prinsip rs
-
Upload
arul-m-yamani -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
description
Transcript of prinsip rs
TUGAS AKHIR
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KONSENTRASI
HUKUM KESEHATAN
MATA KULIAH : HUKUM BADAN USAHA RUMAH SAKIT.(ORGANISASI
RUMAH SAKIT) ORGANISASI DAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT
DOSEN : DR. H IMAN HILMAN, dr.Sp Rad, MPH
I. PRINSIP PRINSIP ORGANISASI DAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT.
Rumah Sakit adalah sebuah lembaga atau organisasi yang
memiliki karakteristik khas, yaitu padat karya, padat modal, padat
teknologi, dan padat profesi. Secara historis rumah sakit sebagai
institusi/lembaga, pada maulanya didirikan dengan latar belakan tugas
keagaamaan atau yang berkaitan dengan pemberian layanan
kesehatan yang berbasis pada nilai nilai kemanusiaan sesuai dengan
kaidah kaidah ideologi tertentu (agama). Olehnya itu ruma sakit dalam
memberikan pelayanan semata mata untuk tujuan social kemanusiaan
sesuai dengan perintah agama. Sejarah pendirian rumah sakit pertama
diindonesia dimulai sejak tahun 1626 oleh VOC yang pendiriannya
ditujukan untuk melayani para tentara belanda dan keluarganya yang
sakit secara gratis.1 Namun pada masa itu tidak menutup kemungkinan
juka ada masyarakt yang membutuhkan pertolongan, kepada merek
JUG diberikan pelayanan kesehatan gratis. Sikap karitatif ini kemudian
berlanjut dengan didirikannya rumah sakit oleh kelompok agama yang
kemudian memberikan kesan mendalam bagi masyarakat bahwa
pelayanan kesehatan dirumah sakit adalah gratis. Pelayanan
kesehatan di rumah sakit pada saat ini, kenyataannya tidak sama
dengan masa lalu. Sesuai dengan perkembangannya pada saat ini
pelayanan kesehatan di rumah sakit banyak mengalami perubahan.
Antoni giddens seperti yang dikutip sudarmono, dikatakan bahwa :
“ Pelayanan Kesehatan Di Indonesia telah bergeser dari public goods menjadi private goods sehingga pemenuhan kepuasan pasien semakin lama semakin kompleks dan semua rumah sakit bersaing untuk menarik pasien “ 2
1 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, PT Keni Media,Bandung 2012, Hlm 6 2 Soedarmono,et, al, Reformasi Perumahsakitan Indonesia, Bagian Parogram danPenyusuan
Laporan (Ditjen Yanmed Depkes RI -WHO),Jakarta, 2012
Kartono Mohammad menyatakan bahwa penyelenggaraan
rumah sakit diera modern tidak sederhana seperti dulu lagi.
Kebutuhan untuk mengelola rumah sakit dengan prinsip bisnis tidak
dapat dielakan. 3 Rumah Sakit dalam perkembagannya berfungsi untuk
mempertemukan 2 (dua) tugas yang prinsipil yang membedakan
dengan organ atau lembaga lain yang melakukan kegiatan pelayanan
jasa diantaranya :
a. Rumah sakit merupakan organ yang mempertemukan tugas
yang didasari oleh dalil dalil etik medic karena merupakan
tempat bekerjanya para professional penyandang lafal sumpah
medic yang diikan dalil dalil hipocrates dalam melakukan tugas
profesionalnya.
b. Dari segi hokum rumah sakit bertindak sebagai organ yang
bergerak dalam hubungan hubungan hokum dengan
masyarakat yang tunduk pada nirma hokum dan norma etik
masyarakat.4
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam kode etik rumah
sakit Indinesia Tahun 2001 (Kodersi) ditegaskan bahwa rumah sakit
sebagai sarana pelayanan kesehatan merupakan unit sosio ekonomi,
yang harus mengutamakan tugas kemanusiaan dan mendahulukan
fungsi sosialnya dan bukan mencari keuntungan semata. Sebagai unit
sosio ekonomi maka rumah sakti harus memiliki nilai nilai dasar rumah
sakit.
Di dalam organisasi atau manajemen Rumah Sakit terdapat 3
unsur kekuasaan atau pilar utama yang saling menunjang dalam
operasional Rumah Sakit 5 yaitu :
1. Pemilik / Governing Board
2. Pengelola
3. Pemberi pelayanan
Ketiga pilar utama tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi
serta tanggung jawab yang berbeda akan tetapi semua harus
bersinergis dengan baik sehingga mencapai tujuan yang sama dalam
menjalankan misi dari Rumah Sakit. Untuk dapat mengatur pembagian
tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing
3 Endang wahyati yustina, ,Op Cit, Hlm 74 endang wahyati yustina, Op Cit, Hlm 85 Pasal 6 Ayat 3 Petunjuk Pelaksanaan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.
secara proporsional dan profesional yang disebut sebagai Statuta
Rumah Sakit atau Hospital By-Laws. ketiga pilar tersebut perlu diatur
hubungan di antara ketiganya agar Rumah Sakit dalam memberikan
pelayanan kesehatan dapat berjalan aman dan bermutu. Ketiga pilar
utama tersebut harus bekerja sama secara integratif, saling
mendukung, tidak saling mempengaruhi dan tidak saling menguasai.
Yang secara jelas membedakan organisasi Rumah Sakit dengan
organisasi perusahaan lainnya selain Rumah Sakit adalah pada
organisasi perusahaan umumnya hanya memiliki 2 kekuasaan yaitu
pemilik dan pengelola sedangkan pada organisasi Rumah Sakit terdiri
dari 3 pilar kekuasaan yaitu pemilik, pengelola, dan pemberi pelayanan
(komite medik), sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya 3
pilar utama dalam organisasi Rumah Sakit merupakan ciri khas
organisasi Rumah Sakit yang membedakan dengan institusi atau
organisasi lain.
Terkait dengan batasan batasan rumah sakit dalam melakukan
promosi pemasaran ketentuan ini diatur dalam pasal 23 Kode Etik
Rumah Sakit yang menyatakan bahwa Rumah sakit dalam melakukan
promosi harus bersifat informatif, tidak komparatif, berpijak pada dasar
yang nyata, tidak berlebihan, dan berdasarkan Kode Etik Rumah Sakit
Indonesia.
Jika dicermati dari unsur unsur pasal tersebut diatas informative
berarti memberi informasi yang bersifat menerangkan hal hal yang
edukatif, yang dapat memberi efek stimulatif pada masyarakat dengan
pendekatan yang persuafif/sosial. Tidak komparatif berarti tidak
bersifat membandingkan tentang kinerja institusi pelayanan kesehatan,
berpijak pada dasar yang nyata artinya menyampaikan informasi
berdasarkan kondisi realitas yang ada, dan tetap berpegang teguh
pada kode etik rumah sakit yang berlaku.
II. RUMAH SAKIT SEBAGAI UNIT SOSIO EKONOMI
Rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Terkait kasus rumah sakit yang
akhir akhir ini sering diberitakan menolak pasien jika diliha dalam
ketentuan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit yang menyatakan dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan
kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal
yang sama juga diatur dalam Pasal 85 undang undang kesehatan
nomor 36 tahun 2009.
Kedua pasal di atas jelas kiranya kita ketahui bahwa fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang
menolak pasien dalam keadaan darurat dan dalam hal bencana.
mengenai keterbatasan alat medis sebagai alasan sebuah rumah sakit
menolak pasiennya tidak diatur dalam UU Kesehatan.
mengenai ketersediaan alat medis, pada dasarnya, rumah sakit
harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber
daya manusia, kefarmasian, dan peralatan, demikian yang disebut
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit. adapun persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) meliputi peralatan medis dan nonmedis harus
memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan,
keselamatan dan laik pakai (Pasal 16 ayat (1) UU Rumah Sakit).
Yang dimaksud dengan peralatan medis berdasarkan
penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU Rumah Sakit adalah peralatan yang
digunakan untuk keperluan diagnosa, terapi, rehabilitasi dan penelitian
medik baik secara langsung maupun tidak langsung. yang dimaksud
dengan peralatan nonmedis adalah peralatan yang digunakan untuk
mendukung keperluan tindakan medis. yang dimaksud dengan standar
peralatan medis disesuaikan dengan standar yang mengikuti standar
industri peralatan medik.
Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan (termasuk
persyaratan tersedianya peralatan medis) yang dimaksud dalam Pasal
7 dan Pasal 16, maka berdasarkan Pasal 17 UU Rumah Sakit, rumah
sakit tersebut tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak
diperpanjang izin operasionalnya.
Lalu, jika memang rumah sakit harus terpaksa menolak pasien
karena tidak tersedianya peralatan medis, bagaimana tanggung jawab
rumah sakit terkait penolakan tersebut? Hal ini berkaitan dengan
jejaring dan sistem rujukan yang diatur dalam Bagian Keempat Bab IX
UU Rumah Sakit tentang Penyelenggaraan. Yang dimaksud jejaring
termasuk juga penyediaan alat sebagaimana disebut dalam Pasal 41
Undang undang nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Sedangkan yang dimaksud dengan sistem rujukan adalah
penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan
tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal,
maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau
masalah penyakit atau permasalahan kesehatan (Pasal 42 ayat (1) UU
Rumah Sakit).
Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 42 ayat (2) UU Rumah Sakit
bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang
memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. Ini
artinya, jika memang suatu rumah sakit terpaksa menolak pasien
karena tidak tersedianya peralatan medis, maka rumah sakit yang
bersangkutan wajib merujuk rumah sakit lain yang tergabung dalam
sistem rujukannya dan memiliki peralatan medis lebih lengkap, agar
pasien tersebut memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukannya.
Selanjutnya tentang pengelolaan Rumah Sakit berdasarkan
Pasal 20 undang undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
dari aspek pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah
sakit publik dan rumah sakit privat.
Pebedaan antara rumah sakit public dan pirvat adalah rumah
sakit public dalam penyelenggaraannya tidak mengutamakan mengejar
keuntungan tetapi lebih mengedepankan fungsi sosio ekonominya.
Selain itu rumah sakit public lebih banyak dikelola oleh Pemerintah
disbanding swasta. Hal ini dikarenakan salah satu tanggung jawab
Pemerintah adalah menyediakan fasilitas kesehatan dengan segala
system pelayanannya. Berbeda dengan rumah sakit public, rumah
sakit privat cenderung dalam penyelenggaraannya mengutamakan
mengejar keuntungan karna rumah sakit privat umumnya
diselenggarakan oleh badan hokum yang berupa perseroan terbatas
yang di dalamnya didominasi dengan para pemegang saham yang
memiliki kepentingan profit oriented sehingga dalam
penyelenggaraannya rumah sakit privat umumnya memiliki fasilitas
dan sarana yang memadai, serba modern, mengedepankan
profesionalitas dalam pengelolaanya serta penerapan kost/biaya
perawatan yang tinggi. Yang memberikan kesamaan dari rumah sakit
public dan privat adalah karakter organisasi rumah sakit yang
meskipun berbeda dalam orientasinya tetapi terdapat kesamaan yakni
padat modal,padat profesi, padat karya, padat teknologi serta padat
kepentingan.
III. TENTANG MALPRAKTEK
Secara umum malpraktek menurut Black’s dictionary adalah
setiap tindakan yang salah,kekurangan ketrampilan dalam ukuran
tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya diasosiasikan dengan
profesi medis, pengacara dan akuntan.6 Sedangkan malpraktek medis
adalah suatu tindakan yang bersifat tak pedulian, kelalaian, atau
kekurangan ketrampilan atau kehati hatian didalam melaksanakan
kewajiban profesionalitasnya, tindakan yang disengaja atau praktek
yang bersifat tidak etis.
Unsur unsur malpraktek Oleh Taylor membuktikan adanya
kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D7 yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan
dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak
berdasarkan
1. Adanya indikasi medis
2. Bertindak secara hati-hati dan teliti
3. Bekerja sesuai standar profesi
4. Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan
asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga
perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan
haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita
oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan
sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
6 J Guwandi, SH. Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta 2010 hlm,237 Mohammad Hatta, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Liberti Yogyakarta 2013,Hlm 23
jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar
menyalahkan tenaga perawatan.
Hal hal yang dapat membebaskan dokter atau tenaga medis
dari tuntutan hukum adalah ketika pasien ataupun keluarga secara
sengaja terbukti mengabaikan atau tidak mengikuti anjuran dokter
dalam menerima pengobatan atau perawatan. Selain itu dokter dapat
dibebaskan dari tuntutan hokum berdasarkan doktrin foreseeability
yaitu situasi dan kondisi yang tidak dapat diibayangkan sebeleumnya8.
Kemudian dalam kasus dugaan telah terjadinya malpraktek
medis dasar hokum yang digunakan sebagai tuntutan dipengadilan
harus berdasarkan Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur
bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang
khusus itulah yang diterapkan.
Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan (validitas)
aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang
masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana
yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP terkandung
asas Lex specialis derogat legi generalis yang merupakan suatu asas
hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus
(specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general).
Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis, aturan yang
bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika
telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut
sebagai hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk
diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.
Sebagai kesimpulannya dasar hokum yang dipakai dalam
proses penuntutan kasus dugaan malpraktek adalah Perundang
Undangan yang berlaku dibidang kesehatan.
IV. Telaah Kasus Dugaan Malpraktek di Indramayu.
a. Apakah Peristiwa patahnya bor saat operasi bisa digolongkan
sebagai tindakan malpraktek ?
Dalam undang undang nomor 6 tahun 1963 tentang
Kesehatan (undang undang kesehatan yang pertama
diindonesia) dalam pasal 11 ayat 1 menyatakan dengan
tidak mengurangi ketentuan ketentuan dalam KUHP
8 Amir Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika,Jakarta 1997.
Pidana,dan peraturan perundang undangan lain, maka
terhadap tenaga kesehatan baik mengingat sumpah
jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga
kesehatan dapat dilakukan tindakan tindakan
administrasi dalam hal sebagai berikut :
1. Melalaikan kewajiban
2. Melakukan sesuatu hal yang seharusnya
tidak bileh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan baik mengingat sumpah
jabatanya maupun mengingat sumpah
sebagai tenaga kesehatan,
3. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau
berdasarkan undang undang ini
Kemudian dalam sebuah yurisprudensi menyatakan
bahwa apabila dalam sebuah operasi/tindakan medis
yang jenis tindakan gawat darurat maka tertinggalnya
benda asing di dalam tubuh pasien tidak bisa
dikategorikan sebagai tindakan malpraktek tetapi bisa
dianggap sebagai kecelakaan (cooper v Nevill,1961).9
Dari kedua literature diatas jika dikaitkan dengan kasus ini maka
tindakan dokter ERC Sp B bisa dikategorikan sebagai tindakan malpraktek.
Selain ketidak hati-hatian dalam tindakannya jenis tindakan medis tersbut
merupakan tindakan elektif yang seharusnya memberikan waktu yang cukup
bagi dokter dan team mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
tindakan operasi.
b. Hal hal yang meringankan bagi sang dokter adalah pemberian
informasi yang adekuat terhadap apa yang diderita saat itu dan
tindakan yang terbaik yang harus dilakukan beserta resiko yang
akan dialami apabila hanya ditangani oleh dokter spesialis
bedah umum. Dan hal yang memberatkan/melemahkan bagi
dokter adalah kelalaian dalam memberi tindakan baik pra
operasi maupun disaat operasi.
c. Hal hal yang melemahkan argument hokum pasien adalah
pasien menolak mengikuti semua anjuran dokter terkait penyakit
atau cidera yang dideritanya.
9 J Guwandi, Op Cit, Hlm 63
d. Factor factor penting sebagai bahan pertimbangan hokum bagi
majelis adalah :
Terpenuhi atau tidak unsur kealpaan (pasal 360
KUHPidana) melalui suatu mekanisme
pembuktian yang berdasarkan asas asas hokum
maupun doktrin doktrin dalam ilmu kedokteran
sehingga dalam memutuskan perkara dapat
memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak.
e. Majelis hakim sebelum mengambil keputusan terkait kasus
hokum malpraktek hendaknya secara cermat memperhatikan
semua keterangan dari berbagai pihak baik terdakwa, saksi,
saksi ahli ataupun alat bukti yang bagi hakim memiliki kredibiltas
sehingga dalam memberikan putusan dapat memberikan ras
keadilan bagi semua pihak
f. Semua elemen bangsa mempunyai tanggung jawab moril dalam
membenahi segala kekurangan dalam peyelenggaraan
pemerintahan melalui perannya masing masing dengan tetap
pada jalur/mekanisme yang sudah diatur dengan tetap
menjunjung tinggi nilai nilai moral,etika dan hokum yang berlaku
dimasyarakat kita.