan Pemerintah Aceh agar secara progresif dapat memikul peran utama dalam pengelolaan PMU. Perusahaan konsultan akan membantu PMU dalam mengevaluasi permohonan pembentukan sub proyek dan dalam pemantauannya. Perusahaan konsultan ini juga akan memastikan bahwa operasi PMU sehubungan dengan pengelolaan keuangan, pengadaan barang/jasa, dan komunikasi mencapai tingkat yang layak untuk meminimalkan risiko dan memastikan pelaporan yang baik. PMU akan menyusun sebuah Operation Manual (OM) yang akan mengarahkan pelaksanaan proyek dan memerinci semua kebijakan yang terkait dengan proyek serta prosedur-prosedur, termasuk perincian tentang kelayakan sub proyek dan kriteria pemantauan. Petunujuk Operasional (Operation Manual )ini harus mendapatkan persetujuan dari Bank Dunia.

28. Bank Dunia. Bank Dunia, sebagai lembaga mitra, akan mengawasi jalannya proyek. Tanggung jawabnya, seperti yang ditetapkan dalam Manual Operasional MDF, meliputi: penilaian proyek, pengawasan dan evaluasi serta administrasi EDFF. Bank Dunia juga bertanggung jawab untuk mereview Pemilihan sub proyek oleh Komite Seleksi, dan menerbitkan Surat Persetujuan (No-Objection Letter/NOL) atas pemilihan setiap sub proyek serta menerbitkan NOL untuk rencana terperinci setiap sub proyek. Selain itu, Bank Dunia secara teratur dan secara acak akan mereview sub proyek dan memantau hasil kegiatan serta melaporkannya kepada MDF berdasarkan perkembangan.

29. Kelayakan dan Pemilihan Sub proyek. Sub proyek akan dilaksanakan oleh berbagai entitas (seperti LSM (lokal dan internasional), organisasi swasta dan lembaga bantuan internasional) yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sub proyek tersebut selaras dengan tujuan EDFF dan sejalan dengan RPJMD Pemerintah Aceh dan cetak biru BAPPENAS untuk Pemulihan Aceh. Lembaga-lembaga ini akan mempersiapkan permohonan sub proyek dan bertanggung jawab untuk menelusuri kinerja setiap sub proyek sesuai dengan sasaran (milestones) dan indikator kinerja yang disepakati. Sub proyek akan diawasi oleh PMU dengan pengawasan umum oleh KPDT dan Bank Dunia sebagai lembaga mitra yang bertanggung jawab atas EDFF. Untuk memastikan bahwa sub proyek yang dibiayai di bawah proyek EDFF memenuhi standard kualitas investasi Bank Dunia dan internasional serta berkelanjutan maka investasi yang dibiayai di bawah EDFF akan dievaluasi sebelum pemilihan sub proyek berdasarkan kriteria kelayakan. Kriteria kelayakan dan pemilihan tersedia dalam Attachment 2 Lampiran 7, dan akan diterapkan oleh PMU sebelum meminta pengajuan proposal-proposal sub proyek. Kriteria ini juga akan dicantumkan dalam Manual Operasional. Untuk memudahkan pengaturan proyek dan menghindari disintegrasi sejumlah besar sub proyek maka EDFF akan menerima permohonan yang bernilai antara US$1 juta sampai US$7 juta, dengan perkecualian bahwa EDFF akan mempertimbangkan permohonan pembentukan sub proyek yang lebih besar nilainya setelah mendapatkan persetujuan dari Bank Dunia. EDFF juga akan mempertimbangkan paling banyak tiga sub proyek yang bernilai antara US$500.000 sampai US$ 1 juta. Sebuah Komite Seleksi akan dibentuk untuk melakukan pemilihan akhir sub proyek. Komite ini akan mereview permohonan-permohonan pembentukan sub proyek yang telah berhasil lulus dari penyaringan awal yang dilaksanakan oleh PMU. Bank Dunia akan mereview laporan evaluasi PMU tentang semua proposal yang diajukan kepada Komite Seleksi serta laporan Komite Seleksi tentang proses pemilihan sub proyek yang terpilih untuk memastikan ketaatan kepada kriteria dan proses EDFF, dan menerbitkan NOL untuk setiap pemilihan.

c. Pengawasan dan Evaluasi Outcomes/Hasil

30. Kemajuan dalam mencapai tujuan proyek akan diukur melalui sistem pengawasan dan evaluasi (M&E) yang komprehensif (perinciannya diberikan dalam Lampiran 3). Review yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan dan kemajuan sub proyek serta Review Jangka Menengah formal (MTR, yang akan diadakan selama tahun kedua pelaksanaan proyek) mencakup kajian terperinci terhadap kemajuan dan pencapaian. PMU, yang didukung oleh konsultan dan bantuan teknis (TA) sesuai kebutuhan, akan melaksanakan kerangka M&E, termasuk pengawasan dan evaluasi terhadap sub proyek. Setiap Entitas Pelaksana Sub proyek (SIE) bertanggung jawab untuk menyusun rencana pengawasan dan evaluasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Kegiatan pengawasan dan evaluasi di tingkat sub proyek akan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat penerima manfaat untuk memastikan bahwa dampak proyek atas masyarakat bersangkutan dipantau secara memadai. PMU akan mengevaluasi kemajuan setiap sub proyek berdasarkan indikator-indikator melalui pelaporan yang teratur dari entitas-entitas pelaksana (SIEs). PMU akan menyampaikan kepada Bank Dunia laporan triwulan dan, yang lebih terperinci, laporan tahunan, termasuk indikator output dan outcome untuk setiap sub proyek yang terpilih. Bank Dunia akan mengadakan review terhadap pelaksanaan sebagai bagian dari pengawasan normal setiap setengah tahun, yang disertai dengan review-review yang lebih sering selama tahap awal pelaksanaan proyek. Bank Dunia bertanggung jawab atas pengawasan dan evaluasi proyek secara keseluruhan dan akan menyampaikan laporan setiap enam bulan kepada MDF mengenai kemajuan yang dicapai, berdasarkan kerangka M&E yang diuraikan dalam dokumen ini.

d. Strategi Peralihan dan Kesinambungan

Strategi Peralihan

31. Mendirikan kembali, membangun kembali dan memulai usaha maupun masyarakat usaha dan lingkungan usaha perlu dilakukan untuk pulih dari kehancuran dan dampak (langsung maupun tidak langsung) akibat Tsunami. Hal ini juga perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan akibat konflik politik selama bertahun-tahun dan untuk menggali potensi pembangunan jangka menengah dan panjang di Aceh. Ini merupakan pekerjaan besar. Risikonya jelas bahwa upaya-upaya yang sedang berjalan saat ini dapat terhenti. EDFF hanya dapat memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan untuk mencapai realisasi pembangunan ekonomi. Habisnya masa tugas BRR yang dijadwalkan bulan April 2009, di mana pemerintah kabupaten/kota dan provinsi baru akan melaksanakan tanggung jawab yang lebih besar atas pengelolaan program rekonstruksi, termasuk pembangunan ekonomi, adalah faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan dampak yang nyata. Keluarnya BRR dan kebutuhan pengaturan kelembagaan yang baru untuk memfasilitasi kemajuan lebih lanjut dalam pembangunan ekonomi dan rekonstruksi sektor swasta memerlukan strategi peralihan untuk periode pasca BRR. BRR adalah instrumen Pemerintah Indonesia untuk berinteraksi dengan donor dan pelaku rekonstruksi lainnya. EDFF akan memfasilitasi peralihan dari BRR kepada Pemerintah Aceh melalui kerjasama dengan keduanya selama tahap awal persiapan proyek. KPDT akan memfasilitasi peralihan tanggung jawab dari BRR kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, proyek akan memanfaatkan pengalaman BRR dalam mengidentifikasi dan melaksanakan proyek-proyek rekonstruksi dan rehabilitasi.

32. Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan: Kerangka insentif yang menjadi dasar untuk kegiatan pejabat pemerintah provinsi dalam konteks EDFF akan disesuaikan agar dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan yang bertahan lama. Misalnya, menyediakan sumber daya EDFF untuk membiayai pembentukan den pengelolaan PMU diharapkan akan meningkatkan kemampuan untuk memilih dan mempersiapkan sub proyek pembangunan ekonomi yang serupa di masa mendatang. Karena proyek ini terutama dikembangkan berdasarkan penerapan proses pasca-BRR maka strategi peralihan yang berdiri sendiri tidak dapat dicantumkan namun mekanisme kelembagaan akan ditetapkan untuk memfasilitasi pertukaran pengalaman antara Pemerintah Aceh dan BRR. Selain itu, perusahaan konsultan yang mendampingi PMU akan melaksanakan kegiatan peningkatan kapasitas dan akan menjalankan beberapa fungsi penting (pengelolaan keuangan, pengadaan barang/jasa, ketaatan kepada ketentuan pengamanan (safeguards), pengawasan dan evaluasi) untuk memastikan kesinambungan proyek dan kelanjutan praktek-praktek terbaik internasional setelah perusahaan konsultan menyelesaikan penugasannya, dan setelah EDFF berakhir.

33. Pengaturan Pasca-BRR: Kegiatan peningkatan kapasitas yang diuraikan di atas dirancang untk membantu Pemerintah Aceh bekerja sama dengan BRR pada saat persiapan dan tahap awal pelaksanaan proyek. KPDT akan melanjutkan membantu Pemerintah Aceh untuk melaksanakan proyek ini setelah BRR menyelesaikan masa tugasnya. Selain itu, pelajaran dan pengalaman dari penerapan kegiatan-kegiatan ini hendaknya dapat membantu meningkatkan kemampuan instansi daerah untuk melaksanakan fungsi serupa terkait dengan pembangunan ekonomi dan pengelolaan proyek di masa mendatang.

Kesinambungan

34. Sejumlah langkah dalam konteks EDFF sedang (dan akan) dilaksanakan untuk meningkatkan kesinambungan pembangunan ekonomi berdasarkan sektor swasta dan memfasilitasi peralihan mandat BRR kepada pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Permohonan-permohonan pembentukan sub proyek akan dievaluasi berdasarkan sejumlah faktor, salah satunya adalah (sampai pada taraf yang cocok) kesinambungan dampak dan hasil dari sub proyek maupun kemampuannya untuk meningkatkan kapasitas dari pihak-pihak yang terlibat dalam sub proyek serta pihak-pihak yang kemudian mempunyai peran dalam mengelola dan memastikan hasil-hasil lebih lanjut dari sub proyek. Untuk tujuan ini maka evaluasi terhadap sub proyek akan memperhatikan keikutsertaan Dinas terkait dan/atau pemerintah kabupaten dalam bentuk konsultasi dan desain sub proyek sesuai dengan kebutuhan. Sampai pada taraf di mana Dinas terkait dan/atau pemerintah kabupaten diperlukan untuk memikul tanggung jawab sehubungan dengan sub proyek setelah diselesaikan, hal ini hendaknya dengan jelas direfleksikan dan dicantumkan dalam permohonan pembentukan sub proyek. Kesinambungan proyek dapat ditingkatkan lebih lanjut melalui komitmen Pemerintah Aceh untuk meningkatkan lingkungan usaha dan membantu memfasilitasi pembangunan sektor swasta dan penciptaan lapangan pekerjaan sebagai hasil dari pembangunan tersebut. EDFF telah dipersiapkan selama beberapa waktu dan, selama periode persiapan ini, Pemerintah Aceh dan BRR sangat aktif dan berkomitmen terhadap tujuan-tujuan EDFF. Pendekatan proyek pada tahap awal memungkinkan dipertimbangkannya sub proyek yang kemungkinan besar dapat memberikan hasil-hasil yang cepat selain sub proyek lain yang memenuhi syarat dan ketentuan fasilitas. Dukungan yang disediakan di bawah proyek juga bertujuan untuk mendukung kesinambungan lebih lanjut dengan menetapkan mekanisme dalam Fasilitas untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Aceh dalam mengawasi kegiatan-kegiatan serupa di masa mendatang melalui penggunaan sumber dayanya sendiri. Manfaat-manfaat ini hendaknya berlanjut setelah berakhirnya EDFF.

35. Bantuan Teknis: EDFF dan beberapa sub proyek mencakup komponen-komponen bantuan teknis (TA) yang mekankan pelatihan praktis kepada mereka yang terlibat (khususnya penerima manfaat) dalam sub proyek maupun staf Pemerintah Aceh. Bantuan teknis tersebut merupakan alat penting yang akan turut menjamin kualitas sub proyek pembangunan ekonomi dan hendaknya membantu mempersiapkan instansi daerah untuk masa pasca BRR. Upaya-upaya peningkatan kapasitas akan mencakup sejumlah aspek pemilihan dan pelaksanaan sub proyek, termasuk sub proyek yang mempersiapkan desain terperinci dan dokumen tender, ketaatan kepada ketentuan pengamanan (safeguards), pengadaan barang/jasa, pengawasan sub proyek, dan alat pemantau pembangunan lain serta tindakan-tindakan anti korupsi.

36. Kepemilikan Langkah-langkah akan ditempuh untuk memastikan bahwa Pemerintah Aceh dan, bila perlu, masyarakat lokal di mana sub proyek dilaksanakan, mengembangkan rasa memiliki sehubungan dengan sub proyek yang dibiayai oleh EDFF. Pemerintah Aceh (melalui PMU) akan memilih semua sub proyek. Semua proposal sub proyek harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat penerima manfaat atau dari kabupaten. Taraf sampai sejauh mana lembaga yang mengusulkan suatu sub proyek telah berkonsultasi dengan masyarakat penerima manfaat dan Dinas terkait dan/atau Pemerintah Kabupaten, dan tingkat rasa memiliki mereka terhadap proyek akan menjadi kriteria pemilihan utama.

e. Risiko Penting dan Kemungkinan Aspek yang Kontroversial

37. EDFF menghadapi beberapa risiko, yang terpenting di antaranya adalah: bahwa Pemerintah Aceh tidak mampu memenuhi perannya dalam mengawasi pelaksanaan proyek; pemerintahan dan kapasitas yang lemah di berbagai tingkatan berdampak pada pelaksanaan sub proyek secara tepat waktu; dan risiko konflik dapat terulang. Tim telah membahas risiko-risiko ini dan menyimpulkan bahwa hasil kajian risiko secara keseluruhan memperlihatkan tingkat risikonya adalah ‘substansial’ setelah faktor-faktor mitigasi dipertimbangkan dan ditetapkan. Tindakan-tindakan mitigasi yang diidentifikasi saat ini sedang berlangsung, atau dikembangkan dalam desain proyek. Bidang-bidang risiko utama diidentifikasi sebagai “Umum”, di mana proyek dan pihak pelaksana hanya mempunyai sedikit kontrol, namun risiko-risiko ini merupakan faktor-faktor penting yang dapat berdampak negatif pada proyek; ‘Eksternalitas’ yang jauh lebih spesifik terhadap proyek namun masih belum seluruhnya berada dalam kontrol proyek dan harus diperhitungkan serta, sedapat mungkin, dimitigasi; risiko “pelaksanaan” adalah risiko yang dianggap oleh tim berada dalam kontrol proyek sampai pada taraf yang lebih besar. Risiko pelaksanaan diselesaikan melalui tindakan-tindakan pemerintah yang saat ini sedang berlangsung maupun masih direncanakan, atau melalui upaya-upaya yang terkait dengan proyek itu sendiri. Potensi keuntungan proyek tampaknya lebih besar daripada risikonya, di mana tanpa upaya seperti EDFF maka risiko-risiko tersebut di masyarakat akan menjadi lebih tinggi. Lihat Lampiran 6 untuk mengetahui daftar risiko dan langkah-langkah mitigasi yang diusulkan ataupun yang sudah ada.

38. Ukuran proyek yang diusulkan, jumlah sub proyek yang akan dilaksanakan, dan kompleksitas koordinasi program-program yang akan dibiayai dengan program-program lain untuk mendukung pembangunan ekonomi di Aceh, tugas-tugas yang diserahkan kepada PMU yang baru dibentuk, menimbulkan tantangan-tantangan pengelolaan keuangan. Selain itu, ada sejumlah risiko yang terkait dengan pelaksanaan sub proyek. Mengantisipasi dan menyelesaikan tantangan-tantangan ini di muka akan mengurangi secara signifikan risiko keseluruhan bagi proyek. Penting agar proses dan sistem pengelolaan keuangan ditetapkan seperti audit keuangan independen di akhir tahun fiskal, partisipasi inspektorat Aceh dalam audit internal secara berkala serta penggunaan pakar pengelolaan keuangan untuk membantu lembaga-lembaga pelaksana (di tingkat pemerintah provinsi dan pusat). Informasi lebih lanjut mengenai ketentuan pengelolaan keuangan disajikan dalam Lampiran 8.

f. Syarat dan Ketentuan Hibah

39. Syarat dan ketentuan standar Bank Dunia berlaku. Tindakan(-tindakan) berikut ini akan dilakukan sebelum tanggal efektif:

(a) Unit Pengelola Proyek dengan rencana kepegawaian, syarat dan ketentuan yang memuaskan bagi Bank Dunia telah dibentuk dalam BAPPEDA.

(b) Komite Seleksi sub proyek dengan anggota, syarat dan ketentuan yang memuaskan bagi Bank Dunia telah dibentuk.

(c) KPDT telah membentuk Sekretariat Proyek dengan rencana kepegawaian, syarat dan ketentuan yang memuaskan bagi Bank Dunia.

(d) Bappeda Aceh telah menugaskan sedikitnya seorang staf dengan tanggung jawab utama atas pengadaan barang/jasa untuk proyek EDFF secara penggal waktu atau purna waktu dalam PMU.

40. Tindakan(-tindakan) berikut ini akan dilakukan sebelum review dan evaluasi sub proyek dalam komponen 1 dimulai:

(e) Manual Operasional telah diselesaikan dan diadopsi

(f) Konsultan Pengelolaan Proyek telah ditunjuk

41. Selain tindakan pelaksanaan standar, tindakan-tindakan berikut ini akan dilakukan selama pelaksanaan dan akan direfleksikan dalam Perjanjian Hibah:

(a) Isi Manual Operasional. Pasal tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Manual Operasional mencakup: (i) metode dan prosedur pengadaan sesuai dengan Pedoman Pengadaan/Jasa Konsultasi Bank Dunia, termasuk klarifikasi/modifikasi prosedur NCB yang dapat diterima oleh Bank, (ii) contoh rencana pengadaan, (iii) Dokumen Lelang Standar (ICB/NCB/Shopping) dan Surat Permintaan Proposal (RFP) yang akan digunakan, (iv) Ketentuan pelaporan, (v) Ketentuan pengarsipan, (vi) Kerangka Acuan Kerja (TOR) dan prosedur terperinci untuk melibatkan anggota masyarakat sipil independen sebagai pengamat proses pengadaan barang/jasa. Manual Operasional Proyek mencakup verifikasi pembayaran untuk sub proyek. Manual Operasional harus disetujui Bank Dunia.

(b) Revisi Manual Operasional bila diperlukan. PMU akan mereview/merevisi Manual Operasional sedikitnya sekali setahun dengan persetujuan Bank Dunia.

(c) Pemilihan Sub proyek. PMU akan mengajukan daftar sub proyek yang diusulkan untuk dibiayai beserta dokumen pendukungnya setelah disetujui Panitia Pemilihan, kepada Bank Dunia untuk mendapatkan review dan persetujuan (NOL), sebelum diberitahukan kepada pengusul sub proyek tentang persetujuan pembiayaan dan persetujuan untuk mempersiapkan sub proyek. PMU akan mereview setiap dokumen penilaian sub proyek yang telah disetujui, mempersiapkan ulasan dan mengajukan berkas sub proyek kepada Bank Dunia untuk mendapatkan review dan NOL.

(d) Pengaturan Audit. KPDT akan menunjuk BPKP sebagai auditor eksternal proyek.. Selain itu, audit internal tahunan akan diadakan oleh Inspektorat Jenderal KPDT bekerja sama dengan Inspektorat Aceh. Audit proyek maupun laporan keuangan sub proyek akan disampaikan kepada Bank Dunia paling lambat 6 bulan setelah berakhirnya setiap tahun anggaran.

iv.RINGKASAN PENILAIAN

a. Analisa Ekonomi dan Keuangan

42. EDFF adalah proyek dengan kerangka, dan kegiatan akan dipilih dan dianalisa hanya setelah tanggal efektif Hibah. Maka, tidak mungkin pada tahap ini dilakukan kajian terhadap manfaat ekonomi dari proyek ini melalui analisa biaya-manfaat atau kajian terhadap kelayakan keuangan SIEs. Oleh karena itu, pada tahap ini analisa akan berfokus pada kelayakan pendekatan yang ditempuh, untuk mendukung strategi instansi-instansi provinsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan di provinsi dan meningkatkan kapasitas BAPPEDA dan lembaga-lembaga lain yang terkait untuk memilih, melaksanakan dan memantau sub proyek yang mendukung pembangunan ekonomi di Aceh.

43. Seperti yang dijabarkan dalam pasal-pasal lain tentang PAD (lihat Lampiran 1), roda perekonomian di Aceh sebelum Tsunami digerakkan oleh sektor migas di Pesisir Timur, dan sekarang mengalami kemunduran dan sangat kecil kaitannya dengan sektor-sektor ekonomi lain. Rekonstruksi provinsi setelah Tsunami dengan masuknya dana dalam jumlah yang besar dan pelaksanaan kegiatan rekonstruksi yang luas, telah menghasilkan pertumbuhan yang relatif tinggi di sektor konstruksi dan sektor-sektor lain yang erat kaitannya dengan sektor konstruksi (perdagangan, utilitas, perbankan). Karena sebagian besar upaya rekonstruksi akan berakhir, dan mengingat angka pengangguran yang relatif tinggi serta pergolakan sosial yang dapat ditimbulkannya maka badan rekonstruksi, instansi pusat dan provinsi serta banyak donor mengakui pentingnya memfokuskan perekonomian Aceh pada jalur pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dan dalam jangka yang lebih panjang dalam upaya menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas melalui pusat jalur pertumbuhan ini.

44. Instansi-instansi provinsi yang dipimpin oleh BAPPEDA dengan bantuan beberapa donor telah menginvestasikan sumber daya yang penting dalam mengidentifikasi bidang-bidang di mana dana publik dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di provinsi serta mengatasi kendala-kendala yang ada terhadap pertumbuhan (lihat Attachment 1 dan 2 dari Lampiran 1), seperti meningkatkan kondisi keamanan di provinsi, melakukan investasi pada modal manusia, fokus pada sektor-sektor di mana Aceh mempunyai keunggulan komparatif seperti pertanian, perikanan dan agroindustri, prasarana dan perlunya membuka provinsi untuk perdagangan dan investasi. Proyek ini berupaya mendukung strategi Pemerintah Aceh sendiri untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Aceh kemungkinan mempunyai informasi yang terbaik mengenai apa saja kendala utama pembangunan di provinsi dan sektor apa saja yang mempunyai potensi terbesar. Bantuan teknis akan disediakan melalui proyek ini untuk melengkapi informasi tersebut dan memilih sejumlah sub proyek yang akan dibiayai oleh EDFF untuk memberikan manfaat terbesar dari segi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan lapangan pekerjaan. Mendukung inisiatif dan prioritas Pemerintah Aceh sendiri juga dapat meningkatkan rasa memiliki dan dukungan instansi daerah terhadap kegiatan-kegiatan yang dibiayai sehingga menghasilkan kesinambungan. Proyek juga akan membiayai sebuah perusahaan konsultan untuk mendukung lembaga pelaksana pemerintah dalam mengelola proyek ini. Tanggung jawab utama dari perusahaan konsultan ini adalah membantu BAPPEDA dalam mengevaluasi sub proyek berdasarkan kriteria pemilihan yang dijabarkan dalam dokumen proyek ini dan yang akan diuraikan lebih jauh dalam Manual Operasional, untuk memastikan bahwa setiap kegiatan yang sedang dibiayai akan menghasilkan manfaat terbesar.

b. Teknis

45. Pendekatan yang diusulkan, yang meletakkan instansi provinsi khususnya BAPPEDA pada kedudukan sebagai penggerak dalam merancang dan melaksanakan EDFF, penting dalam meningkatkan alokasi sumber daya publik yang signifikan di Aceh. Pemerintah Aceh akan mempunyai sumber daya publik yang signifikan dalam waktu dekat. Seperti yang diidentifikasi dalam Analisa Pengeluaran Publik di Aceh (Bank Dunia 2006), kendala utama dalam belanja publik di Aceh bukan ketersediaan sumber daya melainkan cara membelanjakannya dengan efektif. Instansi provinsi yang dipimpin oleh BAPPEDA, bertanggung jawab atas pengalokasian dan pelaksanaan bersama Dana Otonomi Khusus senilai Rp 3,5 trilyun pada tahun 2008. Proyek ini yang membantu BAPPEDA dalam pengalokasian sumber daya untuk mendukung pembangunan ekonomi sesuai dengan prioritas dan kriteria yang disepakati akan membantu badan tersebut dalam pengelolaan Dana Otonomi Khusus di masa mendatang sebagai kunci dalam pembangunan provinsi 20 tahun mendatang.

c. Fidusia

Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa

46. Pengadaan barang/jasa untuk proyek akan dilaksanakan sesuai dengan “Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di bawah Pinjaman IBRD dan Kredit IDA” dari Bank Dunia tertanggal Mei 2004 yang diubah pada bulan Oktober 2006, “Pedoman: Pemilihan dan Penggunaan Konsultan oleh Peminjam Bank Dunia” tertanggal Mei 2004 yang diamandemen pada bulan Oktober 2006, dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Perjanjian Hibah. Metode International Competitive Bidding (ICB) akan digunakan untuk semua paket pekerjaan dengan biaya senilai atau lebih dari US$ 5 juta setiap paket dan paket barang dengan biaya senilai atau lebih dari US$200.000 setiap paket. Metode National Competitive Bidding (NCB) akan digunakan untuk semua paket pekerjaan yang diperkirakan dengan biaya kurang dari US$5 juta setiap paket dan paket barang dengan biaya kurang dari US$200.000 setiap paket. Metode Shopping akan digunakan untuk semua paket pekerjaan dan barang yang diperkirakan dengan biaya kurang dari US$50.000 setiap paket. Dalam penilaian proyek, telah diidentifikasi bahwa kontrak jasa konsultasi untuk pengelolaan proyek akan diadakan sesuai dengan metode QCBS. Kontrak jasa konsultasi akan dicantumkan dalam rencana pengadaan setiap sub proyek. Rencana pengadaan akan direview oleh PMU dan kemudian oleh tim Bank Dunia. Perincian Rencana Pengadaan dan kajian kapasitas pengadaan disajikan dalam Lampiran 9.

47. Pemerintah Aceh telah menyatakan keprihatinannya mengenai kapasitas, ketepatan waktu dan kualitas pengadaan oleh calon entitas pelaksana sub proyek (SIEs). Oleh karena itu, telah disepakati dengan BAPPEDA bahwa, dalam proses pemilihan sub proyek, kapasitas SIEs akan dikaji; dan bagi entitas yang kurang keterampilan dan kapasitasnya di bidang pengadaan maka PMU akan menyediakan dukungan yang diperlukan untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa. PMU dan tim konsultannya juga akan mempunyai staf purnawaktu yang berpengalaman untuk mengawasi bagaimana SIEs akan melaksanakan pengadaan barang/jasa.

Pengelolaan Keuangan

48. Akuntansi dan Pelaporan. Kebijakan dan prosedur akuntansi EDFF secara umum akan mengikuti prosedur pengelolaan keuangan pemerintah, yang diperkuat di mana perlu. Prosedur pemerintah ini meliputi, misalnya, prosedur penganggaran pemerintah, standar akuntansi (PP no. 24 tahun 2005) dan sistem akuntansi pemerintah (PerMenKeu no. 59/PMK.06/2005), semuanya telah dikeluarkan setelah pengundangan Undang-Undang Kas dan Perbendaharaan Negara. Semua kegiatan dan pengeluaran proyek akan dibukukan dalam anggaran KPA (Pengguna Anggaran) masing-masing. Prosedur administrasi dan pertanggungjawaban untuk menyetujui pengeluaran dan mencairkan dana kepada pemanfaat akan mengikuti prosedur pemerintah.

49. Untuk mendapatkan informasi proyek yang lebih baik maka pengeluaran hibah dan kegiatan-kegiatannya akan dilaporkan secara terpisah kepada Bank Dunia dalam laporan keuangan proyek setiap triwulan melalui Laporan Keuangan Sementara (IFRs). Laporan ini mencakup informasi tentang kemajuan pengadaan barang/jasa, kemajuan fisik dari kegiatan yang dianggarkan, dan sumber keuangan serta penggunaan dana. Suatu rekonsiliasi antara transaksi rekening khusus dengan laporan keuangan juga akan disusun. Format laporan akan disepakati pada saat penilaian proyek dan dikonfirmasikan selama perundingan. Laporan keuangan triwulan proyek harus diterima oleh Bank Dunia paling lambat 45 hari setelah akhir setiap triwulan. Laporan triwulan akan digabungkan setiap tahun untuk keperluan audit keuangan tahunan. Sekretariat KPDT akan memastikan bahwa IFRs diajukan kepada Bank Dunia secara tepat waktu. Perincian prosedur ini akan dicantumkan dalam Manual Operasional. Semua transaksi keuangan perlu dicatat secara sepatutnya dengan didukung bukti yang memadai bahwa penerima hibah adalah seperti yang dimaksudkan menurut tujuan Hibah, dan catatan tersebut harus tersedia bagi masyarakat umum untuk memastikan transparansi.

50. Pengendalian Internal dan Audit Internal. Untuk sub proyek, verifikasi pembayaran akan bergantung pada sistem pengelolaan keuangan sub-penerima hibah. PMU akan mengkaji apakah pengendalian internal SIEs telah memadai. Verifikasi pembayaran di tingkat PMU akan bergantung pada sistem pemerintah yang menerapkan pemisahan tugas antara aspek teknis dan keuangan. Manual Operasional akan mendokumentasikan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan yang harus diikuti untuk memastikan bahwa proyek menerapkan praktek pengelolaan keuangan yang sehat. KPDT telah setuju untuk mencantumkan proyek dalam program audit tahunan yang dilakukannya secara rutin dan akan mencantumkan sub proyek dalam program audit mereka secara sampling dengan menyusun laporan terpisah untuk proyek yang akan disampaikan kepada Bank Dunia. Selain itu, KPDT juga akan mempunyai tim khusus untuk menangani setiap keluhan yang diterima sehubungan dengan proyek.

51. Audit Eksternal. Laporan keuangan proyek yang disusun oleh lembaga penanggung jawab proyek (project executing agency) didasarkan pada kompilasi Laporan Keuangan Sementara (IFR) yang belum diaudit. IFR tahunan akan diaudit oleh seorang auditor yang dapat diterima oleh Bank Dunia. Kerangka Acuan Kerja (TOR) audit proyek harus mendapatkan persetujuan Bank Dunia. Sebuah salinan laporan keuangan proyek yang telah diaudit beserta surat dari manajemen, jika ada, akan disampaikan kepada Bank Dunia paling lambat 6 bulan setelah akhir setiap tahun anggaran. Audit akan mencakup audit terhadap sub proyek dengan nilai di bawah US$1 juta. Sub proyek yang bernilai di atas US$1 juta juga akan diaudit secara terpisah oleh auditor yang dapat diterima oleh Bank Dunia, dan laporan audit akan disampaikan kepada Bank Dunia paling lambat 6 bulan setelah akhir setiap tahun anggaran.

52. Pengaturan Pencairan. Metode pencairan adalah “Uang Muka” (Advance). Untuk memfasilitasi pencairan maka sebuah Rekening (Khusus) yang Ditunjuk (DA) dalam mata uang Dolar Amerika akan dibuka oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara di Bank Sentral atau bank umum yang dapat diterima oleh Bank Dunia atas nama Departemen Keuangan. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara akan memberikan kuasa kepada kantor-kantor pelayanan perbendaharaan negara (KPPN) yang berkedudukan di Banda Aceh dan Jakarta untuk mengesahkan pembayaran atas pengeluaran proyek yang memenuhi syarat dan memberikan pedoman tentang pengeluaran proyek yang memenuhi syarat sesuai dengan Perjanjian Hibah. Surat-surat permintaan untuk pelaporan penggunaan dana DA akan didukung oleh bukti-bukti yang diperlukan (lihat Lampiran 8 untuk perinciannya).

53. Sekretariat KPDT bertanggung jawab untuk merekonsiliasi DA dan mempersiapkan surat permintaan penarikan uang muka serta melaporkan penggunaan DA yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara sebelum diajukan kepada Bank Dunia. Semua bukti pengeluaran yang diajukan untuk pencairan akan disimpan di unit pelaksana dan harus diserahkan kepada auditor untuk audit tahunan dan kepada Bank Dunia dan perwakilannya apabila diminta. Untuk proposal sub proyek yang terpilih, Perjanjian/Kontrak Penerusan Hibah akan ditandatangani antara PMU dan SIE. Dokumen ini mencakup rencana anggaran dan pengadaan barang/jasa. Setelah penandatanganan Perjanjian Penerusan Hibah, SIE akan menerima uang muka yang memadai untuk menutupi rencana pengeluaran selama tiga bulan. Perincian alur mekanisme dana akan diuraikan dalam Manual Operasional (OM) Penerusan Hibah.

d. Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi

54. Pelaksanaan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi (ACAP) untuk EDFF bergantung pada dukungan yang kuat dari Pemerintah Aceh melalui PMU. Rencana Aksi tersebut (Lampiran 12) akan menjadi bagian dari Manual Operasional. Selama pelaksanaannya, staf Bank Dunia akan memantau pelaksanaan elemen-elemen Rencana Aksi ini, dan Aide Memoirs akan dengan jelas menyatakan kemajuan sehubungan dengan Rencana Aksi. Setiap perubahan pada Rencana Aksi akan dilakukan dengan persetujuan Bank Dunia. Pengawasan Bank Dunia dapat ditingkatkan melalui dukungan dari Tim Pengawas Eksternal (EST) yang memberikan nasihat kepada Panitia Anti Korupsi internal Bank Dunia untuk Indonesia untuk membantu mengidentifikasi risiko-risiko penggelapan dan korupsi sejak dini, dan melaporkannya kepada Bank Dunia dan lembaga-lembaga pemerintah untuk ditindaklanjuti. Secara khusus, EST dapat membantu pengawasan Bank Dunia dengan mengidentifikasi dan menelusuri indikator-indikator korupsi, dan melakukan pemeriksaan sub proyek langsung di lokasi pada waktu-waktu strategis antara misi-misi pengawasan formal. EST juga dapat membantu tim pengawasan Bank Dunia dalam merancang proses penanganan keluhan maupun mekanisme koordinasi dengan lembaga-lembaga lain. Input-input ini tidak mengurangi perlunya bagi Pemerintah Aceh untuk memantau pelaksanaan proyek melalui mekanisme yang disepakati. Pemerintah Aceh akan secara teratur menyampaikan kepada Bank Dunia temuan-temuan audit teknis maupun keuangan, yang akan diadakan selama (audit sementara) dan setelah (pasca audit) setiap tahun untuk sejumlah besar sampel sub proyek. Pemerintah Aceh dan konsultan PMU akan memastikan agar dugaan kasus-kasus korupsi yang terkait dengan proyek ini segera dilaporkan kepada Bank Dunia.

55. Penyingkapan Informasi. Untuk mendorong penyebarluasan informasi yang sehat mengenai pemilihan dan pelaksanaan sub proyek maka PMU akan memastikan bahwa informasi mengenai EDFF akan dapat diakses oleh publik, termasuk rencana dan jadwal pengadaan, informasi kontrak untuk kontrak-kontrak besar, laporan Review Jangka Menengah serta laporan audit dan tanggapan resmi pemerintah terhadap laporan-laporan ini. Hal ini akan dilakukan dengan menggunakan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan (misalnya iklan di surat kabar, website pemerintah propinsi (www.nad.go.id), dan sebagainya). Selain itu, SIE melalui PMU juga akan menjawab setiap permintaan masyarakat untuk mendapatkan informasi (sebagaimana yang diuraikan dalam Lampiran 13 dan Manual Operasional). Untuk menghindari misinformasi yang beredar tentang proyek maka PMU akan memastikan bahwa kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam setiap sub proyek dapat memperoleh data tentang kemajuan selama tahap pengadaan barang/jasa dan pelaksanaan melalui berbagai metode. PMU juga akan memastikan bahwa pelajaran yang diambil dari pelaksanaan sub proyek disebarluaskan secara luas dan secara terbatas kepada mereka yang telah menunjukkan minat.

56. Mitigasi Kolusi. Perhatian khusus akan diberikan kepada perencanaan dan persiapan proses pengadaan secara umum dan lebih spesifik di tingkat sub proyek karena tahap ini mungkin melibatkan jenis dan ukuran paket yang sangat berbeda, tingkat tanggung jawab yang berbeda, dan kapasitas yang berbeda dari segi pengelolaan proses dan pengawasan (internal dan eksternal). Manual Operasional akan memberikan pedoman mengenai hal ini. Tindakan-tindakan yang diuraikan dalam pasal tentang pengadaan barang/jasa dan pengelolaan keuangan dari Manual Operasional harus diikuti secara saksama pada setiap tahapan, dan setiap penyimpangan dari aturan yang disepakati harus diselidiki dengan cermat dan dikenakan sanksi-sanksi yang tepat. Perusahaan konsultan PMU akan menugaskan tenaga ahli di bidang pengadaan dalam jumlah yang memadai untuk membantu PMU dalam memilih proposal dan meningkatkan kapasitas Pemerintah Aceh. Perusahaan konsultan juga akan membantu PMU dalam mengawasi pengadaan barang/jasa di tingkat sub proyek. Dalam kasus-kasus di mana entitas-entitas pelaksana sub proyek tidak mempunyai kapasitas yang diperlukan untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa atau ketika pengadaan barang/jasa melibatkan paket-paket yang besar dan sangat kompleks maka PMU dapat mengambil alih peran ini.

57. Mitigasi Pemalsuan dan Penggelapan: Risiko pemalsuan dan penggelapan dapat diminimalkan dengan menerapkan praktek manajemen fidusia. Manual Operasional akan menguraikan tindakan-tindakan seperti prosedur validasi pembayaran, kelengkapan dokumen dan mekanisme pelaporan serta audit internal dan eksternal. Tindakan-tindakan yang diambil mencakup prosedur validasi pembayaran yang akan dilaksanakan secara cermat. Pengarsipan/pembukuan proyek atau sub proyek akan dikontrol secara ketat dan direview dengan cermat. Audit internal dan eksternal akan diadakan untuk memastikan bahwa manajemen fidusia sesuai dengan prosedur yang disetujui. Perhatian khusus akan diberikan kepada aspek-aspek yang terbukti rawan dalam proyek-proyek sebelumnya, seperti kategori “lunak” dalam modal kerja, pelatihan, loTORarya dan diseminasi informasi. Perusahaan yang mendampingi PMU ini akan menyediakan tenaga ahli yang diperlukan di bidang pengelolaan keuangan untuk memastikan bahwa PMU dapat melaksanakan tugas-tugasnya di bidang tersebut. Laporan pengelolaan keuangan PMU dan sub proyek harus menjalani audit internal oleh Inspektorat Daerah (Aceh). Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau BPK akan mengadakan audit eksternal secara berkala. Semua laporan audit final dan tanggapan pemerintah akan disingkapkan melalui website proyek.

58. Penanganan Keluhan. EDFF, sebagai suatu proyek yang didanai oleh MDF, juga harus mengikuti mekanisme MDF dalam penanganan keluhan. Jadi, tidak perlu menciptakan sistem baru untuk menangani keluhan. Selain itu, karena proyek dilaksanakan melalui Pemerintah Aceh maka prosedur pemerint