Presus Fix Aulia Dan Nurul

41
BAB I (Lia) PENDAHULUAN I. Latar Belakang Trauma pada susunan saraf pusat merupakan problematika yang komplek, bila tidak mendapat penanganan dengan baik akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang, baik terhadap fungsi motorik, fungsi sosial maupun mental. Trauma susunan saraf pusat merupakan penyebab kematian tersering pada populasi penduduk dibawah usia 45 tahun di negara-negara berkembang. Kematian akibat trauma tersebut, sebagian besar disebabkan oleh cedera kepala. Selain menyebabkan kematian, cedera kepala juga sering mengakibatkan kecacatan permanen (Selladurai et al., 2007). Berdasarkan data demografi, angka kematian penduduk Amerika yang disebabkan oleh cedera kepala sebesar 20/100.000 penduduk. Insidensi cedera kepala berat 100/100.000 penduduk sedangkan prevalensi mencapai 2,5- 5,6 juta penduduk. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas (Marshall, 2000). Data dari kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan bahwa terjadi 57.726 kasus kecelakaan lalu lintas dan sekitar 70% dari angka tersebut mengalami cedera kepala dalam berbagai derajat keparahan. Penelitian Suparnadi (2002), menunjukkan bahwa 60% penderita cedera kepala berusia 20-39 tahun, dengan

Transcript of Presus Fix Aulia Dan Nurul

BAB I (Lia)PENDAHULUAN

1. Latar BelakangTrauma pada susunan saraf pusat merupakan problematika yang komplek, bila tidak mendapat penanganan dengan baik akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang, baik terhadap fungsi motorik, fungsi sosial maupun mental. Trauma susunan saraf pusat merupakan penyebab kematian tersering pada populasi penduduk dibawah usia 45 tahun di negara-negara berkembang. Kematian akibat trauma tersebut, sebagian besar disebabkan oleh cedera kepala. Selain menyebabkan kematian, cedera kepala juga sering mengakibatkan kecacatan permanen (Selladurai et al., 2007). Berdasarkan data demografi, angka kematian penduduk Amerika yang disebabkan oleh cedera kepala sebesar 20/100.000 penduduk. Insidensi cedera kepala berat 100/100.000 penduduk sedangkan prevalensi mencapai 2,5- 5,6 juta penduduk. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas (Marshall, 2000). Data dari kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan bahwa terjadi 57.726 kasus kecelakaan lalu lintas dan sekitar 70% dari angka tersebut mengalami cedera kepala dalam berbagai derajat keparahan. Penelitian Suparnadi (2002), menunjukkan bahwa 60% penderita cedera kepala berusia 20-39 tahun, dengan komposisi laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan 3:1. Penelitian Wijanarka (2005), menunjukkan dari 100 penderita cedera kepala, 76% cedera kepala ringan, 15% cedera kepala sedang dan 9% cedera kepala berat. Cedera kepala menurut Brain Injury Association of America adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat konginetalataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fisik. Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. Cedera kepala merupakan kegawatdaruratan yang harus ditangani secara tepat dan cermat. Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk sedini mungkin memperbaiki keadaan umum serta mencegah cedera kepala sekunder. Penanganan yang dilakukan saat terjadi cedera kepala adalah menjaga jalan nafas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder. Setiap keadaan yang tidak normal dan membahayakan harus segera diberikan tindakan resusitasi pada saat itu juga (Hardi, 2008). Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.Cedera kepala membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Mengingat pentingnya hal itu, dibutuhkan pengetahuan yang menyeluruh dalam penanganan kegawatdaruratan cedera kepala. Berdasarkan latar belakang di atas, akan dibahas tentang cedera kepala, penanganan kegawatdaruratan cedera kepala, serta peran bagian anestesiologi dalam menangani kasus cedera kepala.

1. Tujuan1. Tujuan UmumMeninjau manajemen tindakan anestesi pada cedera kepala berat 1. Tujuan Khusus1. Menjelaskan tentang cedera kepala 1. Menjelaskan tentang penanganan kegawatdaruratan cedera kepala berat1. Menjelaskan tentang tindakan anestesi pada cedera kepala berat ( preoperatif, durante op, dan post operatif)

1. ManfaatMenambah khasanah pengetahuan kedokteran tentang anestesiologi khususnya yang berkaitan dengan anestesi pada tindakan penanganan cedera kepala berat.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. Total Intravenous Anesthesi 1. Definisi USYEpidural hematoma merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens (a. Meningea media). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi (Sjamsuhidajat, 2003).

Gambar 1. CT Scan Epidural Hematom

1. Persiapan Pra Anestesi USIKausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:1. Trauma kepala1. Sobekan arteri/vena meningea mediana1. Ruptur sinus sagitalis/sinus tranversum1. Ruptur vena diploricaHematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid (Duus, 1994; Gilroy, 2000).

1. Pemeriksaan Fisik USIBerdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (Snell, 1996):1. Akut: ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma.1. Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam7 hari.1. Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7.

1. Klasifikasi Status Pasien USIEpidural hematoma sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila ada benturan keras pada tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital (Hafid, 2004).Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (Hafid, 2004).Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis (Hafid, 2004).Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria di medulla oblongata dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif (Hafid, 2004). Semakin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun (Hafid, 2004). Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Pada subdural hematoma yang cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar (Hafid, 2004).

Brief contact force Cedera kepala berat atau fraktur kraniumRuptur arteri meningea mediaPerdarahan semakin cepatRuptur permukaan luar duramaterDarah merembes diantara duramater dan kranium Darah terkumpulBekuan darah membentuk massaMenekan otakPeningkatan tekanan intrakranialCedera otak sekunderKerusakan otak permanenKomaPembesaran pupilNyeri kepala hebatKematian1. Induksi Pemeliharaan Anestesi Umum USI1. Jenis Obat-obatan0. Propofol lia1. Mekanisme Kerja1. Farmakokinetik1. Farmakodinamik1. Dosis dan Penggunaan1. Efek samping0. Opioid lia1) Mekanisme kerja2) Farmakokinetik3) Farmakodinamik4) Dosis dan penggunaan5) Efek samping0. Benzodiazepin usi1) Mekanisme kerja2) Farmakokinetik3) Farmakodinamik4) Dosis dan penggunaan5) Efek samping0. Alkaloid Ergot usi1) Mekanisme kerja2) Farmakokinetik3) Farmakodinamik4) Dosis dan penggunaan5) Efek samping1. Pemulihan Pasien usi

1. KURETASE lia1. Definisi2. Indikasi3. Komplikasi1. BLIGHTED OVUM usi1. Definisi1. Indikasi1. KomplikasiBAB IIILAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIENNama: Ny. ArtiUmur: 28 tahunBerat badan: 49 KgJenis kelamin: PerempuanAlamat: Kalisalak RT 4/2 Cilongok, BanyumasAgama: IslamTanggal masuk RSMS: 23 Januari 2014No. CM: 537350

1. PRIMARY SURVEY1. A: clear, gigi ompong (-), gigi palsu (-), Malapati (1)1. B: Spontan, RR : 20x/menit, suara dasar vesikuler +/+, Wh (-), Rh (-)1. C: TD 100/60 mmHg, Nadi 74 kali/menit, reguler, tegangan dan isi cukup, S1>S2, G (-), M (-)1. D: BB 49 kg, Suhu 35,6C

1. SECONDARY SURVEY1. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : Penurunan kesadaran1. Keluhan tambahan: Muntah, keluar darah dari telinga kiri dan hidung1. Riwayat penyakit sekarangPasien dibawa keluarga ke IGD RS Margono Soekarjo atas rujukan Puskesmas 1 Cilongok dengan Cedera Kepala Sedang setelah mengalami kecelakaan lalu lintas yakni tertabrak mobil dari arah belakang saat pasien berjalan kaki. Kecelakaan terjadi 1 jam sebelum pasien datang ke IGD RSMS. Menurut keterangan saksi yang ada di tempat kejadian, pasien langsung tidak sadarkan diri dan muntah sebanyak 2x berisi darah. Pasien tetap tidak sadarkan diri sampai tiba di IGD. Selain itu ditemukan pula darah yang keluar dari telinga kiri dan hidung pasien.1. Riwayat penyakit dahulu1. Riwayat hipertensi: disangkal1. Riwayat kencing manis: disangkal1. Riwayat asma: disangkal1. Riwayat jantung: disangkal1. Riwayat alergi: disangkal1. Riwayat operasi sebelumnya : disangkal1. Riwayat penyakit keluarga1. Riwayat hipertensi: disangkal1. Riwayat kencing manis: disangkal1. Riwayat asma: disangkal1. Riwayat jantung: disangkal1. Riwayat alergi: disangkal1. PEMERIKSAAN FISIKDilakukan di IGD RSMS, 17 September 20131. Keadaan umum: Lemah1. Kesadaran: GCS E1M3V11. Tanda vital:Tekanan darah: 160/90 mmHgNadi: 120x/ menitRespirasi: 24x/ menitSuhu: 37.9C1. BB: 55 kg1. TB: 160 cm1. Status Generalis1. KepalaBentuk dan ukuran :normocephalRambut dan kulit kepala :hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut1. Mata:palpebra superior edema (-), mata cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) RC +/+ PB anisokor 5mm/3mm1. Telinga :otorrhoae (-)/(+), sekret (-)1. Hidung:septum deviasi (-), sekret (-), napas cuping hidung (-) darah (+)1. Mulut:bibir kering (-), sianosis (-), darah (-)1. Tenggorokan:faring sdn, tonsil sdn, malapati sdn1. Leher:simetris, trakhea di tengah, kelenjar tiroid, submandibula, supra-infra clavicula tidak teraba1. Ekstremitas :akral dingin, sianosis (-), edema (-), deformitas (-)1. Kulit:turgor baik, petechiae (-)1. Genitalia:tidak dilakukan1. Anus Rektum :tidak dilakukan1. Status Lokalis1. ParuInspeksi:Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan gerak, kelainan bentuk dada (-), eksperium diperpanjang(-), retraksi interkostalis (-), jejas (-)Palpasi : Vokal fremitus apeks kanan = kiri Vokal fremitus basal kanan = kiriPerkusi : Perkusi orientasi lapang paru sonor, Batas paru-hepar SIC V LMCDAuskultasi: Apeks : Suara dasar vesikuler +/+ Basal : Suara dasar vesikuler +/+ Ronki basah halus -/- Ronki basah kasar -/- Wheezing -/- Stridor +/+1. JantungAuskultasi: S1>S2 Tidak ada suara tambahan1. AbdomenInspeksi: datar, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejasAuskultasi: bising usus (+) NPalpasi: supel, test undulasi (-)Perkusi:timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)Hepar: tak teraba Lien: tak teraba1. Ekstremitas:Ekstremitas superiorEkstremitas inferior

DextraSinistraDextraSinistra

Edema----

Sianosis----

Akral dingin++++

Reflek fisiologis++++

Reflek patologis----

1. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 25 Januari 2014 PEMERIKSAANHASILSATUANNILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hemoglobin13.3Gr/dl12.0-16.0

Leukosit7600/L4800- 10800

Hematokrit40%37-47

Eritrosit4.3106 /L4,2 5,4

Trombosit188.000/L150.000 450.000

MCV85,5fL79,0 99,0

MCH27,3pg27,0 31,0

MCHCL 32,0%33 37

RDW14,211,5 14,5

MPV9,1fL7,2 11,1

Hitung Jenis

Basofil0,30 - 1

EosinofilL 0,72 4

Batang L 0,82 5

SegmenH 78,940 70

LimfositL 16,825 40

Monosit2,52 8

Kimia Klinik

Ureum19,7mg/dl14,98- 38,52

Kreatinin0.78mg/dl0,80-1,30

Glukosa sewaktu159mg/dl< = 200

Natrium142mmol/L136-145

Kalium4,5mmol/L3,5-5,1

KloridaL 96mmol/L35-107

1. CT-scan Tanpa KontrasHematom ekstracranial regio parietoocipital sinistra, fraktur temporal sinistra, occipital sinistra, dan frontalis sinistra, EDH, ICH, Penumatocell, Hematom sinus ethmoid, Perdarahan 49,5 cc

1. DIAGNOSIS KLINISDiagnosis prabedah: EDH parietooccipal sinistra, ICH parietotemporal dextra, Ekstracranial hematom, dan Fraktur basis cranii fossa posteriorDiagnosis pasca bedah: EDH parietooccipal sinistra, ICH parietotemporal dextra, Ekstracranial hematom, dan Fraktur basis cranii fossa posteriorJenis pembedahan: Craaniotomi evakuasi EDH

1. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIKStatus ASA IV1. TINDAKANDilakukan: Craaniotomi evakuasi EDHTanggal: 17 September 2013

1. LAPORAN ANESTESIStatus Anestesi1. Persiapan Anestesi 0. Informed concent + Death on Table1. Pasang IV line 2 jalur NaCl tetes cepat 1. Challange Test untuk mengetahui status pasien hipovolemik/euvolemik dengan pemberian kristaloid 10-20 cc per KgBB yakni 1000 cc selama 15-30 menit kemudian lihat hemodinamik pasien.1. Pemasangan kateter1. Mulai puasa sebelum operasi1. Penatalaksanaan Anestesi 0. Jenis anestesi: General Anestesi (GA)0. Premedikasi: -0. Co-induksi: Fentanyl 100 gram, Lidokain 80 mg0. Induksi: Propofol 100 mg0. Fasilitas intubasi: Rocuronium 40 mg0. Pemeliharaan: O2 50, N2O 50, dan Isofluran 1 MAC1. Teknik anestesi1. Pasien dalam posisi telentang1. Dilakukan intubasi dengan pemasangan ET ukuran 7,51. Respirasi : Ventilasi kendali1. Jumlah cairan yang masuk selama operasi:kristaloid 2000 cc (RL 500 cc dan NaCl 1500 cc), koloid 500cc, Manitol 250 cc, dan PRC 1 Kolf1. Pemantauan selama anestesi :1. Mulai anestesi : 16.50 WIB1. Mulai pembedahan: 17.05 WIB1. Selesai operasi: 18.50 WIB1. Selesai anestesi: 19.00 WIB1. Cairan yang masuk durante operasi:RL 500 ccNaCl 1500 ccHES 500 ccManitol 250 ccPRC 1 KolfTerapi cairanBerat badan = 55 kgMaintenence = 2xKgBB/jam 110 cc/jamPengganti Puasa = Lama puasa x kebutuhan per jam 1100 ccStress operasi (operasi besar) 8cc x 55 = 440 cc4. Kebutuhan jam pertama50% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam550 cc + 440cc + 110 cc = 1100 cc4. Kebutuhan jam kedua25% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam275 cc + 440cc + 110 cc = 825 cc

Kebutuhan cairan selama 120 menit operasi 1100 cc + 825 cc =1925 cc/ 2 jam 1925 x 15 240 tpm 2 x 60Cairan yang masuk selama operasi RL 500 ml, NaCl 1500 cc, HES 500 cc, Manitol 250 cc, PRC 1 Kolf1. Pemantauan tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi.

Jam(WIB)TindakanTekanan Darah (mmHg)Nadi (x/menit)Saturasi O2 (%)

16.501. Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke meja operasi1. Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi, saturasi O21. Dua jalur Infus NaCl masing-masing 500cc terpasang pada tangan kanan dan tangan kiri1. Pemberian premedikasi 1. Pemberian Co-induksi Fentanyl 100 gram,1. Pemberian Lidokain 80 mg1. Pemberian Induksi Propofol 100 mg1. Fasilitas intubasi Rocuronium 40 mg1. Pemasangan ET160/90140100

17.05Operasi dimulai160/85110100

17.20HES 500 cc150/100108100

17.35Kondisi terkontrol145/95110100

17.50Efedrin HCL 1 ccRL 500 cc110/80130100

18.05Manitol 125 cc100/85115100

18.20Kondisi terkontrol130/9098100

18.35Kondisi terkontrol120/82104100

18.501. Operasi selesai1. Diberikan Ketorolac 30 mg1. Pelepasan ET1. Pemasangan sunngkup oksigen pada pasien1. Pelepasan alat monitoring1. Persiapan ke ruangan ICU120/8075100

1. Pemantauan post operasi0. Pengawasan ketat tanda vital dalam ruang ICU dengan menggunakan ventilator.0. Pemantauan tanda vital setiap 1 jam selama selama 24 jam.0. Lanjutkan infus RL0. Pemasangan NGT

Pemeriksaan Darah Lengkap Post operasi tanggal 17 April 2013 jam 22.00PEMERIKSAANHASILSATUANNILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

HemoglobinL 7.1Gr/dl12.0-16.0

LeukositH 21.730/L4800- 10800

HematokritL 21%37-47

EritrositL 2,5106 /L4,2 5,4

Trombosit272.000/L150.000 450.000

MCV83,3fL79,0 99,0

MCH28,2pg27,0 31,0

MCHC33,8%33 37

RDW13,911,5 14,5

MPV9,2fL7,2 11,1

Hitung Jenis

Basofil0,10 - 1

EosinofilL 0,02 4

Batang L 0,72 5

SegmenH 84.540 70

LimfositL 9.825 40

Monosit4,92 8

Kimia Klinik

Ureum15,8mg/dl14,98- 38,52

Kreatinin0.72mg/dl0,80-1,30

Glukosa sewaktu165mg/dl< = 200

Natrium142mmol/L136-145

Kalium4,1mmol/L3,5-5,1

Klorida104mmol/L35-107

KalsiumL 5,5Mg/dL8,4-10,2

Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 18 April 2013 jam 15.00PEMERIKSAANHASILSATUANNILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

HemoglobinL 7.7Gr/dl12.0-16.0

LeukositH 21.470/L4800- 10800

HematokritL 23%37-47

EritrositL 2,7106 /L4,2 5,4

Trombosit239.000/L150.000 450.000

MCV83,7fL79,0 99,0

MCH28,3pg27,0 31,0

MCHC34,2%33 37

RDW13,811,5 14,5

MPV9,5fL7,2 11,1

Hitung Jenis

Basofil0,20 - 1

EosinofilL 0,02 4

Batang L 0,52 5

SegmenH 87,840 70

LimfositL 8,125 40

Monosit3,42 8

Kimia Klinik

Ureum19,7mg/dl14,98- 38,52

KreatininL 0,59mg/dl0,80-1,30

Glukosa sewaktu120mg/dl< = 200

Natrium143mmol/L136-145

Kalium3,9mmol/L3,5-5,1

Klorida102mmol/L35-107

KalsiumL 8,1Mg/dL8,4-10,2

Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 19 April 2013 jam 19.50PEMERIKSAANHASILSATUANNILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

HemoglobinL 9,9Gr/dl12.0-16.0

LeukositH 14.670/L4800- 10800

HematokritL 29%37-47

EritrositL 3,5106 /L4,2 5,4

Trombosit237.000/L150.000 450.000

MCV83,6fL79,0 99,0

MCH28,5pg27,0 31,0

MCHC34,1%33 37

RDW14,111,5 14,5

MPV9,6fL7,2 11,1

Hitung Jenis

Basofil0,20 - 1

EosinofilL 0,12 4

Batang L 0,52 5

SegmenH 83,640 70

LimfositL 11,225 40

Monosit4,42 8

1. PROGNOSAAd Vitam: Dubia ad malamAd Functionam: Dubia ad malamAd Sanationam: Dubia ad malam

BAB IVPEMBAHASAN

Cedera kepala adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, menghindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan sirkulasi.Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan serta melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat bagi pasien. Pemeriksaan pre operatif pada cedera kepala sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya serta hasil CT-scan. Peningkatan tekanan intrakranial pada CT-scan ditunjukkan dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema (adanya daerah hipodensitas). Tindakan pre operatif yang dilakukan pada pasien adalah sebagai berikut : 1. Melakukan visit pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Hal ini berguna untuk menentukan masalah yang ada pada pasien, meramalkan kemungkinan penyulit, melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan terjadi, menentukan status fisik pasien serta menentukan tindakan anestesi yang sesuai.1. Memberikan informasi pada keluarga pasien mengenai keadaan pasien, tindakan operatif yang akan dilakukan, keuntungan dan kerugian tindakan operatif serta resiko yang dapat terjadi. 1. Melakukan fluid challenge testFluid challenge test merupakan prosedur diagnostik yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu keadaan hipovolemik. Prosedur ini bertujuan untuk mengetahui keadaan sistem kardiosirkulasi pasien dan sebagai panduan dalam melakukan resusitasi cairan. Terdapat empat komponen penting dalam fluid challenge test diantaranya adalah jenis cairan yang akan diberikan (kristaloid), kecepatan pemberian cairan ( 500-1000 ml atau 10-20 ml/kgBB dalam 10-30 menit), target hemodinamik ( MAP > 70 mmHg, HR < 110x/m, produksi urin 0,5-1 ml/jam), serta pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya oedem pulmo. Terapi cairan kristaloid ataupun koloid menjadi masalah apabila diberikan dalam jumlah yang tidak tepat. Apabila kehilangan cairan tidak dikoreksi, maka pasien akan mengalami keadaan hipovolemia yang selanjutnya menimbulkan kerusakan ginjal dan komplikasi lainnya, sebaliknya kelebihan pemberian cairan akan menyebabkan oedem pulmo. Oleh karena itu fluid challenge test dilakukan agar terapi cairan diberikan secara tepat. 1. Puasa sebelum operasiPasien terakhir makan dan minum 10 jam sebelum operasi. Puasa sebelum operasi dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah dan aspirasi saat operasi. Pasien mengalami cedera kepala berat dan dilakukan tindakan operatif yaitu craniotomi. Tindakan craniotomi menggunakan anestesi umum (anestesi general) karena tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak memungkinkan pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan volume tidal yang tidak terlalu besar.Obat-obatan yang diberikan pada pasien selama operasi berlangsung diantaranya adalah :0. Co-induksi (Fentanyl 100 gram dan Lidokain 80 mg)0. Fentanyl 2-150 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Fentanyl adalah suatu opioid agonis derifat phenylpiperidine sintetik yang secara struktur berkaitan dengan meperidine, sebagai suatu analgesic, fentanyl lebih kuat 75 sampai 125 kali dibandingkan morfin. Dosis intraoperatif sebesar 2-150 g/kgBB dengan onset 2-3 menit dan durasi sekitar 15- 20 menit. 0. Lidokain 1,5mg/kg iv, diberikan 90 detik sebelum laringoskopi, dapat membantu untuk mencegah peningkatan tekanan intra kranial. Sebagai obat anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB, bila ditambahkan adrenalin dosis maksimal mencapai 6 mg/kgBB. Lidokain menyebabkan penurunan tekanan intrakranial (tergantung dosis) yang disebabkan oleh efek sekunder peningkatan resistensi vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak. 0. Induksi (Propofol 100 mg)Propofol merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan dalam induksi dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi. Dosis yang digunakan sebesar 2,5-3 mg/kgBB dengan onset 30-40 detik dan durasi 5-10 menit. 0. Fasilitas intubasi (Rocuronium 40 mg)Rocuronium diindikasikan sebagai tambahan pada anestesia umum untuk mempermudah intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot rangka selama pembedahan. Dosis yang digunakan dalam intubasi endotrakeal: 0,6-1,2 mg/kgBB, sedangkan dosis pemeliharaan: 0,1- 0,2 mg/kgBB.0. Pemeliharaan (O2 50, N2O 50, dan Isofluran 1 MAC)Isofluran merupakan depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada halotan. Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan peningkatan substansial pada ICP.Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif yang diberikan pada pasien diantaranya adalah: 1. Ventilasi mekanikVentilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 > 100 mmHg. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) yang berlebihan sebaiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.1. Penanganan sirkulasi. CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau vasopresor.1. Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat menjahit kulit. Kadar PaCO2 dianaikkan ke arah normoventilasi. Hindari rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya : lepas head pin sesegera mungkin, ambil pak di mulut/faring, pengisapan faring dilakukan sebelum pasien betul-betul bangun. Saat transfer ke PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG, tekanan darah, SpO2 terus dilakukan.Penanganan post operatif yang diberikan pada pasien diantaranya adalah: posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi, bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata > 130 mmHg. Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bisa diberikan koloid. Hematokrit pertahankan 33%. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%. Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan lahan selama 1-2 menit.

BAB VKESIMPULAN

0. Tanggal 17 September 2013 telah dilakukan tindakan cranotomi evakuasi EDH dengan menggunakan teknik anastesi yang dipakai adalah anastesi general dengan menggunakan lidokain, fentanyl, dan propofol.0. Tahapan preoperative diantaranya adalah memeriksa pasien untuk memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak, puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pada kasus ini, pasien tidak dapat direncanakan puasa secara pasti, akan tetapi pasien tidak makan dan minum selama tidak sadarkan diri yakni selama 10 jam. 0. Tahapan intraopratif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga pemasangan ET. Pada pasien ini pemasangan ET dilakukan karena waktu operasi yang lma (2 jam) dan pasien dalam posisi supine.0. Tahapan postoperative dilakukan dengan melakukan menajemen nyeri, dan keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian obat analgesik, kristaloid, koloid, dan obat antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

American College Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United States of America.Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000Duus P. 1994. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta: EGC.Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical Strategies: Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical Strategies Publishing, USA. 2004.Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2004. Trauma. 5th Ed. New York: McGraw-Hill. Gilroy, J. 2000. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill.Hafid, A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: EGC, hal. 818-819Heegaard, William dan Michelle Biros. 2007. Traumatic Brain Injury. Emerg Med Clin N Am. 25: 655678.Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury. Acta Neurochir, 2005; 95: 13-16.Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online). Available at: library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf. Diakses tanggal 26 Desember 2012.Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.Price, Sylvia A., Wilson M. Lorraine. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit. Jakarta: EGC.Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel. 2004. Blueprints Surgery. Third Edition. UK: Blackwell Publishing.Sjamsir. 1996. Snell R.S. Neurologi Klinik edisi ke dua, cetakan pertama, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta hal 521-532.Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.Snell R.S. 1996. Neurologi Klinik, Edisi ke dua. Jakarta: EGC.Mardjono M., Sidarta P., 2000. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta hal 255-256.R. Syamsuhidayat.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ke2; EGC; Jakarta

LAMPIRAN

Lampiran 1.

Kondisi pasien saat berada di ruang ICU (H+1 Operasi)

Hasil CT Scan