Problem+Pilsapat

40
ProblemFilsafat NO. 7 / TAHUN II / DESEMBER 2010 PROBLEMFILSAFAT bulletin komunitas marx BARANG DAGANGAN KEPEDULIAN SOSIAL - SEJARAH EKONOMI POLITIK - ANDAI AKU BUKAN RAKYAT INDONESIA - DEBT COLLECTOR - MARXISME DARI SUDUT PANDANG EKSTRAMORAL - DANSADANSI INTELIGENSIA KELAS MENENGAH INDONESIA - BLAME IT ON FIDEL ATAU SALAH LU SENDIRI KALI - ViVERE PERICOLOSO NO. 7 / TAHUN II / DESEMBER 2010

Transcript of Problem+Pilsapat

Page 1: Problem+Pilsapat

�ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

PROBLEMFILSAFATbulletin komunitas marx

BARANG DAGANGAN KEPEDULIAN SOSIAL - SEJARAH EKONOMI POLITIK - ANDAI AKU BUKAN RAKYAT INDONESIA - DEBT COLLECTOR - MARXISME DARI

SUDUT PANDANG EKSTRAMORAL - DANSADANSI INTELIGENSIA KELAS MENENGAH INDONESIA - BLAME IT ON FIDEL ATAU SALAH LU SENDIRI KALI -

ViVERE PERICOLOSO

No

. 7 / TahuN

II / Desem

ber 2010

Page 2: Problem+Pilsapat

� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

*Gambar depan : Socialism in London: A sketch in Hyde Park on Sunday afternoon.**Sumber : http://www.life.com/image/92924648

Jujur kukatakan kepadamu kawan, bahwa semua yang tertulis di sini adalah stanza tentang dirimu

sendiri. Sungguh, aku tak mengada-ada. Persoalan-persoalan yang kau ceritakan padaku penuh kes-

edihan. Tetapi sudah ku katakan berulangkali: Tak Ku Pedulikan Semua itu. Apa sebabnya? Kau sudah bosan dengan perbedaan pendapat, dan kau malas

berbeda pemikiran. Walau segala kenyataan yang kau hadapi berlawanan dengan suara hatimu, ternyata kau lebih memilih untuk belajar dengan menjadi

budak. Ya... budak intelek tentunya. Itu yang paling menguntungkan dirimu. Paling tidak kau bisa ber-sembunyi di balik kata-kata lihai dan logika-logika

yang penuh selidik dan misteri. Pikirmu, dirimu tak tertembus oleh sangkur kapitalisme. Nyatanya,

dirimu perlu meluangkan waktu untuk merefleksikan perutmu yang lapar ke berbagai tempat demi sesuap nasi. Oleh sebab apa dirimu lalu perlu bercerita ten-

tang kesedihanmu? Apa dirimu perlu percaya kepada sesuatu di luar dirimu untuk berkata bahwa kau tidak suka dengan perilaku mereka yang merendahkanmu kepada yang bersangkutan? Oleh sebab apa kau perlu

bercerita kepadaku tentang semua persoalanmu sementara tak sekali pun kau pernah berpikir tentang

keadaanku? Apakah kau berlaku sama juga dengan orang-orang yang berupaya mendengarkanmu?

Sungguh aku tak mengerti, dan boleh kan aku ber-pendapat bahwa kau sedang berpolitik disinformasi?

Oh, demi serumpun peruntungan rupanya, agar dirimu bisa berlaku serupa bedinde pangreh praja

di jaman kolonial, yang tanpa rasa mengayau kepala bangsa sendiri demi rupawannya wajah priyayimu.

Ah, muak aku dengan semua cerita roman picisanmu itu.

Aku lebih tertarik membaca tulisan kawanku Martin Suryajaya yang bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa lalu berpikir tentang ekonomi. Ada

yang menarik di sana, yaitu bahwa di benak pemikir masa lalu persoalan ekonomi itu hampir sama arti-

nya dengan problematik menyiasati kodrat manusia. Ah, itu rupanya pula yang sedang kau perjuangkan

kawan, kodrat manusia. Tapi apa artinya kodrat kemudian jika kawanku yang lain Binhad Nurrohmat

dengan kata-kata puitiknya lebih memilih menjadi orang asing ketimbang orang Indonesia? Karena menurutnya jika aku bukan orang Indonesia aku akan memperbudak orang Indonesia. Lalu kodrat

manusia yang mana yang kau maksudkan? Sebab su-dah banyak paket-paket wisata religius lengkap den-gan fasilitas spa, gymnastik, peralatan sembahyang, plus tempat yang jauh terpencil dengan gemericik air terjun dan wewangian aroma alam. Kecuali bila kau tidak ingin terjebak dalam paket pra-bayar atau pasca-bayar, alias gratisan. Ada sih. Di muara sungai

Cilincing. Cukup sepi di sana, dan aromanya juga khas dan unik. Karena di sana lah salah satu tem-

pat pembuangan sampah terbesar di Jakarta. Pasti kontemplasimu lebih dalam, tajam, dan kelam, tanpa senam dan selam tentunya, menjadikanmu pualam.

Kawanku, kadang-kadang bertamasya ke luar pe-mikiranmu baik juga untuk kesehatan mentalmu.

Dede Mulyanto seorang pengajar dan peneliti Lem-baga Akatiga Bandung, berupaya keras menulis buku

mengenai perspektif sosio-historis Kapitalisme, dengan menonjolkan arti penting dari pemikiran

Ibnu Khaldun yang dibahas oleh Martin Suryajaya. Kawanku yang lain, Berto Tukan menulis sebuah

cerpen dan ada resensi film Blame it on Fidel pula. Pun dengan kawanku Ismail yang punya pengalaman banyak di dunia musik mencoba menuliskan penge-tahuannya tentang “Dance Music”. Setidaknya dari

mereka kau akan melihat bahwa hidup itu tidak sama dengan politik. Tetapi politiklah yang akan mem-

bawamu ke berbagai pengetahuan tentang kemanu-siaan, dan itulah yang dibasmi habis-habisan oleh

kapitalisme untuk digantikan menjadi politik dagang suara, dagang hak politik, dagang kepedulian sosial.

Sampai di sini saja kawan, semoga kau bisa membaca hidup ini dengan lebih memiliki hati.

-Problem Filsafat-

EDITORIAL

Page 3: Problem+Pilsapat

�ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

PENDAHULUAN Adanya barang dagangan belum selalu di-persoalkan oleh banyak orang memang. Akan teta-pi kesadaran diri kita terhadap keberadaan barang dagangan perlu dipelajari lebih mendalam. Oleh se-bab di dalam perkembangan ekonomi politik yang berlaku saat ini barang dagangan dipahami oleh banyak orang sebagai kelengkapan/perlengkapan untuk hidup, dan bukan lagi sesuatu yang berada di luar diri manusia. Lebih-lebih dalam perkemban-gan teknologi komunikasi yang berlangsung saat ini, seolah-olah seluruh kehidupan manusia telah ditentukan olehnya. Kalaupun belum mengenal ataupun memiliki ponsel dan facebook, apa yang perlu dimengerti oleh masyarakat adalah bahwa seisi dunia ini telah terhubung dalam satu rangkai sistemik jaringan virtual tanpa batas-batas pemer-intahan atau pun kewilayahan sebuah negeri. Cu-kup rumit pengertian barusan oleh banyak orang, dan lebih lebih kalangan terdidik sekalipun, lepas dari apapun kepentingan mereka untuk mengkon-sumsi semua bentuk terbaru dari perkembangan teknologi. Apakah benar perkembangan teknologi sebagai sebuah barang dagangan sudah berlaku sebagai kebenaran (keutamaan) dalam kehidupan

saat ini? Apakah benar kemudian bahwa barang dagangan sudah berlaku sebagai jalan perjuangan (way of life) dari kehidupan manusia? Apakah benar benar belum ditemukan otentisitas dari ke-hidupan manusia? Oleh karena apa lantas barang dagangan menjadi penting untuk dibicarakan? Perbedaan pemikiran Marxis di dalam membahas sebuah masalah dibanding dengan pe-mikiran yang lain di bidang filsafat di dalam ban-yak hal adalah pada problematik yang diajukan olehnya. Pemikiran Marxis di dalam banyak hal pula tidak terlalu berkenan dengan problem in-dividualitas yang berpangkal pada kecenderun-gan psikologisme1. Sebaliknya, Marxisme melihat psikologi dan problem individualitas selalu meru-pakan produk dari perkembangan-perkembangan relasi sosial yang ada di dalam sebuah masyarakat2. Apabila dikembalikan pada permasalahan yang su-dah dikemukakan, apa yang dimaksud dengan ba-rang dagangan, maka itu tidak sama arti atau belum selalu berarti dengan barang barang yang diperjual-belikan di pusat-pusat perbelanjaan. Akan tetapi barang dagangan di sini dipersepsikan sebagai ses-uatu yang bukan saja bentuk fisik tetapi juga gaga-

BARANG DAGANGANKEPEDULIAN SOSIALoleh I GUSTI ANOM ASTIKA

ARTIKELdiskusi

Page 4: Problem+Pilsapat

� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

san tentang barang dagangan. Artinya, pemikiran Marxis di sini melihat barang dagangan bukan han-ya yang tampak bergerak di depan mata tetapi juga yang dipikirkan oleh banyak orang. an, maupun di pusat-pusat perdagangan lainnya. Di dalam hal ini menarik jika kita memperhatikan tulisan awal Marx dalam Manuskrip Paris, dimana ia menyatakan3:

“Kebutuhan akan tenaga kerja niscaya me-nentukan produksi tenaga kerja, sebagaima-na barang dagangan lainnya. Tetapi jikalau penawaran melampaui permintaan, sebagian pekerja kan tenggelam mengemis-ngemis atau kelaparan. Eksistensi pekerja dengan demikian berada di bawah kondisi yang sama seperti eksistensi barang dagangan lainnya. Pekerja menjadi sebuah komoditi, dan han-ya keberuntungan baginya jika menemukan pembeli tenaganya. Dan permintaan, di mana hidup pekerja bergantung, bergantung pada nubuat kaum kaya dan kaum kapitalis”.

Apakah Marx menjadi pengkhotbah di sini? Boleh jadi demikian. Akan tetapi yang perlu diper-hatikan kemudian adalah bagaimana Marx menco-ba merumuskan tentang apa itu barang dagangan. Dari teks tersebut, kelihatan bahwa barang dagan-gan, sebagaimana juga pekerja adalah sesuatu yang tampak bergerak naik turun menu-rut hukum per-mintaan dan penawaran yang diatur oleh kaum kapitalis; bahwa barang dagangan adalah sesuatu yang memiliki kegunaan dan karenanya pan-tas untuk diper-tukarkan. Lebih jauh lagi barang dagangan dalam p e n g e r t i a n n y a yang paling luas –apapun itu ben-tuknya-- diperdu-likan oleh karena kemampuan ba-rang tersebut di dalam mencip-takan konsep ten-tang pertukaran4. Plekhanov, pi-onir Marxist Rus-

sia, dengan logika yang sama seperti di muka me-nyatakan bahwa sebuah pemberontakan bukanlah cara bagaimana mendidik masyarakat secara politis dengan mengambil bagian dalam kehidupan publik negerinya, tetapi lebih pada bagaimana memahami bahwa kecenderungan anti negara yang muncul se-cara historis melalui berbagai gerakan besar dan kecil sudah dapat dianggap cukup matang secara politis, sehingga penghancuran negara (monarki/borjuis) adalah pembuka bagi kebebasan sosial dan kesetaraan ekonomi5. Demikianlah konsekuensi dari materialisme historis Marx, yang berangkat dari pemahaman tentang materi (baik itu benda maupun pikiran), proses pembentukannya, dan kemungkinan pengubahannya. Seperti juga barang dagangan yang menjadi sentral perannya oleh se-bab keberadaannya sebagai batu penjuru bagi pe-mikiran borjuis tentang kesejahteraan. Pemikiran borjuis berpendapat bahwa kese-jahteraan individu ataupun masyarakat ditentukan oleh kepemilikan dan daya beli terhadap barang dagangan. Sekiranya pelajaran ekonomi koperasi di sekolah menengah umum menjelaskan perihal ke-butuhan-kebutuhan manusia berdasar kepemilikan dan daya beli terhadap barang dagangan? Bahwa kebutuhan manusia terdiri atas tiga tingkatan, yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Yang prim-

ARTIKELDISKUSI

(Lukisan karya Paul Gauguin)

Page 5: Problem+Pilsapat

�ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

er mencakup kepemilikan dan daya beli terhadap barang-barang sandang, pangan dan papan. Kebu-tuhan sekunder mencakup biaya pendidikan, dan perbaikan tempat tinggal misalnya; dan kebutuhan tersier mencakup pembelian kendaraan bermo-tor dan barang barang mewah lainnya. Sepertinya dari sana ditentukan pula bagaimana tingkat kes-ejahteraan dari banyak orang di negeri ini. Bahkan jika diperbandingkan dengan kriteria kemiskinan yang berlaku saat ini, dapat dilihat bahwa kebutu-han untuk menjadi makmur harus dengan memiliki rumah yang lebih besar dari delapan meter persegi; dengan dinding dan lantai berkualitas tinggi; me-miliki WC; memiliki fasilitas listrik dan air bersih; menggunakan bahan bakar gas untuk memasak; mengkonsumsi daging atau susu lebih dari seming-gu sekali; belanja satu set pakaian baru setiap bulan; makan tiga kali sehari; mampu membayar biaya ke-sehatan di Puskesmas terdekat; berpendapatan di atas Rp.600 ribu per bulan; berpendidikan di atas sekolah dasar; memiliki tabungan di atas Rp 500 ribu; tidak mempekerjakan anak di bawah umur; dan mampu membiayai pendidikan anak. Menurut kriteria yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik tersebut, jika seseorang dianggap tidak dapat ber-sesuaian dengan salah satu dari kriteria di muka, maka ia dianggap sebagai yang miskin. Apa lantas dasar untuk menentukan seseorang sudah atau be-lum beranjak dari kemiskinan, sementara perkem-bangan kehidupan orang miskin di Indonesia tidak pernah tetap, seiring dengan perkembangan kenai-kan harga-harga barang dan jasa? Oleh karenanya dengan merujuk pada kutipan Marx di muka men-jadi penting untuk melihat relasi kehidupan orang miskin dengan barang dagangan di dalam tulisan ini. Kemiskinan sebagai akibat dari perkemban-gan kapitalisme memang belum dapat dibicarakan secara rinci di dalam tulisan ini. Akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari kapitalisme, problematik ke-miskinan dapat ditampilkan serupa ilustrasi dari perkembangan kesadaran politik. Sebagai pendasa-rannya di dalam Brumaire ke 18 dari Pemerintahan Louis Bonaparte, Marx berpendapat bahwa reali-tas politik di bawah kapitalisme, di bawah meluap luapnya barang dagangan sudah pasti melanggar kedaulatan rakyat dan karenanya melahirkan pro-letariat dan lumpenproletariat yang sedia bekerja untuk apapun bagi dirinya. Oleh karenanya Marx menulis di sana6:

“Hak Politik (Universal suffrage) tampak hanya selamat untuk sesaat, sehingga dengan tangannya sendiri hak tersebut membuat wa-siat dan keinginan terakhir di hadapan semua mata di seluruh dunia, dan menyatakan den-

gan mengatasnamakan rakyatnya sendiri: “Semua yang ada pantas untuk musnah”

Tidak cukup berkata seperti orang Perancis, bahwa bangsanya dibuat tidak sadar. Bangsa dan kaum perempuan tak diampuni di masa tanpa keamanan ketika siapapun petualang pertama yang datang akan dapat menjahati mereka. Silat lidah semacam itu tak meny-elesaikan persoalan tapi hanya merumuskan-nya secara berbeda. Tetap harus dijelaskan bagaimana sebuah bangsa dengan 36 juta jiwa dikejutkan dan dikirim tanpa perlawanan ke dalam tangkapan tiga satria industri”.

Apa yang barusan dinyatakan oleh Marx boleh jadi sangat berperan di dalam pembahasan mengenai barang dagangan. Kendati demikian sebelum sam-pai ke sana alangkah baiknya jika dapat dibahas secara lebih mendalam mengenai barang dagangan dan pertukarannya. Oleh karena problematik ba-rang dagangan sudah tentu berbeda dengan prob-lematik kekuasaan. Akan tetapi ternyata salah jika ada di antara kita berpikir seperti itu. Karena pada bab V di dalam buku yang sama Marx menunjuk-kan bagaimana logika pertukaran barang dagangan bermain di dalam lingkup kekuasaan dan politik, sebagaimana yang tercantum berikut ini7:

“National Assembly (Parlemen) sudah me-langgar kedaulatan rakyat dengan bantuan dan anak buahnya (Louis Bonaparte). Ia men-gancam akan mengadukan kejahatan par-lemen ke pengadilan rakyat kecuali jika par-lemen melonggarkan ikat dompet negara dan membayar ongkos tutup mulutnya dengan tiga juta frank setahun. Artinya ia merampok tiga juta hak suara rakyat Perancis. … Dapat-kah parlemen pecah kongsi dengan Presiden Republik Perancis pada saat secara prinsip juga sudah pecah dengan kepentingan rakyat banyak?”

Artinya pemahaman tentang barang dagangan beri-kut pertukarannya tidak bisa dilepaskan dari poli-tik barang dagangan, dan atau politik kapitalisme. Pemahaman ini bukan bermaksud merepresentasi-kan politik sebagai relasi dari perjuangan kelas di antara kelas buruh melawan kelas pemilik modal sebagaimana yang dikembangkan oleh Harry Cleav-er8. Tetapi di dalam politik itu sendiri konsep per-juangan kelas dibangun, dan bukan sebaliknya. Se-hingga jika dikembalikan pada pemahaman tentang barang dagangan berikut pertukarannya, maka itu selalu berada dalam kerangka upaya pengorganisa-sian kelas pekerja oleh kelas yang berkuasa, berikut relasi-relasi politik yang dibangun oleh kelas pe-

ARTIKELDISKUSI

Page 6: Problem+Pilsapat

� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

milik modal di dalam mempertahankan kekuasaa-nnya. Bahwa di dalam perkembangan kapitalisme terjadi berbagai perlawanan dari kelas pekerja su-dah pasti dapat diramalkan, dan sudah terjadi beru-lang kali dalam sejarah. Akan tetapi bukan seperti itu pemaknaan dari perjuangan kelas, lebih lebih jika melihat pembentukan konsepsinya di dalam surat Marx kepada Proudhon9:

“Tujuan utama dari surat menyurat kita bagaimanapun, akan menghubungkan kaum sosialis Jerman dengan kaum sosialis Perancis dan Inggris, terus memberi informasi kepada orang asing tentang gerakan gerakan sosialis yang muncul di Jerman dan memberikan in-fromasi kepada orang Jerman di Jerman ten-tang kemajuan sosialisme di Perancis dan In-ggris. Melaluinya perbedaan pendapat dapat dijelaskan dan pertukaran gagasan serta kri-tisisme tak berpihak dapat terjadi. Ini akan menjadi sebuah langkah yang dibuat oleh ger-akan sosial dalam manifestasi harafiahnya, untuk menyingkirkan halangan nasionalitas dari dirinya. Dan ketika saat bertindak tiba, hubungan itu akan menjadi jelas sangat men-guntungkan bagi setiap orang, karena telah berkenalan dengan berbagai urusan negeri lain seperti juga mengenali urusan di dalam negeri”..

Artinya perjuangan kelas bukanlah soal penggam-baran sejarah bagaimana masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas, dan bagaimana masing masing kelas tersebut saling bertempur satu dengan yang lain, sebagaimana interpretasi umum tentang per-juangan kelas adalah seperti yang tercantum dalam Manifesto Komunis10. Karena apabila memang demikian pemahamannya, maka secara etis sudah dapat diselesaikan oleh Platon melalui wacana pen-gorganisasian pejabat Negara di dalam Politeia, ataupun oleh Aristoteles melalui konsep keadilan distributif di dalam Nichoma-chean Ethics, atau juga kon-sep negara Islam Muhammad. Dalam artian, ketika orang ber-tanya, mengapa terjadi perjuan-gan kelas, katakanlah karena terjadi perebutan alat produksi. Kenapa terjadi perebutan alat produksi, katakanlah karena ad-anya kepemilikan pribadi, dan itulah sumber dari kehendak untuk berkuasa. Kenapa ada ke-hendak untuk berkuasa, karena mereka yang memiliki alat alat produksi tidak baca Platon, Ar-istoteles, dan Al-Quran. Inilah

psikologisme yang paling tolol, yang dikembang-kan begitu rupa oleh industri film Holywood me-lalui film film laga heroiknya, yang mengandaikan semua yang baik dan positif berasal dari teks teks kudus entah dari mana asalnya, ataupun dari suara hati yang paling dalam; sedemikian rupa dalamnya sampai empunya nirwana pun masih perlu bertanya kepada para pemilik modal, “Di lekuk lipat lemak yang mana kau simpan suara hatimu?”. Pada titik ini, pemahaman tentang per-juangan kelas perlu diletakkan pada aras realisasi pengorganisasian kerja. Pertama, dipahami dahulu bagaimana kelas dan perjuangan kelas dirumuskan oleh Marx, walaupun Ludwig von Mises merobek-robek dulu seluruh karya Marx untuk berpikir ten-tang kelompok-kelompok sosial di dalam masyara-kat11. Setidaknya di dalam tiga karyanya, yaitu di dalam The German Ideology, Marx menyatakan 12:

The separate individuals form a class only in-sofar as they have to carry on a common battle against another class; otherwise they are on hostile terms with each other as competitors. On the other hand, the class in its turn achieves an independent existence over against the indi-viduals, so that the latter find their conditions of existence predestined, and hence have their position in life and their personal development assigned to them by their class …

Kemudian di dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte :

Insofar as millions of families live under eco-nomic conditions of existence that separate their mode of life, their interests and their cul-ture from those of the other classes, and put them in hostile opposition to the latter, they form a class. Insofar as there is merely a local interconnection among these small-holding peasants, and the identity of their interests

ARTIKELDISKUSI

Di lekuk lipat lemak yang mana kau simpan suara

hatimu?

Page 7: Problem+Pilsapat

�ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

begets no community, no national bond and no political organization among them, they do not form a class.

Lalu yang terakhir di dalam Wage Labour and Cap-ital13 :

In the process of production, human beings work not only upon nature, but also upon one another. They produce only by working to-gether in a specified manner and reciprocally exchanging their activities. In order to pro-duce, they enter into definite connections and relations to one another, and only within these social connections and relations does their in-fluence upon nature operate – i.e., does pro-duction take place.

Berangkat dari tiga rumusan di muka maka perjuangan kelas bukanlah sekedar penggambaran tentang si Budi yang miskin melawan si Otong yang kaya. Mungkin saja penggambaran itu adalah rep-resentasi animatik dari film kartun Marxis. Akan tetapi problematik perjuangan kelas selalu didasar-kan atas pemahaman bahwa kekuatan-kekuatan produktif manusia di dalam perkembangannya selalu berdialektika dengan kekuatan-kekuatan “pelindungnya” di tahap awal, yang kemudian

berkembang menjadi kekuatan penghancurnya. Ini sejajar den-gan nubuat terkenal Marx, bah-wa manusia memang membuat sejarahnya sendiri, tetapi bu-kan oleh dirinya sejarah manu-sia itu kemudian bergerak dan berkembang. Rubel membaha-sakannya, “hubungan dialektis diantara kognisi ilmiah dan pe-menuhan praktis misi proletari-at akan selalu menuntut sistem ekonomi kapitalis yang berkem-bang dengan baik yang hadir bersama dengan antitesisnya, kelas pekerja yang terbuang, di-miskinkan, tapi sadar”14. Kedua, dari tiga kutipan di muka kelihatan jelas bahwa problem perjuangan kelas bu-kanlah problem relasi yang baik menjadi relasi yang tidak baik sebagaimana anggapan bahwa kehidupan masyarakat primitif yang komunal jauh lebih baik daripada kehidupan masa kini yang individualis. Jaman Di-ponegoro, katakanlah, kehidu-pan rakyat Jawa lebih rukun

daripada jaman sekarang, tetapi fakta sejarahnya setelah Diponegoro dikalahkan oleh tentara VOC, tak lama kemudian kebijakan Tanam Paksa yang menyengsarakan rakyat Jawa diberlakukan. Se-hingga seandainya Diponegoro tidak melawan VOC maka kehidupan rakyat Jawa akan lebih rukun lagi. Demikianlah kesimpulan logika kearifan lokal yang diplintir menjadi tidak masuk akal. Bahwa ada nilai nilai kultural di masa lalu yang sifatnya lokal yang patut didiskusikan ataupun dikembangkan pada masa kini, tidak menjadi masalah. Tetapi bahwa membawa jaman primitif lengkap dengan seluruh kebudayaannya ke dalam kehidupan jaman seka-rang adalah sama dengan barbarisme intelektual. Pada titik itu, Marx, sebagaimana interpretasi terh-adap ketiga kutipan di muka, melihat bahwa syarat syarat produksi dari setiap tahap perkembangan sejarah masyarakat berbeda beda karakteristiknya, dan artinya berbeda beda pula pengorganisasian kerjanya. Oleh karenanya, walaupun “terdapat pen-galaman-pengalaman yang berbeda-beda dan tidak saling berhubungan, yang hanya menangkap per-mukaan dari kemunculan segala hal, yang kebetu-lan terdapat pada hubungan-hubungan eksternal di antara fakta-fakta kongkret yang ada (yang mem-buat tahap kesadaran material “yang terberi” bersi-

ARTIKELDISKUSI

...problem perjuangan kelas bukanlah problem relasi yang baik menjadi relasi yang tidak baik...

Page 8: Problem+Pilsapat

� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

fat “sementara” terhadap bentuk yang lebih rasion-al) “niscaya” menerima karakter yang lebih kuat … (yaitu) sebagai bagian yang menyeluruh dari sistem hubungan sosial”15. Artinya problem perjuangan ke-las di sini bukan dalam kerangka yang baik menjadi buruk dan begitu pula sebaliknya, tetapi lebih pada realisasi pengorganisasian pemikiran dan aktivi-tas seperti apa yang berkemungkinan melahirkan pemahaman yang membuka jalan bagi kejelasan tentang perjuangan kelas, yang direpresentasikan melalui pertukaran barang dagangan.

PEMBAHASAN SEKSI III BAB I DAS KAPI-TAL Pada bagian awal dari buku Das Kapital khususnya Bab 1 seksi 1 dikatakan oleh Marx bah-wa komoditi atau barang dagangan adalah sesuatu yang berada di luar diri kita. Perlu dipahami bah-wa frasa “di luar diri kita” berpangkal pada upaya Marx melihat problematik barang dagangan secara obyektif sekalipun tenaga kerja manusia pun juga merupakan barang dagangan. Artinya cara untuk melihat barang dagangan bukan semata mata kare-na berada di luar diri kita lalu tidak dimungkinkan untuk melihat barang dagangan tenaga kerja ma-nusia. Akan tetapi kerja manusia itu sendiri selain sebagai yang menghasilkan barang dagangan, di lain sisi juga adalah barang dagangan. Karenanya pemahaman tentang barang dagangan di sini bukan secara harafiah berada di luar diri kita, atau yang serupa benda mati semata, tetapi diri kita sendiri, bagian bagian dari tubuh kita memang layak untuk diperjualbelikan di dalam logika pertukaran barang dagangan. Ini bukanlah sebuah cerita tentang pen-deritaan manusia yang diakibatkan oleh barang da-gangan. Bukan soal betapa berdarah dinginnya kap-italisme hingga tega-teganya memperlakukan diri manusia sebagai barang dagangan, sehingga pantas kita berkesimpulan bahwa hidup ini tak lain adalah kesia-siaan. Akan tetapi, ini adalah cerita tentang kapitalisme yang tengah dipelajari dan diselidiki asal usulnya, dasar berpikirnya yang berlaku seb-agai hukum penghisapan manusia atas manusia. Bagaimanapun realitas kapitalisme sudah berlang-sung sejak akhir abad ke 20 dan hingga kini telah menemukan bentuk bentuknya yang baru. Sepan-jang itu dipahami sekedar sebagai neraka jahanam pelumat hidup manusia, maka baiklah kita senan-tiasa meniupkan nafiri keselamatan dari suara hati. Bila suara Front Pembela Islam (FPI) yang meng-hadang suara hati, maka biarlah nafiri pluralisme yang bicara. Bila suara FPI ternyata dibiayai oleh para pemilik modal raksasa seperti Aburizal Bakrie misalnya, maka marilah suara hati mencari kawan dari musuh Aburizal Bakrie. Bila ternyata musuh

lebih banyak daripada kawan sendiri maka baiklah suara hati itu sibuk mendefinisikan dirinya sendiri sampai paham sepaham-pahamnya bahwa realitas kapitalisme itu bukan soal kedekatan kita dengan problem-problem psikologi manusia. Kapitalisme adalah pemikiran tentang mengubah segala ses-uatunya menjadi barang dagangan, dan membuat segala sesuatunya menjadi dasar bagi penghisapan manusia atas manusia, serumit apapun itu logikan-ya dan cara bekerjanya. Kedua, barang dagangan yang dibicarakan di sini, bukanlah sekedar barang dagangan dalam arti anarkisnya. Bukan barang dagangan yang bergeletakan di kios kios pakaian, alat alat rumah tangga, dan sebagainya di pasar Jatinegara. Melain-kan hakekat dari barang dagangan dan kemampuan dari barang dagangan tersebut di dalam memben-tuk konsep tentang pertukaran16. Jikalau demikian maka ada cara di mana ba-rang dagangan dapat diubah menjadi metode bagi pengukuran kesejahteraan. Bila dalam pemikiran burjuis, kesejahteraan ditentukan oleh kepemilikan dan daya beli terhadap barang dagangan, maka dalam pemikiran Marxis –sebagai kritik terhadap pemikiran burjuis-- basisnya terletak pada kepent-ingan mempertukarkan barang dagangan. Penjela-sannya didasarkan pada pengandaian sebagai beri-kut: “Apabila sebuah barang dipertukarkan dengan barang yang lain belum selalu terdapat permintaan dan penawaran yang selaras, dan oleh sebab itu dibutuhkan substansi ketiga yang berfungsi sebagai pengantara di dalam proses pertukaran”. Mengapa begitu? Pemberlakuan sebuah barang, dalam arti dapat diperdagangkan atau tidak dapat diperda-gangkannya sebuah barang, belum selalu didasar-kan atas kepentingan menjual atau membeli se-buah barang. Dengan kata lain, barang itu dapat diperdagangkan oleh karena barang tersebut per-nah dibeli dan kemudian dijual, atau diperjualbe-likan. Problematiknya, kepentingan untuk menjual dan membeli sebuah barang tidak dapat menjadi dasar bagi kepentingan mempertukarkan barang A dan barang B misalnya. Apa yang perlu diper-hatikan justru pada bagaimana proses penciptaan sebuah barang berpengaruh terhadap kepentingan mempertukarkan barang yang satu dengan barang lainnya. Mengapa demikian, karena pertukaran itu sendiri mensyaratkan adanya kegunaan dan per-bendaharaan nilai yang terkandung di dalam ma-sing masing barang yang dipertukarkan. Sehingga yang perlu dicermati lebih jauh di dalam banyak hal adalah pada bagaimana perbendaharaan nilai di dalam sebuah barang dagangan berpengaruh di dalam pertukaran.

ARTIKELDISKUSI

Page 9: Problem+Pilsapat

�ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

Perbendaharaan nilai yang berlaku di sini tidak sama arti dengan bahan baku penyusun atau pemkbentuk dari barang dagangan. Bukan pula pe-rumpamaan Aristoteles tentang forma dan materi sehubungan dengan contoh bangkai anjing dan bi-natang anjing, ataupun patung marmer dan batu pualam. Akan tetapi, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, semua berkait dengan proses pencip-taan barang dagangan. Praktisnya kerja manusia yang membentuk barang dagangan itulah, yang membentuk barang dagangan itulah, yang memilki kemampuan membentuk nilai dari barang dagan-gan. Mengapa, karena di dalam proses penciptaan barang dagangan berlaku sejumlah kerja yang diikat dalam sebuah sistem pengorganisasian kerja. Dan di dalam sistem pengorganisasian kerja terdapat berbagai macam jenis pekerjaan yang berjalin satu dengan yang lainnya, dengan berdasar pada logika diferensiasi dan homogenisasi pembagian kerja. Pun di dalam sistem tersebut terdapat berbagai upa-ya meminimalisasi berbagai pekerjaan yang tidak perlu, dan seluruhnya, seluruh pekerjaan tersebut diarahkan bagi penciptaan barang dagangan secara massif. Sehingga realitas dari berbagai macam pe-kerjaan –yang awalnya bersifat sosial-- oleh karena sistem pengorganisasian kerja di bawah kapitalisme menjadi privat dan terdiferensiasi kembali menjadi bentuk bentuk kerja yang lebih kecil lagi. Oleh se-bab itu, di dalam proses penciptaan barang dagan-gan, apapun yang berlaku sebagai bentuk pekerjaan diperhitungkan sebagai unsur pembentuk nilai ba-rang dagangan. Di dalam proses penciptaan barang dagangan segala yang berlaku sebagai bentuk pe-kerjaan secara matematis finansial diperhitungkan sebagai biaya produksi, sekalipun pembentukan ni-lai di dalam barang dagangan belum selalu berdasar pada beban biaya produksi yang harus ditanggung oleh pengusaha ketika mempekerjakan para pen-jual tenaga kerja. Bahkan bukan pula beban dari bentuk bentuk kerja yang sederhana seperti melipat kardus ataupun menggambar kain di dalam pabrik tekstil misalnya. Akan tetapi justru kesosialan dari proses penciptaan kain itu sendiri yang menjadi unsur utama dari pembentukan nilai barang da-gangan. Celakanya, kesosialan itu tidak mungkin diperhitungkan dalam logika biaya produksi, seka-lipun upah sudah ditambah dengan uang makan dan uang transpor, plus berbagai macam bentuk tunjangan sosial. Lalu bagaimana ceritanya proses pemben-tukan/penciptaan barang dagangan dapat berpen-garuh terhadap perkembangan kehidupan sosial? Penciptaan barang dagangan di dalam ban-yak hal berperan sebagai cara untuk memproduksi barang secara massif. Apa yang kelihatan jelas di

depan mata adalah meluap-luapnya berbagai jenis barang dagangan, sejumlah besar orang yang mem-produksi barang dagangan, dan tempat tempat pem-buatan dan penjualan barang dagangan. Kalaupun diperhatikan dengan lebih detil proses penciptaan barang dagangan tampak lebih serupa realisasi dari berbagai macam pembagian kerja, resolusi dari ke-anekaragaman rantai kerja produksi. Percaya atau tidak percaya, kebulatan dari sebuah barang selalu berpelana di atas rangkai pengorganisasian kerja yang demikian kompleks. Seperti pakaian miswal-nya, ia terdiri atas rangkai kerja pemilihan kain dan pembuatan pola dasar pakaian, lalu pemogongan kain dan penjahitan masing masing potongan kain yang mana semuanya dibuat dengan berbagai uku-ran yang sudah ditetapkan sebelumnya, lalu beran-jak ke penghalusan dan pemeriksaan kualitas pak-aian, sampai pada pengemasan pakaian ke dalam dus dus barang dagangan. Sehingga adanya barang dagangan menjadi tidak mungkin tanpa melalui se-luruh proses tersebut, dan karenya ia bulat dengan segala plus-minusnya. Problematiknya kemudian, apa yang me-mungkinkan sebuah pengorganisasian kerja dapat dilakukan? Keraguan banyak orang terhadap hal pen-gorganisasian kerja, boleh jadi merupakan kera-guan dari mereka yang hidup di abad Masehi ke 15. Sebuah masa di mana sebuah pekerjaan dianggap baik bila dipekerjakan secara perseorangan, dan pengorganisasian kerja yang dibayangkan seperti bantuan-bantuan yang tidak permanen terhadap sebuahkerja tertentu. Akan tetapi, pengorganisa-sian kerja dalam kerangka historis sebenarnya su-dah muncul sebagai fenomena sosial semenjak se-belum terbentuknya masyarakat kesukuan. Apakah itu dalam bentuk gotong royong membagi hasil buruan, ataukah dalam bentuk pembagian kerja di luar dan di dalam rumah semuanya menyediakan syarat bagi pengorganisasian kerja yang lebih maju di tahap dan periode yang selanjutnya. Akan tetapi penting kemudian diperhatikan bagaimana sebuah pengorganisasian kerja menjadi mungkin dilaku-kan. Pertama, perlu diperhatikan bahwa peng-organisasian kerja berbasis pada dua hal penting, yaitu pembagian kerja dan legitimasi kepemimpi-nan di dalam pembagian kerja. Kedua hal ini se-benarnya sudah tersedia di dalam berbagai struktur sosial berbagai masyarakat di periode primitif. Oleh karenanya dimungkinkan bagi setiap suku untuk berombongan berpindah pindah dari satu wilayah buruan ke wilayah yang lain. Persoalannya kemu-dian, apakah pembagian kerja dan kepemimpinan yang berlangsung pada masyarakat primitif sudah

ARTIKELDISKUSI

Page 10: Problem+Pilsapat

�0 ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

berlaku sebagai prasyarat bagi pembentukan proses pengorganisasian kerja yang berlaku di kemudian hari? Adanya kerja pembuatan gerabah, pembua-tan patung-patung pemujaan primitif, dan lukisan lukisan di gua-gua tempat tinggal manusia Nean-derthal boleh jadi merupakan bagu pijakan bagi asumsi tentang adanya proses pengorganisasian kerja di masa primitif. Akan tetapi yang lebih pent-ing diperhatikan di sini adalah apakah kepentingan dari pengorganisasian kerja itu sendiri. Belum dapat dikemukakan dengan cukup jelas apakah data-data arkeologis yang ada saat ini, sudah dapat menjelaskan realitas antropologisnya. Adanya banyak penemuan barang-barang arkeolo-gis seperti kapak perimbas boleh jadi mengasumsi-kan adanya pengorganisasin kerja di dalam mem-buat kapak tersebut. Tetapi, dasar pemikiran untuk membuat kapak tersebut belum dapat dikemukakan dengan secara rinci. Apa kemudian yang dapat dija-dikan asumsi bagi adanya pengorganisasian kerja? Oleh banyak pihak dijelaskan bahwa realisasi dari pengorganisasian kerja baru mun-cul pada periode ditemukannya ba-rang-barang pecah belah dari tanah liat, berikut barang-barang lain yang terbuat dari bahan yang sama. Ar-gumentasi ini merujuk pada bentuk pengolahan tanah liat menjadi ba-rang yang halus pengerjaannya, dis-ertai dengan ornamen-ornamen sim-bolik di permukaannya. Akan tetapi lagi-lagi apa yang menjadi dasar bagi berlakunya pengorganisasian kerja? Adanya pengorganisasian kerja secara historis mungkin belum dapat ditemukan jawabnya dalam waktu singkat. Walau demikian ti-dakberarti bahwa realisasi pengor-ganisasian kerja di dalam bentuk pemikiran tidak bisa dideteksi ke-mungkinan pelacakan arkeologisnya. Apabila barang pecah belah yang terbuat dari tanah liat merupakan bentuk representasi awal dari peng-organisasian kerja, maka apa dasar dari adanya barang barang pecah be-lah tersebut? Realisasi dari pengorganisa-sian kerja dapat dilihat dari bagaima-na fungsi dari sebuah barang yang dihasilkan melalui sebuah pengor-ganisasian kerja. Apakah sebuah barang diproduksi hanya karena is-eng-iseng belaka, --maka itu sudah pasti bertentangan dengan logika

pengorganisasian kerja-- ataukah itu dihasilkan sebagai sarana pemujaan misalnya, sepenuhnya semua sudah pasti menjadi landasan bagi adanya pengorganisasian kerja. Karenanya, realiasai dari sebuah pengorganisasian kerja belum selalu dapat diperlakukan sebagai konsep yang problematis mengenai arkeologi dari penciptaan barang dagan-gan. Akan tetapi dapat dianggap sebagai realisasai asumtif yang terkandung di dalam semua pencip-taan barang dagangan. Problematik arkeologi den-gan demikian lebih serupa upaya pembuktian dan penggambaran secara terinci tentang bagaimana pengorganisasian kerja tersebut berlaku di tengah masyarakat. Penjelasannya bukan berarti bahwa argumentasi-argumentasi arkeologi menjadi tidak penting, akan tetapi realisasi dari pengorganisasian kerja adalah bagian dari proses penciptaan barang dan oleh karenanya pasti berkait dengan upaya pen-gorganisasian tenaga kerja dan sumber daya alam. Persoalan bagaimana pengorganisasian tenaga ker-ja itu dimungkinkan, lokusnya pada hal kebutuhan

ARTIKELDISKUSI

(Lukisan karya Rene Magritte)

Page 11: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

praktis yang hendak dicapai atau dipenuhi melalui pengorganisasian kerja. Akan tetapi, apabila real-isasi dari pengorganisasian kerja dibasiskan pada argumentasi tentang pemenuhan kebutuhan, lalu bagaimana kita bisa berpikir perihal kepentingan yang mendasari adanya realisasi pengorganisasian kerja? Kepentingan yang mendasari pengorganisa-sian kerja di dalam banyak hal lebih serupa dengan kepentingan merealisasikan berbagai macam pe-kerjaan di bawah perencanaan dan pengendalian secara terpusat. Bahwa kepentingan tersebut tam-paknya netral-netral saja, dan perdebatan perihal pengorganisasian kerja sepertinya hanya muncul di kalangan aktivis yang sedang mempersiapkan aksi massa esok hari –perihal siapa koordinator la-pangan, siapa pembawa bendera, dan siapa orator misalnya, bukan berarti realisasi pengorganisasian kerja di sini dibangun di atas kerangka yang tidak politis, atau yang belum perlu diperdebatkan karena memang seperti itu dari dulunya. Problematiknya ketika kapitalisme memproduksi barang dagangan, pasti terdapat upaya realisasi pengorganisasian ker-ja dari yang sederhana menuju ke yang kompleks, dan dari yang kompleks menjadi kembali ke yang sederhana. Apakah kemudian yang dapat dijadikan dasar bagi realisasi pengorganisasian kerja barang dagangan? Pertanyaan ini berulang kali muncul. An-daikata sebuah pekerjaan yang sederhana diletak-kan dalam rantai kerja produksi yang lebih besar, maka kebulatan dari kerja yang sederhana tersebut dipecah-pecah menjadi bagian bagian tertentu dari rantai kerja tersebut. Apabila seorang pembuat lay-ang-layang ‘diselamatkan’ hidupnya oleh sebuah organisasi usaha kecil dan menengah, tidak berarti ia akan tetap menjadi pembuat layang layang sep-erti sediakala. Oleh karena ia harus berlaga dengan pembuat layang-layang lainnya untuk pasar yang ditentukan oleh organisasi usaha kecil dan menen-gah tersebut. Sehingga ia tak dapat membuat lay-ang layang sekehendak hatinya. Apabila ia direkrut oleh pabrik pembuat layang-layang, mungkin saja ia kan menjadi sekedar pembuat rangka layang-lay-ang. Akhirnya kerja pembuatan layang-layang itu dipersepsikan sebagai kerja abstrak, bukan sekedar karena si pembuat layang-layang menyerahkan diri, jiwaraga, dan keahliannya demi “kaul kemiskinan” (baca: kerja upahan) yang ditetapkan oleh pemilik modal, tetapi realisasi dari pengorganisasian pem-buatan layang layang itu direnggut paksa dari pen-grajinnya, dan dilepaskan dari konteks sosialnya, dengan memproduksi layang-layang di luar musim layang-layang misalnya. Dari sinilah, realisasi pen-gorganisasian produksi layang-layang atau barang

dagangan menjadi sangat politis sifatnya, oleh kare-na tendensi anti-sosial dari kapitalisme. Celakanya, nilai atau perbendaharaan nilai dari layang-layang itu lalu ditentukan oleh hasil pemaksaan itu, me-lalui proses produksi kapitalisme. Bagaimana kemudian barang yang diperah dari kerja paksa itu lalu dipertukarkan dan diperda-gangkan? Apa yang berlaku sebenarnya lebih serupa pengelaborasian dari gambaran konseptual ten-tang kerja kongkret dan kerja abstrak. Jikalau kerja kongkret merupakan kerja yang menghasilkan nilai guna/nilai pakai, dan kerja abstrak merupakan ker-ja yang menghasilkan nilai tukar, maka persamaan tentang nilai barang dagangan juga berpangkal dari sana. Penting diperhatikan di sini bahwa nilai yang terdapat di dalam barang dagangan tidaklah mut-lak hasil dari kerja abstrak. Ini mengingat bahwa di dalam kerja abstrak, kerja kongkret pun berse-mayam. Sebab jika tidak kebergunaan dari sebuah barang pun menjadi susah untuk didefinisikan. Letak soalnya justru lantaran lingkup sosial dari kerja kongkret, atau istilahnya kerja sosial yang di-perlukan bagi penciptaan barang dagangan itu yang dirampas dan dibuang jauh-jauh oleh kapitalisme sebelum ia merugi akibat biaya produksi yang lebih meningkat. Sehingga nilai barang dagangan seolah-olah hanya hasil dari kerja di pabrik sebagaimana yang direpresentasikan di dalam biaya produksi dari biaya operasional perusahaan. Tetapi bagaimana kemudian elaborasi dari dialektika kerja abstrak – kerja kongkret itu berbicara di tingkat pertukaran? Persamaan tentang pertukaran dalam pe-mikiran Marx bukanlah secara serampangan mem-perbandingkan dua barang dagangan yang berbeda asal-usulnya. Akan tetapi sebuah komoditi hasil pabrik diselidiki lebih dulu bahan-bahan pemben-tuknya. Seperti contoh linen dan jas yang dicontoh-kan elehnya, yang berangkat dari logika materi-for-ma Aristoteles. Namun demikian replikasi konsep Aristoteles itu diberi makna matematis oleh Marx, dan tetap berada dalam rangka pengorganisasian kerja yang terealisasi secara komparatif baik dalam linen maupun dalam jas. Kain linen oleh Marx, --sebagai bahan dasar pembentuk jas-- disebut se-bagai yang memiliki nilai relatif. Ini karena peran aktif dari kain linen sebagai bahan dasar, dan ket-ersediaannya belum selalu dapat diperhitungkan di dalam pertukaran. Sementara jas –sebagai yang dibentuk oleh kain linen sifatnya pasif, dan kare-nanya ia disebut sebagai bentuk yang disetarakan dengan ketersediaan kain linen. Oleh banyak pihak, pemikiran Marx kerap dianggap aneh dengan men-ganalisa barang dagangan menurut unsur-unsur pembentuknya, lantaran mereka berpikir bahwa

ARTIKELDISKUSI

Page 12: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

nilai barang dagangan, hanya bisa diukur menurut biaya produksi barang dagangan. Akan tetapi Marx lebih lanjut berpendapat bahwa relasi di antara barang dagangan tidaklah sesempit persaingan di dalam pasar seperti yang dipikirkan oleh kaum bor-juis, tetapi relasi tersebut perlu dipandang dalam kerangka pengorganisasian produksi barang dagan-gan. Lepas dari kerangka pengorganisasian produk-si maka baik linen maupun jas adalah kutub-kutub yang saling bertentangan, saling meniadakan. Ti-dak mungkin ada jas tanpa linen, dan linen menjadi tak bernilai tanpa wujud dari jas. Bentuk relatif ni-lai linen hanya dapat dinyatakan dalam bentuk ba-rang dagangan yang lain. Oleh karenanya penting untuk melihat secara lebih terinci bagaimana real-isasi dari pengorganisasian kerja berperan di dalam persamaan-persamaan yang berikutnya. Persamaan tentang pertukaran di muka oleh David Harvey dianggap sebagai problem pertukaran di dalam kerangka barter, atau bentuk perdagangan yang paling sederhana untuk menjelaskan asal usul uang17. Problematiknya apakah setelah dua seksi terdahulu Marx berbicara perihal kesosialan ba-rang dagangan berikut kemendasaran dari proses produksi komoditi yang dibentuk melalui kerja konkret dan kerja abstrak, menjadi mungkin kemu-dian untuk melihat pertukaran ini sebagai sekedar hal yang matematis, atau sekadar logika perump-amaan tentang pertukaran? Sungguh aneh jika dis-ituasikan seperti dagang barter sementara contoh yang ditunjukkan oleh Marx adalah contoh produk-si kapitalisme awal, kain linen dan jas, dan Marx menempatkannya dala kerangka proses produksi. Kain linen sebagai bahan baku dan Jas sebagai ba-rang jadi. Sementara situasi barter yang terinstitu-sionalisasi secara kultural di Indonesia misalnya, muncul dalam mahar atau belis perkawinan, dalam artian tidak ada hubungan antara sepuluh ekor ker-bau dengan seorang anak perempuan yang dipinang oleh sebuah keluarga. Kain linen menjadi Jas medi-asinya adalah proses produksi, sedangkan 10 ekor kerbau dan seorang perempuan mediasinya adalah harapan akan kesuburan. Sehingga tanah karena mendapat sepuluh ekor kerbau melahirkan kes-uburannya, di lain pihak keluarga mendapat sang perempuan sebagai yang melahirkan kesuburan keturunan –(sic: transendensi dalam teologi tubuh perempuan Johannes Paulus II). Jadi sekiranya kurang tepat untuk membayangkan pertukaran tersebut dalam kerangka barter, melainkan dalam kerangka pengorganisasian kerja yang bergerak menuju proses produksi kapitalisme. Oleh kare-nanya menjadi penting untuk melihat secara lebih dalam isi bentuk relatif dari barang dagangan. Pertama telah disebutkan oleh Marx bah-

wa barang dagangan berlaku sebagai konsep per-tukaran atau yang memiliki nilai tukar, dan atau bahkan nilai tukar itu sendiri. Akan tetapi perlu di-periksa lebih dalam lagi bagaimana pertukaran itu dilihat dalam kerangka pengorganisasian kerja. Apa sebabnya, oleh karena tidak mungkin terjadi pertu-karan tanpa proses produksi barang dagangan, dan artinya juga tidak mungkin tanpa kerangka peng-organisasian kerja di dalam penciptaan barang da-gangan. Apabila sebuah barang dipertukarkan den-gan persamaan sejumlah barang dagangan yang lain, maka perlu dilihat bagaimana setiap produsen melahirkan barang dagangannya. Problematik ini dinyatakan oleh Marx di dalam A Contribution to the Critique of Political Economy, bahwa sekalipun nilai tukar adalah relasi diantara individu-individu, tetapi penting menambahkan bahwa itu adalah relasi yang disembunyikan oleh selubung material, dan oleh karenanya dua barang dagangan yang me-miliki bobot sama lepas dari perbedaan fisik dan kimianya, dan perbedaan nilai gunanya, tetapi me-miliki waktu kerja yang sama untuk menghasilk-annya, maka kedua barang dagangan itu memiliki nilai tukar yang sama18. Artinya di sini waktu kerja adalah praksis dari konsep pengorganisasian kerja, penghubung di antara manusia dengan alam dan persembunyian juga bagi kapitalisme demi meru-muskan konsep nilai lebih. Kedua, di dalam pembahasan tentang per-tukaran, aspek kuantitatif dari barang barang yang dipertukarkan ditanggalkan. Ini karena pertukaran di dalam pemikiran Marx bukan pertukaran yang berdasar atas hukum permintaan dan penawaran, melainkan didasarkan pada pemahaman bahwa pertukaran itu sendiri adalah bagian yang tak ter-pisahkan dari siklus produksi, distribusi, konsumsi dan pertukaran. Dengan kata lain, produksi rokok Gudang Garam misalnya, tidak mengandaikan proses yang terpisah di antara pengorganisasian petani Tembakau dan pengolahan tembakau men-jadi batang-batang rokok. Tembakau mendapatkan derivat nilai pakainya ketika dipergunakan sebagai bahan mentah untuk industri rokok. Di lain pihak pertukaran di antara tembakau dan rokok juga merumuskan nilai pakai tembakau di dalam bentuk rokok. Oleh karenanya, produksi rokok tidak di-mungkinkan tanpa pertukaran dengan tembakau, dan pertukaran dengan tembakau tidak dimung-kinkan tanpa distribusi produk rokok ke pasaran. Ketiga di dalam pembahasan tentang per-tukaran, aspek kerja yang terdapat di dalam pen-golahan tembakau maupun pengolahan tembakau menjadi rokok tidak dilihat dalam rangka pengor-ganisasian kerja. Dalam artian, apapun pekerjaan yang diberlakukan untuk memproduksi tembakau

ARTIKELDISKUSI

Page 13: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

dan memproduksi rokok tidak dilihat sebagai dua bentuk kerja abstrak yang perlu dihitung biaya produksinya. Akan tetapi, sekalipun menciptakan nilai, dua bentuk kerja abstrak tersebut dilihat se-cara obyektif sebagai unsur unsur yang berperan se-cara integral di dalam rantai kerja produksi industri rokok. Rangka pengorganisasian kerja di sini tidak diberlakukan secara parsial, tetapi secara integral dalam rantai kerja produksi kapitalis. Keempat, di dalam produksi barang dagan-gan, pertukaran juga diberlakukan sebagai syarat syarat pembentukan nilai. Dalam artian pertukaran selalu membutuhkan sejumlah kerja tertentu un-tuk sebuah produk, yang dipertukarkan dengan sejumlah kerja yang lain pada sebuah produk yang lain, yang menentukan naik turun nilai dari sebuah barang dagangan. Ada tiga macam persamaaan di sana:1. Jika ketersediaan bahan baku tidak mema-

dai untuk memproduksi barang jadi, maka waktu kerja dibutuhkan lebih banyak untuk memproduksi bahan baku, dan nilai dari ba-han baku menjadi meningkat. Sebaliknya jika waktu kerja yang dibutuhkan untuk mem-produksi bahan baku lebih sedikit maka nilai bahan baku menjadi lebih kecil. Sementara nilai dari barang jadi sifatnya tetap. Dalam hal ini realitas illegal logging adalah upaya untuk memperkecil biaya bahan baku untuk mem-produksi barang jadi yang terbuat dari kayu.

2. Jika nilai bahan baku tetap tetapi nilai barang jadi berubah. Oleh karena kualitas rendah bahan baku dalam jumlah yang sama untuk memproduksi barang jadi, maka diperlukan kerja yang lebih besar untuk memproduksi barang jadi. Oleh karenanya produksi barang jadi dipecah baik dari segi produksi maupun distribusi untuk mengantisipasi ketersediaan kualitas bahan baku yang berubah ubah. Seb-agai contohnya produk tekstil Indonesia seba-gian besar diekspor, sementara yang berkuali-tas rendah dikirim ke factory outlet.

3. Apabila jumlah kerja yang diperlukan untuk memproduksi bahan baku dan barang jadi berubah secara serentak dalam arah dan pro-porsi yang sama. Dalam hal ini, 20 ello kain lenan tetap setara dengan satu jas, betapapun nilai-nilai mereka telah berubah. Perubahan nilai mereka itu hanya terungkap manakala mereka dibandingkan dengan barang-da-gangan ketiga, yang nilainya telah tetap (ti-dak berubah). Jika nilai-nilai semua barang dagangan naik atau turun serentak dan dan dalam perbandingan yang saja, maka nilai-nilai relatif mereka akan tetap tidak berubah.

ARTIKELDISKUSI

Perubahan dalam nilai mereka yang sesung-guhnya akan terlihat dari berkurang atau ber-tambahnya jumlah barang-dagangan yang di-produksi dalam waktu-kerja yang sama.

Tiga persamaan ini yang mendasari pembentu-kan nilai dalam pengorganisasian kerja di bawah kapitalisme. Pertukaran diantara masing masing proses pembentukan nilai, ini yang akan menentu-kan tingkat perkembangan kapitalisme dalam batas batas tertentu. Jika dikembalikan dalam rangkai sirkuit kapital, produksi-distribusi-konsumsi-per-tukaran, maka pembahasan poin 1, 2, 3 menggam-barkan pertukaran sebagai syarat konsumsi, poin 4, sebagai syarat produksi. Pertukaran sebagai syarat distribusi, dan pertukaran sebagai syarat pertu-karan itu sendiri, akan dibicarakan dalam perte-muan selanjutnya.

Catatan Akhir : 1 “Psikologisme, sebuah pemikiran yang terkenal di

abad ke 19 dan diperkenalkan oleh beberapa filsuf Jerman yaitu, J.F. Fries dan F.E. Beneke. Menurut posisi Neo-Kantiannya, psikologi merupakan basis filsafat dan introspeksi merupakan metode pengu-jian filsafat”, Nicholas Bunin, Jiyuan Yu, The Black-well Dictionary of Western Philosophy, Blackwell, 2004, h. 575

2 Ilustrasi Erik Olin Wright mengenai para penden-gar radio BBC sehubungan dengan penggunaan kata ‘Kelas’ menunjukkan rancak galaunya ima-jinasi masyarakat. Secara terpisah bagi beberapa orang Kelas bisa berarti gaya hidup dan selera, bisa berarti status sosial, martabat dan harga diri, tingkat pendapatan dan sebagainya. Biasanya ban-yak orang tidak terlalu suka jika misalnya, dianggap selera berpakaiannya buruk, karena itu mengan-daikan ‘turun kelas’. Lihat Erik Olin Wright, Ap-proaches to Class Analysis, Cambridge University Press, 2005, h.1. Sehingga amat sulit meletakkan selera misalnya sebagai fenomena tanpa bentuk yang melayang layang, tanpa pijakan konstruksi pemikiran yang jelas.

3 Karl Marx, Economic and Philosophical Manu-script of 1844, bab Wages of Labour, diambil dari situs web www.marxists.org

4 Penjelasan lebih ringkas dan padat tentang barang dagangan tercantum dalam Tom Bottomore (ed.), A Dictionary of Marxist Thought, h..... yang me-nyatakan “...Komoditi dengan demikian memiliki kekuatan ganda: pertama memuaskan kebutuhan manusia dan itu yang kemudian dibahasakan oleh Adam Smith sebagai Nilai Guna, dan keuda, kekua-tan untuk menentukan pertukaran dengan barang dagangan yang lain, sebuah kekuatan untuk meru-muskan atau membangun pertukaran yang disebut Marx sebagai Nilai.”

5 Plekhanov, Socialism and the Political Struggle, 1883, diambil dari situs web www.marxists.org,

Page 14: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

yang selengkapnya berbunyi: “As for the consideration that the people must be

educated politically by taking part in their country’s public life, that could not be put into practice, if only for the reason that the anarchists consider, as we have already seen, that such participation is not education, but perversion of the popular masses: it develops in them “belief in the state” and there-fore the tendency to statehood, or as the late M.A. Bakunin would have said, “infects them with its of-ficial and social venom, and, in any case, distracts them at least for a short time from what is now the only useful and salutary matter – from revolt.” [8] And at the same time, according to the philosophy of history of our “rebels”, it appeared that the Rus-sian people had shown its anti-state tendency by a whole series of large and small movements and could therefore be considered mature enough po-litically. So down with all “dabbling in politics”! Let us help the people in its anti-state struggle. Let us unite its dispersed efforts in one revolutionary stream – and then the awkward edifice of the state will crash, opening by its fall a new era of social freedom and economic equality! These few words expressed the whole programme of our “rebels”.”

6 Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Bab I, diambil dari situs web www.marxists.org.

7 Ibid., Bab V8 Harry Cleaver menegaskan bahwa tatanan penjela-

san Marx adalah sesuatu yang historis yang ditu-jukan pada upaya mereproduksi perkembangan historis kategori pra kapitalis akan uang sebagai pendahulu kategori modal/kapital, dalam Harry Cleaver, Reading Capital Politically, …, …., hal 78. Penjelasan Cleaver di sini merepresentasikan pema-haman yang dangkal tentang politik. Seolah-olah politik bergerak menurut hukum perkembangan kapitalisme, yang dibangun berdasar konsep Cleav-er tentang perjuangan kelas. Padahal Marx dengan jelas menunjukkan bahwa soal politik bukan lah yang selalu berada dalam kerangka perjuangan ke-las, tetapi perjuangan kelas itu sendiri adalah poli-tik, sebagaimana pernyataan Marx, “Siapa sebena-rnya sang pemimpi bodoh yang membayangkan pemerintahan Prussia dan kelas yang berkuasa di Prusia cukup kuat untuk memberikan tali kekang bebas bahkan kepada musuh musuhnya sepanjang mereka, musuh musuhnya, membatasi diri mereka pada diskusi dan propaganda”, dalam Karl Marx, Revelations Concerning The Communist Trial in Cologne, diambil dari situs web www.marxists.org.

9 Karl Marx, Surat Marx kepada Pierre-Joseph Proudhon di Paris, 5 Mei 1846, diambil dari situs web www.marxists.org.

10 Situs marxists.org misalnya menjelaskan bahwa perjuangan kelas adalah kelas kelas yang mun-cul pada satu tahap perkembangan tertentu dari kekuatan kekuatan produksi dan pembagian kerja sosial, ketika terdapat surplus produksi sosial yang membuat mungkin salah satu kelas mengambil

keuntungan dari kelas yang lain. Konflik di antara kelas karenanya muncul, dibangun dalam pemba-gian surplus sosial, dan menentukan antagonisme fundamental di dalam semua kelas. http://www.marxists.org/glossary/terms/c/l.htm

11 Ludwig von Mises, Economic Freedom and Inter-ventionism, “The Marxian Class Conflict Doctrine”, diambil dari situs web http://mises.org/efandi/ch25.asp . Von Mises menyatakan bahwa di dalam seluruh karya Marx, yang bersangkutan tidak per-nah merumuskan apa yang disebut sebagai kelas sosial.

12 Rumusan Kelas menurut Marx yang terdapat di dalam The German Ideology dan Eighteenth Bru-maire of Louis Bonaparte, dibahas oleh Raymond Williams dalam karyanya, Keywords: A Vocabu-lary of Culture and Society, Revised Edition, Ox-ford University Press, 1983, h. 60-69

13 Rumusan Kelas menurut entri dalam laman en-siklopedi marxists.org, diambil dari laman http://www.marxists.org/glossary/terms/c/l.htm

14 Maximillien Rubel, Margaret Manale, Marx with-out Myth, Blackwell, Oxford, 1975, h.viii-ix

15 M. Shirokov, Leningrad Institute of Philosophy, A Textbook of Marxist Philosophy, diterjemahkan oleh A.C. Moseley, Left Book Club Edition, London, h.104

16 Duncan Foley merumuskan komoditi atau ba-rang dagangan sebagai produk yang terjadi ketika produksi diorganisasikan melalui pertukaran. Se-hingga selain memiliki nilai guna, barang dagangan juga memiliki kemampuan untuk memerintahkan barang dagangan yang lain untuk dipertukarkan, atau kekuatan untuk mampu dipertukarkan, yang disebut Marx sebagai Nilai, lihat Tom Bottomore, Dictionary of Marxist Thought, Blackwell, 1991, h. 90

17 David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, Verso, 2010, h.30

18 Karl Marx, A Contribution to the Critique of Politi-cal Economy, diambil dari situs web www.marxists.org. Lebih jauh lagi pada bagian yang sama Marx menegaskan: “Only the conventions of our every-day life make it appear commonplace and ordinary that social relations of production should assume the shape of things, so that the relations into which people enter in the course of their work appear as the relation of things to one another and of things to people”.

* I Gusti Anom Astika adalah mahasiswa Program Studi Filsafat STF Driyarkara angkatan 2005.

ARTIKELDISKUSI

Page 15: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

Sejarah sains ekonomi-politik, apabila hen-dak dilihat dari peta besarnya, adalah sejarah dua paradigma yang saling bersitegang. Paradigma pertama adalah paradigma Klasik (mulai dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19), sedang yang kedua ialah paradigma Marjinalis dan Neoklasik (mu-lai dari akhir abad ke-19 hingga hari ini). Namun dalam fase perkembangannya, muncul tendensi-tendensi tertentu dari para pemikir Marjinalis un-tuk justru membuang Klasisisme ke dalam keran-jang sampah dan, bersamaan dengannya, seluruh sejarah sains ekonomi-politik. Dalam kondisi itu, hadirlah ke hadapan kita sebuah ilmu tanpa se-jarah, dengan kata lain, sebuah ilmu murni yang turun dari langit dalam rupa “dua loh batu”, yakni dua jilid buku diktat ekonomi universal karangan Paul Samuelson yang menjadi buku inisiasi dasar ke dalam ilmu ekonomi di seluruh universitas di Amerika dan juga Indonesia sejak masa Orde Baru.

Dalam “dua loh batu” itu dapat kita temukan pem-bagian isi yang telah disediakan sebagai modul pengajaran dua semester namun tak satupun dari ke-40 Bab di dalamnya yang mengandung kata “se-jarah ekonomi-politik”.1 Apa yang akan kita temui di sana adalah Bab-Bab seperti “Inflasi: Sebab dan Penanggulangannya”, “Tinjauan Makroeko-nomi: Penawaran dan Permintaan Agregat”, “Per-tumbuhan Ekonomi: Teori dan Kenyataannya”, “Penawaran yang Bersaing”, “Pengaruh Penawaran dan Permintaan atas Tingkat Produksi dan Harga”, dan sejenisnya. Apa yang kita pelajari dari sana, dengan kata lain, adalah obat ekonomi. Motif pengobatan ini terlihat dalam sepucuk surat dari Samuelson untuk edisi bahasa Indonesia yang di-lampirkan pada awal buku tersebut. Di sana ia me-nyebut tentang “masyarakat Asia atau Afrika yang baru saja terbebas dari dominasi kolonial” dan, ia melanjutkan, bahwa bagi masyarakat seperti itu…

KLINIKekopol

SEJARAH EKONOMI-POLITIK :dari Platon sampai antonio serra

oleh MARTIN SURYAJAYA

(Ilustrasi oleh Arif Mulky Hadi)

Page 16: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

[p]ara pemilih atau pemimpinnya dewasa ini memiliki kekuasaan untuk memilih di antara kebijakan yang akan mempercepat atau memun-durkan kemajuan ekonomi mereka. Demikian-lah, perekonomian Amerika Latin telah membu-ruk sejak 1945. Mengapa? Karena iklim? Karena imperialisme Yankee? Tidak. Dalam nama ke-adilan sosial: karena kenaikan tingkat upah riil yang tidak realistik telah diberikan oleh negara. Intensi yang baik saja tak dapat menegasi hu-kum ekonomi. Dekade-dekade hiperinflasi dan misalokasi sumber daya antara sektor agrikul-tur dan manufaktur kerapkali merupakan hasil dari demokrasi populis dan regulasi birokratis.2

Apakah “hukum ekonomi” yang dimaksud Samu-elson? Siapakah yang menulisnya? Tak lain adalah Paul Samuelson sendiri, dengan “dua loh batu” yang ia turunkan di atas puncak institusi MIT dan disebarluaskan ke negeri-negeri tertindas. Demikianlah ia pernah menulis: “Saya tak peduli siapa yang menulis hukum suatu bangsa—ataupun menciptakan traktat rumitnya—asalkan saya dapat menuliskan diktat ekonominya.”3 Demikianlah Paul Samuelson menciptakan “hukum ekonomi”, sejalan dengan koleganya di MIT, Walt Rostow, yang pada awal tahun 60-an menerbitkan buku Stages of Growth: A Non-Communist Manifesto yang menetapkan “hukum ekonomi” tentang ta-hap-tahap perkembangan ekonomi menuju ting-gal landas dalam bayang-bayangan ketakutan riil atas “citra tentang komunisme sebagai metode paling efektif dalam modernisasi wilayah yang be-lum berkembang.”4 Apa yang lantas hilang dalam kodifikasi hukum tersebut adalah sejarah sains ekonomi-politik itu sendiri. Ahistorisasi ini justru dirayakan sebagai tanda kemajuan atas hal-hal yang usang, seperti dikatakan George Stigler den-gan sinis: “Ekonomi dari tahun 1800, sebagaimana ramalan cuaca dari tahun 1800, umumnya sudah usang.” Benarlah pernyataan Kenneth Bould-ing dalam esainya, “After Samuelson, Who Needs Adam Smith?”, tentang fenomena yang…

…kini jamak terjadi di Amerika Serikat, ketika sejarah pemikiran dipandang sebagai hiburan yang remeh-temeh, yang hanya cocok bagi orang yang menyukai kajian Latin Abad Pertengahan, sedemikian sehingga seseorang dapat menjadi ekonom bergelar Ph.D. tanpa pernah membaca apapun yang telah dipublikasikan lebih dari sepuluh tahun yang lalu.6

Demikianlah, melalui ahistorisasi sains ekonomi-politik, tercetaklah para ahli ekonomi kontem-porer sebagai rahib Ordo Neoliberal yang mahir mengoperasikan rumus namun bisu ketika ditanya dari perdebatan macam mana rumus itu muncul. Demikianlah pula sebaliknya, tugas seorang il-muwan yang bertekun dalam Marxisme adalah membongkar kedok ahistorisasi tersebut dengan pertama-tama membaca kembali apa yang pernah dibaca Marx hampir dua abad yang lalu, yakni se-jarah sains ekonomi-politik. Sehingga betul apa yang dikatakan kawan David Tobing beberapa waktu yang lalu bahwa mengerti Marxisme tanpa mengerti ekonomi-politik sama saja dengan tidak memahami Marxisme sama sekali atau—saya tam-bahkan—memahaminya hanya sebagai agama atau petuah moral semata, tidak sebagai sains.

***

Oleh sebab ekonomi-politik sebagai sains yang independen dari intervensi asumsi moral-religius baru muncul sekitar pertengahan abad ke-17, maka saya akan mengikuti Profesor Alessandro Ronca-glia dalam menyebut periode pemikiran ekonomi sebelum abad ke-17 sebagai “prasejarah” ekono-mi-politik.7 Apa yang terutama menandai periode prasejarah ini adalah bahwa para pemikir yang terlibat dalam refleksi tentang persoalan ekonomi selalu berangkat tidak dari intensi untuk mengkaji ekonomi itu sendiri melainkan dari intensi un-tuk memberikan panduan-panduan moral dalam menghadapi fenomena ekonomi atau sekedar un-tuk memecahkan persoalan ekonomi yang konkrit dan langsung mereka hadapi dan tidak untuk merancang bangunan teoretik yang koheren ten-tang ekonomi-politik. Itulah sebabnya, Roncaglia mengatakan bahwa ekonomi-politik lahir pertama-tama sebagai “sains moral”, atau panduan tentang tata-cara bertindak dalam masyarakat berkenaan dengan distribusi sumber daya.8

a). Yunani AntikDalam Platon kita menjumpai idealisasi eko-

nomis tentang apa yang oleh beberapa ahli disebut sebagai “komunisme Yunani Purba” dalam dialog Politeia yang berkait erat dengan doktrin tentang tripartisi jiwa. Platon, sebagaimana kita ketahui, membagi jiwa ke dalam tiga instansi, yakni logos, atau jiwa rasional yang terletak di kepala manusia, thumos, atau pathos-pathos seperti keberanian, ke-banggaan dan semangat yang ada di dada dan akh-

KLINIK-EKOPOL

Page 17: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

irnya epithumia, yakni nafsu-nafsu biologis rendah yang terletak dari perut ke bawah. Paralel dengan tripartisi jiwa ini adalah tiga faktor yang menyu-sun negara, yakni faktor ekonomi (paralel dengan epithumia), faktor militer (paralel dengan thumos) dan faktor filosofis/pemikiran (paralel dengan lo-gos).9 Kalaupun Platon berbicara tentang kepemi-likan komunal—yang oleh Ernest Barker dijadikan kunci untuk menafsir adanya “teori komunisme” dalam Politeia—itu hanya terbatas pada faktor kedua dan ketiga, yakni faktor militer dan filosofis, atau dengan kata lain “komunisme” hanya terwu-jud dalam kehidupan dalam kelas penjaga dan Fil-suf-Raja namun tidak bagi kelas petani dan warga polis biasa.10 Di sini menjadi jelas bahwa problem ekonomi ditempatkan oleh Platon di bawah pen-

gandaian etiko-religius tertentu dan tidak dianali-sis secara terpisah. Hal yang serupa terjadi juga pada analisis Aristoteles dalam traktat yang diduga berasal darinya, yakni Oeconomica. Dalam para-graf 1343a10-11, Aristoteles menyatakan bahwa “kota adalah suatu kumpulan yang terdiri dari rumah tangga, tanah dan benda-benda milik yang cukup-diri untuk mencapai kehidupan yang baik.”11 Perhatikan pula teks berikut: “Dalam perkemban-gan alami, seni/teknik agrikultur ada lebih dahulu, kemudian barulah muncul seni yang mengambil

KLINIK-EKOPOL

hasil-hasil alam, tambang dan semacamnya. Agri-kultur nomor satu karena keadilannya—sebab ia tak mengambil apapun dari manusia, baik atas persetujuan mereka, seperti dalam perdagangan […] ataupun melawan kehendak mereka, seperti dalam seni peperangan” (1343a25-29). Di sini kita dapat melihat bagaimana isu ekonomi dikemuka-kan dalam bayang-bayang doktrin moral.

Kendati demikian, kita tetap dapat mencatat pokok pikiran para filsuf Yunani Antik ini yang ke-mudian digemakan kembali oleh para ahli ekono-mi-politik Modern. Yang terutama penting adalah pandangan tentang pembagian kerja yang men-jadi basis dari negara-kota. Pandangan ini dapat dijumpai dalam Politeia:

“Asal-usul negara-kota [polis],” kataku “dalam pendapatku, dapat ditemukan dalam fakta bahwa kita tidak berkecukupan dengan kebutu-han-kebutuhan kita sendiri, namun setiap dari kita kekurangan banyak hal. […] Nah, kebutu-han kita yang paling utama adalah ketersediaan makanan bagi keberadaan dan kehidupan.” […] “Maka itu, katakan padaku,” kataku “bagaimana negara-kota kita dapat memenuhi ketersediaan segala hal ini. Tidakkah mesti ada seorang pet-ani, pembangun dan kemudian penenun? Dan tidakkah kita tambahkan pula tukang batu dan

(Ilustrasi oleh Arif Mulky Hadi)

Page 18: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

beberapa orang yang dapat memenuhi kebutu-han badani lainnya?” […] “Lantas bagaimana dengan ini? Akankah masing-masing orang itu mengkontribusikan kerja mereka bagi kegu-naan bersama? Maksudku akankah sang petani, yang seorang diri itu, menyediakan makanan bagi empat orang dan bekerja empat kali dan memproduksi makanan serta membagikannya bagi yang lain, ataukah ia akan tak berpikir ten-tang mereka dan menyediakan porsi keempat dari makanan itu untuk dirinya sendiri […] dan menolak berasosiasi dengan orang lain melain-kan dirinya bagi dirinya sendiri, memikirkan persoalannya sendiri?” Dan Adeimantus ber-kata, “Barangkali cara pertama lebih mudah, Sokrates.” […] “Seorang manusia secara kodrati cocok dengan suatu tugas dan yang lain dengan tugas yang lain. Tidakkah kau pikir demikian?” “Tentu.” “Kemudian apakah seseorang lebih baik mengerjakan banyak tugas atau satu orang satu tugas?” “Satu orang satu tugas,” katanya. […] “Kesimpulannya, kemudian, adalah lebih banyak hal yang diproduksikan dan secara lebih mudah jika satu orang mengerjakan satu tugas sesuai dengan kodratnya, pada waktu yang te-pat dan bebas dari tugas-tugas lainnya.” (Polit-eia 369B4-370C4)

Sentralitas pembagian kerja dalam Platon ini, betapapun telah men-gantisipasi konsepsi Adam Smith nanti-nya, tetaplah dibay-ang-bayangi oleh pandangan etiko-re-ligius—dalam konteks ini adalah tentang kodrat manusia. Argumentasi yang berbasis pada kodrat inilah juga yang terdapat dalam basis teori Aristoteles tentang pembagian kelas sosial antara para budak dan pemilik budak: “Istilah ‘Tuan’ ti-dak mengacu pada penguasaan ilmu tertentu me-lainkan watak tertentu, begitu pula dengan istilah ‘budak’ dan ‘orang bebas’ […] Ilmu budak adalah segala cabang kerja domestik; ilmu Tuan adalah ilmu dalam hal mengelola budak.”12 Dengan kata lain, yang dimaksud “ilmu” Tuan adalah bakat yang terpendam dalam diri Tuan sesuai kodratnya untuk mengelola budak. Argumentasi tentang pembagian kerja yang berbasis pada kodrat ini kemudian di-lanjutkan oleh Para Bapa Gereja Kudus, termasuk Thomas Aquinas yang berbicara tentang adanya distribusi talenta antar manusia sesuai dengan Penyelenggaraan Ilahi (Providentia Dei) yang me-nentukan pula, secara kodrati, distribusi kekayaan dan kemiskinan.13

b). Abad PertengahanPara teolog Abad Pertengahan pada mulanya

memandang kegiatan ekonomi dengan berjarak, yakni dengan melihatnya sebagai wilayah yang penuh dengan resiko moral. Inilah yang dapat kita jumpai dalam pandangan para Santo dari abad ke-4: Yohanes Khristosomus melihat harta benda du-niawi sebagai benda milik bagi setiap orang, Am-brosius memandang bahwa asal-usul kepemilikan pribadi adalah dalam laku pencurian, Jerome ber-pendapat bahwa orang kaya adalah orang yang tak adil atau keturunan orang yang tak adil dan Agus-tinus melihat kepemilikan pribadi sebagai sumber segala perang dan ketakadilan sosial yang hanya dapat dilampaui dengan pemiskinan-diri.14 Namun memasuki fase akhir Abad Pertengahan pandangan para teolog pun berubah: Thomas Aquinas di abad ke-13 menyatakan bahwa kepemilikan pribadi ti-dak melanggar hukum kodrat, bahkan Duns Scotus menyatakan bahwa sesudah Kejatuhan Adam dan Hawa, kepemilikan pribadi selaras dengan hukum kodrat dan akhirnya, dalam ensiklik Quod apos-tolici muneris (1878) dan Rerum novarum (1891),

dinyatakan secara sah bahwa hak untuk memiliki benda-milik sesuai dengan hukum kodrat.15 Pe-rubahan struktur ekonomi-politik konkrit apa yang melatarbelakangi pembalikan pandangan Gereja tersebut? Kita tak dapat membahasnya dalam ke-sempatan kali ini.

Mengikuti paparan Roncaglia, kita akan mem-fokuskan diri pada dua konsep ekonomi dari periode ini. Keduanya memiliki dampak pada perkemban-gan ilmu ekonomi-politik selanjutnya. Keduanya adalah soal riba (usury) dan “harga yang adil” (just price). Keduanya merupakan isu sentral yang di-perdebatkan antara abad ke-12 hingga abad ke-16. Mengenai riba, atau bunga yang diperoleh melalui peminjaman uang, sikap para teolog Abad Perten-gahan telah diantisipasi oleh Aristoteles. Dalam traktat Ta Politika, Aristoteles menyatakan bahwa “Sebagaimana sudah semestinya, riba adalah yang paling dibenci sebab labanya diperoleh dari uang

KLINIK-EKOPOL

...pertukaraan adalah fluxus et refluxus gratiarum, atau

“pemberian dan penerimaan rahmat”...

Page 19: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

KLINIK-EKOPOL

itu sendiri dan tidak dari apa yang menjadi alasan mengapa uang diciptakan. Uang diadakan untuk tujuan pertukaran, namun bunga meningkatkan jumlah uang itu sendiri […] karenanya, bentuk bis-nis mendapatkan kekayaan seperti ini berlawanan dengan kodrat.”16 Pandangan Gereja tentang riba dalam bentuknya yang radikal adalah sebagai beri-kut: dengan pengandaian bahwa riba merupakan pembayaran atas waktu yang hilang antara saat peminjaman dan saat pengembalian, dan waktu adalah milik Tuhan Allah, maka riba—yang meru-pakan pembayaran ganti rugi atas waktu yang hi-lang—sama dengan memperdagangkan Tuhan.17

Pengharaman riba ini berangsur-angsur direvisi dengan aturan yang lebih moderat semenjak Re-naissance dan Reformasi. Akhirnya, kita dapat saksikan bagaimana Konsili Lateran V (1515) me-mutuskan bahwa mengeruk bunga dari peminja-man uang bukanlah riba sebab—kini definisinya diubah—riba adalah “laba yang diperoleh tanpa kerja, ongkos atau resiko” sementara bunga pinja-man termasuk dalam kategori ongkos dan resiko.18

Kini memasuki pokok konseptual kedua, yakni tentang “harga yang adil”. Pengertian tentang har-ga mengandaikan pengertian tentang pertukaran. Dalam konsepsi Gereja, seperti dinyatakan oleh

Albertus Magnus, pertukaraan adalah fluxus et refluxus gratiarum, atau “pemberian dan penerimaan rah-mat”.19 Selain itu, berbicara tentang harga juga mengandaikan pembicara-an tentang nilai. Para Bapa Gereja (seperti Agustinus dan Thomas Aqui-nas) memandang nilai suatu barang adalah kemampuan barang itu untuk memenuhi kebutuhan (indigentia). Teolog pasca-Thomas menspesifikasi sumber nilai itu ke dalam tiga fak-tor: virtuositas (kemampuan barang untuk memenuhi kebutuhan), com-placibilitas (korespondensi terhadap selera orang yang memakai barang itu) dan raritas (kelangkaan barang itu).20 Oleh karenanya para pemikir Skolastik seperti Thomas Aquinas melihat harga yang adil sebagai se-jumlah uang—dalam pasar yang tanpa monopoli dan penipuan—yang memungkinkan produsen untuk hid-up secara layak sesuai dengan posisi sosialnya dalam masyarakat. Apakah yang dimaksud dengan “layak” dan “sesuai dengan posisi sosialnya”? Tak ada definisi lanjutan. Konsep tentang harga yang adil ini juga mengemuka dalam refrase atas doktrin hukum dagang Romawi tentang harga yang legitim, Tantum valet quantum ven-di potest (“Sebuah barang memiliki harga sejauh yang dapat dijual”), yang intinya menyatakan bahwa transaksi

(Ilustrasi oleh Arif Mulky Hadi)

Page 20: Problem+Pilsapat

�0 ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

(Ilustrasi oleh Arif Mulky Hadi)

Page 21: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

(Ilustrasi oleh Arif Mulky Hadi)

Page 22: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

KLINIK-EKOPOL

yang legitim adalah transaksi yang bebas dari pak-saan, menjadi Tantum valet quantum vendi potest, sed communiter: “Sebuah barang memiliki harga sejauh apa yang umumnya dijual.”21 Kembali lagi, pengertian “apa yang umumnya” tak sepenuhnya jelas dan tak ada elaborasi lebih lanjut tentang hal ini.

c. RenaissanceMenjelang masa Renaissance, posisi kaum teo-

log dalam perdebatan ekonomi mulai tergeser oleh para “staf khusus” atau penasihat Raja. Keterge-seran ini terjadi bersamaan dengan munculnya format negara-bangsa di Eropa. Pada aras ekono-mis, periode ini ditandai oleh berkembangnya pa-ham Kameralisme, Merkantilisme dan Bulionisme. Kameralisme adalah kajian ekonomi-politik yang dipandang dari perspektif kepentingan Raja dalam perekonomian domestik dan internasional. Kaum kameralis adalah para penasihat Raja yang mem-ecahkan problem ekonomi langsung yang dihadapi kerajaan. Merkantilisme adalah sebutan yang di-berikan oleh para ekonom di kemudian hari (Mira-beau dan kaum fisiokrat) untuk segala bentuk ke-bijakan ekonomi yang diregulasi oleh negara, atau yang disebut juga dalam konteks Prancis sebagai Colbertisme.22 Bulionisme adalah sebutan yang di-berikan kaum liberal seperti Adam Smith dan fisio-krat untuk mengkategorikan pandangan ekonomi-politik yang secara simplistik mengidentifikasikan emas dan metal berharga lainnya sebagai sumber kekayaan (bullion: emas batangan).

Pertama-tama kita dapat mencatat kontribusi

kaum bulionis terhadap teori moneter. Kita dapat menempatkan Thomas Gresham (1517-1579) dalam jajaran kaum bulionis ini. Kontribusinya yang ter-kenal adalah “Hukum Gresham” yang kerapkali dirumuskan secara populer sebagai “uang buruk menghalau keluar uang baik” (bad money drives out good money). Inti hukum ini adalah tendensi umum bahwa orang akan mengutamakan peng-gunaan “uang buruk” (koin emas/perak yang telah dicampur oleh pemerintah dengan metal lain) un-tuk bertransaksi dan menyimpan “uang baik” (koin emas/perak yang masih mulus) walaupun pemerin-tah menetapkan bahwa nilai keduanya sama.23 Aki-batnya, jumlah uang yang beredar berkurang. Teori ini sesungguhnya tidaklah baru. Ada orang seperti Nicholas Oresme (1320-1383), seorang teolog asal Prancis, yang telah mengutarakan hal senada. Ke-mudian, sezaman dengan Gresham sendiri, mun-cul orang seperti Martin de Azplicueta (1493-1586), seorang pater Dominikan dari Sekolah Salamanca yang tersohor, yang melangkah lebih jauh lagi den-gan menyatakan adanya determinasi jumlah uang yang beredar atas tingkat harga barang. Semakin banyak uang yang beredar, semakin rendah nilain-ya dan semakin tinggilah harga barang-barang, begitu pula sebaliknya. Pandangan inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah ekonomi-politik sebagai “teori kuantitas-uang dan harga” (quantity theory of money and price). Itulah pula pendapat Copernicus yang menyatakan bahwa “uang umum-nya mengalami depresiasi ketika ia ada dalam jum-lah berlebih”.24 Hal ini kemudian terbukti dengan

(Ilustrasi oleh Arif Mulky Hadi)

Page 23: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

inflasi besar-besaran yang bermula dari Spanyol dan menjalar ke seluruh Eropa yang disebabkan oleh masuknya emas batangan dalam jumlah besar dari tanah-tanah koloni Spanyol di Amerika. Dalam konteks inilah orang seperti Jean Bodin mengaju-kan solusi reformasi mata uang, yakni dengan menghapuskan uang campuran dan mengedarkan sepenuhnya uang emas—sehingga tak ada lagi dis-tingsi antara “uang buruk” dan “uang baik” dan oleh karenanya koin uang yang diproduksi sepenuhnya beredar dan terkontrol oleh pemerintah lewat jum-lah produksinya.25 Dengan demikian, kita dapat menyaksikan kontribusi kaum bulionis terhadap ekonomi-politik kontemporer: dengan skema ke-bijakan moneter untuk menanggulangi laju inflasi, kaum bulionis telah mengantisipasi kaum mon-etaris kontemporer.

Mengikuti pemaparan Roncaglia, saya akan menguraikan dua tokoh penting yang mengawali transisi dari paradigma bulionis ke merkantilis. Tokoh pertama adalah Thomas Munn (1571-1641), seorang Inggris yang juga menjadi tokoh dalam EIC atau Persekutuan Dagang Hindia Timur. Kontri-busi Munn yang paling utama terletak dalam isu moneter—kontribusi yang menginisiasikan tran-sisi dari Bulionisme ke Merkantilisme. Kontribusi ini mengemuka dalam kritiknya atas tesis Gerard Malynes yang berpengaruh ketika itu, yakni tesis bahwa depresi ekonomi Inggris tahun 1620an dise-babkan oleh spekulasi para pedagang dan Yahudi dalam perdagangan luar negeri yang menyebab-kan uang koin Inggris banyak lari keluar negeri se-hingga menurunkan persediaan metal berharga di dalam negeri. Munn merasa berkepentingan untuk membantah tesis ini sebab ia perlu menjustifikasi spekulasi bisnisnya dalam EIC yang mana ekspor metal berharga ke India tak dapat dielakkan demi pertukaran dengan rempah-rempah dan komoditas asiatik. Menurut Munn, persoalannya tidak terle-tak pada keluar-masuknya uang logam melainkan pada neraca perdagangan yang terwujud di antara dua negara yang berdagang. Apabila suatu negara membeli komoditas dari negara lain terlalu mahal maka ia mesti merugi dan jika kerugian ini terjadi terus-menerus maka negara tersebut mengalami krisis ekonomi. Demikianlah, analisis Munn me-mungkinkan transisi dari pandangan bulionis yang primitif tentang identitas antara kemakmuran dan logam mulia ke pandangan merkantilis tentang neraca perdagangan sebuah negara sebagai indika-tor kemakmuran negara tersebut.

Sebagaimana dicatat oleh Roncaglia, dalam periode merkantilis ini terjadi transisi dari ekono-mi feodal ke ekonomi kapitalis, yaitu transisi dalam paradigma produksi dari produksi-untuk-kon-

sumsi ke produksi-untuk-pertukaran.26 Bersamaan dengan itu, muncullah konsepsi baru tentang laba, yakni apa yang disebut sebagai profit upon alien-ation atau laba yang diperoleh dari penjualan ko-moditas, yaitu laba diperoleh dari membeli semu-rah-murahnya dan menjual semahal-mahalnya. Berdasarkan basis pengertian laba inilah, perda-gangan dengan negara asing dapat dilihat sebagai sumber kemakmuran negara: Inggris mendapat-kan kemakmuran dengan membeli teh semurah-murahnya dari petani di India dan menjual sema-hal-mahalnya ke para bangsawan Prancis. Itulah yang dimaksud dengan neraca perdagangan yang positif.

Tokoh kedua yang akan kita bahas adalah An-tonio Serra. Ia berbeda dari para ekonom yang kita sebut sebelumnya yang hanya membahas perkara ekonomi dalam konteks aplikasi langsung dalam kebijakan dan mengabaikan dimensi keketatan teoretik. Itulah sebabnya, beberapa komentator menganggap Antonio Serra sebagai pendiri ilmu ekonomi-politik. Karya besarnya ia tuliskan dari dalam penjara Neapolitan, Italia, pada tahun 1613, yang isinya adalah nasihat kepada para pengam-bil kebijakan negeri Napoli agar mampu mengejar ketertinggalan ekonominya terhadap negeri-negeri kecil lainnya di Italia. Selebihnya, kita tak memiliki informasi yang tersisa tentang orang yang bernama Antonio Serra ini. Kita mengetahui adanya sosok ini karena komentar penuh puja-puji yang diberikan oleh Abbe Galiani dalam traktatnya, Della Moneta, di tahun 1751 dan juga karena Baron Pietro Custodi memujinya sebagai “penulis pertama tentang eko-nomi-politik” kemudian menerbitkan ulang kary-anya di tahun 1803. Judul karyanya adalah Il breve trattato delle cause che possono far abbondari li regni d’oro e d’argento dove non sono miniere con applicazione a Regno di Napoli, atau “Traktat sing-kat tentang sebab-sebab yang menjadikan kerajan kaya dalam emas dan perak di mana tidak ada tam-bang untuk diterapkan di Kerajaan Napoli”. Dalam traktat itu, Serra menjalaskan dua pokok utama yang menjadi sebab kemakmuran sebuah bangsa. Yang pertama ia sebut sebagai “aksiden sendiri” (own accidents), yakni segala ikhwal geografis (seperti pada Montesquieu) yang spesifik terhadap sebuah negeri dan berkontribusi atas tingkat per-ekonomiannya, misalnya kekayaan sumber daya alam dan lokasinya dibandingkan dengan negeri lain.Yang kedua ia sebut sebagai “aksiden bersama” (common accidents), yaitu kondisi-kondisi yang dapat direproduksi di berbagai negeri. Serra mem-bagi empat macam “aksiden bersama” ini: jumlah manufaktur, kualitas manusia, jangkauan perda-gangan dan kemampuan pengorganisasian pemer-

KLINIK-EKOPOL

Page 24: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

intah secara institusional. Bagi Serra, aksiden bers-ama yang keempat lah yang paling menentukan—ia juga menyebutnya sebagai “penyebab efisien” dari kemakmuran bangsa.27 Selebihnya, traktat ini ber-bicara dalam semangat yang sama seperti Thomas Munn, yakni pemahaman merkantilis atas neraca perdagangan yang dipandang lebih penting seb-agai indikator kekayaan sebuah negara ketimbang jumlah logam mulia yang ada dalam negara.

Bagaimanapun, Antonio Serra bukanlah pendiri yang sesungguhnya dari sains ekonomi-politik. Mengapa demikian? Karena ia belum berhasil mengklarifikasi asumsi terdasar dari ekonomi-politik ataupun klarifikasi atas medan problema-tiknya—dan klarifikasi atas asumsi atau medan problematik semacam ini diandaikan dalam setiap pendirian sains. Betul bahwa ia, jauh sebelum Adam Smith, telah menguraikan secara sistematis sebab dan isi “kemakmuran bangsa-bangsa”. Namun ia menguraikannya dari titik pijak ekstra-ekonomis, yakni kebijakan yang diambil institusi negara. Ia belum menemukan basis saintifik ekonomi-poli-tik di dalam ekonomi-politik itu sendiri. Andaikan Serra benar, bahwa ekonomi-politik adalah soal kemakmuran sebuah negeri terlepas dari soal jum-lah logam mulia yang dimiliki negeri itu dan bahwa kemakmuran itu ditentukan oleh neraca perdagan-gan negeri itu dengan negeri lainnya sesuai dengan kebijakan pemerintah negeri itu, dengan kata lain kemakmuran ditentukan oleh pertukaran, lantas kita dapat mempertanyakan sesuatu yang masih berupa asumsi tersembunyi dalam bangunan teo-retik Serra: Bagaimana pertukaran barang-barang dapat menjadi sumber kemakmuran negara, atau lebih tepatnya, apa yang sejatinya dipertukarkan dalam pertukaran barang-barang itu? Jawabnya tak lain adalah nilai. Itulah asumsi tersembunyi yang tak terklarifikasi oleh Serra, tak juga terdefi-nisikan olehnya. Itulah pula basis internal dari sains ekonomi-politik itu sendiri. Dengan kata lain, konsep nilai lah yang menjadi basis dari kemuncu-lan ekonomi-politik sebagai sains. Itulah sebabnya sains ekonomi-politik tidak dimulai dari Antonio Serra, melainkan dari seorang Inggris di pertenga-han abad ke-17 yang menemukan untuk pertama kalinya teori tentang nilai yang secara sekaligus merupakan teori nilai-kerja—seseorang itu ber-nama William Petty. Kepadanyalah kita akan ber-paling dalam bagian kedua presentasi sejarah eko-nomi-politik ini.

Catatan Belakang :

1. Modul itu identik dengan susunan daftar isi kedua jilid buku tersebut. Lih. Paul A. Samuelson dan William

D. Nordhaus, Ekonomi: Jilid I (Edisi Keduabelas) diterjemahkan oleh Jaka Wasana (Jakarta: Penerbit Erlangga), 1988, hlm. xix.

2. Ibid., hlm. vii.3. Seperti dikutip dari J.E. King dan Alex Millmow,

Death of a Revolutionary Textbook dalam jurnal His-tory of Political Economy Jilid 35, Nomer 1, Musim Semi 2003, hlm. 105.

4. Lih. Bradley R. Simpson, Economists with Guns: Au-thoritarian Development and U.S.-Indonesian Re-lation, 1960-1968 (California: Stanford University Press), 2008, hlm. 8.]

5. Seperti dikutip dari Jonathan B. Wight, The Rise of Adam Smith dalam jurnal History of Political Econo-my Jilid 34, Nomer 1, Musim Semi 2002, hlm. 55.

6. Seperti dikutip dari Margaret Schabas, Coming To-gether: History of Economics as History of Science dalam jurnal History of Political Economy Jilid 34, Suplemen Tahunan, 2002, hlm. 208.

7. Lih. Alessandro Roncaglia, The Wealth of Ideas: A History of Economic Thought (Cambridge: Cam-bridge University Press), 2005, hlm. 18. Sebagian be-sar paparan sejarah pemikiran dalam tulisan ini juga bersumber dari buku Prof. Roncaglia yang sama.

8. Ibid., hlm. 20.9. Di sini saya mengikuti tafsiran Ernest Barker, Greek

Political Theory (London: Methuen & Co. Ltd.), 1960, hlm. 189-194.

10. Ibid., hlm. 243.11. Saya menggunakan teks dari The Complete Works of

Aristotle: Volume II yang diedit oleh Jonathan Barnes (New Jersey: Princeton University Press), 1995.

12. Seperti dikutip dari Alessandro Roncaglia, op.cit., hlm. 27.

13. Lih. Ibid (catatan kaki no. 20).14. Ibid., hlm. 29.15. Lih. ibid., hlm. 30-31.16. Seperti dikutip dari ibid., hlm. 35.17. Lih. Ibid (catatan kaki no.43).18. Ibid., hlm. 36 (catatan kaki no. 46).19. Ibid., hlm. 38.20. Ibid., hlm. 40.21. Ibid.22. Jean Baptiste Colbert adalah Menteri Keuangan

Prancis pada masa Louis XIV yang menerapkan ke-bijakan kontrol harga dan sistem perpajakan yang diperluas menjangkau kaum biarawan (deuxième état) dan kaum bangsawan (première état), jadi tidak hanya rakyat jelata (troisième état) yang terkena be-ban pajak sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Lih. ibid., hlm. 44 (catatan kaki no. 73).

23. Lih. Ibid., hlm. 41.24. O’ Brien, Bodin’s Analysis of Inflation hlm. 274.25. Ibid., hlm. 286-287.26. Alessandro Roncaglia, op.cit., hlm. 44.27. Ibid., hlm. 49.

* Martin Suryajaya adalah mahasiswa S2 di STF Driyarkara, angkatan 2010.

KLINIK-EKOPOL

Page 25: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

Dance music—artikel ini akan membahas tentang dance music. Terjemahan harafiah yang langsung untuk kosakata asing itu adalah musik dansa. Memang ada beda antara “dansa” zaman “potong bebek angsa” dulu dan “dansa” zaman turn-table sekarang. Dansa zaman dulu dilakukan di rindang pohonan rimba, dansa zaman sekarang dilakukan di atas lantai fiber-glass yang menyala merah-kuning-hijau seperti lampu Pak Pulisi. Na-mun semua dansa sama saja—menggerak-ger-akkan anggota tubuh mengikuti musik. Perbe-daannya terletak di mentalitasnya. Dalam artikel ini, saya, Ismail Marzuki, akan mendedah men-talitas musik dansa kontemporer di Indonesia.

Reproduksi sebagai Produksi Observasi I: Praktik penciptaan musik dansa di Indonesia berfokus dengan apa yang sedang tren dalam gejala kelas menengah di kota-kota besar. Salah satu kekhasan yang layak dicatat adalah menjamurnya bentuk “remix” atau daur-ulang dari suatu lagu asli yang ditambahi elemen-ele-

men pelengkap. Umumnnya pemilihan lagu yang di-remix adalah lagu yang sedang populer. Di sini kita menyaksikan bekerjanya paradigma re-produksi sebagai produksi. Dalam kasus musik dansa, barang jadi tidak diolah dari bahan men-tah, melainkan dari barang jadi yang lain. Den-gan demikian, produksinya sesungguhnya hanya merupakan reproduksi. Dalam konteks ini, suple-men lebih dipentingkan daripada inti, detail lebih penting daripada skema besar. Hasilnya, pencipta-an direduksi menjadi sekedar memilih dari bahan-bahan yang sudah disediakan oleh industri musik. Pernyataan I: Ketakmampuan mencipta ini menandai kekhasan kultural kelas menengah In-donesia. Pengennya jadi warga negara global, tapi nyatanya cuma jadi office boy warga neg-ara global. Pengennya go international, nyat-anya cuma think globally, drink locally. Pengen-nya jadi penguasa, nyatanya cuma jadi makelar. Mendamba-dambakan kebaruan radikal tapi hanya mampu memikirkannya sebatas wangsit.

Dansa-Dansi Inteligensia

Kelas Menengah Indonesia

oleh ISMAiL

OPINI

(Ilustrasi oleh Arif Mulky Hadi)

Page 26: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

Hilangnya Spontanitas Demokratik ke dalam Manajemen Tangga-NadaObservasi II: Kekhasan lain dari praktik musik dansa di Indonesia adalah tiadanya keterlibatan pengunjung dalam proses produksi di panggung. Bisa jadi ini juga disebabkan karena lagu-lagu yang dimainkan hanyalah lagu remix yang hanya dit-ambahi ini-itu. Akan beda halnya jika lagu yang disuarakan adalah lagu yang tak memiliki presed-ennya dalam sejarah, dengan kata lain, lagu baru. Dalam kondisi ideal seperti itu, pengunjung dapat merealisasikan fungsinya tidak terhenti sebagai ro-bot-robot yang berjingkrak patuh pada komando tangga-nada sang DJ, melainkan aktif menyuara-kan-dirinya lewat turn-table. Kalau bisa begitu, maka alangkah demokratisnya setiap rave party, alangkah sozialistiche-nya setiap aktivitas clubbing.Pernyataan II: Kenyataan bahwa yang terjadi tidak seperti itu menandakan kekhasan kultural lain dari kelas menengah Indonesia. Setiap hari ngomong demokrasi, menuntut hak-hak kon-sumen, tapi diam-diam menikmati ketertindasan, memuja komando dan mengimpikan Sang Maha Lain yang diyakini akan menebus mereka semua bak film laga Holywood tentang superhero Me-sianik. Demokratis di bibir, tapi fasis di kelamin. Kegandrungan pada Tendensi, Ambience dan Keserba-SamaranObservasi III: Konon dahulu di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19—masa keemasan seni Roman-tik—para pemuda keluarga kaya di Eropa gandrung dengan bepergian ke pelosok rimba untuk menemu-kan apa yang dalam cultural parlance masa itu dise-but sebagai Yang-Sublim. Konon pula Yang-Sublim-Subtil dapat ditemukan jika para pemuda itu terjun dalam belantara purba alam liar. Pada momen sep-erti itu, katanya lagi, Yang-Sublim tampil sebagai gelora jiwa yang tak tertampung nalar, sebagai ce-capan rasa yang paradoksal. Demikianlah pula ke-las menengah Indonesia masa kini gandrung den-gan segala yang tak jelas, dengan segala yang hanya tercium tendensinya, tercecap nuansanya, yang ser-ba samar-samar. Musik dansa pun mengikuti. Jika kelas menengah yang tak mengenyam pendidikan tinggi sudah puas dengan musik dansa yang meru-pakan remix dari lagu Kucing Garong atau Bang, sms siapa ini, Bang… kelas menengah yang meng-enyam pendidikan tinggi, yang merasai-dirinya se-bagai anak kebudayaan global, meludah pada kelas menengah jenis pertama seraya menyenangi sesuatu yang bagi mereka lebih absurd, yang lebih susah di-mengerti selain oleh diri mereka sendiri. Jenis kelas menengah yang kedua inilah yang gandrung berat

pada musik ambience. Suara desir angin, degup jan-tung, pancaran sinar gamma, kaca pecah, gesekan kuku di dinding—demikianlah cara kelas menengah elit Indonesia mengekspresikan kebudayaannya.Pernyataan III: Di sini semakin jelas watak ke-las menengah Indonesia. Kesukaan mereka pada segala yang samar mencerminkan penghindaran mereka dari ketidak-otentikan hidup. Mereka kira melalui keserba-samaran itulah mereka akan tetap otentik dan lolos dari arus de-otentifikasi yang muncul dari gerak komodifikasi kapitalis. Intinya, mereka mengharapkan penebusan: pada sejenis Deus Absconditus baru, pada sejenis Allah-yang-tak-diketahui, pada nuansa rasa yang akan mem-bebaskan mereka dari lecut jam-kerja. Ideologi kelas menengah elit Indonesia sekarang adalah Romantisisme. Itu sebabnya mereka suka posmo…

Demikianlah observasi dan pernyataan saya, Ismail Marzuki, tentang fenomena kebuday-aan kelas menengah Indonesia dewasa ini. Kelas menengah Indonesia inilah yang mendaku-dirinya sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan du-nia”, yang merasa dirinya otentik ketika semakin tak dimengerti oleh masyarakatnya, yang memuja Sublimitas tapi sekaligus merayakan Pluralitas Ko-moditas, yang memuji dirinya setinggi langit dengan menghambakannya pada modal asing. Mereka ini-lah yang dengan tepat dikecam Kartini dulu sebagai “Bangsawan Pikiran yang tak memiliki budi pekerti”. Marilah kita mengecamnya sekali lagi: Wahai, in-teligensia kelas menengah Indonesia, bubarkan saja diri kalian sendiri jika bisamu cuma dansa-dansi!

*Ismail adalah mahasiswa S1 Program Studi Filsafat STF Driyarkara angkatan 2010 ** Dengan sedikit Fantasie Impromptu dari Martin Suryajaya

OPINI

Page 27: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan menutup sumur dan menguruk telaga

karena rakyat Indonesia minumnya Aqua dan Coca-Cola.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan membuka kedai KFC di mana-mana

karena rakyat Indonesia senang makanan gaya Amerika.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan menggusur pasar dan warung tradisional

karena rakyat Indonesia suka belanja di swalayan dan mal.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan memasok barang-barang dari luar negeri

karena rakyat Indonesia kurang mencintai produk pribumi.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan menghalau perusahaan sumbu kompor

karena rakyat Indonesia merasa lebih keren pakai gas elpiji.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan meruntuhkan gedung-gedung koperasi

karena rakyat Indonesia hutang ke bank merasa bergengsi.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan memborong tambang mineral dan gas bumi

karena rakyat Indonesia malas menggalinya sendiri.

SENIsastra

Puisi oleh Binhad Nurrohmat

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan bikin pabrik dan merekrut buruh Indonesia

karena rakyat Indonesia terkenal sangat murah upahnya.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya tak akan menggunakan bahasa Indonesia

karena rakyat Indonesia lebih bangga berbahasa Eropa.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya tak akan menulis puisi tentang penindasan negara

karena rakyat Indonesia gemar puisi derai daun cemara.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan ambil ikan dan pulau di perbatasan Indonesia

karena rakyat Indonesia cuek pada wilayah kedaulatannya.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan mengganti nilai-nilai UUD ’45 dan Pancasila

karena rakyat Indonesia sudah tak lagi mengacuhkannya.

Andai saya bukan rakyat Indonesiasaya akan bersekongkol dengan para penguasa

karena rakyat Indonesia tak akan berani melawannya.

*Binhad Nurrohmat adalah seorang penyair yang kini tercatat juga sebagai mahasiswa S1 Program Studi Filsafat di STF Driyarka-ra, angkatan 2009.

ANDAI SAYA BUKAN RAKYAT INDONESIA

Page 28: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

”Jim, ingat. Kau cukup menagih hutangnya. Bila tidak membayar, ancamlah. Bila tidak mem-pan juga, pakai tanganmu. Pokoknya kau harus bawa ke mari uang itu. Oke, Jim?” Sebuah alamat disodorkan ke wajahnya. Melebar dengan guratan-guratan merah, mata Jim memelototi kertas itu. Jef kesal. Ini bawahan paling goblok dan yang paling menghabiskan en-erginya. Namun ia maklum saja. Jef pun mengeja alamat itu untuk Jim. Sepeda motor menjadi senjata Jim mem-belah jalanan Jakarta siang itu. Tak seperti mem-belah kelapa di kampungnya, membelah jalanan Jakarta menguras segala yang dimiliki Jim. Dari kantornya, ia menuju ke selatan. Lantas membe-lok ke timur. Ia menuju daerah Kramat Jati kini. Jarak yang bisa ditempuh dalam waktu 30 menit itu dihabisi Jimi satu setengah jam. Maklum saja, pengemudi baru di jalanan Jakarta. Setelah ber-putar-putar sejam di gang-gang untuk bertanya sana sini—di tambah Jimi hanya menggunakan in-gatan tanpa bisa membaca—sampailah ia di alamat tujuan.

*** Yanti membuka pintu. Ia sudah tahu, penagih hutang yang biasanya rese dan tak tahu aturan akan datang hari ini. Serese-resenya dan se-taktahu-aturannya mereka, Yanti sudah terbukti mampu mengatasi orang jenis ini. Tadi ketika si debt collector menelepon ke kantor, Yanti mem-buat janji untuk bertemu di rumah saja. Yanti tak mau teman-teman sekantornya tahu kalau dia punya begitu banyak hutang. Bagaimana nanti pe-nilaian mereka? Up to date perkembangan fesyen, film, buku, restoran, rumah makan, make up tapi dengan menghutang? Yanti selalu bercerita kalau tunangannya adalah seorang kapten kapal muda lulusan sekolah tinggi pelayaran di Semarang. Tunangannya baru setahun ini bekerja pada se-

CERPEN oleh BERTO TUKAN

DEBT COLLECTOR

SENISASTRA

(Francis Picabia, ‘Young American Girl in a State of Nudity)

Page 29: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

buah kapal tanker yang jarang merapat di Jakarta. Paling-paling hanya berlabuh di daerah Sumatera, Bangka, lantas ke luar negeri; Dubai, Brunai dan negara-negara Arab lainnya. Alhasil, Yanti dan tu-nangannya jarang bertemu. Maklum, baru masuk dinas, belum bisa mengambil cuti banyak-banyak. Jimi sudah menyiapkan semuanya. Bicara baik-baik, langsung ambil uangnya, tanda tangan, lalu pulang. Bicara baik-baik, tak dapat uangnya, mengancam, ambil uang, tanda tangan, pulang. Bicara baik-baik, tak dapat uangnya, mengancam tak dapat uangnya, tinju mendarat di meja atau pintu atau lemari, ambil uangnya, pulang. Bicara baik-baik, tinju melayang di meja, tak dapat uang, menggertak, tak dapat uang, lantas? Telepon Jef dan ..... Jimi terkesima, Yanti kiut kecut! Jimi tak menyangka akan menghadapi perempuan cantik semolek bintang film. Jimi tentu tak akan tega dengan makhluk serupawan itu, bahkan untuk menggertak dengan kata-kata sekali pun. Yanti kiut kecut gemetaran. Tak diprediksinya, sore itu ia harus berhadapan dengan manusia serupa monster, serupa gangster negro di film-film Holly-wood, serupa preman di jalanan New York, serupa lelaki penyiksa di situs-situs porno sadomasokis. Jimi kuasai diri. Ia kini ada dalam tugas kerja, tugas besar demi sebuah institusi yang berbaik hati menyelamatkan hidupnya di Jakarta ini. Yah, mengadu nasib di Jakarta dirasakannya sebagai pilihan tepat dua tahun lalu. Dan itu tetap menjadi satu-satunya pilihan baginya kini. Tak ada yang bisa dikerjakannya di kampung. Menjadi guru di SD kampung tak mungkin; malah ia yang butuh berguru. Berkebun; tanah gersang dengan padang-padang sabana jelas tak menjanjikan, apalagi kelu-arganya tak pula punya tanah warisan suku. Hem, ada harapan memang dari pemerintah bahwa bukit di belakang kampung mereka akan kedatangan investor dan tentunya itu akan menjadi lapangan pekerjaan bagi mereka. Ditunggu dan ditunggu, investor-investor itu tak pernah datang. Semacam papan nama atau pemberitahuan di sana sudah tak terlihat lagi cat putihnya. kayu bakar perlahan-lahan diganti minyak tanah dan di tempat tungku batu sudah bertengger konfor sumbu. Maka, Ia harus betul-betul mengabdi. Se-dangkan Yanti yang masih berpikir bahwa mung-kin seperti pria di depannya inilah Goliath itu, belum juga mempersilahkan Jimi masuk. ”Ibu Dwi Rahmayanti?”, suara parau keras Jimi makin menakutkan Yanti. ”Ia saya. Silahkan masuk dulu..., Mas?” Yanti berusaha menenangkan diri dengan senyum hambarnya.

”Ibu tahu punya hutang’kan?” Jimi lang-sung menyerang, menutup gugup dan kagum, mempersingkat tugas. ”Ia.... Be be rapa yah, Mas?” Jimi coba mengingat-ingat sejumlah angka yang tadi diucapkan Pak Jef. Semakin ia berusaha mengingat, semakin lupa pulalah ia. Tak mau am-bil pusing, Jimi langsung mengeluarkan kertas dari tasnya. Dengan membanting tumpukkan kertas itu di meja, Jimi menghardik, ”Ini baca! Berapa??” Dwi mengambil kertas itu, mebolak-balik dari halaman satu sampai sepuluh, memandang sedikit heran ke wajah sangar Jimi, lantas mem-beranikan diri ”Mas, maaf. Ini daftar alamat...?” ”Oh iya. Sini. Ini. Baca.” Sigap! Tak mau ketahuan kurang akrab dengan huruf-huruf dan angka-angka tertulis, Jimi langsung mengambil kertas yang lain. ”Ayooo baca. Berapa utang Ibu..??” Jimi semakin menghardik, ketika melihat senyum kecut di bibir Yanti yang ditafsirkannya sebagai ejekan. ”Ia Mas, lima jutah.” ”Ya sudah! Ibu, tunggu apa lagi? Bayar sekarang!!!” ”Ia Mas. Bi.. bisa tunda Mas?” Yanti semakin takut, cemas. Bagai mana pun juga, ia manusia biasa. Tentu takut akan ke-kerasan di luar batas, apalagi berhadapan dengan orang semenyeramkan Jimi. Bibirnya mulai gem-etar, keringat mulai membasahi jidatnya. Jimi makin tak sabar... “Pokoknya bagaimana pun juga Jim, uang itu harus kau bawa ke sini”, terngiang-ngiang lagi kata Pak Jef. Itu tugasnya! Membawa uang lima juta ke kantor! Ah yah. Jimi teringat. Tanpa bisa memba-wa uang pulang ke kantor, ia tentu tak bisa makan dalam beberapa hari ke depan ini. Ia butuh komisi dari penagihan ini. ”Tunda? Maksud ibu, tidak bayar sekarang? Tidak bisa, Bu. Ayo, baca lagi! Berapa lama hu-tang?” Yanti mencari-cari. Karena takut dan ce-mas, matanya tak sigap membaca. ”Ayo cepat baca..” Jimi menghardik dengan gebrakan di meja. ”E..e... enam bulan.” ”Nah kan? Lama kan?” ”Cek..cek..cek... Ibu.....” Jimi kehabisan kata-kata untuk menggertak atau berbicara lagi. Utang, baca, berapa lama nunggak, harus seka-rang, apalagi ya? Pikirnya. Dengan selidik, dipan-danginya Yanti. Sap.....! Bagaikan ditiup angin sepoi yang tiba-tiba datang, ia kembali sadar akan betapa can-

SENISASTRA

Page 30: Problem+Pilsapat

�0 ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

tik dan menariknya perempuan di depannya itu. ”Cek..cek..cek.... Ibu,. Masa cantik kayak pemain film, kok masih ngutang...” ”Tapi sekarang belum bisa lima juta.... Be...be...besok, saya janji lunasin Mas..” Jimi memandang Yanti dengan saksama. Tak tega rasanya ia menghardik lagi. Mau bicara halus membujuk, ia tak punya perbendaharaan kata sehebat itu. Pakai tanganmu, Jim, begitu kata Pa Jef pagi tadi. Tapi, untuk perempuan secantik ini? Untuk wajah bersih tanpa noda bagaikan tak bercela ini? Agh, Jimi tak tega. Kata orang tua dulu, surga ada di telapak kaki ibu. Ibu itu perem-puan. Dan di depannya kini ada seorang perem-puan. Bagaimana mungkin dia, Jimi, menggertak, memaki-maki, apalagi melayangkan tangan pada perempuan? Secantik dan setakbercela ini pula. Ah, tak mungkin. Kebanggaannya sebagai lelaki ternyata menutupi keresahannya akan dana segar yang harus segera didapatnya demi hidup. Jeda lama tanpa ada yang berkata. Hanya mata mereka saling bersitatap. Yanti dengan takut-takut mencuri pandang ke arah Jimi. Lelaki mengerikan itu masih saja menatap tajam padan-ya. Yah, tak salah lagi. Wajah serem, sedikit tak

berotak, mungkin tak bisa baca pula, apalagi yang bisa diandalkan orang seperti ini kecuali gertakan sambal dan tinju-tinju tangan? ”Tit..tit..tit.....” bunyi telepon Jimi berder-ing. Diambilnya benda kecil itu dari saku jaket hitamnya. Ditekannya, diarahkan ke telinga lantas. ”Halo..... halo.....halo....” dijauhkan lagi dari telinga. Dilihat sejenak layar monitornya sambil mengernyitkan dahi. Ah, benda baru ini. Memus-ingkan juga. ”Tit..tit..tit....” ”Halo.??” ”Oh.. ya. Pa Jef.” Jimi beranjak keluar.... ”Apa...?” ”Sudah......,... Tak.... duit..... ” ”Sudah....sudah......sudah....” ”Tidak bisa...,... tega Pak.” ”Besok........ katanya..... oke pak.”

* Berto Tukan adalah mahasiswa S1 Program Studi Filsafat di STF Driyarkara, angkatan 2008.

SENISASTRA

(Andre Masson, ‘deadalus’)

Page 31: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

PELAWAK GAGALpasti bersambung.... OLEH aRIF m.a.

CERITAGAMBAR

Page 32: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

RESENSIresensi

Marxismedari Sudut Pandang Ekstra-Moral

Sejarah transformasi ekonomis menuju tatanan kapitalistik dapat dirumuskan secara formal seb-agai transisi dari C — C, via C — M — C, ke M — C — M’ yang memuncak dalam tautologi kapital M — M’ (Marx, Capital I, hlm. 257). Dengan kata lain, proses transformasi historis ke dalam kapitalisme adalah gerak perubahan dari barter, via mediasi uang, ke akumulasi laba yang memuncak dalam fase mediasi atas mediasi, yakni dalam momen di mana “uang memperanakkan uang”. Guy Debord pernah menulis bahwa sejarah transformasi itu sejatinya merupakan transisi dari to be (être) ke to have (avoir), dari “ada” ke “memiliki”. Kapital-isme, dalam tafsirnya atas Marx, adalah momen ketika keberadaan jadi identik dengan kepemilikan. Namun rupa-rupanya Debord belum beranjak dari wilayah pemikiran Proudhon: kapitalisme iden-tik dengan kekejaman sebab hak milik adalah ha-sil curian. Seperti Proudhon, ia masih memahami kapitalisme dalam matriks ekstra-ekonomi, atau dengan kata lain, memahami kapitalisme dari luar kapitalisme, dari elemen-elemen superstruktural-nya (citra, imaji, tanda). Ia mempelajari kapitalisme dari halo yang berpendar di luar tubuhnya. Marx, sebaliknya, menyelam ke dalam mekanika internal kapitalisme untuk dapat merumuskan sesuatu yang memang inheren di dalamnya. Sesuatu itu adalah akumulasi. Itulah logika dasar sejarah transformasi ke dalam kapitalisme, yakni momen di mana uang dapat memperanakkan uang yang lebih besar lagi (M — M’).

Kapitalisme, dengan demikian, ditelaah oleh Marx dari sudut pandang ekstra-moral, dengan kata lain ekstra-superstruktural, dan itu artinya: intra-ekonomis. Adalah tidak cukup untuk menun-jukkan bahwa kaum kapitalis menghisap nilai yang dihasilkan oleh kaum pekerja, sebab yang pent-ing—sebagaimana ditunjukkan Engels dalam kata pengantar untuk Poverty of Philosophy—adalah membuktikan “keruntuhan yang tak terhindarkan dari modus produksi kapitalis” (Marx, Poverty of Philosophy, hlm. 11). Hukum kontradiksi internal itulah yang mau dibuktikan Marx dalam Das Kapi-tal jilid ketiganya, yakni dalam hukum “kejatuhan tendensial dalam tingkat laba rata-rata”. Berbeda dari kaum sosialis utopis yang tidak mengkaji hu-kum internal ekonomi-politik tetapi langsung men-yodorkan suatu visi tentang perubahan sosial, Marx bersusah-payah mengupayakan analisis atas hu-kum internal ekonomi-politik—sebuah upaya yang identik dengan keseluruhan proyek penulisan buku Das Kapital itu sendiri. Persis dalam garis kajian intra-ekonomis inilah sumbangan buku yang akan kita kupas terletak. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis merupakan buku tentang sejarah kejadian ekonomi yang berakhir dalam fase kapitalis yang ditinjau dari kerangka ekonomi-politik Marxian. Dede Mulyanto, penulisnya, menarasikan proses historis kemuncu-lan kapitalisme: mulai dari sistem ekonomi Antik, sistem ekonomi feodal, fase akumulasi primitif, tatanan ekonomi kapitalis di era Marx, hingga fase

Judul buku : Kapitalisme: Perspektif Sosio-HistorisPenulis : Dede MulyantoPenerbit : UltimusTahun terbit : Agustus 2010Tebal : 200 + viii

oleh MARTIN SURYAJAYA

Page 33: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

imperialisme seperti yang dirumuskan Lenin seb-agai tahapan tertinggi kapitalisme. Saya tidak akan meringkaskan narasi historis Dede di sini—tentang itu, Anda bisa baca sendiri bukunya. Apa yang akan saya jalankan di sini adalah menunjukkan kepada para pembaca keutamaan dari buku ini. Satu hal yang membuat saya terkejut ke-tika membaca buku ini adalah absennya kosakata “alienasi”. Dede mampu menguraikan keseluruhan proses historis dari sistem produksi kapitalis tanpa satu kalipun tergelincir pada “ratapan anak-tiri” tentang ketercerabutan hakikat-diri manusia atau alienasi. Ini sungguh merupakan sebuah keutamaan yang besar dari buku ini. Dalam khazanah buku-buku Marxisme yang terbit di Indonesia pasca-65, sangat jarang sekali kita temukan suatu buku yang berbicara panjang lebar tentang pemikiran Marxian yang tak juga berbicara tentang alienasi. Di sini kita dapat ambil contoh sepasang buku yang paradigma-tik: buku Pemikiran Karl Marx karangan Profesor Magnis Suseno dan buku Sanggahan atas Franz Magnis Suseno karangan Ken Budha Kusuman-daru. Sementara buku yang pertama ditulis oleh seorang rohaniawan yang kritis terhadap pemikiran Marx, buku yang kedua ditulis oleh seorang aktivis gerakan Kiri yang bermaksud membela pemikiran Marx dari tafsiran sang rohaniawan. Dalam posisi yang seolah bertentangan ini, kita sejatinya dapat menarik benang merah yang justru mempertemu-kan keduanya. Baik sang kritikus maupun sang pembela, keduanya mendasarkan pemikiran Marx pada upaya penyelesaian atas problem alienasi. Po-sisi tafsir seperti ini tentu tidak problematis bagi Profesor Magnis, sebab posisi itu telah diawali oleh tafsiran père Jean Yves-Calves, S.J. dalam buku La Pensée de Karl Marx yang terbit hampir setengah abad sebelum buku Prof. Magnis dan mendasarkan pemikiran Marx pada problem alienasi. Buku Yves-Calves terbit di sebuah masa ketika dialog antara Katolisisme dan Komunisme sedang dirayakan di Prancis. Namun persis karena posisi tafsir ini tidak problematis bagi Prof. Magnis, posisi itu mestinya justru bermasalah bagi Kusumandaru yang intensi eksplisitnya adalah mengkritik tafsiran sang roha-niawan dan memberikan pendasaran Marxian yang kokoh bagi gerakan Kiri. Tafsir macam itu akan menghadirkan Marx sebagai nabi Romantik yang mau menyelesaikan keterasingan-diri manusia di dunia di mana manusia menemukan diri mereka

terlempar—bak Adam yang jatuh dari Taman Sur-gawi atau Dasein yang terlempar ke dalam fak-tisitas dunia. Posisi itu bermasalah karena dengan meletakkan problem dasarnya pada keterasingan-diri manusia, gerakan Kiri dipandang sama dengan gerakan keagamaan, yakni gerakan karitatif yang mau menyelesaikan keterasingan manusia di dunia, dengan kata lain, merekonsiliasikan manusia den-gan Jati-Dirinya yang otentik. Kalau sudah begini, gerakan Kiri menjadi sulit dibedakan dari Salvation Army. Dalam kekeliruan tafsiran Kiri inilah keuta-maan buku Dede Mulyanto terletak: dengan tidak membicarakan alienasi berarti buku Dede mengkaji kapitalisme dari sudut pandang ekstra-moral. Pertanyaannya kemudian: Apabila tradisi pemikiran Marx hendak dibaca di luar perspektif moral tentang yang baik dan jahat, tentang yang otentik dan tidak otentik, maka pembacaan macam apa yang diperlukan? Jawabnya tak bisa lain: tradi-si pemikiran Marx mesti dilihat sebagai sains, yakni moda presentasi yang dapat dipertanggung-jawab-kan secara ilmiah atau dicek konsistensinya ber-dasarkan hubungan antara klaim-kebenaran yang diartikulasikannya dan sistem aksioma imanen yang mendasarinya. Dalam Das Kapital, Marx menghad-irkan bentuk matang dari sains itu, yakni sains eko-nomi-politik. Sains inilah pula yang diuraikan oleh Dede Mulyanto beriringan dengan narasi historis-nya. Ia uraikan di sana dengan fasih tentang teori nilai-kerja, konsep kerja konkrit, kerja abstrak dan kerja-yang-diperlukan-secara-sosial (socially nec-essary labour), kapital tetap dan kapital pengubah. Dengan fasih pula ia menguraikan metode penghi-tungan tingkat eksploitasi (rate of exploitation) dan akhirnya memuncak dalam eksposisi tentang “hu-kum penurunan tingkat laba rata-rata” yang terso-hor dalam tradisi ekonomi-politik Marxian sebagai hukum kontradiksi internal kapitalisme. Walaupun Dede telah mengambil langkah yang patut dipuji dalam melancarkan kritik Marx-ian atas kapitalisme pada aras ekstra-moral atau, dengan kata lain, kritik ekonomi-politik, namun ia berhenti sampai di sana. Problemnya, pembuktian saintifik atas tradisi pemikiran Marx baru sungguh-sungguh dijalankan ketika kita berani, seperti yang dipelopori Marx sendiri, berkonfrontasi dengan kritik ekonomi-politik atas tradisi Marxian. Kita mesti berani berkonfrontasi dengan musuh-musuh

RESENSIBUKU

Page 34: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

ekonomi-politik Marxisme seraya tetap berada di dalam medan ekonomi-politik, dengan kata lain, tanpa berhenti sebagai kritik moral atas borjuasi. Dede Mulyanto sendiri telah mengawali konfronta-si saintifik ini, misalnya dalam sanggahan baliknya atas para pengkritik paradigma teori nilai-kerja (hlm. 126 – hlm. 132). Di luar upaya sanggahan balik itu, Dede juga terlihat memiliki pengetahuan yang memadai tentang sejarah pemikiran ekonomi-politik. Dalam daftar pustakanya kita saksikan tidak hanya buku-buku para ahli ekonomi-politik Marxis seperti Paul Baran, Rosa Luxemburg, Ernest Man-del, hingga yang kontemporer seperti John Roemer, melainkan juga karya-karya para pemikir ekonomi-politik non-Marxis mulai dari yang modern seperti Joseph Schumpeter, J.M. Keynes, Werner Sombart, yang klasik seperti Adam Smith, David Ricardo dan Thomas Malthus, hingga seorang merkantilis sep-erti Thomas Munn. Kendati demikian, buku Dede belum berkonfrontasi dengan salah satu hantaman besar atas tradisi ekonomi-politik Marxis, yakni kritik atas hukum penurunan tingkat laba rata-rata yang digawangi oleh Eugen von Böhm-Bawerk dan diteruskan oleh kaum Libertarian dalam tradisi Neo-Klasik seperti Ludwig von Mises dan Friedrich von Hayek. Kritik atas sains eko-nomi-politik Marxis dapat ber-jalan melalui dua poros. Pada poros pertama terdapat kritik atas paradigma dasar ekonomi-politik Marxis, yakni paradigma teori nilai-kerja (labour theory of value). Namun kritik ini ti-dak secara khusus menyerang tradisi Marxis melainkan juga keseluruhan horizon ekono-mi-politik Klasik sejak Adam Smith. Kritik atas paradigma ini mengkonstitusikan paradigma teoretik baru dalam ekonomi-politik, yakni paradigma teori nilai-kegunaan (utility theory of value) yang digenggam oleh para ekonom Marjinalis dan Neo-Klasik. Kritik inilah yang sempat sekilas disanggah ba-lik oleh Dede dalam bukunya, seperti yang telah kita sebut di atas. Namun kritik ini dapat di-anggap tidak mematikan bagi tradisi ekonomi-politik Marxis sebab ada orang seperti John Roemer (dalam bukunya sep-erti Analytical Foundations of

Marxian Economic Theory dan Free to Lose) yang berpendapat bahwa ekonomi-politik Marxis tetap dapat dibenarkan walaupun kita mengganti para-digma dasarnya dari paradigma nilai-kerja ke para-digma nilai-kegunaan. Kritik yang lebih mematikan datang dari tradisi Libertarian semenjak Böhm-Bawek yang memang diarahkan secara spesifik un-tuk menyerang Marxisme. Kritik Böhm-Bawerk ditumpukan pada poros pertama, yakni kritik atas paradigma teori nilai-kerja. Untuk itulah ia berupaya menunjuk-kan adanya dua paradigma teoretik tentang nilai dalam pemikiran Marx yang saling berkontradiksi satu sama lain: paradigma teori nilai-kerja (sisi penawaran) dalam Das Kapital jilid I dan paradig-ma teori nilai-kegunaan yang basisnya merupak-an evaluasi subjektif konsumen (sisi permintaan) dalam Das Kapital jilid III. Namun kritik paradig-matik ini sejatinya ia fungsikan untuk membantah teori eksploitasi Marx. Itulah poros kedua dari kri-tik atas ekonomi-politik Marx. Böhm-Bawerk me-nyangkal bahwa laba (profit) merupakan nilai-lebih yang dicuri dari pencurahan tenaga-kerja—sebuah kesimpulan yang muncul dari paradigma teori ni-lai-kerja—dengan mengkontraskannya dengan par-adigma teori nilai-kegunaan dalam Das Kapital jilid

RESENSIBUKU

(John Heartfield ‘Lebentrieben’)

Page 35: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

III. Bantahan ini berkait erat dengan kritik atas apa yang kemudian terkenal sebagai “problem trans-formasi” dalam ekonomi-politik Marx. Problem itu muncul dalam penjelasan Marx atas transformasi nilai ke harga: Bagaimana menjelaskan perubahan dari kondisi hipotetik yang dibangun Marx dalam Das Kapital jilid I bahwa nilai sebuah komoditas identik dengan jumlah waktu-kerja yang dicurah-kan untuk memproduksinya ke kondisi konkrit di pasar yang ditunjukkan Marx dalam Das Kapital jilid III bahwa harga sebuah komoditas kerapkali tidak ada hubungannya dengan jumlah waktu-kerja yang dicurahkan? Bagi Böhm-Bawerk, Marx tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai tentang transformasi ini karena adanya dua para-digma teoretik yang saling berkontradiksi itu. Walaupun Böhm-Bawerk seolah berurusan dengan detail teori ekonomi-politik Marx semata, sejatinya ia mengincar sesuatu yang lain. Sesuatu itu adalah penekanan Marx bahwa hakikat eksploitatif kapitalisme merupakan hukum geraknya yang nis-caya. Namun poros kritik kedua ini akan memuncak dalam penyangkalan atas adanya “hukum penu-runan tendensial dalam tingkat laba rata-rata” (the law of tendential fall in the rate of profit), atau den-gan kata lain, hukum kontradiksi internal kapital-isme yang terkenal itu. Hukum inilah yang, seturut pernyataan Engels dalam kata pengantar Poverty of Philosophy yang sudah kita kutip di muka, menun-jukkan bahwa sosialisme Marx itu ilmiah dan tidak utopis belaka. Menolak hukum itu berarti menolak kesaintifikan dari Marxisme itu sendiri. Menyadari konsekuensi dari kritik Böhm-Bawerk inilah maka para ekonom-politik Marxis maupun non-Marxis saling bertempur di atas medan perang yang telah dipersiapkan Böhm-Bawerk. Nama-nama seperti Rudolf Hilferding, Ladislaus von Bortkiewicz, Paul Sweezy, Maurice Dobb, Paul Samuelson, Morishi-ma dan John Roemer tercatat pernah terlibat dalam perdebatan sengit dalam perkara ini. Daftar nama itu masih dapat diteruskan hingga kini. Terlepas dari kekurangan ini, buku Dede Mulyanto setidaknya sudah menyediakan latar panggung bagi elaborasi yang lebih lanjut. Kiranya saya bisa sepakat bahwa kita tak mungkin membi-carakan semua pemikiran kita dalam buku pertama dan, dalam hal itu, buku pertama dapat berperan sebagai batu tumpuan awal yang betapapun frag-mentaris namun sangat berguna untuk melancar-kan serangan besar yang akan datang. Saya kira itulah yang bisa kita harapkan dari buku pertama Dede—ia membukakan jalan bagi buku karangan-nya berikutnya yang pasti akan lebih komprehen-sif dalam kespesifikannya. Namun barangkali kita dapat bertanya untuk terakhir kalinya dalam re-

sensi ini—sebuah pertanyaan yang boleh jadi dapat menyumbangkan “kewaspadaan awal” bagi setiap upaya pembuktian kesaintifikan Marx berdasarkan kebenaran hukum penurunan tendensial dalam tingkat laba rata-rata. Sekarang andaikan hukum itu benar dan dapat dibuktikan, andaikan ada kri-sis ekonomi yang inheren dalam kapitalisme yang akan membawanya pada keruntuhannya sendiri, maka pertanyaannya: Di manakah letak peran perjuangan kelas? Dengan kata lain: jika ekonomi-politik punya mekanisme internalnya sendiri—den-gan siklus boom-crisis-depression-expansion-re-covery—dalam menentukan sejarah dunia, dengan kata lain, jika basis sepenuhnya mendeterminasi superstruktur, maka mungkinkah ada emansipasi politik yang bukan sekedar emansipasi ekonomis yang muncul secara spontan dan otomatis dari lambung ekonomi-politik itu sendiri? Pertanyaan pentingnya: Pada titik manakah ekonomi berhenti dan politik dimulai? Bagi para pembaca yang akrab dengan tradisi Marxisme pasti akan sadar bahwa pertanyaan itu sejatinya adalah soal relasi antara materialisme historis dan materialisme dialektis: Bagaimana menerangkan hubungan antara hukum ekonomi-politik tentang perkembangan sejarah dan filsafat tentang emansipasi sosial-politik? Kita pun dapat menderetkan pertanyaan-pertanyaan lain yang memiliki family resemblance dengannya: Bagaimana relasi antara keniscayaan dan kontin-gensi? Bagaimana relasi antara kelembaman situasi dan gerak perlawanan? Pertanyaan soal relasi his-tomat dan diamat inilah yang membelah pemikiran Kiri zaman kita: sementara kaum Marxis-Analitik (Cohen, Roemer, Elster) menempuh jalan histomat seraya membuang diamat sebagai retorika belaka, kaum Marxis garis Althusserian (Badiou, Žižek) bergerak ke arah sebaliknya, menempuh diamat seraya membuang histomat. Dalam bentuk eks-tremnya, yang satu dapat terjatuh ke economism, sementara yang lain pada sikap ultra-leftism yang voluntaristik. Sampai di sini, kita kembali pada per-tanyaan Lenin: Apa yang mesti dilakukan? Dapat-kah kita memikirkan ekonomi-politik tidak sebagai ilmu ekonomi semata melainkan sebagai ekonomi yang secara langsung bersifat politis, dapatkah kita memikirkan keniscayaan yang kontingen, dapatkah kita memikirkan situasi yang disusun tak lain oleh gerak perlawanan itu sendiri?—itulah barangkali pertanyaan kunci yang akan membukakan jalan bagi jawaban atas pertanyaan Lenin seabad yang lalu.

*Martin Suryajaya adalah mahasiswa S2 di STF Driyarkara, angkatan 2010.

RESENSIBUKU

Page 36: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

Terlalu cetek kiranya untuk membaca ‘Blame It On Fidel!’ sebagai dongeng moralitas sederhana yang membenturkan konservatisme dengan dunia anak-anak, serta kesadaran politik dengan kematangan emosi. Dalam debut feature filmnya, Julie Gavras menyingkirkan radikalisme klise a la 70-an lewat jeruk, pelajaran alkitab, mitologi, masakan eksotis dan egoisme gadis sembilan tahun.

Semua bermulai dari perubahan drastis yang dial-ami Anna setelah kedua orang tuanya menjadi ko-munis. Tentunya, untuk seorang borjuis semacam gadis cilik itu, hal ini adalah masalah. Tak ada lagi rumah mewah di pedesaan dengan kebun cantik, tumpukan mainan ataupun pesta menyenangkan karena alasan ideologis mengharuskannya ikut meninggalkan kenyamanan hidupnya itu. Apalagi ditambah dengan cerita nenek dan pelayan favor-itnya bahwa para barbudos (laki-laki brewokan) itu jahat, mereka ingin mencuri mainanmu dan meledakkan dunia dengan bom atom.

Kita dihadapkan dengan realisme anak-anak yang

berusaha memahami dunia di sekelilingnya, teru-tama ketika para orang dewasa tidak menceritakan apa yang terjadi secara lengkap. Tidak ada fantasi laiknya Pan’s Labyrinth di sini. Anna dengan jelas ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia mendengar potongan-potongan dialog lalu menco-ba menyusun pemahamannya sendiri. Terkadang tepat, terkadang ngawur sama sekali.

Inilah charm yang menjinakkan pesan-pesan poli-tis yang sering terlihat konyol dalam penggamba-ran lebih vulgar (mungkin anda sudah berkenalan dengan tradisi klise gerakan politis hippies dengan drugs, love—untuk tidak memakai seks—and rock n roll-nya dalam Alice’s Restaurant atau yang agak kontemporer—sekaligus memalukan—Across The Universe. Meskipun anda bisa berargumen bah-wasanya kedua film tersebut adalah produk kapi-talis Amerika). Memang, menjadi komunis adalah konyol jika anda tumbuh dalam keluarga dan masyarakan dengan nilai bangkotan seperti tokoh utama kita.

RESENSIFILM

Anna: “Ngaco. Barbudos-lah yang memulai perang. Mereka berjenggot dan merah..”

François: “Kau yang ngaco! Santa Claus berjenggot dan merah!”

Judul Film : Blame It On Fidel (La faute a Fidel) Sutradara : Julie GavrasProduser : Sylvie Pialat Mathieu Bompoint Release : 10 September 2006 (Prancis)

oleh Arief Mulky Hadi

ATAU SALAH LU SENDIRI KALI

Page 37: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

Dialog cerdas yang mempertemukan ke-naif-an anak-anak dan ke-njlimet-an orang dewasa ber-munculan di sana-sini. Dalam saat tertentu, seperti ketika seseorang menjelaskan kepada Anna, ”bay-angkan semua kekayaan di dunia adalah sebutir jeruk. Beberapa orang ingin memiliki jeruk itu untuk dirinya sendiri, setelah mereka mengupas-nya. Yang lainnya ingin membagi jeruk itu dengan bagian yang setara untuk semua,” saya berfikir kalau sang novelis (film ini berangkat dari novel pengarang Italia, Domitilla Calamai) berencana menulis ’Communism For Kids’. Meskipun dalam banyak kesempatan lain, para barbados itu cuma bisa tertawa menanggapi celoteh Anna. Kenapa? Tonton sendiri.

Meskipun lingkungan Anna ahirnya merubah cara berfikir gadis kecil itu, bukan berarti dia serta mer-ta terkena doktrin buta. Anna berhasil menyerap argumen-argumen yang diberikan lingkungannya. Seperti ketika seorang suster di sekolah bercerita tentang seekor kambing yang lari dari peternakan menuju gunung dan ahirnya dimangsa oleh seriga-la; dan mengajukan pesan moral tentang perlunya ketaatan, bahwasannya nasib tragis sang kambing adalah hukuman atas ke-tidak-taat-annya. Si anak lucu itu malah membela si kambing. Si suster bi-lang, “jadi si kambing memang sengaja cari mati?

Dosa dong”. Dengan sotoy-nya Anna menggerutu, ”binatang bukan katolik, suster”. Kemudian Anna membeberkan bahwasanya si kambing punya dua pilihan; tetap tinggal di kandang dan harus ha-rus diikat atau pergi ke hutan. Dia memilih yang terahir, berfikir kalau tidak akan dimangsa srigala. Berharap untuk menjadi bebas. Dengan wajah dingin si suster berkata, ”well, si kambing salah. Begitu juga dengan kau. Duduk”. Ups... spoiler? Maaf. Saya suka sekali dengan scene itu. Baiklah. Memang sudah saatnya saya sudahi tulisan ini. Paling tidak, kita jadi tau kalau dengan menjadi komunis bukan berarti revolusi melulu. Dalam frasa Seurieus, ’komunis juga manusia’. Tidak selamanya berjenggot tebal, kasar, seram, militan, tampang serius, ocehan ngalor-ngidul perkara teori dan praksis, propaganda, kaderisasi dan perbendaharaan kosakata komunis lainnya. Mereka juga makan, beranak pinak, pakai bedak, punya masalah domestik dan kerepotan bayar tagi-han listrik. Justru dari tetek bengek ’tidak revolu-sioner’ inilah yang ’revolusioner’ jadi berarti.

* Arief Mulky Hadi adalah mahasiswa S1 Program Filsafat STF Driyarkara angkatan 2009.

RESENSIFILM

Page 38: Problem+Pilsapat

�� ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

Vivere Pericoloso artinja hidup itu harus beri-si berani bertindak sekalipun tanpa kepastian. Tapi bagaimana hubungan vivere (hidup) dan pericoloso (penuh bahaja)? Pericoloso itu merupakan eksisten-sial dari eksistensi atau tjara kita mengada. Eksis-tensial berarti konsekwensi primer dari struktur. Hidup bukan sesuatu jang pasif dan statis, melainkan dinamis, dialektis, selalu bergerak dan bergolak. Djustru itulah menje-babkan hidup itu pericoloso. Menerangkan vi-vere pericoloso-pun mengandung bahaja, ka-lau2 salah. Tapi baiklah: kita hadapi bersama.

Keong dan Batu

Keong merajapi pohon papaja. Ta-hukah ia pohon itu bisa digontjang2kan an-gin kentjang, sehingga binatang itu bisa djatuh petjah di batu? Toh keong tetap me-mandjat, sekalipun terus-menerus terantjam. Sebuah batu bertengger ditebing ham-pir “djebol”. Kalau djebol, batu itu menggon-tai ke bawah dan bisa petjah. Djadi batu dju-ga terantjam? Tidak, batu itu tidak terantjam. Tapi keong tadi terantjam. Mengapa berbeda? Batu bukan sesuatu jang harus mempertah-ankan diri, tumbuh dan berkembang biak. Berlain-an dengan keong. Antjaman bahaja hanja mungkin pada sesuatu jang mempunjai struktur. Siput ke-cil merajap mentjari hidup. Tetapi djustru dalam mentjari hidup jang mendjadi tuntutan koderatnja itu hidup terantjam. Hidup artinja berkembang. Dalam perkembangan itu, penuh bahaja. Vera-mente pericoloso, memang hidup ini penuh bahaja!

Keong dan Manusia

Karena keong hidup, berkembang, maka iapun terantjam bahaja kebinasaan. Tetapi adanja bahaja jang setjcara objektif melekat pada hidup itu, tak diketahui oleh keong, tak ditanggapi dan dira-sakan. Keong tak dapat berseru: “Hai kawan2 keong sedunia bersatulah mengganjang machluk2 berkaki dua jang mirip gorilla dan bernama manusia itu!” Jang dapat menangkap dan merasakan bahaja hanjalah subjek. Dan keong bukan sub-jek. Subjek dapat mengalami bahaja karena ia melihat “nantinja”. Jang bisa melihat “nantin-ja” hanjalah manusia, maka manusia djuga satu2nja machluk jang menanggapi bahaja. Hewan memang mempunjai analogi (ke-miripan) dengan manusia. Ada berbagai tingka-tan dalam dunia hewan. Djuga ada kemiripan dalam mengalami bahaja. Tetapi jang sebenar2nja dapat mengalami bahaja, hanja manusia. Dia bisa menjerang bahaja dan mengalami romantiknja. Untuk dapat mengalami bahaja, bukan sadja harus bisa menderita dan binasa tetapi djuga sadar akan dirinja dalam nantinja. Manusia itu “mengkini” tapi di dalam kekiniannja, ia sudah melihat “nantinja”.

Dialektik dan Vivere Pericoloso

Dialektik merupakan kuntji untuk men-erangkan vivere pericoloso. Dialektik menund-jukkan bahwa manusia itu tjahaja dan keg-elapan, rochani dan djasmani. Dua unsur itu merupakan kesatuan, satu subjek. Artinja mach-luk jang berdiri dengan menentukan pendiri-

Vivere PericolosoOleh: Prof. Dr. Drijarkoro S.J.

MASSAlaloe

Page 39: Problem+Pilsapat

��ProblemFilsafatNo. 7 / TahuN II / Desember 2010

annja terhadap realitas, dengan tjara demikian rupa, hingga realitas itu menondjolkan arti2 jang tertentu dan merupakan lapangan aktivitasnja. Karena kita subjek, maka tanah bisa kita djadikan ladang, sungai mendjadi djalan, bisa mendjadi obat dsb. Karena rochani, maka manusia bisa melihat tudjuan dan djalannja. Tapi karena ia-pun djasmani, maka ia djuga mengalami kegelapan. Dalam dialektik ia memilih, menentukan bentuk jang tertentu bagi tudjuannja. Tapi dalam pada itu ia tak sepenuhnja melihat apakah bentuk tertentu itu akan merupakan sukses, apakah per-lawanan itu akan dapat dilawan. Seorang pemuda ingin djadi dokter sebagai bentuk pengabdian pada masjarakat. Tapi tahukah dengan pasti bahwa ia akan benar2 mendjadi dokter? Andaikata ter-tjapai, tahukah ia bahwa ia benar2 akan meng-abdi rakjat, bukannja mendjadi penghisap rakjat? Si A kawin dengan si B, tapi tahukah ia bahwa hidup dengan B itu akan benar2 bahagya dan memba-wa manfaat bagi nusa dan bangsa? Tak adanja kepas-tian itu, maka dialektik hidup manusia membawa risiko. Vivere pericoloso merupakan eksistensial art-inja tjorak dasar jang melekat pada tjara kita berada. Kalau kita tahu kekuatan akan tjukup, maka hati kita penuh harapan. Kalau tahu kekuatan tak memadai, maka kita terantjam rasa putusasa. Tingkat2 Pericoloso

Vivere pericoloso hanja dapat diandjur-kan pada manusia, karena manusia mengerti hidupnja dan bisa membuat intensifikasi. Jang kita sembojankan adalah intensifikasi atau peng-hebatan, penekanan daripada jang sudah ada. Bekitjot tak mempunjai pilihan antara be-rani dan tak berani, manusia bisa. Manusia jang hanja membebek dan membeo artinja tak berani mentjiptakan konsepsi2 sendiri, tapi hanja mengi-kuti konsepsi jang ada, mengikuti arus, orang2 demikian tak dapat mendjadi sokoguru revolusi. Manusia bisa memilih: djalan mudah, djalan sukar, djalan penuh bahaja. Dia bisa bangkit memilih djalan sukar untuk mewudjudkan tjita2 Pantjasila. Dalam vivere pericoloso, pilihan manusia di-djatuhkan pada djalan jang sulit dan berat. Bisa ber-hasil, bisa gagal. Djadi ada dialektik. Dialektik harus selalu dipertinggi, kalau tidak mau merosot. Antithese selalu dinaikkan mendjadi sinthese jang lebih luhur. Karena sulit, berat, manusia sadar akan akar2nja, akan kemampuan2nja, ini membangkit-kan romantik. Manusia bordjuis jang maunja hidup enak tak mengenal apalagi menghajati romantik. Orang berkendaraan mobil pelan, enak me-mang. Tapi rasa puas lebih besar kalau ia dapat men-

gendarai mobilnja didjalan tjuram sulit penuh baha-ja. Manusia di hati ketjilnja senang vivere pericoloso. Dalam kisah Pandji dan Kelana, para kesatriapun memilih vivere pericoloso. Mer-eka bisa hidup di istana, tapi memilih “mider ing rat angalangut” (mengembara), bisa ser-ba mewah di atas kasur tapi lebih suka “ana-sak wana wasa” (mendjeladjah hutan rimba). Revolusi dan Vivere Pericoloso

Vivere selalu pericoloso: selalu mengand-ung bahaja, mau atau tidakmau. Tapi ada perico-loso jang bukan sadja kita terima tetapi memang kita tjari. Pericoloso ini biasanja ada pada perbua-tan jang fundamental, jang merobah dan menen-tukan hidup. Makan katjang tak ada pericoloso. Revolusi termasuk perbuatan fundamental. Sebab revolusi merobah dan menentukan kehidu-pan masjarakat dan individu. Revolusi kita melak-sanakan Ampera dan Pantjasila. Maka revolusi kita perbuatan luhur, karena itu mengandung pericoloso. Revolusi disertai bahaja, ketidakpastian, an-tjaman. Dulu dalam revolusi fisik bahaja itu beru-pa maut dan sendjata. Dulu beberapa pengetjut mundur, takut bahaja, pasif atau menjeberang. Kini bahaja itu berlainan sifatnja. Tetapi tetap ada, maka itulah Bung Karno menekankan “vi-vere pericoloso”. Sifatnja lain tapi tak kalah hebatn-ja. Pelaksanaan Ampera, bekerdja keras mewudjud-kan masjarakat adil-makmur adalah perbuatan jang berat, minta pengorbanan, penuh vivere pericoloso. Sembojan Praktek maksudnja untuk membangkitkan semangat. Semangat untuk melaksanakan isi dari sembojan itu dalam per-buatan. Vivere Pericoloso pun mengamanatkan sehari2 dalam bekerdja dan mengabdi sesama.

*Diketik ulang dari harian Kompas edisi 10 September 1965

MASSALALOE

Page 40: Problem+Pilsapat

�0 ProblemFilsafat No. 7 / TahuN II / Desember 2010

1. EDITORIAL ……………………………………………..22. ARTIKELDISKUSI– “BARANG DAGANGAN KEPEDULIAN SOSIAL” OLEH I GUSTI ANOM ASTIKA …………………………………………….. 33. KLINIKEKOPOL– “SEJARAH EKONOMI POLITIK : DARI PLATON SAMPAI ANTONIO SERRA” OLEH MARTIN SURYAJAYA …………………………………………….. 154. OPINI– “DANSA-DANSI INTELIGENSIA KELAS MENENGAH INDONESIA” OLEH ISMAIL …………………………………………….. 255. SENISASTRA– “ANDAI AKU RAKYAT INDONESIA” PUISI BINHAD NURROHMAT …………………………………………….. 276. SENISASTRA– “DEBT COLLECTOR” CERPEN BERTO TUKAN …………………………………………….. 287. CERITAGAMBAR– “PELAWAK GAGAL (PASTI BERSAMBUNG)” OLEH ARIEF MULKY HADI …………………………………………….. 318. RESENSIBUKU– “MARXISME DARI SUDUT PANDANG EKSTRA-MORAL” OLEH MARTIN SURYAJAYA …………………………………………….. 329. RESENSIFILM– “BLAME IT ON FIDEL! ATAU SALAH LU SENDIRI KALI” OLEH ARIEF MULKY HADI …………………………………………….. 3610. MASSALALOE– “VIVERE PERICOLOSO” OLEH PROF. DR. DRIJARKORO, S.J …………………………………………….. 38

Bulletin Problem Filsafat adalah terbitan berkala dari Komunitas Marx STF Driyarkara. Bul-letin ini bermaksud menjadi media publikasi wacana Marxisme.

Bulletin Problem Filsafat mencakup makalah presentasi dalam diskusi, resensi buku, film, juga karya-karya sastra.

Bulletin Problem Filsafat juga membuka ruang bagi perdebatan seputar wacana Marxisme.

e-mail : [email protected]

DAFTAR ISI :