Priyanto M Joyosukarto

24
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902 BUDAYA KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI Priyanto M. Joyosukarto The Indonesian Institute of Industrial Safety (INDUS) ABSTRAK BUDAY A KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI. Diperkenalkan sebuah konsep barn tentang Budaya Keselamatan Total (Budaya KESTAL) untuk memperjelas interdependensi ketiga unsur keselamatan: manusia, mesin, dan lingkungan menuju pemahaman lebih baik, sistemik, dan holistik terhadap terjadinya kecelakaan serta langkah pencegahannya. Budaya KEST AL ini berintikan introduksi, internalisasi, dan obyektifikasi tiga unsur Nilai Dasar, yaitu Nilai & Norma Keselamatan, Nilai & Norma Kualitas, dan Norma Berpikir Sistemik yang memberikan perspektif totalitas hubungan sebab-akibat yang bersifat spiralistis jangka panjang. Terjadinya kecelakaan selalu dapat dirunut kepada kegagalan alat maupun kesalahan personil. Kedua faktor tersebut terkait erat dengan rendahnya kompetensi personil operasi dan/atau perancang, yang bermuara kepada terjadinya human error yang mengawali terjadinya kecelakaan. Faktor manusia yang relevan adalah sikap mental yang, selain merupakan unsur kompetensi juga merupakan unsur internalisasi Budaya KEST AL. Jenis budaya ini diharapkan dapat ditumbuh-kembangkan melalui introduksi dan internalisasi Nilai, Norma, dan sikap mental yang tepat. Kaitan antara Nilai, sikap mental, dan perilaku dalam Budaya KEST AL dibahas komprehensif. Sedangkan sikap mental didefinisikan, diperinci, dan diperingkat menjadi 6 level. Dibahas pula Faktor MORIS yang mengaktivasi perilaku personil. Keselamatan yang tinggi dapat dihasilkan melalui implementasi Budaya KEST AL, yang mensyaratkan kombinasi optimum antara ketiga unsur kompetensi personil yang bermuara kepada berkurangnya human error. Selanjutnya dibahas pula Tujuh Norma Berpikir Sistemik dalam bidang keselamatan. Diharapkan pula Budaya KEST AL dapat menjadi Kompas Moral yang merupakan acuan bagi pembiakan moralitas publik menuju tercapainya keselamatan kehidupan publik yang tinggi. Kata kunci : Tempat Kerja, faktor manusia, nilai dan norma, sikap mental, berpikir sistemik, faktor MORIS ABSTRACT TOTAL SAFETY CULTURE INSIDE THE INDUSTRY. A novel concept on Total Safety Culture (TSC) has been proposed with the aim of explaining the interdependency among the industrial safety elements, i.e. man, machine, and environment leading to a better, systemic, and holistic understanding on the occurrence of accidents as well as the preventive measures. Embodied in this Concept is the introduction, internalization, and objectivication of the three ingredients: Safety Value & Norm, Quality Value & Norm, and the Norm of Systemic Thinking which calls for a total perspective of long-term- spiraling effect between the actuator, behavior, and the consequences. (Spiraling the ABC). The occurrence of an accident could always be traced toward the equipment failure and/or human error. These two factors are closely related to personnel's III

Transcript of Priyanto M Joyosukarto

Page 1: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

BUDAYA KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI

Priyanto M. JoyosukartoThe Indonesian Institute of Industrial Safety (INDUS)

ABSTRAKBUDAY A KESELAMATAN TOTAL DALAM BIDANG INDUSTRI.

Diperkenalkan sebuah konsep barn tentang Budaya Keselamatan Total (BudayaKESTAL) untuk memperjelas interdependensi ketiga unsur keselamatan: manusia,mesin, dan lingkungan menuju pemahaman lebih baik, sistemik, dan holistik terhadapterjadinya kecelakaan serta langkah pencegahannya. Budaya KEST AL ini berintikanintroduksi, internalisasi, dan obyektifikasi tiga unsur Nilai Dasar, yaitu Nilai & NormaKeselamatan, Nilai & Norma Kualitas, dan Norma Berpikir Sistemik yang memberikanperspektif totalitas hubungan sebab-akibat yang bersifat spiralistis jangka panjang.Terjadinya kecelakaan selalu dapat dirunut kepada kegagalan alat maupun kesalahanpersonil. Kedua faktor tersebut terkait erat dengan rendahnya kompetensi personiloperasi dan/atau perancang, yang bermuara kepada terjadinya human error yangmengawali terjadinya kecelakaan. Faktor manusia yang relevan adalah sikap mentalyang, selain merupakan unsur kompetensi juga merupakan unsur internalisasi BudayaKEST AL. Jenis budaya ini diharapkan dapat ditumbuh-kembangkan melalui introduksidan internalisasi Nilai, Norma, dan sikap mental yang tepat. Kaitan antara Nilai, sikapmental, dan perilaku dalam Budaya KEST AL dibahas komprehensif. Sedangkan sikapmental didefinisikan, diperinci, dan diperingkat menjadi 6 level. Dibahas pula FaktorMORIS yang mengaktivasi perilaku personil. Keselamatan yang tinggi dapat dihasilkanmelalui implementasi Budaya KEST AL, yang mensyaratkan kombinasi optimumantara ketiga unsur kompetensi personil yang bermuara kepada berkurangnya humanerror. Selanjutnya dibahas pula Tujuh Norma Berpikir Sistemik dalam bidangkeselamatan. Diharapkan pula Budaya KEST AL dapat menjadi Kompas Moral yangmerupakan acuan bagi pembiakan moralitas publik menuju tercapainya keselamatankehidupan publik yang tinggi.Kata kunci : Tempat Kerja, faktor manusia, nilai dan norma, sikap mental, berpikir

sistemik, faktor MORIS

ABSTRACT

TOTAL SAFETY CULTURE INSIDE THE INDUSTRY. A novel concept on TotalSafety Culture (TSC) has been proposed with the aim of explaining the interdependencyamong the industrial safety elements, i.e. man, machine, and environment leading to abetter, systemic, and holistic understanding on the occurrence of accidents as well as thepreventive measures. Embodied in this Concept is the introduction, internalization, andobjectivication of the three ingredients: Safety Value & Norm, Quality Value & Norm,and the Norm of Systemic Thinking which calls for a total perspective of long-term­spiraling effect between the actuator, behavior, and the consequences. (Spiraling theABC). The occurrence of an accident could always be traced toward the equipmentfailure and/or human error. These two factors are closely related to personnel's

III

Page 2: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

incompetency leading to an inappropiate decision and/or action initiating human error,and hence results in an accident. As a driving factor inside the competency, mentalattitude could also be viewed as an element of TSC. Hence, TSC might be cultivated bythe introduction and internalization of the appropiate Values, Norms, as well asAttitudes. Personnel's mental attitude has been defined, discussed, and graded into sixlevels. Whereas MORIS Factor, a situasional-external driving force activating thepersonnel behavior, also briefly discussed. Highest level of safety could be achieved bymeans of implementing TSC which calls for the optimum combination of thepersonnel's knowledge, skill, and attitude leading to reduced human error. The TSCConcepts is supported with the Seven Norms of System Thinking in Safety. It isfurther expected that TSC could become a Moral Compas serving as the reference fornurturing the public morality results in an excellent public safety.Keywords: Work place, human error, value and norm, attitude, systemic thinking,

MORIS factor

112

Page 3: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003

PENDAHULUAN

ISSN 1693 - 7902

Berkat kemampuannya berpikir, berasa, bersikap, bertindak, dan berkomunikasi

maka manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara semua makhluk

ciptaan Tuhan di muka bumi. Meskipun begitu, manusia memiliki keterbatasan fisik

untuk melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya yang nyaris tak pernah bisa

dipuaskan. Dengan pertimbangan itulah, teknologi diciptakan untuk membantu

"memperpanjang tangan" manusia di dalarn mendapatkan pangan, sandang, dan papan;

teknologi sebagai penggerak utama proses nilai tambah. Tetapi dalarn banyak kasus,

khususnya di dunia industri, yang terjadi justru sebaliknya dimana implementasi

teknologi di Tempat Kerja menimbulkan berbagai kecelakaan dan kerugian yang

meminta korban.

Pengertian kecelakaan (accident) dimaksudkan sebagai suatu kejadian (event)

yang tidak diharapkan dan tidak direncanakan dalarn suatu rangkaian kejadian-kejadian,

yang terjadi melalui suatu kombinasi penyebab-penyebab, yang mengakibatkan bahaya

fisik (luka atau sakit) terhadap seseorang, kerusakan hak milik, kondisi harnpir celaka

(near miss), kehilangan, atau sembarang kombinasi dari akibat-akibat tersebut.o) Di

balik kecelakaan tersebut selalu dapat dilacak adanya kesalahan manusia sesuai dengan

Hukum Sebab Akibat yang bekerja dengan berbagai interval "time of response"

berbeda, mulai dari skala detik sampai tahunan, bahkan puluhan tahun dengan

melibatkan satu atau lebih manusia ..

Studi terhadap 75.000 kecelakaan industri sampai akhir tahun 1920 menunjukkan

bahwa 88% faktor penyebabnya adalah tindakan tidak tepat oleh manusia, 10% berupa

kondisi yang tak arnan, dan 2% memang tidak bisa dihindari. (2) Referensi lain

menunjukkan bahwa 70 - 90% kecelakaan industri disebabkan oleh kesalahan manusia

(human error) sehingga berbagai usaha besar telah dilakukan untuk mengatasinya

melalui perbaikan metode pelatihan, karnpanye keselarnatan, dan perbaikan desain

sistem kerja.(3) Terjadinya kecelakaan industri ini cukup memberikan dampak finansial

yang cukup berarti. Sebagai contoh, hasil penelitian di negara-negara Eropa

menunjukkan sekitar 5% GNP hilang akibat kecelakaan industri. (4).

Di Indonesia, diperoleh informasi bahwa, dalam setahun sekitar 9000 orang

meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, atau rata-rata 25 orang per hari, yang

disebabkan oleh faktor manusia (90%), faktor jalan (5%), dan faktor lingkungan (5%).(5)

113

Page 4: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Oesember 2003 ISSN 1693 - 7902

Khusus di wilayah hukum POLDA Metro Jaya, selama tujuh bulan pertama tahun 2003,

jumlah kecelakaan lalu lintas tercatat 687 kali dengan korban 291 orang tewas, 323

orang luka berat, dan 294 orang luka ringan. Penyebab dominan adalah faktor manusia,

yaitu emosi sesaat. (6) Dari dunia perkeretaapian diperoleh informasi bahwa antara

Januari - April 2003 terjadi 72 kali kecelakaan (40% anjlok/terguling, 35% tabrakan)

yang mengakibatkan 24 orang tewas, 24 rang luka berat, dan 39 orang luka ringan. Ini

menunjukkan kecenderungan yang meningkat dibanding tahun lalu: 67 kecelakaan, 22

orang tewas, 18 luka berat, dan 16 luka ringan. Ditengarai seringnya kecelakaan ini

karena lemahnya manajemen keselamatan KA akibat lemahnya mentalitas dan kinerja

karyawan.(7) Tabrakan bus vs truk di Situbondo, 8 Oktober 2003 yang menewaskan 54

orang semakin menguatkan kesan betapa industri transportasi kita memang mengerikan.

Dalam industri nuklir di Indonesia, khususnya dalam bidang kesehatan perlu

penataan mendesak karena alasan yang berkaitan dengan masalah perilaku, tanggung

jawab, komunikasi, dan birokrasi administrasi(8). Masih dalam lingkup industri nuklir,

identifikasi penyebab kecelakaan PLTN TMI unit 2 tahun 1979 menunjukkan pula

bahwa human error merupakan salah satu faktor penyebabnya(9). Jadi sejarah

mengajarkan bahwa faktor manusia sering menjadi isu utama dalam kecelakaan

industri.

Makalah ini merupakan sumbangan pemikiran awal dari Lembaga INDUS untuk

memperbaiki keselamatan industri. Bahasan berikut berangkat dari hipotesis ini:

"Obyektifikasi Nilai dan Norma Budaya Keselamatan Total (Budaya KESTAL) pada

industri dapat mengurangi human error sehingga keselamatan, produktifitas, dan

kompetitas produknya meningkat." Pembahasan diawali dengan fenomena

ketidakteraturan di dalam kehidupan publik dan operasi industri di Indonesia serta

pentingnya introduksi sebuah Sistem Nilai/Budaya bam untuk mengatasinya; tinjauan

sekilas Budaya Keselamatan versi IAEA dan versi UU No. 10/1997 tentang

Ketenaganukliran; Konsep dan lingkup Budaya KEST AL; Kaitan Nilai, sikap mental,

dan kompetensi personil dalam Budaya KEST AL; Pemeringkatan sikap mental; Faktor

MORIS dalam perilaku personil; Peran Budaya KEST AL dalam mencegah human

error; Tujuh Norma Berpikir Sistemik; dan diakhiri dengan Kesimpulan mengenai

potensi peran dan keberlakuan Konsep Budaya KEST AL di dalam ruang publik ..

114

Page 5: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

FEN OMENA KETIDAKTERATURAN (CHAOS) DALAM KEHIDUPAN

PUBLIK DI INDONESIA

Keterkaitan antara faktor perilaku personil dengan keselamatan aplikasi Teknologi

telah lama menjadi perhatian Penulis. Penyebab kecelakaan dan/atau kegagalan

sistem/komponen selalu dapat dirunut kepada faktor manusia, yang di dalamnya

terdapat faktor sikap mental yang dominan. Teknologi dimaksudkan sebagai cara atau

metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan

berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai tambah bagi pemenuhan

kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan kualitas kehidupan manusiaYO)

Urgensi kesiapan mental ini semakin tinggi untuk sistem teknologi berisiko tinggi

seperti instalasi petrokimia, instalasi nuklir, idan sistem transportasi masal.

Pertimbangan kesiapan sikap mental ini seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari

proses alih teknologi, karena biasanya di pihak penerima teknologi dihinggapi

ketimpangan budaya (cultural lag) sebagai penghambat yang tidak kasat mata (hidden

barriers). Jadi dalam introduksi teknologi baru diperlukan proses adaptasi dan

akulturasi, baik pada tingkat personil pelaksana ataupun masyarakat (publik)Y I)

Pengalaman mengajarkan bahwa sikap mental "nrabas" dan perilaku

menyimpang dari pejabat publik maupun individu dan kelompok dominan lain di dalam

masyarakat dapat memicu reaksi negatif-berantai (disruptive chain reaction, reaksi DC)

yang "katastropis" oleh pihak lain, yang pada akhirnya secara kumulatif bersinergi

negatif menjadi "public error" yang terbukti telah mengakibatkan ketidakteraturan/

kekacauan (chaos) pada ruang publik. Anehnya, dibalik ketidakteraturan terse but selalu

tersimpan keteraturan yang ganjil, yakni selalu berawal dari stimulus lingkungan fisik

sebagai faktor-Iuar pemicu, diperparah oleh faktor pemacu berupa "mental nrabas"

yang menginisiasi Reaksi DC. Selanjutnya reaksi DC ini menimbulkan stimulus

lingkungan psikologis baru yang memicu "mental nrabas" untuk berreaksi DC oleh

pihak lain yang lebih banyak. Di Indonesia, fenomena chaos akibat saling picu dan pacu

antara faktor lingkungan dan sikap mental nrabas semacam ini dapat ditemukan pada

hampir semua kegiatan publik, yang sebagian diantaranya justru dipicu oleh kesalahan

berbagai kebijakan publik pada berbagai jenjang.

Perilaku chaotis ini sangat katastropis sebab pada skala makro, selain

membingungkan dan menumpulkan nalar dan nurani generasi sekarang, juga

115

Page 6: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

mempertontonkan pencucian otak (brainwashing)) dan penjungkir-balikkan moral

(moral-upsiding) kepada generasi mendatang karena telah mengajarkan kebiasaan,

pengetahuan, dan pengalaman hidup bersosial dan bernegara yang salah dan penuh

dengan penyakit sosial yang kronis dan mematikan (deadly diseases), juga telah

menimbulkan ketidakpastian perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik.

Pada kondisi chaotis ini, deretan asumsi, aksioma, teori, dan hasil perhitungan

keandalan sistem menjadi tidak bermakna karena kecelakaan dan kegagalan sistem itu

benar terjadi. Runtuhnya Gedung WTC pada 11 September 2001 merupakan contoh

betapa standar keselamatan yang teruji puluhan tahun akhirnya gagal karena sikap

mental yang salah dari sekelompok teroris. Menabraknya pesawat Boeing 767-200ER

berbobot 124,3 ton dengan kecepatan 900 km/jam dan berbahan bakar penuh, tepat pada

titik lemah menara WTC tentu masuk klasifikasi Beyond Design Basis Accident

(BDBA), karena dalam analisis desainnya (1964) Gedung WTC "sudah"

memperhitungkan kemungkinan ditabrak Boeing 707 (desain terbaru) berbobot 119, 3

ton berbahan bakar minimal, dan diasumsikan dalam gerakan mendarat darurat pad a

kecepatan 290 km/jam.(12)

Berbagai potret buruk kehidupan publik penuh perilaku chaotis tersebut secara

komulatif mengindikasikan betapa literatur ketidakberadaban dapat ditemukan lengkap

di Indonesia. Kondisi ini juga memberikan sinyal adanya kekosongan moralitas publik

atau Sistem Nilai sejenis yang "workable" pada lingkup publik yang diperlukan untuk

mengarahkan dan mengendalikan perilaku publik. Sedangkan pada dunia industri,

kondisi chaotis terse but sekaligus menunjukkan perlunya diterapkan Sistem Nilai

(Budaya) baru untuk menjamin kinerja yang tinggi dengan tetap mengindahkan

kepentingan ekosistem secara holistik.

TINJAUAN KONSEP BUDAYA KESELAMATAN VERSI IAEA DAN VERSI

UNDANG-UNDANG NO. 10/1997 TENT ANG KETENAGANUKLIRAN

Industri nuklir, yang di dalamnya mengandung proses-proses yang melibatkan

radiasi nuklir, sangatlah tinggi potensi risikonya terhadap keselamatan publik, sehingga

faktor keselamatan menjadi kriteria utama (safety first), bukan faktor perbandingan

antara manfaat dengan mudarat (safety last) sebagaimana Norma yang dipakai dalam

116

Page 7: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

penerapan berbagai Sistem Nilai tertentu. Paradigma ini mensyaratkan tingginya sikap

sadar-keselamatan (safety-awareness).

Sebagai bagian dari sikap tersebut, IAEA memperkenalkan Konsep Budaya

Keselamatan (Budaya K) dengan batasan bahwa Budaya K. pada personil dan

organisasi mengandung tiga substansi, yaitu keunggulan bidang keselamatan produksi,

komitmen tinggi terhadap keselamatan, serta pengetahuan masalah keselamatan terkait

dengan sistem dan personil, dan pengetahuan rinci dan terkini tentang masalah

keselamatan pekerjaan.(I3)

Di Indonesia, Budaya K. yang memiliki landasan konstitusional Undang-Undang

No. 10/1997 Tentang Ketenaganukliran, nampaknya belum diimplementasikan secara

nyata. Pada bab V tentang pengawasan, pasal 14 dan 15 menyebutkan bahwa

pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilakukan oleh

BAPETEN, dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran hukum pengguna tenaga

nuklir agar tumbuh Budaya K. di bidang nuklir. Selanjutnya, bagian Penjelasan pasal15

menyebutkan bahwa "Budaya Keselamatan adalah sifat dan sikap dalam organisasi dan

individu yang menekankan pentingnya keselamatan." Budaya K. mensyaratkan agar

semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan hams dilaksanakan secara benar,

saksama, dan penuh rasa tanggung jawab. (14) Jadi ada tiga hal yang ditekankan di dalam

Budaya K. yaitu sifat dan sikap yang berorientasi kepada keselamatan (sifat, sikap, dan

selamat; 3S). Contoh adopsi Budaya K. pada tataran konsep kebijakan adalah dalam

Kebijakan Kepala BATAN Tentang Keselamatan Fasilitas Nuklir yang menyebutkan

bahwa "Di seluruh unit kerja BATAN, keselamatan harus menjadi perhatian utama

pada seluruh tahap kegiatan, dan menjadi pertimbangan utama baik secara organisasi

maupun perorangan. ,,(15) Selanjutnya tertuang pula pada Kebijakan Mutu BAT AN,

yang di antaranya berbunyi: "BATAN menjamin dan memelihara mutu seluruh

pelaksanaan fungsi organisasi dengan mengutamakan aspek keselamatan". (16) Perlu

telaah kritis terhadap efektifitas kebijakan ini.

117

Page 8: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003

KONSEP BUDAY A KESELAMA TAN TOTAL DAN POTENSI

KEBELAKUANNYA

ISSN 1693 - 7902

Definisi dan Ruang Lingkup

Telah diketahui bahwa terciptanya keselamatan industri merupakan hasil interaksi

dari ketiga unsur, yaitu manusia, mesin, dan lingkungan kerja sebagaimana ditunjukkan

pada Gambar 1. Pola interaksi tersebut bersifat interaktif, dinamis, dan resiprokal (IDR)

sehingga memiliki kompleksitas situasional sangat beragam (tak terbatas), utamanya

karena kehadiran faktor manusia. Kompleksitas yang tinggi tentu memberikan

paparan risiko yang tinggi pula.

Dengan demikian untuk mencapai keselamatan operasi yang tinggi maka

kompleksitas terse but harus disederhanakan, yang berarti diperlukan adanya kepastian

perilaku kolektif ketiga un sur tersebut. Dari segi signifikansi pengaruhnya, dibedakan

tiga aspek lingkungan kerja industri, yaitu fisik, psikologis, dan virtual-sistemik, yang

ketiganya dapat berpengaruh kuat terhadap perilaku personil maupun pengoperasian

mesin. Oleh karena itu perilaku ketiga unsur keselamatan harus dipahami secara holistik

parallel dengan pemahaman terhadap ketiga aspek lingkungan tersebut.

Perilaku mesin dan lingkungan relatif mudah diprediksi, tidak demikian halnya

dengan perilaku manusia. Agar supaya perilaku manusia dapat diprediksi maka hams

diterapkan Standard Code of Good Conduct, yang berisi nilai-nilai dan norma dasar

sebagai /criteria berperilaku di dalam lingkungan industri yang mengarah kepada

kinerja keselamatan (safety performance pro-progressive behavior, SP 3B). Hal ini

semakin penting dan mendesak mengingat perilaku manusia sangat dinamis, berubah

terhadap waktu. Kompleksitas dinamika kolektif tersebut semakin meningkat bila di

dalam sistem terdapat berbagai tipe man usia. Paradigma inilah yang melatarbelakangi

lahirnya Konsep Budaya Keselamatan Total.

118

Page 9: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

Gambar 1. Interaksi interaktif, dinamis, dan resiprokal (IDR) antara ketiga unsurkeselamatan industri

Dengan paradigma ini maka kedua Konsep Budaya Keselamatan di atas masih

relatif sempit dan parsial, atau setidaknya masih perlu dielaborasi lebih lanjut karena

belum menunjukkan keterkaitan sistemik dan holistik antar atribut dari ketiga unsur

keselamatan industri. Berkaitan dengan hal ini maka selanjutnya akan diperkenalkan

konsep baru, yaitu Budaya Keselamatan Total (Budaya KESTAL)

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek meliputi pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan

yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Definisi lain memerinci adanya

fenomena (wujud) kebudayaan yang terdiri dari sistem budaya (sistem Nilai, gagasan,

dan Norma), sistem sosial (komplek aktifitas dan tindakan berpola dari manusia dalam

masyarakat), serta artefak atau kebudayaan fisiko (17)

Secara analogi, Budaya Keselamatan Total setidaknya dapat diberikan batasan

berikut : Sistemffatanan Nilai yang mengilhami setiap personil untuk memiliki pola

pikir, pola ucap, pola sikap, dan pola tindak (perilaku) yang berbasiskan Nilai dan

Norma Keselamatan serta Kualitas, dimana persepsi terhadap masalah keselamatan

produksi telah mempertimbangkan interdependensi sistemik dan holistik antar

atribut/aspirasi dari ketiga un sur keselamatan (manusia, mesin, dan lingkungan),

sementara kaitan antara faktor penyebab, perilaku, dan akibat tidak hanya dipandang

linier, searah, dan seketika tapi juga sirkular, spiral, dan jangka panjang. (spiraling the

actuators, behavior, and consequencies, Spiraling the ABC).

119

Page 10: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11Desember 2003 ISSN 1693-7902

Jadi terdapat tiga pilar penyusun Budaya KEST AL yang sebagian dan/atau

seluruhnya dapat berlaku pada sembarang industri ataupun bersifat "process -specific",

yaitu Nilai dan Norma Keselamatan; Nilai Kualitas 13-} K (18) dan Delapan Norma

Kualitas (19);serta Tujuh Norma Berfikir Sistemik dalam keselamatan.(20) Khusus untuk

Nilai dan Norma Keselamatan, beberapa Norma Keselamatan berikut dapat diterapkan

sesuai dengan karakteristik industri: Norma Keselamatan ABC & TBA (21); Norma

Kaizen 5 S, Norma 3-MU, dan Norma Pemeriksaan 5-M (22);serta Norma Hambatan­

berlapis (Multiple barriers) dan Norma Pertahanan-mendalam (Defence in Depth) pada

desain PLTN (23), dan Norma Keselamatan Pasif pada desain sistem keselamatan

PL TN. (24,25)

Pemilihan Nilai dan Norma harus didasari pertimbangan rasional yang didukung

upaya kontemplasi dan kajian yang tangguh (thoughtful) bahwa obyektifikasi Nilai dan

Norma tersebut akan menjamin kinerja sistem yang maksimal dengan tetap

mengindahkan keselamatan publik. Selanjutnya obyektifikasi Nilai dan Norma Budaya

KEST AL ini bersifat normatif-mandatoris.

Secara melekat Konsep Spiraling the ABC mengamanatkan dua hal, pertama,

kombinasi optimum yang dinamis antara ketiga unsur Knowledge-Skill-Attitude (K-S-A)

dalam kompetensi personil. Ke dua, dari segi sistem harus diciptakan sinergi positif

yang optimum dari ketiga unsur keselamatan. Amanat pertama menuntut perlunya

diterapkan manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi, yang didukung oleh

manajemen pelatihan personil berbasis kualitas. Untuk tujuan ini, metode pelatihan

Systematic Approach to Training (SAT) yang diperkenalkan IAEA dapat

dipertimbangkan. (26)

Dari segi kompetensi, personil harus memiliki kemampuan penalaran tinggi agar

mampu melakukan pemahaman, analisis, sintesis, evaluasi, dan prediksi terhadap status

dinamika proses serta risiko deterministik dan probabilistik berkaitan dengan setiap

tindakan yang dilakukannya terhadap proses tersebut.

Amanat ke dua dari Spiraling the ABC menuntut berbagai Kebijakan Afirmasi

untuk memaksimalkan daya dukung ketiga aspek lingkungan kerja terhadap kinerja

personil dan mesin, seperti misalnya Kebijakan Kualitas, Kebijakan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja, Kebijakan Pelatihan Kompetensi, yang dalam penerapannya harus

dapat menciptakan kombinasi-sinerjis yang optimum antara ketiga unsur keselamatan

120

Page 11: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693- 7902

terse but. Implementasi Manajemen Kualitas Terpadu (27), Pengendalian Kualitas

Statistik (28), Standar Sistem Manajemen Kualitas ISO 9000 (29), Standar Sistem

Manajemen Lingkungan ISO 14000(30), maupun Standar Ergonomi Dasar ISO 6385 (31)

merupakan beberapa contoh Kebijakan Afirmasi terse but.

KAIT AN ANT ARA NILAI DENGAN KOMPETENSI, SIKAP MENTAL, DAN

PERILAKU PERSONIL DALAM BUDAY A KESELAMA T AN TOTAL

Sikap mental merupakan apresiasi personil, baik yang tersirat dan/atau tersurat

melalui pola pikir, pola ucap, dan pola tindak, terhadap Nilai (value) dan/atau Norma

dan/atau moral yang mendasari pencapaian tujuan dan sasaran kegiatan di dalam

sebuah sistem atau komunitas, baik privat maupun publik. (32)

Nilai, Norma, dan Moral biasanya sudah terkodifikasi di dalam prosedur kerja,

yang tentunya sudah mempertimbangkan standar dan kode keselamatan yang berlaku.

Sikap mental personil dapat langsung diketahui dari kecenderungannya bereaksi

terhadap rangsangan faktor ekstemal (manusia, peraturan, kondisi lingkungan, dU.).

Nilai dan sikap mental ini dipengaruhi budaya setempat sehingga pemahaman terhadap

keduanya menjadi sangat penting untuk dapat menjelaskan perilaku personil. Sikap

mental (attitude, A) ini merupakan salah satu unsur kompetensi.

Kaitan antara Nilai dengan sikap mental dan perilaku personil dalam Budaya

KEST AL ditunjukkan pada Gambar 2, yang dikembangkan dari pemahaman tentang

perilaku manusia. (33) Ditunjukkan bahwa seseorang akan cenderung bersikap, dan

berperilaku sesuai dengan Nilai dan Norma budayanya. Dari hubungan timbal balik

antara sikap mental dengan budaya, diharapkan bahwa dengan proses introduksi,

intemalisasi, dan obyektifikasi Nilai, Norma, dan sikap mental (Proses IIONNOS) yang

tepat terhadap anggota representatif dari sebuah kelompok komunitas (populasi) akan

bisa diciptakan jenis perilaku dan budaya baru bagi kelompok tersebut. Implementasi

Budaya KEST AL dalam bidang industri dapat mengikuti pola ini. Proses IIONNOS ini

dapat diartikan sebagai perekayasaan budaya (cultural engineering) dalam pengertian

yang positif. Rekayasa budaya ini sangat dimungkinkan sebab pada dasamya budaya itu

hidup, dinamis, dan selalu berubah.(34)

121

Page 12: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir -Jakarta, 11 Oesember 2003

Budaya KEST AL(TSC)

Sikap Mental(attitude)

ISSN 1693- 7902

Gambar 2. Kaitan antara Nilai, Sikap Mental, dan Perilaku

Pada Gambar 2 dibedakan antara Nilai, Norma, dan Moral yang mendasari sikap

mental seseorang. Nilai adalah sebuah keyakinan yang luas dan umum tentang cara

berperilaku (behaving) atau tentang kondisi akhir (end state) yang ingin dicapai oleh

seseorang.(35)Secara khusus, Nilai diklasifikasikan menjadi dua, Nilai Sejati (true value)

dan Nilai Tampak (declared value). (36)Nilai Sejati dipegang dan diyakini oleh personil.

Sedangkan Nilai Tampak tersirat dan/atau tersurat dari penampilan dan /atau ucapan

personil dalam rangka penyesuaian diri dengan lingkungan. Nilai ini bertindak sebagai

kriteria atau tolok ukur akseptabilitas di dalam pemilihan berbagai alternatif. Sedangkan

Norma dan/atau Etika merupakan pedoman perilaku untuk penerapan suatu Nilai pada

situasi tertentu. Norma bersifat spesifik dan memberitahu anggota kelompok budaya

untuk berperilaku seperti apa yang benar dalam situasi tertentu. Dengan demikian, Nilai

mendasari dan memberikan arah pengembangan Norma. Norma kultural dapat

berubah sedangkan Nilai relatif tetap, tetapi bila terjadi perubahan Nilai maka

dampaknya cukup dramatis.(37) Selanjutnya, Moral merupakan ukuran baik dan buruk,

yang dalam implementasinya umumnya terkait erat dengan Nilai Keagamaan.

Dalam arti yang luas Nilai dapat mencakup Norma dan Moral sehingga dalam

pembahasan selanjutnya untuk ketiganya digunakan istilah Nilai kecuali untuk beberapa

penerapan yang dapat mengurangi daya jelasnya. Berbagai sumber Nilai yang mungkin

diterima personil setidaknya ada 10 kelompok sebagaimana ditunjukkan pada Gambar

3. Budaya KESTAL mungkin dapat merupakan gabungan dari kelompok teknologi,

pengalaman hidup, dan pengalaman kerja. Oalam agama Islam, Nilai mungkin lebih

tepat disebut Aqidah, yang merupakan kepercayaan atau keyakinan abstrak, tertanam di

122

Page 13: Priyanto M Joyosukarto

\

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

dalam hati dan budi manusia, yang menimbulkan proses batin yang disebut kemauan.

Kemauan yang digerakkan oleh Aqidah ini mengarah kepada tindakan. (38)

I I Kondisi Ekonomi I

I Teknologi ~ ~

KelompokSosial

Pengalamanhidup

Pendidikan

I Medi a 1---------

Pengalaman Kerja

~

~I Agama I

~I Musik

Orang Tua

Gambar 3. Berbagai sumber Nilai dalam kehidupan personil. (35)

Terhadap diri personil, berbagai sumber Nilai berkompetisi bebas di dalam

menawarkan berbagai tolok ukur keberterimaan terhadap stimulus luar, Nilai ini juga

akan berperan sebagai kriteria berperilaku di lingkungan hidupnya. Dengan demikian,

sumber Nilai mana yang dominan mungkin berbeda untuk tiap orang, tetapi sebuah riset

internasional (39) menunjukkan bahwa pengalaman hidup personil sangat diandalkan di

dalam mengetahui apa yang benar secara moral. Tabel 1 menunjukkan contoh tipikal

berbagai Nilai Sejati beserta peringkat apresiasinya pada diri seseorang multi profesi:

Peneliti, Dosen, Konsultan, Pengamat Sosial - Politik-Militer, dan Instruktur Karate. (40)

123

Page 14: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Oesember 2003 ISSN 1693 - 7902

Tabel 1. Nilai dan peringkat apresiasinya pada seorang multi profesi : Peneliti,

Dosen, Konsultan, Pengamat Sosial Politik, dan Instruktur Karate. (40)

NoNilai Sejati (True Value)

Peringkat

apresiasi01Keselamatan publik/keluarga/ pribadi 1

02Waspada kualitas (quality awareness) 2

03Keterbukaan pikiran (open-minded attitude) 3

04Perubahan dan pencerahan 4

05

Rasionalitas dan lntelektualitas 5

06Kesamaan dalam kebebasan (demokrasi) 6

07Sportifitas 7

08Kepuasan /aktualisasi diri 8

Pemeringkatan Sikap Mental

Sesuai dengan kedalaman level komitmen (keterikatan) yang diperlukan untuk

implementasi Nilai dan Norma, maka sikap mental personil di temp at kerja diperingkat

menjadi enam level berikut. (32,41,42)

a. Attending

Pada level ini, personil mengarahkan perhatiannya kepada instruksi atasan dan

tugas di tangan. Bila personil gagal melaksanakan tahap ini maka tidak mungkin kondisi

pikirannya (state oj mind) dapat dibawa ke tahap berikutnya.

b. Responding

Personil merespon aktifitas di tempat kerja, khususnya terhadap arahan dan tugas

dari atasan. Personil bertanya, menjawab pertanyaan, memulai mengerjakan tugas

wajib, memberikan respon dalam diskusi, berpartisipasi dalam kegiatan yang

diperintahkan, atau mendiskusikan pekerjaan. Mungkin di dalam responnya, personil

menunjukkan suatu keinginan tentatif. Bila menjumpai suatu fenomena, kejadian,

arahan, atau tugas, respon dapat positif maupun negatif, tetapi hal itu diarahkan kepada

kegiatan di tempat kerja.

c. Complying

Personil melaksanakan instruksi dan menyelesaikan tugas di tangannya, bereaksi

seperti yang diminta atau menunjukkan ketaatan terhadap aturan, menyelesaikan tugas,

berpartisipasi dalam diskusi, dan berkonsentrasi pada pelaksanaan tanggung jawab.

Pada level ini motivasi berperilaku yang diharapkan masih sangat dipengaruhi oleh

faktor ekstemal.

124

Page 15: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

d. Accepting

Dalam perilaku, pendirian, dan posisinya personil telah menunjukkan manfaat

suatu Nilai dengan secara berulang dan mandiri bertindak yang sesuai. Personil

bertindak konsisten sesuai dengan pikiran atau perilaku tunggal, dan dapat

menunjukkan alasan daripada sekedar kepatuhan untuk melaksanakan tugas,

menunjukkan tanggung jawab secara mandiri, melaksanakan tugas dengan kesadaran

sendiri, singkatnya tanpa tekanan dari luar. Personil melakukan artikulasi alasan yang

melatarbelakangi sebuah tindakan, menyatakan sebuah dasar untuk mendukung sebuah

posisi, menampilkan tanggung jawab secara mandiri, dan mengerjakan tugas secara

suka rela.

e. Preferring

Dalam perilaku, pendirian, dan posisinya personil telah menunjukkan manfaat

suatu Nilai dengan secara berulang dan mandiri bertindak sesuai, serta melakukan

identifikasi alasan untuk tindakannya~ Personil mungkin akan membela sebuah posisi,

mengundang kritik, menolak pemyataan yang bertentangan dengan keyakinannya, atau

mengusulkan suatu pemikiran. Perilaku personil selalu konsisten sepanjang waktu dan

pada berbagai situasi. Personil melakukan artikulasi dukungan untuk sebuah posisi,

menyatakan altematif terhadap posisi yang dipilih, menyatakan alasan kenapa sebuah

altematif dipilih, mengharap kritik terhadap posisi yang dipilih serta pekerjaan yang

telah diselesaikan.

f. Integrating

Personil menunjukkan pola perilaku-berbasis Nilai, dengan telah memulai

mengembangkan pola perilaku yang merefleksikan Nilai dan norma setelah melakukan

pengujian yang ulet (thoughtful) terhadap berbagai altematif dan konsekuensi, dan

bertindak secara konsisten atas dasar Nilai dan norma tersebut sebagai individu yang

bisa mengarahkan dirinya sendiri (selfdirecting). Selanjutnya, personil mengevaluasi

aktifitas, obyek, dan argumen; menggunakan kriteria untuk membuat penilaian

(judgements); dan mendasarkan tindakannya pada pertimbangan atas Nilai dan faktor

lain yang terkait pada sistuasi yang tertentu, tidak atas dasar nilai tersendiri atau faktor

tung gal yang lain. Personil mengevaluasi kegiatan, obyek, dan alasan; menerapkan

kriteria untuk penilaian, dan mendasarkan tindakannya kepada pertimbangan Nilai dan

125

Page 16: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693- 7902

faktor lain yang terkait dengan situasi yang ada, tidak mendasarkannya kepada Nilai

semata atau kepada faktor tunggal.

FAKTOR PERILAKU PERSONIL

Kemampuan personil mencapai level sikap mental integrating selain dipengaruhi

oleh faktor eksternal juga oleh faktor motivasi. Motivasi yang terkait erat dengan

pemenuhan kebutuhan internal inilah yang akan menentukan apakah perilaku personil

dapat dibangkitkan (energized), diarahkan, atau dipertahankan untuk mencapai sasaran

kegiatan. (24)Motivasi, dan juga perilaku, dapat dibangkitkan oleh kebutuhan (need)

sebagai faktor internal dan oleh kekuatan pengaruh sistem sosial (social force) sebagai

faktor eksternal. Kebutuhan merupakan ketegangan internal yang tercipta akibat

keadaan kekurangan.

Pengaruh sistem sosial terhadap sikap mental dan perilaku seseorang dapat

ditimbulkan oleh kehadiran orang lain, atau kesadaran bahwa orang lain telah, sedang,

dan akan menilai dirinya. Adopsi Manajemen Kualitas ke dalam sistem manajemen

keselamatan diharapkan dapat mendayagunakan faktor eksternal ini sebagai kontrol

eksternal yang pro-pasif, yang akan memberikan efek penguatan sikap mental yang

berujung kepada menurunnya jumlah perilaku negatif lni merupakan konsep dasar

rekayasa sikap mental dan/atau budaya berbasiskan sistem (system-driven

attitude/cultural engineering). Potensi Manajemen Kualitas ini dimungkinkan karena di

dalamnya diajarkan Nilai Keseimbangan 13-1 K. (18)

Dengan substansi Nilai Dasar Budaya KEST AL serta dengan pencapaian level

komitmen sikap yang sesuai akan dapat diharapkan bahwa sikap personil dapat

terkondisi oleh sistem yang berlaku (System-Driven Attitude, SDA). Konsep SDA ini

mutlak diperlukan dalam pengembangan sumber daya manusia, sebab seperti yang

diajarkan dalam Teori X; manusia cenderung jelek, malas, tidak bertanggung jawab,

tidak kreatif sehingga perlu kontrol eksternal untuk memotivasi diri.(43)Sejalan dengan

hal itu, personil cenderung melanggar aturan (risk taking) bila di dalam sistem ada

empat faktor berikut: (1) motivasi rendah untuk berprestasi atau menaati aturan, (2)

risiko kecil untuk pelanggaran, (3) insentif besar untuk pelanggaran, dan (4) sanksi

ringan bagi pelanggar. Keempat faktor penentu (driving factor) ini disebut Faktor

126

Page 17: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

MORIS, yang eksistensinya sekaligus memperkuat kesan betapa sistem manaJemen

sebuah organisasi bersentuhan kuat dengan perilaku personil.

PERAN BUDAYA KESELAMATAN TOTAL UNTUK MEREDUKSI HUMAN

ERROR

Secara sederhana human error dipahami sebagai kesalahan manusia. Definisi

lebih rinci menyebutkan bahwa human error adalah keputusan dan/atau perilaku

manusia yang tidak tepat dan/atau tidak diinginkan, yang mengurangi, atau berpotensi

mengurangi efektifitas, keselamatan, atau kinerja sistem.(44) Pembahasan lain tentang

human error adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 yang menjelaskan bahwa

setidaknya ada tiga jenis human error, jenis pertama akibat beban kerja berlebih

(overload), jenis ke dua akibat respon tidak tepat, dan jenis ke tiga akibat tindakan yang

tidak tepat. (2)

Satu contoh nyata tentang human error adalah berbagai kasus kecelakaan di jalan

raya dimana pengemudi gagal mengendalikan kendarannya. Tingginya frekuensi

kecelakaan pada K.m 31-47 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, yakni 24 kali antara Januarai­

Pebruari 2003 (45), diduga kuat karena Pengemudi lelah dan mengantuk setelah

menempuh perjalanan jarak jauh. Ini merupakan contoh tepat untuk human error jenis

pertama karena overload akibat faktor situasional berupa kompleksitas dan rutinitas

pekerjaan. Untuk mengatasi hal ini maka dari

Human Error

I

lOverload

Respon tidakTindakan tidaktepat

tepat• Faktor

lingkungan• Gagal mengoreksi• Kerja tanpa• Faktor internal

potensi bahayapelatihan• Faktor• Meniadakan perisai• Salah menginter-situasionalkeselamatan mesinpretasi risiko

• Mengabaikan keselamatan

Gambar 4. Human error dan berbagai kemungkinan penyebabnya. (2)

127

Page 18: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

Segi Pengemudi hams menciptakan keseimbangan optimum antara ketiga unsur

KSA karena, sikap mental (baca: semangat) yang tinggi tanpa didukung kemampuan

fisik yang prima akan menyebabkan gagal-kendali. Demikian juga konsekuensi sikap

mental yang tinggi tanpa didukung pengetahuan dan pemahaman yang rinci mengenai

risiko probabilistis & deterministis dari suatu perilaku akan menimbulkan rendah-duga

(under estimate) dan tinggi-duga (over estimate) terhadap banyak hal. Keseimbangan

KSA ini merupakan amanat Budaya KEST AL.

Berkaitan dengan human error jenis pertama ini, Penulis menduga bahwa

kompleksitas, urgensitas, rutinitas, dan ekstrimitas lingkungan kerja dapat memicu

timbulnya Gejala 5L (lesu, letih, lelah, lupa, dan lengah) yang mengawali perilaku yang

mengarah kepada human error. Di kalangan Polisi dan Tentara, rutinitas disadari

merupakan musuh utama kegiatan pengamanan. (46)Untuk mencegah hal ini dapat

dilakukan intemalisasi Nilai Budaya KEST AL yang relevan diperkuat dengan teknik

"field conditioning" , misalnya dalam bentuk latihan Karate secara teratur. (47)Latihan

Karate secara teratur dengan intensitas dan durasi tertentu dibarengi penghayatan aspek

spiritualnya berpotensi besar untuk pembinaan dan pengkondisian mental dan fisik

menuju kepribadian yang tangguh, terkendali, dan "fault tolerance" terhadap kesalahan

ekstemal sehingga dapat diwujudkan Korelasi 5K (Karate-Kompetensi-Kualitas­

Keselamatan- Kinerj a).(20)

Contoh lain tentang akibat human error adalah tewasnya seorang mekanik di

kawasan industri JABABEKA awal tahun 2003, akibat ledakan tabung gas karena ia

tidak memasang sekrup penutup sejumlah yang ditentukan prosedur.(48) Kasus ini dapat

diklasifikasikan sebagai human error jenis ke tiga yang diakibatkan oleh tindakan tidak

tepat, yakni salah menginterpretasikan risiko probabilistis akibat kurang pelatihan, alias

belum menyeimbangkan secara optimum antara ketiga unsur KSA sebagaimana yang

diamanatkan oleh Budaya KEST AL.

Kecelakaan melelehnya teras PLTN TMI-2, 23 Maret 1979 juga bisa

dikategorikan sebagai kombinasi human error jenis ke tiga dan ke dua, sebab saat itu

ketika diketahui ada indikasi kebocoran uap keluar katup pengaman (safety valve),

operator salah menginterpretasi rentetan kejadian yang sebenamya masih dalam batas­

batas ketentuan desain. (9)

128

Page 19: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

TUJUH NORMA BERPIKIR SISTEMIK DALAM BIDANG KESELAMATAN

Berikut adalah tujuh norma yang terdapat di dalam perspektif berpikir sistemik

untuk aplikasi pada bidang keselamatanY9) Norma ini dikembangkan dengan

mempertimbangkan perlunya mendapatkan gambaran atau perspektif luas terhadap

situasi pekerjaan dengan menggunakan pendekatan sistem untuk mencapai kondisi

interdependensi yang menguntungkan sistem secara keselumhan (perspektif menang­

menang).

• Tidak ada penyebab tung gal.

• Pertimbangkan faktor-faktor lingkungan, perilaku, dan personal.

• Ukurlah faktor-faktor tersebut.

• Investigasi fakta, bukan kesalahan.

• Berikan umpan balik dan motivasi secara langsung.

• Konsistensi menghasilkan komitmen.

• Pegang norma resiprokalitas (keberbalikan).

Implementasi Norma ini dalam bidang keselamatan diharapkan dapat

memperdalam pemahaman secara holistik dan sistemik terhadap hubungan antara faktor

penyebab, perilaku, dan akibat, yang timbul dalam interaksi IDR antara ketiga unsur

keselematan.

KESIMPULAN

Dalam upaya mencapai keselamatan produksi yang tinggi, perhatian khusus hams

diarahkan kepada upaya pemahaman yang lebih sistemik dan holistik terhadap faktor

pemicu terjadinya kecelakaan. Lingkungan kerja hams dibuat kondusif bagi interaksi

positif antara ketiga unsur keselamatan, yaitu manusia, mesin, dan lingkungan. Dalam

manaJemen perencanaan teknologi selain hams dilakukan audit kelayakan

teknis&ekonomi (technoware), juga hams dilakukan audit kelayakan kompetensi

personil (humanware). Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa dalam banyak

hal, faktor sikap mental ternyata lebih menentukan sukses implementasi teknologi bila

dibanding faktor pengetahuan dan keahlian, sehingga kesiapan mental personil menjadi

prasyarat-awal yang hams dipersiapkan dengan matang, atau setidaknya secara

bersamaan dengan penguasaan pengetahuan dan keahlian. Defisiensi sikap mental yang

129

Page 20: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Oesember 2003 ISSN 1693 - 7902

ada diatasi dengan rekayasa budaya dalam bentuk introduksi, internalisasi, dan

obyektifikasi Nilai budaya yang sesuai.

Budaya KEST AL merupakan alternatif yang dapat diterapkan. Implementasi

Konsep Budaya yang berintikan tiga pilar unsur Nilai Dasar ini, yaitu Nilai dan Norma

Keselamatan, Nilai dan Norma Kualitas, serta Tujuh Norma Berfikir Sistemik,

diharapkan dapat mengurangi jumlah perilaku negatif yang mengarah kepada terjadinya

human error. Hal ini dimungkinkan berkat adanya pertimbangan interdependensi

sistemik dan holistik antar atribut/aspirasi dari ketiga unsur keselamatan (manusia,

mesin, dan lingkungan), dimana kaitan antara faktor penyebab, perilaku, dan akibat

(PP A) tidak hanya dipandang linier, searah, dan seketika tapi juga sirkular, spiral, dan

jangka panjang. Dengan kata lain, ada interaksi interaktif, dinamis, dan resiprokal (IDR)

diantara faktor PPA. Cara pandang yang disebut sebagai Spiraling the ABC ini di

dalamnya melekat tuntutan dimilikinya kombinasi optimum antara ketiga unsur

kompetensi personil, yang didukung oleh berbagai kebijakan afirmasi untuk

memaksimalkan daya dukung lingkungan terhadap kinerja manusia dan mesm,

mengingat ketiga unsure keselamatan terse but berinteraksi secara IDR dengan

kompleksitas beragam.

Disamping itu, ketiga Nilai Dasar Budaya KESTAL juga berpotensi menjadi

Kompas Moral yang memberikan pedoman perilaku kondusif bagi keselamatan

(SP3B). Dengan demikian, melalui implementasi Konsep Budaya KESTAL di ruang

publik, diharapkan dapat membiakkan Moralitas Publik sebagai pra-kondisi bagi

perubahan yang mengarah kepada meningkatnya kenyamanan & keselamatan publik.

Dengan semangat Spiraling the ABC, terbuka kemungkinan dimana Budaya KEST AL

ini melahirkan berbagai derivasi, misalnya Budaya Taat Asas, Budaya Bersih, Budaya

Malu, Budaya Teliti, Budaya Jujur, dll. yang secara komulatif bersinergi positif

memperbaiki keselamatan publik.

Mengingat aspek keselamatan industri di Indonesia belum diatur secara holistik,

maka dengan semangat Budaya KEST AL ini pemerintah dapat melakukan peran yang

vital, baik dengan menyinergiskan insitusi yang ada maupun membentuk institusi baru.

Dengan Motto: "SA VE THE PUBLIC", Lembaga INDUS siap mendukung peningkatan

keselamatan industri demi peningkatan kinerja nasional sebagai modal menghadapi

persaingan global. Lembaga INDUS menyadari bahwa tugas mewujudkan keselamatan

130

Page 21: Priyanto M Joyosukarto

Scminar Tahunan Pcngawasan Pcmanfaalan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

industri, dan juga keselamatan publik memerlukan kesamaan persepsi dan visi agar

terwujud adanya koordinasi dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, dan sinergitas

banyak pihak, mulai dari pemerintah dan DPR, pihak yudikatif, profesional, ilmuwan,

pengusaha & pekerja maupun komponen "civil society" lain.

DAFTAR PUSTAKA

1). Ridley, J., "Safety at Work", 4th Edition, Butterworth Heineman, Oxford, 1994.

2). Goetsch, D. L., "Occupational Safety and Health-In the Age of High

Technology", Second Edition, Prentice Hall, New Jersey, 1996.

3). Rasmussen, J., " Sahlin, N.E., and B. Brehmer (Eds.): Future Risks and Risk

Management.", Dordrecht: Kluwer, In press, 1993.

4). Juengprasert, W., et aI., "Academic Institution as a Resource for Occupational

Health in Thailand", Asia Pacific Newsletter on Occupational Health and Safety,

Vol. 9, No.2, July, 2002.

5). Daradjatun, A., "Setiap hari 25 orang tewas di jalan ", Harian KOMP AS, Rabu,

30 Juli 2003, hal. 17.

6). Ishak, S., "Dewan Transportasi Kota Perlu Dihidupkan Lagi", Harian KOMPAS,

tgl. 6 September 2003, halaman 18.

7). Hidayat, K. dan Siregar, S., "Manajemen Keselamatan KA Masih Lemah ", Harian

KOMPAS, 18 Juni 2003.

8). Ridwan, M., "Mengapa Pemanfaatan Tenaga Nuklir Perlu Diawasi ", Seminar

Keselamatan dan Keamanan Nuklir, Jakarta, 2001.

9). Pigford, T.H., "The Management of Nuclear Safety Lessons Learned from the

Acccident at TMf' in "Nuclear Engineering for An Uncertainty Future," edited by

Oshima, K., et aI., University of Tokyo Press, Tokyo, 1981.

10). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang "Sistem

Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi. "

11). Kartodirjo, S., "Ideologi dan Teknologi", Pabelan Jayakarta, Jakarta, 1999.

12). Nicholson, 1., "Comparing the sizes of WTC floor area and aircraft", IN FLASH,

NFP A Journal, September/October 2002

131

Page 22: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

13). IAEA, "Draft Safety Guide: Recruitment, Qualification and Training of Personnel

for Nuclear Power Plants ", Vienna, 2001

14). Undang-Undang Republik Indonesia No. 10/1997 Tentang Ketenaganukliran

15). Pamflet Kebijakan DIRJEN BATAN Dalam Bidang Keselamatan, Jakarta, 1999.

16). Draft Buku Induk Jaminan Mutu BAT AN, Revisi-l tahun 2003

17). Poerwanto, H., "Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi",

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

18). Joyosukarto, P., "Manajemen Kualitas Sebagai Agama Globalisasi", Dokemen

Pribadi, 1999.

19). International Organization for Standardization, "ISO 9000 Quality Management

Principles: Transition to the ISO 9000:2000 Series ", 2003.

20). Geller, Scott, "Seven Principles of System Thinking",

www.safetyperformance.com. Maret, 2003.

21). Walker, J.R., "Exploring Power Technology", The Goodheart-Willcox Co, Inc.,

Illinois, 1976.

22). Imai, M., "Kaizen, The Key to Japan's Competitive Success ", The Kaizen

Institute, Ltd., New York, 1991.

23). Pershagen, B., "Light Water Reactor Safety", Pergamon Press pIc, Oxford, 1989.

24). US NRC, "Regulation of Advanced Nuclear Power Plants", Statement of Policy,

Illinois, 1986.

25). Joyosukarto, P., "Pengembangan Teori Ketidakpastian Aliran ", Seminar

Keselamatan Nuklir 1- BAPETEN, Hotel Sari Pan Pasifik, Jakarta, 2001.

26). IAEA, "Nuclear Power Plants Personnel Training and Its Evaluation ", Vienna,

1996.

27). Jablonski, J.R., "Implementing Total Quality Management", Business

Information Press, Kuala Lumpur, 1995.

28). Montgomery, D.C., "Introduction to Statistical Process Control ", John Wiley &

Sons, Inc., New York, 1996.

29). Voehl, F. et. aI, "ISO 9000: An Implementation Guide for Small to Mid-Sized

Business", S.S. Mubaruk & Brothers Pte Ltd, Singapura, 1995.

30). Sayre, D. "INSIDE ISO 14000: The Competitive Advantage of Environmental

Management", Vanity Books International, New Delhi, 1997.

132

Page 23: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

31). Eveleens, W., "A Basic Ergonomic Standard-How to Provide Optimal Working

Conditions for Personnel", ISO Bulletin, Vienna, July 2003.

32). Joyosukarto, P., "Aspek Sikap Mental Personil Dalam Keselamatan Produksi",

Seminar Teknologi dan Keselamatan PLTN dan Fasilitas Nuklir IX, Universitas

TRISAKTI, Oktober 2002.

33). Miller, V.A., "The Guidebook for International Training in Business and Industry,

as for Training and Development", Madison, 1979.

34). Antlor, H., "Orde Baru Adopsi Kebudayaan Jawa Beku", KOMPAS, Edisi 21

Pebruari 2002

35). Umstot, D. D., "Understanding Organizational Behaviour-Concepts and

Application ", West Publishing Company, New York, 1984.

36). Merry, U. and Allerhand, M.E., " Developing Teams and Organizatins A

Practical Handbook for Managers and Consultants", Addison Wesley Pub.

Company, Menlo Park, California, 1977.

37). Hiam, A., and Schewe, C. D., "The Portable MBA in Marketing", John Wiley &Sons, 1993.

38). Putra,D., "HAMMenurutAlquran", PenerbitPT Al HusnaZikra, Jakarta, 1995.

39). "Apakah Nilai-nilai Sedang Merosot", SEDARLAH: Majalah Tengah-bulanan

versi Indonesia dari Majalah A WAKE, New York, 2003

40). Joyosukarto, P., "Menyelaraskan Kepentingan Pribadi Dengan Kepentingan

Publik", Dokumen Pribadi, Jakarta, 2002.

41). Hannah, L.S., and Michelis, J.V., "A Comprehensive Framework for

Instructional Objectives-A Guide to Systematic Planning and Evaluation ",

Addison Wesley Pub. Company, Massachusetts, 1977

42). Joyosukarto P, "KULEKOM-Sebuah Metode Kuantitatif Untuk Pelatihan Sikap

Mental Personil ", Dokumen Pribadi, Jakarta, 2002.

43). Mcgregor, D., "The Human Side of Enterprise ", McGraw-Hill Book Company,

New York, 1960.

44). Sanders, M.S., Mccormick, E.J., "Human Factor in Engineering and Design ",

McGRAW-HILL, INC., New York, 1993.

45). "Bus Lorena Terbalik di Jalan Tol Jakarta Cikampek, Dua Tewas ", KOMP AS,

Senin, 2 Juni 2003, Halaman 1.

133

Page 24: Priyanto M Joyosukarto

Seminar Tahunan Pengawasan Pemantaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

46). Diskusi Pribadi dengan Prof. Koesparmono Irsan, S.I.K., S.H. (Irjen Pol (P),

Ketua Dewan Penasehat Lembaga INDUS) , Bekasi, 31 Mei 2003.

47). Joyosukarto, P., "Pembinaan Mental Karate ", Materi Pelatihan Black Belt

Course 2003, IKO Kyokushinkaikan Indonesia, Lembah Pinus, Ciloto, 12-13 Juli,

2003.

48). Diskusi Pribadi dengan seorang Karyawan PT. HITACHI INDONESIA, Bekasi,

14 Juni 2003.

DISKUSI

Pertanyaan (Gloria Dolloressa, DPZRR - BAPETEN)

Dalam makalah bahwa faktor manusia merupakan salah satu unsur keselamatan yang

paling menentukan, juga menyebutkan bahwa penyebab kecelakaan adalah karena

faktor manusia (human error). Sejauh mana peran serta INDUS dalam tindakan nyata

dalam mencegah human error tersebut?

Jawaban (Priyanto M Djoyosukarto)

~ Dari berbagai penelitian presentase humman error sebagai penyebab kecelakaan

berkisar antara 80 - 90 %

~ INDUS bermaksud mempromosikan keselamatan industri dalam rangka

menyelamatkan produktifitas

~ Istilah promosi dapat dijabarkan menjadi, setidaknya 20 jenis kegiatan : studi,

advokasi, seminar, konsultasi, training, standarisasi dan lain-lain, yang dapat

dikelompokkan kedalam 3 aspek : ilmiah, bisnis dan sosial. Semuanya dimaksudkan

untuk membantu menyelesaikan persoalan keselamatan industri secara inter

disipliner - sistemik dan kolistik.

134