PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA...

56
i Bidang Unggulan: Sosial Budaya Kode/Nama Bidang Ilmu: 511/ Sastra (dan Bahasa) Daerah (Jawa, Sunda, Batak dll) LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI RESTORASIKEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL BERBAHASA BALI GUNA MEMPERKUAT JATIDIRI BUDAYA BALI Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum. NIDN 0031126517 (Ketua) Dr. Ni Made Suryati, M. Hum. NIDN 0031126073 (Anggota) Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. NIDN 0004105813 (Anggota) Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. NIDN 0022125711(Anggota) Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. NIDN 0012016515 (Anggota) PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA JULI 2015 (DIBIAYAI OLEH DIPA PNBP UNIVERSITAS UDAYANA SESUAI SURAT PERJANJIAN PENUGASAN PELAKSANAAN PENELITIAN NO: 066/UN14.1.1/SPK/2015 TANGGAL 21 APRIL 2015)

Transcript of PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA...

Page 1: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

i

Bidang Unggulan: Sosial Budaya

Kode/Nama Bidang Ilmu: 511/ Sastra (dan Bahasa) Daerah

(Jawa, Sunda, Batak dll)

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

RESTORASIKEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL BERBAHASA BALI

GUNA MEMPERKUAT JATIDIRI BUDAYA BALI

Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum. NIDN 0031126517 (Ketua)

Dr. Ni Made Suryati, M. Hum. NIDN 0031126073 (Anggota)

Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. NIDN 0004105813 (Anggota)

Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. NIDN 0022125711(Anggota)

Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. NIDN 0012016515 (Anggota)

PROGRAM STUDI SASTRA BALI

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

JULI 2015

(DIBIAYAI OLEH DIPA PNBP UNIVERSITAS UDAYANA SESUAI SURAT

PERJANJIAN PENUGASAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NO: 066/UN14.1.1/SPK/2015 TANGGAL 21 APRIL 2015)

Page 2: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

ii

Page 3: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

iii

RINGKASAN

Sastra dengan masyarakat memiliki hubungan yang timbal balik. Sebagai salah

satu kajian ilmu sastra, sosiosastra menduduki posisi dominan karena membicarakan

masalah-masalah kemasyarakatan. Ratna (2011: 24) bahkan lebih tajam menjustifikasi

bahwa karya sastra adalah masyarakat itu sendiri. Selain itu, dalam kaitan sastra dengan

budaya antropologi sastra mutlak diperlukan dengan pertimbangan kekayaan

kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang (Setya Yuwana

Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan model

baru dalam analisis karya sastra. Sejauh ini teori ini baru diperkenalkan dan belum

banyak orang yang menggunakannya (bahkan sejauh ini belum pernah digunakan

khususnya untuk mahasiswa S1). Oleh karena itu, ke depan penelitian ini diharapkan

akan menjadi salah satu model analisis karya sastra yang sejauh ini hanya berkutat pada

strukturalisme. Dengan demikian, analisis karya sastra akan semakin berkembang

dengan penerapan teori baru dan hasil yang baru pula. Implikasi lainnya adalah akan

memberi warna baru yang lebih segar dan lebih variatif lebih-lebih budaya Bali

bagaikan mozaik yang beraneka warna. Oleh karena itulah, penelitian terhadap novel

sebagai karya sastra modern berbahasa Bali penting dilakukan. Pertama, dari segi

penggunaan bahasa karya sastra novel jauh lebih banyak bahkan tidak terbatas jika

dibandingkan genre karya sastra lainnya (puisi dan drama). Kedua, improvisasi

pengarang dalam merefleksikan gagasannya lewat bahasa tersebut jauh lebih luas dan

lebih bebas, lebih dinamis dan, inovatif.

Berdasarkan klasifikasi dan pemilihan novel serta setelah dilakukan kritik, maka

beberapa buah novel dijadikan sebagai objek kajian, yaitu novel Nemoe Karma karya I

Wajan Gobiah, novel Gending Pengalu karya Nyoman Manda, novel Nembangan

Sayang karya Nyoman Manda, novel Suryak Suung Mangmung karya Djelantik

Santha. Hasil analisis menunjukkan bahwa novel-novel tersebut mengandung pesan-

pesan kearifan lokal yang patut untuk direstorasi, yakni menggali kembali nilai-nilai

kearifan lokal itu untuk dihayati, dipahami, dan disebarluaskan kembali kepada

masyarakat Bali khususnya. Nilai-nilai kearifan lokal ini diharapkan nantinya dapat

diwariskan kepada generasi mendatang sehingga identitas, jati diri budaya Bali bisa

ajeg lestari sepanjang zaman.

Beberapa kearifan lokal yang berhasil direstorasi adalah konsep Tri Kaya

Parisudha sebagai konsep sinergitas dalam berkehidupan sehari-hari khususnya dalam

Page 4: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

iv

menata dan meniti rumah tangga dalam Nemoe Karma, etos kerja dalam Gending

Pengalu, konsep Tri hita karana dan bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa dalam

Nembangan Sayang, mulat sarira/eling (introspeksi diri) dan sesonggan :pilih-pilih

bekul bakat buah bangiang dalam Suryak Suung Mangmung, salunglung sobayantakan

dalan novel Gita Ning Nusa Alit. Secara teknis, pemilihan nama-nama tokoh yang

sesuai dengan karakter dalam cerita pengarang lebih memilih secara dramatik.

Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak tercermin dalam cerita biasanya pengarang

mendeskripsikan karakter tokoh dengan analistis. Namun hal ini tidak berlaku mutlak,

di sana-sini secara fragmentaris cara dramatik dan analitik digunakan secara bergiliran.

Kearifan lokal yang direstorasi tersebut di atas harus selalu dijadikan landasan

dalam berkehidupan sosial di masyarakat sehari-hari sehingga dirasakan sebagai

kebutuhan hidup. Dengan demikian, masalah-masalah sosial seperti egoisme,

individualistik, tidak berpikir prospektif, dan sejenisnya sebagai akibat dari globalisasi

bisa diminimalisasi bahkan bisa dihilangkan. Masyarakat Bali yang dicirikan dengan

sistem komunal dan etos kerja yang kuat didasari oleh filosofi agama Hindu akan

benar-benar menjadi jati diri budaya Bali.

Page 5: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

v

PRAKATA

Puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa)

karena atas berkat-Nya “Laporan Akhir Hibah Program Studi” dapat diselesaikan

sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan penelitian ini tentu

banyak hal yang menjadi hambatan namun berkat kerja sama tim semua rintangan itu

dapat diatasi.

Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi peneliti

sehingga kualitas penelitian semakin bertambah selain itu juga untuk menambah

kuantitasnya. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan menjadi model analisis baru

terkait dengan penerapan teori Antropologi Sastra yang relatif masih baru dan belum

banyak diterapkan dalam analisis karya sastra.

Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas juga dari peranan institusi mulai dari

tingkat jurusan/program studi atas rekomendasinya, fakultas, LPPM, dan Unud sebagai

payungnya yang telah memfasilitasi baik sarana maupun prasarana lainnya. Untuk itu,

ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada Kaprodi Sastra Bali,

Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Ketua LPPM, dan Rektor Univ. Udayana.

Oleh karena laporan ini adalah laporan kemajuan tentu masih jauh dari kata

sempurna. Untuk itu, kepada semua penilai, pembaca dimohon untuk memberikan

masukan sehingga hasilnya benar-benar memadai. Kami dari tim peneliti mohon maaf

atas segala kekurangannya baik yang tersurat maupun yang tersirat dan selalu terbuka

atas semua saran yang konstruktif. Semoga budi baik Bapak, Ibu, Saudara/i mendapat

pahala yang selayaknya.

Denpasar, 30 Oktober 2015

Tim Peneliti

Page 6: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… ii

RINGKASAN …………………………………………………………….. iii

PRAKATA ………………………………………………………………… v

DAFTAR ISI……………………………………………………………… vi

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1

Latar Belakang …………………………………………………….. 1

Masalah ……………………………………………………………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 4

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN …………………… 7

Tujuan Khusus ……………………………………………………. 7

Urgensi …………………………………………………………… 7

BAB IV METODE PENEITIAN………………………………………….. 9

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………… 10

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 45

Simpulan ……………………………………………………………….. 45

Saran ………………………………………………………………… 46

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 49

LAMPIRAN

Page 7: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

1

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat di tingkat lokal yang

tercermin dalam sikap dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam

mengembangkan potensi dan sumber lokal baik berupa material maupun nonmaterial

(Balitbangsos, Depsos RI, 2005: 5-15). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa

kearifan lokal tidak lain adalahpengetahuan asli (indigenious knowledge) atau

kecerdasan lokal (local genious) suatu masyarakat yang berasal dari nilai-nilai luhur

tradisi budaya yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 122).

Dengan demikian, secara terminologis kearifan lokal merupakan kekhasan tersendiri

atau memiliki karakter tersendiri dalam suatu masyarakat yang dijadikan panutan

oleh anggota masyarakat yang lainnya.

Merujuk penelitian Soehartono (2010 dalam Parimartha, dkk, 2011: 43)

membuktikan bahwa telah terjadi degradasi dan kehilangan jejak nilai-nilai karakter

bangsa yang menjadi landasan pembangunan moral bangsa Indonesia sejak era

Reformasi. Hal ini dialami oleh semua masyarakat Indonesia sebagai sebuah

pengalaman kolektif yang memerlukan revitalisasi agar masa depan bangsa tidak

terjerumus di jurang kehancuran. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah

merestorasi nilai-nilai kearifan lokal itu diangkat kembali ke permukaan agar terjadi

penguatan-penguatan sehigga eksistensi karakteristik suatu masyarakat menjadi

sebuah identitas dan jatidiri suatu masyarakat yang betul-betul nyata. Oleh karena

itu, nilai-nilai kearifan lokal menjadi modal dasar yang sangat vital dalam

pembangunan masyarakat.

Page 8: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

2

Berkaitan dengan nilai-nilai itu, Bali sangat kaya dengan berbagai macam

kearifan lokalnya yang khas. Nilai-nilai kearifan lokal Bali bisa ditelusuri dari

berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah melalui media seni

khususnya novel-novel berbahasa Bali.Sastra sebagai dunia mimesis atau tiruan

seperti yang digambarkan filosof Plato pada 2000-an tahun yang lalu bahwa seni

hanya dapat meniru dan membayangkan yang ada dalam kenyataan yang tampak

(Teeuw, 1988: 220). Khusus mengenai novel sebagai sebuah karya sastra merupakan

kronik sosial yang merefleksikan suatu kondisi sosial dalam masa tertentu (Anwar,

2012: 109). Novel sebagai sebuah karya sastra pada hakikatnya adalah proses

komunikasi antara pengarang dengan pembaca yang tidak dibatasi oleh ruang dan

waktu. Oleh karena itu, sebuah novel memiliki esensi berbagai macam nilai

termasuk kearifan lokal sebagai salah satu gagasan pokoknya lebih-lebih novel yang

bercorak kedaerahan (segi bahasa dan settingnya). Kelahiran sebuah novel sangat

tergantung pada zamannya dan ditafsirkan berbeda pula oleh pembaca pada zaman

yang berbeda. Oleh karena itu, restorasi nilai-nilai kearifan lokal itu perlu digali

secara lebih mendalam selanjutnya dikembangkan untuk diaplikasikan sehingga

betul-betul menjadi ciri khas budaya Bali.

Secara historis, kelahiran sastra Bali modern tahun 1910 dengan terbitnya

cerpen-cerpen Made Pasek dan Mas Nitisastro (Putra, 2000: 9). Namun, khusus

novel berbahasa Bali ditandai dengan terbitnya novel Nemoe Karma karya I Wayan

Gobiah tahun 1931 (Putra, 2000: 17).Sejak saat itu mulai bermunculan sastra Bali

modern khusunya novel berbahasa Bali walau sebenarnya tidak terlalu banyak

(sejauh ini baru dapat dikumpulkan sebanyak 25 buah novel).

Page 9: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

3

Masalah

Deskripsi latar belakang di atas menimbulakn permasalahan yang yang

diteliti adalah (i) aspek kearifan lokal apa saja yang ingin disampaikan pengarang?

(ii) bagaimana cara pengarang mengaktualisasikan idenya itu ke dalam karya

sebagai media komunikasi?

Adapun urgensi masalah-masalah yang akan diteliti adalah menggali potensi-

potensi yang tersembunyi secara mendalam mengenai kekayaan budaya Bali yang

adiluhung dalam bentuk novel sebagi genre sastra modern sehingga budaya Bali bisa

terus ajeg, lestari, selanjutnya dikembangkan sekaligus diaplikasikan kembali

sehingga menjadi ciri khas dan jatidiri masyarakat Bali. Hal ini dirasakan sangat

penting karena Bali sebagai bagaian dari tujuan utama wisata internasional tentu

menghadapi berbagai tantangan dan persoalan terhadap pandangan dan pola pikir

masyarakat. Selain itu, arus globalisasi yang demikian deras akan memberi pengaruh

yang signifikan terhadap penyerapan budaya asing yang cenderung pragmatis dan

hedonis. Realitas di masyarakat menunjukkan adanya perebutan warisan, kawin

paksa, kawin antarkasta, azas kegotong-royongan yang mulai memudar, janji

kesetiaan, dan lain-lain yang patut untuk diperdalam, dihayati, direnungkan kembali

sebagai wujud mulat sarira/eling (tanggung jawab moral atau introspeksi diri). Hal-

hal semacam ini akan digali selanjutnya untuk direnungkan kembali dan

dipublikasikan ke masyarakat luas. Novel berbahasa Bali tidaklah terlalu banyak

jika dibandingkan dengan novel-novel berbahasa Indonesia kurang lebih sekitar dua

puluh limaan buah. Namun demikian, tidak semua novel akan dibahas melainkan

sebagian saja sesuai dengan kriteria atau kualitas novel yang bersangkutan.

Page 10: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa penelitian novel berbahasa Bali yang gayut dalam penelitian ini

dideskripsikan sebagai berikut.

(1) Genua (Prosiding, 2013) denganjudul tulisan “Nilai Kehidupan dalam

Legenda Rendo Rate Rua sebagai Jatidiri Masyarakat Kabupaten Ende NTT).

Teori yang digunakan adalah teori nilai dari Scheler yang berpandangan

bahwa nilai adalah harga suatu norma dan menjadi prinsip hidup yang

menjadi pegangan seseorang. Nilai digunakan sebagai dasar untuk atau alasan

untuk melakukan dan tidak melakukan. Ada lima nilai yang ditemukan dalam

legenda tersebut sebagai berikut. (1) Nilai kesejahteraan yang menjelaskan

bahwa dengan kesejahteraan akan tercipta suatu kehidupan yang bahagia dan

harmonis, (2) nilai kesakitan, yaitu perasaan sakit mengancam ingin

membunuh Redo, (3) nilai kelelahan, yaitu tidak bisa berenang dan tidak bisa

melawan arus air yang begitu dahsyat, (4) nilai keteguhan hati, yakni

ketetapan hati walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga, (5) nilai

kecemasan yakni nlai yang berkaitan dengan perasaan gelisah, takut atau

khawatir (Genua, 2013: 1196).

(2) Apriani (Skripsi, 2009) yang berjudul “Novel Suryak Suung Mangmung

Karya Djelantik Santha: Pendekatan Sosiologi Sastra”. Dalam penelitian ini

digunakan teori sosiologi sastra dengan pandangan mempertimbangkan segi-

segi kemasyarakatan. Sosiologi sastra menaruh perhatian besar terhadap

aspek dokumenter sastra dengan landasan sastra sebagai cerminan jamannya.

Hasil penelitian ini menunjukkan karmaphala dan punarbhawa sebagai dasar

karya sastra. Dasar sosiologi yang digunakan didasarkan pada padangan

Page 11: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

5

bahwa kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat,cipta sastra

bukanlah hanya pengungkapan realita belaka, di dalamnya diungkapkan pula

nilai-nilai yang lebih tinggi dari sekadar realita objektif itu. Hasil yang

diperoleh meiputi aspek mitos dan dalam tradisi masyarakat Bali terutama

masalah perkawinan antarkasta.

(3) Hardiningtyas (prosiding, 2014) dengan judul “Warna Lokal dalam

Kumpulan Cerpen Mandi Api: Upaya Regulasi Budaya Bali di Tengah Arus

Globalisasi. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra, antropologi,

serta teori konflik dan fungsional. Hipotesis yang diajukan adalah bawa

intensitas terjadinya perubahan-perubahan nilai sosial budaya seagai akibat

aktivitas kehidupan masyarakat Bali sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya

nilai-nilai tradisi dan adat sesuai dengan lingkungan sosial kultural yang

memberikan warna khas pada masing-masing kelompok masyarakat Bali

sehingga mampu bertahan di tengah perubahan globalisasi (Hardiningtyas,

2014: 793). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerpen Mandi Api

merupakan refleksi karakteristik dan relasi tokoh terhadap dinamika sosial

budaya masyarakat Bali. Kekuatan sistem kemasyarakatan di Bali menjadi

penopang perbedaan yang bersumber pada kasta, pemertahanan terhadap

sistem banjar, subak, dan sekaa berperan pranatasosial yang fungsinal dalam

masyarakat. Stratifikasi dan dinamika budaya masyarakat Bali sengaja

diciptakan kekuasaan krama banjar, tradisi catur wangsa, dan sistem sosial

yang otoriter. Bila dipandang secara tradisional maka dapat disebut sebagai

suatu keajegan dan kehadiran masyarakat tersebut dapat ditawarkan dengan

pola egaliter dan demokratis.

Page 12: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

6

(4) Parasari (Skripsi, 2010) yang berjudul “Novel Gending Pengalu Karya

Nyoman Manda: Analisis Struktur”. Dalam penelitian ini digunakan teori

struktural yang berpandangan bahwa unsur-unsur karya sastra sebagai satu

kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Hasil penelitian struktur intrinsik

mencakup insiden, alur, tokoh, latar, tema, dan amanat. Hasil analisis

ekstrinsik berkaitan dengan ekonomi, historis, religius.

(5) Putra (2010) dengan judul Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Buku ini

berisikan kritik terhadap beberapa karya sastra (termasuk sastra Bali). Buku

ini juga memuat perkembangan sejarah sastra Bali modern sejak awal

kelahirannya. Buku itu berisikan kritik beberapa karya sastra novel dan puisi,

biografi Wayan Gobiah sebagai penulis novel berbahasa Bali yang pertama.

(6) Alaini (Prosiding 2015) dengan judul “Tradisi Lisan Kecimol: Upaya

Penguatan Jatidiri Bangsa Melalui Kearifan Lokal”. Teori yang digunakan

adalah teori sosiologi sastra. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa syair-

syair yang dilantun kan dalam tradisi Kecimol Batik Rembang dapat

diteladani sebagai kearifan lokal masyaraakat Sasak yang berkitan dengan

kerja sama, hidup rukun, saling memaafkan, saling menghormati, dan

menjaga lisan.

Dari kelima penelitian dan buku yang diacu tersebut di atas, sama sekali

belum ditemukan penggunaan teori antropologi sastra lebih-lebih penelitian-

penelitian skripsi terjadi tumpang tindih antara sosiologi dengan pendekatan

struktural. Oleh karena itu, penggunaan teori antropologi sastra benar-benar

merupakan hal baru dan penting dalam studi sastra.

Page 13: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

7

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai berkaitan dengan masalah yang diteliti

adalah (1) Menggali sebanyak mungkin aspek-aspek kearifan lokal budaya Bali

sebagi ciri khas budaya Bali yang harus terus dipertahankan selanjutnya

dikembangkan sekaligus diaplikasikan kembali ke masyarakat. (2) mengkaji struktur

atau pola penggarang dalam mengaktualisasikan ide karyanya itu, baik dari segi

frekuensi pengarang mengemukakan idenya itu maupun caranya (langsung atau tidak

langsung) melalui tokoh, konflik-konflik, atau melalui dialog-dialog antartokoh.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ratna (2011: 94) bahwa kearifan lokal

merupakan segmen pengikat berbagai bentuk kebudayaan yang sudah ada sehingga

disadari keberadaannya. Oleh karena lahir dan hidup di dalam semestaan yang

bersangkutan, maka kearifan lokal diharapkan dapat dipelihara dan dikembangkan

secara optimal. Lebih jauh Ratna (2011: 95) juga mengungkapkan bahwa kearifan

lokal berfungsi untuk mengantisipasi, menyaring bahkan metransformasikan

berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga sesuai dengan ciri-ciri masyarakat

lokal.

Urgensi

Jika dilihat dari sudut urgensinya, selain untuk meningkatkan kompetensi

dan mutu penelitian, penelitian ini memiliki beberapa keutamaan seperti

meningkatkan kualitas materi pembelajaran baik menyangkut pengembangan teori

dan model pembelajaran. Selain itu, penelitian ini penting dilakukan karena realitas

di masyarakat tantangan modernitas demikian kuat dan perlu diimbangi dengan

Page 14: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

8

penguatan pemahaman akan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah diwariskan secara

turun-temurun sebagai identitas orang Bali dengan budaya Balinya. Kuatnya

tantangan modernitas yang cenderung pragmatis hedonis itu tidak hanya dialami oleh

masyarakat perkotaan maupun masyarakat daerah tujuan wisata tetapi sudah lebih

jauh menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Restorasi terhadap nilai-nilai

kearifan itu kiranya penting untuk direnkonstruksi ulang sebagai pegangan dalam

bermasyarakat sehingga harkat dan martabat orang Bali dengan identitas kebaliannya

tidak lenyap ditelan zaman. Oleh karena itu, hasil-hasil terhadap analisis yang telah

dilakukan akan disebarluaskan kepada khayalak melalui media pertemuan

ilmiah/seminar maupun nasional ataupun melalui jurnal nasional.

Page 15: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

9

BAB IV METODE PENELITIAN

Penelitian ini didasari oleh filosofis fenomenologis. Oleh karena itu akan

digunakan pendekatan kualitatif, yang diartikan sebagai bukan penghitungan

“angka” (Moleong, 1982: 2). Secara metodologis, penelitian ini dibagi dalam tiga

tahapan. Tahap pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dengan

mencari naskah novel mulai novel yang pertama kali terbit sampai novel terbitan

tahun 2014. Sampai saat ini sudah berhasil dikumpulkan 25 buah novel (termasuk

novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah sebagai novel pertama berbahasa Bali).

Setelah itu, akan dilakukan klasifikasi terhadap novel-novel yang akan dijadikan

sampel. Sampel ini akan diukur dari segi kualitas novel seperti seringnya dibicarakan

dalam berbagai pertemuan/seminar/penelitian (sudut intrinsiknya dari segi bahasa,

kompleksitas pola alur, konflik/peristiwa, dll), juara dalam sayembara penulisan

fiksi, frekuensi penerbitan, dan wawancara secara acak terhadap novel yang disukai.

Dalam analisis, akan digunakan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analitis,

yakni dengan mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara rinci. Dalam

penyajian hasil analisis, akan digunakan metode formal dan informal. Metode formal

dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan

menggunakan bahasa biasa dibantu dengan teknik berpikir induktif-dedutif atau

sebaliknya (Mahsun, 2005: 116). Kerangka dasar teoretis didasari oleh cara kerja

Abrams (dalam Teeuw, 1988: 50) yang berpangkal pada situasi karya sastra secara

menyeluruh seperti bagan berikut.

(Semesta)

Universe

Work (Karya)

(Pencipta) Artist Audience (Pembcaca)

Page 16: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

10

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan klasifikasi dan kritik terhadap novel-novel yang diperoleh untuk

menentukan kualitas novel seperti bahasa, terbitan, penghargaan, apresiani

masyarakat baik untuk studi ilmiah maupun nonilmiah, maka ada sejumlah novel

yang layak untuk dianalisis dan disajikan sebagai berikut ini.

5.1 Restorasi Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal

1) Nemoe Karma „Ketemu Jodoh‟(1931) oleh I Wayan Gobiah. Novel ini

merupakan novel pertama yang berbahasa Bali. Kedudukan novel ini tentu

sangat penting dalam khazanah kesusastraan Bali modern. Betapa tidak,

inilah tonggak awal yang nantinya melahirkan novel-novel berbahasa Bali

berikutnya. Oleh Putra (2010) dikatakan bahwa novel ini sangat istimewa

karena diterbitkan oleh Balai Pustaka yang dicetak dalam jumlah yang besar

dan diedarkan secara luas. Sependapat dengan Putra (2010: 23) bahwa novel

ini memiliki alur renggang dan tidak fokus pada tema sentral yang

diperankan oleh tokoh utama. Sesuai dengan judulnya Nemoe Karma

„Ketemu Jodoh‟ didasari oleh tema kawin paksa dan utang budi. Keadaan in

terjadi ketika Pan Sangga ingin menikahkan anaknya (I Sangga) dengan

Soekarsi tetapi ditolaknya karena Soekarsi sudah mencintai Soedana (saudara

angkatnya) dan Soedana juga mencintai Soekarsi (sekaligus sebagai

pembayaran utang budi Soedana kepada orang tua Soekarsi karena telah

memungutnya.

Perjodohan kedua terjadi ketika Pan Sangga ingin menjodohkan anaknya I

Sangga dengan sepupu jauhnya (mindon) Ni Wiri tetapi keduanya tidak

Page 17: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

11

saling mencintai sehingga rumah tangganya hancur berantakan, setiap hari

terjadi perselisihan yang berujung pada perceraian.

Tri Kaya Parisudha: harmonis sinergitas

Kalau ditelaah lebih mendalam bahwa pelajaran yang bisa diambil dari

contoh di atas adalah bahwa pernikahan seharusnya dilandasi oleh cinta sejati, cinta

yang suci, cinta yang tulus dari dalam hati yang paling dalam. Bagi orang Bali tali

cinta yang sejati sebagaimana yang ditulis oleh Gobiah:

“….bisa ija ngetisin wiadin ndayoehin moeah ngeliangin idep timpal, ento madan

anak bisa tresna. Saloeloet artinne sapoeloeng rasa, gilik abesik papinehe,

pangoetpetine, kadarmane toer panglaksanane toenggal, bareng-bareng nampi

karma, ento mada saloeloet. Asih, artinne aweh, karoena, sredah, moeah sajang.

Ento madan anak asih. Dadi anake mapakoerenan patoet pesan ngelarang‟ tresna,

saloeloet moeah asih Ane patoet ngriinang mulang dasare ento, moela toeah

sangkaning laki, loehe jang pradnjan patoet mamales ban tresna, sloeloet moah

asih. Dadi ja tresna kinatresnan, loeloet kinaloeloetan, asih kinasihan. Ene madan

tali koekoeh, toesing bisa pegat satoenggoen idup. Di soebane tresna kinatresnan,

asih kinasihan, loeloet kinaloeletanmara ja lantas wetu saksi. Ane adanin tiang

saksi, artinne toenggal paliat, tunggal pakenehaan, toenggal panoedjoe, toenggal

patitis, toenggal pangutpeti toenggal panglaksana. Tjendekne toenggal saloewiring

tinangoen. Ane keto adanina soeba nemoe dikarma (hal 15-16).

Artinya:

„… dapat memberikan kesejukan atau kedamaian serta menyenangkan orang lain,

itulah yang disebut cinta (sejati). Salulut „sehati, seutuhnya‟ artinya satu rasa, (cara)

berpikir,cipta menyatu, kewajiban dan perilakunya menyatu, bersama-sama

menikmati hasil, itulah salulut. Asih „kasih‟ artinya member, cinta kasih, ramah, serta

sayang. Itulah kasih. Jadi, orang berumah tangga wajib melakukan tresna, salulut,

dan asih „cinta, satu rasa, kasih‟. Yang didahulukan/menjadi fondasi hanyalah itu,

terutama oleh kaum lelaki, perempuan hanyalah menerima cinta dan kasih sayang

itu, jika perempuan itu pintar maka dia harus juga membalasnya dengan cinta kasih

yang seutuhnya. Oleh karena itu menjadi cinta-mencintai, sayang menyayangi

seutuhnya, kasih mengasihi. Inilah yang disebut ikatan yang kuat tidak akan

terputuskan sepanjang hidup. Setelah cinta mencintai, sayang menyayangi, kasih

mengasihi maka muncullah yang disebut saksi, yakni satu sudut pandang, satu hati,

satu tujuan, satu pikiran, serta satu perbuatan. Pendek kata semuanya satu apa yang

dipikirkan, diucapkan dan dilakukan. Yang demikian itulah disebut nemu karma

„ketemu jodoh‟.

Page 18: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

12

Kutipan di atas jelas memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan

oleh pasangan suami istri. Dalam budaya Bali yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu

disebut dengan Tri Kaya Parisudha, tiga serangkai yang wajib dilakukan sehingga

apa yang dicita-citakan bersama menjadi kenyataan yang membahagiakan. Ketiga

hal itu adalah Manacika „berpikir yang baik‟, wacika „berkata yang baik/jujur‟, dan

Kayika „berperilaku yang baik‟. Aplikasi Tri Kaya Parisudha ini sebenarnya tidak

terbatas pada hubungan suami istri yang harmonis, tetapi juga diimplementasikan

dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam rumah maupun lingkungan sekitar.

Berpikir, berkata, dan berbuat baik tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi

juga untuk kebaikan/kesejahteraan bersama. Semua perbuatan baik harus dilakukan

mulai dari ruang lingkup yang kecil dan secara otomatis memberikan dampak yang

positif bagi lingkungan. Itulah makna dari nemu karma „ketemu jodoh‟, yakni

bersatunya semua tujuan yang dicita-citakan.

Nemu karma adalah konsep sinergitas antarkomponen. Satu komponen sangat

bergantung pada komponen lain demikian sebaliknya. Bila salah satunya mengalami

malfungsi pastilah tidak menghasilkan sesuatu yang maksimal bahkan mungkin fatal

sama sekali. Dalam kaitannya dengan perkawinan di atas, laki-laki dan perempuan

atau suami dengan istri dua komponen yang saling melengkapi, tidak saling

mendominasi, tidak saling superordinasi. Keduanya harus saling memberi dan

bukan saling meminta, saling menghormati, dan seterusnya. Perkawinan bukan

semata-mata pertemuan dan persatuan secara fisik, melainkan lebih dari itu, yakni

penyatuan nonfisik secara utuh menyeluruh. Oleh karena itu, perkawinan adalah

penyatuan sehingga semuanya menjadi milik bersama, kewajiban bersama, usaha

bersama, baik buruk ditanggung bersama yang dibangun dari cita-cita bersama.

Pengertian semacam ini ditegaskan kembali dalam Himpunan Keputusan Seminar

Page 19: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

13

Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu (1988: 34) bahwa perkawinan

adalah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

(satya alaki rabi). Bila sudah dipahami dan dihayati sebagaimana tersebut di atas,

maka itulah nemu karma (ketemu jodoh) yang hakiki.

2. Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda

a) Tentang Pengarang

Nyoman Manda termasuk pengarang sastra Bali Modern yang cukup

produktif. Banyak buah karyanya berupa novel berbahasa Bali telah diciptakan

dan setiap buah karyanya selalu mendapat sambutan positif dari masyarakat Bali.

Demikian pula banyak buah karyanya telah dikaji dalam bentuk skripsi.

Adalah novel berjudul “Gending Pengalu” diciptakan oleh Nyoman

Manda di Pondok Tebawutu pada tanggal 28 Februari 2010. Novel ini pun tidak

terlepas dari incaran para mahasiswa yang ingin meneliti dan mendalami ide

Nyoman Manda dalam melahirkan karya novel tersebut. Begitu novel ini selesai

ditulis, pada saat itu pula Cokorda Istri Anik Parasari mahasiswa Program Studi

Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana menjatuhkan

pilihannya pada novel tersebut untuk bahan skripsi. Penelitian Cokorda Istri ini

mengkaji novel Gending Pengalu dari sudut struktur intrinsik dan ekstrinsik.

Untuk memudahkan pemahaman cerita yang diramu dalam novel Gending

Pengalu, berikut gambaran singkat isi cerita yang ditampilkan dalam bentuk

sinopsis.

Page 20: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

14

Diceritakan ada seorang pemuda tampan bernama Nyoman Sadia berasal dari

Pedukuhan Bengkel. Ia memiliki pekerjaan sebagai seorang pengalu (pedagang

menggunakan kuda sebagai sarana transportasi). Bersama teman-temannya

membeli garam di Kusamba kemudian diangkut dengan kuda dan dengan

berjalan kaki ppuluhan kilometer ke desa lain untuk menjualnya. Di desa tempat

menjual garam tersebut, ia membeli barang-barang yang ada di sana dan dijual

kembali ke daerah Kusamba atau di sepanjang perjalanan balik. Demikian

pekerjannya sehari-hari.

Sebagai sosok yang tampan dan rajin bekerja, tentu ia menjadi idaman

para gadis. Tersebutlah ia telah berpacaran dengan Luh Widi. Luh Widi pun

menjadi incaran para jejaka karena polos, cantik, dan rajin bekerja. Keduanya

sering terlihat memadu kasih menyebabkan pemuda yang lain semakin iri

melihatnya. Nyoman Sadia dan juga teman-temannya seperti Wayan Arta dan

Made Sulastra, seperti kebiasaan di desa, mereka aktif di dalam kegiatan di desa.

Mereka sebagai sekaa tabuh gamelan.

Nyoman Sadia terkejut ketika Luh Widi memberitahu aka nada upacara

pembacaan prasasti Ida Sang Hyang Sesuhunan di Puri. Mereka berdua berjanji

akan datang pada saat upacara. Selesai menjual dagangannya, Nyoman Sadia

bersama Luh Widi ke Puri tempat upacara dilaksanakan. Saat itu suara gamelan

gong telah ramai dan indah terdengar mengiringi jalannya upacara. Demikian

juga suara alunan tembang atau kidung Wargasari sayup-sayup terdengar di

tempat upacara. Kehadiran tari Rejang di sana menambah kekhusukan jalannya

upacara yang dipimpin oleh Ida Pedanda.

Page 21: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

15

Tibalah puncak upacara, yaitu penyampaian rangkuman isi prasasti

yang telah selesai dibaca oleh Ida Bagus Aji Putra. Saat itu diumumkan kepada

karma (warga) bahwa rangkuman selengkapnya akan dibacakan nanti pada saat

upacara Melaspas Puri Agung. Para karma dengan khidmat dan konsenterasi

menyimak paparan rangkuman isi prasasti yang sempat dibacakan saat itu.

Setelah selesai upacara, para karma segera pulang ke rumahnya masing-masing

untuk beristirahat setelah seharian ngayah (bekerja) di Puri.

Keesokan harinya para pengayah kembali mempersiapkan peralatan untuk

mendak toya ening (air suci) ke mata air Sudamala di Tugu. Iringan gong

gamelan dan Selunding menambah khusuk upacara tersebut. Pada saat itu Wayan

Arta sahabat dari Nyoman Sadia saling curi pandang dengan Nyoman Landri

teman dekatnya Luh Widi. Momen itu menjadi awal kisah cinta mereka sampai

tertinggal dari rombongan pemendak Toya Ening dan menjadi tertawaan serta

olok-olok teman-temannya.

Ketika sore harinya mereka pada pulang dari Puri, tiba-tiba Bantar telah

berada di belakang Luh Widi sambil mengganggunya serta merayunya. Cinta

Bantar terhadap Luh Widi bertepuk sebelah tangan. Bantar menjadi emosi dan

akan membuat perhitungan dengan Nyoman Sadia yang dirasakan telah

mengalahkannya dalam perebutan Luh Widi.

Pertengkaran tidak terhindarkan antara kelompok Bantar dan kelompok

Nyoman Sadia. Pertengkaran pertama, Bantar cepat berlalu karena dapat

dikalahkan oleh kelompok Nyoman Sadia. Bantar sambil berlalu menantang duel

di setra (kuburan). Tantangan itu diterima oleh Nyoman Sadia demi harga diri

dan kasih tercintanya Luh Widi.

Page 22: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

16

Perkelahian sengit terjadi di setra, keduanya menghunus senjata keris

pusaka. Saling pukul, saling tending, dan saling tusuk. Setiap serangan Bantar

dapat dihalau oleh Nyoman Sadia. Sebagai bekal seorang pengalu tentu Nyoman

Sadia telah memiliki ilmu silat untuk jaga diri di perjalanan atau di desa-desa

yang dilalui berjualan ketika ada gangguan keamanan. Ilumu inilah yang

digunakan menepis segala serangan Bantar, apalagi Bantar seorang pemabuk

tentu kekutan serangannya tidak bertenaga lagi. Ketika Bantar sekarat, Nyoman

Sadia sujud ke Ibu Pertiwi mengucapkan terimakasih, tiba-tiba ada tombak

melesat dari semak kea rah Nyoman Sadia. Untung tombak yang dilesakkan ayah

Bantar dapat dihindari, namun akhirnya tombak itu pula yang menusuk Bantar

hingga semula sekarat menjadi tewas saat itu. Ayah Bantar muncul ke permukaan

sambil memohon maaf atas kesalahannya dan anaknya. Karena sayang pada anak

yang saat itu telah menjadi mayat, ayahnya pun menyusul kepergian putranya

dengan menusukkan keris ke dadanya sendiri.

Refleksi Budaya dalam Novel Gending Pengalu

Karya sastra adalah merupakan cermin kehidupan manusia atau

masyarakat. Oleh karena sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek

kehidupanyang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan

oleh masyarakat (Ratna, 2006:332-333). Pengertian masyarakat mengacu kepada

komunitas yang terdiri dari individu-individu. Mereka beraktivitas dengan ide,

imajinasi, dan akal, yang bermuara pada suatu budaya baik budaya kolektif

maupun budaya individu di dalam sebuah komunitas.

Suatu budaya yang telah dihasilkan dan dipakai secara kolektif akan

berubah menjadi kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari buddhayah

Page 23: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

17

(Sanskerta), sebagai bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal

(Koentjaraningrat, 1974: 80). E.B. Tylor (dalam Sardar dan Loon, 1977:4)

memperjelas pengertian kebudayaan, yaitu keseluruhan aktivitas manusia,

termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan

kebiasaan-kebiasaan lain. Pengertian kebudayaan ini masih dirasakan kurang

komprehensif karena tidak menjelaskan bagaimana kebudayaan itu bisa

diperoleh. Untuk itu Marvin Harris (1999: 19) menambahkan bahwa kebudayaan

itu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan

cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.

Apapun pengertian budaya dan kebudayaan tersebut, jika dihubungkan

dengan novel Gending Pengalu akan dapat terungkap budaya apa yang

direfleksikan oleh pengarangnya. Sudah menjadi jamak diketahui bahwa

pengarang memiliki ide dan gagasan dituangkan dalam karya sastra melalui

tokoh cerita. Tokoh cerita lah dianggap mewakili ide dan gagasan pengarang

tersebut. Sejauh mana kita mampu mengkajinya, semakin dalam kita menelitinya,

tentu semakin dekatlah ide dan gagasan pengarang tersebut dapat terungkap.

Pengarang Novel Gending Pengalu menampilkan tokoh cerita Nyoman

Sadia sebagai tokoh protagonis sekaligus tokoh utama. Luh Widi sebagai tokoh

sekunder. Di samping itu ada beberapa nama sebagai tokoh komplementer,

diantaranya: Landri, Nerti, Arta, Sulastra. Sebagai tokoh antagonis, pengarang

menampilkan Bantar dan beberapa temannya.

Pada tahun 1970-an masa-masa berakhirnya budaya pengalu di Bali.

Kata pengalu dari kata ngalu yang artinya pergi mencari dagangan. Pengalu

berarti pedagang yang mencari dagangan dengan pergi jauh (Anom, dkk:13).

Page 24: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

18

Pengertian kata pengalu ini jika dikaitkan dengan novel Gending Pengalu dan

arti pengalu sesungguhnya, belum komprehensif. Secara komprehensif pengalu

itu berarti sebuah profesi pedagang yang membeli barang dagangan baik di

desanya sendiri atau di desa orang lain, barang tersebut diangkut dengan kuda

untuk pengalu yang pergi jauh atau di jinjing (suun, tegen) untuk berjualan dekat.

Di samping itu juga para pengalu akan membeli barang yang ada di tempat

menjual dagangannya dan dijual kembali ke desa-desa yang dilalui ketika pulang

keasalnya.

Untuk memberikan gambaran pengalu yang merupakan budaya

masyarakat jaman dulu di Bali, pengarang menghadirkan tokoh Nyoman Sadia

yang diceritakan langsung dengan profesi sebagai pengalu.

Nyoman Sadia anak truna sane tuah seken saking Bengkel. Ipun sedina-dina

numbas uyah ring Kusamba tur keadol ring Petak, Mantring taler rauh ring

desa Sebatu (NGP,4)

„Nyoman Sadia seorang pemuda memang benar dari Bengkel. Ia sehari-hari

membeli garam di Kusamba dan dijual ke desa Petak, Mantring, sertai sampai

ke desa Sebatu‟.

Ia membeli garam di desa Kusamba (Kabupaten Klungkung) sebagai desa

penghasil garam, kemudian dengan kuda kesayangannya membawa (mondong)

garam tersebut ke desa-desa di tengah atau jauh dari laut seperti Sebatu

(Kabupaten Gianyar) dan sekitarnya. Sebatu sebagai daerah sejuk pasti tanaman

sirih bisa hidup subur. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Nyoman Sadia sebagai

barang komoditi untuk dibawa pulang dan dijual di desanya. Dengan demikian

Page 25: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

19

sosok Nyoman Sadia ini dihadirkan pengarang sebagai pelaku ekonomi yang kini

dikenal dengan ekonomi kerakyatan.

Masyarakat Bali mayoritas memeluk agama Hindu. Pelaksanaan

keagamaan sering memunculkan budaya dan sebaliknya agama Hindu bisa eksis

karena dilandasi budaya yang kuat. Gamelan gong, tari dan kidung merupakan

budaya Bali yang sangat terkait dengan aktivitas keagamaan. Budaya ini oleh

Nyoman Manda selaku pengarang direfleksikan pada tokoh cerita. Nyoman Sadia

dan teman-temannya ikut sebagai penabuh gamelan. Nyoman Sadia hamper saja

lupa akan megambel di puri saat ada upacara karena sering menginap di desa lain

tempat berjualannya.

“Upacara? Ipun tengkejut sawireh dados sekaa penabuh gamelan yening

wenten upacara ring puri Bengkel ipun stata nyarengin” (NGP, 7).

„Upacara? Ia terkejut karena ikut menjadi sekaa (kelompok) penabuh

gamelan jika ada upacara di puri Bengkel ia selalu ikut.

Demikian pula para gadis di desa pada bisa menari yang sering dipakai

mengiringi (ngayah) ketika ada upacara. Hal ini pengarang merefleksikannya

pada tokoh Luh Widi dan kawan-kawan secara langsung.

“Wenten sekaa gong sane pinih ajeng kelangen nyaksiang bajang-bajange

punika ngigel lemuh magoleran taler Luh Widi sane adage nyempaka”

(NGP, 24).

„Ada anggota sekaa gong yang paling depan terpesona melihat para gadis

yang menari dengan lemah gemulai juga Luh Widi yang tubuhnya

semampai‟.

Bantar sebagai sosok pemuda desa dikenal sebagai pemabuk dan sering

membikin ulah. Kelakuan Bantar sesuai dengan peran yang dihidupkan

pengarang sebagai tokoh antagonis. Peran dan prilaku Bantar sesungguhnya

Page 26: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

20

bagian dari budaya di desa yakni sering mabuk karena minuman arak (alkohol).

Minuman arak dan tuak diproduksi oleh masyarakat dan dikosumsi oleh

masyarakat pula. Fungsi arak atau tuak dalam tatanan upacara keagamaan

sebagai sarana metabuh (persembahan untuk Bhutakala). Bantar dan kawan-

kawan sering minum berlebihan sehingga sering mabuk

Agama sebagai pedoman kehidupan yang dapat berfungsi mengasah akal

dan budi yang bermuara pada kedamaian. Bantar sering kehilangan kendali yang

berakibat kematian. Sifat Bantar memunculkan konflik dalam novel ini, yaitu

memaksakan kehendak untuk mendapatkan Luh Widi sebagai pendamping

hidupnya, Luh Widi sendiri sama sekali tidak mencintai karena telah bertunangan

dengan Nyoman Sadia.

Kearifan Lokal dalam Novel Gending Pengalu

Istilah kearifan lokal merupakan padanan istilah local genius, yaitu

keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki masyarakat/bangsa sebagai hasil

pengalaman mereka pada masa lampau (Wales dalam Semadi Astra, 2004:110).

Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa kearifan lokal bisa tercermin

dalam berbagai unsur kebudayaan seperti sistem peralatan, sistem mata

pencahariansistem organisasi sosial, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan

sistem religi.

Sifat-sifat hakiki kearifan lokal tersebut meliputi: mampu bertahan

terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur

budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegerasi unsur-unsur budaya

Page 27: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

21

luar ke dalam kebudayaan asli; (4) mampu mengendalikan; dan (5) mampu

memberikan arah pada perkembangan budaya (Poespowardoyo, 1986:30).

Etos Kerja: perantau

Masyarakat Bali tercermin dalam tokoh Nyoman Sadia sebagai seorang

pengalu. Dahulu di Bali memiliki budaya ngalu. Para pengalu berjasa memutar

perekonomian tradisional. Bagi pengalu yang memiliki modal lebih, mereka

memakai alat transportasi kuda. Barang-barang dagangannya diangkut dengan

kuda dan pengalunya berjalan kaki mengikuti derap langkah kuda berjalan. Bagi

mereka yang modalnya pas-pasan, memikul (negen) dagangannya dengan

berjalan kaki. Tentu saja barang yang dibawa dengan sarana kuda lebih banyak

dan para pemiliknya tidak lagi membawa atau memikul barang.

Spirit para pengalu dulu luar biasa demi sesuap nasi dan demi

menopang kebutuhan rumah tangga. Para pengalu dari kecamatan Tejakula sudah

biasa pukul satu dinihari berangkat dengan berjalan kaki sambil memikul garam

dengan berat sekitar 50 Kg. Mereka beramai-ramai dengan garam di pundak

menaiki pegunungan Kintamani menuju pasar Kintamani. Jarak yang ditempuh

kurang lebih 30 Km. Ketika pulang dari Kintamani juga membawa beras untuk

komoditi barang dagangan.

Spirit kerja seperti ini oleh Nyoman Manda direfleksikan pada tokoh

Nyoman Sadia dalam novel Gending Pengalu. Pengarang melihat fenomena di

zaman sekarang telah ada degradasi spirit terutama di kalangan anak muda untuk

bekerja. Pengarang juga melihat kearifan lokal berupa spirit kerja sudah mulai

memudar dilanda kemanjaan.

Page 28: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

22

Peranan para pengalu dulu memutar roda perekonomian tingkat bawah.

Kalau ingin setiap saat memiliki atau memegang uang, terjunlah di bidang

perdagangan walaupun dagang kecil-kecilan. Tidak perlu ada rasa malu, gengsi,

dan sejenisnya. Apa lagi sarana berdagang zaman sekarang sudah tersedia sepeda

motor dan bukan kuda lagi. Spirit para pengalu zaman dulu tersebut dapat

dijadikan materi untuk menasehati atau memberikan arahan pada anak-anak dan

para pemuda di zaman sekarang. Dengan demikian kearifan lokal ini akan tetap

mampu menahan lajunya pengangguran.

Sekaa :

Budaya masuk kelompok (sekaa) tari di desa seperti yang dilakoni Luh Widi

dan kawan-kawan merukan kearifan local. Sebagai organisasi social dapat

berfungsi ke ranah adat atau agama dan bahkan bersifat sacral. Di samping itu

juga berfungsi secara profane. Substansi makna yang lebih penting dalam hal ini

adalah memupuk rasa kebersamaan dan pelestarian budaya.

Nyoman Manda dalam novelnya ini mereduksi kearifan local tersebut untuk

mengkanter fenomena melemahnya spirit para pemudi belajar menari untuk

kepentingan ranah sacral maupun profane. Watak individu semakin tumbuh

seiring dengan perkembangan zaman, seperti sibuk belajar di sekolah dan ada

pula karena kesibukan bekerja. Pembentuk watak individu yang paling fatal di

era sekarang adalah kehadiran teknologi informasi. Anak-anak sibuk sendiri di

depan komputer, laptop, dan hand phone.

Kearifan lokal yang lain dititipkan pada Bantar sebagai tokoh antagonis.

Kebiasaan Bantar dan teman-temannya minum tuak dan arak secara berlebihan

sering membuat dirinya mabuk. Ketika orang sedang mabuk, sudah pasti

Page 29: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

23

keseimbangan dirinya hilang, tenaga melemah, tetapi merasa paling kuat dan

sakti. Orang mabuk serring membuat keonaran dan malapetaka, Hal ini

ditekankan Nyoman Manda bagi generasi sekarang. Intinya minuman beralkohol

tidak layak diminum secara berlebihan karena dapat merongrong fisik dan psikis.

Dalam novel diceritakan Bantar akhirnya mati karena ulahnya.

3. Novel Nembangang Sayang karya I Nyoman Manda

Pengarang dan Transformasi Ide

Novel Nembangang Sayang selesai dikarang oleh Nyoman Manda pada saat

bulan purnama tanggal 3 Maret 2007. Nyoman Manda termasuk salah satu

pengarang sastra Bali modern yang cukup aktif, kreatif, dan inovatif dalam

kepengarangannya. Kali ini ia mencoba menyusun cerita berkisah tentang kasih

anak remaja di sekolah SMA.

Anak-anak remaja seusia SMA merupakan anak-anak remaja dan persiapan

akan menuju ke dewasa. Labilitas jiwa dan bangkitnya emosi untuk mencari jati

diri ada di usia remaja. Fenomena ini ditangkap oleh Nyoman Manda sehingga

lahir ide untuk mengolah dalam sebuah novel. Bagi seorang pengarang, solusi

terhadap masalah sosial akan dituangkan dalam karyanya.

Remaja jika tidak dikendalikan dengan baik, mereka cenderung akan lebih

banyak mengadopsi hal-hal dari luar, mereka bangga menggunakan, memiliki,

dan mempelajari hal-hal yang berbau modern. Mereka kurang memperhatikan

apa yang diwariskan oleh para leluhurnya, bahkan mereka terasa kolot dan

ketinggalan zaman kalau masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat tradisional.

Page 30: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

24

Novel Nembangang Sayang memunculkan tokoh Wayan Landra dan Putu

Arini sebagai tokoh utama. Mereka dan tokoh-tokoh yang lain merupakan siswa

SMA Klas II IPA 1. Antara Wayan Landra dan Putu Arini sama-sama tumbuh

benih cinta di hatinya. Teman-temannya sering memainkan sehingga Putu Arini

sering jengkel di balik rasa cintanya dengan Wayan Landra.

“....Dadine nyak adung mapasangan,” ada timpalne nyeletuk. Barak muan

Putu Arinine mara ningeh munyi buka keto, nanging Wayan Landra

kalem duen, mula pangabane nengil tusing liu pesu munyi (Nembangang

Sayang, 6).

“….Jadi cocok sekali berpasangan,” celetuk temannya. Merahlah muka

Putu Arini setelah mendengar ocehan seperti itu, namun Wayan Landra

kalem saja, memang bawaannya selalu diam tidak banyak bicara.

Hadir sebagai tokoh sekunder atau antagonis adalah Gung Wirati. Gung

Wirati sosok orang kaya tetapi sombong. Ia mencintai Wayan Landra, tetapi

cintanya ditolak. Penolakan ini dipakai senjata untuk membuat Wayan Landra

dan Putu Arini tidak tenang. Bumbu kisah cinta antara Wayan Landra dan Putu

Arini semakin bersemi di acara kemah. Demikian pula rasa cemburu Gung Wirati

semakin menjadi-jadi karena semakin mesra mereka berdua semakin cemburulah

Gung Wirati.

Kearifan Lokal sebagai Pengendali Labilitas Jiwa Remaja

Nyoman Manda seorang pengarang Bali beragama Hindu. Beliau jelas karena

hidup dalam komunitas masyarakat Bali pasti banyak mengetahui budaya dan

agama di Bali. Umat Hindu percaya bahwa segala yang kita pikirkan, katakan,

dan lakukan tanpa ada restu dari Hyang Widhi/Tuhan, maka tidak akan berhasil

dengan baik. Untuk itu, agama Hindu yang dibalut dengan budaya Bali

Page 31: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

25

menampakkan aktivitas bhakti kepada Hyang Widhi melalui persembahyangan di

pura dari tingkat pura keluarga sampai ke pura Kahyangan Jagat. Semakin sering

sembahyang di pura-pura atau Tirtha Yatra, berarti diyakini semakin dekat

dengan Hyang Widhi dan implikasinya akan mengubah karakter seseorang

menjadi lebih baik.

Aktivitas Tirtha Yatra (perjalanan suci dengan sembahyang di tempat-

tempat suci) merupakan kearifan local yang diselipkan Nyoman Manda dalam

karyanya. Idiologi ini ditanamkan dalam tokoh utama Wayan Landra. Wayan

Landra sebagai remaja aktif di Banjar dan sering sembahyang di pura-pura.

“….Dugas purnamane abulan tiang ajak sekaa teruna banjar tiange mabakti

ka Pura Kancing Gumi”. “…..Dija purane totonan Yan?” “Di desa

Batulantang paek ka Pelaga” (Nembangang Sayang 46-47).

“….Sewaktu bulan purnama sebulan yang lalu kami bersama sekaa

teruna Banjarnya sembahyang di Pura Kancing Gumi”. “… Pura itu

dimana Yan?” “Di desa Batulantang dekat dengan desa Pelaga”.

Pura yang lain yang sudah pernah didatangi untuk sembahyang oleh

Wayan Landra adalah Pura Pulaki dan Pura Menjangan di wilayah Buleleng.

“Jalan ne tembus ke Seririt, yen lewat Gobleg bias teked di Banjar. Tiang

suba taen maturan ke Pulaki terus ke Menjangan lewat mai,” Yan Landra

ngorahin timpal-timpalne (Nembangang Sayang, 66-67).

“Jalan ini tembus ke Seririt jika lewat Gobleg bias sampai ke desa Banjar.

Saya sudah pernah sembahyang ke Pura Pulaki terus ke Pura Menjangan

lewat jalan ini”. Yan Landra menjelaskan pada teman-temannya.

Page 32: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

26

Kedekatan Wayan Landra dengan Maha Pencipta (Hyang Widhi) melalui

seringnya sembahyang manfaatnya telah dirasakannya. Ketika beberapa kali

mau dicelakai oleh Gung Wirati dengan menyerempet mobilnya, tetapi

Wayan Landra tetap selamat dan tidak marah.

“Kaden aluh nyerempet anak beneh”, “Patute tugurin Yan,” Kalem

Putu Arini ngomong. Yen suba patut, patute ento bakal nulungin

ragane” Gung Ratih makenyem, Putu Arini masi makenyem

(Nembangang Sayang, 60).

“Dikira gampang nyerempet orang tak bersalah,” “Patut (kebenaran)

itu utamakan Yan”, kalem Putu Arini ngomong. Jika kita sudah benar,

kebenaran itu akan menolong dirinya. Gung Ratih tersenyum, Putu Arini

tersenyum juga,

Kehidupan remaja penuh dengan aktivitas untuk mencari jatidiri, namun

sayangnya kebanyakan arahnya ke negatif seperti merusak lingkungan.

Budaya corat-coret dan lain-lainnya identik dengan remaja. Nyoman Manda

menangkap fenomena ini dengan memasukkan kearifan lokal. Masyarakat

Bali mengenal konsep Tri Hita Karana yang berarti hubungan harmonis

manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Kearifan lokal ini dibangkitkan sebagai penyadaran para remaja dengan

menyelipkan cerita kemping di danau Tamblingan. Di situ para siswa diajak

berdialog dengan masyarakat, diajak mengenal keasrian hutan, dan

menyayangi hutan.

4. Novel Gita Ning Nusa Alit ‘Nyanyian Hening di Pulau Kecil’ oleh

Djelantik Santha (2003).

Novel ini merupakan lanjutan dari novel Sembalun Rinjani sebagaimana yang

disampaikan oleh pengarang dalam atur pangaksama (kata pengantarnya).

Kisahnya terbagi atas delapan episode. Bagian pertama diawali tentang jalinan

asmara Gusti Ngurah Darsana seorang pegawai bank dengan seorang gadis Sasak

Page 33: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

27

Lale Dumilah. Darsana adalah sosok idaman kaum perempuan, selain sudah

bekerja Darsana adalah pemuda yang tampan, simpatik, dan sangat sopan.

Namun demikian, Darsana terlanjur jatuh cinta kepada Lale Dumilah yang

berbeda agama (Islam). Keadaan ini tentu membuat hati Lale Dumilah gundah,

takut kalau tidak direstui dan dianggap murtad dan memang demikian adanya.

Kepindahan tugas Darsana ke Atambua dan cintanya yang tulus membuat Lale

Dumilah memutuskan untuk menikah dan ikut bersamanya. Setelah menikah,

Lale Dumilah berganti nama menjadi Ratna Dumilah. Ratna Dumilah pun

berganti agama dari Islam menjadi Hindu sesuai dengan agama Darsana.

Walaupun kedua orang tuanya kecewa, namun pada akhirnya mereka disadarkan

oleh anaknya Lalu Wiradana dan merestui perkawinan mereka.

Pernikahan mereka dikarunia seorang putra dan diberi nama Gusti Ngurah

Anantha Bhuwana. Kelahiran Anantha Bhuwana membuat semua keluarga

sangat bahagia. Hal ini terlihat ketika melakukan upacara untuk Anantha Buwana

semuanya hadir. Ngurah Darsana juga berhasil mempertemukan dua bersaudara

yang terpisahkan dan bahkan tidak saling mengenali oleh keadaan darurat (huru-

hara) antara Wayan Galang dengan Meina Victoria. Kepindahan Darsana dari

dari Atambua ke Rababima Kupang membuat keluarga Lale Dumilah senang

karena memudahkan mereka untuk bertemu.

Lika-liku cinta dan kehidupan rumah tangga Ngurah Darsana dengan Ratna

Dumilah diselingi dengan berbagai daya estetis lainnya seperti rasa cemburu kepada

Darsana, penolakan dari keluarga besar Ratna Dumilah bahkan sebelumnya Ratna

Dumilah sudah dipasangkan dengan sepupunya, Raden Nuna, seorang calon camat.

Bahkan, karena cinta tak terbalaskan, Raden Nuna menggunakan ilmu hitam untuk

Page 34: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

28

menghancurkan Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Oleh karena belum takdir

untuk mati, Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah berhasil ditolong.

Kearifan Lokal dalam Gita Ning Nusa Alit:

a) Salunglung Sobayantaka:

Ungkapan ini merupakan ungkapan budaya lokal masyarakat Bali tersebar

secara luas baik kalangan buruh, petani, nelayan, seniman, pegawai negeri,

dan sebainya. Ungkapan ini amatlah popular dapat diucapkan dimana saja,

baik formal maupun informal, perseorangan maupun kelompok. Secara

morfologis, ungkapan ini berasal dari kata salung-lung „sama-sama patah.

Maksudnya, apa pun yang akan terjadi dalam mewujudkan cita-cita mereka,

akibatnya akan ditanggung secara bersama. Kata sobayantaka berasal dari

kata sa-+ ubaya + antaka. Sa- „prefiks yang artinya se- dalam bahasa

Indonesia, ubaya „janji‟, antaka „mati/meninggal‟. Dengan demikian

salunglung sobayantaka berarti hidup yang senasib dan sepenanggungan

(sehidup semati) (Tim Penulis, 1984: 142). Mirip dengan ungkapan ini, di

daerah Minangkabau ada ungkapan sejenis, yang maksudnya kurang lebih

sama. Adapun ungkapan yang dimaksud adalah: Mati anak berkalang bapak,

dalam mati bapak berkalang anak”, artinya „anak dan bapak hendaklah

tolong-menolong, sandar-menyandar dalam waktu kesusahan dan sebagainya

(Pamuntjak, dkk., 2004: 341).

Secara tekstual, dalam novel Gita Ning Nusa Alit di wujudkan ketika

Ratna Dumilah mengambil keputusan untuk menikah dengan Ngurah

Darsana dengan konsekuensi Ratna Dumilah harus berhenti dari kuliahnya

dan tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun, cinta mengalahkan

Page 35: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

29

segalanya, Ratna Dumilah mengambil keputusan itu sebagaimana dalam

kutipan berikut ini.

“Badah, ene mara ya tusing nawang unduk. Sing bisa dadi pengacara

utawi pukrul. Ene Denda ane dadi pesakitan sawireh suba ngamaling isin

jejeroan cange, hati, jantung, paru-paru kayang tresnan cange palinga. Jani

pamidandane kaputus dadi kurenan/rabin cang Saumur hidup. Sing dadi

belas yadiapin suka, duka, lara, pati yen dadi tunas apang mabarengan ane

madan salunglung subayantaka”, kenten Gusti Ngurah saha nundikin

gelanne ane milu bengong mirengang hukumane ane katiba teken dewekne.

Mara raganne ngerti teken ujud pandikane Gusti Ngurah, lantas mabading

ngelut, ngecup gelanne mawanti-wanti” (hal 22).

„Wah, ini tidak tahu masalah. Tidak bisa menjadi pengacara. Ini adinda yang

menjadi pesakitan/terdakwa karena telah mencuri jantung hatiku dan juga

cintaku. Sekarang hukumannya adalah menjadi istriku seumur hidup. Tidak

boleh berpisah baik dalam keadaan suka dan duka, hidup maupun mati agar

selalu bersama seperti dalam ungkapan salunglung subayantaka / sehidup

semati baik suka dan duka, demikian Gusti Ngurah sembari mencolek

pacarnya yang terbengong-bengong mendengar hukumannya. Ketika tahu

akan maksud perkataan Gusti Ngurah lalu berbalik memeluk, mencium

pacarnya berulang-ulang”.

Perkataan Ngurah Darsana lalu dibalas oleh Ratna Dumilah seperti kutipan

berikut ini.

“Nggih, hukuman katerima. Nanging tiang masih patuh ngukum Tu Ngurah

dadi rabin tiange salawase, tusing megatang tresnane kayang kawekas,

swarga nunut neraka katut” kenten Lale Dumilah matadah gugup sawireh

Gusti Ngurah sahasa meluk raganne nganti keweh mangkihan” (hal 22).

Page 36: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

30

„Ya, hukuman diterima, tetapi saya juga akan menghuku Tu Ngurah

(Darsana) menjadi suami saya selamanya, tidak memutuskan tali cinta

selamanya, baik di sorga maupun di neraka harus bersama” demikian Ratna

Dumilah seperti gugup karena Gusti Ngurah (Darsana) segera memeluknya

sampai susah bernafas”.

Demikianlah ungkapan romantisme antara Ngurah Darsana dengan

Ratna Dumilah. Semuanya diungkapkan dengan bahasa wajar dan lancar

dengan pengandaian atau pemakaian bahasa hokum yang menandakan bahwa

Ngurah Darsana adalah seorang yang terpelajar. Ungkapan cinta Ngurah

Darsana sebaliknya dibalas dengan peluk cium sebagai tanda akan ketulusan

cintanya. Pengungkapan salunglung sobayantaka dalam konteks kisah

romantisme ini sangat tepat karena dalam ikatan perkawinan diibaratkan

sebuah perahu yang akan berlayar mengarungi samudra luas kehidupan.

Berbagai rintangan dihadapi bersama sehingga mencapai tujuan bersama dan

kebahagiaan menjadi milik bersama. Hal ini ditegaskan dalam kutipan teks

berikut.

“… Cirin anak pinter kabisane ane bakat di sekolahan sinah patut ingetang

kayang kawekas. Nanging tresnane ane matemuang iraga nganti makurenan

patut belanin kayang mati. Apa buin cara Denda ngajak tiang jani suba dadi

aperahu, jalan layarin tuut tukade yadiapin mabias, mabatu-batu, nganti

teked ka telenging samudrane tan patepi, ane dadi uleng tetujon saluiring

tukade ane ada di gumine….” (hal. 63).

„… Ciri orang cerdas adalah mampu menerapkan pengetahuan yang

didapatkan di bangku sekolah dijadikan pedoman selamanya. Namun, cinta

yang mempertemukan kita sampai kita menikah patut dibela sampai mati.

Apalagi adinda dan saya sudah berada dalam satu perahu, marilah kita

berlayar mengikuti arus sungai walaupun berpasir, berbatu-batu, sampai ke

tengah samudra luas tiada tepi, yang menjadi tujuan dari semua tujuan

(aliran) yang ada di dunia ini….‟

Mengenai pelafalan istilah sobayantaka, ada juga yang mengucapkan

sabayantaka atau pun subayantaka. Perbedaan pelafalan itu tidak membawa

perbedaan arti. Istilah salunglung sobayantaka adalah ikrar/janji untuk saling

mempertahankan prinsip yang telah ditetapkan, prinsip yang harus terus

Page 37: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

31

dipupuk, dibela, dan dipertahakan demi tegaknya kesatuan bersama yang

telah dibentuk bersama. Dengan demikian, dibutuhkan loyalitas yang kuat

dan pengorbanan yang ikhlas sehingga seringkali memunculkan fanatisme

dalam tindakan itu. Kesetikawanan antarindividu dalam kelompok benar-

benar diuji. Semangat salunglung sobayantakan diharapkan menjadi modal

pemersatu/perekat masyarakat sehingga mampu bertahan dari anasir-anasir

asing yang bersifat negatif.

5. Novel Suryak Suung Mangmung oleh Djelantik Santha (2007).

Novel ini merupakan salah satu dari trilogi novel Djelantik Santha. Novel ini

terbagi atas tujuh episode. Namun demikian, ketujuh episode itu merupakan satu

rangkaian yang utuh mulai dari episode satu sampai selesai (bagian tujuh).

Secara garis besarnya ceritanya sebagai berikut.

Episode satu dikisahkan seorang pegawai bank Gusti Ngurah Darsana yang

akan memasuki masa pensiun. Sebelumnya telah melaksanakan tugas di berbagai

daerah seperti BRI Cabang Mataram, terus Raba Bima, Ambon, Kendari,

Makassar, Samarinda, Padang, Medan, dan terakhir Jakarta. Ketika mengawali

karirnya bekerja di Mataram, Darsana ketemu dengan gadis Sasak namanya Lale

Dumilah dan setelah menikah diberi nama Ratna Dumilah. Oleh karena

memasuki masa pensiun, Darsana diizinkan oleh atasannya kembali pulang

kembali dan bertugas di Denpasar. Dari perkawinannya itu mereka mempunyai

tiga orang anak dan seorang cucu. Oleh karena sudah bekerja di Bali, maka

Darsana mulai menata rumahnya yang ada di Baledan Kecamatan Selat

Karangasem yang memang sudah mulai rusak sekalian sebagai persiapan untuk

upacara cucunya (Gung Widya Karana) dan juga pernikahan anak perempuannya

Page 38: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

32

(Gusti Ayu Kendariyani). Kembali Darsana ke kampung halamannya diibaratkan

memasuki kungkungan puyung (sangkar kosong).

Bagian kedua disajikan romantika perkawinan yang sudah memasuki masa

kritis, yakni masa ketika kedua belah pihak sudah merasa tidak kuat secara fisik

lebih-lebih bagi perempuan yang memasuki masa menopause. Pada masa ini

disajikan berbagai macam tantangan dan godaan yang dihadapi serta bagaimana

cara menyikapinya. Selain itu disajikan juga tentang tanggung jawab hidup dalam

harmonisasi budaya Bali yang sangat kental dengan agama Hindu,

menyeimbangkan mulat sarira (introspeksi diri) dengan toleransi.

Episode ketiga disajikan mengenai cara mencari pasangan hidup yang baik.

Mencari pasangan memang harus memilih tetapi memilih yang tepat agar tidak

seperti pepatah orang Bali “pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” „memilih

yang terbaik tetapi akhirnya yang paling jelek didapatkan‟. Tidaklah baik juga

jika menginginkan seorang gadis memakai guna-guna dan itu adalah dosa besar

dan dilarang oleh agama.

Episode empat mengisahkan tentang hutan yang angker. Dikisahkan bahwa di

dalam hutan menuju Pasar Agung adalah hutan yang angker yang ada penghuni

gaibnya. Memang hutan sekitar Pura Pasar Agung memiliki panorama yang luar

biasa, ke utara terlihat puncak Gunung Agung dan ke selatan hamparan hijau dan

laut yang sesekali pandangan diselimuti kabut. Episode ini juga mengisahkan

terjadi peristiwa gaib, sesaat setelah selesai persembahyangan, anak Darsana

(Gung Kendariyani) hilang secara gaib ketika terjadi angin ribut dan kabut tebal

secara tiba-tiba. Namun berkat ketulusan dan kekhusukan persembahyangan

Darsana sekeluarga dan pertolongan masyarakat sekitar akhirnya Kendariyani

pulang tanpa cacat sedikit pun. Di sinilah letak keyakinan keluarga Darsana

Page 39: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

33

bahwa memang dari dulu ada salah seorang kerabatnya yang menjadi juru sapuh

(tukang sapu secara gaib) di Pura Pasar Agung.

Episode kelima tentang tutur kadiatmikan, yakni pengetahuan yang didasari

oleh agama Hindu di Bali yang terdiri atas tatwa, susila dan upacara.

Sesungguhnya Sanghyang Widhi (Tuhan) hanyalah satu. Untuk mencapai tujuan

ke-Tuhan-nan itu ada bermacam-macam.

Episode keenam menyajikan pernikahan Kendariyani dengan Gusti Ngurah

Wiweka yang didasari atas cinta yang tulus, cinta sejati. Upacara pernikahan

dilaksanakan dengan meriah. Cinta kasih orang tua kepada anak juga diselipkan,

yakni dengan memberikan nasihat-nasihat dan contoh yang baik.

Episode ketujuh (terakhir) adalah tentang situasi gaib yang dialami oleh

Ngurah Darsana ketika melakukan persembahyangan di Pura Dalem. Upacara itu

hanya dilakukan hanya satu hari, bukan dua atau tiga hari sebagai di tempat

lainnya dan itu pun hanya dilakukan oleh laki-laki, tidak ada perempuan karena

takut. Konon menurut cerita para penghuni alam gaib sering memperlihatkan

dirinya dalam bentuk sosok mahluk yang aneh-aneh. Pada malam itu, hanya tiga

orang yang berhasil melewati malam angker itu, yakni Ngurah Darsana, Jero

Mangku Dalem, dan Jero Bandesa. Mereka bertiga melihat sosok-sosok angker

itu dalam perujudannya yang bermacam-macam. Mereka bertiga sebagai

perwakilan masyarakat bahwa sesungguhnya penghuni gaib itu ada. Kekuatan

gaib juga ditunjukkan ketika hari suci Saraswati ketika menantu Ngurah Darsana,

Gusti Agung Wiweka beserta keluarga besarnya mohon keris pusaka miliki

leluhurnya. Suatu hari Ngurah Darsana beserta keluarganya mengalami hal gaib

lainnya ketika sembahyang di Puseh Sogra. Terdengar suara keramaian namun

tidak terlihat sesuatu, selang beberapa saat mereka melihat pasukan gaib lengkap

Page 40: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

34

dengan senjatanya yang membuat mereka merasa takut. Sampai tiba di rumah

pun masih terngiang suara-suara gaib itu. Bahwa sesungguhnya memang betul

ada dunia lain dan harus dipercaya semua itu memiliki kekuatan.

Kearifan Lokal dalam Novel Suryak Suung Mangmung

a) Mulat Sarira/eling. Mulat Sarira (introspeksi diri) adalah konsep dalam

budaya Bali agar selalu ingat dengan diri sendiri, sadar, selalu menjauhkan

diri dari angkara murka. Selain itu, jangan pula terlalu menuruti hawa nafsu

lebih-lebih birahi yang dapat menghancurkan keluarga. Dalam novel dikutip

sebagai berikut.

“Saja Ning, tegarang baca tutur Sarasamuscayane. Mula tuara ada kewehan

teken ngeretin momo angkarane utamanne ane madan kama. Ane tonden taen

ngrasayang Makita apang nawang rasanne. Apa buin ane suba biasa

ngrasayang jaenne Makita apang tusing kapegatan rasa cara ngisep

candune. Yan maraga luh mula saking nunain, sawireh sasubane baki yen

masanggama liunan rasa sakitne timbangan teken klebete kasmaran” (hal

37).

„Benar Nak, cobala baca (ada) nasihat dalam Saramuscaya. Memang sangat

sulit untuk menahan perilaku jahat utamanya apa yang disebut nafsu. Yang

belum pernah merasakan ingin tahu seperti apa nikmatnya. Lebih-lebih yang

sudah biasa merasakan nikmatnya ingin agar tidak pernah terputus merasakan

nikmatnya seperti halnya mengisap candu. Jika perempuan memang bias

mengurangi karena jika sudah menopause jika dipaksakan bersenggama lebih

banyak terasa sakitnya dibandingkan dengan keinginan akan nikmatnya

asmara‟.

Demikianlah satu satu romantika perkawinan yang memasuki usia senja

ketika terjadi perubahan fisik terutama bagi perempuan. Namun, tidak

demikian halnya bagi laki-laki seringkali keadaan yang demikian sering kali

dimanfaatkan untuk mencari kesenangan sendiri di luar rumah. Hal inilah

yang harus selalu diingat bahwa semakin tua sudah harus mulai mengurangi

nafsu keduniawian, semakin tua sudah seharusnya semakin banyak mencari

jalan kemuliaan.

Page 41: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

35

Kesungguhan hati Ratna Dumilah untuk mempelajari agama Hindu adalah

contoh yang baik untuk diteladani. Karena sudah terlanjur menikah dengan

Ngurah Darsana, mau tidak mau Ratna Dumilah harus mengikuti suaminya.

Baginya tentu tidak baik jika terjadi disharmonisasi kepercayaan antara suami

dengan istri. Ratna Dumilah mengambil peran yang sangat baik dalam

pendidikan anaknya, memberikan nasihat-nasihat kebaikan sesuai dengan

dasar agama Hindu, agama yang dianut suaminya. Hal ini ditegaskan dalam

kutipan berikut.

“Beh, ibu sampun nyidayang ngerti yadiapin ke dasar kelahiran ibune

malianan agama. Yen tiang yadiapin kocap madasar agama Hindu sane

kuna, nanging saking kirangan buku sastra agama Hindu lan uratian para

panglingsir adat lan agamane, ngawinang pauninge among ngadu

rarekon….” (hal 51).

„Wah, ibu sudah sangat mengerti walaupun ketika ibu lahir beda agama.

Kalau saya walaupun menganut agama Hindu yang tradisi lama, oleh karena

kekurangan buku-buku agama dan juga para tetua agama menyebabkan

pengetahuan saya hanya mengandalkan konon katanya, …..‟.

Demikianlah kesadaran diri seorang Ratna Dumilah yang waktu kecil

bernama Lale Dumilah beragama Islam telah mampu menunjukkan perannya

sebagai ibu yang sejati, menghayati dan melaksanakan ajaran agama Hindu

yang sesungguhnya. Kedalaman pemahaman ajaran agama Hindu

ditunjukkan pada bagian akhir kisah ketika dia memberi nasihat kepada

anaknya.

“Sayuwakti Gung Antha, soang-soang agama pada ngelah aturan

kapercayaanne ane madan Srada. Yen Hindu kadanin Panca Sradha luire

percaya teken Ida Sanghyang Widhi, ada Atma, ada Karma Pala, ada

Punarbawa, lan ada Moksa. Ibu ane kawitne uli agama len, sasukate nutug

Tu Ajine magama Hindu, bisa ngrasayang ada ane mabinayan. Nanging yen

runut selehin, akehan sane pateh, yadiapin mabinayan basa lan tata caranne.

Sekadi pitutur Tu Ajine, „len tukad len aliran yehne, nanging makejang

tetujonne patuh, ka segara agung tan patepi”. Eling ibu dugase bajang

matirta yatra ngiring Tu Ajine ka pucak Gunung Rinjanine. Yeh ujane saking

pucak malembah di makudang-kudang tukad. Ada ane ngajanang,

nganginang, ngalodang, nanging makejang tetujonne tuah ka segara”

Page 42: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

36

„Benar Gung Antha, tiap-tiap agam memiliki aturan kepercayaan yang

disebut dengan Sradha, percaya dengan keberadaan Sanghyang Widhi, ada

Atma (roh), ada Karmapala, Punarbawa (reinkarnasi), dan Moksa. Ibu yang

berasal dari agama yang berbeda setelah mengikuti ayahmu yang beragama

Hindu bias merasakan perbedaannya. Tetapi jika diselidiki lebih mendalam

banyak kesamaannya walaupun berbeda bahasa dan penyebutannya.

Sebagaimana yang dikatakan ayahmu, “beda sungai beda aliran airnya, tetapi

tujuannya sama, yakni ke samudra luas. Ibu ingat ketika masih muda bersama

ayahmu dalam perjalan (suci) ke Gunung Rinjani. Air hujan yang jatuh dari

puncak gunung mengalir ke berbagai sungai. Ada yang ke utara, ke tikur, ke

selatan, tetapi tujuannya semuanya ke laut‟.

b) Pilih-Pilih Bekul Bakat Buah Bangiang

Merupakan sesonggan (pepatah) dalam budaya Bali. Pepatah ini sangat lazim

digunakan dalam berkehidupan social masyarakat Bali. Menurut Tinggen

(1995: 19) sesonggan berfungsi untuk mematahkan pembicaraan orang.

Secara terminologis, istilah sesonggan berasal dari kata {ungguh} „duduk,

tempat, tinggal‟ kemudian mendapat proses morfologis dengan konfiks {sa-}

+ {-an}. Selanjutnya, menjadi saungguhan lalu direduplikasi suku depan

(dwipurwa) dan terjadi harmonisasi vokal menjadi sesonggan „bersekeadaan,

bersekedudukan, bersepadanan, sepantun, seirama, senasib, seajal‟. Selain itu,

sesonggan juga berfungsi untuk menyindir terhadap seseorang. Dalam

mengartikan sebuah sesonggan memerlukan tiga tahapan, yaitu arti sejati, arti

peribahasa, arti perumpamaan. Oleh karena itu, sesonggan dapat dijelaskan

sebagai berikut.

Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang

Arti sejati: memilih buah bekul akhirnya mendapatkan buah bangiang. Kedua

jenis buah oleh sebagian orang sudah jarang diketahui, lebih-lebih buah

bangiang jarang sekali orang yang tahu. Buah bekul adalah sejenis buah yang

rasanya kecut ukurannya sebesar ibu jari dewasa, pohonnya berduri, daunnya

kecil-kecil. Buah ini cocok untuk asinan. Pohon ini banyak tumbuh di daerah

Page 43: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

37

tandus seperti Bukit Jimbaran Badung. Buah bangiang adalah buah dari

tanaman ilak-ilak, sejenis perdu satu kelompok dengan jahe dan bentuknya

mirip dengan jahe. Buah ini tidak dapat dimakan bukan karena beracun tetapi

rasanya yang sangat tidak enak. Antara buah bekul dengan buah bangiang

tidak memiliki ukuran yang begitu berbeda.

Arti peribahasa: seperti orang yang terlalu memilih-milih namun pada

akhirnya yang didapatkan justru yang lebih jelek.

Arti perumpamaan seperti berikut ini.

“Saja Geg Yani, kakiang among maguyonan. Mula patut waspada yen ngalih

rabi, apang madasar ben tresna sujati, boya ja kamendriane. Cara Janine

liu anake luh, muani gumanti nguluk-nguluk cara raos jegege, ngulah alih

aluh. Ane perluanga tuah arta branan anake dogen. Pitui suba baluan,

tuanan, bocokan sing kenken.. Pokokne sugih, liu ngelah brana lakar anggon

5 M, momone ane lelima.” Pandikan Ida Pedanda sada alon.

“Suyakti Ratu Pedanda. Mangkin akeh trunane sane demen dados dados

gigolo, gumanti mamitra sareng baluan, istri-istrine sane tua kasepian.

Yening perlu, nganten taler nyak. Asal sugih. Yen anak luh bajang ngenyakin

anak tua, saking dumun sampun ketah. Sane perluanga jinah lan kemewahan.

Mawinan para bangsawane akeh madue rabi.” (hal 40-41).

„Benar Geg Yani, kakek hanya berseloroh. Mencari pasangan memang harus

berhati-hati, harus didasari oleh cinta sejati, bukan sekadar nafsu. Zaman

sekarang banyak perempuan, laki-laki suka menipu seperti katamu, cari jalan

pintas. Yang dipentingkan hanyalah kekayaan saja. Walaupun sudah

janda/duda, lebih tua, tidak tampan/cantik tidak apa-apa. Yang penting kaya

raya, banyak punya harta untuk 5 M, ketamakan. Demikian kata Ida Pedanda

perlahan.‟

“Benar Ratu Peranda. Sekarang banyak anak muda yang menjadi gigolo,

yakni berselingkuh dengan janda tua yang kesepian. Bila perlu, menikah pun

rela. Yang penting kaya. Kalau perempuan banyak yang menyukai lelaki tua

dan itu sudah berlaku dari dulu. Yang diperlukan hanyalah uang dan

kemewahan. Itulah sebabnya banyak kaum bangsawan memiliki istri‟.

Demikianlah hendaknya jangan terlalu memilih sebab salah sedikit saja bisa

menjadi salah pilih, yang lebih buruk lagi justru mendapatkan yang lebih

jelek. Perlu diingat bahwa di era yang serba hedonis ini banyak orang yang

munafik, berpura-pura, semua diukur dengan uang tanpa peduli tua atau

muda, janda atau pun duda, tampan atau pun jelek. Mencari pasangan

Page 44: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

38

memang haruslah memilih tetapi pilihan itu rasional, tidak muluk-muluk baik

dari segi pendidikan, pekerjaan, yang terpenting bisa mengayomi keluarga.

Adalah nasihat yang baik dari seorang pendeta kepada Ngurah Darsana.

“Nah, Ngurah Darsana, Bapa among matuinget. Ngurah ngelah oka istri

buin jegeg, ngelah gegaen melah, sinah liu anake demen, mabudi nganggon

rabi. Nanging, Geg Yani saja pageh ngaba raganne, enu mapilih ngalih rabi

apang maanane paling melaha tur kacumpuin teken anak lingsir. Nah, cara

Janine ento mula sukil. Tusing ada anak ane bagus manerus. Yen matuuh

amun Geg Yanine suba antes nganten. Asal tusing ilang pasidikarane, jag

rahayuang. Keto masih Geg Yani, sampunang ja bas mapilih. Yening suba

cocok geginane, pendidikane jag kanggoang. Apang sing enggalan wayah.

Yen wayah-wayahan tebu sayan manis. Nanging cara sesonggane “Pilih-

pilih bekul bakat buak bangiang”. Sapunika pandikan Ida Pedanda satmaka

ica nguyonin Geg Yani”. (hal 40).

„Ya, Ngurah Darsana, ayah hanya mengingatkan saja. Kamu punya anak

perempuan lagi pula cantik, pekerjaannya juga bagus, pantaslah banyak orang

yang suka padanya untuk dijadikan istri. Namu, Geg Yani terlalu menahan

diri masih memilih-milih supaya dapat suami yang sempurna dan disetuji

oleh orang tuanya. Yang demikian itu di zaman sekarang amatlah sulit. Tidak

ada orang yang tampan sempurna. Jika seumur Geg Yani sudah sepantasnya

menikah. Asalkan jangan sampai meninggalkan persaudaraan, segera ambil

keputusan. Jika suda sesui dengan pekerjaannya, pendidikannya ambil

keputusannya. Andaikan tebu semakin tua semakin enak (manis) tetapi

jangan seperti pepatah “Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” Demikian

kata pendeta sambil tertawa ringan menggoda Geg Yani.

5.2 Strategi Pengarang

Strategi pengarang adalah cara pengarang untuk menyampaikan amanat yang

akan disampaikan melalui karyanya itu agar bisa dipahami/ditangkap oleh pembaca.

Strategi di sini menyangkut struktur karya sastra yang diperankan oleh tokoh-tokoh

yang telah dipilih dan ditetapkan dalam urutan cerita. Adapun tokoh yang

dimaksudkan itu baik sebagi tokoh utama (protagonis), tokoh sekunder (antagonis)

maupun sampingan (tokoh pelengkap). Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi

sentral terjadinya peristiwa, baik dari segi latar (tempat, waktu) sekaligus yang

menentukan insiden dan pola alur.

Page 45: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

39

Pemberian nama seorang tokoh seringkali mencerminkan watak seorang tokoh

yang berfungsi untuk menghidupkan, menjiwai,atau mengindividualisasikan

sehingga memungkinkan terciptanya konflik-konflik cerita (narasi) sehingga tertarik

untuk membaca atau menghayatinya. Oleh karena itu, Sudjiman (1986: 58)

menyatakan bahwa penokohan merupakan penciptaan citra tokoh di dalam karya

sastra yang sesungguhnya fiktif belaka. Kehebatan seorang pengarang ketika dia

(pengarang) berhasil membawa pembaca masuk ke dalam karakter tokoh-tokoh

ciptaannya itu, apakah pembaca bersimpati ataukan membencinya. Untuk itulah

tokoh-tokoh harus dihidupkan. Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan bahwa

penokohan dapat menggunakan beberapa cara sehingga dapat terungkap oleh (i)

tindakannya, (ii) ujarannya, (iii) pikirannya, (iv) penampilan fisiknya, (v) apa yang

dikatakan atau dipikirkan oleh tokoh cerita.

Saad (1967: 11) mengatakan bahwa ada tiga cara dalam menampilkan

penokohan dalam karya sastra. Pertama, cara analitik, yakni pengarang memaparkan

langsung tentang watak atau karkteristik tokoh dengan menyebutkan bahwa apakah

tokoh itu keras hati, keras kepala, berhati lembut, dan sebagainya. Dalam hal ini,

pengarang turut campur dalam melukiskan tokoh-tokohnya. Kedua, cara dramatik,

yakni pengarang membiarkan tokoh-tokohnya mengungkapkan, menyatakan apa

yang ada pada dirinya melalui ucapan, komentar, atau melalui penilaian tokoh lain.

Ketiga, gabungan analitik dengan dramatik, yakni pengarang menampilkan tokoh-

tokohnya secara analitik sekaligus dramatik, atau sebaliknya.

(1) Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda

Sebagaimana yang telah disajikan dalam sinopsis dengan jelas dapat

diketahui bahwa tokoh utamanya adalah Nyoman Sadia. Sebagai tokoh utama,

Page 46: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

40

profesi seorang Sadia dijadikan judul novel ini, yakni sebagai seorang pangalu.

Istilah pangalu ini merupakan merujuk pada profesi seorang pedagang keliling.

Sebagai tokoh utama, dibutuhkan tokoh sekunder seorang gadis bernama Luh Widi.

Kehidupan tokoh utama seorang Sadia dilukiskan dari bujang sampai menikah

dengan Luh Widi dengan setting kehidupan tempo dulu ketika berdirinya kerajaan

Gianyar. Kehidupan Sadia sebagai pedagang keliling membawanya bertemu dengan

Luh Widi berlanjut dengan jalinan kisah kasih di antara mereka berdua dan akhirnya

membawa mereka ke jenjang pernikahan. Sadia sebagai tokoh utama, tentu berperan

sangat sentral dalam pola cerita. Munculnya tokoh antagonis seperti Bantar, seorang

pemuda pemabuk yang cukup kaya di desanya menguatkan citra Sadia sebagai sosok

idaman seorang gadis. Selain memiliki etos kerja yang tinggi, Sadia juga seorang

tampan, tulus, serta berbakti pada Tuhan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa

tampilan tokoh dan penokohannya dilakukan secara implisit. Pembaca dibiarkan

mencari pemahamannya sendiri untuk dapat mengenali dan memahami karakter-

karakter dalam cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metode yang

digunakan pengarang adalah dramatic. Sebagaimana nama tokoh utama, Nyoman

Sadia, istilah sadia artinya „bahagia, berhasil‟ adalah seorang yang sangat percaya

kepada Tuhan / Sanghyang Widhi Wasa (Hindu), di pihak lain Luh Widi, pacar Sadia

dan kelak menjadi istrinya, juga orang baik dan taat beragama. Ungkapan di

masyarakat seperti “usaha tanpa doa adalah sia-sia” adalah benar adanya sebagimana

yang diisyaratkan dalam novel ini. Seorang pedagang keliling dengan usahanya tanpa

kenal lelah akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Luh Widi, yang menjadi

inspirator dan penyemangatnya.

(2) Novel Nembangang Sayang Karya Nyoman Manda

Page 47: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

41

Novel ini menampilkan tokoh utama Wayan Landra dan Putu Arini serta

beberapa tokoh sekunder seperti Gung Wirati, Dewa Raka, Gung Ratih.

Sebagaimana telah disajikan dalam sinopsis, kedua tokoh utama ini menjalin kisah

asmara yang romantis. Tokoh Landra digambarkan secara dramatik oleh pengarang

sebagai seorang pemuda yang kalem dan ramah melalui ucapan pacarnya. Hal ini

bisa dilihat dalam kutipan berikut. “Gung Wirati ngusap-usap anak bagus kalem di

sampingne” (hal. 98). Pengarang beberapa kali menggambarkan Landra dengan

sebutan “kalem” dalam berbagai peristiwa, misalnya saat akan melakukan

pengibaran bendera merah putih (hal 6). Demikian juga dengan ciri fisik Landra

tidak diungkapkan secara terang oleh pengarang, hanya secara sosiologis

digambarkan sebagai kolektor lukisan di Ubud yang sangat terkenal.

Penggambaran tokoh Arini tidaklah sebanyak penggambaran tokoh Landra

walaupun Arini sesungguhnya juga sebagai tokoh utama (protagonis). Namun,

secara tekstual dapat dikatakan bahwa tokoh Arini dimunculkan secara dramatik.

Tidak ditemukan penggambaran fisik dan karakter secara gamblang. Keceriaan Arini

yang masih berstatus seorang pelajar SMA adalah wajar. Kelembutan hati Arini

digambarkan ketika menasihati Landra agar hati-hati mengendai mobil karena

tanjakan di seputaran Bedugul (hal 61).

(3) Novel-Novel Djelantik Santha: Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak Suung

Mangmung).

Kedua novel Djelantik Santha ini merupakan bagian dari trilogis novel yang

diawali oleh Sembalun Rinjani. Antara novel Gita Ning Nusa Alit dengan novel

Suryak Suung Mangmung berisikan masa kehidupan berumah tangga dengan berbagi

Page 48: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

42

macam lika-likunya. Kedua novel tersebut masih mempertahankan I Gusti Ngurah

Darsana, seorang pegawai bank, dan Ratna Dumilah (semasa bujang bernama Lale

Dumilah), seorang gadis Sasak, akhirnya mereka menjadi suami istri yang serasi.

Tampilan sosok Ngurah Darsana adalah idaman setiap gadis, perangainya lemah

lembut, rendah hati, sabar, cerdas, perhatian, bertanggung jawab, beriman, dan suatu

saat bisa juga santai melucu. Sesuai namanya, Darsana, dalam kosa kata Bali berarti

„contoh, teladan‟ (Kamus Bali-Indonesia, 1978: 145). Secara tekstual, karakter

Ngurah Darsana seperti itu membuat dia disegani baik di kantor maupun di rumah.

Sosok Ngurah Darsana selalu menjadi kunci pemecahan masalah, menjadi tempat

untuk minta nasihat, dan sebagainya.

Tokoh utama Ratna Dumilah yang sebelumnya beragama Islam setalah

menikah memeluk Hindu sesuai keyakinan Ngurah Darsana. Nama Ratna Dumilah

secara tekstual juga menunjukkan karakter yang jujur, cantik, bersahaja, tepat

menjadi penyeimbang dengan karakter Ngurah Darsana. Dalam budaya Bali kata

“ratna” berarti „bunga ratna, mutiara‟; dumilah berarti „bercahaya, berkobar,

memancar, bersinar‟ (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 1998: 218). Perubahan

keyakinan yang awalnya Islam seorang Lale Dumilah menjadi Ratna Dumilah yang

menjadi Hindu adalah contoh yang baik dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Saling mengisi, toleran, suami menghargai istri, sebaliknya istri member rasa hormat

dan penuh pengabdian.

Secara tekstual karakter Ngurah Darsana disajikan secara dramatik. Pembaca

dipersilakan bebas untuk memahami Darsana dan juga karakter Ratna Dumilah yang

diwujudkan dalam alur cerita yang rapat mulai awal cerita sampai akhir cerita.

Karakter-karakter Ngurah Darsana sebagai tokoh idola dapat pula disimak melalui

Page 49: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

43

penilaian tokoh lain (sekunder) sehingga pembaca lebih mudah untuk memahaminya.

Berikut salah satu kutipannya.

“Saja Denda. Tegarang pidenin. Amonto makelonne iraga gradag-grudug

dini. Kaden Tu Ngurah sing taen culig macanda kaliwatan teken iraga. Apa

buin ngalemesin. Enggalan iraga ane tusing tahan, bilang maekin

raganne.”….

“Ooh, saja Luh.Tiang masih marasa buka keto. Tambis-tambis tiang tusing

tahan ngerasayang apang nyidang nuduk ulungan tresnanne Tu Ngurah.

Sawireh caran raganne matimpal ngajak iraga makejang patuh. Yapin teken

Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama. Nganti tiang nyerah kalah”….. (Gita Ning

Nusa Alit: 3).

Terjemahannya:

“Benar Denda (Ratna Dumilah). Cobalah pikiran. Demikian lama kita bergaul

di sini. Rasanya Tu Ngurah (Darsana) tidak pernah kelewatan bercandanya.

Apalagi merayu. Justru kita yang tidak tahan bila dekat dengannya”.

“Oh ya, benar Luh. Saya juga merasakan demikian. Hampir tidak tahan saya

rasanya agar dapat mendengar kata cinta darinya. Hal itu karena caranya

berteman semuanya sama. Baik terhadap Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama”.

Kutipan di atas adalah percakapan antara Ratna Dumilah ketika masih gadis

dengan teman kosnya Luh Purnama. Tersirat betapa bijaknya seorang Ngurah

Darsana karena dia tidak mau menyatakan cintanya kepada Ratna Dumilah dan bila

hal itu dilakukan akan menyakiti perasaan Luh Purnama (yang juga jatuh cinta pada

Ngurah Darsana). Ngurah Darsana sadar betul di antara mereka berdua, Ratna

Dumilah dengan Luh Purnama adalah sahabat karib.

Dalam novel Suryak Suung Mangmung berisikan kehidupan rumah tangga

memasuki tahap akhir ketika Ngurah Darsana mulai pensiun dan pulang kembali ke

kampung halamannya di Desa Badeg Selat Karangasem. Dalam tahap ini karakter

Ngurah Darsana semakin arif demikian juga istrinya Ratna Dumilah. Mereka berdua

rajin bermasyarakat dan juga melakukan persembahyangan ke pura-pura yang sejak

lama tidak pernah dijalaninya. Pembelajarannya terhadap ajaran agama semakin

Page 50: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

44

diperdalam sehingga keyakinnya semakin bertambah juga. Disadari betul bahwa

semakin tua memang harus semakin bijak dan mulai mendekatkan diri pada Tuhan.

Peristiwa demi peristiwa disajikan secara terstruktur mulai awal cerita sampai akhir.

Perannya sebagai sosok teladan ditunjukkan dengan baik oleh pengarang.

Demikianlah deskripsi Ngurah Darsana dan istrinya Ratna Dumilah digambarkan

secara implisit melalui alur cerita dan peristiwa-peristiwa yang melukiskan

karakteristik ideal kehidupan berumah tangga.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam

menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita dilakukan secara implisit. Bilamana

nama-nama tokoh yang dihadirkan itu sesuai dengan karakternya yang

direpresentasikan dalam cerita maka pengarang memilih dengan cara impisit atau

dramatik. Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak mengandung makna karakter

dalam cerita, pengarang lebih memilih cara analitik. Namun demikian, kedua cara

ini tidak mutlak diterapkan, di sana-sini secara parsial kedua cara ini digunakan

secara bergantian.

Page 51: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

45

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan uraian analisis di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut

ini.

1) Novel Nemoe Karma karya I Wajan Gobiah mengajarkan konsep kearifan

lokal tentang ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai konsep sinergitas dalam

mengambil keputusan dalam sebuah pernikahan.

2) Novel Gending Pengalu berisikan tentang etos kerja seorang perantau

bahwa kerja keras akan memberikan hasil yang memuaskan

3) Novel Nembangang Sayang karya Nyoman Manda mengajarkan tentang juga

tentang konsep Tri Hita Karana dan bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa.

4) Novel Suryak Suung Mangmung mengajarkan kearifan tentang mulat

sarira/eling dan ungkapan budaya Bali sesonggan“pilih-pilih bekul bakat

buah bangiang”, yakni memilih sesuatu khususnya pasangan hidup harus

tepat.

5) Novel Gita Ning Nusa Alit mengajarkan kearifan tentang spirit pemersatu,

patriotis salunglung sobayantaka „sehidup semati‟

6) Dari segi struktur yang menyangkut teknik pengarang dalam menampilkan

tokoh-tokoh dalam cerita, dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam

menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita dilakukan secara implisit bilamana

nama-nama tokoh yang dihadirkan itu sesuai dengan karakternya yang

direpresentasikan dalam cerita (cara dramatik). Sebaliknya, bila nama-nama

tokoh tidak mengandung makna karakter dalam cerita, pengarang lebih

memilih cara analitik. Namun demikian, kedua cara ini tidak mutlak

Page 52: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

46

diterapkan, di sana-sini secara parsial kedua cara ini digunakan secara

bergantian.

Restorasi kearifan lokal Bali tersebut di atas harus dimaknai kembali,

diperkuat, dipertajam, diaplikasikan selanjutnya diharapkan dapat

memperkuat budaya Bali sebagai identitas dan jati diri orang Bali.

4.2 Saran

Kearifan-kearifan lokal tersebut di atas senantiasa dapat dijadikan panduan

dalam perilaku sosial sehari-hari sehingga apa yang dicita-citakan Bali ajeg, Bali

lestari, Bali yang berbudaya dapat dapat diwujudkan dan diwariskan dari generasi

sekarang ke generasi yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha

nyata melalui penelitian-penelitian secara berkelanjutan.

Page 53: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

47

DAFTAR PUSTAKA

Alaini, Nining Nur. 2015.Tradisi Lisan Kecimol: Upaya Penguatan Jatidiri Bangsa

Melalui Kearifan Lokal” (Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu VIIIdi

Denpasar tanggal 20-21 Februari 2015).

Anonim. 1988. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-

Aspek Agama Hindu I-XIV. Denpasar: Peradah Indonesia Komisariat Kec

Kuta.

Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Apriani, Ni Nyoman. 2009. “Novel Suryak Suung Mangmung Karya Djelantik

Santha: Pendekatan Sosiologi Sastra” (Skripsi). Denpasar: Prodi Sastra Bali

Univ. Udayana.

Genua, Veronika. 2013. “Nilai Kehidupan dalam Legenda Rendo Rate Rua sebagai

Jatidiri Masyarakat Kabupaten Ende NTT (Prosiding Seminar Internasional

Austronesia 2013 ISBN978-602-776-70-8).

Hardiningtyas, Puji Retno. 2013. “Warna Lokal Kumpulan Cerpen Mandi Api:

Upaya Regulasi Budaya Bali di Tengah Arus Globalisasi” (Prosiding

Seminar Nasional Bahasa Ibu VII ISBN 978-60-7776-89-0).

Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur

Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Moleong, Lexy Y. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Oktavianus. 2015. “Nilai Budaya dalam Peribahasa dan Revolusi Mental” (Prosiding

Seminar Bahasa Ibu VIII di Denpasar tgl 20-21 Februari 2015).

Pamuntjak, K.St, N.St. Iskandar, A.Dt. dan Madjaindo. 2004. . Peribahasa. Jakarta:

Balai Pustaka.

Parasari, Cok Istri Anik. 2010. “Novel Gending Pengalu Karya Nyoman manda:

Analisis Struktur” (Skripsi). Denpasar: Prodi Sastra Bali Univ Udayana

Putra, I Nyoman Darma. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Page 54: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

48

Saad, M. Saleh. 1967. “Chairil Anwar dan Telaah Kesusastraan: Sebuah Catatan

Kecil” (dalam Lukman Edi (ed) Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal, Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan.

Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Sukasta, 1996. “Konflik Psikologis dalam Novel Mlancaran ka Sasak Suatu

Pendekatan Psikologi Sastra. (Skripsi). Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka

Jaya.

Tim Penulis. 1984. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan

Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tinggen, I Nengah. 1995. Aneka Rupa Paribasa Bali. Singaraja: Rhineka

Page 55: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

49

LAMPIRAN INFORMAN

Nama : Ni Luh Made Suardhiyani

Jenis Kelamin : P

Tempat/Tanggal Lahir : Tangkas Klungkung/ 26-8-1985

Agama : Hindu

Pendidikan : Sarjana

Alamat : Jl. Tukad Citarum Gg VII 5A.

Nama : Ida Ayu Nym. Manuastiti

Jenis Kelamin : P

Tempat/Tanggal Lahir : Klungkung/ 15-3-1989

Agama : Hindu

Pendidikan : Sarjana

Alamat : Desa Pesangkan Anyar Desa Duda Timur Kec. Selat

Karangasem

Nama : Ida Bagus Suarcana

Jenis Kelamin : L

Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/ 10-6-1989

Agama : Hindu

Pendidikan : Sarjana

Alamat : Br. Sintig Sibangkaja, Abiansemal, Badung

Nama : I Made Bagiastra

Jenis Kelamin : L

Tempat/Tanggal Lahir : Br. Gelogor Lodtunduh Gianyar/ 20-2-1995

Agama : Hindu

Pendidikan : Mahasiswa

Alamat : Br. Gelogor Lodtunduh Gianyar

Nama : Ida Bagus Acarya Sakayana

Jenis Kelamin : L

Tempat/Tanggal Lahir : Gianyar/ 18-11-1994

Agama : Hindu

Pendidikan : Mahasiswa

Alamat : Br. Ceboong, Desa Serongga, Gianyar

Nama : Putu Sosiawan

Jenis Kelamin : P

Tempat/Tanggal Lahir : Kayuputih, 1-9-1991

Agama : Hindu

Pendidikan : Sarjana

Alamat : Dusun Bolangan Desa Kayuputih Buleleng

Nama : Ni Putu Aristia Ulandari

Jenis Kelamin : P

Page 56: PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA …erepo.unud.ac.id/732/1/a3a4cd9e44f1004080dbf78d476961e9.pdf · Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan

50

Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/ 28-3-1992

Agama : Hindu

Pendidikan : Sarjana

Alamat : Jl. Tukad Balian Gg 43 No 1 Renon Denpasar

Nama : I Made Bagiastra

Jenis Kelamin : P

Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/ 13-5-1995

Agama : Hindu

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Kenyeri Gang Pucuk No 2 Denpasar