prinsip rs

13
TUGAS AKHIR PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KONSENTRASI HUKUM KESEHATAN MATA KULIAH : HUKUM BADAN USAHA RUMAH SAKIT.(ORGANISASI RUMAH SAKIT) ORGANISASI DAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT DOSEN : DR. H IMAN HILMAN, dr.Sp Rad, MPH I. PRINSIP PRINSIP ORGANISASI DAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT. Rumah Sakit adalah sebuah lembaga atau organisasi yang memiliki karakteristik khas, yaitu padat karya, padat modal, padat teknologi, dan padat profesi. Secara historis rumah sakit sebagai institusi/lembaga, pada maulanya didirikan dengan latar belakan tugas keagaamaan atau yang berkaitan dengan pemberian layanan kesehatan yang berbasis pada nilai nilai kemanusiaan sesuai dengan kaidah kaidah ideologi tertentu (agama). Olehnya itu ruma sakit dalam memberikan pelayanan semata mata untuk tujuan social kemanusiaan sesuai dengan perintah agama. Sejarah pendirian rumah sakit pertama diindonesia dimulai sejak tahun 1626 oleh VOC yang pendiriannya ditujukan untuk melayani para tentara belanda dan keluarganya yang sakit secara gratis. 1 Namun pada masa itu tidak menutup kemungkinan juka ada masyarakt yang membutuhkan pertolongan, kepada merek JUG diberikan pelayanan kesehatan gratis. Sikap karitatif ini kemudian berlanjut dengan didirikannya rumah sakit oleh kelompok agama yang 1 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, PT Keni Media,Bandung 2012, Hlm 6

description

socio ekonomi

Transcript of prinsip rs

Page 1: prinsip rs

TUGAS AKHIR

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KONSENTRASI

HUKUM KESEHATAN

MATA KULIAH : HUKUM BADAN USAHA RUMAH SAKIT.(ORGANISASI

RUMAH SAKIT) ORGANISASI DAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT

DOSEN : DR. H IMAN HILMAN, dr.Sp Rad, MPH

I. PRINSIP PRINSIP ORGANISASI DAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT.

Rumah Sakit adalah sebuah lembaga atau organisasi yang

memiliki karakteristik khas, yaitu padat karya, padat modal, padat

teknologi, dan padat profesi. Secara historis rumah sakit sebagai

institusi/lembaga, pada maulanya didirikan dengan latar belakan tugas

keagaamaan atau yang berkaitan dengan pemberian layanan

kesehatan yang berbasis pada nilai nilai kemanusiaan sesuai dengan

kaidah kaidah ideologi tertentu (agama). Olehnya itu ruma sakit dalam

memberikan pelayanan semata mata untuk tujuan social kemanusiaan

sesuai dengan perintah agama. Sejarah pendirian rumah sakit pertama

diindonesia dimulai sejak tahun 1626 oleh VOC yang pendiriannya

ditujukan untuk melayani para tentara belanda dan keluarganya yang

sakit secara gratis.1 Namun pada masa itu tidak menutup kemungkinan

juka ada masyarakt yang membutuhkan pertolongan, kepada merek

JUG diberikan pelayanan kesehatan gratis. Sikap karitatif ini kemudian

berlanjut dengan didirikannya rumah sakit oleh kelompok agama yang

kemudian memberikan kesan mendalam bagi masyarakat bahwa

pelayanan kesehatan dirumah sakit adalah gratis. Pelayanan

kesehatan di rumah sakit pada saat ini, kenyataannya tidak sama

dengan masa lalu. Sesuai dengan perkembangannya pada saat ini

pelayanan kesehatan di rumah sakit banyak mengalami perubahan.

Antoni giddens seperti yang dikutip sudarmono, dikatakan bahwa :

“ Pelayanan Kesehatan Di Indonesia telah bergeser dari public goods menjadi private goods sehingga pemenuhan kepuasan pasien semakin lama semakin kompleks dan semua rumah sakit bersaing untuk menarik pasien “ 2

1 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, PT Keni Media,Bandung 2012, Hlm 6 2 Soedarmono,et, al, Reformasi Perumahsakitan Indonesia, Bagian Parogram danPenyusuan

Laporan (Ditjen Yanmed Depkes RI -WHO),Jakarta, 2012

Page 2: prinsip rs

Kartono Mohammad menyatakan bahwa penyelenggaraan

rumah sakit diera modern tidak sederhana seperti dulu lagi.

Kebutuhan untuk mengelola rumah sakit dengan prinsip bisnis tidak

dapat dielakan. 3 Rumah Sakit dalam perkembagannya berfungsi untuk

mempertemukan 2 (dua) tugas yang prinsipil yang membedakan

dengan organ atau lembaga lain yang melakukan kegiatan pelayanan

jasa diantaranya :

a. Rumah sakit merupakan organ yang mempertemukan tugas

yang didasari oleh dalil dalil etik medic karena merupakan

tempat bekerjanya para professional penyandang lafal sumpah

medic yang diikan dalil dalil hipocrates dalam melakukan tugas

profesionalnya.

b. Dari segi hokum rumah sakit bertindak sebagai organ yang

bergerak dalam hubungan hubungan hokum dengan

masyarakat yang tunduk pada nirma hokum dan norma etik

masyarakat.4

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam kode etik rumah

sakit Indinesia Tahun 2001 (Kodersi) ditegaskan bahwa rumah sakit

sebagai sarana pelayanan kesehatan merupakan unit sosio ekonomi,

yang harus mengutamakan tugas kemanusiaan dan mendahulukan

fungsi sosialnya dan bukan mencari keuntungan semata. Sebagai unit

sosio ekonomi maka rumah sakti harus memiliki nilai nilai dasar rumah

sakit.

Di dalam organisasi atau manajemen Rumah Sakit terdapat 3

unsur kekuasaan atau pilar utama yang saling menunjang dalam

operasional Rumah Sakit 5 yaitu :

1. Pemilik / Governing Board

2. Pengelola

3. Pemberi pelayanan

Ketiga pilar utama tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi

serta tanggung jawab yang berbeda akan tetapi semua harus

bersinergis dengan baik sehingga mencapai tujuan yang sama dalam

menjalankan misi dari Rumah Sakit. Untuk dapat mengatur pembagian

tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing

3 Endang wahyati yustina, ,Op Cit, Hlm 74 endang wahyati yustina, Op Cit, Hlm 85 Pasal 6 Ayat 3 Petunjuk Pelaksanaan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.

Page 3: prinsip rs

secara proporsional dan profesional yang disebut sebagai Statuta

Rumah Sakit atau Hospital By-Laws. ketiga pilar tersebut perlu diatur

hubungan di antara ketiganya agar Rumah Sakit dalam memberikan

pelayanan kesehatan dapat berjalan aman dan bermutu. Ketiga pilar

utama tersebut harus bekerja sama secara integratif, saling

mendukung, tidak saling mempengaruhi dan tidak saling menguasai.

Yang secara jelas membedakan organisasi Rumah Sakit dengan

organisasi perusahaan lainnya selain Rumah Sakit adalah pada

organisasi perusahaan umumnya hanya memiliki 2 kekuasaan yaitu

pemilik dan pengelola sedangkan pada organisasi Rumah Sakit terdiri

dari 3 pilar kekuasaan yaitu pemilik, pengelola, dan pemberi pelayanan

(komite medik), sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya 3

pilar utama dalam organisasi Rumah Sakit merupakan ciri khas

organisasi Rumah Sakit yang membedakan dengan institusi atau

organisasi lain.

Terkait dengan batasan batasan rumah sakit dalam melakukan

promosi pemasaran ketentuan ini diatur dalam pasal 23 Kode Etik

Rumah Sakit yang menyatakan bahwa Rumah sakit dalam melakukan

promosi harus bersifat informatif, tidak komparatif, berpijak pada dasar

yang nyata, tidak berlebihan, dan berdasarkan Kode Etik Rumah Sakit

Indonesia.

Jika dicermati dari unsur unsur pasal tersebut diatas informative

berarti memberi informasi yang bersifat menerangkan hal hal yang

edukatif, yang dapat memberi efek stimulatif pada masyarakat dengan

pendekatan yang persuafif/sosial. Tidak komparatif berarti tidak

bersifat membandingkan tentang kinerja institusi pelayanan kesehatan,

berpijak pada dasar yang nyata artinya menyampaikan informasi

berdasarkan kondisi realitas yang ada, dan tetap berpegang teguh

pada kode etik rumah sakit yang berlaku.

II. RUMAH SAKIT SEBAGAI UNIT SOSIO EKONOMI

Rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk

memperoleh pelayanan kesehatan. Terkait kasus rumah sakit yang

akhir akhir ini sering diberitakan menolak pasien jika diliha dalam

ketentuan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit yang menyatakan dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan

kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien

dan/atau meminta uang muka. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 ayat

Page 4: prinsip rs

(2) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal

yang sama juga diatur dalam Pasal 85 undang undang kesehatan

nomor 36 tahun 2009.

Kedua pasal di atas jelas kiranya kita ketahui bahwa fasilitas

pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang

menolak pasien dalam keadaan darurat dan dalam hal bencana.

mengenai keterbatasan alat medis sebagai alasan sebuah rumah sakit

menolak pasiennya tidak diatur dalam UU Kesehatan.

mengenai ketersediaan alat medis, pada dasarnya, rumah sakit

harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber

daya manusia, kefarmasian, dan peralatan, demikian yang disebut

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit. adapun persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) meliputi peralatan medis dan nonmedis harus

memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan,

keselamatan dan laik pakai (Pasal 16 ayat (1) UU Rumah Sakit).

Yang dimaksud dengan peralatan medis berdasarkan

penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU Rumah Sakit adalah peralatan yang

digunakan untuk keperluan diagnosa, terapi, rehabilitasi dan penelitian

medik baik secara langsung maupun tidak langsung. yang dimaksud

dengan peralatan nonmedis adalah peralatan yang digunakan untuk

mendukung keperluan tindakan medis. yang dimaksud dengan standar

peralatan medis disesuaikan dengan standar yang mengikuti standar

industri peralatan medik.

Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan (termasuk

persyaratan tersedianya peralatan medis) yang dimaksud dalam Pasal

7 dan Pasal 16, maka berdasarkan Pasal 17 UU Rumah Sakit, rumah

sakit tersebut tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak

diperpanjang izin operasionalnya.

Lalu, jika memang rumah sakit harus terpaksa menolak pasien

karena tidak tersedianya peralatan medis, bagaimana tanggung jawab

rumah sakit terkait penolakan tersebut? Hal ini berkaitan dengan

jejaring dan sistem rujukan yang diatur dalam Bagian Keempat Bab IX

UU Rumah Sakit tentang Penyelenggaraan. Yang dimaksud jejaring

termasuk juga penyediaan alat sebagaimana disebut dalam Pasal 41

Undang undang nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Page 5: prinsip rs

Sedangkan yang dimaksud dengan sistem rujukan adalah

penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan

tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal,

maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau

masalah penyakit atau permasalahan kesehatan (Pasal 42 ayat (1) UU

Rumah Sakit).

Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 42 ayat (2) UU Rumah Sakit

bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang

memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. Ini

artinya, jika memang suatu rumah sakit terpaksa menolak pasien

karena tidak tersedianya peralatan medis, maka rumah sakit yang

bersangkutan wajib merujuk rumah sakit lain yang tergabung dalam

sistem rujukannya dan memiliki peralatan medis lebih lengkap, agar

pasien tersebut memperoleh pelayanan kesehatan yang

diperlukannya.

Selanjutnya tentang pengelolaan Rumah Sakit berdasarkan

Pasal 20 undang undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

dari aspek pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah

sakit publik dan rumah sakit privat.

Pebedaan antara rumah sakit public dan pirvat adalah rumah

sakit public dalam penyelenggaraannya tidak mengutamakan mengejar

keuntungan tetapi lebih mengedepankan fungsi sosio ekonominya.

Selain itu rumah sakit public lebih banyak dikelola oleh Pemerintah

disbanding swasta. Hal ini dikarenakan salah satu tanggung jawab

Pemerintah adalah menyediakan fasilitas kesehatan dengan segala

system pelayanannya. Berbeda dengan rumah sakit public, rumah

sakit privat cenderung dalam penyelenggaraannya mengutamakan

mengejar keuntungan karna rumah sakit privat umumnya

diselenggarakan oleh badan hokum yang berupa perseroan terbatas

yang di dalamnya didominasi dengan para pemegang saham yang

memiliki kepentingan profit oriented sehingga dalam

penyelenggaraannya rumah sakit privat umumnya memiliki fasilitas

dan sarana yang memadai, serba modern, mengedepankan

profesionalitas dalam pengelolaanya serta penerapan kost/biaya

perawatan yang tinggi. Yang memberikan kesamaan dari rumah sakit

public dan privat adalah karakter organisasi rumah sakit yang

meskipun berbeda dalam orientasinya tetapi terdapat kesamaan yakni

Page 6: prinsip rs

padat modal,padat profesi, padat karya, padat teknologi serta padat

kepentingan.

III. TENTANG MALPRAKTEK

Secara umum malpraktek menurut Black’s dictionary adalah

setiap tindakan yang salah,kekurangan ketrampilan dalam ukuran

tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya diasosiasikan dengan

profesi medis, pengacara dan akuntan.6 Sedangkan malpraktek medis

adalah suatu tindakan yang bersifat tak pedulian, kelalaian, atau

kekurangan ketrampilan atau kehati hatian didalam melaksanakan

kewajiban profesionalitasnya, tindakan yang disengaja atau praktek

yang bersifat tidak etis.

Unsur unsur malpraktek Oleh Taylor membuktikan adanya

kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D7 yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan

dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak

berdasarkan

1. Adanya indikasi medis

2. Bertindak secara hati-hati dan teliti

3. Bekerja sesuai standar profesi

4. Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga perawatan melakukan

asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang

seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya

dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga

perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan

haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara

penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita

oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan

sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan

6 J Guwandi, SH. Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta 2010 hlm,237 Mohammad Hatta, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Liberti Yogyakarta 2013,Hlm 23

Page 7: prinsip rs

jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar

menyalahkan tenaga perawatan.

Hal hal yang dapat membebaskan dokter atau tenaga medis

dari tuntutan hukum adalah ketika pasien ataupun keluarga secara

sengaja terbukti mengabaikan atau tidak mengikuti anjuran dokter

dalam menerima pengobatan atau perawatan. Selain itu dokter dapat

dibebaskan dari tuntutan hokum berdasarkan doktrin foreseeability

yaitu situasi dan kondisi yang tidak dapat diibayangkan sebeleumnya8.

Kemudian dalam kasus dugaan telah terjadinya malpraktek

medis dasar hokum yang digunakan sebagai tuntutan dipengadilan

harus berdasarkan Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur

bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang

umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang

khusus itulah yang diterapkan.

Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan (validitas)

aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang

masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana

yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP terkandung

asas Lex specialis derogat legi generalis yang merupakan suatu asas

hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus

(specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general).

Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis, aturan yang

bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika

telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut

sebagai hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk

diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.

Sebagai kesimpulannya dasar hokum yang dipakai dalam

proses penuntutan kasus dugaan malpraktek adalah Perundang

Undangan yang berlaku dibidang kesehatan.

IV. Telaah Kasus Dugaan Malpraktek di Indramayu.

a. Apakah Peristiwa patahnya bor saat operasi bisa digolongkan

sebagai tindakan malpraktek ?

Dalam undang undang nomor 6 tahun 1963 tentang

Kesehatan (undang undang kesehatan yang pertama

diindonesia) dalam pasal 11 ayat 1 menyatakan dengan

tidak mengurangi ketentuan ketentuan dalam KUHP

8 Amir Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika,Jakarta 1997.

Page 8: prinsip rs

Pidana,dan peraturan perundang undangan lain, maka

terhadap tenaga kesehatan baik mengingat sumpah

jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga

kesehatan dapat dilakukan tindakan tindakan

administrasi dalam hal sebagai berikut :

1. Melalaikan kewajiban

2. Melakukan sesuatu hal yang seharusnya

tidak bileh diperbuat oleh seorang tenaga

kesehatan baik mengingat sumpah

jabatanya maupun mengingat sumpah

sebagai tenaga kesehatan,

3. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau

berdasarkan undang undang ini

Kemudian dalam sebuah yurisprudensi menyatakan

bahwa apabila dalam sebuah operasi/tindakan medis

yang jenis tindakan gawat darurat maka tertinggalnya

benda asing di dalam tubuh pasien tidak bisa

dikategorikan sebagai tindakan malpraktek tetapi bisa

dianggap sebagai kecelakaan (cooper v Nevill,1961).9

Dari kedua literature diatas jika dikaitkan dengan kasus ini maka

tindakan dokter ERC Sp B bisa dikategorikan sebagai tindakan malpraktek.

Selain ketidak hati-hatian dalam tindakannya jenis tindakan medis tersbut

merupakan tindakan elektif yang seharusnya memberikan waktu yang cukup

bagi dokter dan team mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan

tindakan operasi.

b. Hal hal yang meringankan bagi sang dokter adalah pemberian

informasi yang adekuat terhadap apa yang diderita saat itu dan

tindakan yang terbaik yang harus dilakukan beserta resiko yang

akan dialami apabila hanya ditangani oleh dokter spesialis

bedah umum. Dan hal yang memberatkan/melemahkan bagi

dokter adalah kelalaian dalam memberi tindakan baik pra

operasi maupun disaat operasi.

c. Hal hal yang melemahkan argument hokum pasien adalah

pasien menolak mengikuti semua anjuran dokter terkait penyakit

atau cidera yang dideritanya.

9 J Guwandi, Op Cit, Hlm 63

Page 9: prinsip rs

d. Factor factor penting sebagai bahan pertimbangan hokum bagi

majelis adalah :

Terpenuhi atau tidak unsur kealpaan (pasal 360

KUHPidana) melalui suatu mekanisme

pembuktian yang berdasarkan asas asas hokum

maupun doktrin doktrin dalam ilmu kedokteran

sehingga dalam memutuskan perkara dapat

memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak.

e. Majelis hakim sebelum mengambil keputusan terkait kasus

hokum malpraktek hendaknya secara cermat memperhatikan

semua keterangan dari berbagai pihak baik terdakwa, saksi,

saksi ahli ataupun alat bukti yang bagi hakim memiliki kredibiltas

sehingga dalam memberikan putusan dapat memberikan ras

keadilan bagi semua pihak

f. Semua elemen bangsa mempunyai tanggung jawab moril dalam

membenahi segala kekurangan dalam peyelenggaraan

pemerintahan melalui perannya masing masing dengan tetap

pada jalur/mekanisme yang sudah diatur dengan tetap

menjunjung tinggi nilai nilai moral,etika dan hokum yang berlaku

dimasyarakat kita.