Presentasi Kasus Neo
-
Upload
ibunyudistiro -
Category
Documents
-
view
30 -
download
10
description
Transcript of Presentasi Kasus Neo
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.1 Anestesi
sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat berperan dalam mewujudkan
tugas profesi dokter untuk mempertahankan hidup pasien karena dapat
mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal dan anestesi
umum. Pada anestesi lokal, hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilangnya
kesadaran, sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit disertai hilangnya
kesadaran. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum,
lainnya dengan anestesi lokal/ regional. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan
anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap persiapan yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan
serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.1,2,3
Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan
pemeliharaan yang dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap
ini perlu monitoring dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena
pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi
maupun pembedahan dapat terjadi.
Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan
keberhasilan suatu anestesi. Hal yang penting dalam tahap ini adalah :
(1) Menyiapkan pasien, yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan
umum pasien, dan mental pasien,
(2) Menyiapkan teknik, obat-obat, dan macam anestesi yang digunakan,
(3) Memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang timbul pada waktu
pelaksanaan anestesi dan komplikasi yang timbul pasca anestesi.
1
Tahap pelaksanaan anestesi meliputi premedikasi, induksi, dan
pemeliharaan. Obat-obat yang diberikan dapat berupa obat inhalasi atau intravena,
sampai stadium anestesi dikehendaki. Perlunya pemantauan pada tahap ini yaitu
pernafasan, sirkulasi, dan kedalaman anestesi, dilakukan secara berkala dan terus-
menerus untuk menghindari penyulit atau komplikasi yang dapat terjadi. Pada
tahap pemulihan, pengawasan ketat masih harus dilakukan, sampai penderita
benar-benar pulih dan cukup stabil untuk dipindah ke bangsal.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).
Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia, dan
relaksasi otot. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering
digunakan atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar
pembedahan.1,2
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun
atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan
anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik
pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.3
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diingini (Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy
(1993) mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai
daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja
obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas
keamanan yang luas.5
3
Pada anestesi umum dikenal stadium anestesi dari Guedel, stadium ini
untuk mengetahui kedalaman anestesi dan lebih jelas bila digunakan eter.
Stadium anestesi terdiri dari:2
a. Stadium I (stadium analgesia atau disorientasi)
Stadium ini berlangsung mulai induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya
dapat dilakukan pembedahan kecil. Akhir stadium ini ditandai
dengan hilangnya reflek bulu mata.
b. Stadium II (stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium)
Dimulai dari hilangnya kesadaran dan hilangnya reflek bulu mata
sampai ventilasi kembali teratur. Terdapat depresi ganglia basalis
sehingga refleks-refleks tidak terkontrol atau reaksi berlebihan
terhadap berbagai rangsangan.
c. Stadium III (stadium pembedahan)
Mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi. Dibagi 4 plana.
Plana 1 : dari timbulnya pernafasan teratur thoracoabdominal, anak
mata terfiksasi kadang – kadang eksentrik, pupil miosis,
reflek cahaya positif, lakrimasi meningkat, reflek faring
dan muntah negative, tonus otot mulai menurun
Plana 2 : ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal
menurun, frekuensi nafas meningkat, anak mata terfiksasi
di tengah, pupil mulai midriasis, reflek cahaya mulai
menurun dan reflek kornea negative.
Plana 3 : ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi
kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil
melebar, anak mata sentral, reflek laring dan peritoneum
negative, tonus otot makin menurun.
Plana 4 : ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot
diafragma lumpuh yang makin nyata pada akhir plana,
tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan reflek
sfingter ani dan kelenjar air mata negative.
4
d. Stadium IV (stadium paralysis atau kelebihan obat.)
Mulai henti nafas (paralisis diafragma) hingga henti jantung.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.
1. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra
anestesi adalah:1,2,3
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
5
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Pemeriksaan praoperasi anestesi 2,3
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik,
dan muntah.
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
6
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
9. Makanan yang terakhir dimakan.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
3. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior
uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
5. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
6. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
7
7. Ekstrimitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional.
Macam-macam Teknik Anestesi Umum
No Teknik Reservoir bag Valve Rebreathing Sodalime
1 Open - - - -
2 Semi Open + + -
3 Semi closed + + + +
4 Closed + + + +
Keterangan:
Rebreathing (-) = C02 langsung ke udara kamar
Rebreathing () = C02 langsung ke udara kamar dan sebagian
udara ekspirasi kembali dalam respirasi/inspirasi
sesudah C02 diikat oleh soda lime.
Rebreathing (+) = sebagian udara ekspirasi kembali dalam
respirasi/inspirasi sesudah C02 diikat oleh soda lime.
Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik
yang menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik
diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga
kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.
Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.
Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat
terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow
yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama
oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada
vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas
yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya
8
anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik,
dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow
kurang dari 100% kebutuhan.
Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya
udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2,
sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
2. Premedikasi Anestesi
Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi
bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-
obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat
sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :1
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2
9
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:2,3
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam
dan midazolam
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil
g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam
pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik,
benzodiazepin, dan antikolinergik. Sebaiknya obat-obat premedikasi
dilakukan 30 menit sampai 60 menit sebelum induksi.5
3. Obat-obatan Premedikasi1,2,3,5
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :
a. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin
dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine.
Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP.
Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat di
berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum
system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit
setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat
narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi
anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostik atau pembedahan
yang dilakukan di bawah anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan
selama anestesi. Obat ini dikontraindikasikan pada keadaan sensitif
10
terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan,
dan acute narrow-angle glaucoma.
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri
sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan
antikolinergik atau analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kg BB secara IM
sesuai dengan keadaan umum pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia
lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05 mg/ kg BB (IM). Untuk basal
sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit sebelum
permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg
dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
b. Ondansetron
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat
menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan
radiasi. Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan
pengosongan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang
sehingga dapat terjadi konstipasi. Ondansentron dieliminasi dengan cepat
dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan
konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati.
C . PETIDIN
Merupakan narkotik yang paling sering dipakai untuk premedikasi.
Dapat memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi,
manghasilkan analgesia, memudahkan pemberian pernafasan buatan.
Petidin merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya adalah
depresi susunan saraf pusat. Gejala yang timbul antara lain analgesia,
sedasi, euforia, depresi pernafasan dan efek sentral yang lain. Efek
analgesi menyamai morfin dengan mula kerja lebih cepat pada pemberian
subkutan atau intramuskuler, tetapi masa kerja lebih pendek. Obat ini
dapat merangsang SSP dengan manifestasi sebagai tremor atau kejang.
Sedangkan sistem pernafasan akan terdepresi dan menimbulkan kepekaan
pusat pernafasan terhadap CO2. Petidin juga mengurangi frekuensi nafas.
11
Petidin dapat digunakan untuk terapi nyeri akut sebelum dan
sesudah operasi akibat kanker. Absorbsi petidin berlangsung baik pada
semua cara pemberian. Pada pemberian i.v. kadarnya di dalam darah akan
turun dengan cepat pada 1-2 jam pertama. Petidin terutama akan
dimetabolisme di hati dikeluarkan lewat ginjal sekitar sepertiga dari dosis
yang diberikan. Bila diberikan secara intra vena, efek analgetiknya
tercapai dalam waktu 15 menit.
Sediaan : - ampul 50 mg/ml, 1 ampul 2 ml, tablet 50 mg
Dosis : 1-2 mg/kgBB
Pemberian : IM, IV atau SC
4. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi
10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis
yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi
efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah
jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
12
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik. 3,6
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain. Dosis yang dianjurkan adalah
2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.4,6
b. Ketamin
Merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar
dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan
kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk
sistem somatik tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin dapat
meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah jantung sampai
20%.
Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2
mg/kgBB (1-4,5 mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai
dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis
ulangan setengah dari semula. Ketamin IM untuk induksi diberikan 10
mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB), stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.
5. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
13
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan
tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% :
50%.3,5
b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak serta tidak
merangsang/iritasi, mudah menguap, tidak mudah meledak atau terbakar,
tidak bereaksi dengan soda lime absorber, mudah diuaraikan oleh cahaya.
Merupakan obat anesthrsia yang poten, kekuatan 4-5x eter 2x kloroform.
Halotan mendepresi kortek serebral dan medulla, induksi
berlangsung cepat, lancar, jarang menimbulkan batuk dan eksitasi. Efek
hipnotik dicapai lebih cepat dari eter, halotan meiliki efek analgesi yang
buruk sehingga membutuhkan kombinasi dengan obat lainnya. Halotan
tidak mengiritasi membrane mukosa dan tidak merangsang sekresi
lekenjar ludah. Aktivitas saluran pencernaan juga dihambat.
Halotan menyebabkan vasoldilatasi dan bradikardia. Pada stadium
anesthesia yang dalam sering timbul bradikardia karena efek dari
perangsangan vagus. Aritmia sering terjadi. Halotan memiliki efek
relaksasi yang moderate terhadap sistem otot. Halotan merupakan agent
yang hepatoptoksik, dapat menimbulkan “hepatitis halotan”.
14
Mekanisme ekskresi halotan dilakukan di paru, 12-20% halotan di
metabolisme di hepardan diekskresi melalui urine. Halotan baru
dikeluarkan dari tubuh sesudah 13-20 hari.
Kontra indikasi pemberian halotan, absolut: panas tidak diketahui
sebabnya, malignan hipertermia, kelaian hepar, hipercarbia. Relative:
dalam terapi betabloker, kardiovaskuler tidak stabil, penggunaan
adrenalin, hamil (<0,5 vol%).
Dosis untuk induksi 1-4 vol % dan untuk maintenance 0,5-2 vol %.
c. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat
secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.4,5
2 golongan obat pelumpuh otot yaitu :
a. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot
non depolarisasi dan asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)
b. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik
inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane
15
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium
bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium
bromida)
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang
berat.1,6
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
16
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Intubasi trakea bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
d. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk :
a.Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b.Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
17
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan= 4 ml / kgBB / jam.
Sedang= 6 ml / kgBB / jam
Berat = 8 ml / kgBB / jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak
3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan
dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.4,7
6. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih
sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau
masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien
pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum
yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan
untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk
untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.2,7
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
18
1 Aktivitas
motorik
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas
perintah atau secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
2
1
0
2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk
Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi
Apneu/tidak bernafas
2
1
0
3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula
Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari
semula
Tekanan darah berbeda >50% dari semula
2
1
0
4 Kesadaran Sadar penuh
Bangun jika dipanggil
Tidak ada respon atau belum sadar
2
1
0
5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula
Pucat
Sianosis
2
1
0
Aldrete skor ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
19
Tabel 2. Steward Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran Bangun
Respon terhadap stimuli
Tak ada respon
2
1
0
2 Jalan
napas
Batuk atas perintah atau menangis
Mempertahankan jalan nafas dengan baik
Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan
nafas
2
1
0
3 Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan
Gerakan tanpa maksud
Tidak bergerak
2
1
0
Tabel 3. Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan.
B. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK)
1. Definisi
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran tympani dan sekret yang keluar dari
telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, Sekret mungkin encer
atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis media akut dengan perforasi
membran tympani menjadi otitis media supuratif kronik apabila prosesnya
sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor yang menyebabkan otitis media
akut menjadi otitis media supuratif kronik adalah terapi yang tidak
20
adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi
kurang) atau higiene buruk.
2. Diagnosis
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT
terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan
pemeriksaan sederhana untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran.
Unutk mengetahui jenis dan derajat ganggguan pendengaran dapat
dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur dan
pemeriksaan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) bagi
pasien/ anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada
murni. Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta
kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga.
3. Jenis Pembedahan Pada OMSK
Jenis operasi mastoid yang dilakukan tergantung luasnya infeksi atau
kolesteatom, sarana yang tersedia serta pengalaman operator. Ada
beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada
OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe aman atau bahaya, antara lain:
a. Mastoidektomi sederhana
Dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan konservatif
tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan
ruang mastoid dari jaringan patologik.
b. Mastoidektomi radikal
Dilakukan pada OMSK bahaya dengan infeksi atau kolesteatoma yang
sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum tympani
dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang
telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan,
sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan.
c. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (operasi Bondy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatoma di daerah atik,
tetapi belum merusak kavum tympani. Seluruh rongga mastoid
dibersihkan dan dinding posterior liang telinga direndahkan.
21
d. Miringoplasti
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang sudah tenang
dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi
membrane tympani.
e. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang
lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenangkan dengan
pengobatan medikamentosa.
f. Timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach
Tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan
pada kasus OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe aman dengan jaringan
granulasi yang luas. Tujuan operasi ini adalah untuk menyembuhkan
penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik
mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior telinga).
22
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
No. Register : 942802
Nama : Ny. AD
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bangle No.1 RT 2/10, Pajang, Laweyan, Surakarta
Diagnosis pre operatif : Otitis Media Supuratif Kronik
Diagnosis post operatif : Otitis Media Supuratif Kronik
Macam Operasi : Tympanoplasti
Macam Anestesi : Anestesi umum (GA)
Tanggal masuk : 30 Juni 2012
Tanggal operasi : 2 Juli 2012
B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesa
a. Keluhan utama :
Pasien mengeluhkan penurunan pendengaran dan telinga kanan
mengeluarkan cairan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh telinga kanan mengeluarkan cairan dan
pendengaran berkurang. Cairan berwarna kuning dan berbau busuk.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mondok (-)
Riwayat alergi makanan / obat (-)
Riwayat asma dan penyakit paru (-)
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat merokok (-)
23
Riwayat DM (-)
2. Pemeriksaan fisik:
1 Juli 2012
Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup
GCS E4 V5 M6
Vital Sign:
Tensi : 160 / 80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Suhu Axiler : afebris
Respirasi : 16 x/menit
Berat badan : 50 kg
Mata : konjungtiva anemis ( -/- ), sklera ikterik ( -/- )
Hidung : lapang (+/+), nafas cuping hidung ( -/- ), sekret ( -/- ), deviasi
(-/-)
Mulut : buka mulut > 3cm, Mallampati II, sianosis ( - ), gigi goyah /
palsu ( - )
Telinga : sekret ( + ), pendengaran
Leher : gerak leher bebas, leher pendek (-), deviasi trakhea (-),
pembesaran limfonodi ( - ), JVP tidak meningkat
Thorax : lihat status lokalis
retraksi (-)
Pulmo
I : Pengembangan paru kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor/Sonor
A: Suara dasar: vesikuler (+/+)
Suara tambahan : (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
24
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Abdomen : I : Dinding perut sejajar dengan dinding dada
P : Nyeri tekan (-)
P : Timpani
A : Peristaltik usus (+)
Ekstremitas : oedem akral dingin
- - - -
- - - -
3. Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium darah
Hemoglobin
Hct
Eritrosit
Lekosit
Trombosit
Gol darah
PT
APTT
INR
:
:
:
:
:
:
:
:
:
12,7 gr/dl
36 %
4,51 juta/ uL
5,4 ribu / uL
241 ribu/ uL
B
12,9 detik
34,6 detik
0,940
GDS
Kreatinin
Ureum
Natrium
Kalium
Clorida
Hbs Ag
:
:
:
:
:
:
:
84 mg/dl
0,7 mg/dl
24 mg/dl
136 mmol/L
4,4 mmol/L
111 mmol/L
Non reaktif
4. Kesimpulan :
Pasien seorang perempuan, usia 45 tahun, dengan keluhan utama
telinga kanan mengeluarkan cairan dan didiagnosa : Otitis Media Supuratif
Kronik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan : Vital Sign : tekanan darah
160/80 mmHg, nadi 88x/menit, respirasi rate 16x/menit, suhu axiller
afebris, BB 50 kg. Cor dan pulmo dalam batas normal, abdomen: nyeri (-),
peristaltik usus (-).
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 12,7 g/dl, AE
4,51 juta/uL, Hct 36 %, AL 5,4 ribu/uL, AT 241 ribu/uL, GDS 84 mg/dl,
Ureum 24 mg/dl, Kreatinine 0,7 mg/dl, Natrium 136 mmol/L, Kalium 4,4
mmol/L, ion Clorida 111 mmol/L. Akan dilakukan tympanoplasti dengan
general anestesi.
25
Kelainan sistemik ringan, Kegawatan bedah : (-), Status fisik : ASA II.
C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Suhu tubuh pasien dibawah 38o C
c. Puasa > 6 jam
d. Oksigenasi 3 L / menit
e. Infus RL , NaCl 20 tetes/menit.
2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik anestesi: Semi closed inhalasi dengan Endotracheal Tube no 7.
4. Premedikasi : -Miloz 3 mg i.v,
- Fentanyl 60 mg i.v
5. Induksi : Propofol 70 mg i.v
6. Maintenance : -N20 : 02 = 2 L : 2 L,
-Halotan 1 vol %
7. Pelumpuh otot : Atracurium 30 mg i.v tiap 30 menit
8. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman
anestesi, cairan, perdarahan
9. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan (Recovery Room)
D. TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di ruang persiapan
a. Jam 10.15 dilakukan pemeriksaan kembali identitas penderita,
persetujuan operasi, lama puasa 6 jam, lembar konsul anestesi, obat-obatan
dan perlengkapan yang diperlukan.
b. Jam 10.20 pemeriksaan tanda-tanda vital
T : 12/80 mmHg Rr : 20 x/menit
N : 88 x/menit S : 37,1 oC
c. Infus RL 20 tetes/menit terpasang pada tangan kanan.
d. Posisi terlentang.
e. Mengganti pakaian penderita dengan pakaian operasi
26
2. Di ruang operasi
a. Jam 10.45 penderita ditidurkan di ruang operasi telentang dilakukan
premedikasi pemberian miloz 2 mg i.v serta Fentanil 60 mcg i.v,
kemudian stetoskop dan manset dipasang pada tangan kanan.
b. Jam 10.50 dilakukan induksi dengan Propofol 70 mg i.v lalu segera
kepala diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 6
l/menit. Setelah reflek bulu mata menghilang, dimasukkan Atracurium
30 mg i.v. Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan orotrakhea no.7
Setelah terpasang baik dihubungkan dengan mesin anestesi untuk
mengalirkan O2 2 l/menit dan N2O 2 l/menit. Untuk maintenance
digunakan Halotan 1 vol %, cairan RL masuk 300cc.
c. Jam 11.00 diberi injeksi Atracurium 10 mg, Anestesi sudah cukup
dalam dan Operator memulai Operasi, Selama operasi dimonitor tanda
vital dan Sat O2 tiap 5 menit.
d. Jam 11.10 diberi injeksi Fentanyl 25 mcg iv
e. Jam 11.30 diberi injeksi Ketorolac 50 mg iv
f. Jam 12.10 diberi injeksi Fentanyl 25 mcg iv
g. Jam 12.20 diberi injeksi Atracurium 10 mg iv
h. Jam 12.30 diberi injeksi Fentanyl 25 mcg iv
i. Jam 14.30 diberi injeksi Fentanyl 25 mcg iv
j. Jam 15.00 operasi hampir selesai, N2O dimatikan, isofluran dimatikan,
O2 dinaikkan 6 l/menit.
k. Jam 15.15 operasi selesai, alat anestesi dilepas.
l. Jam 15.25 pasien dipindahkan ke ruang RR.
Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi
Nadi
(kali per
menit)
Sa02
(%)Keterangan
10.45 130/83 100 100 Premedikasi miloz 2 mg i.v serta Fentanil 60 mg i.v
10.50 127/78 100100 Induksi dengan Propofol 70 mg i.v dan Atracurium
30 mg i.v lalu dilakukan imtubasi
27
10.55 120/76 98100 N20 / 02 = 2:2, total flow 5 L / menit, Halotan 1 vol
% RL masuk 300 cc
11.00 110/70 97 100 injeksi Atracurium 10 mg, operasi dimulai
11.05 116/75 97 100
11.10 125/80 99 100 Injeksi Fentanyl 25 mcg i.v
11.15 130/80 97 100
11.20 140/85 97 100
11.25 140/90 96 100
11.30 150/90 95 100 Injeksi Ketorolac 50 mg i.v, NS masuk 500 cc
11.35 140/84 97 100
11.40 140/76 98 100
11.45 136/76 99 100
11.50 120/70 100 100
11.55 120/70 98 100
12.00 114/70 98 100
12.05 115/74 98 100
12.10 124/78 98 100 Injeksi Fentanyl 25 mcg i.v
12.15 124/78 99 100
12.20 132/82 100 100 injeksi Atracurium 10 mg i.v
12.25 132/84 100 100
12.30 132/84 98 100 Injeksi Fentanyl 25 mcg i.v
12.35 130/78 97 100
12.40 130/80 97 100
12.45 126/77 97 100
12.50 128/77 96 100
28
12.55 126/80 95 100 injeksi Fentanyl 30 mg i.v, NS masuk 500 cc
13.00 122/84 95 100
13.05 125/86 96 100
13.10 125/86 98 100 injeksi Atracurium 10 mg i.v
13.15 134/86 100 100
13.20 126/78 95 100
13.25 128/78 95 100 injeksi Fentanyl 30 mg i.v
13.30 130/78 97 100
13.35 120/70 96 100
13.40 110/68 96 100 Injeksi Atracurium 10 mg i.v
13.45 108/68 96 100
13.50 100/68 96 100
13.55 100/66 98 100
14.00 100/66 96 100
14.05 100/66 96 100
14.10 100/70 96 100 injeksi Fentanyl 30 mg i.v
15.15 100/70 96 100
14.20 100/70 96 100 NS masuk 500 cc
14.25 90/56 96 100
14.30 90/56 96 100 Injeksi Fentanyl 25 mcg i.v
14.35 90/58 96 100
14.40 90/58 96 100
14.45 100/60 96 100
14.50 100/66 96 100
29
14.55 110/70 96 100
15.00 110/75 96100 operasi hampir selesai, N2O dimatikan, isofluran
dimatikan, O2 dinaikkan 6 l/menit
15.15 110/75 96 100 operasi selesai, alat anestesi dilepas
15.25 110/75 96 99 pasien dipindahkan ke ruang RR
3. Di ruang pemulihan
Jam 15.25 : pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar dalam keadaan posisi
terlentang kepala diektensikan, diberikan O2 3 liter/menit, lendir
dihisap dan tanda–tanda vital dimonitoring.
Jam 15.45 : Pasien sadar penuh .
Jam 16.00 : Pasien dipindah ke bangsal.
4. Instruksi Pasca Anestesi
a. Rawat pasien posisi setengah duduk, oksigen 3 L/mnt, kontrol tanda vital
tiap 15 menit. Bila tensi turun dibawah 90/60mmHg, berikan Ephedrine 10
mg. Bila muntah berikan injeksi Ondansetron 4 mg IV. Bila kesakitan
berikan injeksi Ketorolac 30 mg IV.
b. Lain-lain
- Puasa sampai dengan flatus atau bising usus (+)
- Post op cek DR3.
- Monitor tanda vital, kontrol balance cairan
- Bila nyeri hebat, konsul Anestesi
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik
akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK
Adanya penyakit tersebut menyebabkan meningkatnya laju metabolisme
tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat meningkat, sehingga
pasien dapat mengalami dehidrasi saat operasi. Dapat pula terjadi sepsis.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
3. Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan
teknik anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu
dipersiapkan darah untuk mengatasi perdarahan.
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
1. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)
2. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
1. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
dilakukan anestesi dan operasi.
2. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
1. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
31
2. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga
bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
3. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada
operasi ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit dan amnesia
dengan menggunakan premedikasi midazolam dan fentanyl. Teknik
anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal
tube, dan perencanaan ini sudah tepat karena bila dengan face mask
bahaya aspirasi dan terganggunya jalan napas lebih besar. Selain itu,
akan menganggu jalannya operasi, karena operasi dilakukan di
bagian telinga dengan posisi pasien supinasi dan kepala miring ke
kiri.
4. Selama operasi dipasang ET teknik cepat.
Premedikasi
a. Midazolam digunakan untuk premedikasi pada kasus ini karena selain
baik untuk anak-anak, midazolam mempunyai efek sedatif dan hipnotik
kuat serta amnesia retrograde sehingga mengurangi trauma psikis saat
operasi.
b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah, mengurangi
kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi digunakan fentanyl
mg IV.
Induksi
a. Digunakan Propofol 70 mg i.v karena memiliki induksi yang cepat, masa
pulih sadar yang cepat, jarang menimbulkan mual dan muntah, tensi juga
kondisi pernapasan yang normal.
b. Untuk mengurangi cedera karena pemasangan ET, merelaksasikan otot
saluran napas untuk sementara maka digunakan atracurium yang
merupakan pelumpuh otot non depolarisasi.
Maintenance
Dipakai N20 dan 02 dengan perbandingan 2 L : 2 L, serta Sevofluran 1-2
vol%. Diberikan injeksi Propofol 50cc untuk kendali hipotensi pada pasien.
32
Terapi Cairan
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
2 cc x 50 kg x 6 jam = 600 cc
b.Kebutuhan cairan selama operasi sedang dan karena trauma operasi selama 4
jam
= (2cc x 50kg x 4) + (6 cc x 50kg)
= 400 + 300 = 700 cc
c. Perdarahan yang terjadi = 150 cc
EBV = 65 cc x 50 kg = 3250 cc
Jadi kehilangan darah = 150/3250 x 100% = 4,61%
Urine 600 cc
Diganti dengan cairan kristaloid 3x150 = 450
Kebutuhan cairan total = 600 + 700 + (50 x 6 x 4) + 450 = 2950 cc
Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 200 cc
2). Saat operasi = 1800 cc
Total cairan yang masuk = 2000 cc
Jadi terdapat kekurangan cairan yaitu 950 cc, sehingga pengawasan terhadap
pemberian cairan masih diperlukan saat pasien berada di bangsal, diperhatikan
kemungkinan terjadinya dehidrasi dan diperhatikan pula produksi urin.
33
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
elektif pada perempuan 45 tahun dengan otitis media supuratif kronik dengan
menggunakan teknik anestesi semi closed dengan ET no.7.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi
dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik
dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan
juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
34
DAFTAR PUSTAKA
Dobson Michael B. 1994.Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Gan, Sulistia. 1986.Farmakologi dan terapi, edisi ke- 3. Jakarta : FK UI.
Muhardi, M, dkk. 1989. Anastesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,.
Jakarta : FKUI, CV Infomedia.
Snow, J.C. 1982.Manual of Anasthaesiology, 2 nd edition. Boston : Little Brown
and Company.
Tony H. 1998. Anestesi umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV. Jakarta
Balai Penerbit FKUI.
Wim de Jong, Sjamsuhidajat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi. Jakarta :
EGC.
Wirjoatmojo, K. 2000.Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
35