Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional I.
-
Upload
januar-abdul-razak -
Category
Documents
-
view
59 -
download
1
description
Transcript of Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional I.
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
A. Pendahuluan.
Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari
berupa hubungan Jual Beli, pengiriman dan penerimaan barang, produksi
barang dan jasa berdasarkan suatu Kontrak. Semua transaksi tersebut sarat
dengan potensi melahirkan sengketa. Umumnya sengketa-sengketa Dagang
kerap didahului oleh penyelesaian oleh Negosiasi. Jika cara penyelesaian ini
gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti
penyelesaian melalui Pengadilan atau Arbitrase.1
Praktek Perdagangan Internasional Potensial Menimbulkan Sengketa
Perdata Internasional dan Antisipasi Penyelesaiannya Penyerahan sengketa,
baik kepada Pengadilan maupun ke Arbitrase, kerap kali berdasarkan pada
suatu Perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah
dengan membuat suatu Perjanjian atau memasukkan suatu klausul
penyelesaian sengketa ke dalam Kontrak atau Perjanjian yang mereka buat,
baik ke Pengadilan atau ke Badan Arbitare. Pada umumnya di samping
menyepakati lembaga atau forum yang akan menyelesaikan sengketa, para
pihak perlu juga menyepakati Hukum apa yang akan diterapkan oleh Badan
Peradilan yang baru disepakati para pihak.
Dasar hukum bagi Forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan
menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut
diletakkan, baik pada waktu Kontrak ditandatangani atau setelah sengketa
timbul.
Hukum Common Law dikenal konsep “long arm jurisdiction”.
Dengan konsep ini, pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk
menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun antara
pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali. Demikian juga
dibandingkan dengan prinsip hukum di Indonesia bahwa badan peradilan
tidak boleh menolak setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun
hubungan antara Pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali.
1 Gerald Cooke, Disputes Resolution in International Trading, in Jonathan Reuvid (ed), The Straregic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1977, p. 193.
1
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Misalnya: badan peradilan di Amerika Serikat dan Inggris kerap kali selalu
menerima sengketa yang para pihak diserahkan ke hadapannya meskipun
hubungan atau keterkaitan sengketa dengan badan peradilan sangatlah kecil.
Pihak termohon memiliki usaha di Amerika atau dalam Kontrak tersebut
secara tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian
Amerika Serikat atau Hukum Inggris.2
Disamping Badan Peradilan atau Badan Arbitrase, para pihak dapat
pula menyerahkan sengketanya kepada cara Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute
Resolution) atau APS (Alternative Penyelesaian Sengketa). Pengaturan
alternatif di sini dapat berupa cara alternatif di samping Pengadilan. Bisa
juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif
penyelesaian sengketa yang para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif
penyelesaian melalui Pengadilan.
Biasanya dalam klausul tersebut dimasukkan atau dinyatakan pula Hukum
yang akan diterapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa.3
Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas lembaga atau forum
yang akan menyelesaikan sengketa, para pihak dalam Kontrak
Perdangangan Internasional dengan perumusan permasalahan dibawah ini.
B. PERUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan
Internasional ?
C. PRINSIP-PRINSIP PENYELESAIAN SENGKETA
2 Ibid, hlm 194.3 Adolf Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm 193.
2
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa.
Dalam Hukum Perdagangan Internasional, dapat dikemukakan di sini
prinsip-prinsip mengenai Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional.4
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus).
Prinsip Kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Prinsip inilah yang
menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses Penyelesaian
Sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses
Penyelesaian Sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini
sangat esensial, Badan-badan Peradilan (termasuk Arbitrase) harus
menghormati apa yang para pihak Sepakati. Termasuk dalam lingkup
pengertian kesepakatan ini adalah: a. Bahwa salah satu pihak atau kedua
belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak
lainnya. b. Bahwa perubahan atas Kesepakatan harus berasal dari
Kesepakatan kedua belah pihak artinya pengakhiran Kesepakatan atau revisi
terhadap muatan Kesepakatan harus pula berdasarkan pada Kesepakatan
kedua belah pihak.5
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa.
Prinsip penting kedua ini adalah prinsip di mana para pihak memiliki
Kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme
bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).
Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL. Model Law
on International Commercial Arbtration. Pasal ini memuat definisi
mengenai Perjanjian Arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke
suatu Badan Arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada
Arbitrase merupakan Kesepakatan atau Perjanjian para pihak artinya:
penyerahan suatu sengketa ke Badan Arbitrase haruslah berdasarkan pada
Kebebasan para pihak untuk memilihnya.
4 Cindawati, Asas Keseimbangan Hukum Kontrak Bisnis Internasional (Menyongsong Era Perdagangan Bebas 2020), Disertasi Doktor Ilmu Hukum Uupar , 2008, hlm 765 Cf,,,,,,,,,,,Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia.
3
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum.
Prinsip Kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa
yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan oleh Badan Peradilan
Arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk
menentukan Hukum ini termasuk Kebebasan untuk memilih Kepatutan dan
Kelayakan (ex aequo et bono). Prinsip ini adalah sumber di mana
pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan “prinsip-prinsip Keadilan,
Kepatutan atau Kelayakan suatu penyelesaian sengketa.
4. Prinsip Itikad baik (Good Faith).
Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan
paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan
sengketanya.
Dalam menyelesaikan sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap.
Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya
sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara
negara.
Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak
menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang
dikenal dalam Hukum (Perdagangan) Internasional yakni Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, Pengadilan atau cara-cara pilihan para
pihak lainnya. Dalam instrumen-instrumen Hukum Internasional, prinsip ini
jarang sekali ditemui. Hal ini mungkin disebabkan karena sulitnya patokan
yang dapat digunakan untuk megukur sesuatu pihak telah atau tidak
melaksanakan sesuatu perbuatan dengan itikad baik. Dalam Hukum
Nasional, prinsip ini antara lain tampak dalam Pasal 1330 KUH Perdata
dan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999
menyatakan : (1) “Sengketa atau beda pendapat Perdata dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan
4
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
pada itikad baik, dengan mengenyampingkan penyelesaian secara ligitasi di
Pengadilan Negeri.
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies,
prinsip ini sebenarnya lahir dari Hukum Kebiasaan Internasional.
Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi
Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan
khusus mengenai prinsip ini. Menurut prinsip ini, Hukum Kebiasan
Internasional menetapkan bahwa: sebelum para pihak mengajukan
sengketanya di Pengadilan Internasional. langkah-langkah penyelesaian
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh Hukum Nasional suatu negara
harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).
D. Forum Penyelesaian Sengketa
Forum Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Perdagangan
Internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam
Penyelesaian Sengketa Internasional pada umumnya. Forum tersebut adalah
Negosiasi, penyelidikan fakta-fakta (inquiry), Mediasi, Konsiliasi,
Arbitrase, Penyelesaian melalui Hukum atau Pengadilan, atau cara-
cara penyelesaian sengketa lainnya. yang dipilih dan disepakati para pihak.
Cara-cara sengketa di atas telah dikenal dalam berbagai negara dan Sistem
Hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dan
penyelesaian sengketa yang diakui dan Sistem Hukumnya. Misalnya,
Hukum Nasional RI yang dapat ditemukan dalam Pasal 6 UU Nomor 30
Thun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, negara
lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia.
Selanjutnya akan diuraikan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Pengadilan dan
Arbitrase sebagai berikut:
1. Negosiasi
5
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Negoisasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan
yang paling tua digunakan Penyelesaian melalui Negosiasi merupakan cara
yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh
Negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik. Alasan
utamanya adalah karena dengan cara ini para pihak dapat mengawasi
prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan
pada “Kesepakatan atau Konsensus para pihak”.
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan
sengketa adalah: pertama, ketika para pihak berkedudukan tidak
seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini,
salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya.
Kelemahan kedua adalah proses berlangsungnya Negosiasi acap kali
lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya
permasalahan-permasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu,
jarang sekali ada persyaratan penatapan batas waktu bagi para pihak untuk
menyelesaikan sengketanya melalui Negosiasi.
Kelemahan ketiga adalah ketika suatu pihak terlalu keras dengan
pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses Negosiasi ini
menjadi tidak produktif. Mengenai pelaksanaannya Negosiasi, prosedur-
prosedur yang terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut: 1.
Negosiasi digunakan ketika suatu sengketa belum lahir (disebut pada
sebagai konsultasi), 2. Negosiasi digunakan ketika suatu sengketa telah
lahir, prosedur Negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh
para pihak (dalam arti Negosiasi).
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak
ketiga tersebut bisa Individu (Pengusaha) atau Lembaga atau organisasi
profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses
Negosiasi. Biasanya ia, dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral,
berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian
sengketa. Usulan-usulan penyelesaian melalui Mediasi dibuat agak tidak
6
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
resmi (informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasi-informasi yang
diberikan oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya. Jika usulan tersebut
tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya
dengan membuat usulan-usulan baru. Oleh karena itu salah satu fungsi
utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian),
mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat
usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Seperti halnya dalam
negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam
proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Hal yang
penting adalah Kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara
Mediasi, menerima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan oleh
mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mediator. Menurut Gerald
Cooke menggambarkan kelebihan mediasi sebagai berikut:
“When mediation is successfully used, it generally provides a quick,
cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider
providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in
the contractual dispute resolution clause”
Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui
Mediasi ini tidaklah mengikat artinya, para pihak meski telah sepakat untuk
menyelesaikan sengketanya melalui Mediasi, namun mereka tidak wajib
atau harus menyelesaikan sengketanya melaui Mediasi.
Ketika para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui Mediasi,
mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu
penyelesaian melalui Hukum, yaitu Pengadilan atau Arbitrase.
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan Mediasi. Kedua cara ini
adalah melibatkan para pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya
secara damai. Konsialiasi dan Mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya
acap kali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada
7
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
perbedaan antara kedua istilah ini yaitu Monsialiasi lebih formal daripada
Mediasi.6
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atu suatu
badan yang disebut dengan badan atau Komisi Konsiliasi. Komisi Konsiliasi
bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk
menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para
pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.7
Persidangan suatu Komisi Konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap
yaitu tahap tertulis dan tahap lisan : pertama, sengketa yang diuraikan
secara tertulis diserahkan kepada Badan Konsiliasi. Kemudian badan ini
akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat
hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh
kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau
Badan Konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai
dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali
lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat, Oleh karena itu, diterima
tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak. Contoh
Komisi Konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk oleh Bank
Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman mosdal asing,
yaitu The ICSID Rules of Procedure for consiliation Proceedings
(Consiliation Rules). Namun dalam praktiknya penggunaan cara ini kurang
populer. Sejak berdiri tahun 1966, Badan Konsiliasi ICSID hanya
menerima dua kasus :
Kasus pertama, diterima pada 5 Oktober 1982, jadi selama 16 tahun
kosong. Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk para pihak sepakat
mengakhiri persengketaannya.
Kasus kedua, yaitu Tesoro Petroleum Corp.v. Government of
Trinidad and Tobago diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan
6 Peter Behrens, Alternative Methods of Dispute Settlement in international Economic Relations” dalam: Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Economic Law. Fribourg UP. P 22.7 Ibid, p 24.
8
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untuk menerima usulan-usulan
yang diberikan oleh konsiliator.
4. Arbitrase.
Mengapa Arbitrase dipilih? Arbitarse adalah penyerahan sengketa
secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa
individu, Arbitrase terlembaga atau Arbitrase sementara (ad hoc).
Badan Arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini Arbitrase
semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa Dagang
Nasional maupun Internasional. Adapun alasan utama mengapa Badan
Arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
a. Kelebihan penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase yang pertama dan
terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada
proses berpekara melalui Pengadilan, dalam Arbitrase tidak dikenal
upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal
dalam Sistem Peradilan. Putusan Arbitrase sifatnya final dan mengikat.
Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
b. Keuntungan lainnya dari Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase ini
adalah sifat kerahasiannya, baik kerahasiaan mengenai persidangannya
maupun kerahasiaan putusan Arbitrasenya.
c. Dalam penyelesaian melalui Arbitrase, para pihak memiliki kebebasan
untuk memilih hakimnya (arbiter) yang menurut mereka netral dan ahli
atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan
arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya
arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli, tetapi juga ia
tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang
lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi,
ahli perbankan.
d. Keuntungan lainnya dari Badan Arbitrase ini adalah dimungkinkannya
para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan
kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya)
9
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Dalam Arbiter Internasional, putusan Arbitrasenya relatif lebih dapat
dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut
diselesaikan melalui misalnya Pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain
karena dalam lingkup Arbitrase Internasional ada Perjanjian khusus
mengenai hal ini yaitu Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.8
Perjanjian Arbitrase
Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu Badan
Peradilan tertentu, termasuk Arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian
sengketa dalam suatu Kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis
secara langsung dengan “Arbitrase”. Kadang-kadang istilah lain yang
digunakan adalah choice of forum atau choice of jurisdiction. Kedua istilah
tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of forum
berarti pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini Pengadilan atau
Badan Arbitrase. Istilah choice of yurisdiction berarti pilihan tempat di
mana Pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa.
Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia.9
Penyerahan suatu sengketa kepada Arbitrase dapat dilakukan dengan
pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada Arbitrase
suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan
suatu klausul Arbitrase dalam suatu Perjanjian sebelum Sengketanya lahir
(klausul arbitrase atau arbitration clause). Baik submission clause atau
arbitration clause harus tertulis, syarat ini sangat essensial. Sistim Hukum
Nasional dan Internasional mensyaratkan ini sebagai sebagai suatu syarat
utama untuk Arbitrase. Dalam Hukum Nasional kita, syarat ini tertuang
dalam Pasal 1 (3) UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen Hukum Internasional ,
termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration 1985, atau Pasal II Konvensi New York 1958.
8 Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan Keppres Nomor 34 tahun 1981.9 Gerald Cooke, op cit, p. 194.
10
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul Arbitrase
melahirkan yurisdiksi Arbitrase. Artinya klausul tersebut memberi
kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila
pengadilan menerima suatu sengketa yang didalam Kontraknya terdapat
klausul Arbitrase, Pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.
Lembaga-lembaga Arbitrase difasilitasi oleh adanya Lembaga-lembaga
Arbitrase Internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah
the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of
Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan The
Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).
Disamping kelembagaan, pengaturan Arbitrase sekarang ini ditunjang pula
oleh adanya suatu aturan ber arbitrase yang menjadi acuan bagi banyak
negara di dunia, yaitu Model Law on Internasional Commercial Arbitration
yang dibuat oleh The United Nations Commission on International Trade
Law (UNCITRAL).
Di dalam Perdagangan Internasional sering terjadi kasus-kasus yang
mempermasalahkan terntang Hukum negara mana yang akan dipakai
apabila terjadi perselisihan. Umumnya kunci masalah ini terletak pada
persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan di dalam sales contract yang
memuat klausula tentang hukum negara mana yang akan dipakai.
Apabila pihak-pihak menunjuk Arbitrase pada negara tertentu, maka
lembaga ini yang berusaha menyelesaikan perkara-perkara. Apabila perkara
berlanjut ke Pengadilan (litigasi) juga terarahkan bahwa mereka menunjuk
Pengadilan dari negara tersebut yang mempunyai yurisdiksi dan mereka
juga inginkan bahwa Hukum dari Negara tersebut yang akan dipakai
sebagai Hukum yang menguasai Kontrak. Namun apabila pihak-pihak tidak
secara jelas menyatakan keinginan mereka tentang Hukum Negara mana
yang akan dipakai oleh Kontrak tersebut apabila terjadi perselisihan,
keinginan pihak-pihak harus ditunjukkan oleh Pengadilan dari Kontrak dan
situasi yang berkaitan.
11
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Prinsip umum dalam hal ini ialah hukum yang wajar yang berlaku bagi
suatu Kontrak adalah Sistem Hukum yang menunjukkan atas dasar Sistem
Hukum tersebut Kontrak dibuat atau transaksi berkaitan sangat dekat.
Dalam skala internasional Badan Arbitrase sangat berwibawa, sehingga
kasus-kasus sengketa niaga dapat diselesaikan tanpa ligitasi di pengadilan.10
Dalam hal tidak adanya Pilihan Hukum dalam suatu Kontrak, apabila
ternyata di kemudian hari suatu sengketa lahir maka Pengadilan atau Badan
Arbitrase akan memutus sengketanya berdasarkan Prinsip-prinsip Hukum
Perdata Internasional yang berlaku. Khususnya Hukum yang menentukan
hukum yang berlaku dalam hal para pihak tidak memilih hukumnya sendiri.
Dalam hal ini Pengadilan pertama-tama akan melihat apakah ada kehendak
dari para pihak atau Presumed Intention of the Parties.11
Memberikan kesempatan kepada Pengadilan untuk menentukan hukum
yang akan berlaku terhadap Kontrak tidak lepas dari resiko. Pertama, tidak
adanya Pilihan Hukum menimbulkan ketidakpastian. Para pihak tidak atau
sulit untuk memastikan hukum mana kira-kira yang Pengadilan akan
terapkan. Kedua, menurut UNCITRAL, tidak adanya Pilihan Hukum akan
menimbulkan dua keadaan sebagai berikut: a) Hukum yang berlaku
terhadap Kontrak akan tunduk dan ditentukan oleh aturan-aturan Hukum
Perdata Internasional dari suatu Sistem Hukum dari suatu negara, b)
Meskipun aturan-aturan HPI suatu negara akan menentukan hukum yang
berlaku untuk Kontrak, aturan-aturan Sistem Hukum tersebut dapat saja
tidak jelas, terlalu umum, sehingga sulit memberi kepastian dan menentukan
hukum yang berlaku untuk Kontrak.
Upaya mencari jalan keluar dari kemelut ini, peran Hukum Perdata
Internasional dapat memberi arah bagaimana seyogyanya kemelut ini dapat
dijernihkan melalui penerapan beberapa teori, sebagai berikut:
10 Soedjono Dirdjosisworo,Pengantar Hukum Dagang Internasional,Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hlm. 105.11 Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Binacipta Bandung, 1980, hlm 8.
12
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
1) The proper law theory, teori ini dipraktekkan di Inggris. Menurut
teori ini, Pengadilan akan melakukan analisis daripada ketentuan-ketentuan
dan fakta-fakta sekitar Kontrak yang bersangkutan, untuk menetapkan
hukum yang sebenarnya. Telah “dipikirkan” oleh para pihak, hukum yang
“the parties had in mind”.
2) Teori lex loci contractus, menurut teori ini suatu Kontrak ditentukan
oleh Hukum di mana tempat itu dibuat, di mana ia “diciptakan, dilahirkan”.
Teori ini merupakan teori kuno. Teori ini muncul pada awal mulainya
manusia mengadakan Kontrak yang waktu itu dilakukan secara langsung
atau secara tradisional.
3) The lex loci solution, menurut teori ini, dalam hal tidak adanya Pilihan
Hukum maka Pengadilan akan menentukan hukum yang berlaku
berdasarkan tempat dimana Perjanjian dilaksanakan. Menurut Sudargo
Gautama, penggunaan teori ini tidak selalu tepat karena dapat terjadi
pelaksanaan suatu Kontrak ternyata dilakukan di beberapa tempat. Masalah
lain yang dapat timbul apabila teori ini diterapkan adalah bahwa dapat
terjadi situasi di mana kadang-kadang para pihak tidak dapat memastikan
waktu mereka menandatangani Kontrak, pada tempat manakah kewajiban-
kewajiban harus dilaksanakan.
4) Teori lex fori, menurut teori ini hukum yang berlaku terhadap suatu
Kontrak adalah hukum dari pihak Pengadilan (hakim). Keunggulan teori ini
adalah menerapkan hukum dan hakim, maka Penyelesaian Perkara menjadi
lebih singkat dan lebih murah.
5) Teori the most Characteristic Connection, yang dapat membantu
dalam menemukan titik taut yang paling mempunyai karakteristik atau
paling fungsional dalam Perjanjian tersebut. Contoh titik taut yang paling
karakteristik adalah dalam Perjanjian Jual Beli, berlaku hukum si penjual.
Sudargo Gautama mengklaim teori inilah yang paling tepat untuk kita.
Beliau mengatakan:
“Menurut pandangan kami kiranya konsepsi inilah yang paling baik
dipergunakan dalam menentukan hukum yang harus diperlakukan pada
13
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Kontrak-kontrak Internasional di mana para pihak tidak melakukan Pilihan
Hukum”.
Menurut teori ini, Pengadilan akan menentukan Pilihan Hukum didasarkan
pada Hukum dari salah satu pihak yang melakukan Prestasi yang Paling
Karakteristik (Center of Gravity) dalam suatu Transaksi. 12
Terkait, atau disebut juga Teori Keterkaitan Paling Dekat dan Paling
Nyata. Menurut teori ini, kecenderungan Hukum Nasional yang berlaku
untuk L/C adalah Hukum Negara di mana Bank penerbit berada. Alasannya
adalah Keterkaitan Paling Dekat dan Paling Nyata ditemukan di Negara
Bank penerbit berupa tempat dilakukan penerbitan L/C, tempat
dilakukannya perubahan L/C, tempat dilaksanakannya penelitian dokumen-
dokumen L/C dan tempat dilaksanakannya pembayaran L/C. Namun,
kecenderungan itu juga berlaku pada negara tersebut dapat terjadi
permintaan pembayaran L/C, penelitian dokumen-dokumen dan
pembayaran L/C
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara
tersebut di atas adalah melalui Pengadilan Nasional atau Internasional.
Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang
ada ternyata tidak berhasil.13
Penyelesaian sengketa dagang melalui Badan Peradilan biasanya hanya
dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam
klausul penyelesaian sengketa dalam Kontrak dagang para pihak. Dalam
klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa jika timbul sengketa dan
hubungan dagang mereka, mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya
kepada suatu Pengadilan (negeri) suatu negara tertentu.
12 Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan............, Op Cit, hlm 62.13. Gerald Cooke, op cit, p. 196.
14
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada
Badan Pengadilan Internasional. Salah satu Badan Peradilan yang
menangani sengketa dagang ini misalnya: WTO (world trade
organization /organisasi perdagangan dunia), perlu ditekankan di sini
bahwa WTO hanya menangani sengketa antarnegara anggota WTO.
Umumnya sengketa lahir karena adanya satu pihak (Pengusaha atau
Negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara lain
anggota WTO yang merugikannya. Alternatif badan peradilan lain adalah
Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Namun
penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil
pengamatan beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara.
Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah Internasional (The International
Court of Justice). Peranan Mahkamah Internasional menyelesaikan
sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan). Menurut Mann, 14
sangatlah “suram” selama berdiri sejak tahun 1945 sampai tulisan ini
dimuat, Mahkamah International hanya mengadili dua kasus di bidang
ekonomi internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat
melawan Italia. Kemudian The Barcelona Traction Case antara Belgia
melawan Spanyol. Contoh kasus sengketa The Barcelona Traction
merupakan sengketa terkenal. Dalam sengketa ini sebuah perusahaan
Kanada, Barcelona Traction, Light and Power,Co, didirikan pada tahun
1911. Perusahaan ini mengoperasikan pembangunan dan pengadaan tenaga
listrik di Spanyol. Pada tahun 1968 pengadilan Spanyol memutusakan
perusahaan tersebut pailit. Keputusan ini ditindaklanjuti oleh serangkaian
tindakan dalam rangka Kepailitan tersebut. Pemerintah Kanada kemudian
turut campur dalam upaya melindungi kepentingan warga negaranya.
Masalahnya menjadi rumit karena ternyata pemegang saham mayoritas
dalam perusahaan tersebut dimiliki warga negara Belgia, yaitu sebesar
88%. Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang
dirugikan oleh tindakan pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke
Mahkamah Internasional. Spayol menolak gugatan pemerintah Belgia
14 F.A. Mann, “ Foreign Investment in the International Court of Justice: the ELSI Case”,. 1992, 86 Ajil 92.,,,,,,,,,,,,,,
15
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum yang sah (locus
standi) untuk membawa kasus ini dalam putusannya, Mahkamah
Internasional setuju dengan Spanyol.
Alasan F.A. Mann menyatakan “hasil kerja” Mahkamah Internasional ini
“suram” pada dasarnya karena dua alasan. Pertama, kurang adanya
penghargaan terhadap fakta-fakta specifik mengenai duduk perkaranya.
Kedua, kurangnya keahlian atau kemampuan Manakah pada permasalahan-
permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau perdagangan internasional.
Selain itu, Pengadilan-pengadilan permanen Internasional ini juga
yurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya
Mahkamah Internasional. Sementara itu kegiatan-kegiatan atau hubungan-
hubungan Perdagangan Internasioanl dewasa ini peranan Subyek-subyek
Hukum Perdagangan Internasional non negara juga penting.
Bentuk kedua adalah Pengadilan ad hoc atau Pengadilan Khusus.
Dibandingkan dengan Pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus
ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu Organisasi Perdagangan
Internasional. Badan Pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari Perjanjian-perjanjian
Perdagangan Internasional.15.
Faktor penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan
sengketanya kepada badan-badan Peradilan seperti ini adalah:
1. Hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum. Ia bisa saja
seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa.
2. Adanya perasaan dari sebagian besar negara kurang percaya kepada
suatu Badan Peradilan (Internasional) yang dianggap kurang tepat
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dalam bidang Perdagangan
Internasional.16
15 Adolf Huala, Hukum Perdagangan…….,op cit, hlm. 21316 Palitha TB.Konona, The Regulation of International…..op cit, p. 152.
16
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
D. KESIMPULAN
1. Penyelesaian sengketa Hukum Perdagangan Internasional dengan
Prinsip-prinsip:
a. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus). Prinsip
Kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Jadi prinsip ini
sangat esensial.
b. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa.
Prinsip penting kedua ini adalah prinsip di mana para pihak
memiliki Kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara
atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of
free choice of means).
c. Prinsip Itikad baik (Good Faith). Prinsip itikad baik dapat
dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam
penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan
adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan
sengketanya. Dalam Hukum Nasional, prinsip ini antara lain tampak
dalam Pasal 1330 KUH Perdata dan UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat
(1) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan : (1) “Sengketa atau beda
pendapat Perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada itikad baik,
dengan mengenyampingkan penyelesaian secara ligitasi di
Pengadilan Negeri
d. Prinsip Exhaustion of Local Remedies, prinsip ini sebenarnya lahir
dari Hukum Kebiasaan Internasional. Menurut prinsip ini, Hukum
Kebiasan Internasional menetapkan bahwa: langkah-langkah
penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh sebelum
para pihak mengajukan sengketanya di Pengadilan Internasional.
langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan
17
Prinsip penyelesaian sengketa perdagangan internasional (Januar Abdul Razak)
oleh Hukum Nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh
(exhausted).
2. Forum Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Perdagangan
Internasional
Pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam
Penyelesaian Sengketa Internasional pada umumnya. Forum tersebut adalah
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, Penyelesaian melalui Hukum
atau Pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya. yang dipilih
dan disepakati para pihak. Metode yang memungkinkan untuk
menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui
Pengadilan Nasional atau Internasional. Penggunaan cara ini biasanya
ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
Di dalam Perdagangan Internasional yang mempermasalahkan
tentang Hukum negara mana yang akan dipakai apabila terjadi
perselisihan. Terletak pada persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan di
dalam sales contract yang memuat klausula tentang hukum negara mana
yang akan dipakai. Apabila pihak-pihak menunjuk Arbitrase pada negara
tertentu, maka lembaga ini yang berusaha menyelesaikan perkara-perkara.
Prinsip umum dalam hal ini ialah hukum yang wajar yang berlaku
bagi suatu Kontrak adalah Sistem Hukum yang menunjukkan atas dasar
Sistem Hukum tersebut Kontrak dibuat atau transaksi berkaitan sangat
dekat. Dalam skala internasional Badan Arbitrase sangat berwibawa,
sehingga kasus-kasus sengketa niaga dapat diselesaikan tanpa ligitasi di
pengadilan. Karena Arbitrase semakin banyak digunakan dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa Dagang Nasional maupun Internasional.
Adapun alasan utama mengapa Badan Arbitrase ini semakin banyak
dimanfaatkan karena cepat, sifat kerahasiaan, para pihak memiliki
kebebasan untuk memilih hakim (arbiter) yang netral dan penyelesaian
berdasarkan kelayakan dan kepatutan.
18