Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun...

179
Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah Pembelajaran Program Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Civil di Aceh Acehnesse Civil Society Organization Strengthening -ANCORS Penulis Sutoro Eko Ferry Yuniver Noer Hiqmah

Transcript of Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun...

Page 1: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah

Pembelajaran Program Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Civil di Aceh

Acehnesse Civil Society Organization Strengthening -ANCORS

Penulis

Sutoro Eko Ferry YuniverNoer Hiqmah

2009

Page 2: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Prawacana

Dulu “Negara Membangun Daerah”, Kini“Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah”

Sutoro Eko

Kelahiran setiap karya keilmuan mempunyai cerita dan rute yang berbeda-beda. Ada banyak buku, terutama buku yang ditulis oleh para politisi, mengungkapkan ketidakpuasan dan kemarahan mereka terhadap republik Indonesia. Ada sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka bangun selama mereka memimpin. Kalangan akademisi menulis buku karena gelisah dengan kondisi empirik, atau sebagian besar dari mereka menulis buku karena tidak puas dengan karya-karya sebelumnya, seraya hendak menelorkan argumen-argumen baru dalam buku yang ditulisnya.

Buku ini tidak berangkat dari ketidakpuasan, bukan juga karena ingin memamerkan cerita-cerita sukses, tetapi karena dilandasi oleh keinginan menceritakan pelajaran berharga YAPPIKA bersama para mitra organisasi masyarakat sipil (OMS) di Aceh dalam belajar, bergerak dan bersenyawa dalam konteks tata pemerintahan lokal di Aceh selama 2 tahun (2006-2008). Di dalam pelajaran berharga mungkin terdapat makna-makna penting yang bernilai, tetapi tentu juga terdapat kesulitan dan tantangan yang serius.

Narasi tentang pelajaran berharga itu kami kerangkai dengan tema “masyarakat sipil mendemokrasikan daerah”. Apa makna tema ini? Apa relevansi tema ini bagi Aceh dan daerah-daerah lain di Indonesia? Apakah tema ini juga mempunyai relevansi secara keilmuan?

*****

Pekerjaan penting di Aceh pasca tsunami tentu bukan hanya membangun kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi), tetapi juga merawat perdamaian secara berkelanjutan, membangun daerah untuk kesejahteraan rakyat dan juga mendemokrasikan daerah. Pemerintah Aceh memiliki dana otonomi khusus yang tidak kecil untuk membangun daerah, dan dukungan dari Jakarta pun tetap mengalir untuk membangun Aceh. Pada saat yang sama, organisasi-organisasi masyarakat sipil tengah mengalami pembiakan, yang mempromosikan demokrasi dan menantang pemerintah daerah untuk mengelola dana

Page 3: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

publik secara transparan, akuntabel dan responsif kepada rakyat. Lembaga-lembaga donor dan jaringan NGOs nasional mempunyai kontribusi besar menanam investasi sosial ke ranah masyarakat sipil di Aceh itu, termasuk karya YAPPIKA melalui ANCORS.

Pembangunan dan demokratisasi daerah bagaimanapun merupakan medan interaksi, bahkan medan tempur, antara negara dan masyarakat sipil. Meskipun tidak memberikan gambaran yang nyata secara keseluruhan, tetapi tampak ada pergeseran locus politik dari “politisasi pembangunan” dan “negara membangun daerah” di masa lalu menjadi “politisasi demokrasi” dan “masyarakat sipil mendemokrasikan daerah”. Dengan bahasa yang lain, dalam konteks ini terjadi lokalisasi politik, sebagai sebuah “politik baru” (new politics), sebuah keyakinan dan praktik politik yang antara lain ditandai dengan pergeseran dari konsolidasi demokrasi ke pendalaman demokrasi, dari depolitisasi pembangunan ke politisasi demokrasi, dari dominasi negara-negaradalam pembangunan ke kebangkitan masyarakat sipil, dari pembangunan negara yang sentralistik ke desentralisasi dan partisipasi lokal (R. Abrahamsen, 2000; J. Harriss, 2002, J. Harriss, K. Stokke, dan O. Törnquist, 2004),

Di masa lalu, negara sangat kuat, negara membangun daerah sehingga membuahkan model pembangunan yang digerakkan oleh negara (state driven development). Tetapi negara Indonesia menampilkan dua wajah yang kontradiktif. Di satu sisi negara mempunyai formasi yang besar dan hirarkhi yang ketat, mulai dari istana negara sampai ke pelosok desa. Negara mempunyai stuktur birokrasi yang gemuk dan pegawai yang mengontrol dan melayani segenap sektor kehidupan rakyat, mulai dari mengurus agama, masuk ke perut perempuan sampai membagi-bagi uang kepada fakir miskin. Tetapi negara Indonesia belum bersifat modern, canggih dan impersonal sebagaimana dituturkan oleh Max Weber. Negara, apalagi di aras lokal, menampilkan wajah negara semu (pseudo state), yang dikuasai secara tradisional-personal oleh orang-orang atau keluarga/dinasti kuat, atau sering disebut dengan negara patrimonial yang diwariskan dari kerajaan masa lalu.

Sejumlah ilmuwan sosial mulai dari Harry J. Benda (1964), Yahya Muhaimin (1990) hingga Tony Adam (2002) mengdepankan argumen bahwa bentuk politik Indonesia modern mempunyai akar sejarah di masa lalu, yakni karakter patrimonial. Jaringan-jaringan patron klien dan kekeluargaan (kekerabatan) yang berbasis etnisitas tradisional menjadi cirikhas sistem politik prakolonial terus-menerus berlanjut sejak masa kolonial hingga abad modern sekarang ini. Karakter patrimonial ini membuat negara dikelola secara personal seperti dalam keluarga, baik dalam penempatan jabatan-jabatan publik maupun distribusi sumberdaya keuangan. Sejauh ini tatanan patrimonial telah menjadi kerangka kerja hubungan internal dalam pemerintahan maupun hubungan antara pejabat pusat dan elite daerah.

Pada akhir periode kolonial, pejabat pusat bersekutu dengan elite bangsawan di daerah dengan membangun pemerintahan tidak langsung dengan biaya relatif murah namun berhasil menciptakan stabilitas politik. Karena memperoleh perlindungan pemerintah

Page 4: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

kolonial, elite-elite daerah cenderung menguat. Jika ke atas elite daerah menunjukkan loyalitas, maka ke bawah mereka memperoleh kekuasaan dengan basis etnisitas dan tradisi adat. Di masa kolonial, hukum adat menjadi seperangkat penting pemerintah dalam mengatur hubungan-hubungan setempat dengan membiarkan rakyat terbelenggu dalam tata aturan yang berbasis etnis (Henk Schulte Nordholt, 2005). Politik identitas etnik betul-betul menjadi alat untuk representasi politik dan teritorialisasi politik. Di seluruh nusantara, kelompok dan batas-batas etnis ditetapkan sebagai hasil dari komunitas cair dengan tapal batas sangat mudah berubah yang kemudian diberi garis pembatas jelas dengan istilah-istilah ketat serta diletakkan di dalam struktur wilayah (Henk Schulte Nordholt, 1994 dan Smith Kipp, 1996).

Burhan Magenda (1994), misalnya, menunjukkan kesinambungan kekuasaan bangsawan di daerah-daerah luar Jawa setelah Indonesia meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Dia memperlihatkan bahwa korps pegawai negeri sipil Departemen Dalam Negeri awal tahun 1950-an dikuasai oleh para birokrat Jawa yang bersekutu dengan bangsawan-bangsawan luar Jawa. Birokrat membutuhkan bangsawan untuk mengatur negeri, dan bangsawan membutuhkan perlindungan birokrat untuk menghadapi perlawanan lokal. Pola hubungan ini semakin menguat di zaman Orde Baru. Dengan memasuki negara dan menyesuaikan diri secara halus dengan aturan baru permainan politik dan administrasi, banyak elite daerah yang berhasil menciptakan kekuatan baru bagi kepentingan sendiri mereka sendiri untuk memperluas kekuasaan, status dan kekayaan (Magenda, 1994; Michael Malley, 2001). Dengan strategi ganda, mereka sangat loyal pada pusat dengan cara memobilisasi dukungan rakyat untuk kemenangan Golkar, mereka juga berupaya masuk dan mengendalikan cabang-cabang partai penguasa itu. Para elite daerah memperoleh akses jabatan-jabatan penting dan jaringan patronase ekonomi yang sangat menguntungkan.

Pandangan serupa terhadap kesinambungan patrimonial di tingkat daerah memperlihatkan bahwa banyaknya masalah dalam hubungan antara desentralisasi dan demokrasi lokal berurat-berakar dalam tubuh elite daerah di Indonesia. Posisi mereka di masa kolonial diperkuat oleh sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang lebih mengutamakan pembedaan etnis dan adat tradisional. Wacana identitas etnis dan kekeluargaan warisan masa lalu yang memantapkan posisi elite dimunculkan di arahkan pada masa Orde Baru. Mereka memiliki akses pada lembaga-lembaga pusat dan mengandalkan konstituen lokal yang digalang dengan loyalitas etnis. Proses desentralisasi memberikan mereka kesempatan memperluas dan mempertahankan jaringan patron-klien daerah, bergabung dengan ketergantungan fiskal pada Jakarta, menghasilkan persaingan sengit untuk berebut posisi-posisi strategis dalam pemerintahan daerah. Jabatan-jabatan tersebut memungkinkan mereka memperoleh akses eksklusif pada dana-dana pusat dan sumber-sumber daerah (Henk Schulte Nordholt, 2005). Di era desentralisasi dan otonomi daerah, karakter patrimonial berpindah dan menguat di daerah. Delegitimasi sentralisme dan kebangkitan daerah menjadi cirikhas paling menonjol dalam konteks desentralisasi selama satu dekade terakhir. Kebangkitan daerah ditandai dengan bangkitnya politik identitas (entah agama atau etnis), menyoloknya politik kekerabatan dalam birokrasi daerah

Page 5: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

dan bangkitnya orang-orang kuat yang mempunyai keleluasaan untuk mengendalikan sum-berdaya ekonomi politik lokal. Berbeda dengan kondisi masa lalu, kontrol pemerintah pusat atas daerah semakin melemah, sehingga pusat semakin berang terhadap munculnya raja-raja kecil di daerah.

*****

Warisan masa lalu itu sampai sekarang masih berakar, tetapi masyarakat sipil secara inkremental hadir menjadi kekuatan oposisi atas kekuatan lama. Modernisasi maupun pembangunan yang berjalan selama ini tentu menghasilkan begitu banyak ragam generasi: ada generasi yang hedonis tetapi juga ada generasi transformatif. Gererasi baru yang transformatif ini adalah kekuatan masyarakat sipil, mereka adalah kalangan terdidik baik di dunia pendidikan maupun organisasi masyarakat, yang mempunyai integritas moral, kritis, beradab dan berpandangan visioner. Mereka menaruh perhatian pada isu-isu publik, antikemapanan, antilokalisme, antikorupsi dan tentu juga kritis terhadap pemerintahan daerah, sehingga mereka menjadi kekuatan kontrol sosial yang memberi makna terhadap daerah.

Masyarakat sipil tentu bukanlah malaikat sempurna, yang tidak luput dari masalah-masalah yang serius. Masyarakat sipil menampakkan dua sisi yang paradoks, ada yang civil tetapi juga da yang uncivil. Di satu ada gerakan sosial yang hendak menuntut perubahan, tetapi di sisi lain ada kelompok masyarakat yang berburu money politics pada perhelatan pemilihan umum maupun pilkada. Ada juga organisasi berbasis primordial yang menebar kekerasan dan konflik horizontal.

Potret masyarakat sipil yang mendua, bahkan heterogen, telah terpetakan dengan baik oleh YAPPIKA bersama ACCESS dan CIDA melalui Indeks Masyarakat Sipil (sebuah alat yang dikembangkan oleh CIVICUS) Indonesia, tahun 2006. Studi ini membuat sepuluh kesimpulan tentang potret masyarakat sipil: rakyat Indonesia itu dermawan (filantropis) dan aktif berorganisasi; sumberdaya masyarakat sipil sangat terbatas; lingkungan eksternal belum kondusif; hubungan OMS-negara: bagaimana meningkatkan dialog dan kerjasama; Perlu ada insentif perpajakan untuk OMS sebagai sektor nirlaba; sswasta masih kurang peduli dengan OMS; terdapat kekuatan-kekuatan yang tidak toleran, menggunakan kekerasan dan diskriminatif; kepercayaan terhadap LSM dan serikat buruh masih rendah; masyarakat sipil belum transparan dan tidak bebas dari korupsi; OMS Indonesia aktif dan sukses dalam mempromosikan demokrasi, HAM dan memberdayakan warga negara

Hasil studi Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna (2005), yang berbeda dengan cara pandang Indeks Masyarakat Sipil, secara gamblang telah menunjukkan titik-titik lemah masyarakat masyarakat sipil di Indonesia. Demos menyimpulkan bahwa pemerintahan demokrasi di Indonesia saat ini pada dasarnya merupakan rejim demokrasi oligarkis yang dibangun di atas jaringan intra-elite dan juga jalur KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Para elit oligarkh secara umum dan merata menguasai negara, memonopoli instrumen-

Page 6: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

instrumen demokrasi, menyesuaikan diri dengan mekanisme prosedural demokrasi liberal, dan memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri. Pada saat bersamaan, di sisi lain, para aktor pro-demokrasi yang bekerja di civil society secara umum mengalami marginalisasi kecuali di wilayah tradisionalnya selama ini, yakni di instrumen-instrumen masyarakat sipil, serta di wilayah kebebasan sipil dan politik. Ada beberapa persoalan berkaitan yang cukup akut dari aktor prodemokrasi yang berada di civil society. Pertama, masih luas dan kuatnya suasana antipolitik di kalangan organisasi masyarakat sipil. Kekurangpedulian, keengganan, dan bahkan trauma dari banyak warga negara terhadap politik, terutama akibat praktik represi negara para era Orde Baru. Kedua, terisolasinya para aktor pro-demokrasi yang ada di civil society sedikit banyak berkaitan dengan warisan yang sulit ditinggalkan dari “politik massa mengambang” (floating mass politics). Ketiga, berkaitan dengan pemikiran dan cara mereka berorganisasi yang tidak kondusif untuk memperbaiki kualitas gerakan untuk mendorong proses demokratisasi. Seperti misalnya minimnya pemikiran yang jelas mengenai akar masalah dan solusinya, serta kemampuan mereka dalam mengidentifikasi peluang di tengah berbagai tantangan yang ada. Secara umum, mereka terisolasi dari wilayah politik, karakternya yang “mengambang” (floating) dan “terfragmentasi” (fragmented). Sementara, para aktor pro-demokrasi progresif yang diharapkan untuk tetap meneruskan kiprah mereka di wilayah civil society ternyata hanya sekadar menjalankan fungsi kontrol (watchdog) sebagai kelompok lobi atau kelompok penekan.

Karya Demos tentu bukan bermaksud melemahkan tekad, karya dan gerakan OMS yang selama satu dekade terakhir tumbuh di Indonesia, dan lima tahun terakhir tengah booming di Aceh. Dalam pandangan saya, Demos mempunyai pandangan yang maksimal dan “radikal” tetapi juga normatif, sebagai kritik atas mainstream demokrasi liberal, seraya memprovokasi kalangan OMS untuk melakukan reklaim terhadap kekuasaan. Argumen ini memperlihatkan “ketidaksabaran” akan masyarakat sipil yang terlalu soft dan inkremental di satu sisi, dan sekaligus jengkel terhadap oligarkhi yang berkuasa dengan bingkai demokrasi liberal. Seandainya aktivis cepat berkuasa, sementara basis kebajikan sosialnya masih lemah, jangan-jangan mereka juga masuk ke lobang yang sama, yakni lobang oliharkhi, yang tidak mampu melakukan transformasi menuju demokrasi bermakna.

Di Indonesia, secara empirik, pertumbuhan masyarakat sipil lebih bersifat soft dan evolusioner ketimbang revolusioner, sesuai dengan kultur politik dan formasi kelas yang telah terbangun selama ratusan tahun. Trend satu dekade terakhir dan tahun-tahun yang akan datang memperlihatkan bahwa pertumbuhan masyarakat sipil di Indonesia lebih memungkinkan di aras lokal bersamaan dengan pembiakan demokrasi lokal. Bagaimanapun demokrasi lokal menyediakan arena politik yang lebih dekat dan dapat dijangkau oleh organisasi maupun komunitas lokal. Trend ini juga paralel dengan semakin maraknya inovasi dan reformasi yang justru muncul di level daerah, sebagaimana ditunjukkan oleh Kalimantan Tengah, Jembrana, Surakarta, Yogyakarta, Purbalingga, Solok, Tanah Datar, Belitung Timur, Sragen, Tanah Bumbu, Blitar, Tarakan, Lamongan, Gorontalo, Kebumen, Bantul, Sukoharjo, Luwu Utara, dan lain-lain. Inovasi ini sebagian besar digerakkan oleh

Page 7: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

komitmen pemimpin lokal, tetapi suara dan tuntutan masyarakat juga menantang daya tanggap pemimpin daerah. Rintisan inovasi lokal itu jelas-jelas memberikan makna dan manfaat otonomi daerah bagi warga.

Sebaliknya basis ekonomi yang lemah, kelangkaan logistik dan rentang geografis yang tidak mudah, membuat gerakan masyarakat sipil pada skala nasional mengalami kesulitan yang serius. Meskipun Jakarta selalu menyajikan aneka ragam perturungan politik dan aksi kolektif organisasi masyarakat sipil, hal itu lebih menampakkan fenomena Jakarta, yang terlalu jauh dijangkau oleh jutaan rakyat dan komunitas yang hidup di pelosok daerah dan desa. Tentu pemerintah pusat telah menelorkan banyak cerita sukses, termasuk memperbaiki angka-angka statistik yang buruk, tetapi rakyat di pelosok nusantara lebih mengetahui secara jelas wacana dan pentas politik dari media daripada merasakan langsung manfaat kebijakan makro yang ditelorkan pemerintah.

Berbeda dengan pemilihan umum yang dalam tempo singkat memperlihatkan “hasil siapa memperoleh apa”, pertumbuhan masyarakat sipil beserta hasil dan manfaatnya tidak bisa dirasakan secara langsung saat ini. Ralp Dahrendorf (1990) pernah menyampaikan petuah berharga: “Sebuah negara bisa membangun demokrasi politik selama 6 bulan, bisa menciptakan ekonomi pasar selama 6 tahun, tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat di Eropa Timur membutuhkan waktu selama 60 tahun”. Jika tidak percaya pada petuah Dahrendorf, kita bisa melihat dan menghayati lebih dekat pada Yogyakarta, sebuah daerah yang paling kaya akan masyarakat sipil dan modal sosial. Pertumbuhan masyarakat sipil di Yogyakarta membutuhkan waktu panjang, yang sudah berlangsung lama bersamaan dengan evolusi dan kemajuan pendidikan. Komunitas-komunitas (seni, budaya, intelektual, antarumat beriman, mahasiswa, pecinta lingkungan, peduli heritage, peduli ruang publik, dan sebagainya) baik besar dan kecil tumbuh subur di setiap tempat, di setiap gang kampung. Yogyakarta juga melahirkan ilmu pengetahuan dan aktor-aktor NGOs yang tersebar di antero Indonesia; dan sebagian besar aktivis NGOs dari Aceh sampai Papua juga mengenyam pembelajaran di Yogyakarta. Berbagai bentuk, aktor dan arena masyarakat sipil tumbuh subur sebagai wadah untuk membangun jaringan sosial, pembalajaran, menumbuhkan etika sosial, sekaligus sebagai kekuatan kontrol sosial dan penyeimbang masyarakat politik dan pemerintah daerah (negara). Kekayaan masyarakat sipil inilah yang membuat Yogyakarta menjadi sehat, nyaman, mempunyai Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi, dan peringkat antikorupsi tertinggi di Indonesia. Berbagai kalangan dari luar Yogyakarta memberikan pujian seraya mengatakan bahwa Yogyakarta menyajikan otonomi masyarakat yang sejati dan bermakna.

Pengalaman Yogyakarta yang adhem ayem tentu berbeda dengan pengalaman Aceh yang konfliktual selama puluhan tahun. Pengalaman masyarakat sipil Aceh juga berbeda dengan pengalaman masyarakat sipil pada skala nasional. Gelombang demokratisasi di Eropa Timur, Eropa Selatan, Amerika Latin dan sebagian di Asia pada tahun 1980-an, ditambah dengan kaitan-kaitan transnasional, telah memberikan inspirasi bagi masyarakat sipil untuk menyerukan demokratisasi dan menantang rezim otoritarian Orde Baru (Ander Uhlin, 1997;

Page 8: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Bob Sugeng Hadiwinata, 2003; dan Suharko, 2005). Setelah Orde Baru berakhir terjadilah booming NGOs yang luar biasa. Proyek JPS di masa krisis secara instan melahirkan LSM-LSM baru yang tidak jelas, termasuk LSM Plat Merah, di setiap daerah meskipun pada tahun-tahun berikutnya mereka hilang dari peredaran. Pada saat yang sama, muncul ribuan NGOs generasi baru yang tidak hanya mengusung isu-isu HAM dan lingkungan seperti generasi sebelumnya, tetapi mengusung banyak isu yang beragam di bawah payung desentralisasi dan demokratisasi.

Ketika secara nasional NGOs mengalami booming dan merayakan demokratisasi, Aceh masih dalam situasi konflik. Kalangan NGOs sebenarnya telah tumbuh lama seperti hanya di daerah-daerah lain, tetapi mereka belum bisa bergerak bebas, dan lebih banyak menangani isu-isu HAM dan kekerasan. Aceh mengalami booming NGOs setelah bencana tsunami dan dimulainya perdamaian. Berakhirnya konflik, situasi politik yang kondusif, proyek yang bertaburan, kehadiran lembaga-lembaga donor dan NGOs nasional memberikan sumbangan besar terhadap pertumbuhan NGOs di Aceh beberapa tahun terakhir. Ada NGOs yang baru lahir pada 3 tahun terakhir, ada pula NGOs lama yang aktif kembali keran dorongan dari luar. Ada juga RTA Singkil, yang membuka haluan baru, dari sebuah dayah (pesantren) tradisional menjadi OMS semacam NGOs yang terlibat aktif mendidik warga, mengorganisir komunitas dan melakukan advokasi kebijakan publik di sektor pendidikan.

Pengalaman masyarakat sipil Aceh mendemokrasikan daerah tentu tertinggal beberapa tahun bila dibandingkan dengan pengalaman OMS di daerah-daerah lain. Sebagian besar OMS di Aceh tidak tumbuh karena evolusi yang panjang bersamaan dengan evolusi pendidikan, melainkan tumbuh karena disokong oleh jaringan dan investasi sosial dari luar. Saat ini OMS Aceh sedang tumbuh, belajar, bergerak dan bersenyawa dengan pemerintah daerah, sekaligus tengah dalam pencarian karakter dan posisi. Karena tengah belajar, maka standar dan petuah Demos mungkin relevan untuk dibaca tetapi belum relevan untuk diterapkan. Seperti halnya pengalaman di daerah-daerah lain, pembelajaran OMS di Aceh secara evolusioner dan inkremental bakal memberikan sumbangan terhadap pembiakan demokrasi lokal.

*****

Buku ini hendak menuturkan pengalaman OMS di Aceh dalam belajar, bergerak dan bersenyawa mendemokrasikan daerah. Narasi yang disampaikan seputar siapa OMS, apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka lakukan, apa dan siapa kekuatan pendukungnya, apa yang mereka peroleh, apa kendala yang mereka hadapi dan seterusnya. Pembaca mungkin kecewa karena buku ini tidak berangkat dari sebuah penelitian terstruktur yang panjang dan mendalam, melainkan buku ini dikemas dari catatan pengalaman ANCORS selama 2-3 tahun terakhir. Buku ini tentu bukan sekadar laporan proyek yang miskin pembelajaran, meskipun bercerita tentang pengalaman sebuah program. Kami berupaya membangun dialog antara narasi kecil (pengalaman empirik) dengan narasi besar (teori atau perspektif), sehingga buku ini diharapkan lebih dari sekadar catatan pengalaman. Di bab

Page 9: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

terakhir, kami juga menyuguhkan dimensi pembaruan teori dan praksis masyarakat sipil di Indonesia, sebagai pelajaran bagi banyak pihak yang bersentuhan dengan dunia OMS.

Saya, secara pribadi, tidak mengikuti pengalaman ANCORS dari awal. Tetapi saya mempunyai pengalaman dan banyak pelajaran berharga berkat kunjungan rutin ke Aceh dari tahun 2006 hingga 2009. Pada kunjungan-kunjungan awal, saya mempunyai banyak kesan pertama yang baik, mulai dari kopi Aceh yang khas dan gurihnya emping melinjo yang membikin ketagihan, sampai dengan kesan bawah OMS di Aceh begitu bergairah dan menyenangkan. Tetapi pengetahuan dan pengalaman pertama saya yang lebih mendalam tertuju pada mukim dan gampong, yang kemudian melahirkan sebuah buku bertitel “Bergerak Menuju Mukim dan Gampong”, dipublikasikan secara bersama oleh AIPRD-LOGICA, IRE dan JKMA pada tahun 2007. Pengetahuan saya yang lebih banyak tentang OMS di Aceh setelah belakangan bergaul dengan YAPPIKA, ketika saya melakukan evaluasi ANCORS dan kemudian evaluasi IMPACT. Pengalaman dan pengetahuan di penguhujung perjalanan ANCORS inilah yang kemudian saya sumbangkan untuk menulis buku ini, bersama dua teman dari YAPPIKA.

Buku yang saya tulis bersama Riawan Tjandra dan M. Umar (EMTAS), Bergerak Menuju Mukim dan Gampong, memperoleh sambutan baik tetapi juga kritik dan kekecewaan. Ada pemuka adat yang meragukan kebenaran buku itu karena ditulis orang yang jauh dari Aceh. Ada pula seorang guru besar Unsyiah yang merasa tidak nyaman dengan kahadiran buku itu. Bagi saya, semua ini tidak menjadi masalah. Kritik dan ketidakpuasan terhadap sebuah buku merupakan sesuatu yang baik, yang membuat buku itu lebih berharga. Mudah-mudahan buku “Masyarakat Sipil Membangun Daerah” ini juga disambut dengan kritik dan ketidakpuasan, sehingga bakal melahirkan buku-buku lain yang bersifat novelty, sehingga bisa memperkaya khazanah pembelajaran dan sekaligus memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan masyarakat sipil di Indonesia.

Page 10: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Bab 1 Inisiatif ANCORS: Mengutamakan Masyarakat Sipil

Tantangan utama Abad 21 adalah membangun tatanan hubungan yang baru antara rakyat

kebanyakan dengan lembaga-lembaga – khususnya lembaga-lembaga kepemerintahan –

yang mempengaruhi kehidupan mereka. (John Gaventa, 2004)

Tema besar “masyarakat sipil mendemokrasikan daerah” yang disuguhkan buku ini sebenarnya berangkat dari inisiatif YAPPIKA dalam menabur investasi penguatan masyarakat sipil di Aceh pasca tsunami, melalui sebuah program yang bertitel Acehnese Civil Society Organization Strengthening (ANCORS). Jika pengantar dan prawacana sebelumnya berbicara kerangka dan posisi argumen besar buku ini, bab 1 ini hendak menceritakan inisiatif ANCORS. Di dalamnya berbicara tentang konteks dan relevansi inisiatif, sekaligus akan menjawab beberapa pertanyaan: mengapa mengutamakan masyarakat sipil, apa yang diutamakan, bagaimana menjalankannya, dan apa yang membedakan inisiatif ANCORS dibandingkan dengan inisiatif-inisiatif lainnya?

Page 11: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Konteks Masyarakat Sipil Aceh

Masyarakat sipil Aceh telah memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia di bumi Serambi Mekah. Berbagai peran telah dijalankan oleh masyarakat sipil Aceh dari peran-peran konvensional seperti advokasi hak asasi manusia, pengembangan komunitas terutama dalam bidang ekonomi dan penghidupan (livelihood) sampai peran sebagai pendamai yang merupakan tuntutan kondisi lingkungan Aceh yang mendorong seluruh komponen masyarakat sipil Aceh terjun langsung dalam kancah perdamaian dalam konflik bersenjata RI-GAM. Dalam menjalankan perannya, masyarakat sipil Aceh seringkali mendapatkan teror, intimidasi, penjara bahkan beberapa aktivis juga pernah pengalami penculikan, dan pembunuhan.

Sejarah masyarakat sipil Aceh seiring sejarah konflik di Aceh. Konflik menyebabkan pertumpahan darah yang menimbulkan jatuhnya korban sipil. Perang bukan saja berupaya menghancurkan infrastruktur gerakan bersenjata, namun nyaris menghabisi seluruh bangunan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya Aceh. Bahkan lebih jauh, perang telah menyebabkan Aceh dikucilkan dan dipandang sebagai anak pembangkang. Propaganda pemerintah terhadap GAM telah menyebabkan masyarakat Aceh yang berada di Aceh dan diluar Aceh mengalami diskriminasi, stigmatisasi dan bahkan penghukuman tanpa proses hukum. Kondisi ini mendapat perlawanan dari masyarakat sipil di Aceh.

Untuk OMS di Aceh kiprahnya sudah muncuk sejak masa Daerah Operasi Militer (DOM) dan pasca DOM, dimana isu utamanya adalah kemanusiaan dan perdamaian (keadilan). Pada masa DOM dan Paska DOM inilah OMS di Aceh menggerakkan protes masa yang menyuarakan kepentingan korban. Kalau tidak ada OMS pada saat itu DOM tidak dicabut, GAM tidak muncul dan SIRA tidak sebesar sekarang. Satu pemberian sejarah dari masyarakat sipil adalah membuka semua arena di Aceh, dimana Aceh menjadi terbuka, agenda itu terus membesar dan tahun 1999 menggelar referendum. Apa yang dilakukan OMS pasca DOM dan tidak DOM, OMS telah menciptakan perubahan dan sejarah Aceh yang baru dan bertahan serta mendorong nilai, hak dan kepentingan mereka. Ada evolusi atau reformasi yang jelas. Sebenarnya pembagiannya bukan sektor negara, negara itu adalah lingkaran besarnya dimana ada sektor sipil, ekonomi dan politik.1

Masyarakat sipil pulalah yang mengantarkan Aceh pada peta dan posisi politik baik pemerintah RI dan GAM paska tsunami Desember 2004. Keberhasilan Perundingan Damai dan terwujudnya MoU Pemerintah-RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu membuktikan; Aceh menghargai jalan damai. Banyak kalangan mengungkapkan bahwa tsunami telah memberikan kontribusi perubahan bagi Aceh.

Sebelum tanggal 26 Desember 2004, akses ke Aceh oleh pihak luar, termasuk media massa dan NGO, amat dibatasi oleh serangkaian peraturan pemerintah dan operasi-operasi militer.

1Tulisan Otto Syamsuddin Ishak dalam Proseding konfrensi OMS Aceh hal. 75

Page 12: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Hal ini terutama disebabkan karena situasi konflik berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada situasi seperti itu, pengembangan gerakan masyarakat sipil di Aceh amat terbatas. Mayoritas Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh dapat dideskripsikan sebagai aktor-aktor alternatif dan independen yang bekerja untuk isu HAM, hukum dan keadilan. Beberapa NGO yang bergerak untuk isu pengembangan masyarakat (community development) dan organisasi berbasis keagamaan juga ada dan melanjutkan keberadaannya di setiap desa, tetapi peran mereka bervariasi antar satu komunitas dengan komunitas lainnya

Bencana tsunami yang terjadi di Aceh telah mengakibatkan kerusakan yang parah, korban jiwa dan kehancuran di beberapa kawasan Asia Selatan, bahkan hingga Afrika. Kerusakan dan kerugian akibat gempa dan tsunami yang diderita masyarakat di Indonesia sangat besar, melampaui negara-negara lainnya. Korban meninggal dilaporkan sebanyak 128.845 jiwa, dan yang hilang 94.682 jiwa. Sementara itu, jumlah orang yang menjadi pengungsi (IDP’s) sebanyak 513.278 jiwa di Aceh dan 19.620 di Sumatera Utara. Pada sisi lain, tsunami telah membuka beberapa peluang bagi kehidupan di Aceh. Sejak 26 Desember 2004, Aceh menjadi wilayah terbuka untuk dimasuki oleh sekitar 300 organisasi internasional yang memberikan bantuan kemanusiaan dan terlibat dalam proses-proses rekonstruksi. Selain itu, penandatangan MoU antara pemerintah Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, telah menyebabkan situasi yang lebih kondusif bagi OMS untuk terlibat dalam proses rekonstruksi dan pembangunan di Aceh pada masa-masa mendatang.

Bencana alam yang cukup besar ini telah memicu kehadiran bantuan internasional, baik untuk mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka panjang. Pemerintah Indonesia telah membuat master plan untuk kegiatan rekosntruksi dan rehabilitasi, sekaligus membentuk Badan Rehabiltasi dan Rekonstruksi (BRR) yang bertanggungjwab mengkoordinir seluruh kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebagaimana tercantum dalam master plan, kegiatan rekonstruksi tidak hanya akan memfokuskan perhatian pada infra-struktur fisik, seperti perumahan, prasarana jalan dan pasar, tetapi juga mengembangkan struktur sosial masyarakat dengan memberi kesempatan kepada masyarakat Aceh untuk berpartisipasi dalam membangun tata pemerintahan di wilayah mereka masing-masing. Dalam konteks revitalisasi pengembangan sosial inilah penguatan organisasi masyarakat sipil diperlukan agar mereka dapat berperan aktif dalam membangun kembali kehidupan masyarakat di Aceh. Banyak peluang untuk membangun Aceh paska tsunami.

Pemerintah Indonesia sendiri dalam Master Plan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias yang disusun BRR menyebutkan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Lebih jauh lagi, tata pemerintahan yang baik dan partisipasi masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan juga tercantum sebagai prioritas penting dalam rencana pembangunan Indonesia. Prioritas itu tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yang antara lain menyebutkan: (1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai (menyelesaikan konflik dan memerangi

Page 13: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

terorisme); (2) membangun demokrasi dan keadilan untuk semua warga negara (reformasi hukum, tata pemerintahan, mengembangkan transparansi dan akuntabilitas); dan (3) meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat (akses terhadap pelayanan publik, menyediakan lapangan kerja yang lebih luas dan lebih baik, dan pengembangan sumberdaya manusia). Merujuk pada rencana-rencana sebelumnya, strategi ini bertujuan untuk meningkatkan peran masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan dan perekonomian, dan mendorong terjadinya pembagian tanggung jawab antara masyarakat sipil dan pemerintah dalam mengimplementasikan strategi dan memonitor perkembangannya. Melalui peningkatan kapasitas OMS lokal di Aceh untuk berpartisipasi dalam dialog kebijakan dan mempengaruhi kebijakan lokal, program ini akan berkontribusi terhadap tujuan-tujuan yang telah dirumuskan oleh pemerintah Indonesia.

Namun demikian, peluang ini tidak dapat direspon secara memadai oleh OMS di tingkat lokal. Beberapa temuan utama hasil pemetaan masalah-masalah sosial di Aceh paska bencana tsunami menunjukkan:

Adanya kesenjangan antara OMS yang ada dengan kemampuan yang mereka miliki untuk memperkuat modal sosial di dalam komunitas (kelemahan dalam analisis sosial dan kapasitas pengorganisasian masyarakat)

Kesadaran mengenai pentingnya membangun organisasi rakyat yang solid untuk memperjuangkan kepentingan bersama sudah muncul, tetapi masih ada masalah dalam kapasitas membangun organisasi

Masyarakat pada umumnya sadar bahwa tanggungjawab pemerintah menyediakan pelayanan publik yang paling mendasar (seperti kesehatan dan pendidikan) tetapi kurang dorongan untuk menuntut tanggung jawab pemerintah menyangkut kebutuhan mereka

Adanya kesenjangan pengetahuan masyarakat mengenai proses penyusunan kebijakan dan saluran-saluran untuk menyampaikan aspirasi mereka, termasuk tidak mengetahui bagaimana cara berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan

Ada peningkatan jumlah organisasi baru, tetapi tidak memiliki visi yang jelas untuk pemberdayaan masyarakat dan lemah dalam membangun jaringan atau aliansi strategis

Dari hasil beberapa penilaian awal yang dilakukan setelah bencana tsunami ini terungkap bahwa keterbatasan kemampuan OMS lokal disebabkan oleh banyaknya aktivis yang hilang, baik karena meninggal dunia atau pindah tempat. Pada saat yang bersamaan, banyak LSM internasional dan nasional yang beroperasi di Aceh merekrut staf LSM lokal yang terbaik dan cerdas, sehingga berpengaruh juga terhadap kapasitas OMS lokal. Meskipun ada beberapa LSM tingkat nasional yang cukup kuat bekerja di Aceh, tetapi banyak LSM lokal atau kelompok masyarakat yang lemah kapasitasnya dalam pengorganisasian masyarakat, lobby, dialog kebijakan dan mengelola program mereka secara berkelanjutan. Oleh karena itu, dukungan terhadap peningkatan kapasitas OMS lokal merupakan unsur yang sangat penting dalam mempromosikan pemerintahan lokal yang demokratis di Aceh dan

Page 14: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

membantu masyarakat Aceh merealisasikan keinginan mereka untuk pembangunan kembali Aceh ke arah yang lebih baik.

Pelatihan, bantuan teknis dan pendampingan secara terus menerus merupakan kegiatan kunci dalam memberdayakan dan meningkatkan kaspasitas OMS lokal untuk mengembangkan partisipasi publik yang inklusif, memperngaruhi kebijakan dan arah program dari pemerintah lokal maupun aktor-aktor pembangunan strategis lainnya. Peningkatan ketrampilan masyarakat dalam bidang analisis kebijakan dan anggaran, misalnya, dapat membangun kepercayaan diri dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses penyusunan kebijakan, sehingga kebijakan dan program-program yang disusun mengakomodasikan kebutuhan masyarakat

Tsunami, Masyarakat dan Bantuan

Bencana tsunami telah menyebabkan kehancuran di sepanjang pesisi pantai Provinsi NAD sampai Sumatera Utara dengan kerusakan terparah ada di area 10 km dari garis pantai. Korban jiwa manusia 124.946 dan 94.994 hilang tidak ditemukan jasadnya (per 02 Maret 2005). Sekitar 668.470 hektar tanah tersapu gelombang tsunami. 650 desa hancur dari 2.823 desa yang ada di NAD. Perkiraan terakhir total korban jiwa sekitar 230.000 jiwa (Wikipedia,2006). Sedangkan Badan Pusat Statistik NAD memperkirakan korban jiwa hampir setengah juta penduduk Aceh (kompas.com, Mei 2006). Bencana yang cukup besar ini telah memicu kehadiran bantuan internasional, baik untuk mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka panjang.

Pertolongan pertama justru datang dari pihak luar negeri, tentara asing dan lembaga bantuan international lebih sigap menghadapi bencana tsunami terbesar abad ini daripada pihak berwenang Negara Republik ini. Tentara Amerika dan Australia langsung ke lokasi bencana mengulurkan bantuan makanan pokok dan penanganan medis untuk para korban supaya bertahan hidup. Beberapa waktu kemudian, ratusan Non Government Organisation (NGO) internasional maupun nasional, dan lembaga bantuan dunia lainnya berdatangan untuk membangun kembali NAD dan Nias.

Bantuan ini tidak hanya datang dari ratusan NGO baik internasional maupun nasional, namun juga dari lembaga bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) dan puluhan pemerintahan negara sahabat. Mereka hadir di NAD dan Nias dengan membawa sejumlah paket program bantuan, dan itu berarti sejumlah besar uang mengucur ke wilayah ini di samping berupa barang dan jasa.Dari assessment pemetaan awal yang dilakukan oleh Yappika, masuknya berbagai NGO dan donor secara intensif dalam kehidupan masyarakat Aceh menjadi suatu berkah karena:

Page 15: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

1. Menjadi kekuatan pengimbang bagi oknum-oknum yang sering menciptakan kekerasan atau pemerasan dan bagi birokrasi pemerintah yang kaku dan korup

2. Memberi kesempatan arena kegiatan sosial yang pada waktu lalu sulit dilakukan.

Namun di lain pihak, banyaknya lembaga yang hadir, kondisi mereka yang dikejar target, dan masih kuatnya birokrasi penyaluran dana baik di pemerintah maupun di lembaga-lembaga tersebut menyebabkan:

1. Timbulnya sistem patronase baru ketimbang benar-benar menciptakan arena demokratis di masyarakat. Yang sering diciptakan adalah suatu quasi partisipasi. Masyarakat diajak berembuk. Namun keputusan yang bisa diambil secara independen sebenarnya sangat kecil. Selain itu banyak persyaratan yang diberikan yang malah mendorong ketergantungan masyarakat.

2. Patronase dan pengkaplingan area kerja donor menciptakan konflik-konflik baru. Ketidaksepahaman antar donor maupun di antara masyarakat sendiri karena adanya bentuk intervensi yang berbeda-beda menciptakan kecemburuan sosial.

3. Upaya perencanaan desa partisipatif yang memasukkan ide-ide dari luar tanpa penjelasan yang memadai seputar konsekuensi dan kemungkinan keberhasilannya justru akan menjadi bumerang bagi proses partisipasi.

4. Para donor kurang menyadari bahwa kebanyakan intervensi mereka dapat memperbesar jurang ketimpangan sosial ekonomi. Pada saat awal bencana semua terasa sama, namun kemudian siapa yang mempunyai jaringan sosial dan aset yang lebih baik akan mampu maju jauh lebih cepat dari pada pihak yang tidak mempunyai suara. Tanpa upaya penyertaan yang sistematis dan peka, kesempatan jurang pemisah akan semakin besar.

5. Kombinasi dari kondisi program untuk masyarakat yang, di satu sisi dikejar-kejar target, namun di lain sisi terhambat oleh berbagai birokrasi (pemerintah, negara donor, sistem kerja NGO besar), menyebabkan frustasi yang meluas di mana masyarakat merasa jenuh karena terus-terus dimobilisasi namun sedikit mendapatkan hasil. Hal tersebut melemahkan kesempatan untuk berkembangnya arena demokratis yang ingin diciptakan, karena arena rembuk menjadi instant dan menyempit.

Dampak masuknya donor

1. Ada penyeimbang dari birokrasi korup, pemerasan dan kekerasan.

2. Patronase lama hilang tapi muncul patronase baru dengan idealisme baru yang belum tentu menguntungkan masyarakat.

3. Tanpa direncanakan kesenjangan sosial ekonomi meningkat

4. Kombinasi birokrasi yang lambat namun dikejar-kejar target membuat proses partisipasi menjadi proses semu yang melelahkan. Hal ini melemahkan proses demokratisasi.

Page 16: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Sementara itu kondisi pemerintah daerah, yang cukup banyak menentukan perkembangan demokratisasi di tingkat lokal, ternyata tidak tahu harus berbuat apa. Atau, oknum pemerintah daerah berusaha mencari keuntungan sendiri-sendiri. Sebenarnya bila dirancang dengan hati-hati dan tidak terburu-buru, program reformasi pemerintahan di daerah merupakan usaha yang penting.2

Mengutamakan Masyarakat Sipil

Begitu besarnya peran OMS membuat Yappika menitiberatkan (mengutamakan) programnya pada OMS. Yappika melihat bahwa Organisasi masyarakat sipil pada umumnya termasuk di Aceh yang memiliki peran sebagai penyimbang negara ini memiliki beberapa kekuatan. Pertama: jaringan ditingkat akar rumput (grassroots), kedua OMS memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi dan beradaptasi. Banyak OMS fleksibel dapat beradaptasi dengan situasi setempat dan merespon kebutuhan setempat. Ketiga OMS memiliki kemampuan mengidentifikasi orang-orang yang paling membutuhkan dan menciptakan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan. Keempat, OMS mampu berkomunikasi kepada semua tingkatan, mulai dari masyarakat sampai tingkat tertinggi di pemerintahan. Para staf pun memiliki komitemen dan didikasi yang tinggi untuk bekerja bersama masyarkat.

Sepanjang pengalaman Yappika dalam mengelola program TPLD, dengan kemampuan yang tersebut diatas inilah OMS mitra Yappika mampu mendorong demokratisasi di aras lokal. Tetapi juga ada banyak keterbatasan. Sebagai contoh, meskipun OMS mitra Yappika telah berhasil meng-goal-kan Perda yang diinisiasi oleh masyarakat, namun seringkali ada kebingungan langkah lanjut setelah Perda disahkan. Mereka belum sadar bahwa advokasi bukan hanya mengubah kebijakan; namun lebih merupakan gerakan sosial sebagai upaya mengubah budaya dan politik secara berkelanjutan.

Akhirnya bisa dilihat bahwa problem beberapa CSO –utamanya pada lingkup kabupaten -- tidak hanya lemah dalam mendesakkan agenda/kebijakan-kebijakan prioritas yang diperlukan untuk kehidupan masyarakat kepada pemerintah lokal, tapi juga kelemahan pada kelanjutan program pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Selain karena adanya hambatan struktural, kelemahan ini disebabkan juga oleh rendahnya kapasitas internal di dalam organisasi masyarakat sipil. Akibatnya, kendati masyarakat sipil berhasil melakukan konsolidasi gagasan dan mengartikulasikan

2 Pemetaan Masalah-Masalah Sosial di Aceh Pasca Bancana Tsunami, Yappika Desember 2005

Page 17: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

kepentingannya melalui aksi-aksi massa yang cukup masif, namun kurang berhasil menegosiasikan kepentingan itu menjadi perubahan kebijakan. Realitas ini membuktikan bahwa dibutuhkan kapasitas-kapasitas lain untuk memberikan pengaruh yang signifikan untuk membuahkan perubahan kebijakan. Pengetahuan untuk memahami fungsi-fungsi tata pemerintahan sekaligus aktor-aktor yang bisa menjadi aliansi strategis, ketrampilan menegosiasikan gagasan sekaligus mempengaruhi publik untuk mendukung gagasan yang sedang diajukan, menjadi prasyarat mutlak yang harus dimiliki masyarakat sipil untuk melakukan advokasi secara efektif. Kapasitas-kapasitas tersebut sangat dibutuhkan oleh OMS di Aceh untuk membangun Aceh paska tsunami. Oleh karena itu, dukungan terhadap peningkatan kapasitas OMS lokal merupakan unsur yang sangat penting dalam mempromosikan pemerintahan lokal yang demokratis di Aceh dan membantu masyarakat Aceh merealisasikan kehendak mereka untuk pembangunan kembali Aceh ke arah yang lebih baik.

Untuk membangun kembali Aceh dibutuhkan partisipasi publik, baik laki-laki maupun perempuan, dalam perencanaan dan pelaksanaan rekonstruksi khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan pelayanan dasar, lebih inklusif. Oleh karena itu peningkatan kapasitas dan peran organisasi masyarakat sipil dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh ini menjadi penting untuk menjamin adanya peningkatan kualitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan rekonstruksi dan pelayanan publik secara adil, partisipatif dan gender sensitif.

Sabagai salah satu organisasi yang peduli pada proses demokratisasi dan penguatan kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Yappika menginisiasi Program Penguatan Kapasitas dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil di Aceh. Program ini kemudian dikenal dengan nama ANCORS (Acehnese Civil Society Organization Strengthening). Program yang diluncurkan pada April 2006 ini, tidak lepas dari latar belakang kondisi Aceh pasca tsunami dan pasca konflik yang berkepanjangan. Yappika memandang, akibat yang ditimbulkan dari dua momentum tersebut, penting kembali untuk merajut kekuatan elemen masyarakat sipil guna berkontribusi bagi upaya mendorong tata pemerintahan yang lebih demokratis dan pemerintah yang melayani pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya dengan lebih baik dan sistematis. Baik itu layanan menyangkut hak pendidikan, kesehatan ataupun kemudahan proses administrasi publik.

Ada dua tujuan jangka menengah yang menjadi target dalam pelaksanaan program ANCORS ini yaitu:

1. Menguat dan meningkatnya kapasitas OMS dalam mengembangkan partisipasi publik secara inklusif, baik laki-laki maupun perempuan, dan mempengaruhi perumusan serta implementasi kebijakan pemerintah daerah maupun pihak-pihak strategis lainnya

Page 18: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

2. Meningkatnya kapasitas resource organisation di tingkat propinsi dalam mendukung peningkatan ketrampilan OMS melakukan advokasi kebijakan dan pengorganisasian masyarakat.

Peningkatan OMS di kabupaten menitikberatkan pada peningkatan keterampilan OMS terpilih di tingkat kabupaten untuk melakukan pendampingan masyarakat dan memperkuat modal sosial, menganalisis kebijakan pelayanan publik dan menyusun rekomendasi kebijakan untuk disampaikan kepada pemerintah dan berbagai pihak strategis lainnya, mengembangkan jaringan, mempengaruhi opini publik dan membangun aliansi strategis, mengimplementasikan program kerjanya, melakukan pelatihan, bantuan teknis, coaching, dan memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang inklusif. Selain untuk peninkgatan kapasitas OMS program ini juga mendorong berkembang dan berfungsinya mekanisme pembelajaran antar sesama (peer-learning) di dalam resource organization di tingkat propinsi, memdorong ada dan berfungsinya prosedur dan sistem manajemen dalam pemanfaatan sumber daya manusia, dan tersusunnya materi-materi untuk peningkatan kapasitas, dan juga nenguatnya jaringan dan hubungan kemitraan antar sesama OMS di tingkat propinsi untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kapasitas OMS dan mengembangkan/mempromosikan agenda bersama

ANCORS tentu tidak sebanding dengan program-program besar lainnya yang berorientasi pada rekonstruksi dan rehabilitasi dari BRR, donor internasional maupun NGOs. Rekonstruksi tentu merupakan agenda terbesar yang memperbaiki atau membangun kembali perumahan warga dan fasilitas publik. Revitalisasi terhadap sumber-sumber penghidupan (livelihood) juga dilakukan oleh BRR sendiri maupun NGOs lokal, nasional dan internasional. Governance, merupakan isu ketiga yang diperhatikan para pihak, meski tidak sebesar isu rekonstruksi fisik dan revilitalisasi livelihood. Sejumlah lembaga donor dan program (Komisi Eropa, USAID, CIDA, AusAid, GTZ, dan lain-lain) secara langsung masuk ke ranah pemerintah daerah untuk memfasilitasi bekerjanya UU No. 11/2006, meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam perencanaan, keuangan maupun pelayanan publik, dan lain-lain.

YAPPIKA datang dengan program ANCORS, yang didukung oleh CIDA dan USC Canada, juga masuk ke Aceh dengan membawa tema local governance. Tetapi YAPPIKA berbeda dengan donor-donor atau program lain. Kalau donor-donor lain secara langsung mengutamakan negara (state first), termasuk program CALGAP yang dikelola CIDA. Sementara YAPPIKA – sesuai mandat organisasi – lebih mengutamakan masyarakat sipil (civil society first). Namun bukan berarti ANCORS hanya masuk ke ranah masyarakat sipil (OMS), melainkan memperkuat OMS untuk pembaruan (reformasi) tata pemerintahan lokal, baik perubahan kebijakan, pelayanan publik maupun partisipasi publik baik laki-laki maupun perempuan. Dengan kalimat lain, ANCORS berupaya membawa OMS masuk ke ranah pemerintah daerah, atau menyemai engagement antara OMS dengan pemerintah daerah.Bab 2 Membangun Jejaring dan Kolaborasi

Page 19: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

ANCORS adalah sebuah program yang sarat dengan mobilisasi manusia, institusi dan dana. Di dalamnya ada CIDA, USC Canada, YAPPIKA, IMPACT, ADF, jaringan OMS (Forum LSM Aceh, ACSTF, KKTGA) dan sejumlah 14 OMS di level kabupaten: DAUN Singkil, Flower Aceh Barat, LPPM Aceh Besar, LSPENA Bireuen, Mataradja Aceh Jaya, MASIF Aceh Jaya, PUGAR Aceh Besar, PAPAN Aceh Barat, PASKA Pidie, PERAK Pidie, RTA Singkil, YPK Aceh Barat, YPSDI Aceh Besar dan BIMA Bireuen. Bagaimana posisi dan peran para pihak itu? Bagaimana ANCORS mendisain organisasi untuk memobilisasi banyak institusi, individu dan dana itu?

Bab ini akan menjawab beberapa pertanyaan itu. Bab ini hendak mengatakan bahwa ANCORS memberi pelajaran berharga dalam hal politik pengorganisasian secara berjaringan dan koloborasi serta politik pendanaan yang tidak hanya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan program, tetapi juga memberdayakan (empowering) dan menghargai konteks lokal, sehingga ANCORS sebaik mungkin menghindari model organisasi yang bersifat sentralistik dan komando. Prinsip-prinsip ini melampui pola pikir New Public Management yang lebih mengutamakan organisasi yang ramping (lean) dan efisiensi anggaran.

Hierakhi, Jaringan dan Kolaborasi

Secara formal para pihak, terutama pengambil keputusan (USC Canada, YAPPIKA, IMPACT dan ADF) mengambil kesepamahan dan menyiapkan pembagian kerja secara multi layer. CIDA mendukung pembiayaan program ANCORS. CIDA terlibat dalam manajemen program secara umum melalui keterlibatannya dalam pertemuan Program Steering Committee (PSC) yang dilaksanakan setahun sekali, dan melalui monitoring ke lapangan. Program manajer CIDA akan memberikan persetujuan akhir atas rencana kerja, anggaran dan laporanlaporan perkembangan program. CIDA bertanggungjawab kepada masyarakat Canada sebagai pembayar pajak.

USC Canada menjamin pencapaian keseluruhan hasil program di tingkat outcomes. Sebagai lembaga yang menandatangani kontrak dengan CIDA, USC Canada merupakan penanggung jawab utama manajemen dan administrasi program, termasuk penyaluran dana, pelaksanaan kegiatan, serta monitoring dan evaluasi hasil-hasil yang diperoleh kepada CIDA. Namun dalam pelaksanaan program sehari-hari, USC Canada berkoordinasi dengan Yappika yang diikat oleh sebuah nota kesepahaman (MoU)

YAPPIKA: melakukan peningkatan kapasitas ADF, IMPACT dan Jaringan OMS dalam rangka melakukan peran-peran yang dimandatkan pada organisasi tersebut. Berkaitan dengan kapasitas ADF, Yappika akan melakukan technical assistance dan coaching agar ADF berkembang menjadi organisasi grant- making yang profesional di Aceh. Sementara untuk IMPACT, Yappika akan mendukung organisasi pengembang kapasitas (service provider for capacity

Page 20: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

building) tersebut menemukan bentuk-bentuk peer-learning yang effective, sekaligus meningkatkan wacana dan ketrampilan dari para aktivis anggotanya. Yappika juga memiliki peran mendinamisir dan memperkuat relasi antar jaringan OMS di tingkat propinsi, dan antara jaringan OMS dengan program kerja yang diimplementasikan oleh ADF dan Impact sehingga terjadi sinergi gerakan OMS di Aceh.

Disisi lain, Yappika menjadi organisasi yang secara langsung berhubungan, berkomunikasi serta melakukan proses pelaporan/pertanggunggugatan kepada USC Canada dan CIDA. Berkaitan dengan ini, Yappika secara aktif akan membantu ADF dan IMPACT mengembangkan sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akutantabel. Yappika juga akan membantu ADF mereview laporan keuangan serta narasi mitra kerja Kabupaten, serta mendukung Jaringan OMS menyusun laporan keuangan yang dapat dipertanggung-jawabkan. Yappika pun bertugas mengumpulkan, mereview laporan-laporan keuangan dan narasi dari masing-masing organisasi pelaksana (ADF, IMPACT, dan Jaringan OMS) untuk diformulasikan menjadi laporan tengah tahun dan laporan tahunan yang akan disampaikan kepada USC Canada.

Aceh Development Fund (ADF): merupakan mitra kerja utama Yappika dalam rangka melakukan seleksi mitra dan program kerja yang akan diimplementasikan oleh mitra OMS Kabupaten, mengelola grant untuk OMS Kabupaten, sekaligus mengembangkan kapasitas m a n a j e m e n k e u a n g a n o r g a n i s a s i y a n g b e r s a n g k u t a n . A D F mempertanggunggugatkan pelaksanaan kerja-kerja kepada Yappika, melalui komunikasi intensif dan laporan-laporan tertulis (narasi dan keuangan), baik yang menyangkut operasional dan perkembangan kinerja internal organisasi ini maupun yang berkaitan dengan perkembangan program OMS Kabupaten kepada Yappika.

IMPACT: memiliki peran utama mengembangkan kapasitas mitra Kabupaten dalam rangka manajemen program, serta keahlian-keahlian khusus yang diperlukan untuk melakukan advokasi kebijakan publik (seperti: analisis kebijakan, legal drafting, lobby, dan lain-lain). IMPACT juga akan bertanggung-jawab menjaga orientasi program terus terjaga. IMPACT mempertanggung-gugatkan pelaksanaan kerja-kerjanya kepada Yappika dalam bentuk komunikasi intensif dan laporan-laporan (narasi dan keuangan) secara berkala.

Jaringan OMS: Peran jaringan OMS di tingkat provinsi adalah memberdayakan anggota mereka sesuai dengan mandat yang telah diberikan, dan melaksanakan mekanisme kelembagaan jaringan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Dukungan program ini juga diarahkan untuk memfasilitasi proses-proses kolaborasi antar jaringan OMS dalam mensikapi dan/atau merespon isu-isu terkini yang terjadi di Aceh selama periode program. Jaringan OMS akan mempertanggung-gugatkan hasil-hasil kerjanya kepada Yappika dalam bentuk komunikasi intensif dan laporan-laporan (narasi dan keuangan) sesuai dengan program kerja yang menjadi bagian tanggungjawabnya. Yang masuk dalam kategori ini adalah Forum LSM Aceh, KKTGA dan ACSTF.

Page 21: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

OMS tingkat kabupaten: ada 14 mitra OMS sebagai front-line pelaksana program di tingkat kabupaten dengan tugas utama mendorong terjadinya peningkatan partisipasi publik, khususnya kelompok yang didampinginya, dalam proses perumusan kebijakan tentang pelayanan publik. Disisi lain, mereka juga adalah OMS yang diharapkan menjadi pelopor dalam membangun gerakan bersama untuk perubahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melalui pengoorganisasian komunitas dan kerjakerja advokasi kebijakan. OMS tingkat kabupaten mempertanggunggugatkan hasilhasil kerjanya kepada ADF dalam bentuk komunikasi intensif dan penulisan laporanlaporan (narasi dan keuangan) sesuai program kerja yang menjadi tanggungjawabnya. Oleh karena itu, ADF akan mengembangkan perjanjian kerjasama dengan para mitra tingkat Kabupaten ini.

Kalau mengikuti cara pandang New Public Management, organisasi ANCORS bisa dibuat seramping dan seefisien mungkin, dengan jalur yang pendek. Sebagaimana model organisasi yang selama ini berjalan, lembaga-lembaga (NGOs) internasional memperoleh grant dari lembaga-lembaga donor (bilateral atau multilateral) yang kemudian membagi dana itu ke dalam banyak sub-grants secara langsung kepada local NGOs. Lembaga-lembaga internasional itu biasanya menyiapkan staf dan konsultan untuk mengelola program, termasuk mengelola pengembangan kapasitas dan supervisi terhadap local NGOs. Model ini jelas sangat simpel. Jika mengikuti skema ini, USC Canada bisa saja memperoleh grant dari CIDA yang kemudian mereka alokasikan kepada local NGOs di level kabupaten di Aceh, tanpa melalui YAPPIKA serta IMPACT dan ADF. Atau YAPPIKA memperoleh grant dari CIDA, yang kemudian dialokasikan langsung kepada OMS mitra di kabupaten tanpa IMPACT dan ADF.

Mengapa ANCORS membuat organisasi yang besar dengan jalur yang panjang? Bukankah itu menimbulkan inefisiensi dan menyulitkan koordinasi dan konsolidasi? Pertama, baik CIDA maupun USC Canada sudah lama mendukung dan menempatkan YAPPIKA sebagai kekuatan aliansi masyarakat sipil Indonesia dan sekaligus sudah berpengalaman sebagai intermediary antara organisasi internasional dan organisasi lokal. Model subsidiarity yang ditempatkan pada YAPPIKA memungkinkan komunikasi, supervisi dan pengambilan keputusan lebih dekat dan tepat. Semua ini sudah dibangun melalui pengalaman panjang, termasuk program Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis, yang dilaksanakan oleh YAPPIKA bersama local NGOs di berbagai daerah, termasuk di Aceh.

Kedua, ANCORS mengedepankan spirit memanfaatkan dan memberdayakan potensi-kekuatan lokal yang sudah tersedia, yakni IMPACT sebagai resources center untuk pengembangan kapasitas dan ADF sebagai local grant making. Apalagi YAPPIKA, IMPACT dan ADF sudah membangun kolaborasi sejak lama, yang kemudian mengilhami ketiga organisasi ini membangun kolaborasi dalam menyiapkan dan menjalankan ANCORS. ANCORS mempunyai tujuan besar, yakni menanam investasi sosial agar kedua resources center itu menjadi organisasi yang lebih kuat dan berkelanjutan, untuk memberikan dukungan penguatan OMS di Aceh.

Page 22: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Ketiga, sebuah program yang melibatkan banyak organisasi dengan satu tujuan yang jelas dan pembagian kerja yang sistematis memungkinkan terbangunnya jaringan baik jalur horizontal maupun vertikal, sekaligus pada level lokal (kabupaten), regional (provinsi), nasional dan internasional. Multilevel networks ini menembus batas-batas hierarkhi antara donor dan NGOs atau antara NGOs lokal dan nasional, yang sesuai dengan spirit global civil society. Setiap pihak saling belajar (learning) dan bertukar (sharing) baik secara horizontal dan vertikal,

Karena itu, ANCORS mengambil model pengorganisasian secara jaringan dan kolaborasi, meski struktur hierarkhi kekuasaan, sumberdaya dan tanggungjawab tidak bisa dihindari. Hierarki mengambarkan bentuk organisasi yang bertingkat dan relasi vertikal, yang di satu sisi mengalir dari atas ke bawah (top down), dari CIDA, USC Canada, YAPPIKA, OMS Provinsi dan ke 14 OMS kabupaten. Jalur top down ini mengalirkan alokasi, fasilitasi dan supervisi. Tetapi konsep downward accountability, terutama dalam pengelolaan sumberdaya, belum dibangun dalam ANCORS, sebab sumberdaya bersumber dari atas, bukan dari bawah. Sebagai contoh, 14 OMS kabupaten tidak berkwajiban menyampaikan informasi kepada konstituen yang dilayani, tetapi mereka menunjukkan downward accountability dalam bentuk komitmen layanan yang berguna bagi konstituen. Di sisi lain, jalur vertikal itu bertingkat dari bawah ke atas (bottom up), mulai dari OMS kabupaten ke OMS provinsi sampai ke YAPPIKA, USC Canada dan CIDA. Alur dari bawah ini hadir dalam bentuk laporan, aspirasi, komplain dan akuntabilitas. ANCORS mewadahi proses dan mekanisme komplain dari bawah ke atas, baik dari OMS kabupaten ke IMPACT dan ADF, termasuk ke YAPPIKA. Akuntabilitas dari bawah ke atas ini yang sering disebut sebagai upward accountability, terutama dari lokal ke nasional dan dari NGOs ke donor karena sumberdaya berasal dari donor.

Namun ANCORS tidak hanya mengusung akuntabilitas vertikal (upward dan downward), melainkan juga akuntabilitas horizontal sesama OMS. Baik YAPPIKA maupun para aktivis OMS di Aceh menyadari bahwa pelaporan kepada donor hanya sebagai akuntabilitas administratif, yang jauh lebih penting menurut mereka adalah bagaimana memanfaatkan pelaporan itu sebagai wahana untuk pertukaran dan pembelajaran sesama aktivis dan institusi. Dalam ANCORS hal ini disebut sebagai peer learning, yakni jaringan pertukaran dan pembelajaran antaraktivis, fasilitator dan OMS. Meskipun belum pernah menyebut downward accountability, mereka dengan semangat aktivismenya selalu menyerukan tanggungjawab moral dan sosial kepada konstituen. Seperti akan diuraikan dalam bab selanjutnya, ANCORS juga menanamkan akuntabilitas internal, meskipun baru sebatas pengujian institusi OMS melalui instrumen Transparency and Accountability of NGO (TANGO).

Meskipun ada hiearkhi yang membawa konsekuensi tentang akuntabilitas, ANCORS juga membangun model kolaboratif atau kemitraan yang berorientasi pada organisasi yang demokratis dan memberdayakan kekuatan lokal. Apa makna dan prinsip dasar kemitraan/kolaboratif? Apa yang membedakannya dengan model organisasi lainnya?

Page 23: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Secara teoretis, Jennifer Brinkerhoff (2002) membuat tipologi organisasi dengan menggunakan dua kriteria, yakni mutualitas dan identitas organisasional, seperti tersaji dalam bagan 2.1. Dua kriteria itu dibuat rendah dan tinggi yang kemudian menghasilkan empat model organisasi, yang bisa digunakan sebagai kerangka kerja hubungan antara OMS dengan pemerintah atau antara OMS dengan lembaga donor. Jika tingkat mutualitas rendah sementara identitas organisasi ditonjolkan maka disebut model kontrak. Jika mutualitas rendah dan identitas organisasi juga rendah maka akan hubungan itu hanya disebut sebagai kepanjangan tangan (extension). Sementara kalau identitas organisasi rendah tetapi mutualitas tinggi disebut sebagai organisasi kooptasi. Yang terakhir, adalah model organisasi dan relasi kolaborasi atau kemitraan, yang mengandung mutualitas dan identitas organisasi sama-sama tinggi.

Bagan 2.1Tipologi organisasi

Mutualitas

Rendah Tinggi

Tinggi Kontrak Kemitraan/ kolaborasiIdentitas organisasional

Rendah Kepanjangan Kooptasi

Sumber: Jennifer Brinkerhoff, “Government-Nonprofit Partnership: A Defining Framework”, Public Administration and Development, 22, 2002.

Kemitraan atau kolaborasi pada dasarnya merupakan hubungan dinamis antara beberapa aktor atau institusi, yang berbasis pada nilai, tujuan, pemahaman dan manfaat bersama dengan kerangka pembagian kerja yang jelas dan saling menghormati (Jennifer Brinkerhoff, 2002). Berbagai organisasi yang tergabung dalam kolaborasi berupaya bersama, menekankan pentingnya prinsip mutualistik yang saling memberi dan menerima, dengan hubungan yang seimbang, saling memiliki, saling menghormati, partisipasi yang setara dalam pengambilan keputusan serta saling menjaga transparansi dan akuntabilitas secara kolektif (R.M. Linden, 2002 dan H.R, Ebaugh, J.S. Chafetz, dan P.F. Pipes, 2007).

Page 24: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Prinsip dan model organisasi kolaboratif itu diterapkan oleh ANCORS, terutama kolaborasi antara tiga institusi utama, yakni YAPPIKA, ADF dan IMPACT. Ini sungguh unik. Di satu sisi, dalam pelaksanaan program dan pengelolaan keuanga, ada hubungan yang hierarkhis antara YAPPIKA dengan IMPACT dan ADF. Fasilitasi, supervisi dan dana mengalir dari atas ke bawah, yakni dari YAPPIKA ke IMPACT dan ADF. Sebaliknya dari bawah ke atas, ADF dan IMPACT mempertanggungjawabkan program dan keuangannya kepada YAPPIKA. Namun kepemilikan dan pengambilan keputusan, termasuk juga supervisi terhadap 14 OMS mitra, ketiga organisasi tersebut membangun kolaborasi yang setara. Pimpinan ketiga organisasi itu tergabung dalam komite pengarah program yang secara kolektif dan partisipatif mengambil keputusan, mulai dari pengambilan keputusan tentang program ANCORS sampai dengan menentukan pilihan atas sejumlah 14 OMS mitra di kabupaten. Model ini dirasakan oleh ketiga institusi itu sangat baik, yang memudahkan dalam komunikasi dan memberdayakan satu sama lain, tetapi akuntabilitas masih tetap terjaga. Pola ini tentu berbeda dengan model-model organisasi program yang dijalankan donor-donor lain, yang umumnya tidak mengenal model kolaboratif, meskipun kata “kemitraan” selalu dikemukakan oleh donor.

Pola jaringan juga ditempuh untuk melengkapi pola kolaboratif dan hierarkhi. ANCORS memberikan dukungan dana kepada Forum LSM yang mempunyai 59 jaringan/anggota dan KKTGA sebuah jaringan yang concern pada kesetaraan gender di Aceh. Dukungan kepada dua institusi ini mengarah pada beberapa hal. Pertama, memperkuat kapasitas organisasi jaringan untuk memberikan layanan kepada para anggota. Kedua, mendorong organisasi jaringan sebagai simpul-simpul gerakan advokasi di level provinsi, yang secara teoretis menjadi tempat untuk link up dan scaling up gerakan dari level kabupaten yang telah digerakkan oleh 14 OMS mitra.

Model Pendanaan

Dana yang berasal dari donor (bilateral, multilateral, nonpemerintah) merupakan bentuk filantropi kemanusiaan mengalir ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mencapai kemajuan pembangunan, pemerintahan dan masyarakat. Pemberian dana itu tentu bukan tanpa sarat dan strategi. Artinya pihak donor memberikan bantuan pembangunan sebagai insentif dan bahkan desakan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, melakukan liberalisasi politik, mengembangkan pluralisme, responsif gender, menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis, berupaya mencapai tujuan-tujuan MDGs dan sebagainya. Dengan kalimat lain, pihak donor adalah aktor-aktor dari luar yang hendak mempromosikan perubahan politik serupa dengan politik di negeri mereka dengan memanfaatkan bantuan dana. Karena itu, ada kecenderungan kuat bahwa demokratisasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, digerakkan oleh donor (donor driven democratization). Namun Sukarko (2005) mencatat bahwa intervensi dari luar itu tidak menciptakan hasil akhir atau hanya menimbulkan dampak yang terbatas; perubahan politik sangat tergantung pada komitmen elite dan kekuatan masyarakat sipil.

Page 25: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Alokasi dana bantuan itu mengandun kebijakan atau country strategy. Kebijakan donor tidak pernah abadi, tetapi selalu dikaji ulang dan selalu mengalami revisi. Dengan mengutip Santiso, Suharko (2005) mencatat bahwa beberapa donor telah mengubah persyaratan kebijakan bantuan, dengan strategi selektivitas dan konsentrasi. Strategi ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas bantuan, yakni dengan mengkonsentrasikannya kepada pihak-pihak yang paling membutuhka, khususnya di negara-negara yang mempunyai komitmen serius mengembangkan demokrasi, tetapi menghadapi keterbatasan keahlian dan sumberdaya.

Julia Unwin (2004), lebih jelas lagi membagi model pendanaan dari donor menjadi tiga: memberi (giving), belanja (shopping) dan investasi (investing). Model giving berarti lembaga pendana (donor) secara langsung memberi dana dukungan terhadap OMS yang mempunyai proposal program baik dan relevan dengan visi-misinya. Model seperti diterapkan oleh hampir semua donor yang bekerja di Indonesia hingga 2005. Ford Foundation, misalnya, dikenal sebagai sebuah donor yang memiliki model giving itu. Proyek CSSP-USAID (2000-2005) juga menerapkan model giving, yang memberikan dana kepada OMS untuk menjalankan program-programnya. Pada periode sampai tahun 2005 itu tampak terjadi fund booming yang diterima oleh OMS. Namun memang ada kesan bahwa model giving itu memanjakan OMS tanpa tujuan-tujuan investasi yang jelas.

Berbeda dengan model giving, model shopping berarti lembaga donor berbekal program jangka pendek (5 tahun) yang sudah jelas dan pasti, kemudian mereka melihat OMS sebagai outlet dan mereka akan “membeli” OMS-OMS yang relevan dengan program-program mereka. Dengan demikian, shopping fund ini bukan dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat gerakan masyarakat sipil, tetapi menjadikan OMS sebagai penyedia layanan (service provider) yang membantu donor untuk menjalankan program-program intervensi terhadap pemerintah. Pada periode 2005 sampai sekarang, dimana terjadi pergeseran strategi donor dari civil society first ke state first, model shopping ini ditempuh oleh hampir semua donor yang bekerja di Indonesia. Bagi mereka, strategi state first dan model shopping itu jauh lebih efektif dari sisi output, daripada mereka bekerjasama dan memberi grant kepada OMS.

Perubahan strategi menuju state first dan model shopping itu bukan tanpa sebab. Para donor umumnya menegaskan bahwa periode sejak 1998/1999 merupakan periode investasi, dimana donor telah menanam investasi penguatan kapasitas kepada OMS, sehingga investasi itu dianggap sudah selesai.

Sementara model investing, jauh lebih maju daripada giving dan shopping, yang tidak hanya memberi dana atau menjalankan program untuk mencapai efektivitas, tetapi mempunyai tujuan investasi jangka panjang. Scholarship termasuk aliran dana yang berorientasi pada investasi penguatan sumberdaya manusia. JICA Japan selalu menerapkan model investasi di sektor infrastruktur, pendidikan, kesehatan, maupun air bersih untuk mendongkrak

Page 26: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

kapasitas manusis dan melancarkan ekonomi Indonesia, meskipun di balik itu Japan juga mempunyai kepentingan agar bisnisnya di Indonesia lancar. Bentuk lain investasi adalah penguatan kapasitas OMS, baik kapasitas institusi internal maupun kapasitas eksternal sehingga mereka akan tumbuh menjadi masyarakat sipil yang kuat, dinamis dan memajukan demokrasi.

Dalam konteks ini, ANCORS tidak menempuh model giving dan shopping, melainkan menerapkan model investing. Ini adalah sebuah inovasi sebab sekitar 5 tahun terakhir, pendekatan investing tidak ditempuh oleh lembaga-lembaga donor yang bekerja di Indonesia. Sementara CIDA menempuh dua model pendanaan: yang satu model shopping melalui CALGAP di Aceh dan yang satu model investing dengan mendukung pendanaan pada USC Canada dan YAPPIKA melalui ANCORS. ANCORS selama 2 tahun telah menanam investasi (menabur benih, membiakkan bunga dan memetik buah) dalam bentuk penguatan kapasitas OMS. Benih, bunga dan buah investasi ini tentu akan menjadi modal besar bagi perjalanan OMS secara berkelanjutan di masa depan.

Selain model di atas, ANCORS memberi contoh sebuah pendanaan (funding) dengan pola intervensionis yang berorientasi pada membangun organisasi dan perubahan sistem. Mengacu pada karya Julia Unwin (2004), pendanaan program bisa dibuat tipologi berdasarkan kategori sifat (reaktif, kompensatoris dan intervensionis) dan orientasi (dana untuk pelayanan, dana untuk membangun organisasi dan dana untuk perubahan sistem), sebagaimana tersaji dalam tabel 2.1. Sifat reaktif berarti segera menjawab dan tertarik untuk mendukung proposal terbaik. Sifat kompensatoris berarti berkehendak memberikan alokasi dana di saat keterbatasan dana yang dimiliki oleh organisasi masyarakat. Sifat intervensionis berarti memberi dana tidak hanya melayani, tetapi mempunyai tujuan bahwa dana itu bisa berdampak pada isu atau area yang lebih jelas dan luas. Dengan kalimat lain model intervensionis bukan sekadar membiayai dan membesarkan OMS, tetapi mambuat OMS itu mempunyai kontribusi yang lebih luas, misalnya kepada masyarakat dan pemerintah.

Dalam tabel 2.1 itu terlihat dengan jelas, bahwa sifat intervensionis merupakan bentuk kemajuan dari sifat reaktif dan kompensatoris, artinya model intervensionalis melebihi tujuan-tujuan pelayanan terhadap organisasi yang ada agar mereka berjalan secara berkelanjutan, melainkan mempunyai tujuan inovasi organisasi yang mempunyai dampak luas. Pada sisi baris, “dana untuk perubahan sistem atau tata pemerintahan” merupakan orientasi yang paling maju dan paling tinggi, lebih dari sekadar merawat organisasi yang sudah ada maupun membangun kapasitas organisasi.

Titik temu antara sifat dan orientasi pendanaan itu secara ideal berada di kuadran 9, yang berarti pendanaan ditujukan untuk membangun tatarelasi baru yang demokratis antara OMS dengan pemerintah, sekaligus membuat sistem/tata pemerintahan lebih inklusif dan responsif, seperti yang diharapkan oleh ANCORS. Sebagai tetapi sebuah gerakan yang inkremental (bukan radikal), sebuah program tidak mungkin secara langsung melompat ke

Page 27: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

kuadran 9 (menciptakan tata hubungan baru antara OMS dengan pemerintah yang lebih demokratis, pemerintah menjadi lebih inklusif dan responsif), melainkan bertahap mulai dari membangun kapasitas organisasi.

ANCORS memang tidak secara eksplisit menggunakan kerangka kerja seperti tersaji dalam tabel 2.1 itu, tetapi ANCORS sudah jauh lebih maju, bukan sekadar bersifat reaktif dan kompensatoris, tetapi masuk dalam predikat intervensionis. Intervensionis bukan dalam pengertian “campur tangan” yang buruk, tetapi bermakna bukan sekadar membantu atau melayani OMS tetapi juga mendorong transformasi OMS agar menjadi organisasi yang lebih baik dan kuat. Kalau menganalisis ANCORS dengan menggunakan kerangka itu, maka terlihat dengan jelas bahwa core position program ini berada di kuadran 3, kuadran 6, dan kuadran 9, meski juga terdapat cabang-cabang program yang mengarah pada kuadran 4, 7 dan 8. Kuadran 4, 7 dan 8 itu sebagai tahapan terbaik yang tampaknya harus dilewati untuk menuju kuadran 9.

Tabel 2.1Tipologi pendanaan menurut sifat dan orientasi

Orientasi Reaktif Kompensatoris IntervensionisDana untuk pelayanan merawat organisasi yang ada

Kuadran 1: Mendukung pendanaan atas organisasi yang telah berjalan. Usulan OMS yang baik langsung diterima

Kuadran 2:Memberi dukungan dana kepada organisasi strategis karena keterbatasan pendanaan

Kuadran 3: Dana yang memungkinkan organisasi mengubah diri atau melakukan inovasi atas model-model layanan yang diberikan

Dana untuk membangun kapasitas organisasi

Kuadran 4:Meningkatkan kinerja organisasi

Kuadran 5:Dana untuk mendukung organisasi baru yang belum tersedia

Kuadran 6:Dana untuk mendukung konsolidasi organisasi agar lebih kuat dan luas pengaruhnya

Dana untuk perubahan sistem atau tata pemerintahan

Kuadran 7 : Dukungan untuk lobby organisasi kepada kebijakan

Kuadran 8:Menumbuhkan sumber-sumber pendanaan lokal

Kuadran 9:Menciptakan tata hubungan baru antara OMS dengan

Page 28: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

pemerintah yang berkelanjutan pemerintah yang lebih demokratis, pemerintah menjadi lebih inklusif dan responsif.

Sumber: diadaptasi dari Julia Unwin (2004), The Grantmaking Tango: Issuef for Funders (London: The Baring Foundation).

Bab 3 Menempa Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil

Penguatan kapasitas OMS merupakan isu dan tujuan sentral ANCORS, sebagai respons atas keterbatasan kapasitas OMS di Aceh. Kapasitas merupakan sebuah konsep teknokratis, yang sudah lama dikenal dalam teori psikologi, dunia pendidikan, manajemen pemerintahan, maupun dunia organisasi sosial seperti OMS. Di dalamnya mengandung esensi keahlian, keterampilan, profesionalitas, efektivitas, efisiensi, kinerja dan seterusnya. Kapasitas sering dimengerti sebagai kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan-tujuan secara efektif dan efisien (GTZ dan USAID, 2001). Tidak jauh berbeda, Anneli Milèn (2001) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individual, organisasi dan sistem untuk menjalankan dan mewujudkan fungsi-fungsinya secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Kapasitas juga harus dilihat sebagai kemampuan untuk mencapai kinerja, untuk menghasilkan keluaran-keluaran (outputs) dan hasil-hasil (outcomes).

Kapasitas tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang statis, melainkan harus ditempatkan di dalam suatu konteks dinamis dengan kondisi-kondisi kerangka maupun perkembangan zaman yang berubah. Kalimat ini mengandung beberapa makna. Pertama, kapasitas bukan sesuatu yang sekali jadi, tetapi mengalir melalui proses pembelajaran yang berkelanjutan, learning by doing, maupun aksi dan refleksi sebagaimana terjadi dalam gerakan sosial. Kedua, kapasitas bukan sekadar mencakup kemampuan indivdual yang sering disebut oleh orang Indonesia sebagai SDM, tetapi juga kemampuan institusional dan sistem. Keduanya saling terkait. Jika sistem atau mekanisme kelembagaan dalam sebuah organisasi berjalan dengan baik, memberikan kesempatan pada setiap individu untuk belajar dan berkembang, maka kemampuan individual akan terus meningkat. Sebaliknya untuk menyiapkan dan mengembangkan institusi juga dibutuhkan oleh orang-orang yang piawai.

Page 29: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Secara teoretis kapasitas OMS mencakup komponen-komponen seperti tersaji dalam tabel 3.1. OMS pada dasarnya mempunyai cakupan internal (organisasi dan individu) atau disebut internal governance serta kapasitas eksternal atau external governance, yakni kapasitas OMS melakukan advokasi yang berhubungan dengan pemerintah dan masyarakat. Bagaimanapun kapasitas internal sangat mempengaruhi peran OMS di hadapan masyarakat dan pemerintah daerah. Pengakuan dan trust dari masyarakat dan pemerintah terhadap OMS tentu sangat dipengaruhi oleh kapasitas, tindakan dan kinerja OMS. Secara eksternal, OMS melakukan advokasi terhadap pemerintah daerah dan masyarakat, yang pada umumnya menempuh beberapa agenda utama: manajemen pengetahuan, pengembangan kapasitas terhadap kelompok sasaran maupun mitra, pengorganisasian dan advokasi kebijakan.

Tabel 3.1Komponen kapasitas OMS

No Komponen Kapasitas OMS

Deskripsi/Indikator

1 Kapasitas internal, baik individu maupun organisasi

Kapasitas institusional (organisasional) mencakup ketersediaan rencana strategis organisasi, SOP dalam manajemen SDM dan keuangan.

Kapasitas individual mencakup kemampuan staf dalam hal penelitian, fasilitasi, menulis, mengorganisir, analisis kebijakan, dll.

2 Manajemen pengetahuan Kapasitas penelitian, koleksi literatur, tradisi diskusi, kepemilikan atau jaringan ahli, database informasi, sharing pengetahuan, materi pembelajaran, publikasi yang dilakukan

3 Pengembangan kapasitas terhadap mitra

Kemampuan fasilitasi, pelatihan, materi pembelajaran.

4 Pengorganisasian Kemampuan mendampingi komunitas, menggalang jaringan sosial, kemitraan, aliansi strategis, menumbuhkan modal sosial komunitas, dan sebagainya

5 Advokasi kebijakan Kemampuan analisis kebijakan, menulis naskah kebijakan dan legal drafting, membangun opini publik, lobby terhadap pengambil kebijakan, dll.

Skema Pengembangan Kapasitas

Page 30: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

ANCORS mempunyai tiga kelomnok target dalam pengembangan kapasitas: IMPACT dan ADF sebagai resources organization di level provinsi; 14 mitra OMS di level kabupaten melalui fasilitasi IMPACT dan ADF; pengembangan organisasi jaringan untuk Forum LSM dan KKTGA, pers mahasiswa melalui fasilitasi ACSTF. Meskipun pengembangan kapasitas merupakan tujuan utama program, tetapi kapasitas juga menjadi sebuah prasyarat dan persiapan untuk melakukan advokasi kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Dengan kalimat lain, pengembangan kapasitas terutama bagi 14 OMS sebenarnya merupakan insentif dan investasi awal ANCORS untuk melakukan advokasi melalui proses learning by doing. Pengembangan kapasitas terhadap resources organization (IMPACT dan ADF) secara teoretis sebenarnya merupakan prasyarat dan agenda awal sebelum melakukan pengembangan kapasitas terhadap 14 mitra OMS. Tetapi melalui proses learning by doing, pengembangan kapasitas OMS di level provinsi dan kabupaten itu berjalan secara simultan.

Program pengembangan kapasitas OMS di Aceh sebenarnya tidak menjadi monopoli ANCORS, tetapi juga ada program lain misalnya CSOs strenghtening dari UNDP yang bekerjasama dengan IMPACT. UNDP memberikan suntikan energi yang besar terhadap IMPACT, tetapi peran IMPACT dalam pengembangan kapasitas OMS lokal hanya sebatas memberi pelatihan dasar yang sifatnya generik terhadap banyak OMS lokal. Karena hanya pelatihan, maka muncul kesan hanya berorientasi pada pengembangan kapasitas individual. Sejumlah OMS seperti PUGAR dan LPPM menjadi target dua program, baik dari UNDP maupun dari ANCORS YAPPIKA.

Skema pengembangan kapasitas ANCORS tidak hanya dalam bentuk pelatihan yang bersifat come and go, bukan juga hanya bersifat individual tetapi juga mengarah pada pengembangan kapasitas institusional. Lebih dari sekadar pelatihan, pengembangan kapasitas dilakukan dengan banyak cara dan berlapis, ada layanan purna pelatihan seperti pendampingan, asistensi dan supervisi. YAPPIKA bersama para mitra memfasilitasi transformasi organisasi IMPACT dan ADF tidak hanya melalui pelatihan tetapi juga asistensi dan supervisi secara kelembagaan. Pola yang serupa juga diterapkan oleh IMPACT dan ADF kepada 14 OMS mitra kabupaten. IMPACT memberikan pelatihan dasar tentang pengorganisasian, fasilitasi, advokasi, analisis kebijakan dan lain-lain kepada para mitra. Pelatihan masih dilanjutkan dengan pendampingan dan supervisi, terutama dilakukan secara langsung oleh tim fasilitator wilayah yang disiapkan oleh IMPACT. YAPPIKA Jakarta juga secara berkala melakukan monitoring dan supervisi terhadap OMS, dan asistensi yang lebih intensif terhadap para mitra dilakukan dua staf YAPPIKA di Banda Aceh, yakni Ferry Yuniver dan Sugiarto A. Santoso. Karena IMPACT mempunyai keterbatasan kemampuan dalam penelitian, YAPPIKA mendatangkan tim untuk mendampingi dan supervisi penelitian yang dilakukan oleh 14 mitra OMS kabupaten. ANCORS juga mengembangkan kapasitas dengan cara peer learning antarfasilitator dan juga antar institusi untuk saling sharing pengalaman lapangan. Para aktivis OMS juga melakukan studi banding ke beberapa daerah di Jawa untuk membuka jendela dan memperluas jaringan.

Page 31: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Upaya membangun dan memperkuat kapasitas OMS Kabupaten menyatu dengan kerangka advokasi kebijakan publik, mendorong terjadinya partisipasi inklusif dari OMS dan wakil-wakil berbagai kelompok kepentingan, termasuk didalamnya kelompok yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam proses-proses penyusunan kebijakan publik formal. Karena itu, sub komponen yang menjadi bagian dari capacity building untuk OMS Kabupaten merupakan berbagai strategi yang akan dikembangkan sebagai sebuah kesatuan pelaksanaan policy advocacy, mulai dari pengorganisasian kelompok basis; pelaksanaan research dan policy analysis; penyusunan academic transcript, position papers dan policy recommendations (including legal drafting); pelaksanaan kampanye publik untuk meraih dukungan berbagai pihak; serta aktivitas-aktivitas memahami situasi politik mikro secara mendetail, mengembangkan aliansi strategis dan jaringan kerja, dan melakukan approach dan lobby-lobby ke berbagai pembuat keputusan tingkat Kabupaten.

Sebagai bagian dari pelaksanaan policy advocacy di berbagai Kabupaten, juga dilakukan training/technical assistance/coaching dan internship/exposure study/comparative study yang menjadi bagian dari kegiatan proaktif ADF, IMPACT, dan Yappika. Waktu pelaksanaan setiap jenis kegiatan capacity building tersebut disusun sesuai dengan perkembangan tingkat kapasitas organisasi mitra serta kemajuan pelaksanaan policy advocacy di tiap kabupaten. Jenis kebutuhan atas TA/coaching bisa berubah sesuai dengan perubahan situasi di lapangan. Tugas utama dari ADF, IMPACT dan Yappika adalah membangun kapasitas 14 organisasi mitra di Kabupaten agar mampu mengkapitalisasi berbagai jenis pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki menjadi sesuatu yang dapat digunakan untuk melakukan advokasi. Dengan kata lain, proses capacity building yang dilakukan oleh program ini tidak hanya dilakukan melalui training in-class, namun juga menggunakan acting/experiencing sehingga terbangun know-how dari knowledge dan skills yang telah diajarkan (continuous learning cycle through acting/experiencing).

ACNORS juga memfasilitasi pengembangan kapasitas OMS untuk memperkuat modal sosial komunitas. Komponen ini mencakup segala hal yang berkaitan dengan community organizing dalam rangka memperkuat atau merevitalisasi modal sosial yang ada di tengah masyarakat. Agenda ini mengharapkan terbentuknya komunitas yang terinstitusionalisasi/terorganisir, yang sadar akan hak-hak dasarnya, mampu mengidentifikasi dengan tepat problem-problem mendasar yang mereka hadapi dan mencari solusi atas problem mendasar tersebut, serta merumuskan aturan-aturan dan mekanisme yang disepakati untuk gerakan bersama. Pendekatan community organizing yang dilakukan berdasarkan pada kelompok-kelompok kepentingan (misalnya: buruh, nelayan, petani, kelompok keagamaan, masyarakat adat, organisasi perempuan, kelompok pemuda, miskin kota) dan bukan atas dasar wilayah administratif mukim, gampong, atau kecamatan. Dengan demikian, organisasi mitra memang harus memikirkan secara serius kelompok-kelompok kepentingan apa saja yang perlu didampingi, sehingga mampu berpartisipasi untuk menggulirkan isu yang akan didorong menjadi kebijakan publik di tingkat Kabupaten.

Page 32: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Peningkatan ketrampilan analisis kebijakan dan memproduksi rekomendasi kebijakan merupakan pengembangan kapasitas lanjutan. Komponen ini memfokuskan perhatian pada peningkatan kemampuan OMS mitra di kabupaten untuk dapat melakukan penelitian, analisis kebijakan dan menyusun rekomendasi-rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan yang disasar berkaitan dengan pelayanan publik untuk pemenuhan hak sosial dasar masyarakat, baik dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami maupun akibat konflik yang berkepanjangan di Aceh, tergantung dari kondisi spesifik pada masing-masing kabupaten lokasi program. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan, tidak hanya diarahkan kepada pemerintah lokal, tetapi juga akan ditujukan kepada berbagai lembaga donor yang bekerja di daerah bersangkutan, agar program-program pelayanan yang mereka laksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan memberikan hasil yang berkualitas. Melalui komponen ini diharapkan OMS mitra di Kabupaten dapat menghasilkan analisis kebijakan yang cukup solid berbasiskan pada data dan informasi yang valid, sehingga rekomendasi yang disampaikan memiliki argumen yang kuat untuk dapat diterima oleh berbagai pihak yang dituju.

IMPACT dan YAPPIKA berkejasama melakukan training kepada staf OMS mitra di Kabupaten mengenai berbagai ketrampilan yang dapat menunjang mereka menghasilkan analisis kebijakan secara baik, mulai dari penggalian data lapangan melalui riset yang sistematis untuk mengumpulkan berbagai fakta yang terjadi di lapangan, penyusunan argumentasi dengan logika yang mudah dipahami banyak pihak, hingga penulisan rekomendasi yang rasional dan mudah diterapkan. Beberapa training yang akan dilakukan adalah: metodologi riset untuk kepentingan advokasi kebijakan (evidence-based policy advocacy research), analisis kebijakan dan legal drafting, serta penulisan kertas posisi dan press release. Untuk peningkatan pemahaman, akan dilakukan juga beberapa training yang secara khusus mendalami isu-isu tertentu, seperti misalnya, analisis anggaran atau tema-tema lain yang menjadi kebutuhan. Training tidak hanya akan dilakukan dalam bentuk in-class, tetapi juga akan diikuti dengan technical asisstance/coaching pada saat analisis dan penyusunan rekomendasi kebijakan sedang berlangsung. Selain ditujukan terutama untuk staff OMS mitra, training ini juga bisa diikuti oleh individu-individu yang akan dilibatkan sebagai aliansi strategis dalam melakukan advokasi kebijakan yang diusung, baik dari kalangan perguruan tinggi, media massa, pesantren, maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Policy study ditujukan untuk mempelajari secara mendalam kebijakan-kebijakan yang menyangkut pelayanan publik yang ada di satu kabupaten dan relevansinya dengan kehidupan masyarakat di daerah bersangkutan. Kegiatan ini dilakukan oleh OMS mitra di Kabupaten –dan aliansi strategisnya-- yang telah mendapatkan training sebelumnya, melalui serangkaian proses pengumpulan dokumen kebijakan, penggalian data lapangan dengan cara interview mendalam maupun FGD, diskusi-diskusi di dalam tim studi secara intensif, dan penulisan laporan. Draft laporan dididistribusikan kepada pihak-pihak yang dipandang relevan untuk memberi masukan (peer-review), untuk selanjutnya disusun menjadi laporan studi yang komprehensif. Dalam konteks inilah, IMPACT dan Yappika memberikan technical

Page 33: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

assistance/coaching kepada tim peneliti, sebagai kelanjutan dari training yang dilakukan secara in-class.

Kegiatan ini hendak memperoleh kekuatan dan kelemahan kebijakan-kebijakan daerah, baik menyangkut rumusan substansinya maupun dari segi implementasinya di lapangan, sekaligus mengetahui kekosongan kebijakan yang masih diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah --maupun pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah untuk memberikan pelayanan-- kepada masyarakat. Temuan dari kegiatan inilah yang akan menjadi bahan utama untuk advokasi kebijakan di kabupaten tersebut. Sebagai catatan, policy study tidak hanya terbatas untuk kebijakan yang sudah ada. Tidak tertutup kemungkinan juga dilakukan usul inisiatif untuk lahirnya sebuah kebijakan yang dirasa penting oleh masyarakat, apabila ada kekosongan kebijakan menyangkut masalah pelayanan publik tertentu.

ANCORS juga menyiapkan kapasitas OMS dalam mengembangkan jaringan, mempengaruhi opini publik dan membangun aliansi strategis. Komponen ini memfokuskan perhatian pada peningkatan kapasitas OMS mitra Kabupaten untuk melakukan advokasi secara masif dengan menggunakan berbagai metode yang tersedia, seperti lobby, hearing, public forum, pameran, kampanye media termasuk aksi massa jika memang diperlukan. Agenda ini diharapkan membangun interaksi yang efektif antara OMS dengan para pengambil kebijakan sehingga memungkinkan diakomodasinya rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan oleh OMS. Selain itu, akan dilakukan juga peningkatan kapasitas dalam hal mengkomunikasikan pandangan dan posisi OMS terhadap permasalahan kabijakan yang ada kepada khalayak luas secara sistematis, dengan harapan agar publik mau memberikan dukungan secara nyata terhadap apa yang diusulkan oleh OMS.

Serangkaian training dilakukan oleh IMPACT dan YAPPIKA kepada OMS mitra Kabupaten mengenai teknik dan strategi membangun interaksi dengan pengambil keputusan, menjalin kerjasama dengan media massa, menggalang dukungan publik, termasuk juga bagaimana membangun jaringan secara efektif. Beberapa jenis training yang akan dilakukan adalah analisis peta politik mikro, lobby dan negosiasi, leadership, teknik fasilitasi, social marketing dan pengembangan media kampanye. Berbagai training dapat membekali OMS mitra Kabupaten untuk dapat melakukan advokasi secara efektif. Selain dalam bentuk in-class, Impact dan Yappika juga akan mendampingi OMS mitra kabupaten dalam proses pelaksanaan advokasi paska pelatihan.

Dari sisi kelembagaan, ANCORS juga memfasilitasi penguatan kelembagaan OMS mitra kabupaten, baik dalam hal internal governance, pelaksanaan program maupun pengelolaan keuangan. Perhatian terhadap kapasitas kelembagaan ini penting dilakukan agar semua program yang dirancang dapat terlaksana dengan baik, dalam artian berjalan sesuai dengan rencana dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini ADF dan

Page 34: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

YAPPIKA secara bersama-sama memberikan training kepada OMS mitra kabupaten berkenaan dengan pengelolaan program dan keuangan. Dalam bidang pengelolaan program, beberapa ketrampilan yang akan menjadi perhatian menyangkut sistem pendokumentasian, monitoring lapangan dan penyusunan laporan perkembangan program. Sementara untuk bidang keuangan, selain pengelolaan keuangan sehari-hari, akan dikembangkan juga sistem pengelolaan keuangan secara menyeluruh pada setiap lembaga, termasuk pengembangan standar dan prosedur-prosedur keuangan yang memenuhi standar audit. Untuk mendampingi penerapan hasil in-class training, ADF dan Yappika juga akan melakukan technical asisstance dan coaching secara rutin agar pengetahuan dan ketrampilan yang disampaikan dalam training menjadi terlembaga di dalam setiap OMS mitra kabupaten. Pada saat pendampingan rutin ini, perhatian juga akan diberikan untuk memastikan bahwa mekanisme kelembagaan, misalnya sistem kontrol dari pengurus terhadap pelaksana, berjalan sesuai dengan anggaran dasar setiap lembaga. Pada sisi lain, Impact dan Yappika juga akan mendampingi OMS mitra kabupaten menjaga alur pelaksanaan program sesuai dengan LFA yang telah disusun sebelumnya, termasuk inisiatif-inisiatif kegiatan yang perlu dilakukan untuk mendukung capaian hasil secara maksimal.

Menguji dan Mengembangkan Kapasitas Internal

ANCORS tidak hanya berbicara tentang kapasitas OMS dalam menjalankan advokasi, tetapi juga mengusung transparansi dan akuntabilitas OMS, dua komponen penting dalam internal governance. Transparansi dan akuntabilitas OMS, bagaimanapun, merupakan isu krusial yang selalu menjadi sorotan publik, sebagaimana OMS dan publik menyerukan transparansi dan akuntabilitas kepada pemerintah mengingat pemerintah memperoleh mandat dari rakyat. Tentu menjadi sebuah paradoks kalau OMS miskin transparansi dan akuntabilitas, sementara mereka selalu bersuara kedua hal itu kepada pemerintah. Transparansi OMS sebenarnya perkara yang mudah dijalankan, yakni menyampaikan informasi tentang “apa yang diperoleh, darimana memperolehnya, bagaimana memperoleh, apa yang dilakukan, bagaimana melakukan” secara jujur dan terbuka kepada publik melalui media yang dimiliki atau memberikan jawaban secara langsung ketika menghadapi pertanyaan dari publik.

Akuntabilitas dan transparansi sebenarnya merupakan dua sisi mata uang: nilainya sama, tetapi gambarnya berbeda. Tetapi J. Fox (2004) mengatakan bahwa transparansi sangat penting namun tidak cukup untuk menjamin akuntabilitas. Akuntabilitas sebenarnya berbicara tentang relasi kekuasaan antara yang berkuasa dan yang dikuasai atau antara pemberi mandat dan penerima mandat (Schedler dan Diamond, 1999; P. Schmitter, 2004; Newell and Wheeler, 2006). Pemerintah sebagai penerima atau pemegang mandat mempunyai kewajiban mempertanggungjawabkan terhadap apa yang dilakukan kepada pemberi mandat. Sementara institusi wakil rakyat mempunyai otoritas menjamin akuntabilitas melalui mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balances) kepada pemerintah.

Page 35: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Tetapi akuntabilitas OMS sangat problematik, yang berbeda dengan akuntabilitas pemerintah atau pemimpin daerah. Mekanisme akuntabilitas pemerintah sudah sangat jelas: siapa mempertanggungjawabkan kepada siapa, siapa menciptakan kontrol dan keseimbangan kepada siapa, apa yang dipertanggungjawabkan, bagaimana mempertanggungjawabkan, apa insentif dan disinsentifnya. Sebaliknya, problematika akuntabilitas dalam OMS muncul karena OMS seperti NGOs hadir bukan berdasarkan mandat dari rakyat atau dari konstituen; OMS muncul sebagai bentuk inisiatif dari beberapa warga atau orang. Setiap atau sekelompok warga mempunyai hak untuk menjalankan akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas societal atau kontrol sosial kepada pemerintah. Jika OMS menjalankan semua agenda itu, dan OMS mempunyai dana yang berasal bukan dari rakyat tetapi dari donor asing, lalau bagaimana substansi dan proses akuntabilitas mereka?

Di Indonesia, secara formal undang-undang yayasan maupun perkumpulan, merupakan regulasi negara untuk mengontrol akuntabilitas OMS yang mempunyai badan hukum yayasan atau perkumpulan. UU yayasan menegaskan bahwa yayasan adalah badan publik bukan lembaga perseorangan, yang harus mempunyai aturan dan mekanisme kelembagaan secara jelas; tidak boleh ada rangkap jabatan; tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas; dilarang membagikan atau mengalihkan kekayaan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan; keuangan yayasan wajib diaudit oleh akuntan publik, wajib melaporkan kegiatan dan keuangan kepada publik dan seterusnya. Undang-undang ini memang tidak mengatur secara detail bagaimana akuntabilitas NGOs kepada konstituennya, tetapi sebenarnya prinsip-prinsip dasar akuntabilitas internal dan akuntabilitas publik telah ditegaskan di dalamnya. Lalu bagaimana akuntabilitas NGOs? Lisa Jordan (2004) termasuk orang yang menaruh perhatian khusus pada akuntabilitas NGOs. Hans Antlov, Rustam Ibrahim dan Peter van Tuijl (2005) juga pernah menulis sebuah artikel tentang tantangan akuntabilitas NGOs di Indonesia. Dari karya-karya mereka, kita bisa memperoleh informasi bahwa akuntabilitas NGOs hanya berhubungan dengan pemerintah (negara) dan lembaga donor, tetapi akuntabilitas kepada publik masih lemah atau belum dijalankan oleh NGOs. Banyak orang di Indonesia selalu bertanya: apa itu NGOs? Mengapa mereka ada dan apa basis legitimasinya? Bagaimana NGOs dapat akuntabel kepada konstituen atau stakeholders dan bagaimana mekanisme akuntabilitas ini diterapkan?

Akuntabilitas sangat esensial untuk memperkuat legitimasi NGOs baik secara internal maupun eskternal. J. Fox (2004), misalnya, berpendapat bahwa jika para aktor masyarakat sipil sendiri bertanggung jawab secara publik, maka lebih mungkin untuk memberi kontribusi terhadap reformasi negara. Tetapi NGOs biasanya kekurangan konstituensi yang ditetapkan secara jelas, sehingga menetapkan proses akuntabilitas mereka bersifat problematis. Mereka mungkin bertanggung jawab pada cita-cita humanisme, demokrasi universal, keadilan, atau keberlanjutan lingkungan. NGOs cenderung bersemangat mempertahankan otonomi mereka, sehingga siapa yang memutuskan apakah mereka

Page 36: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

bertanggung jawab pada tujuan nyata mereka, dan siapa yang menyusun standar tersebut? Karena akuntabilitas adalah relasional, bagaimanapun, NGOs dapat bertanggung jawab dalam banyak arah yang berbeda. Lisa Jordan (2004) lantas menyebutkan mekanisme akuntabilitas NGOs kepada multiple stakeholders, yakni upward dan external accountability kepada donor; internal accountability kepada seluruh staf agar tidak terjadi oligarki dalam tubuh NGOs dan downward accountability kepada konstituen atau kelompok penerima manfaat.

Program ANCORS YAPPIKA memang belum masuk terlalu dalam untuk melembagakan model dan mekanisme OMS. Tetapi ANCORS, dalam rangka pengembangan kapasitas, melakukan pengujian OMS dengan menggunakan instrumen Transparency and Accountability of NGO) (TANGO) terhadap 14 mitra OMS di level kabupaten. TANGO itu menghasilkan indeks yang mencakup variabel: visi-misi-tujuan, internal governance (akuntabilitas, transparansi, kepemimpinan, mekanisme pengambilan keputusan, dan lain-lain), administrasi, manajemen program, manajemen keuangan dan dan legitimasi (pengakuan dari stakeholder). Penilaian TANGO dilakukan dua kali: sebelum ANCORS berjalan (2006) sebagai pre test dan sesudah ANCORS sebagai post test. Hasil TANGO 2006 dan 2008 tersaji dalam tabel 3.2 dan seterusnya.

Secara umum program intervensi ANCORS membuahkan peningkatan indeks TANGO sebesar 0,34 dari rata-rata 2,02 pada tahun 2006 menjadi 2,36 pada tahun 2008. Dari data yang tersedia, hampir semua OMS mitra kabupaten mengalami peningkatan indeks TANGO, kecuali Flower Aceh Barat yang mengalami penurunan 0,186 yakni dari 2,346 (2006) menjadi 2,16 (2008). Pada tahun 2006, Flower Aceh Barat sebenarnya mempunyai ideks peringkat pertama, tetapi setelah 2 tahun berjalan justru anjlok drastis menjadi peringkat 10. Dilihat pada setiap komponen, Flower Aceh Barat mengalami keajegan dari sisi legitimasi (1,75), dan mengalami peningkatan hanya dari sisi program (dari 2,26 menjadi 2,28). Tetapi Flower Aceh mengalami penurunan dari sisi visi-misi-tujuan (dari 2,80 pada tahun 2006 – angka ini tertinggi dibanding dengan OMS lainnya -- menjadi 2,54 pada tahun 2008); governance (2,36 menjadi 2,20), administrasi (2,27 menjadi 2,17) dan finansial (dari 2,36 menjadi 1,96). Dengan demikian, Flower Aceh Barat cenderung abai terhadap managerialisme ataupun kapasitas internal institusi.

Tabel 3.2Hasil Tango 2006 (sebelum program ANCORS berjalan)

No Institusi V-M-G Gov Adm Prog Fin Leg Total1 Daun Singkil 2.42 1.87 2.03 2.16 1.42 1.50 1.9522 Flower Aceh Barat 2.80 2.36 2.27 2.26 2.36 1.75 2.3463 LPPM Aceh Besar 2.34 2.16 2.37 2.16 1.82 1.66 2.0884 LSPENA Bireuen 2.24 2.35 2.34 2.21 1.99 2.02 2.1985 Mataradja Aceh 2.28 1.89 2.20 2.34 2.05 1.69 2.087

Page 37: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Jaya6 Masif Aceh Jaya 2.17 1.56 1.82 1.72 1.36 1.50 1.7167 Pugar Aceh Besar 2.56 2.39 2.36 2.40 2.00 2.09 2.3258 PAPAN Aceh Barat 2.34 2.08 2.39 2.32 2.75 2.11 2.3339 PASKA Pidie 2.51 1.71 2.00 2.30 2.14 1.64 2.08510 PERAK Pidie 1.96 1.59 1.81 2.25 1.23 1.60 1.78011 RTA Singkil 2.31 1.85 1.42 1.52 1.22 1.17 1.65112 YPK Aceh Barat 2.16 1.80 2.06 2.12 1.85 1.57 1.95113 YPSDI Aceh Besar 2.28 2.06 2.40 2.40 2.00 2.15 2.21314 BIMA 1.94 1.38 1.4 1.6 1.34 1.25 1.49

V-M-G (Visi, misi dan goal), Gov (governance), Adm (administrasi ), prog (pengelolaan program), Fin (pengelolaan keuangan), Leg (legitimasi ).

Tabel 3.3Hasil Tango 2008 (setelah program ANCORS berjalan 2 tahun)

No Institusi V-M-G

Gov Adm Prog Fin Leg Total

1 Daun Singkil 2.5 2 2.22 2.36 2.24 2.38 2.282 Flower Aceh Barat 2.54 2.20 2.17 2.28 1.93 1.75 2.1603 LPPM Aceh Besar 2.46 2.26 2.29 2.21 2.22 1.77 2.204 LSPENA Bireuen 2.72 2.31 2.4 2.75 2.38 2.8 2.565 Mataradja Aceh Jaya 2.53 2.19 2.37 2.43 1.95 1.78 2.2266 Masif Aceh Jaya 2.64 2.47 2.52 2.47 2.33 2.59 2.5137 Pugar Aceh Besar 2.56 2.51 2.47 2.62 2.19 2.15 2.428 PAPAN Aceh Barat 2.72 2.30 2.59 2.81 2.59 2.35 2.349 PASKA Pidie 2.60 2.45 2.73 2.88 2.82 2.79 2.70810 PERAK Pidie 2.86 2.53 2.59 2.84 2.70 3.00 2.78811 RTA Singkil 2.47 2.17 2.22 2.26 1.84 2.03 2.18912 YPK Aceh Barat 2.16 1.80 2.06 2.12 1.85 1.57 1.95113 YPSDI Aceh Besar 2.63 2.07 2.72 2.80 2.46 2.78 2.59414 BIMA 2.44 2.05 2.44 2.27 1.84 1.58 2.094

Tabel 3.4Perbandingan TANGO 2006 dan 2008

No Institusi 2006 dan ranking 2008 +/-

Page 38: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

1 Daun Singkil 1.95 (10) 2.28 (08) 0.32 2 Flower Aceh Barat 2.35 (01) 2.16 (12) -0.1863 LPPM Aceh Besar 2.09 (06) 2.2 0 (10) 0.1124 LSPENA Bireuen 2.19 (05) 2.56 (04) 0.365 Mataradja Aceh Jaya 2.09 (07) 2.22 (09) 0.1396 Masif Aceh Jaya 1.72 (12) 2.51 (05) 0.7977 Pugar Aceh Besar 2.32 (03) 2.42 (06) 0.0958 PAPAN Aceh Barat 2.33 (02) 2.34 (07) 0.0079 PASKA Pidie 2.09 (08) 2.71 (02) 0.623

10 PERAK Pidie 1.78 (11) 2.79 (01) 1.00811 RTA Singkil 1.65 (13) 2.19 (11) 0.53812 YPK Aceh Barat 1.95 (09) 1.95 (14) 013 YPSDI Aceh Besar 2.21 (04) 2.59 (03) 0.38114 BIMA 1.49 (14) 2.09 (13) 0,60

Rata-rata 2.02 2.36 0.34

Peningkatan tertinggi indeks TANGO dicapai oleh PERAK Pidie, sebesar 1,008 yakni dari 1,78 (2006) menjadi 2,79 (2008). Angka 1,78 (2006) adalah terendah keempat setelah BIMA (1,49), RTA Singkil (1,65) dan MASIF Aceh Jaya (1,72). Tetapi setelah dua tahun berjalan, PERAK Pidie melakukan lompatan luar biasa. Pada tahun 2006, PERAK Pidie menempati peringkat 11, dan 2 tahun berikutnya, angka 2,79 merupakan angka tertinggi atau ranking pertama di antara 14 OMS mitra. MASIF Aceh Jaya juga mengalami peningkatan secara signifikan, dari 1.716 peringkat 12 pada tahun 2006 menjadi 2,42 atau menempati peringkat 4 pada tahun 2008.

Tabel 3.5Indeks kapasitas dan TANGO

Rerata 14 OMS 2006-2008

No Komponen 2006 20081 Visi, misi tujuan 2,31 2,582 Governance 1,93 2,283 Administrasi 2,06 2,444 Manajemen Program 2,13 2,555 Manajemen Keuangan 1,82 2,306 Legitimasi 1,69 2,31

Tabel 3.5 bisa digunakan secara kritis untuk menunjukkan titik-titik lemah OMS, dengan cara membandingkan indeks satu komponen dengan indeks komponen lainnya. Indeks tertinggi terletak pada Visi-Misi-Tujuan (VMT), kemudian disusul manajemen program, administrasi, manajemen keuangan, baru kemudian governance dan legitimasi. VMT, sebagai komponen

Page 39: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

paling dasar-minimal, mempunyai indeks yang tinggi sebab hal itu mudah dibuat oleh OMS, cukup dengan musyawarah dan memberikan ekspresi kalimat yang berisikan visi, misi dan tujuan. Angka-angka itu menunjukkan potret yang mendua: mempunyai manajemen program yang baik tetapi lemah dari sisi internal governance (transparansi, akuntabilitas, kepemimpinan, mekanisme pengambilan keputusan, dll), atau dengan kalimat lain: baik keluar, buruk kedalam. Jika internal governance ini rendah terus-menerus, maka dapat menimbulkan sebuah paradoks OMS: selalu menyuarakan transparansi dan akuntabilitas kepada pemerintah, tetapi dirinya sendiri tidak menjalankannya secara internal. Legitimasi (penerimaan pemerintah dan masyarakat terhadap OMS) juga menjadi titik persoalan yang penting bagi OMS. Penerimaan pemerintah dan masyarakat terhadap OMS sangat ditentukan oleh sikap, tindakan, ucapan maupun kinerja. Pejabat pemerintah sering menolak kehadiran OMS/LSM yang dinilai, misalnya, kurang sopan dalam berpakaian atau mereka sering berbicara sangat keras tetapi tidak memberikan solusi yang baik.

Tetapi, tabel 3.5 juga menunjukkan sebuah pertumbuhan dan kemajuan yang baik. Karena intervensi ANCORS dan pembelajaran mereka selama 2 tahun, indeks semua komponen mengalami peningkatan. Mengenai ranking terjadi pertukaran antara governance dan legitimasi. Pada tahun 2006, legitimasi menempati urutan paling bawah, tetapi pada tahun 2008 governance justru menempati urutan paling bawah menggantikan legitimasi. Hal ini berarti bahwa legitimasi (pengakuan publik) mengalami peningkatan dan kemajuan lebih baik daripada komponen governance. Catatan ini juga menunjukkan bahwa OMS masih menghadapi problem transparansi, akuntabilitas, kepemimpinan maupun demokratisasi dalam pengambilan keputusan internal, termasuk juga problem dari sisi kesetaraan gender. Dari sisi gender, fakta menunjukkan bahwa rata-rata OMS mitra ANCORS cenderung bias laki-laki sehingga kaum perempuan menghadapi masalah representasi, partisipasi, akses dan kontrol terhadap institusi.

Beragam Karakter dan Kemampuan

OMS Aceh mitra ANCORS memiliki karakter dan kemampuan yang beragam. Tabel 3.6 memberikan ilustrasi tiga bentuk dan cirikhas OMS: gerakan, jaringan dan penyedian layanan (service provider). Pertama, tipe OMS gerakan. Sebagian besar NGOs (Mataradja, MASIF, BIMA, PERAK, PASKA, PUGAR dll) termasuk dalam kategori ini. Bentuk dan cirikhas ini sangat kuat tertanam pada PUGAR. PUGAR mengambil posisi sebagai resource center for social movement yang berada “di belakang”, mengorganisir dan mendukung berbagai kelompok atau OMS untuk memperkuat dirinya sendiri dan melakukan advokasi kebijakan terhadap pemerintah daerah. Mataradja dan MASIF sebenarnya termasuk dalam bentuk ini, tetapi belum sekuat PUGAR, dan karena masih muda mereka tampak masih mencari-cari cirikhas (jati diri) mereka. Kedua, tipe OMS jaringan, seperti Forum LSM dan KKTGA. Mereka tidak berhubungan secara langsung dengan komunitas grass roots, tetapi mengambil posisi di tengah menjadi simpul-simpul visi, informasi dan jaringan berbagai OMS untuk keperluan membangun ruang-ruang publik dan advokasi kebijakan publik. Ketiga, tipe OMS penyedia

Page 40: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

layanan, yang paling kuat ada pada IMPACT dan LPPM juga akan tumbuh menjadi penyedia layanan kajian kebijakan. Mereka tidak banyak bermain di grass roots, melainkan berada di atas tetapi tetap yang belajar dari bawah dan dari tengah (jaringan).

Ilustrasi dalam tabel itu tentu bukan sekadar tipologi secara akademik, tetapi mempunyai makna-relevansi secara strategis dan praksis bagi masa depan OMS di Aceh. Jika cirikhas ini disadari dan secara kontingensi dipilih oleh masing-masing OMS, maka akan menjadi kekuatan penting untuk penguatan OMS secara berkelanjutan di masa depan. Setiap OMS bisa secara sadar dan konsisten memilih, membentuk dan memperkuat cirikhas sesuai dengan kemampuan dan pengalaman mereka masing-masing. Mereka juga mempunyai kelebihan dalam pendekatan teknokratis, terutama dalam manajemen pengetahuan, baik menyiapkan materi pembelajaran maupun kajian kebijakan. LPPM, misalnya, mengambil posisi berada “di depan” yang menyediakan ruang-ruang para pihak, dan menjalin hubungan dekat dengan pemerintah.

Tabel 10Posisi, bentuk dan cirikhas OMS

Gerakan Jaringan Penyedia layanan (service provider)

Level posisi dan tindakan

Mulai dari bawah (grass roots) lalu melakukan scaling up

Berada di level meso/menengah, yang melakukan link up terhadap berbagai OMS

Berada di atas, yang belajar dari bawah dan dari tengah.

Posisi berdiri Berada “di belakang” organisasi rakyat.

Berada “di tengah” yang menjadi simpul jaringan NGOs

Berada “di depan” yang menyediakan ruang-ruang para pihak, dan menjalin hubungan dekat dengan pemerintah.

Kekuatan utama yang dimiliki

Lebih populis, pengorganisasian dan pendidikan rakyat

Simpul visi, informasi dan jaringan

Manajemen pengetahuan atau keahlian teknokratis

Agenda utama Mendidik dan mengorganisir rakyat untuk mengubah sistem/kebijakan pemerintah

Pertukaran informasi dan pembentukan simpul koalisi untuk advokasi kebijakan

Mengumpulkan dan menebar pengetahuan, menjadi konsultan kebijakan pemerintah.

Contoh OMS PUGAR, Mataradja, MASIF, BIMA, PASKA, PERAK, RTA

Forum LSM, KKTGA IMPACT (capacity building untuk OMS) dan LPPM (pendamping/konsultan kebijakan)

Page 41: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

OMS bisa disebut kuat dan sempurna bila memiliki semua komponen seperti tersaji dalam tabel 3.1 di atas dan tentu mempunyai indeks TANGO yang tinggi. Sejauh ini OMS-OMS mitra ANCORS belum memiliki kemampuan yang berimbang secara menyeluruh. Dari uji TANGO di atas telah menunjukkan bahwa OMS kalau keluar baik tetapi kalau kedalam kurang baik. Dalam hal kapasitas advokasi juga terjadi ketimpangan. Rata-rata OMS mempunyai kemampuan penelitian (research based advocacy) yang masih terbatas, termasuk IMPACT. Mereka sudah cukup memadai dalam investigasi atau menggali informasi, tetapi masih lemah dalam analisis untuk dijadikan sebagai dokumen advokasi kebijakan. Rata-rata mempunyai kapasitas mengorganisir komunitas lokal dengan baik, tetapi tetap mengalami kesulitan dalam melakukan scaling up koalisi yang lebih besar. Dengan demikian, jika dilihat dari teori gerakan sosial, OMS mempunyai kemampuan lebih dalam membikin noise tetapi masih lemah dalam membangun knowledge. Ada pula yang kuat untuk menjadi service provider seperti LPPM, tetapi dia kurang kuat dalam pengorganisasian masyarakat.

Bab 4

Page 42: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Belajar, Bergerak dan Bersenyawa

Jika bab 3 sebelumnya berbicara tentang pengembangan kapasitas yang terstuktur, bab 4 ini berbicara tentang learning by doing para pihak yang tergabung dalam ANCORS, secara khusus 14 OMS mitra kabupaten yang berposisi sebagai front liner, berhubungan langsung dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Pada prinsipnya para pihak yang tergabung dalam ANCORS adalah kekuatan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang berdiri sebagai jembatan (intermediary) antara warga dan komunitas dengan pengambil kebijakan daerah (pemerintah dan DPRK). Dalam bahasa yang populer, kekuatan itu melakukan advokasi bersama-sama dengan komunitas lokal menghadapi kebijakan dan pelayanan publik daerah. Dalam bahasa yang lain, mereka adalah struktur mediasi yang menurut Richard Cauto (1999) akan membuat demokrasi bekerja lebih baik. Secara politik mereka melakukan kontestasi dengan pemerintah daerah terutama untuk meramaikan ruang-ruang publik dan mempengaruhi kebijakan daerah.

Kolaborasi antara YAPPIKA, IMPACT dan ADF tentu merancang sejak awal bagaimana posisi berdiri dan strategi kontestasi, terutama yang dijalankan oleh 14 mitra OMS sebagai kekuatan front liner yang berhubungan secara langsung dengan komunitas dan pemerintah daerah. Strategi yang diambil akan sangat menentukan disain kelembagaan kontestasi, ketepatan posisi berdiri dan peran OMS yang relevan dengan konteks lokal, dan keberhasilan mendorong perubahan. Apa dan bagaimana strategi yang diambil dan dijalankan oleh ANCORS? Bab ini hendak menceritakannya.

Posisi dan Strategi OMS

ANCORS memang tidak menyusun teori yang canggih tentang strategi kontestasi secara deduktif, tetapi pengalaman empirik OMS belajar bersama masyarakat, bergerak secara kolektif dan berinteraksi dengan pemerintah bisa dibastraksikan dan dibahasakan menjadi struktur teori strategi kontestasi secara reflektif. Secara teoretik sebenarnya ada tiga posisi dan strategi kontestasi yang diambil oleh OMS, yakni: sebagai oposisi yang melakukan konfrontasi (melawan negara), sebagai organisasi politik yang berupaya melakukan reklaim (merebut negara) dan sebagai jembatan yang melakukan engagement (berkawan atau bersehabat dengan negara), seperti tersaji dalam tabel 4.1.

Pertama, strategi konfrontasi atau melawan negara. Tradisi civil society ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dan Antonio Gramsci, yang menegaskan bahwa masyarakat sipil harus diorganisir melalui transformasi demokrasi yang berakar kuat dan transformasi ini harus revolusioner, serta hanya ketika individu diintegrasikan dalam masyarakat dan negara. Transformasi revolusioner menjadi prinsip organisasional untuk mensipilkan

Page 43: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

masyarakat sipil (Neera Chandoke, 1995). Melalui cara pandang struktural, perspektif ini mengatakan bahwa problem dasar yang dihadapi dalam konsolidasi demokrasi adalah marginalisasi, eksploitasi, voiceless, ketidakberdayaan, kemiskinan, dan sebainya yang diderita rakyat bawah. Musuh utamanya adalah negara, pasar, rezim global, oligarki elite, korupsi birokrasi, represi militer dan seterusnya. Para pendukung perspektif ini sering menegaskan dua hal: (1) negara adalah sumber dari segala sumber masalah dan (2) people can do no wrong (John Friedman, 1992). Karena itu negara harus dikontrol dan dilawan oleh masyarakat sipil melalui gerakan sosial secara berkelanjutan. Rakyat harus terdidik secara kritis dan terorganisir secara kuat untuk melawan negara. Negara harus dilawan secara konfrontatif dengan menggelar wacana tanding dan aksi kolektif dalam bentuk parlemen jalanan. Kemitraan tidak dikenal dalam mainstream ini, kecuali partisipasi dalam bentuk voice dan kontrol politik.

Tabel 4.1Peta Strategi Besar Kontestasi OMS

dalam tata pemerintahan lokal

No Item Konfrontasi (melawan negara)

Reklaim (merebut negara)

Engagement (berkawan dengan negara)

1. Aliran Kiri Kiri baru Konvergensi kanan-kiri (kiri tengah) atau liberal yang kiri

2. Konsep utama Gerakan sosial Strong democracy (participatory democracy)

Good governance atau democratic government, demokrasi deliberatif, governance, publik dan citizenship.

3. Asumsi dasar tentang negara

(1) Negara adalah sumber dari segala sumber masalah; (2) rakyat tidak bisa berbuat salah

Negara telah berubah karena demokratisasi, tetapi ia masih dikuasai oligarki elite.

Negara sangat penting dan dibutuhkan, tetapi kapasitas dan responsivitasnya sangat lemah.

4. Pemahaman atas konteks/Kondisi empirik

Negara dikuasi oleh penguasa otoriter, korup dan berpihak pada modal.

Demokrasi dibajak oleh kaum elite. Terjadi krisis dan involusi demokrasi perwakilan

Oligarkis, komitmen politik lemah, pelayanan publik buruk, partisipasi warga sangat lemah.

5. Tujuan dan agenda

Melawan negara, meruntuhkan penguasa otoritarian, melawan kebijakan yang tidak pro rakyat

Memperdalam demokrasi dan merebut jabatan publik untuk mengontrol negara

Membuat negara lebih akuntabel dan responsif, serta memperkuat partisipasi warga.

6. Metode yang Aksi kolektif. Anti Memperkuat CSOs, Kemitraan, duduk

Page 44: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

dijalankan kompromi, tidak mengenal konsep “duduk bersama”,

gerakan politik dan representasi

bersama, konsultasi, komunikasi, negosiasi yang dialogis antara CSOs dan negara

Kedua, strategi reklaim (merebut negara). Strategi ini dipengaruhi oleh aliran kiri baru yang kritis terhadap krisis demokrasi liberal-perwakilan. Kaum kiri baru itu menantang sejumlah prinsip fundamental dalam demokrasi liberal: individu yang bebas dan setara, pemisahan yang tegas antara negara dan masyarakat sipil, dan pemilihan umum sebagai proses demokrasi paling utama (David Held, 1987). Carole Patemen (1970), menyampaikan kritik itu dengan berujar bahwa individu yang bebas dan setara itu tidak bakal terjadi secara empirik. Pemisahan antara negara dan masyarakat justru membuat negara melakukan reproduksi ketidakadilan, yang berarti negara lari dari tanggungjawab. Pemilihan umum juga tidak cukup untuk menciptakan tanggungjawab penyelenggara negara terhadap rakyat yang diperintah. Karena itu kaum kiri baru menegaskan tiga perubahan untuk transformasi politik: (1) negara harus didemokrasikan dengan cara membuat semua institusi politik lebih terbuka dan akuntabel; (2) bentuk-bentuk baru perjuangan politik di level lokal harus membawa perubahan yang memastikan akuntabilitas negara dan masyarakat (David Held, 1987), dan (3) aktor-aktor masyarakat sipil harus mampu merebut kekuasaan untuk mengontrol negara.

Reklaim atau merebut sebenarnya berarti merebut dukungan massa untuk menduduki jabatan-jabatan publik, seperti dewan dan kepala daerah. Kalau aktivis OMS bisa berhasil reklaim, maka mareka tidak hanya “melihat” dan “mempengaruhi” kebijakan, tetapi sudah “menentukan” kebijakan. Strategi reklaim ini sebenarnya sudah mulai ramai dibicarakan dan dipraktikkan di Indonesia, dan sebagian sudah mulai dijalankan oleh sejumlah aktivis NGOs. Ada sejumlah aktivis NGOs yang menempuh jalan respresentasi politik, yakni menjadi kepala desa, parlemen, bupati dan yang lain, atau yang lain. Rute ini dibicarakan dan bahkan direkomendasikan oleh lembaga riset DEMOS, karena temuan DEMOS mengatakan bahwa para aktivis demokrasi menjadi “demokrat mengambang”, tidak berakar ke bawah dan tidak punya cantolan di atas. Karena itu, rekomendasinya, aktivis NGOs sudah saatnya mengubah strategi tradisional melalui gerakan sosial menjadi gerakan politik untuk merebut kekuasaan atau menduduki jabatan publik. Ada sebuah keyakinan bahwa dengan cara representasi politik ini bisa mengontrol negara dan melancarkan reformasi kebijakan secara cepat.

Ketiga, strategi bersenyawa berkawan dengan negara (engagement). Strategi ini dipengaruhi oleh kovergensi banyak tradisi: Tocquevellian, Habermasian, kiri tengah dan juga pemikiran governance (institusionalisme baru). Mereka menganggap demokrasi perwakilan tetap penting meski terbatas, karena itu harus dilengkapi dengan demokrasi deliberatif. Karena dipengaruhi oleh konsep good governance atau demoratic governace, mazhab ini percaya bahwa negara tetap penting dan dibutuhkan, yang penting negara yang

Page 45: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

lemah itu harus diperbaiki dan diperkuat. Strategi ini juga hendak melakukan transformasi dalam masyarakat demokrasi baru, dari demokrasi yang berbasis rakyat (people) menjadi demokrasi berbasis warga (warga). Ingat petuah Aristoteles bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dipimpin oleh gerombolan rakyat yang bodoh dan rakus, karena itu dia menyerukan pentingnya konsep kewargaan (citizenship) sebagai fondasi demokrasi.

Untuk memperkuat pemerintahan demokratis dibutuhkan proses engagement antara masyarakat dengan negara sebagaimana disarankan oleh seni asosiasi ala Tocqueville dan Robert Putnam serta tradisi demokrasi deliberatif. Belajar dari kasus Italia, Robert Putnam (1993), misalnya, membangun argumen yang kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horisontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut Putnam komunitas sipil (civic community). Indikator-indikator civic engagement -- solidaritas sosial dan partisipasi massal -- yang merentang pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokratis. Selama seperempat abad terahir, desentralisasi politik di Itali telah secara luas mentransformasikan kultur politik elite dalam suatu arah yang demokratis. Pembentukan pemerintahan regional, yang kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumber-sumber daya, menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel. Secara berangsur-angsur warga mulai mengidentifikasi diri dengan level pemerintahan lokal dan bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional.

Putnam juga menegaskan bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal mempunyai potensi besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi dan jaringan masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal yang lebih menawarkan cakupan terbesar dan terdekat bagi organisasi-organisasi independen untuk membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah dan problem-problem yang menuntut perhatian publik (pendidikan, kesehatan, transportasi dan lingkungan) berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Keterlibatan langsung warga dalam penyelenggaraan layanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang penting untuk memperkuat keterampilan para warga secara individual dan akumulasi modal sosial, seraya membuat penyampaian layanan publik lebih responsif dan akuntabel.

Engagement pada dasarnya mempunyai makna horizontal (antar warga) dan vertikal antara masyarakat dan negara. Secara horizontal, kepercayaan memainkan peran sentral dalam masyarakat modern dan politiknya, karena sebagaimana Simmel (1950: 326) mengatakan, ‘kepercayaan adalah salah satu tenaga sintetik yang paling penting dalam masyarakat’ (lihat juga Arrow 1972: 357; Coleman 1990: 306; Ostrom 1990; Putnam 1993; 1995; 2000; Fukuyama 1995; Braithwaite dan Levi 1998; Warren 1999). Organisasi sukarela penting sekali karena keterlibatan warga negara dalam komunitas, khususnya asosiasi sukarela dan organisasi mediasi, mengajarkan habits of heart (Bellah et al. 1985) kepercayaan, resiprositas, solidaritas, dan kerjasama. Organisasi sukarela juga dikatakan untuk menciptakan jaringan kerja yang kondusif bagi social learning, proses saling tolong-menolong, keterlibatan warga negara dan perhatian terhadap kepentingan umum. Karena itu, kepadatan dan jenis jaringan kerja yang luas sangat penting untuk menciptakan sikap

Page 46: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

demokrasi dan keterlibatan komunitas, pada satu pihak, dan struktur hubungan sosial yang stabil dan terpadu, pada pihak lain. Organisasi sosial yang melewati batas-batas primordial (agama, suku, daerah, dan lain-lain), misalnya, akan memainkan fungsi sebagai jembatan sosial (social bridging) untuk mengelola konflik (Nat J. Colleta dan Michelle L. Cullen, 1999).

Engagement secara vertikal mengandung negosiasi dan komunikasi yang tidak terbatas dalam ruang-ruang publik melalui proses deliberasi. Ruang publik untuk komunikasi yang tidak terbatas, yaitu komunikasi yang tidak untuk mempengaruhi atau memperoleh kekuasaan, melainkan pencapaian pemahaman bersama satu sama lain pada isu-isu publik. Komunikasi tidak terbatas berlangsung di dalam organisasi masyarakat sipil (baik asosiasi maupun gerakan sosial) yang secara berkala memperbaiki perdebatan politik dan melakukan tuntutan kepada pejabat publik agar mereka menaruh perhatian dan responsif pada isu-isu baru yang muncul di pinggiran sistem (Habermas, 1996). Komunikasi tidak terbatas atau deliberasi berlangsung di arena pinggiran sistem politik di kalangan asosiasi masyarakat sipil. Di satu sisi, asosiasi masyarakat sipil itu memberikan kontribusi dalam mengidentifikasi masalah-masalah publik baru yang kemudian membawanya kepada institusi-instutusi politik untuk dikelola menjadi kebijakan publik (Habermas, 1992; Cohen dan Arato, 1992). Di satu sisi, asosiasi masyarakat sipil mendiskusikan dan menilai secara kritis hasil-hasil kebijakan pemerintah, sehingga hal ini memberikan kontribusi dalam merawat legitimasi demokrasi tetap hidup.

Di Indonesia, tradisi ini ramai dibicarakan dan dipraktikkan oleh banyak kalangan OMS dan lembaga donor. Pemerintah dan masyarakat pun merasa nyaman dengan pendekatan ini, sehingga strategi itu mempunyai kadar legitimasi yang lebih kuat daripada mazhab konfrontasi dan strategi reklaim. Pemerintah lebih terbuka dengan pendekatan ini karena paradigma dan wacana yang terus disuarakan adalah good governance, kemitraan, pemberdayaan, partisipasi dan seterusnya. Di sektor masyarakat sipil, semakin banyak kalangan NGOs yang mengusung tema-tema tata pemerintahan yang baik atau democratic governance. Pemerintah lokal dan CSOs sekarang selalu menggelar pembelajaran bersama, kemitraan program, seraya mendiaogkan pembuatan kebijakan. Namun strategi ini membutuhkan nafas panjang, dan sering gregetan ketika menghadapi oligarki elite, tidak semua birokrasi baik dan perubahan yang lamban.

YAPPIKA, melalui program ANCORS, secara umum mengambil strategi yang ketiga: engagement atau berkawan dengan negara. Pilihan strategi ini tentu tidak muncul tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang aksi-refleksi perjalanan YAPPIKA. Di masa lalu, para aktivis YAPPIKA menempuh jalan konfrontasi (melawan), termasuk memberikan dukungan kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Reformasi yang melahirkan demokrasi dan desentralisasi membuat YAPPIKA melakukan refleksi dan perubahan strategi, yaitu dari melawan-meruntuhkan rezim otoritarian menjadi berkawan dan mendorong tata pemerintahan (lokal) yang lebih demokratis. Strategi ini terlihat secara jelas pada program Democratic Local Government (DLG) atau Tata Pemerintahan Lokal yang Demokratis (TPLD) yang dijalankan oleh YAPPIKA (2003-2007), termasuk di antaranya menghasilnya pemetaan

Page 47: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

OMS di Aceh. Studi tentang Indeks Masyarakat Sipil (2006) yang dikerjakan YAPPIKA juga merekomendasikan pentingnya dialog antara OMS dengan pemerintah.

Strategi utama TPLD tampak mengilhami dan diteruskan secara khusus di Aceh melalui program ANCORS. Pilihan pada strategi “berkawan dengan negara” ANCORS dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, ANCORS tidak semata-mata asyik bergerak di ranah masyarakat sipil, tetapi juga membawa masyarakat sipil masuk ke ranah pemerintah daerah, untuk terlibat langsung dalam proses pembuatan keputusan yang menghasilkan perubahan-perubahan kebijakan dan pelayanan publik. Kedua, ANCORS membawa konsep democratic local governance, yang di dalamnya hendak mendorong pemerintahan daerah yang lebih inklusif, reponsif, bertanggungjawab dan partisipatif. Ketiga, ANCORS berupaya menghubungkan antara pengorganisasian masyarakat dengan advokasi kebijakan publik pemerintah daerah, melalui proses komunikasi, dialog dan duduk bersama.

Semua OMS kabupaten menunjukkan secara jelas pilihan dan penerapan strategi berkawan dengan pemerintah daerah (engagement). Pada awalnya PUGAR, MASIF, BIMA, PERAK MATARADJA dan lain-lain lebih memilih strategi “melawan” (konfrontasi) daripada strategi bersenyawa dengan pemerintah. Mereka tidak masuk pagar pemerintah daerah atau duduk bersama mendialogkan kebijakan, melainkan mereka tampil sebagai watchdog yang mengungkap berbagai ketidakberesan pemerintah daerah, baik kebijakan yang salah urus maupun praktik-praktik korupsi. Mereka menungkap ketidakberesan dan memperjuangkan kebenaran dengan cara yang hard. Strategi melawan inilah yang membuat berang pejabat daerah, seraya menuduh OMS sebagai oposisi atau provokator, meskipun seccara empirik ketidakberesan terjadi dalam tubuh pemerintah. Karena itu yang terjadi adalah distrust antara pemerintah daerah dan OMS.

Berbeda dengan tiga sejawatnya, LPPM lebih memilih jalur yang soft, yang sejak awal memilih strategi berkawan (engagement) dengan cara melakukan penelitian, berkawan dengan para pejabat pemerintah, menyusun naskah kebijakan, maupun secara langsung memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah. Pada sebuah FGD evaluasi, seorang staf LPPM berujar bahwa hubungan LPPM dengan pemda cukup “mesra”. Strategi ini memang tidak mainstream dan terkesan elitis, tetapi LPPM secara sadar memilih jalur itu karena ia yakin bahwa strategi berkawan akan lebih efektif untuk memperbaiki pemerintah daerah.

Tentu strategi berkawan ini relevan dengan kondisi kekinian. Pemerintah daerah di berbagai tempat sekarang pada umumnya tidak terlalu alergi pada kritik, dan menganggap OMS sebagai kekuatan baru yang harus diperhitungkan. Pemda selalu mengakui keterbatasan kemampuan dan energi untuk memenuhi aspirasi masyarakat. Dalam batas-batas tertentu, pejabat daerah juga setuju dengan kritik yang dilontarkan oleh OMS, tetapi mereka juga membutuhan solusi yang konkret dan tepat untuk memperbaiki keadaan. Demikian pidato Bupati Aceh Besar, 4 Februari 2009 di Kota Jantho:

Page 48: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

“Saya mengakui kemampuan pemkab Aceh Besar sangat terbatas, karena itu harus menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk dengan para LSM. Saya terbuka, tidak anti kritik dari LSM. LSM harus kita libatkan dalam dialog-dialog kebijakan, memberikan masukan-masukan yang terbaik, dan saya berharap dukungan yang besar dari LSM untuk memperbaiki Aceh Besar.”

Perubahan cara pandang dan sikap pemerintah daerah terhadap OMS yang lebih terbuka secara tidak langsung mempunyai titik relevansi dengan strategi berkawan (engagement) yang dibawa oleh program ANCORS. Konteks ini yang menjadi rintisan tumbuhnya mutual trust dan pembukaan proses politik yang inklusif. Di satu sisi pemerintah daerah memandang OMS sebagai potensi dan sekaligus juga membutuhkan kehadiran mereka, dan di sisi lain ANCORS memmperoleh momen yang tepat untuk memasuki ranah pemerintahan daerah, yang tidak hanya “melihat” jalannya pemerintahan atau “menyuarakan” aspirasi publik dari luar, tetapi juga mempengaruhi secara dekat pengambilan kebijakan pemerintah daerah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa engagement merupakan proses dan dorongan yang akan membentuk pemerintahan lokal dan layanan publik lebih responsif kepada warga (Robert Putnam, 1993; Larry Diamond, 2003; Hans Antlov, 2003).

Dalam konteks politik yang semakin terbuka (inklusif), hubungan antara OMS (termasuk para aktivisnya) dengan pemerintah daerah juga semakin terbuka dan berhubungan secara dekat dan informal. OMS secara lebih mudah melakukan lobby dan dialog tentang sejumlah hal, mulai dari pengaduan masyarakat sampai rekomendasi kebijakan, meski mereka masih mengalami kesulitan menembus ruang-ruang penganggaran bagi partisipasi publik. Dalam konteks program ANCORS, semua OMS mengambil inisiatif baru tentang reformasi kebijakan (mulai dari ide tentang unit pengaduan masyarakat hingga qanun kesehatan), yang dengan lancar bisa masuk ke tangan eksekutif dan legislatif. Karena begitu dekatnya mereka dengan legislatif, misalnya, justru menciptakan ketergantungan legislatif pada OMS. Dengan cara joke beberapa aktivis OMS berseloroh menirukan ungkapan anggota DPRK: “Mana draft qanun yang kalian buat, bawa ini, agar saya teken”. Ungkapan ini memang menunjukkan kedekatan antara OMS dengan parlemen, tetapi hal itu tampak melemahkan komitmen etis parlemen, tanggung jawab politik mereka, dan menciptakan godaan bagi OMS untuk mengambil alih peran-peran legislasi yang seharusnya dilakukan oleh parlemen.

Tetapi “berkawan” sebagai strategi baru bukanlah strategi tunggal yang ditempuh OMS. Pengalaman PUGAR, misalnya, memberikan contoh baik, bahwa institusi yang mempunyai kekuatan dari sisi pengorganisasian ini, menerapkan strategi secara situasional, tergantung pada konteks dan peristiwa empirik yang terjadi. PUGAR tetap menggunakan strategi “melawan” dan “berkawan”. Kalau menghadapi ketidakberesan dalam pelayanan publik dan anggaran daerah, maka PUGAR tetap melakukan menerapkan strategi melawan dengan cara watch dog, dan menunjukkan sisi-sisi ketidakberesan pada media. Tetapi kalau untuk keperluan membangun atau memformulasikan kebijakan yang baik kedepan, PUGAR bersedia duduk bersama – tetapi tetap bersikap independen dan kritis -- dengan pemerintah daerah.

Page 49: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Agenda Kerja Advokasi

Agenda kegiatan advokasi tata pemerintahan lokal mencakup empat hal: manajemen pengetahuan (penelitian, penyiapan bahan, publikasi); pendidikan atau pengembangan kapasitas terhadap konstituen, pengorganisasian (pembentukan organisasi, kaderisasi, pendampingan, pertukaran informasi, jaringan) dan advokasi kebijakan (koalisi kebijakan, naskah kebijakan, dialog, lobby, dan sebagainya). Menurut teori dan praksis lama, advokasi adalah mengorganisir orang banyak dan kemudian melakukan aksi kolektif menentang pemerintah. Teori lama ini tidak mengenal manajemen pengetahuan seperti penelitian untuk advokasi kebijakan, sebab penelitian adalah pekerjaan para akademisi yang sangat elitis. Tetapi sekarang, advokasi berbasis penelitian diterima secara luas oleh NGOs sebagai sebuah tindakan yang lebih meyakinkan kepada pembuat keputusan. Karena itu ANCORS memasukkan penelitian itu menjadi salah satu agenda advokasi yang harus dipelajari dan dijalankan oleh OMS mitra kabupaten.

Bagan 1Alur dan logika kerja advokasi

yang dilakukan OMS melalui ANCORS

Penyiapan kapasitas internal

OMS masuk ke komunitas gampong

Melakukan penelitian empirik

Melakukan pendampingan, diskusi komunitas

Diskusi publik membahas penelitian

Perluasan jaringan

Menyiapkan naskah kebijakan dan legal drafting

Membangun koalisi dan dan kampanye media

Kerja teknokratis: manajemen pengetahuan

Kerja pengorganisasian gerakan

Kerja membangun basis: voice, pengetahuan, legitimasi

Page 50: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Bagan 1 menggambarkan logika dan alur advokasi OMS yang baru (novelty) dibandingkan dengan teori dan praksis lama. Skema rute atau alur advokasi yang ditempuh oleh OMS itu berjalan secara sistematis dan komprehensif. Dalam bagan itu terlihat bahwa OMS melakukan empat kerja besar yang saling berkaitan: (a) kerja membangun basis di komunitas, baik untuk pembelajaran-pengatahuan, menggali voice masyarakat dan membangun legitimasi OMS di hadapan masyarakat; (b) kerja-kerja teknokratis atau manajemen pengetahuan melalui penelitian empirik yang tentu menggunakan metodologi penelitian yang bersifat akademik, sekaligus juga menyiapkan naskah kebijakan; (c) kerja-kerja pengorganisasian gerakan sebagai kelanjutan dari kerja-kerja di tingkat basis, yang mencakup pengorganisasian komunitas dan perluasan (link up) jaringan pada skala yang lebih luas sampai di level kabupaten; dan (d) kerja-kerja politik melalui lobby dan dialoh untuk menghasilkan dan/atau mengesahkan kebijakan daerah (qanun atau peraturan bupati).

Secara umum peran para pihak dalam advokasi ini tersaji dalam tabel 4.2. Semua pihak terlibat dalam advokasi: majemen pengetahuan, pendidikan atau pengembangan kapasitas konstituen; pengorganisasian, jaringan dan informasi dan advokasi kebijakan. Sebagai implementing agency utama, YAPPIKA melakukan banyak hal meski tidak secara langsung berhadapan dengan konstituen. Dalam hal manajemen pengetahuan, YAPPIKA menyediakan bahan pembelajaran, instrumen pengembangan kapasitas dan penelitian, jaringan keahlian untuk mendukung program, dan publikasi. Dala pendidikan dan pengembangan kapasitas, YAPPIKA melakukan pengembangan kapasitas manajemen keuangan pada ADF, manajemen organisasi, pelatihan penelitian, penilaian tentang perkembangan kapasitas OMS dengan TANGO. YAPPIKA juga menyiapkan kantor dan staf di Banda Aceh, yang bertugas membangun komunikasi, jaringan, informasi, termasuk memberikan dukungan dalam advokasi kebijakan, dengan cara mengisi ruang-ruang kosong advokasi; mendorong

Lobby dan dialog kebijakan

Pengesahan dokumen kebijakan (qanun/perbub)

Kerja-kerja politik

Page 51: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

terbentuknya koalisi kebijakan partisipatif pada level provinsi, misalnya koalisi Prolega dan KKP.

Tabel 4.2Peran para pihak dalam advokasi

Institusi Manajemen pengetahuan

Pendidikan atau pengembangan kapasitas konstituen

Organisasi, jaringan, informasi

Advokasi kebijakan

YAPPIKA Menyediakan bahan pembelajaran, instrumen pengembangan kapasitas dan penelitian, jaringan keahlian untuk mendukung program, dan publikasi.

Pengembangan kapasitas manajemen keuangan pada ADF, manajemen organisasi, pelatihan penelitian, penilaian tentang perkembangan kapasitas OMS dengan TANGO

Menyiapkan kantor dan staf di Banda Aceh, yang bertugas membangun komunikasi, jaringan, informasi, dll.

Mengisi ruang-ruang kosong advokasi; mendorong terbentuknya koalisi kebijakan partisipatif level provinsi. Misalnya koalisi Prolega dan KKP.

IMPACT Membangun sumber pengetahuan untuk CB, pertukaran pembelajaran, dan juga publikasi media. Mempunyai tugas melakukan penelitian, tetapi tidak berjalan.

Memberi layanan pelatihan (manajemen organisasi, pengorganisasian dan advokasi kebijakan) kepada

Mengorganisir fasilitator wilayah untuk memberi pelatihan dan pendampingan OMS. Juga terlibat dalam jaringan lebel provinsi

Mendukung dan terlibat dalam koalisi advokasi lebel provinsi.

ADF Mengembangkan bahan pengetahuan tentang manajemen keuangan

Memfasilitasi pengembangan kapasitas manajemen keuangan para mitra

Mendukung dan terlibat dalam koalisi advokasi lebel provinsi.

PUGAR Melakukan penelitian tentang anggaran pendidikan dan kesehatan Aceh Besar.

Memberi pelatihan seputar perencanaan dan penganggaran, studi banding dan magang di Sumedang

Membangun kader dan organisasi komunitas berbasis gampong, juga meperluas jaringan dan gerakan pemuda-mahasiswa di level kabupaten

Melakukan wactdog terhadap pelayanan publik dan anggaran daerah. Juga advokasi kebijakan daerah tentang anggaran kesehatan-pendidikan, termasuk mendesak daerah untuk membuka partisipasi publik

Page 52: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

dalam pembahasan anggaran

MASIF Melakukan penelitian tentang pelayanan pendidikan di Aceh Besar, juga melakukan publikasi.

Menyampaikan rekomendasi untuk penyelesaian kasus-kasus pendidikan dan reformasi kebijakan pendidikan

MATARADJA Melakukan penelitian tentang pelayanan administrasi, lomba karya tulis bagi siswa, publikasi media dan buku

Melakukan diskusi komunitas tentang pelayanan administrasi, studi banding ke Malang.

Mengoganisir komunitas beberapa gampong, menjadi focal point jaringan advokasi

Mendampingi masyarakat untuk advokasi pelayanan publik, Inisiasi Unit Pengaduan Masyarakat,

LPPM Melakukan penelitian tentang pelayanan kesehatan

Diskusi komunitas dan publik secara regular tentang pelayanan kesehatan

Mengorganisir komunitas, menjadi focal point advokasi kesehatan, kampanye kesehatan, membentuk Koalisi Aceh Sehat.

Inisiasi draft Qanun Pelayanan Kesehatan Aceh Besar. Melalui proses dialog dan lobby, akhirnya Qanun Kesehatan disahkan oleh Pemkab Aceh Besar

Forum LSM Membangun pengetahuan tentang good governance dan perdamaian, publikasi dan website.

Menjadi titik simpul koalisi advokasi level provinsi. Penyebaran informasi kepada anggota, mempertemukan anggota dengan donor

Advokasi good governance dan perdamaian. Melakukan advokasi Prolega, KKP, dll.

ACSTF Melakukan pengembangan kapasitas kaderisasi dan pers mahasiswa

Mendukung dan terlibat dalam koalisi advokasi lebel provinsi.

Setiap OMS kabupaten mempunyai pengalaman yang berbeda-beda dalam advokasi kebijakan dan pelayanan publik. PUGAR membentuk para kader gampong yang mempunyai legitimasi di tingkat gampong. PUGAR melakukan pendidikan-pelatihan terhadap mereka, dan juga membawa mereka ke Sumedang Jawa Barat untuk belajar tentang perencanaan dan penganggaran partisipatif. Para kader ini semakin tahu tentang pelayanan kesehatan, aturan-aturan pemerintah, Musrenbang, hak-kewajiban warga, APBD, Alokasi Dana Gampong, perencanaan gampong, dana BOS dan seterusnya. Menurut pengakuan para kader, semua itu barang-barang baru yang baru mereka ketahui setelah belajar bersama dengan PUGAR. Di tingkat gampong, para kader melakukan pemantuan terhadap pelayanan

Page 53: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

kesehatan dan pendidikan, seringkali juga membela warga yang dirugikan dalam hal pelayanan publik oleh aparat pemerintah. Para kader tidak segan-segan melaporkan para pelayanan di bawah (petugas puskesmas, bidang desa, kepala sekolah, dan sebagainya) yang bermasalah kepada pejabat kabupaten yang berwenang. Mereka juga mendorong dan mendampingi geuchik untuk menyelenggarakan Musrenbang dan menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Gampong.

Pengorganisasian PUGAR tidak hanya berhenti pada skala lokal, tetapi mengalami link up dan scaling up yang lebih besar pada skala kecamatan, bahkan kabupaten. Para staf PUGAR tidak perlu menjadi komandan lapangan untuk mengorganisir para pihak, baik pemuda maupun mahasiswa. PUGAR cukup melakukan dorongan pada tokoh-tokoh atau kader-kader kunci, dan merekalah yang bergerak membesarkan organisasi. Para kader itu antara lain membentuk Front Mahasiswa an Pemuda Aceh Besar dan Jaringan Masyarakat Pemantau Partisipatif, sebagai bentuk jaringan sosial mereka untuk saling belajar bersama, tukar informasi, dan sebagai basis gerakan untuk berpartisipasi dalam tata pemerintahan lokal.

Pendampingan dan kerja-kerja kader di tingkat gampong secara efektif melakukan advokasi terhadap kasus-kasus pelayanan pendidikan dan kesehatan. Ada beberapa persoalan penting komunitas yang diselesaikan, yaitu mengenai dana BOS dan pembiayaan yang dikeluarkan oleh bidan desa setempat dalam membantu persalinan salah satu anggota komunitas tersebut. Keberhasilan ini kemudian langsung direplikasi oleh Gampong Ruyung dan Gampong Lamreh. Staf CO juga melibatkan kadernya dalam proses monitoring penggunaan dana kesehatan dan pendidikan di wilayah masing-masing, setelah para kader dibekali dengan pelatihan monitoring penggunaan anggaran. Temuan monitoring diantaranya pemda belum merealisasikan pemberian beasiswa bagi murid kurang mampu, kelemahan pelayanan kesehatan Puskesmas Kajhu, yaitu tidak ada perawat piket malam padahal Puskesmas Kajhu buka 24 jam, dan tidak ada musrenbang kecamatan. Selanjutnya temuan-temuan dibahas bersama dengan kelompok dampingan dan menghasilkan kesepakatan untuk mempertanyakan tidak adanya musrenbang di tingkat kecamatan dan rencana pembentukan simpul kader mulai dari tingkat kecamatan hingga pembentukan simpul secara keseluruhan. PUGAR juga melibatkan perwakilan kader dalam penyusunan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah dan telah menyerahkannya kepada pihak eksekutif dan legislatif.

LPPM: institusi ini mempunyai ketekunan dalam manajemen pengatahuan dan kajian kebijakan. Tetapi LPPM sebenarnya tidak terlalu elitis dan teknokratis, melainkan juga mempunyai spirit belajar kepada masyarakat bawah. Penelitian dan diskusi kebijakan selalu melibatkan komunitas grass roots. Meski tidak sekuat PUGAR dalam pengorganisasian, LPPM juga melakukan pendampingan dan pendidikan terhadap kader-kader kesehatan di beberapa gampong, yang membuat kader dan masyarakat semakin mengetahui tentang hak-hak mereka di bidang pelayanan kesehatan, dan juga memperbesar harapan mereka tentang perubahan pelayanan kesehatan.

Page 54: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

LPPM melakukan penelitian di kecamatan di Aceh Besar, yakni Lhoong, Leupung, Mesjid Raya, dan Ingin Jaya. Jumlah responden penelitian itu 100 orang per kecamatan. Indikator penilaiannya ditinjau dari tingkat partisipasi masyarakat, kualitas kesehatan dan anggaran untuk kesehatan. Sedangkan metode penelitian yang digunakan, dengan menggelar diskusi reguler, membangun aliansi, menggelar workshop, serta wawancara nara sumber. Kesimpulan riset ini dipaparkan dalam seminar di Banda Aceh, dihadiri unsur Dinas Kesehatan Aceh Besar dan sejumlah praktisi bidang kesehatan. Hasil riset yang disimpulkan antara lain, perumusan kebijakan kesehatan dianggap sangat tidak partisipatif. Selain itu, kualitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin sangat rendah dan minimnya anggaran untuk tenaga kesehatan di desa-desa terpencil mengembangkan hasil-hasil penelitian menjadi naskah kebijakan dan draft qanun kesehatan.

LPPM secara aktif melakukan diskusi publik, publikasi media dan membentuk Koalisi Aceh Sehat untuk melakukan advokasi terhadap kesehatan. Ia tumbuh menjadi NGO yang mempunyai trade mark sebagai pejuang kesehatan, karena pendampingan dan pendidikan kritis yang mereka selenggarakan, penelitian dan advokasi di media. Kemudian LPPM melakukan pekerjaan teknokratis menyiapkan naskah kebijakan dan draft qanun kesehatan.Melalui berbagai diksusi, publiksi, lobby dan dialog, akhirnya draft ini ditetapkan sebagai qanun kesehatan Kabupaten Aceh Besar.

MASIF: institusi ini sebenarnya mempunyai spirit “masyarakat partisipatif” yang terdiri dari nelayan, petani, pemuda dan lain-lain. Tetapi karena keterbatasan energi, MASIF masuk dan mendampingi beberapa gampong dan kecamatan yang mengalami kesulitan akses transportasi ke Calang dan terutama kesulitan akses pendidikan. Di komunitas lokal ini MASIF melakukan penelitian dan memperoleh data masalah-masalah pendidikan yang cukup berharga untuk diskusi dan komunitas dan advokasi lebih lanjut. Tampaknya MASIF tidak cukup intensif dalam melakukan pendampingan dan pengorganisasian, kecuali mendirikan Sekolah Rakyat di dekat kantor MASIF sebagai tempat untuk memberi layanan pendidikan kepada warga, baik pelatihan komputer maupun administrasi. Di level kabupaten, MASIF mendorong dan mengambil inisiatif pembentukan Forum Masyarakat Aceh Jaya (FORMAJA) yang dipimpin oleh Darwin Ismail, seorang panglima laut, sebagai sang sekjen. FORMAJA sebenarnya dimaksudkan sebagai simpul pengorganisasian dan gerakan yang lebih partisipatif. Tetapi sayangnya, FORMAJA tidak berjalan secara efektif.

MASIF membuat rekomendasi kebijakan berbasis penelitian antara lain: perbaikan akses anak-anak sekolah ke SD dan SMP dengan cara pendirian atau pengadaan sekolah yang dekat dengan perkampungan penduduk; realisasi komitmen anggaran pendidikan sebesar 20%; distribusi tenaga pendidikan yang merata; rekrutmen PNS lokal yang bersedia mengabdi di pelosok gampong; pemberdayaan komite sekolah; dan pengembangan pendidikan seni-budaya. MASIF bertindak sebagai focal point advokasi kebijakan dan pelayanan pendidikan. Berbagai rekomendasi itu diperkaya dan dipertajam dalam semiloka, dan juga dilanjutkan dialog maupun lobby-lobby ke dinas pendidikan maupun dewan.

Page 55: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Pemerintah daerah ternyata memberikan respons yang positif atas rekomendasi MASIF. Rekomendasi mengenai akses segera dipenuhi, dengan cepat mendirikan SD dan SMP yang mudah diakses warga. Sedangkan anggaran pendidikan 2008 telah mencapai 19,3% dari target 20%.

MATARADJA: melakukan pendampingan komunitas di 6 gampong di 2 kecamatan, yang membentuk 6 tim advokasi di setiap gampong. Melalui pendampingan ini MATARADJA bersama-sama komunitas maupun tim advokasi mengidentifikasi masalah-masalah atau keluhan masyarakat di bidang pelayanan administrasi. Perwakilan tim itulah yang kemudian dibawa oleh MATARADJA untuk melakukan advokasi ke level yang lebih tinggi.

MATARADJA juga melakukan pendampingan dan pembelaan berbasis kasus. Sebuah contoh pengalaman berharga adalah pendampingan MATARADJA terhadap para geuchik di Kecamatan Kreung Sabba untuk memperoleh layanan PLN karena sudah sekian lama gampong-gampong ini tidak teraliri listrik dari PLN. Mereka bersama-sama pergi ke PLN Aceh Jaya untuk memperoleh keterangan, dan PLN memberi keterangan bahwa proyek PLN di kawasan itu menjadi tanggung jawab BRR. Mereka pergi ke BRR Aceh Jaya. BRR Aceh Jaya mengakui bahwa proyek listrik merupakan tanggungjawabnya, tetapi kebijakan ada pada BRR di Banda Aceh. Tim advokasi itu kemudian disambungkan bicara per telpon dengan BRR Banda Aceh, yang memperoleh keterangan cukup lengkap dan memberoleh jawaban pasti bahwa proyek listrik akan segera ditangani.

Pengalaman ini menujukkan bahwa masyarakat bawah (gampong) sering menghadapi masalah pelayanan, tetapi mereka tidak mempunyai informasi, kepada siapa mereka harus mengadu dan bagaimana jalur dan langkah yang harus ditempuh. Ketika mereka mengorganisir diri dan didampingi oleh MATARADJA, maka mereka secara terus-menerus membicarakan berbagai masalah pelayanan publik, sekaligus bergerak untuk melakukan advokasi.

Berdasarkan pengalaman pengorganisasian, pendampingan tim advokasi dan penelitiannya, institusi ini menggagas dan melakukan advokasi tentang pembentukan Unit Pengaduan Keluhan Masyarakat (UPKM). Ia menjadi focal point bagi advokasi perbaikan pelayanan administrasi. MATARADJA terus-menerus melakukan diskusi publik, kampanye media, semiloka, dan pendekatan dengan Bawasda untuk memperjuangkan keberhasilan UPKM. Akhirnya pada tanggal 4 Desember UPKM ditetapkan secara resmi dengan Peraturan Bupati Aceh Jaya.

LSPENA: memiliki struktur managemen program tersendiri untuk program ANCORS dimana 7 orang staf terlibat dalam pelaksanaan program. Sebelum terlibat dalam program ANCORS LSPENA sudah melakukan kegiatan advokasi untuk bidang pelayanan publik. Selama program ANCORS berjalan terjadi pergantian kepemimpinan lembaga yang sedikit banyak mempengaruhi kinerja lembaga namun tidak terlalu besar dampaknya terhadap kemajuan

Page 56: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

dan pencapaian program advokasi yang dilakukan. Melalui kemitraan dengan ANCORS LSPENA memilih isu kesehatan sebagai isu utama dalam advokasi.

Managemen lembaga mengalami kemajuan dengan adanya dampingan dari fasilitator IMPACT maupun yang ditugaskan oleh YAPPIKA dan ADF langsung seperti fasilitator untuk mendampingi riset dan managemen keuangan. LSPENA termasuk OMS yang sudah cukup punya pengalaman dalam upaya pengorganisasian masyarakat sekalipun skala dampingannya kecil dan belum ada isu kebijakan yang diangkat sebagai agenda advokasi. Kehadiran fasilitator wilayah IMPACT cukup membantu dalam peningkatan kapasitas staf maupun lembaga terutama dalam kegiatan advokasi. Kepercayaan diri staf dalam pengelolaan lembaga cukup baik sehingga pada saat lembaga ditinggalkan oleh Direktur Eksekutifnya di tengah perjalanan program ANCORS hampir seluruh kegiatan yang diagendakan tetap dapat dijalankan dengan baik.

Sama halnya dengan OMS lain di Aceh yang ikut dalam program ANCORS peningkatan kemampuan LSPENA dalam managemen pengetahuan cukup menggembirakan. Walaupun mereka sudah memiliki pengalaman sebelumnya dalam mengemas pesan dan menyampaikan kegiatan program sekalipun hanya untuk kalangan terbatas, terutama untuk konsumsi masyarakat sasaran dan lembaga pemberi dana. Melalui program ANCORS kemampuan lembaga dalam mengemas informasi dan pengetahuan semakin meningkat. Seperti halnya dengan mitra lain LSPENA mengikuti pelatihan pengembangan media advokasi yang difasilitasi oleh IMPACT/YAPPIKA,antara lain melalui pengembangan media audio-visual untuk advokasi. Hasilnya LSPENA sekarang memiliki kepercayaan diri untuk menampilkan program mereka melalui video yang dapat digunakan juga untuk kampanye publik sebagai bagian dari kegiatan advokasi.

LSPENA memilih isu kebijakan di bidang pelayanan kesehatan sebagai fokus kegiatan advokasinya. Sesuai dengan target yang sudah disepakati LSPENA juga mendahului rancangan program advokasinya dengan melakukan riset kebijakan serta merumuskan draft rancangan kebijakan yang terkait dengan pelayanan kesehatan minimum di wilayah Bireun. Sejauh ini kerja mereka sudah mendapat dukungan yang cukup kuat dari lembaga terkait, dimana Dinas Kesehatan bersedia menerima usulan mereka dan bekerja sama menyusun agenda untuk membawa isu tersebut ke lembaga legislatif. Namun demikian, dari wawancara tidak terungkap sejauh mana keterlibatan DPRD dalam tindak lanjut pembicaraan untuk pengembangan rancangan kebijakan standar pelayanan minimum di bidang kesehatan. Salah satu dampak nyata di tingkat praktis adalah perbaikan fasilitas dan pelayanan Puskesmas dan Rumah Sakit daerah yang terjadi karena persuasi dan lobby intensive tidak hanya oleh LSPENA tetapi juga oleh kelompok masyarakat dampingan.

BIMA. BIMA belum lama berdiri dibandingkan dengan banyak OMS lain di Aceh. Mereka didirikan oleh sekumpulan pemuda yang aktif di KNPI dan tertarik pada isu-isu social terutama paska-konflik. Sebelum ikut dalam program ANCORS lembaga ini belum punya pengalaman mengelola organisasi dengan baik dan tidak memiliki pengalaman merancang

Page 57: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

maupun melaksanakan program advokasi yang berkaitan dengan kebijakan publik. Melalui diskusi dan kajian awal mengenai situasi di Bireun BIMA memutuskan untuk memfokuskan program advokasinya dalam kebijakan pendidikan, mengingat bahwa sebagian personelnya berasal dari kalangan perguruan tinggi baik yang masih sedang menuntut ilmu maupun menjadi pendidik di sekolah menengah.

Kondisi awal, sebelum mengikuti program ANCORS, BIMA menjalankan managemen organisasi secara sederhana dan tidak mengikuti aturan standard berorganisasi karena berawal dari inisiatif sekumpulan pemuda yang memiliki kepedulian terhadap isu social tetapi tanpa pengalaman berorganisasi yang terstruktur maupun sistematis. Berawal dari gerakan mahasiswa pendekatan yang dilakukan dalam mengusung isu-isu sosial bersifat sporadis dan frontal serta tidak didukung oleh bukti-bukti maupun fakta yang akurat berbasis riset untuk mendukung argumen yang mereka kemukakan. Mereka juga tidak memiliki pengalaman memadai dalam melakukan pendampingan langsung di tingkat basis, tidak memahami strategi maupun pendekatan pengorganisasian masyarakat maupun kemampuan untuk memfasilitasi diskusi dan presentasi serta lobby dengan pemerintah.

Pada akhir program, secara kelembagaan lebih terstruktur dan terarah dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antar personel. Kemampuan managemen dan organisasi yang cukup merata membangun kepercayaan diri staf lembaga untuk menjalankan program dan organisasi bahkan setelah terjadi kekosongan kepemimpinan. Setelah beberapa kali berganti direktur BIMA memutuskan untuk mengelola lembaga melalui kepemimpinan kolektif dimana salah satu manager bertindak sebagai coordinator dan pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah sesuai kesepakatan bersama. Model pengelolaan organisasi semacam ini berjalan cukup baik di BIMA karena hampir semua stafnya punya latar belakang yang sama dan usia yang relatif tidak jauh berbeda satu sama lain. Secara khusus BIMA mengalami peningkatan kapasitas internal lembaga yang cukup signifikan dalam beberapa hal berikut:

BIMA mengalami kemajuan cukup pesat dalam kemampuan mengemas isu yang diangkat dalam media yang mudah dipahami dan diterima oleh berbagai kalangan. Mereka mampu menggunakan media audio visual untuk merekam perjalanan program, mulai dari penggalian masalah, proses pendampingan masyarakat, pemaparan kegiatan advokasi yang dilakukan dan penyajian hasil advokasi yang terjadi di tingkat masyarakat serta dukungan yang disampaikan oleh pihak pembuat kebijakan. Penggunaan teknologi media memudahkan BIMA untuk mengorganisir masyarakat, menyampaikan pesan-pesan advokasi dan menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk mendorong perubahan kebijakan pendidikan yang diharapkan di Kabupaten tempat mereka bekerja. Kepekaan mereka untuk mengangkat isu dengan menggunakan salah satu model dari masyarakat dampingan mereka membuat penyampaian pesan menjadi sangat kuat dan mampu membuat berbagai pihak menunjukkan minat dan komitmen yang tinggi untuk memperjuangkan hak mendapatkan pendidikan yang memadai bagi semua anak usia sekolah. Penyampaian pesan yang dikemas dalam bentuk film juga memudahkan BIMA untuk melakukan lobby

Page 58: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

dengan lembaga pemerintah terkait dan pihak legislatif yang akan membahas draft rancangan qanun pendidikan untuk wilayah Bireun.

Di tingkat komunitas dampingan, BIMA mengorganisir masyarakat untuk bekerja sama mencari jalan keluar untuk permasalahan yang mereka hadapi dan prioritaskan sebagai isu yang harus ditangani selama masa pelaksanaan program. Kelompok masyarakat dampingan meningkat kepercayaan dirinya untuk turut serta secara aktif menangani permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya secara mandiri. Kelompok masyarakat juga mampu mengkomunikasikan permasalahan yang dihadapi dengan baik kepada pihak pemerintah dan pihak legislatif, dan mereka memiliki kepercayaan yang lebih tinggi untuk berhadapan dengan pemerintah untuk menyampaikan pendapat dan harapan mereka secara langsung. Masyarakat dampingan seperti di Alue Limeng menyampaikan bahwa berkat dampingan dari BIMA mereka mampu untuk menangani masalah dengan upaya sendiri.

BIMA memilih isu pendidikan sebagai isu prioritas dalam advokasi kebijakan di wilayah Bireun. Dengan menggunakan hasil kajian dan masukan langsung dalam pendampingan kelompok masyarakat di tingkat Kecamatan dan Kampung BIMA mengembangkan strategi dan pendekatan yang berbasis informasi di tingkat Kabupaten. Dampingan yang diberikan oleh fasilitator wilayah berhasil membangun kepercayaan diri lembaga maupun staf program untuk melakukan pendekatan dan kampanye isu kebijakan pendidikan ke lembaga pemerintah terkait.

Kegiatan advokasi diawali dengan penguatan basis di tingkat kampung melalui pengorganisasian masyarakat, identifikasi masalah, menggalang dukungan di lembaga dengan pendekatan individu dan menyusun agenda advokasi yang didukung oleh media dan data yang akurat. BIMA berhasil mengangkat isu pendidikan sebagai isu actual yang dibawa ke tingkat kebijakan dengan penggunaan film documenter sebagai sarana advokasi. Gambaran masalah dan keterlibatan masyarakat dalam menangani masalah mendorong terjadinya dialog dan diskusi public di kalangan eksekutif dan juga lembaga legislatif. Contoh kasus di Alue Limeng yang direkam dalam bentuk film pendek mendorong upaya advokasi kebijakan di tingkat Kabupaten mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari lembaga-lembaga terkait. Sebagai contoh, pembangunan sekolah MI yang dimulai oleh masyarakat secara mandiri akhirnya mendapat dukungan dari anggota DPRD Bireun yang kemudian mendorong Departemen Agama untuk juga memberikan dukungannya dan kemudian juga didukung melalui dana pembangunan desa dari Pemda Kabupaten Bireun.

BIMA menggunakan komite sekolah yang ada di masyarakat sebagai forum untuk mendorong kepedulian masyarakat dan berbagai pihak terkait dalam memperjuangkan pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak di masyarakat dampingan. Bekerja sama dengan jaringan OMS lain yang ada di Bireun mereka berhasil memfasilitasi terselenggaranya pertemuan geuchik sekabupaten Bireun melibatkan lebih dari 700 geuchik dari seluruh Kecamatan. Pertemuan tersebut membahas Anggaran Dana Gampong yang akan

Page 59: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

dikucurkan oleh Pemerintah Propinsi NAD sebagai bantuan langsung ke pedesaan untuk mempercepat pembangunan kampung. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan antar gampong untuk mendukung program pembangunan Kabupaten serta mendukung keberhasilan Pemilu mendatang selain juga mendiskusikan upaya peningkatan kesejahteraan perangkat gampong. Sebagai hasilnya pemda Kabupaten sepakat untuk mengalokasikan sebagian dana anggaran daerah untuk melengkapi fasilitas kepala gampong dengan penyediaan alat transportasi untuk keperluan dinas. Saat ini hampir semua Geuchik sudah memiliki kendaraan dinas untuk menunjang tugas dan kegiatan mereka.

PERAK. PERAK merupakan salah satu OMS di Pidie yang sudah aktif dalam pendampingan masyarakat di masa konflik bekerja sama dengan beberapa LSM internasional dalam mengangkat isu perlindungan kemanusian (Humanitarian Protection) terutama untuk korban konflik. Mereka juga terlibat dalam aksi kemanusiaan paska-tsunami dan juga kegiatan advokasi dalam kaitannya dengan transparansi bantuan kemanusian. Paska konflik PERAK terlibat dalam program reintegrasi dan beberapa stafnya memutuskan untuk terlibat dalam politik aktif baik sebagai calon legislatif dan aktifis partai politik maupun sebagai eksekutif di lembaga pemerintahan. Keterlibatan staf senior dalam aktifitas politik mendorong terjadinya regenerasi kepemimpinan dalam lembaga. Di satu sisi hal ini memberikan kesempatan kepada staf junior untuk memimpin lembaga sekalipun di sisi lain belum terlihat adanya terobosan baru dalam pengembangan program mandiri di lembaga. Hal mana terungkap dalam diskusi dengan tidak adanya rencana yang jelas sesudah program ANCORS berakhir.

Secara organisasional, PERAK cukup berpengalaman dalam pengelolaan program dan managemen kelembagaan. Kehadiran personel senior dan junior memungkinkan terjadinya peralihan peran dan tanggung jawab yang berkesinambungan sehingga tidak terjadi kekosongan dalam kepemimpinan dan managemen. Program ANCORS digunakan sebagai sarana untuk melatih staf junior sehingga memiliki kemampuan yang memadai dalam pengorganisasian masyarakat serta kegiatan advokasi. Semakin banyaknya staf yang memiliki kemampuan untuk melakukan lobby dan negosiasi dengan lembaga pemerintahan dan pembuat kebijakan membuat posisi lembaga lebih kuat dalam melakukan kegiatan-kegiatan advokasi. Peluang lain juga muncul dengan adanya hubungan personal yang cukup kuat dengan pihak eksekutif pemerintahan dimana salah seorang staf yang pernah menjadi direktur PERAK menduduki jabatan wakil Bupati di Kabupaten Pidie.

PERAK mempunyai kemampuan dan pengalaman yang cukup baik dalam mengembangkan sistem pengelolaan informasi dan pengetahuan kerja advokasi. Pengalaman mereka dalam berbagai program advokasi persuasive membantu mereka mengembangkan lebih jauh keahlian dalam pengelolaan data dan informasi yang dibantu oleh program ANCORS.

PERAK sudah memiliki pengalaman yang cukup baik dalam pengorganisasian masyarakat baik untuk program pengembangan pedesaan maupun advokasi di bidang yang lain. Program ANCORS membantu PERAK untuk lebih jauh meningkatkan kapasitas stafnya

Page 60: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

terutama yang baru bergabung dalam mengorganisir kelompok masyarakat, memfasilitasi pertemuan dan diskusi serta dialog kebijakan publik berkaitan dengan isu administrasi kependudukan. Keberhasilan PERAK dalam mengorganisir masyarakat terbukti dengan keberhasilan mereka untuk meloloskan qanun administrasi kependudukan di tingkat legislatif. Bersama-sama dengan kelompok masyarakat dampingan mereka melakukan pendekatan kepada Dinas Kependudukan dan BPS Kabupaten untuk mendiskusikan rancangan qanun adminduk Kabupaten.

Advokasi kebijakan bukan merupakan hal baru bagi PERAK, namun dengan banyaknya staf senior yang meninggalkan lembaga dibutuhkan pendekatan baru untuk meningkatkan kemampuan staf dalam advokasi. Kehadiran fasilitator wilayah yang ditugaskan IMPACT terbukti sangat membantu PERAK dalam mendidik staf junior untuk melakukan advokasi kebijakan terhadap lembaga legislatif maupun dinas terkait. Diawali dengan riset tentang kependudukan kemudian pengembangan data dasar berkait dengan adminduk, pengorganisasian kelompok masyarakat untuk kampanye pentingnya administrasi kependudukan, pendampingan masyarakat dalam pemahaman jalur administrasi kependudukan dan pendampingan perolehan dokumen administrasi kependudukan seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan surat kenal lahir/akte kelahiran.

PASKAH. PASKAH merupakan salah satu OMS yang sudah cukup lama berdiri di Pidie/Bireun dan sudah aktif dalam program-program pendampingan masyarakat terutama di bidang pengembangan ekonomi sejak masa konflik. Sekalipun situasinya cukup sulit di masa konflik PASKAH masih dapat melakukan kegiatan di komunitas pedesaan melalui program pengembangan ekonomi perempuan yang menjadi korban konflik, kemudian mempelopori kegiatan paska tsunami dan paska konflik bekerja sama dengan banyak OMS internasional maupun lembaga internasional. PASKAH memiliki kepemimpinan yang cukup kuat dengan jaringan yang cukup luas di tingkat Kabupaten, propinsi dan nasional. Lembaga ini juga memiliki pengalaman advokasi yang cukup di bidang kesetaraan gender, perlindungan kemanusiaan dan pengembangan ekonomi kerakyatan. Kemitraan dengan ADF dan IMPACT melalui program ANCORS dilakukan sejalan dengan beberapa program kemitraan lain yang sedang berlangsung melalui dukungan antara lain Oxfam Internasional, UNDP dan CIDA.

PASKAH sudah memiliki pengalaman cukup banyak dalam pengelolaan program advokasi praktis, baik secara persuasive maupun frontal. Keberadaan aktifis senior sebagai eksekutif lembaga memperkuat keberadaan PASKAH sebagai lembaga yang menjadi acuan banyak kalangan OMS dalam agenda pembangunan daerah. Pengalaman mereka dalam pembangunan masyarakat pedesaan membangun kepercayaan lembaga dana untuk mendukung program-program yang mereka kembangkan. Kemitraan dengan ADF dalam program ANCORS memperkuat kapasitas lembaga dari sisi pengelolaan keuangan, focus program advokasi dan pelatihan staf junior dalam melakukan pengorganisasian masyarakat serta lobby dan negosiasi dengan lembaga pemerintahan untuk bidang kesehatan. ANCORS juga mendorong PASKAH untuk mengembangkan kemampuan lembaga dalam melakukan riset sebagai acuan dasar untuk mengembangkan agenda advokasi.

Page 61: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Sekalipun terbatas sebelum menjadi mitra program ANCORS PASKAH sudah mendasarkan kerja advokasinya melalui kajian isu secara sederhana untuk mendukung argumen advokasi dengan lembaga pemerintah dan pembuat kebijakan. Kemitraan dengan ANCORS mendorong mereka melakukan kajian dan riset data dengan lebih serius dan terarah, dan menuangkan hasil kajian dalam laporan yang lebih terstruktur dan lebih mudah diterima oleh para pihak. PASKAH mempelajari dengan seksama proses penyelenggaraan ASKESKIN, kerangka hukum yang mendasari pelaksanaannya dan proses serta mekanisme penanganan Askeskin di tingkat masyarakat. Dokumentasi dan pemahaman mengenai mekanisme Askeskin membantu PASKAH untuk mengembangkan agenda yang tepat dalam memperjuangkan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat miskin.

Keikutsertaan dalam program ANCORS meningkatkan kepercayaan diri PASKAH dalam melakukan program advokasi. Keberadaan lembaga yang sudah cukup dikenal oleh kalangan pemerintahan dan masyarakat dampingan memudahkan PASKAH untuk mengembangkan agenda advokasi dan menentukan pendekatan serta strategi yang tepat dalam mengusung isu jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin. Pendampingan fasilitator wilayah dari IMPACT membantu mempertajam kerangka kerja dan strategi advokasi yang mereka lakukan.

PASKAH memiliki kedekatan yang cukup baik dengan masyarakat di beberapa Kecamatan dan desa karena kegiatan mereka yang sudah cukup lama dalam pengembangan masyarakat pedesaan. Sebagaimana dengan mitra ANCORS lain PASKAH memulai pengorganisasian masyarakat untuk advokasi program kesehatan Askeskin di 4 kecamatan yang meliputi 8 desa. Pada perkembangannya karena isu yang diangkat merupakan isu yang dirasakan penting manfa’atnya bagi masyarakat lebih banyak masyarakat di desa lain tertarik untuk ikut bergabung dalam program advokasi Askeskin tersebut. Sehingga pada saat program ANCORS berakhir PASKAH memiliki sekitar 170 desa dampingan yang tertarik ikut dalam program Askeskin.

PASKAH melakukan advokasi kebijakan dengan mengembangkan draft standard pelayanan minimum kesehatan bagi Kabupaten. Melalui kelompok dampingan mereka berhasil memfasilitasi salah satu kasus sebagai pilot untuk menguji kebijakan pelayanan publik di bidang kesehatan untuk masyarakat miskin pemegang kartu Askeskin. Dalam contoh kasus tersebut, seorang pasein pemegang kartu Askeskin dirujuk untuk mendapatkan pelayanan standard penyakit kronis bermula dari pelayanan di puskesmas, kemudian dirujuk untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit umum Kabupaten, selanjutnya ke rumah sakit umum di tingkat propinsi dan terakhir mendapat pelayanan medis spesialis di Jakarta. Pendampingan pasein dari keluarga miskin hingga mendapat pelayanan medis yang memadai di tingkat nasional, menunjukkan bahwa pemegang Askeskin berhak untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang memadai untuk penyakit yang mereka derita dengan subsidi kesehatan yang dianggarkan oleh pemerintah.

Page 62: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Keberhasilan contoh kasus tersebut mendorong PASKAH untuk bekerja lebih intensif dengan pembuat kebijakan guna meninjau kembali perencanaan dan penganggaran untuk kesehatan bagi orang miskin. Pendekatan PASKAH untuk mengubah kebijakan tidak dengan serta merta menyodorkan draft rancangan qanun untuk kesehatan tetapi dengan mereview SPM kesehatan tingkat nasional dan menyesuaikannya dengan konteks local. PASKAH mengajukan usulan draft SPM Kesehatan kepada Dinas Kesehatan yang sejauh ini menyambut baik gagasan PASKAH dan pengorganisasian di tingkat masyarakat – dan pada akhir program usulan draft SPM yang dibuat masih didiskusikan dengan pihak eksekutif sebelum diajukan ke tingkat legislatif.

Semua OMS mitra melakukan penelitian empirik sebagai basis pengetahuan dan data (evidence based) untuk advokasi kebijakan. YAPPIKA secara langsung menyiapkan tim untuk mendampingi OMS dalam menyiapkan dan melakukan penelitian. Tabel 4.3 menampilkan tema, pertanyaan dan hasil penelitian mereka.

Tabel 4.3Hasil-hasil penelitian yang dilakukan OMS

MITRAPERTANYAAN KUNCI

PENELITIAN TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN PASKA Bagaimana pelayanan

pemerintah terhadap pengguna kartu askeskin?

Bagaimana layanan kesehatan yang diberikan pemerintah di desa-desa terpencil yang jauh dari segala bentuk akses informasi serta transportasi?

Pelayanan kesehatan saat ini khususnya bagi masyarakat miskin masih jauh dari yang diharapkan. Puskesmas terdekat berjarak 15 km dengan melalui jalan yang berbukit dan sangat buruk. Sehingga akses layanan kesehatan sangat sulit untuk diperoleh. Kematian akibat terlambatnya penanganan medis adalah hal lumrah yang sering dijumpai, khususnya ibu-ibu yang melakukan proses persalinan.

Kinerja tenaga medis yang ada sangat memprihatinkan. Bidan desa sebagai tenaga medis ujung tombak tidak melakukan tugas dan tanggung jawab dengan semestinya. Bides tidak melakukan kunjungan ke desa-desa binaanya.

Sosialisasi merupakan masalah yang paling mendasar, karena banyak masyarakat yang belum mengetahui fungsi dan cara berobat menggunakan kartu askeskin. Terbukti dari banyaknya kasus masyarakat berobat ke Rumah Sakit Kabupaten tanpa membawa persyarakat/rujukan dari Puskesmas sehingga ditolak oleh RSU. Sosialisasi ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus segera ditindaklanjuti agar tidak terjadi lagi kesimpang-siuran dalam proses pengobatan menggunakan kartu askeskin.

PUGAR Bagaimana alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan?

Bagaimana mutu

Kesehatan: Alokasi anggaran untuk sektor kesehatan belum mencapai

10%. Sarana dan prasarana, obat-obatan serta fasilitas lainnya

belum memadai.

Page 63: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

layanan pendidikan dan kesehatan?

Apa saja kelemahan di sektor pendidikan dan kesehatan?

Bagaimana tingkat kepedulian pemerintah dan masyarakat atas dua sektor tersebut?

Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran?

Jumlah bidan masih kurang. Penyakit epidemi (malaria) belum bisa teratasi. Gizi buruk belum teratasi. Jumlah kematian ibu dan anak masih tinggi. Program-program yang dibiayai dengan APBD belum

cukup untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Pendidikan: Alokasi APBD untuk sektor pendidikan belum sesuai

dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang memandatkan 20%.

Program-program yang telah disusun dalam bidang pendidikan belum mampu menjawab kebutuhan untuk menstandarkan pendidikan di Kabupaten Aceh Besar.

Sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan lainnya belum memadai.

Mutu tenaga pendidik masih rendah. Kesejahteraan tenaga pendidik masih rendah. Prosentase anak putus sekolah besar. Akses pendidikan untuk sebagian masyarakat masih sulit

karena jarak yang jauh. Keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam membangun

pendidikan masih rendah.

Pendidikan dan Kesehatan: Secara umum biaya aparatur dalam APBD Aceh Besar

masih lebih besar prosentasenya daripada biaya publik. Berdasar laporan kader, tidak ada perubahan kondisi

dalam sektor pendidikan dan kesehatan dari Juni hingga Desember 2007.

YPSDI Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat laki-laki dan perempuan dalam penyelenggaraan pendidikan di Aceh Besar?

Bagaimana kinerja komite sekolah dalam meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat?

Sejauhmana peran komite sekolah dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas anggaran APBS dalam penyelenggaraan pendidikan?

Ruang partisipasi masyarakat secara formal dalam perumusan kebijakan sangat terbatas.

Pengetahuan masyarakat tentang hak sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pendidikan masih rendah.

Proses pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan masih sangat minim. Seharusnya masyarakat harus dilibatkan tidak hanya dalam pembiayaan tetapi juga dalam penyusunan kurikulum.

MATARADJA Bagaimana kemampuan pemerintah dalam

Interaksi antara pemberi layanan dengan penerima layanan di Kabupaten Aceh Jaya masih sangat kurang,

Page 64: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

melaksanakan kegiatan administrasi publik secara efisien, berkeadilan dan bersikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat?

Apakah praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih terus menggurita dalam kehidupan sejumlah instansi pemerintah baik yang ada di kabupaten maupun di kecamatan-kecamatan?

khususnya kelompok perempuan. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran serta keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan pemberi layanan. Selain itu juga karena kebiasaan masyarakat yang mendelegasikan kewajibannya pada orang lain.

Ketidakdisiplinan pemberi layanan merupakan salah satu penyebab kurang lancarnya pengurusan layanan administrasi publik di Kabupten Aceh Jaya. Disisi lain pemahaman masyarakat tentang jadwal kerja aparatur pemberi layanan juga masih sangat terbatas.

Diskriminatif, tidak transparan dan ketidakpastian hukum masih menggurita di ranah layanan publik di Kabupaten Aceh Jaya. Kondisi ini diperparah oleh adanya kebijakan layanan administrasi publik yang menambah rumit pola kerja itu sendiri.

Sarana dan prasarana tidak dapat dijadikan alasan terjadinya kondisi carut-marut layanan administrasi publik, begitu juga dengan kapasitas aparatur yang mendapat dukungan dari para pihak di Kabupaten Aceh Jaya. Persolalan keterbatasan sumber daya manusia merupakan bagian penting yang harus diperhatikan, mengingat Kabupaten Aceh Jaya masih sangat muda.

Keluhan/komplain masyarakat saat ini tidak tertampung dengan jelas serta tidak ada tindak lanjut dari penerima keluhan. Sementara aturan baru pemda yang dibuat tidak dapat difungsikan secara optimal.

PAPAN Bagaimana kondisi mutu pendidikan di Aceh Barat? Bagaimana peran pemerintah dalam mengoptimalisasi mutu pendidikan dan penempatan tenaga pendidik?

Terjadi ketidakseimbangan penempatan guru oleh pemerintah, dimana untuk tingkat SMA/SMK/MA di desa terjadi kekurangan hingga 150 guru dan untuk SMP/MTs kekurangan 102 guru. Sementara di kota jumlah guru berlebih.

Prasarana untuk mendukung laboratorium dan perpustakaan masih sangat kurang.

Menurunnya nilai siswa pada bidang mata pelajaran tertentu baik di tingkat SLTA maupun SLTP.

RTA Bagaimana kualitas pendidikan dilihat dari persoalan Sumber Daya Manusia (guru) menyangkut latar belakang pendidikan, kedisiplinan, metode mengajar, dan pemerataan guru di daerah?

Bagaimana sarana dan prasarana seperti gedung, kelas, dan alat pendukung lain?

Sarana & prasarana yang telah ada perlu perawatan secara kontinyu agar selalu bersih dan nyaman.

Sarana & prasarana yang diperlukan masih terbatas. Kualitas SDM pendidik rendah. Kekurangan tenaga pendidik (guru) terutama bidang

khusus Guru belum disiplin. Terbatasnya ruang partisipasi masyarakat secara formal

dalam perumusan kebijakan. Ketidakmengertian masyarakat akan hak-haknya sebagai

warga negara dalam pendidikan. Komite sekolah sebagai wadah wali murid serta

masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelengaraan pendidikan masih minim. Demikian juga dalam

Page 65: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Bagaimana partisipasi masyarakat menyangkut kesadaran atas hak-hak dasar, yaitu hak mendapatkan pendidikan, keterlibatan dalam kebijakan pendidikan seperti pengganggaran dan kurikulum pendidikan?

Bagaimana anggaran pendidikan dilihat dari alokasi dan politik anggaran pemerintah untuk pendidikan?

kepengurusan masyarakat belum terlibat secara penuh. Anggaran pendidikan belum mengarah untuk

meningkatkan mutu pendidikan.

DAUN Bagaimana kondisi kualitas layanan kesehatan di Singkil?

Bagaimana alokasi anggaran kesehatan di singkil?

Bagaimana kondisi para medis yang mendukungnya?

Belum ada tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:1457/MENKES/ SK/X/2003 tanggal 10 Oktober 2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota di Aceh Singkil. Hal ini terlihat dari belum adanya Qanun Standar Pelayanan Minimal di Aceh Singkil yang seharusnya menjadi indikator untuk pelayanan kesehatan.

Petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan masih berprilaku kurang memuaskan bagi masyarakat (pasien) dan terkesan pilih kasih.

Alokasi anggaran kesehatan belum mencapai 15% dari total APBD. Penyebab utama hal ini adalah masih lemahnya pemahaman legislatif terhadap kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, belum sepahamnya pihak eksekutif dengan legislatif dalam merespon masalah kesehatan, dan banyaknya kepentingan politik yang berlawanan sehingga anggaran jauh dari harapan.

Kekurangan tenaga kesehatan (dokter) sehingga pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas tidak maksimal. Selain itu kebanyakan dokter merangkap sebagai Kepala Puskesmas sehingga sangat banyak aktifitas di luar puskesmas.

PERAK Bagaimana kewenangan dalam kebijakan administrasi publik?

Bagaimana sikap dan kebijakan pemerintahan di Kabupaten Pidie dalam menyikapi layanan administrasi publik pasca tsunami?

Bupati memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur administrasi publik sebagaimana yang diatur dalam UU 11/2006 tentang Kependudukan, yaitu pada Bab. XXVIII, pasal 212 ayat (2) dan (3).

Pemda Pidie tidak membuka ruang atau akses bagi masyarakat supaya memanfaatkan momen untuk berpartisipasi penuh.

Pemerintah Daerah, dalam hal ini Bupati/Wakil Bupati memiliki inovasi, kreatif dalam hal kebijakan, sehingga tidak kaku dengan aturan-aturan yang ada, tidak mesti menunggu adanya pembahasan dulu di DPRK kalau itu

Page 66: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

demi kepentingan rakyat. DPRK Pidie sepakat untuk tidak mempolitisasi kepentingan

rakyat. LSPENA Bagaimana standar

pelayanan yang diberikan kepada masyarakat pedesaan dan perkotaan, antara puskesmas dan Rumah Sakit?

Sejauhmana penerapan standar pelayanan kesehatan mampu berjalan ditinjau dari ratio dan sebaran unit layanan serta tenaga medis yang dimiliki?

Bagaimana penerapan kebijakan standar pelayanan minimal berkaitan dengan perencanaan, penganggaran dan pelibatan masyarakat serta kemampuan petugas kesehatan dalam berbagai aspek?

Perlu adanya qanun kesehatan untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar kesehatan masyarakat.

Pihak legislatif dan eksekutif Kabupaten Bireuen belum menyusun qanun yang mengatur tindakan pelayanan kesehatan sehingga arah kebijakan di tingkat kabupaten hanya terfokus pada pengawasan, pengontrolan serta implementasi dari program yang dituangkan dalam APBK. Sementara pelibatan masyarakat dalam proses penyadaran dan perencanaan kesehatan tidak terealisasi semestinya. Ini membuktikan perlunya tim khusus dalam mengelola managemen perencanaan kesehatan untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar kesehatan masyarakat, serta perlunya persentase anggaran kesehatan yang dimuat dalam qanun guna mendorong peningkatan fasilitas dan SDM baik secara kualitas maupun kuantitas agar lebih sistematis dan terukur.

BIMA Bagaimana alokasi anggaran pendidikan bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin?

Bagaimana proses-proses pengganggaran dan pengawasannya?

Bagaimana distribusi sarana pendidikan?

Pemerintah kabupaten Bireuen belum memprioritaskan anggaran pendidikan khusus untuk masyarakat miskin.

Hanya 9,66% dari dana pendidikan (15,013 Milyar) untuk biaya publik atau dana yang diserap oleh masyarakat.

Prosedur penentuan anggaran seharusnya melalui musrenbang tetapi Kabupaten Bireuen tidak pernah melakukan musrenbang sehingga keterlibatan masyarakat sangat minim.

Pemerataan dan distribusi sarana pendidikan di Kabupaten Bireuen masih sangat jauh dari harapan, dimana infrastruktur tidak memenuhi standar pelayanan, kondisi jalan buruk, dan alat transportasi di daerah pedalaman tidak tersedia. Gedung sekolah tidak layak dan bahkan di beberapa lokasi masih belajar di bawah pohon. Perpustakaan tidak mampu menyediakan buku pelajaran pokok. Rasio guru dan murid melebihi rasio standar (1 : 20).

MASIF Bagaimana gambaran peta kebijakan dan alokasi anggaran pendidikan di Kabupaten Aceh Jaya?

Bagaimana partisipasi

Alokasi anggaran pendidikan tidak sesuai dengan peraturan. Hal ini dapat dilihat pada APBK tahun 2007, alokasi anggaran pendidikan sangat memprihatinkan, hanya 10,3% dari APBK atau senilai Rp. 47.653.524.820. Dari jumlah tersebut anggaran untuk belanja langsung sebesar 6,3% dari APBK atau hanya senilai Rp.

Page 67: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

dan harapan masyarakat dalam bidang pendidikan?

Bagaimana gambaran kualitas dan proses pendidikan di Aceh Jaya?

29.093.303.272. Kurangnya peran masyarakat dalam mendorong

peningkatan mutu pendidikan, baik dalam mendesak Pemerintah Daerah maupun dalam penyadaran diri mereka terhadap perlunya pendidikan yang memadai bagi anak-anak mereka.

Kurangnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan anggaran pendidikan di tiap sekolah, yaitu diantara pihak sekolah (tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sekolah) dengan Komite Sekolah yang mewakili orang tua murid. Sehingga menimbulkan prasangka yang tidak baik terhadap pengelolaan anggaran pendidikan.

LPPM Bagaimana alokasi anggaran kesehatan di Kabupaten Aceh Besar?

Bagaimana kondisi kualitas pelayanan kesehatan di beberapa level struktur dan unit pelayanan kesehatan di Kabupaten Aceh Besar?

Bagaimana membangun kesepakatan antara masyarakat sipil dan pemerintahan Kabupaten Aceh Besar dalam mendorong perbaikan mutu pelayanan kesehatan?

Pemangku kebijakan Kabupaten Aceh Besar belum mengalokasikan anggaran yang cukup untuk bidang kesehatan, diharapkan alokasi anggaran minimal 5% dari APBK diluar gaji petugas kesehatan.

Berdasarkan SPM dan kondisi pelayanan kesehatan di Kabupaten Aceh Besar, alokasi dana untuk sektor kesehatan tahun 2007 belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Orientasi penyedia layanan tidak kepada pengguna tetapi kepada kepentingan dan kemauan penyedia layanan.

Distribusi tenaga medis tidak merata, terpusat di pemukiman perkotaan.

Sistem kesehatan Aceh Besar sangat tertutup dan minim koordinasi dan sinergi dengan lembaga pegiat kesehatan. Seharusnya unit kesehatan memiliki sistem terbuka yang berinteraksi dengan berbagai sistem lainnya, bersifat dinamis, dan selalu mengikuti perkembangan.

Belum terbangunnya sistem komunikasi antara Dinas Kesehatan dan masyarakat sehingga persoalan pelayanan yang buruk tidak tersampaikan dan terselesaikan.

Hasil-hasil penelitian itu mereka jadikan untuk banyak keperluan: bahan diskusi dengan komunitas, kampanye media, diskusi publik, dialog dengan pemerintah, membangun ide-ide perubahan, menyusun rekomendasi atau naskah kebijakan, dan drafting kebijakan/peraturan atau qanun kabupaten. Masing-masing OMS mempunyai cara-cara serupa tetapi tidak sama dalam merumuskan rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian, dan sekaligus menjalankan diskusi publik maupun advokasi kebijakan.

Page 68: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Bab 5

Menabur Benih dan

Membiakkan Bunga Perubahan

Advokasi OMS merupakan bagian dari gerakan sosial. Ia tidak sepadan dengan menanam padi atau palawija yang hanya butuh waktu singkat beberapa bulan. Menanam pohon buah merupakan sebuah metafora yang lebih cocok untuk advokasi dan gerakan sosial masyarakat sipil. Seperti tergambar dalam tabel 5.1, agenda OMS menempuh 3 level-sekuen: menabur benih, membiakkan bunga dan memetik (mamanen) buah. Menabur benih selevel output dalam manajemen program, yang hanya membutuhkan waktu 1-2 tahun, yang bakal menghasilkan: pembentukan OMS, pengembangan kapasitas OMS, OMS bergerak dan penyebaran ide-ide perubahan, misalnya perbaikan pelayanan publik.

Page 69: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Level kedua, membiakkan bunga, selevel dengan outcome yang butuh waktu 2-5 tahun, yang akan menghasilkan: perluasan jaringan, keterbukaan ruang-ruang publik, meningkatnya partisipasi publik, keterbukaan komunikasi dan kemitraan pemda-OMS, munculnya para champions dalam tubuh pemerintah daerah, perubahan sebagian kebijakan. Capaian “membiakkan bunga” ini sebenarnya setara dengan growing atau flowering civil society. Bunga-bunga perubahan ini akan berkembang terus menjadi buah jika dirawat dengan baik dan berkelanjutan oleh OMS, dan tentu juga karena konteks politik yang kondusif. Sebaliknya bunga-bunga itu akan cepat layu kalau tidak keberlanjutan gerakan dan konteks politik lokal mengalami perubahan yang mengarah pada kondisi buruk, misalnya konflik muncul kembali atau karena pilkada menghasilkan pemimpin daerah yang buruk.

Pada level ketiga, memetik buah, setara dengan level tujuan umum (overall goal) atau dampak sebuah program, yang tidak mungkin bisa dicapai dalam waktu pendek. OMS yang menguat secara berkelanjutan serta daerah yang demokratis dan sejahtera adalah buah gerakan sosial yang membutuhkan waktu lebih dari lima tahun bahkan lebih dari 10 tahun. Namun gerakan sosial OMS bukan satu-satunya input untuk mencapai tujuan dan dampak besar (daerah yang demokratis dan sejahtera), kecuali kalau daerah menampilkan pemimpin-pemimpin kuat dan visioner seperti yang terjadi di daerah-daerah inovatif di Indonesia.

Tabel 5.1

Tiga sekuen dan level advokasi dan gerakan sosial

masyarakat sipil mendemokrasikan daerah

Menabur benih Membiakkan bunga Memetik buah

Page 70: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Level Logika Output Outcome Impact

Capaian Membentuk OMS, kapasitas OMS,

OMS bergerak, penyebaran ide-ide perubahan

Perluasan jaringan, ruang-ruang publik terbuka, partisipasi publik meningkat, keterbukaan komunikasi dan kemitraan pemda-OMS, perubahan sebagian kebijakan

OMS menguat, daerah semakin demokratis dan sejahtera

Waktu 1-2 tahun 2-5 tahun Di atas 5 tahun bahkan lebih, tergantung konteks politik lokal.

Bab ini berbicara tentang apa yang diraih OMS dalam melakukan advokasi kebijakan publik. Sejauh ini, ANCORS merupakan bentuk investasi yang tidak mungkin sampai memetik buah, tetapi baru sebatas menabur benih dan membiakkan bunga perubahan. Untuk mencapai ini tentu bukan pekerjaan yang mudah, mengingat kondisi Aceh pasca tsunami menghadirkan banyak persoalan yang rumit. Soal-soal bergulat dengan pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban tsunami, psikologis warga pasca konflik, desakan menyikapi reformasi tata pemerintahan pasca UU Pemerintahan Aceh, carut marut infrastuktur layanan publik yang rusak, serta situasi keamanan-perdamaian yang belum pulih sepenuhnya. Pada sisi lain, bencana tsunami turut membetot perhatian dunia untuk berkontribusi. Buktinya, 12 ribu proyek bekerja selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh, 600 LSM dan 40 donor internasional bekerja selama masa tersebut3. Dari proyek raksaksa tersebut, tidak kurang 6,4 miliar dolar Amerika Serikat dana dihabiskan selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut. Fakta tersebut menunjukan bahwa, demand sumber daya manusia untuk mendukunya sangat besar. Disisi lain, kesediaan sumber daya manusia handal sangat tidak dapat mendukungan. Logis kiranya jika lembaga-lembaga donor, mengelola programnya dengan direct implementation dengan mendatangkan tenaga kerja, tenaga ahli maupun aktivis dari luar Aceh.

Logika proyek dengan model direct implementation, dilakukan oleh banyak jenis proyek. Baik itu proyek-proyek pembangunan fisik, proyek perbaikan tata pemerintahan lokal, proyek pemberdayaan masyarakat, maupun proyek-proyek yang mendorong perdamaian yang permanen. Sisi kuat pilihan metode proyek ini adalah kontrol target pencapaian

3Sumber : Statemen Kepala Badan Pelaksana BRR, Kuntoro Mangkusubroto dipublish oleh Kantor Berita Antara, tanggal 24 Januari 2008

Page 71: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

terletak pada pusat manajemen proyek. Pengelola proyek pada aras paling bawah dapat dikendalikan target dan pencapainnya. Sementara sisi lemah dari metode ini menurut penulis adalah ownership dan investasi untuk kapasitas sumber day alokal yang tidak maksimal. Proyek-proyek dengan model ini seperti dijumpai pada Logica (Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh) atau LGSP (Local Governance Support Program). Proyek-proyek model ini benyak menunjukan cerita sukses sebagaimana disainnya, tentu resapan tenaga kerjanya sangat besar. Namun, hal yang perlu digaris bawahi, sangat banyak tenaga kerja yang memegang posisi strategis didatangkan dari luar Aceh.

Pada fase akhir, hampir seluruh proyek-proyek dengan model ini mengembangkan exit strategy melalui capacity building. Peningkatan kapasitas ditujukan kepada masyarakat penerima manfaat proyek, aktivis OMS maupun elemen-elemen pemerintah dengan harapat dapat terus mengembangkan hasil-hasil proyek yang telah diraihnya.

*****

Model Penguatan Kapasitas I Learning by Doing

YAPPIKA, sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil percaya bahwa penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dapat berkontribusi bagi upaya-upaya mendorong tata kelola pemerintahan yang makin demokratis. Untuk itu, organisasi ini menginisiasi model yang berbeda dari model sebagaimana digambarkan sebelumnya. Proyek dibangun dengan tumpuan pada organisasi masyarakat sipil di Aceh. Hal itu dibuktikan dengan pusat pemberi layanan bagi penguatan kapasitas OMS kabupaten yang dimainkan OMS provnsi. Proyek tersebut kemudian dikenal dengan nama ANCORS (Acehenese Civil Society Organization Strengthening).

Model in-direct implementation project ini dipilih dengan sangat sadar serta memperhitungkan resiko yang dihadapi kemudian. Sisi kuat dari model ini adalah, investasi bagi penguatan OMS, sudah dibangun sejak awal proyek. Seluruh sumber daya dan kerja-kerja yang dilakukan merupakan varian bentuk investasi penguatan OMS itu sendiri. Sementara, tantangan yang dihadapi juga menyebar pada semua aspek project, baik aspek pengelolaan keuangan, aspek pengelolaan program, aspek penguatan organisasi, aspek substansi program serta aspek skill transformation.

Pada aspek pengelolaan keuangan, YAPPIKA sangat sadar melakukan investasi dengan peluang yang sangat besar diberikan bagi mitranya, salah satu mitranya di provinsi adalah ADF (Aceh Development Fund). Organisasi ini memainkan peran pengelolaan dana grant hingga lebih dari 13 miliar rupiah, pada sisi lain organisasi yang terbentuk pada desember 2004 ini belum pernah mengelola dana proyek yang besar. Demikian juga pada aspek pengelolaan program, pengalaman menggunakan Result Based Manajemen (RBM), tidak dimiliki oleh OMS mitra kabupaten. Belajar bersama sekaligus menyusun rancangan

Page 72: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

program, belajar bersama sembari menjalankan aktivitas dalam disain program, belajar bersama sekaligus melakukan aksi-aksi advokasi kebijakan, serta belajar bersama sekaligus melakukan perubahan sosial. Merupakan cara yang dikembangkan untuk memperkuat kapasitas OMS di tingkat kabupaten sekaligus mendorong perubahan sosial di wilayahnya.

Demikian juga dengan OMS provinsi pemberi layanan lainnya, IMPACT (Inspiration for Managing People Action). Seperti halnya ADF, organisasi ini merupakan organisasi pemberi layanan bagi OMS lain dalam mendukung gerakan sosial di Aceh. Jika ADF memperkuat diri sekaligus memberi layanan bagi OMS kabupaten sementara OMS kabupaten melakukan learning by doing dalam merancang program, menjalankan rancangan program sekaligus mendorong terjadinya perubahan sosial. Maka, IMPACT belajar memperkuat kapasitas dirinya sembari memberikan layanan atas kapasitas itu sendiri. Membangun konsolidasi dan sistem dalam organisasinya sembari melayani mitra kabupaten dalam mengkonsolidasi dan membangun sistem organisasi clien-nya tersebut. Sementara YAPPIKA dalam hal ini mencoba berkontribusi bagi dukungan penguatan seluruh OMS mitra disemua level tersebut.

Konsolidasi Gagasan I Belajar Merancang Aksi

Menabur benih tidak lepas dari pilihan yang tepat bagi lahan yang akan ditabur. Demikian pula jika benih itu merupakan gagasan yang akan ditabur, menjadi wajib untuk mengkonfirmasi atas kebutuhan setempat. Untuk mengkonfirmasi kebutuhan rill tersebut, pertemuan para pihak di kabupaten-kabupaten wilayah kerja menjadi langkah yang dilakukan. Eksplorasi persoalan-persoalan layanan pendidikan, layanan kesehatan, layanan administrasi publik serta pengembangan ekonomi masyarakat menjadi prioritas berurut yang terkomunikasikan di kab. Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Jaya, Bireuen serta Singkil. Arena diskusi antar pihak tersebut bukan semata mengeksplorasi kebutuhan masyarakat, namun juga menjadi titik masuk memperkenalkan diri OMS mitra ANCORS kepada pemangku kepentingan di masing-masing kabupaten. Arena komunikasi tersebut juga berkontribusi bagi memecah kebekuan relasi antara elemen masyarakat serta antara elemen masyarakat dengan pemerintah, kenapa dipandang demikian ? karena, perdamaian mulai bersemai kembali pada masa itu (tahun 2006)

Hasil pertemuan para pihak di masing-masing kabupaten menjadi rujukan bagi masing-masing OMS mitra kabupaten mengekstraksi menjadi kerangka kerja aksi atau program kerja. Karenanya, bentuk langkah strategis yang diambil kemudian adalah Pertama, menerjemahkan menjadi sebuah kerangka program yang sitematis, Kedua, mendalami penguasaan substansi isu dari program itu sendiri.

Page 73: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Sebagaimana disebut sebelumnya, penyusunan kerangka program secara sistematis merupakan media belajar sendiri. Mitra diperkenalkan dengan alat yang dikenal dengan nama RBM (Result Based Management). Alat itu kemudian menjadi standar generik bagi 14 OMS mitra kabupaten dalam menyusun rencana aksi program. Proses transformasi pemahaman mengkrangkakan gagasan dalam alat tersebut serta menggunakannya dalam implementasi pekerjaan yang tidak mudah. Seterti yang dialami oleh RTA (Rabitah Thaliban Aceh), sebuah OMS mitra kabupaten di Kab Singkil. Organisasi ini merupakan organisasi yang sejak terbentuk bekerja sesuai dengan program-program kerja generik pesantren, pendidikan agama. Aktivitas yang dilakukan seputar diskusi pengajian dan pembahasan umat, serta pembahasan persoalan-persoalan organisasi. Ketika diperkenalakan sistem pengelolaan kegatan yang lebih sistematis, aktivis di RTA mulai mengalami kesulitan. Kesulitan yang dihadapi semakin lebih kompleks, ketika organisasi ini bersepakat akan mengusung isu pendidikan yang lebih luas. Bukan semata pendidikan religius yang sarat relasi santri dan Kyai (baca : Teungke). Namun lebih luas membahas persoalan kebijakan pendidikan kabupaten, penegakan kebijakan pendidikan yang sudah ada (misalnya pengaturan komite sekolah atau alokasi anggaran pendidikan). Semuanya itu berimplikasi pada gagasan merangkai koordinasi-relasi dengan pihak pemerintah, legislatif, dan masyarakat umum. Contoh ini menggambarkan bagaimana pilihan isu yang baru dibangun dengan pendekatan yang juga baru dikenal menjadi tantangan sekaligus bagian proses belajar awal.

Proses belajar ini bukanlah mudah, sebagaimana pengakuan Teungku Maksum (Pimpinan RTA): “Selama empat bulan pertama setelah disain program terbentuk, ditempelkan pada dinding sekretariat (agar mudah dibaca setiap saat), kami belum memahami benar bagaimana mengoperasionalkannya”. Ketekunan dan kesabaran fasilitator IMPACT dalam membimbing akhirnya kemudian berbuah hasil. Program mulai berjalan dengan baik kemudian. Demikian pula dari sisi substansi program. Ide dasar dalam program adalah menjawab persoalan pendidikan di kabupaten Singkil. Karenanya, isi program adalah advokasi kebijakan pendidikan, pembentukan qanun (atau Peraturan Daerah) tentang pendidikan di Kabupaten Singkil.

Tantangan yang dihadapi dalam mengkonsolidasi gagasan kedalam kerangka rencana aksi yang sistematis juga dialami oleh 13 OMS mitra kabupaten lain. OMS mitra kabupaten belajar bagaimana mengekstraksi kebutuhan, OMS mitra kabupaten belajar mengakualisasikan dalam kerangka aksi yang sistematis, OMS mitra kabupaten menterjemahkan disain program dalam aktivitasnya selama dua tahun.

Advokasi Kebijakan I Belajar Meraih Dukungan

“Jika anda mendengar anda akan tahu, jika anda melihat anda akan paham dan jika anda melakukan maka anda akan menguasai”

Page 74: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Uraian kalimat tersebut merupakan rangkaian yang dilalui oleh OMS mitra ANCORS dalam melakukan kerja-kerjanya, menguasai substasi, mengartikulasikannya serta menegosiasikannya kepada pemangku kepentingan. Penguasaan isu, dan strategi mempengaruhi menjadi dua hal kunci dalam advokasi kebijakan. Ketidaktepatan atas tawaran isu akan berakibat buruk bagi masyarakat luas, ibarat kesalahan resep dokter atas penyakit tertentu, bukan sehat teraih justru penyakit lain yang tumbuh. Demikian pula strategi mempengaruhi, ketidaktepatan cara yang digunakan, bukan dukungan yang teraih justru ‘cemooh’ yang didapat.

Pengetahuan dasar tentang strategi dan substansi kebijakan yang diadvokasi merupakan tahap awal program yang dilalui mitra. Beberapa intervensi untuk meperluas cakrawala mitra atas isu-isu diantaranya: study banding tentang inovasi pemerintah Kab Jembrana, Kab Blitar dan Yogyakarta; Study tour ke Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan serta Pemda DKI. Untuk mendalami penguasaan isu kemudian seluruh OMS mitra melakukan riset di wilayah masing-masing. Praktik riset, lagi-lagi menjadi pengalaman pertama dilakukan oleh mitra. Kerja riset atas isu yang diadvokasi kian memperkaya pengetahuan OMS kabupaten dalam menguasai konteks isu yang diadvokasi. Dari hasil riset tersebut kemudian dibangun rekomendasi kebijakan. Berikut adalah list rekomendasi kebijakan yang berhasil disusun oleh OMS-OMS mitra Ancors di Kabupaten.

Tabel 5.2 Rekomendasi Kebijakan yang Dihasilkan

Mitra Ancors di 6 Kabupaten

Mitra Bentuk Dokumen Rekomendasi

Tentang

PASKA - Pidie Document Research Potret Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin dan Daerah Terpencil

Rancangan qanun Rancangan qanun SPM Kesehatan Kabupaten Pidie

PERAK - Pidie Document Research Pelayanan administrasi kependudukan di Pidie

Rancangan qanun Rancangan qanun tentang Adminduk Pidie

LSPENA - Biuren Document Research Identifikasi Pemenuhan Pelayanan Kesehatan di Kab. Bireun

Rancangan qanun Rancangan qanun tentang kesehatan Bireun

Kertas posisi Kertas posisi tentang mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran dan pembangunan daerah

BIMA- Bireuen Document Research Kebijakan anggaran dan peningkatan kualitas pendidikan untuk masyarakat miskin dan daerah terpencil di Kabupaten Bireun.

Rancangan qanun Rancangan qanun tentang pendidikan di Kab. Bireuen

RTA - Singkil Document Research Pelayanan Pendidikan di Aceh Singkil

Page 75: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Rancangan qanun Rancangan qanun tentang pendidikan di Singkil

DAUN - Singkil Document Research Pelayanan Kesehatan di kabupaten Aceh Singkil

Rancangan qanun Rancangan qanun tentang kesehatan di Singkil

MATARADJA - Aceh Jaya

Document Research Pemetaan Kondisi Layanan Administrasi Publik di Aceh Jaya

Rancangan Peraturan Bupati

Usulan Peraturan Bupati tentang unit pengaduan dan penyelesaian masalah di Aceh Jaya

MASIF - Aceh Jaya Document Research Peta Kebijakan dan Alokasi Anggaran APBK pada Sektor Pendidikan di Aceh Jaya

Kertas posisi Tentang peningkatan kualitas sektor pendidikan di Kab.Aceh Jaya

YPK - Aceh Barat Document Research Pelayanan Publik Bidang Administrasi Umum di Kab Aceh Barat

Rancangan Peraturan Gampong

Rancangan 21 Peraturan Gampong di Aceh Barat

Rancangan Peraturan Bupati

Usulan Peraturan Bupati tentang Standar Pelayanan Minimal Administrasi Umum dan Kependudukan Tingkat Gampong di Kabupaten Aceh Barat

Rancangan Peraturan Bupati

Usulan Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pembayaran Insentif Aparatur Pemerintahan Gampong di Kabupaten Aceh Barat

Rancangan Peraturan Bupati

Usulan Peraturan Bupati tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Penanganan Pengaduan Keluhan Pelayanan Publik di Kecamatan di Kabupaten Aceh Barat

FLOWER - Aceh Barat Document Research Studi Deskriptif Tingkat Pengetahuan dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Aceh Barat

Kertas posisi Tentang pelayanan kesehatan reproduksi di Kabupaten Aceh Barat

PAPAN - Aceh Barat Document Research Potret Pendidikan di Aceh Barat

Document Research Keberadaan Guru Kontrak

Kertas posisi Tentang Kebijakan Umum Anggaran (KUA) atau Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Komunitas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat tahun 2008 (PAPAN)

Kertas posisi Tentang APBK, KUA/PPAS Kabupaten Aceh Barat tahun 2009 (PAPAN)

PUGAR - Aceh Besar Document Research Advokasi anggaran Pendidikan dan Kesehatan di Kab. Aceh Besar

Kertas posisi Tentang APBK sektor kesehatan dan pendidikan Aceh Besar 2007

Kertas posisi Tentang APBK sektor kesehatan dan pendidikan Aceh Besar 2008

LPPM - Aceh Besar Document Research Mendorong Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Kesehatan Yang

Page 76: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Berpihak Kepada Masyarakat Miskin Dan Perempuan

Rancangan qanun Rancangan qanun tentang kesehatan Aceh Besar

YPSDI - Aceh Besar Document Research Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Melalui Komite Sekolah

Rancangan qanun Rancangan qanun tentang pendidikan Aceh Besar

Dokumen-dokumen yang dibangun diatas merupakan hasil kerja dan belajar mitra. Dari dokumen tersebut kemudian tahap berikutnya adalah membangun sekutu untuk mendukung kerja, menggalang opini publik serta menegosiasikan kepada pemangku kepentingan. Dalam meraih dukungan dari elemen masyarakat sipil lain, mitra mengembangkan jaringan OMS. Jejaring ini dapat meningkatkan posisi tawar bagi pemangku kepentingan, sekaligus menjadi kekuatan kolektif untuk menciptakan opini ditingkat masyarakat luas. Berikut jaringan-jaringan OMS yang berhasil dibangun oleh mitra Ancors di Kabupaten

Tabel 5.3

Jaringan OMS, Dimana Mitra Ancors

Terlibat Dalam Proses Inisiasi

No Nama Jaringan yang terbentuk

Mitra yang Menginisiasi

Pembentukannya

Jenis Organisasi yang Tergabung

1 Jaringan Masyarakat Pemantau Pesisir (JMPP)

PUGAR Tipe organisasi yang tergabung seperti: Kelompok dampingan; kelompok-kelompk nelayan dan LSM

2 Koalisi Masyarakat Aceh Besar (Komar)

PUGAR Tipe organisasi yang tergabung seperti: Kelompok dampingan; tokoh masyarakat dan LSM

3 Forum Komunitas Peduli Pendidikan Aceh Barat

PAPAN Beranggota 6 tipe institusi: Kepala sekolah/madrasah; Komite Sekolah perwakilan region; Organisasi Mahasiswa; MPD; LSM pemerhati pendidikan di Aceh Barat; Komunitas dampingan

4 Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) Aceh Barat

YPK Beranggota 2 tipe representasi organisasi: LSM-LSM di Kabupaten Aceh Barat dan komunitas dampingan

5 Forum Peduli Pendidikan YPSDI Beranggota 4 tipe representasi organisasi: Tokoh masyarakat; Ormas; OKP

Page 77: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Organisasi Perempuan

6 KKP Kab. Pidie PERAK Beranggota 2 tipe representasi organisasi: LSM-LSM di kabupaten Pidie dan komunitas dampingan

7 Forum Komunikasi Masyarakat Sipil Kab. Pidie

PERAK Beranggota 2 tipe representasi organisasi: LSM-LSM di kabupaten Bireuen

Komunitas dampingan

8 Sekretariat Bersama Masyarakat Sipil (SEKBER)

LSPENA Beranggota 5 tipe representasi dari Jaringan : LSM-LSM di Kabupaten Bireuen, komunitas dampingan, Pemerintah Desa,Tokoh Agama; Tokoh Adat

9 KKP Biuren LSPENA; BIMA Beranggota 2 tipe representasi organisasi: LSM-LSM di Kabupaten Bireuen dan komunitas dampingan

10 Gerakan Guru Pedalaman (GEuREDAK)

BIMA Beranggota 2 tipe representasi institusi: Guru-guru di pedalaman dan komunitas dampingan

11 Jaringan Advokasi Askeskin

PASKA Beranggota 2 tipe representasi institusi: Kader kesehatan

komunitas dampingan

12 Aliansi Komite Sekolah RTA Beranggota 1 tipe organisasi yaitu Komite Sekolah dari 9 kecamatan di singkil

13 Aliansi Perempuan Peduli Pendidikan

RTA Beranggota 3 tipe representasi organisasi: Kelompok dampingan; Komite Sekolah dan aktivis perempuan

14 FORMAJA (Forum Masyarakat Aceh Jaya)

MASIF Terdapat 7 tipe representasi organisasi: Organisasi Adat (Panglima Laot, Serikat Mukim, JKMA); Asosiasi Profesi (API-Asosiasi Pedagang Ikan, Asosiasi Petani Indonesia); LSM (Mataradja, LPMP, GASE, AIPI, Lageh, SPKP HAM, PKM); Organisasi Pelajar (Ikatan Pelajar Mahasiswa Aceh Jaya); KPNA; Liga Inong Aceh; Organisasi berbasis agama (Komunitas Majlis Ta’lim)

15 KKP Aceh Jaya MASIF; MATARADJA Beranggota 2 tipe representasi organisasi: LSM-LSM di Kabupaten Aceh Jaya dan komunitas dampingan

16 KKP Singkil DAUN Beranggota 2 tipe representasi organisasi: LSM-LSM di Kabupaten Singkil dan komunitas dampingan

17 Forum Peduli Pendidikan RTA Beranggotakan Aliansi Perempuan Peduli Pendidikan; Aliansi Komite Sekolah; Dinas Pendidikan dan DPRK Kab. Singkil

18 KoAS (Koalisi Aceh Sehat) LPPM Beranggota 5 jenis organisasi di Aceh Besar: LSM (YICM, Solidaritas Perempuan); Organisasi Kemahasiswaan (BEM FK Unsyiah dan BEM FK Unaya); PII; Lembaga donor (AIPRD Logica dan beberapa lembaga lain yang concern dengan isu-isu kesehatan); Komunitas dampingan

19 Koalisi Peduli Pendidikan dan Kesehatan

PUGAR, YPSDI dan LPPM

Beranggota 10 jenis organisasi/institusi di Aceh Besar:

HMI Cab. Aceh Besar; Kobar GB; HIMAB; PMI; PII; Organisasi Mahasiswa Kecamatan Sibreh; LSM (SORAK dan GeRak Aceh Besar); Eksekutif (Ketua Bappeda Aceh Besar, Kadis Pendidikan, Kasie Binagram Dinas Pendidikan);

Page 78: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

DPRK dan Komunitas dampingan.

20 Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS)

LSPENA Beranggota 5 tipe representasi dari Jaringan : LSM-LSM di Kabupaten Bireuen, komunitas dampingan, Pemerintah Desa,Tokoh Agama dan Tokoh Adat dan Pemkab

Pada sisi lain, mitra juga membangun relasi dengan pihak-pihak pengambil kebijakan. Dialok dengan para pihak atas isu yang diadvokasi bergerak lebih maju dibandingkan dengan tanpa ada dokumen rekomendasi kebijakan yang telah tersusun. Apresiasi seluruh pihak sangat positif. Persoalan kemudian lebih kepada proses-proses politik dalam pembahasannya di Legislatif ataupun tingkat pimpinan Eksekutif di masing-masing kabupaten. Apresiasi yang diberikan pemerintah kemudian berbuah pada terbentuknya qanun, Peraturan Bupati serta Peraturan Desa, diantaranya adalah sebagai berikut:

Qanun Kab. Aceh Singkil No. 10 tahun 2008 tentang SPM (Standard Pelayanan Minimal) Bidang Kesehatan, yang diusulkan oleh Yayasan DAUN disahkan pada tanggal 8 Oktober 2008 dan diundangkan pada tanggal 10 Oktober 2008, lembar pengesahan no. 167 tahun 2008.

Qanun Kab. Aceh Besar No. 13 tahun 2008 tentang Qanun Kesehatan, diusulkan oleh LPPM telah disahkan pada tanggal 29 November 2008.

Qanun Kab. Aceh Singkil No. 02/2009 tentang Standar Penyelenggaraan Pendidikan di Kab. A. Singkil yang ajukan oleh RTA Singkil

21 peraturan gampong tentang administrasi kependudukan di Aceh Barat (YPK) Peraturan Bupati No. 6 tahun 2008 tentang Tata Cara Pembayaran Insentif Aparatur

Pemerintah Gampong di Aceh Barat dimana 80 % substansi qanun mengadobsi usulan YPK Peraturan Bupati No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Pusat Layanan

Pengaduan Kecamatan (PLPK) dan Mekanisme Penanganan Pengaduan Keluhan Pelayanan Publik di Aceh Barat (YPK), dimana 80 % substansi qanun mengadobsi usulan YPK

Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Jaya No. 19 tahun 2008 tentang Prosedur dan Mekanisme Pengaduan Keluhan Masyarakat, yang diajukan oleh MATARADJA.

Peraturan Bupati Aceh Barat No. 421.3/44/2008 tentang Penertiban Siswa pada Jam Belajar di luar Pekarangan Sekolah, yang diusulkan oleh Yayasan PAPAN disahkan pada tanggal 28 Desember 2007.

Alokasi anggaran sektor pendidikan APBK 2008 Kab Aceh Jaya meningkat dari 10% tahun 2007 menjadi 18% tahun 2008.

Alokasi anggaran pendidikan APBK 2008 dan 2009 Kabupaten Aceh Barat mengalami peningkatan, dari 8,7% pada tahun 2007 menjadi 18% pada tahun 2008 dan menjadi 20% pada APBK 2009

Menyemai Hasil I Buah dari Belajar dan Bekerja

Page 79: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Memiliki kapasitas yang dibuktikan dengan dokumen yang argumentatif menjadi alasan pihak luar percaya dan kagum. Kepercayaan dan kekaguman dari pihak luar akan muncul dalam bentuk apresiasi yang beragam. Atas hal ini, lembaga mitra banyak yang dijadikan sebagai rujukan isu. SDM mitra banyak digunakan oleh pihak lain seperti sebagai nara sumber, fasilitator, anggota tim perumus, kepanitiaan, dan tenaga ahli.

Beberapa hal yang menunjukan bahwa mitra semakin trampil dan diperhitungkan berbagai pihak. Beberapa mitra yang fokus pada advokasi kebijakan sektor pendidikan dapat ditunjukan dari hasil kerja RTA, YPSDI, MASIF, BIMA dan PAPAN. Salah satu lembaga yang sukses mengadvokasi kebijakan pendidikan serta kapasitas organisasinya tinggi dimata para pihak adalah RTA (Rabitah Thaliban Aceh) di Kabupaten Singkil. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, organisasi ini memilih sektor pendidikan yang menjadi fokus kerjanya.

Rabithah Taliban Aceh (RTA) selama ini jauh dari kerja-kerja advokasi kebijakan. Masyarakat, eksekutif dan legislatif setempat mengenal RTA sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan keagamaan (pesantren). Keterlibatan RTA dalam program ANCORS membuat mereka dikenal oleh publik sebagai lembaga yang tidak hanya bergerak di dibang keagamaan, namun juga mempunyai kepedulian serta keahlian dalam advokasi kebijakan pendidikan.

Berawal dari kerja sama dengan program ANCORS, RTA mulai mengenal pengelolaan program menggunakan pendekatan RBM (Result Based Management), mengenal komputer, internet, belajar mengelola keuangan sederhana namun akuntabel dan menjalankan kerja-kerja advokasi kebijakan di ranah isu pelayanan pendidikan. Lembaga yang semula eksklusif ini pun membuka diri. Mereka membangun komunikasi dengan berbagai pihak untuk menjalankan advokasi tersebut sehingga jaringan pun meluas, baik dengan masyarakat, sesama organisasi masyarakat sipil (OMS), sekolah-sekolah maupun pemerintah setempat. Proses belajar dan bekerja yang dilakukan RTA juga menyita perhatian pihak media radio, karenanya tidak heran muncul undangan-undangan menjadi nara sumber, salah satunya bahkan menjadi nara sumber talk show tentang persoalan pendidikan bersama PJ Bupati Subulusalam.

Kedekatan dengan masyarakat juga membuahkan hasil. Bersama masyarakat, RTA berhasil membuat sebuah draft usulan kebijakan rancangan qanun Standar Pelayanan Minimum (SPM) pendidikan di Aceh Singkil yang diusulkan kepada DPRK Aceh Singkil. Dokumen yang diajukan tersebut menjadi bahan pembahasan di DPRK dan kini usulan kebijakan tersebut telah disahkan

Page 80: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

sebagai Qanun Pendidikan Aceh Singkil. No. 02/2009 tentang Standar Penyelenggaraan Pendidikan di Kab. A. Singkil

Pemahaman pendidikan yang semula bernafaskan pesantren berkembang ke praktik pendidikan formal. RTA fasih berbicara tentang komite sekolah, baik dari segi kebijakan yang memayunginya maupun dalam mengartikulasikan esensinya. Kefasihan ini memunculkan kepercayaan pemerintah setempat dengan meminta Direktur RTA-Singkil menjadi Ketua MPD (Majelis Pendidikan Daerah Kabupaten Subulussalam), sebuah jabatan politik yang strategis untuk pembangunan pendidikan.

Kapasitas lain pun mengalami perkembangan signifikan. Pada awalnya RTA masih buta penggunaan teknologi seperti internet, komputer serta peralatan audio visual. Pembiasaan menggunakan alat-alat pendukung tersebut selama perjalanan program ANCORS, membuat mereka mahir dan bahkan menjadikan internet sebagai media komunikasi dengan berbagai pihak. Pemanfaatan komputer dalam mengelola keuangan turut mempermudah dan mendorong sistematisasi pengelolaan keuangan program. Kemajuan atas ketrampilan mengelola keuangan mendapat respon Pemerintah Kabupaten Subulussalam. RTA dipercaya sebagai bendahara untuk mengelola kegiatan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat kabupaten

Pada level sekolah-sekolah, kemampuan mengartikulasikan kebijakan tentang pendidikan menyebabkan RTA juga diminta oleh beberapa sekolah menjadi nara sumber membahas persoalan tentang komite sekolah dan anggaran pendidikan sekolah.

Serupa dengan isu pendidikan yang ditebar RTA, YPSDI juga melakukan advokasi pada sektor kesehatan di kabupaten Aceh Besar. Kepercayaan aoleh berbagai pihak juga dituai misalnya, Lembaga Plant International meminta YPSDI untuk menduku program yang dikembangkannya. Dukungan yang diharapkan lebih kepada penguatan komite sekolah di dua kecamatan dampingan Plant Internasional, Kec. Peukan Bada dan Kec. Mesjid Raya. Plant Internasional memperoleh informasi atas kehandalam YPSDI justru dari dari Dinas Pendidikan Aceh Besar. Hal ini menunjukan YPSDI juga telah memikat Dinas Pendidikan prihal berkaitan dengan sektor pendidikan. Bahkan, ketika dilakukan diskusi antara dinas pendidian dan YPSDI menyangkut urgensi komite sekolah dan Rencana strategis sekolah, beberapa hari kemudian Dinas Pendidikan mengeluarkan Surat Edaran tentang Reorganisasi Komite Sekolah dan Surat Edaran tentang Rapat Kerja Penyusunan Renstra Sekolah. Sekali lagi hal itu menunjukan bahwa eksistensi dan posisi tawar OMS mitra kabupaten sangat baik di mata pembuat kebijakan.

Page 81: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Untuk sektor kesehatan, belajar dan beradvokasi juga dilakukan oleh OMS mitra seperti LPPM, DAUN, FLOWER, PASKA dan LSPENA. Sebuah OMS yang bekerja pada sektor ini adalah LPPM-Aceh Besar. Dari Riset tentang kebijakan dan kondisi kesehatan masyarakat di Aceh Besar, organisasi ini memaparkan temuannya kepada berbagai pihak. Pemaparan yang disampaikan pada awalnya menghentak pihak pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan Kab Aceh Besar. Hal itu semakin runyam dengan blow up media yang dilakukan media cetak lokal. Sehingga kemudian menimbulkan relasi yang kurang harmonis antara LPPM dengan Dinas Kesehatan maupun Relasinya dengan media cetak.

Belajar dari cara yang disampaikan kepada piha pemerintah serta pendekatan dengan media yang kurang mulus, LPPM merefleksikan diri. Dengan tujuan memperbaiki kondisi kesehatan bagi masyarakat Aceh Besar, dialok menyikapi hasil temuan lapangan kemudian dikembangkan kepada pihak pemerintah. Demikian pula diskusi dengan pihak media dirajut kembali, melalui pelibatan aktivitas-aktivitas LPPM lainnya. Hasilnya, kohesivitas antara pemerintah dengan LPPM serta Media dengan LPPM kembali terbangun. Kepercayaan dari pihak pemerintah ditujukan dengan permintaan Dinas Kesehatan Aceh Besar untuk melibatkan LPPM dalam Penyusunan Renstra Kesehatan Aceh Besar 2009-2014, RPJMD serta penyusunan Standar Pelayanan Minimal Sektor Kesehatan Kabupaten Aceh Besar. Bahkan, staf LPPM kemudian menjadi staf ahli Panleg (Panitia Legislatif) DPRK Aceh Besar. Isu tentang kondisi kesehatan Aceh Besar semakin meluas dengan andil media cetak yang mengangkat berita-beritanya.

Kepercayaan atas kapasitas dan penguasaan isu kesehatan bukan saja oleh pemerintah, beberapa lembag internasional yang bekerja untuk sektor kesehat juga membangun kerjasama dengan LPPM. Kerjasama dibangun dengan landasan bahwa LPPM memiliki pengalaman dan kapasitas substansial kebijakan sektor kesehatan, misalnya LGSP melibatkan LPPM ketika melakukan Survey Layanan Kesehatan di 25 Puskesmas di Aceh Besar, survey ini dilakukan dengan mengunakan sistem Citizen Report Card. Pada bagian akhir, lembaga ini akhirnya berhasil mengawal draft qanun tentang kesehatan kabupaten Aceh Besar masuk dalam proses politik di DPRK Aceh Besar. Pada 29 November 2008 Qanun tentang kesehatan Kab. Aceh Besar disahkan dan diberi nomor 13 tahun 2008

Page 82: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Dari Warung Kopi ke Kantor Bupati

Kisah Mitra Program ANCORS di Aceh Jaya (MATARADJA)

MATARADJA adalah salah satu mitra program ANCORS di Kabupaten Aceh Jaya. Dengan dukungan program ANCORS, mereka melalukan advokasi pembentukan Unit Penanganan Keluhan (UPK) layanan administrasi umum di Kabupaten Aceh Jaya. Mereka bekerja di 7 gampong yang tersebar di 3 kecamatan, yaitu Kec. Tenom, Kec. Krueng Sabee dan Kec. Jaya.

MATARADJA menggunakan pendekatan pengorganisasian masyarakat dan lobby pemerintah untuk advokasi kebijakan tentang layanan administrasi umum di Kabupaten Aceh Jaya. Dalam hal pengorganisasian, Nanda misalnya, staf pengorganisasian masyarakat (CO) MATARADJA, pada awalnya cukup sulit masuk ke masyarakat di salah satu gampong bernama Curik. Rasa curiga masyarakat kepada Nanda cukup tinggi, kepercayaan masyarakat agak sulit terbangun. Wajar, situasi konflik panjang juga melanda Gampong tersebut. Lalu lalang lembaga donor yang berjanji memberikan bantuan ke gampong juga tinggi.

Gampong Curik terletak jauh dari pusat kota. Layanan listrik negara (PLN) belum masuk ke gampong ini. Kondisi ini menggerakkan Nanda untuk mengorganisir warga guna memperoleh penerangan listrik yang layak. Pendekatan intensif kepada masyarakat pun dilakukan. Media warung kopi, dimana warga dan Geuchik sering berkumpul, menjadi tempat strategis mengenalkan diri dan juga ‘masuk’ ke dalam lingkungan warga setempat. Obrolan yang dibangun banyak membahas soal-soal yang dihadapi warga. Persoalan warga menyangkut tidak adanya listrik menarik perhatian warga dan menumbuhkan kepercayaan warga kepada Nanda dan MATARADJA. Persoalan ini menjadi diskusi rutin di gampong yang kemudian memunculkan

kebutuhan tim yang solid untuk melakukan aksi. Akhirnya terbentuklah tim advokasi warga. Tim ini bersama MATARADJA melakukan aksi dan dialog kepada pemerintah

Proses belajar, bekerja dan tantangan yang dihadapi oleh LPPM, juga dialami oleh DAUN. Lembaga ini semula mendapatkan resistensi dari pihak legislatif setempat. Pendangan menyangkut pembuatan kebijakan sedianya wialayah legislatif, demikian pandangan legislatif pada awalnya. Perlahan tapi pasri, proses-proses dialok dan juga pendekatan yang dibangun dengan pihak legislatif akhirnya mendapat apresiasi dan kepercayaan. Demikian pula bangunan relasi dengan

pihak pemerintah, mulai dikembangkan, sampai-sampai pihak pemerintah meminta DAUN dilibatkan menjadi Tim Komisi Penilai Amdal Kabupaten Aceh Singkil. Bangunan relasi yang kohesif juga terajut dengan pihak legislatif dimana legislatif sendiri menerima ketika DAUN bersama OMS sekutu lainnya melakukan reguler monitoring kerja-kerja Legislatif Aceh Singkil. Proses substasnsi yang jauh sebelumnya telah dibangun serta proses politik yang ditata lebih apik berbuah pada penempatan prioritas pembahasan qanun kesehatan oleh DPRK Singkil pada tahun 2008. Pada tanggal 8 Oktober 2008 Qanun Kab. Aceh Singkil No. 10 tahun 2008 tentang SPM (Standard Pelayanan Minimal) Bidang Kesehatan, yang diusulkan oleh Yayasan DAUN disahkan dan

diundangkan. Produk politik ini kemudian diundangkan pada tanggal 10 Oktober 2008 dengan lembar pengesahan no. 167 tahun 2008.

Berbeda tantangan yang dihadapi oleh OMS yang mengadvokasi kebijakan pendidikan dan kesehatan sebagaimana disebut sebelumnya. Hasil riset yang dilakukan oleh MATARADJA di Kabupaten Aceh Jaya menunjukan bahwa proses penyelesaian atas kasus-kasus publik justru banyak tidak terselesaikan dan semuanya bermuara pada otoritas pemerintah. Kasus penyedian

Page 83: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

listrik di Gampong Curik misalnya, telah demikian lama belum terselesaikan akibat piha PLN hanya menyelesaiakan pembangunan tiang dan kabel listrik. Akibatnya, sejak masa konflik hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami Aceh, listrik di enam gampun di Kec Teunom belum tersedia. Masyarakat hanya dapat memandang adanya tiang listrik dan janji-janji pihak PLN. Proses eksplorasi masalah di salah satu gampong (Gampong Curik) justru menginisiasi proses advokasi bagi warga setempat. Mediasi antara pihak PLN dan Masyarakat dilakukan namun tidak berujung.

Belajar dari proses tersebut, tidaklah mudah bagi masyarakat dapat menyelesaikan persoalan-persoalan publik langsung dengan pihak pemberi pelayanan. Apalagi jika pemberi layanan tersebut bukan sepenuhnya dikelola oleh Pemerintah. Dasar pemikiran tersebut memberikan ide bagi MATARADJA menginisiasi hukum menyangkut mekanisme penyelesaian atas kasus-kasus masyarakat melalui institusi formil pemerintah. Ide ini terus berkembang dan didukung oleh Pemda Aceh Jaya. Proses penggodokan gagasan terus diperdalam dengan para pihak lain, termasuk beberapa project lain yang peduli pada perbaikan tata pemerintahan di kab Aceh Jaya, misalnya: Logica. Dari proses ini kemudian Mataradja menyusun draf Peraturan Bupati tentang unit penangana masalah. Dokumen tersbut akhirnya diadopsi mennjadi peraturan Bupati Aceh Jaya No. 19 tahun 2008 tentang Prosedur dan Mekanisme Pengaduan Keluhan Masyarakat.

Selain menarik penyelesaian masalah melalui kebijakan Peraturan Bupati maupun Qanun spesifik untuk sector pendidikan dan kesehatan, merupakan celah bagi masyarakat sipil juga mengawal proses-proses pembentukan anggaran. Proses ini merupakan proses panjang yang mewajibkan masyarakat terlibat dari level gampong sampai dengan debat kepentingan politik di level DPR. Salah satu OMS mitra ANCORS yang menekuni proses anggaran adalah PAPAN.

Yayasan PAPAN merupakan mitra program ANCORS di Aceh Barat. Dengan dukungan program ANCORS, mereka melakukan advokasi peningkatan kebijakan alokasi anggaran pendidikan yang berpihak kepada masyarakat. Pendekatan advokasi dilakukan melalui dua aras. Pertama, membangun kesadaran kritis kelompok masyarakat peduli pendidikan. Kelompok ini kemudian terkonsolidasi menjadi Forum Komunitas Peduli Pendidikan Aceh Barat. Kedua, membangun komunikasi dengan pemerintah untuk mempengaruhi DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten) dan eksekutif untuk mengalokasikan anggaran pendidikan yang lebih besar.

PAPAN telah berhasil membangun jaringan masyarakat sipil yang mendukung advokasi terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 30% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK), sebagaimana diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh. Pendampingan terhadap 68 komite

Page 84: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

sekolah di Aceh Barat telah meningkatkan pemahaman tentang pentingnya penyusan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) secara partisipatif. Saat ini, komite sekolah yang didampingi mampu menyusun RAPBS bahkan mampu menjelaskan esensi kebijakan anggaran pendidikan dan RAPBS kepada pihak lain.

Kepercayaan pemerintah kepada PAPAN pun tumbuh. Dinas Pendidikan maupun DPRK Aceh Barat (Komisi B bidang anggaran dan Komisi D bidang Pendidikan) menjadikan PAPAN sebagai mitra diskusi. Dorongan PAPAN untuk kebijakan peningkatan anggaran pendidikan direspon positif oleh DPRK. Kini, alokasi anggaran pendidikan Aceh Barat meningkat dari 8,7% pada tahun 2007 menjadi 18% pada tahun 2008. PAPAN juga diundang oleh pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh Barat dan Penyusunan Rencana Strategis.

Gerakan OMS mitra ANCORS sesungguhnya tidak sebatas pada gerakan yang elitis dan teknokratis. Secara umum, pengorganisasian masyarakat didorong untuk meningkatkan confidence agar mampu menyelesaiakan kasusnya sendiri tanpa tergantung pihak pemerintah maupun dukungan lembaga donor juga dilakukan. Bagi sebagian besar OMS di Aceh dan juga mitra ANCORS kerja-kerja seperti ini sudah sejak masa konflik dilalui. Hal yang membedakan justru bagi BIMA. Organisasi yang berisikan aktivis muda ini baru pasca tsunami melakukan kerja-kerja di tingkat grass root ini.

Hiruk pikuk bantuan internasional pasca tsunami di Aceh mengalir ke wilayah-wilayah yang porak poranda, termasuk Kabupaten Bireuen. Wilayah-wilayah terpencil kerap terlupakan. Salah satu sekolah Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Cot Keutapang Alue Limeng adalah sekolah dasar di desa Alue Limeng Kabupaten Bireun menjadi salah satu contoh yang tak tersentuh itu. Minimnya ruang belajar menyebabkan beberapa kelas terpaksa belajar beratapkan langit. Pohon yang tidak begitu rindang menjadi peneduh dari terik matahari dan tak mampu menahan derasnya hujan.

Kondisi tersebut menggerakkan Perkumpulan BIMA yang terdiri dari aktivis muda untuk menggerakkan warga setempat mengatasi persoalan ini. Melalui dukungan program ANCORS, mereka mengorganisir warga di empat desa di Kabupaten Bireuen untuk bersama-sama mengatasi kondisi sekolah dasar tempat generasi penerus Bireuen menimba ilmu. Sejumlah diskusi warga dilakukan oleh BIMA. Semangat muda itu disambut antusias oleh warga dan pihak sekolah. Beberapa rekomendasi hasil diskusi warga disampaikan oleh BIMA kepada Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) dan Bupati Bireuen melalui hearing yang melibatkan warga setempat. Hasilnya,

Page 85: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

DPRK menjanjikan untuk pembangunan ruang sekolah dengan mengalokasikan dana Anggaran Pendidikan dan Belanja Kabupaten (APBK) di tahun 2008.

Sambil menunggu bantuan dari APBK, BIMA terus menggerakkan keswadayaan warga. Kerelawanan warga pun tumbuh. Mereka menyumbang uang dan bahan bangunan seperti batu, pohon dan kayu untuk menambah ruang kelas. Swadaya masyarakat tersebut berhasil menambah satu ruang kelas. Selama proses pembangunan ruang kelas tersebut, BIMA mencoba mendatangkan Bupati dan Bank Dunia ke lokasi sekolah. Pada pertemuan tersebut Bank Dunia berkomitmen untuk membantu dan terealisasi dengan penambahan 3 ruang kelas baru. Sementara itu pihak DPRK memutuskan tidak memasukkan alokasi anggaran pembangunan sekolah dari APBK 2008, namun didorong melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) propinsi NAD. Dari dana DAK terealisasi dengan penambahan dua ruang kelas.

Pengalaman BIMA ini memberikan harapan bahwa kerelawanan warga masih menjanjikan untuk digerakkan di Aceh yang selama 4 tahun terakhir ini seakan tenggelam oleh melimpahnya bantuan internasional. Kerelawanan tersebut juga telah berhasil mempengaruhi kebijakan anggaran pemerintah walaupun masih dalam skala kecil. Inisiatif BIMA untuk mengorganisir warga guna mengatasi persoalan minimnya fasilitas pendidikan pun berpengaruh kepada desa-desa di sekitar wilayah dampingannya. Warga meminta BIMA untuk mendampingi mereka, agar terjadi gerakan warga dan dukungan pemerintah untuk memperbaiki kualitas sekolah di dekat gampong mereka. Berikut daftar kasus-kasus masyarakat yang difasilitasi OMS mitra kabupaten untuk penyelesaiannya.

Tabel….

Daftar Masalah Masyarakat

yang Difasilitasi Proses Penyelesainnya oleh OMS Mitra Ancors

Mitra Cakupan Masalah

Bentuk

Masalah

Deskripsi Tingkat Penyelesaian

RTA Masalah Masyarakat di Singkil

Persoalan kekurangan guru eksak

Dari hasil identifikasi yang dilakukan kelompok dampingan RTA, terdapat kekurangan 30 orang guru eksak di

Komunitas bersama RTA melakukan dialog intensif dengan pemerintah dan akhrnya berhasil menyelesaikan masalah tersebut

Page 86: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

seluruh Aceh Singkil.

Masalah komite sekolah SD 2 Panjaitan

Kebutuhan listrik bagi SD 2 Panjaitan

Komite sekolah membutuhkan mediasi dengan pihak PT Altrako selaku pihak yang menyuplai listrik.

Dialog yang difasilitasi RTA berhasil membangun kesepakatan antara Komite sekolah dengan PT Alatrako dalam pemenuhan kebutuhan listrik SD 2 Panjaitan

Masalah SMA Danar Paris

Penempatan Guru Agama

Sebelum tahun 2007 SMA Danar Haris kekurangan Guru Agama.

Dari proses dialog antara Komite sekolah SMA Danar Haris, RTA dan Pemerintah akhirnya pada tahun 2008 telah terpenuhi kebutuhan Guru Agama

Masalah SD Silardo

Pemotongan Bea Siswa Anak Yatim

Sekdes melakukan pemotongan atas beaiswa anak yatim yang telah dialokasikan di SD Silardo.

RTA bersama komite sekolah SD Silardo dan AP3 (Asosiasi Perempuan Peduli Pendidikan) membahas dan mendiskusikan kepada pihak Pemerintah. Hasilnya, pemotongan tersebut sudah tidak dilakukan lagi sejak 2008

YPSDI Masalah internal Komite Sekolah

Perbedaan pendapat dalam Komite sekolah

Perbedaan pendapat antara kepala sekolah dengan ketua komite sekolah di Kec. Ingin jaya. CO YPSDI memediasi pertemuan pihak yang berbeda pendapat.

Kasus dapat diselesikan. Mediasi penyelesaian kasus lebih banyak diperankan oleh CO YPSDI

Masalah internal Komite Sekolah

Kekurangan anggota komite sekolah di Ingin Jaya

Kekurangan (kuota) anggota komite sekolah di Ingin Jaya. CO YPSDI memfasilitasi pertemuan anggota komite sekolah dengan memperluas peserta lain dari masyarakat

Pertemuan menyepakati pemilihan anggota komite sekolah untuk menambah kekurangan kuota komite sekolah tersebut

FLOWER Masalah anggota kelompok dampingan

Korban obat tradisional

Penggunaan obat tradisional mengakbatkan seorang anggota masyarakat mendapati benjolan-benjolan pada tubuhnya. Untuk mencegah akibat lebih luas dari penggunaan obat tersebut, Flower membantu mendampingi sampai ke Rumah Sakit Provinsi di Banda Aceh

Pendampingan dilakukan oleh CO RTA sampai ke rumah sakit provinsi (Banda Aceh). Selain treatment untuk mengobati dapat diketahui, penyebab terjadinya benjolan juga dapat diketahui, sehingga dapat disebarluaskan ke masyarakat lain.

Masalah anggota kelompok dampingan

Korban obat tradisional

Seorang anggota masyarakat dampingan mengalami kekeriangan pada rahimnya akibat mengkOMSumsi obat tradisional di

Pendampingan dilakukan oleh CO RTA sampai ke rumah sakit. Selain treatment untuk mengobati dapat diketahui, penyebab juga dapat diketahui, sehingga dapat

Page 87: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

desa Pasi Tengoh. disebarluaskan ke masyarakat lain.

Masalah anggota kelompok dampingan

Akses pemasaran bagi kelompok dampingan

CO Flower mendampingi pengembangan usaha ekonomi kelompok di Desa Paya Penaga. Salah satu masalah utama adalah akses pemasaran untuk mendorong peningkatan produksi usaha

CO Flower terus memberikan dukungan dan motivasi untuk tetap berusaha lebih giat bagi upaya pemasaran masyarakat.

Masalah Internal kelompok dampingan

Perebutan Posisi Ketua Kelompok

Kelompok dampingan di Desa Paya Tengoh terjadi kericuhan akibat perebutan posisi ketua kelompok. Kedua personil yang bersiteru serta anggota lainnya didorong untuk melakukan rapat membahas persoalan tersebut.

Persoalan tersebut dapat diatasi dengan keputusan yang dibuat bersama. Kedua anggota yang bersiteru kemudian menjadi ketua dan bendahara kelompok

Masalah anggota kelompok dampingan

Korban KDRT CO Flower mendampingi korban KDRT di Desa Kampong, Ujong Kalak dan Simpang Kabe. Pendampingan yang dilakukan pada upaya pemulihan mental korban

Pendampingan yang dilakukan Flower lebih kepada media konsultasi bagi korban untuk mengambil langkah-langkah dalam penyelesaian masalahnya

MASIF Masalah anggota kelompok dampingan

Biaya operasional PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)

Salah satu kelompok dampingan yang bekerja pada isu pendidikan menginisiasi pembentukan PAUD. Masif memberikan kontribusi bagi inisitif tersebut dan kemudian memediasi perijinan dan upaya pengadaan dana operasional dari pemerintah melalui APBK

PAUD seroja telah aktif, alokasi dana operasional PAUD dijanjikan Dinas Pendidikan akan diagendakan dalam APBK 2009

Masalah di Desa Suak

Pemindahan Sekolah Dasar di Desa Suak.

Pemda merencanakan pemindahan gedung lokasi SD di Suak. Letak yang jauh dari tempat masyarakat, mengakibatkan terjadinya penolakan atas pembongkaran sekolah tersebut.

Dari proses ini, belum pada tingkat penyelesaian maslah .

Masalah di Desa Babah Dua

Pemindahan Sekolah Menengah Pertama di Babah Dua.

Masyarakat memandang bahwa sekolah darurat lebih mudah dijangkau dan dekat dengan lokasi masyarakat tinggal, jika dibandingkan dengan sekolah baru. CO Masif memfasilitasi masyarakat bertemu dan berdialog dengan Dispen dan DPRK Aceh Jaya.

Dinas pendidikan merespon positif, dimana kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung sampai tersedianya moda transportasi yang memudahkan murid ke lokasi sekolah yang baru, sehingga proses yang terjadi, belum pada tingkat penyelesaian masalah

Masalah di Desa

Pendirian Sekolah Dasar

Masyarakat Babah Nipah membutuhkan Sekolah Dasar

CO Masif bersama kelompok dampingan di desa bersangkutan berdialog dengan Dinas

Page 88: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Babah Nipah

diwilayah setempat.

Pendidikan Aceh Jaya. Dinas Pendidikan memberikan respon positif dengan mengusulkan anggaran dana dari Provinsi untuk pembangunan Sekolah Dasar di Babah Nipah

Masalah di Desa Padang

Rekonstruksi Sekolah Dasar

Bangunan sekolah Dasar di Desa Padang belum sepenuhnya baik. Masyarakat memandang perlu adanya rekonstruksi bangunan Sekolah Dasar tersebut.

CO Masif bersama kelompok dampingan di Desa Padang melakukan dialog agar Dinas Pendidikan mengalokasikan anggaran rekonstruksi Sekolah Dasar di desa mereka. Dari proses ini, belum pada tingkat penyelesaian masalah .

Masalah di Desa Sawang

Penggusuran Gedung Sekolah Dasar

Masyarakat Desa Sawang berupaya mempertahakan agar Gedung Sekolah Dasar di wilayahnya tidak digusur akibat perluasan jalan.

CO Masif bersama masyarakat dampingan di Desa Swang melakukan dialog dengan DPRK dan Dinas Pendidikan. Dari dialog-dialog yang dilakukan, belum pada tingkat penyelesaian masalah

LPPM Masalah di Kecamatan Lhong.

Alokasi Dana Desa (ADG)

Masyarakat dampingan di desa-desa kecamatan Lhong kesulitan dalam menyusun Anggaran Dana Gampung (ADG) untuk perencanaan pembangunan desa .

CO LPPM memfasilitasi warga desa di Kecamatan Lhong dalam menyusun Alokasi Dana Desa (ADG) untuk diusulkan bagi perencanaan pembangunan gapong di Lhong

Masalah Kelompok Dampingan dengan Pihak lain

Relasi antara Kelompok Dampingan dengan Media Serambi yang kurang kohesif.

Pemberitaan yang dilakukan Serambi atas aktivitas kelompok dampingan berbuah kekecewaan bagi anggota kelompok tersebut. Debat kedua belah pihak mengakibatkan hubungan yang tidak kohesif.

LPPM memediasi pertemuan antara Serambi dengan anggota kelompok yang bersitegang. Pada akhirnya relasi ini kembali membaik, bahkan pihak Serambi memberikan ruang bagi kelompok tersebut untuk pemberitaan aktivitas-cerita sukses kerja kelompok dampingan tersebut

Masalah bagi kader kesehatan di Aceh Besar

Insentif bagi kader kesehatan

Insentif bagi kader kesehatan di Aceh Besar relatif kecil, yaitu Rp 5.000,- per hari. Persoalan ini didiskuikan oleh kelompok dampingan LPPM untuk kemudian diadvokasi ke Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar.

Advokasi yang dilakukan oleh LPPM bersama kelompok dampingannya membuahkan hasil, dimana terdapat kenaikan insentif bagi kader kesehatan menjadi Rp. 15.000,- per hari. Anggaran tersebut dialokasikan dalam APBK 2008

Maslah yang dihadapi Kelompok perempua

Alokasi anggaran untuk pemberdayaan perempuan

Dukungan pemerintah bagi upaya pemberdayaan perempuan di Desa relatif rendah. Karena diusulkan agar dukungan berupa alokasi anggaran pemberdayaan perempuan di desa

LPPM bersama kelompok dampingannya melakukan dialog dengan pihak legislatif, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa agar mengalokasikan dana bagi upaya pemberdayaan perempuan di desa. Dari

Page 89: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

n di Aceh Besar

diadakan rangkaian pertemuan, APBK 2008 telah mangalokasikan post pembiayaan tersebut

DAUN Masalah bagi Masyarakat Pemilik kartu Askeskin di wilayah kerja

Pungutan Biaya pada Pasien Askeskin

Beberapa bidan desa melakukan pemungutan bagi pasien pemilik kartu Askeskin. Kasus ini kemudian didiskusikan dalam kelompok dampingan.

CO Daun bersama beberapa anggota kelompok dampingan melakukan pengaduan kepada Dinas Kesehatan Kab Singkil. Atas pengaduan praktik tersebut Dinas Kesehatan belum melakukan tindakan. Dengan demikian, proses ini belum pada tingkat penyelesaian masalah

Masalah di desa dampingan

Gizi buruk dan penderita tumor

Beberapa anggota masyarakat desa dampingan DAUN menderita tumor dan Gizi buruk. Kelompok dampingan dan Daun mendiskusikan tentang permasalaha ini untuk kemudian mendialog-kan dengan pihak terkait.

Hasil dialog kelompok dampingan dan Daun kepada Dinas Kesehatan belum dapat membantu penyelesaian masalah tersebut. Namun dari sisi kebijakan, aksi-aksi yang dilakukan berhasil mendorong lahirnya qanun standar pelayanan kesehatan di Kab Singkil

Masalah di desa dampingan

Waktu layanan Posyandu

Posyandu di kelompok dampingan DAUN tidak memberikan layanan kesehatan secara teratur. Ketika ada kebutuhan layanan, seringkali dalam kondisi tutup.

Persoalan menyangkut tempat layanan posyandi dibahas dalam diskusi CO DAUN dengan kelompok dampingan. Langkah dalog dengan pemberi layanan di Posyandu juga telah dilakukan. Namunhingga saat ini, belum sampai pada tingkat penyelesaian masalah .

Masalah di masyarakat Kecamatan Singkil Utara

Ketersediana obat KB di Puskesmas

Daun bersama kelompok dampingannya menemukan, menelusuri dan mendiskusikan kasus tersebut.

Persoalan ini belum sampai pada upaya advokasi oleh DAUN dan kelompok dampingannya. Dengan demikian belum sampai pada tingkat penyelesaian masalah

Masalah dari masyarakat dampingan

Ketidakadaan Posyandu

Posyandu merupakan kebutuhan layanan kesehatan yang paling mudah diakses oleh masyarakat desa. Salah satu desa dampingan DAUN tidak memiliki infrastruktur tersebut .

Dari dialog antara DAUN dan Dinas Kesehatan akhirnya berhasil melahirkan satu posyandu di salah satu desa dampingan DAUN

Masalah masyarakat di Kecamatan Pulau Banyak

Penyelesaian atas pemanfaatan Askeskin

Masyarakat Pulau Banyak ditemukan bahwa kepengurusan penggunaan Askeskin tidak berjalan dengan baik. Persoalan ini kemudian diidentifikasi dan didiskusikan dengan kelompok dampingan DAUN untuk kemudian

Mediasi yang dilakukan oleh DAUN dan kelompok dampingannya berhasil berkontribusi pada penyelesaian 5 kasus (dari 7 kasus) pemanfaatan Askeskin

Page 90: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

disampaikan kepada Dinas Kesehatan

PAPAN Masalah masyarakat Kecamatan Kawai XVI

Pemutusan Listrik oleh PLN

SMK 1 Kaway XVI terlambat dalam pembayaran iuran listri. Keterlambatan tersebut berakibat adanya pemutusan aliran listrik oleh PLN. Ketidakadaan aliran listrik berakibat pada beberapa kegiatan belajar-mengajar yang menggunakan energi listrik tidak bisa optimal dilakukan.

Papan bersama komite sekolah melakukan upaya dialog dengan pihak PLN untuk penyelesaian maslah tersebut. Hasil dari proses tersebut kemudian listrik sekolah kembali tersambung.

Masalah bagi kelompok dampingan

Pengelolaan keuangan Sekolah

Dalam pengelolan keuangan sekolah, komite sekolah membutuhkan pendampingan dalam proses penyusunan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) termasuk penyusunan laporan.

Staf Papan memberikan asistensi bagi komite sekolah dalam membuat perencanaan anggaran dan belanja sekolah serta penyusunan laporan penggunaan belanja sekolah

Masalah di Desa dampingan

Pembangunan Sekolah Dasar

Pembangunan gedung SD Gesau terbengkalai. Atas kondisi tersebut Komite sekolah di wilayah setempat melakukan advokasi agar pembangunan kembali berjalan.

Proses dialog yang dilakukan oleh kelompok masyarakat bersama Papan kepada Dinas Pendidikan belum berhasil mendorong kembali bekerjanya pembangunan gedung sekolah

Masalah sosial di Kabupaten Aceh Barat

Murid dan Guru berkeliaran pada saat jam pelajaran

Papan dan komite sekolah yang didampingi mengidentifikasi adanya indisipliner oleh siswa dan murid di Kab Aceh Barat. Menyikapi hal tersebut dilakukan advokasi mendorong regulasi yang menjawabnya.

CO Papan bersama komunitas dampingan melakukan beberapa langkah-langkah advokasi, diantaranya melakukan audiensi dengan Dinas Pendidikan. Dari aksi-aksinya kemudian menghasilkan Peraturan Bupati No. 421.3/44/2008 tentang pengaturan siswa dan guru yang berkeliaran pada jam pelajaran akan mendapat sanksi.

MATARADJA Masalah di desa dampingan

Pengandaan listrik desa

Listrik di Desa Curik sudah sejak masa DOM (Daerah Operasi Militer) telah direncanakan ada. Tiang penyangga kabel listrik telah tersedia, namun pengaliran listrik belum tersedia.

CO Mataradja bersama masyarakat setempat membentuk tim advokasi desa. Tim ini kemudian memperluas dukungan dengan 4 desa lainnya untuk berdialog dengan PLN Calang dan BRR Distrik Aceh Jaya. Saat ini kasus tersebut telah terselesaiakan dengan ditandai sudah adanya listrik di desa tersebut

Masalah di desa dampingan

Ketersediaan sarana jalan desa

Desa Curik merupakan wilayah yang terletak jauh dari badan jalan kabuaten. Jalan wilayah tersebut sangat rusak. Tim advogasi desa yang telah dibentuk melakukan advokasi

CO Mataradja bersama tim advokasi desa melakukan dialog dengan pihak pemerintah untuk upaya perbaikan jalan tersebut. Aksi-aksi yang dilakukan belum berbuah

Page 91: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

untuk perbaikan jalan tersebut. terperbaikinya jalan bersangkutan

Masalah di desa dampingan

Polindes tidak berfungsi

Polindes dan kader pengelola polindes di Desa Keude Krueng Sabee tidak berfungsi.

CO Mataradja bersama kelompok dampingan ‘mengangkat isu tersebut untuk diperhatikan oleh pemerintah desa dan dinas kesehatan. Atas hasil usaha tersebut, secara bertahap kader dan pengelolaan polindes mulai berjalan

Masalah di desa dampingan

Jalan desa yang rusak

Desa Nusa, Kecamatan Lamno mengalami kerusakan jalan. Pada satu sisi, Mataradja juga melakukan upaya advokasi kebijakan tentang pengaduan dan penyelesaian masalah masyarakat

Unit pengaduan masyarakat yang telah terbentuk menjadi media bagi masyarakat Desa Dua dalam membahas masalah jalan rusak

Masalah di desa dampingan

Pembangunan Gedung yang terbengkalai

Pembangunan bangunan dan pagar MIN di Teunom tidak berjalan akibat ditinggalkan oleh kontraktor.

Masyarakat dampingan dan CO mataradja memabahas persoalan tersebut. Kasus tersebut kemudian disampaikan kepada pemerintah desa dan dinas pendidikan. Penyelesaian proses pembangunan MIN saat ini belum kembali mulai

Masalah internal kelompok dampingan

Penjualan Aset desa

Tanah milik desa dampingan dipandang strategis oleh pihak militer untuk dikelola institusi tersebut. Menyikapi hal tersebut CO Mataradja turut membantu memediasi negosiasi penjualan tersebut.

CO Matardja melakukan pendampingan atas proses transaksi penjualan tersebut dengan pihak Militer di Pantero. Sekaligus juga mendiskusikan menyangkut penggunaan dana milik desa tersebut.

PUGAR Masalah di desa dampingan

Pungutan Biaya Bersalin bagi pengguna kartu Askeskin

Desa-desa dampingan Pugar ditemukan masih terjadinya pungutan biaya bersalain bagi masyarakat yang menggunakan kartu Askeskin.

CO Pugar bersama kelompok dampingannya mendiskusikan persoalan tersebut, serta membahasnya pula dengan pihak pemerintah desa dan pihak pemberi layanan persalinan. Persoalan tersebut belum berhasil diselesaikan hingga tidak terjadinya penarikan pembiayaan persalianan bagi pengguna Askeskin.

Masalah di Desa dampingan

Ketiadaan dana BOS

Dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh kelompok dampingan di Desa Lamreh, ditemukan dana BOS tidak terdistribusi di desa tersebut.

Setelah advokasi yang dilakukan oleh kelompok dampingan bersama CO Mataradja, dana BOS didistribusikan sebesar Rp. 15.000,- per murid.

Masalah di desa dampingan

Ketidak mampuan dalam

Pemerintah Desa Lambaro Najib tidak memahami proses pembuatan RPJMG dan APBG. Anggoa kelompok

Fasilitasi dari anggota kelompok danpingan Pugar di Desa Lambaro Najib berhasil membantu penyusunan RPJMG dan APBG

Page 92: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

pembuatan RPJMG dan APBG

dampingan Pugar yang paham setelah didampingi Pugar mencoba membantu.

Desa Lambaro Najib.

Masalah di tingkat Kabupaten

Insentif Kader Kesehatan

Kelompok dampingan Pugar mengidentifikasi persoalan menyangkut insentif bagi kader kesehatan di desa. Ditemukan bahwa insentif yang diberikan terlalu kecil, yaitu Rp. 5.000,-

Anggota kelompok dampingan Pugar melakukan langkah-langkah advokasi ke Pemda Aceh Besar, hasilnya kemudian insentif menjadi Rp. 15.000,- per hari

Masalah di desa-desa dampingan

Proses Pelaksanaan Musrenbang

Musrenbang di desa-desa dampingan Pugar semula merupakan pertemuan formalitas tanpa menekankan pada urgensi partisipasi warga dalam proses

Anggota kelompok dampingan Pugar memfasilitasi beberapa desa di Aceh Besar dalam pelaksaaan MUSREMBANG yang lebih demokratis, seperti: di Lamgurun, Lambada Lhok, Lam Asan, Desa Baro dan lamreh,

Masalah di desa-desa dampingan

Pencairan dana BOS

Dana BOS di desa-desa dampingan Pugar diidentifikasi dan ditemukan tidak mencairkan dana BOS.

Kelompok dampingan dan CO Pugar melakukan advokasi kepada Dinas Pendidikan terkait dengan penundaan pencairan dana bos. Advokasi ini berhasil membuat Dinas Pendidikan mencairkan dana BOS di komunitas dampingan tersebut.

Masalah di desa dampingan

Penggantian biaya yang dikeluarkan Bidan Desa

Bidan-bidan desa di wilayah dampingan Pugar mengeluarkan biaya pribadinya untuk membantu pasien dalam proses persalinan.

Kelompok dampingan dan CO Pugar melakukan advokasi kepada Dinas Kesehatan untuk mengganti biaya yang dikeluarkan bidan desa dalam membantu proses persalinan. Advokasi ini berhasil membuat Dinas Kesehatan mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan bidan. Proses ini kemudian diikuti oleh desa lain.

BIMA Masalah di desa dampingan

Pengadaan prasarana jalan dan moda transportasi siswa

Kelompok dampingan Bima mengidentifikasi persoalan masyarakat di Desa Alue Iet serta Desa Iet. Persoalan utama yang dihadapi Desa Iet adalah jalan Desa yang buruk serta tidak adanya penerang jalan. Sementara di Desa Iet sangat krusial kebutuhan moda transportasi bagi siswa menuju sekolah

CO Pugar mendampingi advokasi kelompok dampingannya untuk penanganan jalan dan lampu penerang jalan di Desa Alue Iet, serta dukungan transportasi bagi siswa di Desa Iet kepada Pemda kabupaten Aceh Besar. Usulan tersebut akhirnya dapat diatasi dan didukung

Page 93: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Masalah di desa dampingan

Penyelewengan dana BOS

Kepala Sekolah SDN 1 Peusangan Selatan melakukan penyelewengan dana BOS. Perosalan ini didiskusikan dalam kelompok .

Kelompok dampingan bersama CO Bima melakukan advokasi atas kasus tersebut. Kasus tersebut berhasil di bongkar selesaiakan .

Masalah di desa dampingan

Pembangunan Gedung Sekolah MIS

Gedung sekolah MIS di Desa Alue Limeng masih kurang untuk menampung siswa-siswi belajar. Hal itu menyebabkan sebagian siswa-siswi belajar dihalaman sekolah. Menyikapi hal tersebut Bima dan kelompok dampingan bermusyawarah dan memperluas pertemuan dengan warga setempat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Akitivitas yang dilakukan Bima dan Kelompok dampingannya berhasil menumbuhkan swadaya masyarakat dalam membangun sekolah MIS (Madrasah Ibtidaiyah Swasta) yang bangunan awalnya sudah tidak layak pakai. Berdasarkan kesepakatan warga dalam pertemuan-pertemuan yang difasilitasi BIMA masyarakat sepakat untuk secara swadaya membangun gedung sekolah itu dengan ketentuan menyumbang Rp. 50.000 per wali murid sebagai sumbangan wajib dan sumbangan sukarela seikhlasnya. Masyarakat juga menyumbang in-kind sebagai sumbangan sukarela, diantaranya satu batang kelapa, pasir satu truck, 1 lembar papan dan sebagainya. Sampai saat ini sumbangan tunai yang terkumpul di rekening panitia sebesar ± Rp. 2.500.000, diluar sumbangan in-kind,

Masalah di desa dampingan

Pembangunan gedung MIS

Gedung sekolah MIS di Desa Alue Limeng masih kurang untuk menampung siswa-siswi belajar. Hal itu menyebabkan sebagian siswa-siswi belajar dihalaman sekolah. Selain mendorong keswadayaan warga, dipandang penting juga membangun relasi dan dukungan dari pihak lain.

Lobby dan negosiasi oleh Bima dan Kelompok dampingan kepada pihak pengelola P2DTK, berhasil memperoleh dukungan dana tambahan untuk pembangunan MIS tersebut.

Masalah di desa dampingan

Tingginya harga pakaian olah raga

Warga Desa Simpang Jaya mengeluh atas mahalnya baju olahraga siswa-siswi. Persoalan ini kemudian dibahas dalam kelompok dampinag Bima.

Bima dan kelompok dampingannya berhasil memediasi pihak sekolah dengan warga Desa Simpang Jaya mengenai pengadaan baju olahraga yang harganya mahal. Kedua pihak bersepakat prosentase biaya yang diusulkan warga yang tidak memberatkan

PASKA Masalah di desa dampingan

Penanganan Penyakit Jantung

Salah seorang warga desa menderita penyakit jantung. Penderita penyakit jantung tersebut merupakan anggota masyarakat berkategori miskin. Paska dan anggota dampingannya berusaha untuk membantu kemudah proses pengurusan serta pembiayaan dalam pengobatannya.

Paska dan anggota kelompok dampingannya melakukan proses advokasi yang cukup panjang. Mulai lobby kepada PT. Askeskin, RS Kabupaten, RS Provinsi, dan RS Cipto Mangunsubroto di Jakarta. Lembaga ini juga berhasil melakukan fundraising dari beberapa lembaga dan pemda untuk tambahan pengobatan yang tidak ditanggung oleh askeskin

Page 94: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

PERAK Masalah di desa dampingan

Kesalahan pada isian KTP

Hasil identifikasi CO dan kelompok dampingan Perak, ditemukan bahwa KTP yang dikeluarkan pemerintah Pidie terdapat kekeliruan pengisian identitas. Identitas banyak warga ditemui memiliki kesalahan, baik kesalahan tanggal lahir, nama maupun jenis kelamin.

CO Perak bersama kelompok dampingannya berhasil mengangkat kasus tersebut ke media dan menyampaikan kepada Pemkab Pidie. Upaya tersebut berhasil merevisi identitas-identitas warga yang salah.

YPK Masalah di desa dampingan

Tapal batas di Desa

Pemerintah Desa Lek-Lek dan Desa Baro Kecamatan Panton mengalami perbedaan pendapat atas batas wilayah kedua Desa tersebut. Persoalan ini kemudian didiskusikan oleh kelompok dampingan untuk proses penyelesaiannya.

CO YPK berhasil memfasilitasi beberapa persoalan di komunitas menyangkut penyelesaian masalah tapal batas di Desa Lek-Lek dan Desa Baro Kecamatan Panton Reue, mengadvokasi kasus ketrelambatan pembayaran gaji keuchik di lokasi dampingan

CO YPK dan anggota kelompok dampingannya memfasilitasi dua komunitas (pemerintah Desa dan masyarakat) untuk membahasnya. Hasilnya, disepakati bersama batas-batas Desa tersebut.

Masalah di desa dampingan

Keterlambatan gaji Keuchik

Pembayaran gaji Keuchik di Desa Lek-Lek dan Desa Baru selalu mengalami keterlambatan. Hal ini teridentifikasi ketika kedua pemerintahan Desa tersebut dimediasi oleh YPK

CO YPK dan anggota kelompok dampingan kemudian membicarakan persoalan tersebut ke Pemkab Aceh Barat. Dari proses tersebut hingga saat ini belum terjadi adanya perubahan atas keterlambatan waktu pembayaran gaji Keuchik.

Rahasia Sukses I Belajar dari Hasil Kerja

Orang bijak adalah orang yang pandai menarik pembelajaran dari apa yang telah dilakukan oleh dirinya atau orang lain sebelumnya. Menjadi pilihan cerdas jika sukses langkah yang ditekuni OMS mitra kerja dalam melakukan advokasi kebijakan ditari k beberapa benang merah. Hal ini akan mendorong bagi pihak lain melakukan hal tidak mulai dari awal kembali. Bergerak lebih cepat maju.

Pelaksanaan advokasi yang dilakukan oleh mitra Kabupaten tidak sepenuhnya hingga pada proses pengesahan atas kebijakan yang diusung. Karena hal itu proses politik yang dilalui sarat dari berbagai

Page 95: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

kepentingan politik. Sukses atau tidak suksesnya mitra pada sisi itu, paling tidak pembelajaran yang dapat dipetik diantaranya;

Pendekatani informal penunjang utama pendekatan formal. Proses loby dan negosiasi yang dilakukan oleh OMS mitra menggunakan seluruh media formal, seperti musrenbang,hearing, konsultasi public dll. Namun tidak kalah penting proses informal yang dilakukan melalui media yang mudah dapat dijangkau dan mudah direspon . Pendekatan silaturahmi, sms serta pelibatan para pihak dalam aktivitas yang dilalui adalah cara yang digunakan. Hubungan emosi yang sudah dibangun dengan cara tersebut sangat memudahkan bagi actor-aktor pembuat kebiakan menerima pandangan/masukan yang disampaikan OMS mitra kabupaten.

Pemanfaatan hubungan Kekerabatan. Level kabupaten di Aceh, merupakan lingkup kerja yang tidak terlalu luas. Relasi antar actor pemerintah maupun masyarakat sipil didalamnya kerap terhubung. Baik terhuug akibat hubungan darah, keturunan, latar belakang asal gampong dll. Listing atas relasi yang bias dibangun dengan pembuata kebijakan dilakukan dengan kedekatan relasi tersebut. Proses transformasi maupun penyelarasan cara pandang dapat dilakukan ketika sekat block/resistensi telah sirna.

Show force atas kapasitas dan muatan argumentasi gagasan yang ditawarkan. Peningkatan kapasitas OMS dapat meniningkatkan daya terima stakeholder kunci (pihak luar seperti pemerintah dan DPRD). Pengambil kebijakan semakin percaya dan menerima usulan OMS karena kecerdasan (kapasitas) OMS dalam menganalisis, mencari solusi dan menawarkan ide-ide mereka. Gagasan nan indah terurai namun tidak terdokumentasi secara baik, akan berakibat kesan positif dan membantu muncul dari pemangku kebijakan yang dituju.

Optimalisasi reputasi aktor dalam sebuah lembaga. Perubahan seringkali dibangun atas nama actor, demikian pula kelembagaan OMS, kerap kali personifikasi actor didalmnya meng up grade posisi tawar organisasi bersangkutan. Aktor-aktor kunci dalam lambag dalam pengalaman kerja Ancors sering kali di angkat untuk digunakan. Bahkan beberapa diantara kerja-kerja Ancor juga menciptakan actor-aktor batu.

Mencuri minat untuk meraih dukungan. Keaktifan keterlibatan masyarakat untuk isu advokasi ini ditentukan oleh tingkat kepentingan dari masyarakat. Bila isu tersebut beririsan langsung dengan kepentingan masyarakat maka keterlibatan masyarakat ini sangat besar. Namun jika kurang beririsan langsung, masyarakan enggan untuk terlibat. Demikian pula dengan minat dan ketertarikan actor pengambil keputusan. Argumentasi bagi hal yang dapat menarik minat dan kepentingannya actor bersangkuan dapat mencuri perhatian/dukungan.

Belajar, Bekerja Keras, Kreatif serta Sabar. Menjadi kunci sukses ketika tantangan semakin mendekat dan tebal membentang. Tantangan dalam menebar gagasan, merangsek perubahan kebijakan tidaklah hanya mengahdapi pihak penguasa, namun juga akan berhubungan dengan bangunan konsolidasi tim, dukungan luas yang teraih.

*****

Page 96: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Bab 6Menghadapi Tantangan, Menjaga Vitalitas dan Merawat Keberlanjutan

Modal sosial dan kepadatan asosiasional merupakan kekayaan paling berharga yang dimiliki oleh negeri dan masyarakat Indonesia. Organisasi, asosiasi, forum, ruang publik, komunitas maupun jaringan sosial tumbuh dimana-mana, sebagai wadah untuk saling tolong menolong, belajar bersama dan juga tempat untuk menyampaikan artikulasi politik. Pemulihan Aceh pascastunami juga disokong oleh kekuatan jaringan sosial baik yang

Page 97: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

berskala lokal, nasional dan bahkan internasional. Komunitas dan ruang-ruang publik yang cair, termasuk yang terjadi di kedai kopi, selalu hidup secara berkelanjutan sebagai ajang untuk membicarakan banyak hal, termasuk melihat dan membicarakan pemerintah. Kedai-kedai kopi di kampung Aceh biasa digunakan warga sebagai tempat untuk ngobrol berjam-jam, membicarakan berbagai persoalan layanan publik baik dana BOS, polindes, puskesmas, jalan, listrik dan seterusnya.

Komunitas yang hidup dan bergairah itu selalu diyakini oleh sejumlah ilmuwan (mulai dari Tocqueville, Habermas, Robert Putnam sampai dengan Francis Fukuyama) sebagai fondasi masyarakat yang baik, juga fondasi bagi demokrasi. Kalau kita belajar pada karya besar Tocquiville, Demoracy in America, kita bisa memperoleh pemahaman bahwa kokohnya demokrasi di Amerika bukan semata-mata karena sistem kepartaian dan pemilunya yang selalu menjadi tontonan dan referensi dunia, tetapi karena mempunyai fondasi pada seni asosiasi dan komunitas-komunitas lokal. Pandangan senada juga pernah disampaikan oleh Hans Antlov (2004) ketika dia menilai demokrasi di Indonesia:

“Orang-orang desa harus merebut kembali arena politiknya, tempat bersaing secara sehat untuk berkuasa dan menelusuri hidupnya sesuai dengan jalan yang dipilihnya. Kalau ini terjadi, pengaruhnya bukan hanya di pedesaan. Apabila warga masyarakat (civil society) hanya terdiri dari para intelektual dari UI, UGM atau ITB, sesungguhnya itu adalah warga masyarakat yang payah. Apa yang dibutuhkan untuk suatu demokrasi yang kokoh adalah gerakan sosial, organisasi-organisasi berbasis massa dan berbasis komunitas serta pemimpin lokal sejati dengan ikatan serta memiliki tanggungjawab terhadap rakyat akar rumput. Ini hanya dapat dicapai melalui komunitas yang hidup”

Uraian di atas sebenarnya memberikan pesan tentang vitalitas dan makna masyarakat sipil. Jika bisa dibuat sebuah gradasi, masyarakat sipil membentang dari komunitas-komunitas kecil yang hidup, jaringan sosial, asosiasi sipil, organisasi sosial dan gerakan sosial. Di Indonesia, semua ini tumbuh dengan subur. Bahkan bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat kaya akan organisasi sosial, atau jika meminjam bahasa Robert Putnam (1993 dan 2000), memiliki kepadatan asosiasional yang tinggi. Kekayaan organisasi sosial ini sudah tumbuh lama yang mungkin tidak mempunyai relevansi langsung dengan demokratisasi, tetapi sebagai arena untuk self help karena ketidakcukupan kapasitas negara melayani warga.

Meskipun masyarakat sipil dengan berbagai gradasi itu tumbuh subur, tetapi semuanya tidak luput dari masalah dan tantangan. Sekalipun komunitas-komunitas selalu hidup di setiap tempat secara mandiri tanpa harus diorganisir secara rapi dan tanpa perlu logistik, tetapi warga selalu menghadapi kemacetan, bagaimana mengartikulasikan dan memperjuangkan hasil obrolan mereka kepada pihak yang berwajib. Sejumlah 14 OMS di Aceh memahami betul kondisi ini, yang membuat mereka bukan sebagai hero yang memperjuangkan sendiri aspirasi lokal, tetapi mereka menemani komunitas-komunitas lokal menyampaikan aspirasi kepada pihak berwajib. Di antara OMS juga memperkuat

Page 98: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

jaringan-aliansi kader-aktivis lokal yang secara mandiri menyampaikan tuntutan perbaikan pelayanan publik kepada pemerintah.

Tantangan dan masalah menjadi lebih kompleks kalau sudah masuk ke ranah organisasi dan gerakan sosial. Di negeri ini, di setiap tempat, terdapat begitu banyak papan nama organisasi. Ada banyak organisasi tetapi tidak berorganisasi. Sebagai contoh, di daerah terdapat kantor-kantor wilayah atau cabang NU yang memiliki banyak papan nama, termasuk PW NU, ANSOR, Fathayat NU, IPNU dan seterusnya. Kantor ini terlihat sepi, organisasi ini tidak menjalankan aktivitas sehari-hari, kecuali kalau tengah merayarakan Muktamar atau kalau ada perhelatan politik lokal atau nasional. Pengalaman serupa sebenarnya juga dialami oleh ormas-ormas lain, yang baru menampakkan sebagai organisasi kalau punya gawe besar memilih siapa ketua umum organisasi itu.

Tantangan kompleks yang lain juga dialami oleh NGOs, sebuah organisasi nonpemerintah yang berposisi sebagai resources center bagi gerakan sosial. Jika komunitas cair bisa hidup berkelanjutan tanpa pengorganisasian dan logistik, bila organisasi massa mengandalkan basis massa yang besar, sementara NGOs harus mengelola banyak sumberdaya (manajemen organisasi, manusia, pengetahuan, informasi, dana, jaringan dan seterusnya) meskipun ia hanya sebagai organisasi yang kecil. Setiap NGOs selalu menghadapi tantangan keberlanjutan baik secara organisasional, gerakan dan yang lebih konkret adalah pendanaan. Dari sisi gerakan, setiap NGOs menyadari akan risiko membangun istana pasir, sebuah capaian yang tidak mungkin bisa tinggi dan kokoh, yang gampang longsor dan berakhir begitu saja.

Pengalaman can tantangan yang sama sebenarnya dihadapi oleh OMS di Aceh beserta ACNORS yang telah melakukan investasi selama 2-3 tahun terakhir. Waktu dua tahun memang belum cukup untuk memetik buah perubahan yang berkelanjutan: tata pemerintahan lokal yang demokratis dan kesejahteraan rakyat. Memetik buah adalah tantangan besar yang sangat tergantung pada keberlanjutan dari benih yang telah ditabur dan bunga yang telah berbiak selama 2 tahun terakhir. OMS tentu juga menghadapi tantangan baik secara internal maupun eksternal, termasuk tantangan merawat keberlanjutan gerakan, institusional dan pendanaan.

Sejumlah Tantangan

Tantangan konsistensi memilih dan memperkuat posisi dan peran OMS, terutama posisi OMS di antara masyarakat dan pemerintah daerah. Secara etis dan teoretis, OMS mengambil posisi dan menjalankan beberapa peran. Pertama, peran pembela (advokator): yakni membela warga masyarakat yang dirugikan oleh pemerintah, sekaligus memperjuangkan warga untuk memperoleh atau merebut hak-haknya yang telah dirampas. Kedua, peran katalisator: menebarkan ide-ide perubahan, mendidik dan mengorganisir rakyat dan mendorong perubahan kebijakan. Ketiga, peran fasilitator: yang menjembatani,

Page 99: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

menghubungkan dan memudahkan proses dialog komunikatif antara masyarakat dengan pemerintah daerah.

Karena itu peran OMS sebenarnya tidak setiap hari melayani masyarakat, misalnya mendidik, melatih dan mendampingi masyarakat untuk meningkatkan berbagai keterampilan teknis (bercocok tanam, menjahit, mengetik, berdagang dan seterusnya) atau merawat bayi, ibu hamil dan lansia. Di India, dulu banyak NGOs yang mendirikan sekolah dan poliklinik untuk menolong rakyat miskin; ada juga yang setiap hari bekerja menolong bayi-bayi yang dibuang di pinggir sungai. Tetapi lama kelamaan mereka sadar dan bertanya, kenapa setiap hari ada bayi yang dibuang di pinggir sungai? Dari pengalaman ini setidaknya memunculkan dua pertanyaan. Pertama, si pembuang bayi tahu betul bahwa bayi yang dibuangnya bakal ditolong dan dirawat orang, sehingga mereka bergantung pada dewa-dewa penolong seperti NGOs. Kedua, pembuangan bayi sebenarnya hanya merupakan akibat, tentu ada sebab-sebab lebih besar yang menimbulkan mengapa setiap hari ada pembuangan bayi. Dari pelajaran ini, kalangan NGOs melakukan pembaruan strategi advokasi, yang tidak hanya menolong bayi, tetapi berupaya melawan ketimpangan struktural yang menyebabkan pembuangan bayi.

Jika NGOs berperan melayani masyarakat secara terus-menerus hal itu menciptakan ketergantungan masyarakat pada NGOs. Menolong orang miskin tentu merupakan pekerjaan yang mulia, tetapi hal itu bisa juga keliru sebab peran itu sebenarnya mengambil alih pemerintah. Pemerintah adalah institusi utama yang bertanggungjawab menolong orang miskin dan melayani masyarakat. Jika NGOs terus-menerus melayani masyarakat justru akan menumpulkan tanggungjawab pemerintah. Karena itu sebenarnya tugas masyarakat bukan mengambil alih peran pemerintah dan menolong masyarakat, tetapi mendorong masyarakat agar mereka yang menuntut kepada pemerintah dan kemudian pemerintah lebih responsif dan aktif melayani masyarakat.

Peran NGOs juga bukan membantu pemerintah, bukan juga mengatur pemerintah. Ini adalah dua peran yang kontras. Banyak NGOs yang kelebihan energi, mengklaim dirinya mempunyai banyak kemampuan, sehingga berupaya mengatur pemerintah dengan cara mengatakan: pemerintah seharusnya begini dan begitu. Sebaliknya tidak jarang NGOs yang memainkan peran membantu pemerintah, entah sebagai “LSM Plat Merah” atau sebagai service provider. Jika NGOs menjalankan peran service provider sebenarnya sangat sah dan tidak menjadi persoalan, jika yang bersangkutan melakukan perubahan organisasi dari “gerakan sosial” menjadi “bisnis sosial”. Tetapi kalau NGOs mengklaim dirinya sebagai basis gerakan sosial, sementara dia menjalankan peran service provider, maka hal ini akan menggerus idealisme dan legitimasi mereka.

Tantangan pengarusutamaan gender dalam institusi maupun advokasi. Arus utama gender baru sebatas wacana dan hanya diukur dari aspek representasi secara nominal-kuantitatif. Sekalipun program ANCORS mendorong adpasi pendekatan yang adil gender namun ukuran pencapaian dan keberhasilannya hanya dilihat dari keikutsertaan perempuan dalam

Page 100: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

kelompok atau forum. Program belum mendorong upaya yang lebih strategis, terutama dimensi akses dan kontrol, yang menempatkan suara perempuan sebagai suara yang patut diperhitungkan dalam advokasi kebijakan. Kesetaraan gender baru diukur dengan jumlah anggota perempuan tetapi belum mengungkapkan bagaimana peran perempuan dalam ranah publik dan tindakan advokasi kebijakan. Program tidak mengungkapkan keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan dalam kegiatan-kegiatan advokasi dan hanya menampilkan kasus-kasus contoh yang sangat spesifik dan lokal untuk menunjukkan adanya perempuan yang merupakan anomali dalam kegiatan tersebut. OMS mitra sendiri mengungkapkan bahwa mereka memasukkan perempuan sebagai sasaran maupun anggota kelompok dan staf karena ada tuntutan dari donor untuk memastikan isu ini dimasukkan dalam kegiatan program. Pelatihan penyadaran gender belum memastikan internalisasi kesadaran pentingnya merumuskan kegiatan program yang sungguh-sungguh berupaya mendorong kesetaraan dan keadilan gender. Bahkan rumusan draft rancangan qanun maupun kebijakan lain yang dibuat oleh OMS tidak serta merta mencerminkan rumusan yang sensitif gender.

Tantangan membuat keseimbangan antara aktivisme, intelektualisme dan managerialisme sebagai tiga komponen yang memperkuat institusi dan gerakan. Aktivisme berarti semangat atau militansi untuk aktif bergerak memperjuangkan atau menyuarakan hak-hak rakyat, dengan cara membikin noise, atau memobilisasi aksi kolektif massa. Intelektualisme adalah tradisi mencari dan menebarkan pengetahuan, melalui membaca, meneliti, menulis dan diskusi seperti biasa dilakukan oleh kaum intelektual atau akademisi. Managerialisme adalah seni mengelola sumberdaya (manusia, dana, perlengkapan) melalui mekanisme kelembagaan yang visioner, profesional, transparan dan akuntabel.

Tradisi lama OMS adalah semata-mata menggeluti aktivisme, tanpa memperhatikan aspek intelektualisme dan managerialisme. Kalau hanya mempunyai spirit aktivisme maka organisasi akan lumpuh, kalau hanya menggeluti intelektualisme berarti elitis seperti lembaga penelitian, dan kalau hanya managerialisme berarti bukan OMS tetapi perusahaan yang hanya mencari untung. Sementara kalau hanya mengutamakan aktivisme dan intelektualisme tanpa memperhatikan managerialisme, maka OMS itu hanya seperti kedai kecil yang sulit berkembang menjadi institusi yang kuat. Jika OMS pengin kuat, maka harus ada keseimbangan untuk mengembangkan tiga spirit itu. Keseimbangan itu diwujudkan dengan kerja-kerja organisasi kelembagaan (managerialisme), kerja-kerja teknokratis mengelola manajemen pengetahuan (intelektaualisme) dan kerja-kerja pendidikan, pengorganisasian dan advokasi (aktivisme).

Tantangan perluasan dan pembesaran (scaling up) dan adaptasi secara luas. Secara umum hampir semua kegiatan OMS mitra berada dalam skala terbatas dan hanya melingkupi wilayah tertentu. Keberhasilan di satu lokasi dampingan tidak dengan sendirinya mendorong terjadinya adaptasi maupun pengulangan pembelajaran di lokasi yang lain secara mandiri. Bahkan keterlibatan aktor pembuat kebijakan belum menjamin terjadinya

Page 101: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

replikasi pendekatan dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian dampak perubahan di tingkat yang lebih besar dan berkesinambungan sulit untuk diukur.

Tantangan membangun dan menggunakan aliansi secara efektif. Hampir semua OMS didorong untuk membentuk aliansi ataupun jaringan yang kemudian diterjemahkan secara harfiah untuk membentuk jaringan baru. Karena kerja advokasi bukan kerja yang dapat dilihat dampaknya dalam waktu singkat dan keberhasilannya tergantung dari banyak faktor yang saling terkait bahkan multi-dimensi, jejaring dapat dilakukan tidak hanya melalui pembentukan jaringan baru tapi bagaimana menggunakan jaringan yang ada dengan efektif.

Tantangan tentang dampak perubahan di tingkat kebijakan: masih terlalu dini untuk melihat apakah ada perubahan signifikan di tingkat pembuat kebijakan. Kegiatan program ANCORS baru mendorong peningkatan kapasitas OMS untuk membantu merumuskan draft rancangan kebijakan. Namun dengan dinamika politik dan pergantian personel di lembaga birokrasi serta tingkat dukungan dan komitmen pembuat kebijakan belum dapat dilihat sejauh mana kebijakan yang dihasilkan membawa perubahan terhadap mutu pelayanan publik. Selain itu masih sulit diukur apakah draft yang dihasilkan sudah mencapai kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai sebuah peraturan yang mengatur tata hidup masyarakat dan kewajiban pemerintah.

Tantangan institusionalisasi perubahan: munculnya chmapions secara individual belum mencerminkan perubahan kelembagaan (institusional). Harus disadari bahwa program ANCORS memunculkan individu-individu yang menunjukkan perubahan cara berpikir mengenai persoalan yang diangkat, namun pada umumnya baru sebatas perorangan dan belum terinternalisasi menjadi agen perubahan yang mendorong terjadinya perubahan pola pikir maupun cara pandang secara kelembagaan. Sehingga sulit untuk diukur apakah pergantian individu dalam posisi kelembagaan akan tetap menjaga komitmen perubahan kebijakan, terlebih memastikan bahwa perubahan kebijakan dapat dikawal hingga pelaksanaan dan pengawasan.

Tantangan high turn over yang menghambat kinerja dan institusionalisasi. Tingginya pergantian di pihak lembaga OMS sendiri maupun lembaga kebijakan dan pemerintah yang menjadi target advokasi OMS menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menjaga kelangsungan kerja maupun agenda perubahan yang ditawarkan. Pergantian personel akan memperlambat pencapaian agenda dan akan diperlukan orientasi serta pendekatan baru untuk memastikan personel yang baru memahami agenda yang diusung.

Tantangan perubahan strategi: dari konfrontasi (melawan) ke engagement (berkawan) menuju strategi reklaim (merebut) jabatan-jabatan publik. Saat ini perubahan strategi ini tengah menjadi bahan perdebatan dan secara empirik menjadi trend di Indonesia. Banyak organisasi gerakan sosial mengubah dirinya menjadi organisasi partai politik. Banyak aktivis gerakan sosial melakukan gerakan politik menjadi kepala daerah atau anggota parlemen. Di Aceh, pengalaman serupa juga terjadi. Para aktivis lokal menjadi pemimpin gampong, para

Page 102: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

aktivis NGOs menjadi pemimpin daerah atau anggota parlemen. Sekarang peluang itu semakin terbuka lebar ketika Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang mempunyai partai lokal.

Teori konsolidasi demokrasi pun sebenarnya telah menunjukkan semakin tipisnya batas antara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Dengan berbasis pada pengalaman empirik pascatransisi di berbagai negara, teori ini menunjukkan bahwa representasi politik para aktor masyarakat sipil dalam ranah masyarakat politik dan negara merupakan babak baru untuk membersihkan sisa-sisa warisan otoritarianisme masa lalu, sekaligus memperdalam demokrasi baru. Ini berarti bahwa aktor-aktor masyarakat sipil tidak lagi hanya “melihat” dan “mempengaruhi” tetapi masuk dalam struktur kekuasaan untuk ikut “menentukan” keputusan-keputusan politik.

Di Indonesia pun, ada sebuah joke yang muncul untuk menyebut NGOs, yakni dari Non Governmental Organizations menjadi Next Government Officers. Baik Pergerakan maupun Demos, adalah dua OMS yang konsisten mempromosikan transformasi dari “gerakan sosial” menuju “gerakan politik”, dari sekadar community organizing menjadi political organizing. Rangkaian tulisan Demos di Majalah TEMPO menunjukkan seruan itu. Pada sebuah konferensi internasional “Menyusun Agenda Menuju Demokrasi Bermakna” yang diselenggarakan Demos, November 2005, membuahkan tiga agenda pokok. Pertama, saatnya aktor-aktor pro demokrasi melakukan kombinasi gerakan politik dengan gerakan sosial. Kedua, perlunya upaya-upaya sistematis dari berbagai gerakan rakyat untuk merebut kontrol atas proses demokrasi yang telah dibajak oleh kaum elit dominan. Ketiga, perlunya peningkatan dan peran perempuan serta kelompok-kelompok marginal dalam gerakan demokrasi unuk menjadikan demokrasi lebih bermakna bagi rakyat. Ketiga agenda itu tentu membutuhkan beberapa hal: repressentasi institusi demokrasi, kapasitas politik aktor pro-demokrasi; partisipasi perempuan dan kelompok marginal dalam politik; representasi aktor pro-demokrasi masuk dalam ranah politik (institusi politik); dan defragmentasi diantara aktor pro-demokrasi.

Dalam tulisan terbarunya, peneliti Demos, Nur Iman Subono (2008) menyampaikan idenya tentang transformasi dari masyarakat sipil menjadi “blok politik demokratik” (BPD). Subono menegaskan bahwa BPD pada prinsipnya adalah lembaga intermediasi yang menjadi wadah gerakan sosial, asosiasi sipil, organisasi kemasyarakatan, individu – bahkan para politisi (tetapi bukan sebagai wakil partai) – untuk menggalang pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat, menjalankan agenda dan program sosial-politik, mengawasi pemerintahan, dan/atau mendukung pencalonan seseorang untuk suatu jabatan publik. BPD juga merupakan wadah untuk mempersatukan kembali kekuatan rakyat yang selama ini terpecah-pecah dalam berbagai kepentingan sektoral ke dalam organisasi kerakyatan yang solid, terencana, dan terkoordinasi.

Para aktivis OMS, termasuk yang berada di Aceh, tentu sangat memahami semesta pembicaraan tentang transformasi dari gerakan sosial menuju gerakan politik itu, meskipun

Page 103: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

gerakan sosial yang dibangun masih terlalu dini. Beberapa aktivis sudah mulai masuk ke ranah politik, baik dewan maupun kepala daerah. Tetapi pindah haluan dari “aktivis” menjadi “politisi” sebaiknya bukan didorong oleh kenyataan karena dunia OMS sedang krisis atau karena hasrat untuk mobilitas vertikal, tetapi dilandasi oleh sebuah visi dari sekadar “melihat” dan “mempengaruhi” menjadi “menentukan”. Jika para aktivis OMS akan beralih strategi dari sekadar berkawan dan mempengaruhi pemda menjadi merebut dan menentukan kebijakan pemerintah, maka tantangannya adalah mengubah dari logika-strategi gerakan sosial ke logika-strategi gerakan politik. Baik gerakan sosial maupun gerakan politik sama-sama membutuhkan basis massa yang besar. Tetapi keduanya juga berbeda. Jika gerakan sosial selalu mengutamakan visi-aksi, maka gerakan politik sejauh ini menggunakan logika (mohon maaf) “basa-basi” dan diplomasi yang jauh dari visi-aksi gerakan sosial.

Keberlanjutan?

Keberlanjutan bukan menjadi persoalan yang serius bagi komunitas-komunitas kecil yang cair. Komunitas-komunitas itu terus mengalir untuk membicarakan mereka sendiri sambil melihat dan membicarakan pemerintah, tanpa membutuhkan organisasi yang kompleks, logistik atau dukungan dana yang besar. Tetapi kalau program-program inisiatif seperti ANCORS dan keberadaan OMS selalu sensitif terhadap keberlanjutan institusional, gerakan dan pendanaan. Tanpa mengecilkan semangat gerakan dan voluntarisme OMS, pendanaan merupakan isu paling krusial bagi keberlanjutan OMS. Orang Jawa Timur sering berseloroh: logika tanpa logistik, ya logor. Artinya teori, rencana aksi dan semangat gerakan akan berakhir ambruk jika tidak didukung oleh logistik yang memadai. Para aktivis yang idealis sekalipun akan putus asa dan berubah haluan jika idealismenya tidak didukung logistik. Ada yang beralih menjadi petani, ada yang masuk ke PNS, ada yang bisnis dan ada pula yang coba-coba ke dunia politik.

Di Aceh, pembicaraan tentang keberlanjutan OMS itu sungguh nyata. Selalu muncul pertanyaan, apa yang terjadi di dunia LSM jika para donor cepat atau lambat menarik diri dari Aceh? Meskipun ANCORS telah memberikan investasi besar terhadap kapasitas OMS, tetapi selalu muncul pertanyaan tentang keberlanjutan yang sangat disadari oleh para pihak, terutama pihak-pihak OMS level provinsi dan kabupaten. Mereka tentu sangat berkomitmen melanjutkan organisasi dan gerakan, tetapi selalu muncul pertanyaan: dari mana datangnya sumber-sumber keuangan untuk membiayai organisasi dan gerakan, apalagi bagi OMS di skala kabupaten?

Sejumlah pertanyaan itu tidak dijawab dengan optimis dan pesimis. Setiap OMS/LSM tetap mengalir berkarya. Toh dunia LSM adalah dunia ketidakpastian, yang justru memberikan semangat bagi mereka untuk berjuang. Berjuang di tengah ketiakpastian merupakan seni tersendiri bagi aktivis dan institusi OMS. Sebaliknya jika LSM memiliki pundi-pundi yang abadi justru membuat mereka menjadi mapan dan malas untuk berkarya, bisa juga

Page 104: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

menimbulkan konflik. Selain itu, setiap OMS di Indonesia mempunyai berbagai rute dan caranya sendiri dalam bertahan dan melanjutkan institusi maupun gerakan, meskipun belakangan banyak LSM yang rontok karena paceklik dana.

Melampaui semangat dan kerja keras OMS itu, dana bukan hanya menjadi alat untuk membiayai dari program ke program, tetapi sebenarnya menjadi bagian dari basis ekonomi bagi gerakan sosial. Dalam kondisi kelangkaan, kalangan OMS di Indonesia umumnya tidak memiliki basis ekonomi yang kuat, melainkan memainkan peran social marketing untuk mencari sumber-sumber pendanaan atau berkompetisi memperoleh pendanaan dari lembaga donor. Bagaimanapun selama ini sumber utama pendanaan OMS di Indonesia berasal dari lembaga-lembaga donor. Pada tahun 2002, LP3ES mencatat bahwa 62% NGOs di Indonesia memperoleh sumber dana dari lembaga donor. Tetapi sumberdana dari donor selalu menjadi isu yang sensitif dengan semesta nasionalisme Indonesia. Banyak pihak menilai bahwa sumberdana dari donor memperlihatkan ketergantungan NGOs pada donor, NGOs sebagai agen asing atau kepanjangan tangan donor, meskipun sebenarnya dana internasional itu bermakna sebagai filantropi untuk kemanusiaan dan menjadi bagian dari global civil society. Toh pemerintah maupun kalangan cendekiawan Indonesia juga memperoleh bantuan atau beasiswa asing, yang semua ini menjadi komponen dalam kerjasama internasional.

Cara pandang nasionalisme yang sempit itu lebih baik diabaikan. Sumber dana dari donor tentu yang paling nyata, di tengah kelangkaan ekonomi dan lemahnya tradisi filantropi di Indonesia. Sejumlah konsultan NGOs mulai dari Richard Holloway hingga Eugenio M. Gonzales (2004) telah memberikan sejumlah strategi dan kiat-kiat NGOs menggalang dana abadi dari lembaga-lembaga donor maupun donatur pribadi. Yang lebih penting adalah bagaimana memperoleh-mengelola dana dari lembaga-lembaga donor itu secara jujur dan transparan, bukan hanya kepada pihak pemberi dana tetapi juga kepada publik. Pertanyaan publik tentang sumberdana kepada NGOs pasti selalu muncul. Ini merupakan kebaikan, yang perlu dijawab secara jujur dan transparan.

Namun berkompetisi meraih dana dari donor bukan pekerjaan yang mudah, apalagi bagi NGOs lokal yang hanya berkiprah di level kabupaten, sebab donor selalu mempunyai kepentingan jangkauan yang berskala nationwide. Apalagi pada periode 2005-2010 saat ini, lembaga-lembaga donor melakukan perubahan strategi dari civil society first menjadi state first, yang mengakibatkan pengurangan alokasi dana kepada OMS.

Strategi lain yang sering dibicarakan adalah sumber pendanaan berbasis konstituen atau user, sebagaimana telah dialami oleh perguruan tinggi swasta. IMPACT juga menjadi contoh yang baik. Tanpa harus mengubah institusi menjadi perusahaan swasta, IMPACT meneguhkan dirinya sebagai sebuah bisnis sosial yang melakukan social marketing dan jasa layanan kepada berbagai pihak, yang berorientasi pada pemberian inspirasi dan penguatan aktor-aktor yang hendak mendorong perubahan.

Page 105: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Jika kondisi donor serba tidak pasti seperti itu, sebenarnya dana dari pemerintah yang paling mungkin dan paling dekat. Isu akan dibahas lebih lanjut dalam bab terakhir. Tetapi poin penting yang perlu dicatat di sini adalah pandangan OMS terhadap sumberdana dari pemerintah. Sejauh ini di Aceh, terdapat beberapa cara pandang yang berbeda di kalangan OMS tentang sumberdana dari pemerintah. OMS yang memilih sebagai oposisi (mengambil jarak) terhadap pemerintah cenderung menghindari alokasi dana dari pemerintah, sebab hal ini akan menggerus idealisme dan independensi. Sementara OMS yang “mesra” dengan pemerintah sudah biasa memperoleh dana dari pemerintah, baik dengan cara mengajukan proposal atau terlibat langsung dalam proyek-proyek yang membantu pemerintah. Ada juga OMS pemegang teguh strategi engagement, yang bersikap hati-hati dengan sumberdana dari pemerintah, tetapi tetap mau menerima dana dari pemerintah dengan cara-cara yang akuntabel, dan independensi OMS masih tetap terjaga. Dengan kalimat lain, OMS model ini mau menerima dana dari pemerintah tidak melewati cara yang kasak-kusuk tetapi dengan cara yang terbuka, dan dana itu bukan untuk membeli idealisme OMS.

Akhirnya keputusan tetap berada di tangan OMS untuk memilih berbagai menu alternatif yang bisa mendukung keberlanjutan. Sejarah membuktikan bahwa OMS yang bertahan dan berkembang secara berkelanjutan adalah mereka yang ulet, realis tetapi tidak pragmatis, fleksibel tetapi tidak oportunis, sekaligus yang menjaga vitalitas serta mempunyai disiplin dan konsistensi dalam menempa kemampuan dan jaringan.

Page 106: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Bab 7Memperkaya Teori dan Praksis Masyarakat Sipil di Indonesia

Aceh memang tidak mewakili Indonesia. Demikian juga pengalaman OMS di Aceh tidak bisa digeneralisir sebagai pengalaman OMS di seluruh Indonesia. Buku ini bukanlah sebuah survei yang hendak melakukan generalisasi secara nasional, tetapi hendak menarik pembelajaran berharga dari pengalaman OMS di Aceh menjadi pelajaran penting secara nationwide. Toh, meskipun buku ini hanya berpijak dari pengalaman lokal Aceh, tetapi OMS di Indonesia bahkan secara global, mempunyai kemiripan karena konteks demokratisasi dan globalisasi yang menyuburkan tumbuhnya OMS di setiap tempat. Setiap OMS umumnya juga mempunyai jaringan global civil society atau jaringan transnasional, baik jaringan pengetahuan, informasi, gerakan dan pendanaan.

Menarik pelajaran itu bisa juga disebut sebagai abstraksi teoretik. Karena itu bab ini menyuguhkan tema “memperkaya teori dan praksis masyarakat sipil di Indonesia”, sebuah abstraksi dari narasi empirik pengalaman NGOs di Aceh bersama program ANCORS-nya YAPPIKA. Melalui bab ini kami hendak menyampaikan pesan bahwa tumbuhnya masyarakat sipil di Aceh pascatsunami memberikan pelajaran yang berguna untuk memperkaya teori dan praksis masyarakat sipil secara nasional. Pengkayaan teori berarti buku ini hendak memberi narasi untuk menambah khazanah masyarakat sipil Indonesia, sekaligus memberi keyakinan kepada siapapun yang meragukan ekstensi dan manfaat masyarakat sipil. Sedangkan pengkayaan secara praksis berarti bahwa berbagai pelajaran berharga yang diangkat oleh buku ini diharapkan menambah narasi yang berguna untuk refleksi bagi OMS lain di Indonesia, juga sebagai jendela bagi pemerintah dan lembaga donor.

Konteks Politik

NGOs (OMS) mengalami pertumbuhan yang luas biasa di Indonesia selama satu dekade terakhir bersamaan dengan arus demokratisasi dan desentralisasi. Kastorius Sinaga misalnya pernah memberikan catatan bahwa era baru menampilkan sekitar 13.400 NGOs yang terdaftar resmi, itu belum termasuk yang tidak tercatat resmi, sementara pada tahun 1980-an hanya tercatat sekitar 3.000 NGOs (Lounela, 2001). Ada sebuah joke, pertumbuhan LSM jauh lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah penduduk; di setiap jalan di kota-kota besar di Indonesia pasti terdapat sekretariat LSM. Jika sebelumnya orang Indonesai hanya mengenal ormas (organisasi massa) sebagai organisasi resmi yang dicatat oleh negara, sementara kalangan NGOs merayakan dirinya sebagai organisasi masyarakat sipil (OMS), sebuah organisasi nonpemerintah independen yang mempunyai inisiatif untuk menyemai ruang-ruang publik dan menaruh perhatian pada isu-isu publik. Beberapa ilmuwan seperti

Page 107: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Anders Uhlin (2002) dan Suharko (2005) menegaskan bahwa NGOs merupakan kekuatan terkemuka masyarakat sipil di Indonesia.

Baik pemerintah maupun masyarakat telah mengenal LSM sebagai sebutan lain dari NGOs, meskipun belum ada regulasi resmi yang mengatur relasi antara pemerintah dan LSM, kecuali regulasi tentang eksistensi yayasan. Di Aceh pasca tsunami, setiap orang mengenal apa dan siapa NGO. NGO menjadi istilah yang sangat familiar bagi masyarakat Aceh saat ini. Tetapi sebutan NGO untuk menunjuk lembaga internasional/asing, sementara NGOs lokal tetap disebut sebagai LSM.

Sama halnya elemen-elemen lain (partai politik, tentara, birokrasi dan lain-lain) disambut secara keilmuwan dan praksis dengan sikap yang beragam. Ada sikap pro yang memandang OMS sangat positif, ada juga sikap yang kontra, kritis, meragukan atau bahkan mengecam kehadiran OMS. Secara keilmuwan, pandangan pro dan kontra itu paralel dengan dua mazhab yang berbeda: liberal-normatif versus historis-empirik (Bob Sugeng Hadiwinata, 2009). Mazhab liberal-normatif sama dengan pandangan yang pro dengan OMS. Menurut cara pandang ini, OMS merupakan kekuatan penting dalam demokrasi, yang berperan besar dalam setiap tahapan dalam demokratisasi. Dalam tahap transisi, OMS menjadi kekuatan yang menentang otoritarianisme; dalam tahap liberalisasi mereka memperjuangkan HAM dan hak warga negara sekaligus membuka ruang-ruang publik yang bebas; dan dalam konsolidasi mereka berupaya menentang transparansi dan akuntabilitas pemerintahan baru yang demokratis. Sifat pluralis masyarakat sipil itu sendiri sangat mendukung demokratisasi. Masyarakat sipil yang pluralis menyeimbangkan kepentingan yang berbeda dan membuat pasti bahwa kekuasaan tidak dikonsentrasikan pada satu kelompok yang berkuasa atau negara (J.A. Cohen dan A, Arato, 1993; R. Putnam, 1993; J. Linz dan P. Schmitter, 1996; Anders Uhlin, 1997; Gideon Baker, 2003; Larry Diamond, 2003; Suharko, 2005; Mikalea Nyman, 2009).

Sementara cara pandang kedua, historis-empirik cenderung kritis bahkan menolak argumen bahwa masyarakat sipil bermanfaat bagi demokrasi. Sejumlah ilmuwan aliran ini berpendapat, menghubungkan masyarakat sipil dengan demokrasi liberal merupakan pendapat yang keliru, sehingga mereka umumnya berpendapat ganda: masyarakat sipil sebagai solusi dan sekaligus sebagai problem bagi demokrasi (M. Foley dan B. Edwards, 1996; B F SSE Seda, 2002; W. Wolter, 2002; N. Chandoke, 2003; O.G. Encarnación, 2003; P. Kopecký dan C. Mudde, 2003; B. Jobert dan B. Kohler-Koch, 2008; B.S. Hadiwinata, 2009). Masyarakat sipil tentu tidak pernah kebal dari perjuangan politik, konflik kepentingan maupun pertarungan wacana hegemonik dan tanding, dan di dunia masyarakat juga terdapat uncivil society: kelompok agama yang ekstrem, kelompok ultranasionalis, kelompok-kelompok etnik yang antipluralisme, organisasi kejahatan, dan masih banyak lagi.

Di Indonesia, ada banyak kalangan yang kritis, kontra bahkan meragukan masyarakat sipil, tentu termasuk juga LSM. Abdurrahman Wahid ketika berkuasa pernah berujar, “Tidak semua tentara jelek, tidak semua LSM itu baik”. Di negeri ini sudah lama dikenal pembagian

Page 108: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

LSM menjadi tiga jenis yang disesuaikan dengan plat nomor kendaraan bermotor: (1) LSM Plat Merah adalah LSM yang dibentuk oleh pejabat pemerintah atau yang dekat dengan pemerintah atau yang memperoleh uang karena menjadi pesuruh pemerintah; (2) LSM Plat Hitam adalah LSM yang dikelola oleh pribadi atau keluarga (dinasti) untuk kepentingan keluarga; dan (3) LSM Plat Kuning yang berarti LSM sungguhan atau LSM yang benar-benar melayani kepentingan umum. Di tengah-tengah masyarakat, kecaman terhadap LSM juga bertubi-tubi misalnya muncul istilah LSM VCD (visinya cari duit) atau LSM UUD (ujung-ujungnya duit) dan seterusnya.

Sejumlah ilmuwan Indonesia pun juga sangat kritis terhadap NGOs maupun masyarakat sipil. Konsep masyarakat sipil juga dianggap problematik dari sisi relevansi dengan konteks Indonesia. FSSE Seda (2002), misalnya, menyampaikan sejumlah pertanyaan menantang: apakah civil society bersifat empirik? Apakah civil society eksis di Indonesia? Apakah civil society positif? Siapa itu civil society? Apakah civil society relevan di Indonesia? Seda juga mengatakan bahwa seperti halnya istilah “kelas menengah Indonesia” yang diasumsikan sebagai agen perubahan sosial, istilah civil society tetap mengandung risiko yang problematik jika ia tidak didefinisikan secara kelas dan kontekstual.

Mengapa ada pandangan yang kritis dan meragukan masyarakat sipil? Bagaimanapun demokratisasi dan tindakan masyarakat sipil dalam arena demokratisasi tidak mungkin bekerja secara voluntary, tidak mungkin berlangsung di dalam ruang yang hampa politik, tetapi semuanya bekerja dalam arena pertarungan politik (political contentions). Karya Charles Tilly (2004) mapun Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly (2004), misalnya, menunjuk perjalanan Revolusi Perancis hingga demokratisasi di Eropa di akhir abad ke-20 sarat dengan pertarungan politik (political contentions), yakni perjuangan para pembuat klaim dan para penantangnya. Kisah participatory budgeting di Porto Alegre jelas memberikan contoh terkemuka pertarungan politik yang dimenangkan oleh radikalisme masyarakat sipil dan masyarakat politik (partai politik) yang sukses melakukan reklaim atas negara (Hillary Wainwraight, 2003 dan Bruno Jobert, 2008). Tetapi di negara-negara demokrasi baru, masyarakat sipil memang tidak tunggal: ada organisasi masyarakat yang dibentuk negara dan ada juga organisasi yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat; ada yang civil dan ada pula yang uncivil; ada yang memegang idealisme untuk memperjuangkan demokrasi, ada juga juga yang pragmatis masuk ke lubang oligarkhi, dan seterusnya.

Di Indonesia, politik lokal maupun demokratisasi secara umum menjadi medan tempur antara empat aktor utama: negara (pemerintah), masyarakat ekonomi (swasta, pasar), masyarakat politik (elite, politisi) dan masyarakat sipil. Di masa lalu, negara tampil sangat kuat dan dominan, tetapi secara internal negara sebenarnya digerogoti dari dalam oleh orang-orang kuat yang menjadi shadow state. Mereka melakukan korupsi atau berkolusi dengan masyarakat ekonomi, yang membuat negara menjadi lembam dan selalu muncul pasar gelap di dalam transaksi ekonomi, termasuk distribusi anggaran negara untuk proyek-proyek pembangunan. Dalam masyarakat ekonomi muncul para kapitalis yang tentu mempunyai kontribusi terhadap penyediaan lapangan pekerjaan dan mendongkrak

Page 109: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

pertumbuhan ekonomi, tetapi sebagian besar dari mereka adalah para kapitalis semu, yang berhasil mengakumulasi kapital karena berkolusi dengan masyarakat politik atau negara.

Politik lokal sekarang berjawah ganda: ada kabar baik dan ada kabar buruk. Kabar baik berkaitan dengan argumen kaum orientalis liberal: desentralisasi dan demokrasi lokal merupakan dua sisi mata uang yang sama nilainya. Desentralisasi merupakan salah satu bentuk konsolidasi demokrasi (Larry Diamond, 2003). Desentralisasi membuahkan demokrasi lokal, yang bakal membuat pemerintah lokal lebih akuntabel, responsif dan partisipatif serta menggairahkan masyarakat sipil (Robert Putnam, 1993; Gary Stoker, 1996; James Manor, 1997; Camille Barnett, Henry Minis dan Jerry VanSant, 1997, David Beetham, 1996; Blair, 2000; J. Gaventa, 2001; Hans Antlov, 2003, dll). Ada banyak studi yang memperlihatkan kabar-kabar baik politik lokal di Indonesia (Asia Foundation, 2002-2005, E. Ahmad dan A. Mansoor, 2002; Kutut Suwondo, 2003; DEMOS, 2005; Olle Tornquist, 2006, Hans Antlov, 2003; Nankyung Choi, 2005; Pius Prasetyo, 2005; Yando Zakaria, 2004; dll). Studi-studi ini pada umumnya menunjukkan bahwa benih-benih demokrasi lokal dan masyarakat sipil tengah tumbuh di Indonesia. Kabar buruk politik berkaitan dengan cara padang historis-empirik yang menentang pendapat kebaikan desentralisasi, demokrasi lokal dan masyarakat sipil. Buku Politik Lokal Indonesia, suntingan HS. Nordholt dan G. van Klinken (2007), sebaliknya menyampaikan argumen: ““Pergeseran dari pemerintahan yang sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi tidak sinonim dengan pergeseran dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis; juga tidak secara otomatis mengisyaratkan pergeseran dari negara yang kuat ke masyarakat sipil yang kuat. Melemahnya negara pusat tidak secara otomatis membuahkan demokrasi lokal yang lebih kuat. Sebaliknya, desentralisasi di bawah kondisi-kondisi tertentu bisa dibarengi dengan bentuk-bentuk pemerintahan otoriter”. Buku ini secara gamblang mengungkap kabar buruk dan sisi gelap politik lokal di Indonesia: konflik horizontal di berbagai daerah, lokalisme dan politik identitas, tampilnya elite lokal yang kuat (raja-raja kecil), politik klientelisme, etnopolitik atau etnonasionalisme, shadow state, pasar gelap dan seterusnya.

Meskipun tidak terang-terangan “pesimis” seperti karya suntingan HS. Nordholt dan G. van Klinken (2007), karya suntingan Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto (2009) melihat secara optimis dan kritis pilkada langsung sebagai arena pendalaman demokrasi lokal. Di satu sisi, secara teoretis, pemilihan umum termasuk pilkada merupakan penerapan desesentralisasi, juga sebagai aspek penting dari transisi demokrasi, dan lebih jauh juga sebagai arenda pendalaman demokrasi. Pemilihan umum merupakan institusi esensial dalam demokrasi; ia memberikan legitimasi kepemimpinan yang berbasis pada pilihan rakyat; dan membuat pemimpin lebih akuntabel pada rakyat. Para peratung pemilihan harus meyakinkan pada pemilih bahwa mereka akan melakukan sesuatu sesuai yang dikakatan, jika tidak mereka tidak akan dipilih rakyat. Pilkada langsung memberikan arena kekuasaan bagi rakyat untuk menentukan pilihan secara lokal, membangkitkan partisipasi lokal dan juga menghadirkan pemimpin-pemimpin “baru”. Ini merupakan sisi baik dari

Page 110: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

pilkada yang memberikan sumbangan bagi pendalaman demokrasi di Indonesia. Buku ini juga mencatat bahwa pilkada secara umum berlangsung secara mulus tanpa krisis serius yang bisa menggugurkan seluruh proses, meskipun pilkada itu berlangsung dalam konteks lokal yang berpengalaman dengan konflik dan kekerasan yang berbasis etnik dan agama. Tentu pilkada tidak memberikan kontribusi terhadap pendalaman demokrasi secara sempurna. Beberapa penulis dalam buku suntingan itu menyebutkan berbagai sisi kritis yang mengurangi makna demokrasi dalam pilkada: politik uang, koalisi sesaat, informal governance, pengaruh orang-orang kuat, orang-orang golput, pengaruh dinasti lokal, pertarungan etnik dan seterusnya.

Kabar baik, wajah satu lagi, seiring dengan kehadiran demokrasi multiparti, kekuatan masyarakat politik juga berpengaruh besar terhadap proses politik. Masyarakat politik menjadi arena bagi partai politik maupun elite untuk memperebutkan dukungan massa dan kekuasaan melalui arena demokrasi yang disediakan secara formal. Berbeda dengan kondisi dulu, sekarang melalui pemilihan umum maupun pilkada, banyak pemimpin baru nonnegara yang berhasil meraih kekuasaan. Sebagian di antara mereka juga mendorong reformasi lokal.

Seperti halnya politik dan demokrasi lokal, masyarakat sipil juga berwajah ganda. Ada kelompok masyarakat yang civil (yang membawa nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan demokrasi) ada juga kelompok masyarakat yang uncivil (pembawa kekerasan, primordialisme, preman, pengikut oligarki, pemain politik uang dan lain-lain). Ada LSM yang baik, ada banyak LSM yang buruk. Meskipun ada banyak OMS, termasuk NGOs, yang mengusung kebaikan tetapi mereka belum diakui secara baik oleh komponen lain, baik masyarakat politik maupun pemerintah. Pemerintah sudah lama mengakui bahkan memberikan sumbangan kepada organisasi-organisasi massa yang mempunyai massa banyak, sebagai bentuk politik membangun legitimasi. Sebaliknya pemerintah memandang NGOs dengan sikap yang beragam. Ada banyak pemimpin daerah yang sangat nyaman berdiskusi dan bekerjasama dengan NGOs. Ada lebih banyak pemimpin daerah yang memandang NGOs pro demokrasi sebagai kekuatan oposisi. Namun umumnya para pemimpin daerah sangat senang bila NGOs membantu pemerintah atau meringankan beban pemerintah, sebagaimana dialami di daerah-daerah yang terkena bencana atau daerah-daerah miskin. Dengan demikian pemerintah merasa gerah kalau dilawan, sebaliknya sangat senang kalau dibantu.

OMS yang Sedang Tumbuh, Berbunga dan Belajar

Meskipun ada banyak pihak yang kritis, kontra dan meragukan masyarakat sipil, buku ini tetap mengambil posisi yang berpihak, jika bukan romantis, kepada masyarakat sipil. Kami mempunyai pandangan secara teoretik dan praksis-empirik. Secara teoretik bebragai pertanyaan kritik seperti diajukan Ery Seda muncul karena dia melihat civil society terlalu normatif-ideal dengan menunjuk pengertian burgerliche gesselschaft dalam pengalaman di

Page 111: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Eropa Barat. Jika cara pandang ini digunakan untuk konteks Indonesia, masyarakat sipil sudah dirumuskan dan ditemukan secara empirik, mungkin konsep itu juga tidak relevan untuk digunakan sebagai alat analisis. Untuk mengatakan secara jelas siapa masyarakat sipil di Indonesia, kita bisa melihat berbagai organisasi masyarakat yang tumbuh, tanpa harus mendeteksi ideal-normatif yang terkandung di dalamnya dan tidak harus membandingkannya dengan masyarakat sipil di Eropa Barat.

Buku ini berupaya untuk memahami dan mengidentifikasi masyarakat sipil secara jelas, sekaligus untuk menjawab keraguan di atas. Yang paling dasar, dimanapun tempat entah di Barat atau di Indonesia, selalu ada ruang-ruang (baik secara geografis, fisik, budaya maupun politik) yang terbentang antara individu/keluarga dan negara. Masyarakat sipil, yang paling dasar, dipahami sebagai ruang atau ranah di antara individu/keluarga dan negara (Michael Keane, 1988, Jurgen Habermas, 1989; Jean Cohen dan Andrew Arato, 1992; Adam Selignman, 1992; Michael Walzer, 1992; Perez Diaz, 1993; John A. Hall, 1995; Gideon Baker, 2003; Michael Edward, 2004). Ruang antara tersebut, apakah bersifat bebas atau tidak bebas, apakah otonom atau tergantung, hal itu merupakan persoalan lain. Analisis yang bersifat empirik akan menemukan secara jelas bagaimana ruang-ruang antara itu bekerja, dan cara ini akan bisa mengidentifikasi karakter civil society secara kontekstual.

Karena itu sebaiknya masyarakat sipil dipahami dalam tiga pengertian: (1) masyarakat sipil sebagai aktor; (2) masyarakat sipil sebagai idea normatif; dan (3) masyarakat sipil sebagai arena. Ketiganya akan penulis elaborasi di bawah ini.

Masyarakat sipil sebagai aktor. Lebih dari sekadar ruang, masyarakat sipil sebenarnya berbentuk aktor, organisasi, asosiasi dan seterusnya. Apa dan siapa aktor yang disebut masyarakat sipil? Masyarakat sipil menjadi tempat tinggal masyarakat yang bukan gedung pemerintah bukan juga tempat-tempat berbelanja. Lebih tegas lagi, civil society menunjuk pada ruang-ruang asosasi-asosiasi dalam masyarakat yang berbeda dengan negara (Martin Shaw, 1997). Civil society jelas menunjuk pada organiusasi kemasyarakatan dan aktivitas sosial (Jean Grugel, 2002). Kata asosiasi dan organisasi menjadi kata kunci untuk memahami frasa “masyarakat” dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil berbeda dari pengertian "masyarakat" secara umum dalam hal ia melibatkan warga yang bertindak secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, preferensi, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, untuk mencapai sasaran kolektif, dan untuk mengajukan tuntutan pada negara (Larry Diamond, 2003).

Siapa asosiasi dan organisasi yang disebut civil society? Apakah setiap organisasi dapat disebut civil society? Tidak tidak setiap asosiasi atau organisasi disebut sebagai civil society. Masyarakat sipil bukanlah masyarakat parokial: kehidupan individual dan keluarga dan aktivitas kelompok yang berpandangan ke dalam (rekreasi, hiburan, ibadah agama, spiritualitas); dan ia tidak mengikutkan masyarakat ekonomi: usaha profit dari perusahaan-perusahaan bisnis individual. Masyarakat parokhial dan masyarakat ekonomi tidak

Page 112: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

memfokuskan diri pada kehidupan sipil dan lingkup publik, namun mereka dapat membantu menciptakan norma dan pola-pola keterlibatan kultural ke lingkup sipil.

Larry Diamond (2003) secara jelas membedakan masyarakat sipil dengan tipe masyarakat lainnya sebagai berikut: a. Masyarakat sipil berkonsentrasi pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat. Ia

berbeda dari masyarakat parokial. Ia “aksesibel bagi warga dan terbuka bagi pemikiran publik—tidak tertanam dalam setting eksklusif, rahasia, atau korporatif

b. Masyarakat sipil berhubungan dengan negara dalam sejumlah cara tertentu tetapi tidak berusaha merebut kontrol atau posisi di dalam negara; ia tidak berusaha memerintah polity secara keseluruhan.

c. Masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keragaman.d. Masyarakat sipil tidak berusaha merepresentasikan rangkaian utuh kepentingan-

kepentingan seseorang atau sebuah komunitas.e. Masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena komunitas sipil yang lebih jelas

meningkatkan demokrasi

Masyarakat sipil sebagai idea. Pendekatan normatif tampak sangat dominan dalam memahami civil society. Menurut pendekatan ini masyarakat sipil mengandung sejumlah karakter, nilai dan cita-cita ideal. Sejumlah definisi tentang civil society yang dikemukakan banyak ilmuwan akan menampakkan berbagai karakter dan cita-cita ideal. Istilah masyarakat madani yang berkembang di Indonesia juga termasuk dalam kategori ini.

Michael Edward (2004), misalnya, menegaskan bahwa masyarakat sipil secara orisinal, dari Aristotle hingga Thomas Hobbes, merepresentasikan sebuah masyarakat yang mempunyai idealisme tertentu, seperti kesetaraan politik, pluralisme dan perdamaian. Larry Diamond (2003) menegaskan, masyarakat sipil adalah lingkup kehidupan sosial terorganisir yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya (self-generating), setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat oleh suatu tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama.

Dalam perspektif liberal, masyarakat sipil yang didefinisikan dipandang dari segi fungsi civic-nya mempunyai peran pembangun-demokrasi yang lebih jelas. Namun, tidak semua organisasi perlu berhubungan dengan tujuan publik dan oleh karena itu kita mungkin mempertanyakan kemampuan civic community untuk mempengaruhi demokrasi. Gagasan masyarakat sipil penuh persoalan karena ia dapat benar-benar terdiri dari organisasi-organisasi non-civic dengan tujuan dan metode yang tidak demokratis. Oleh karena itu, beberapa studi masyarakat sipil dalam proses demokratisasi harus mulai dengan menyelidiki tingkat kewargaan dan (tingkat) demokrasi dalam organisasi masyarakat sipil.

Civic community, dalam studi radisi Putnam (1993, 2000), berisi semua jenis organisasi, bahkan organisasi yang bersifat keagamaan, sepanjang organisasi itu semuanya civic dan demokratis dan, karena itu, ia mempunyai hubungan yang lebih jelas dengan demokrasi melalui gagasan kewargaan (civicness). Ini menggambarkan persoalan tautologi. Jika kita ingin menggunakan konsep masyarakat

Page 113: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

sipil sebagai faktor penjelas dalam studi demokratisasi atau konsolidasi, penting sekali untuk menyadari bahwa masyarakat sipil tidak perlu demokratis atau civic. Masyarakat sipil mungkin ‘tidak hanya tidak demokratis, paternalitis, dan partikularistik dalam norma dan struktur internalnya tetapi juga penuh rasa tidak percaya, tidak dapat diandalkan, bersifat menguasai dengan keras, bersifat memeras, dan sinis dalam hubungannya dengan organisasi lain, negara, dan masyarakat’ (Diamond, 2003). Karena itu, kita harus memisahkan konsep masyarakat sipil dari gagasan civic virtue. Tidak semua organisasi masyarakat sipil bersifat demokratis, saleh atau penuh kepercayaan (Van Rooy, 1998). Peran yang dapat dimainkan masyarakat sipil dalam proses demokratisasi pada akhirnya ditentukan oleh tingkat civicness dan struktur demokrasi internal yang telah dicapai masyarakat sipil. Tampak beralasan untuk berargumen bahwa masyarakat sipil yang dicirikan oleh civicness adalah krusial dari gagasan positif konsolidasi demokrasi, dengan menghasilkan kepercayaan dan budaya politik yang demokratis.

Karakter pluralis, demokratis, beradab, berswadaya, mandiri, dan seterusnya itu merupakan cita-cita normatif atau ideal type of civil society. Dalam dunia empirik tentu sulit ditemukan organisasi/asosiasi masyarakat yang mempunyai predikat ideal itu. Jalan menuju cita-cita ideal itu menjadi agenda transformasi sosial atau pendalaman demokrasi.

Masyarakat sipil sebagai arena. Masyarakat sipil memiliki arena yang tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Dalam dunia empirik keragaman itu pasti terjadi, sebagaimana hadir dalam bentuk keragaman posisi dan sikap setiap kerja organisasi masyarakat sipil. Tugas studi ini adalah mengidentifikasi dan memetakan keragaman arena yang dimainkan oleh setiap organisasi masyarakat sipil. Tetapi untuk keperluan membangun kerangka kerja analitis dan pemetaan arena itu, tentu studi ini membutuhkan bantuan perspektif. Bahkan yang paling ekstrem studi ini harus mengambil posisi atau memilih salah satu di antara banyak perspektif.

Dalam berbagai literatur yang bisa dilacak, terdapat banyak cara pandang untuk memahami dan memposisikan masyarakat sipil. Michael Walzer (1992), misalnya, memetakan dua argumen masyarakat, yakni Argumen Masyarakat Sipil 1 (AMS 1) dan Argumen Masyarakat Sipil 2 (AMS 2). Walzer mengkategorikan AMS 1 berdasar cara pandang Alexis de Tocqueville, Adam Ferguson, dan Francis Hutcheson. Argumen ini menaruh tekanan khusus pada kemampuan kehidupan asosiasi secara umum dan kebiasaan secara khusus untuk membantu perkembangan pola-pola keberadaban (civility) tindakan warga dalam sebuah pemerintahan demokratis. AMS 2 berangkat dari pemikiran Antonio Gramsci, Jacek Kuron, Adam Michnik, Vaclav Havel dan para kolega mereka dalam merumuskan sebuah strategi perlawanan terhadap rezim komunis pada 1980-an, juga kejadian dalam literatur demokratisasi di Amerika Latin. AMS 2 meletakkan tekanan khusus pada masyarakat sipil sebagai dunia tindakan yang tidak tergantung negara, sebagai counterweight terhadap negara dan sanggup melakukan perlawanan terhadap sebuah rezim tirani.

Secara empirik masyarakat sipil di Indonesia sebenarnya sudah tumbuh lama, dan semakin berbunga di era demokrasi selama satu dekade terakhir. Argumen ini terbukti dengan jelas dengan pengalaman selama beberapa tahun di Aceh pasca tsunami. Di masa lalu, politik di

Page 114: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

Aceh menjadi arena pertarungan antara negara dan kaum separatis (GAM). Masyarakat sipil terlalu lemah dan peran mereka terlalu kecil. Tsunami, meskipun membawa korban besar, tetapi mendatangkan hikmah dan berkah. Perdamaian hadir di Aceh, dan Aceh menjadi terbuka dengan kehadiran jaringan nasional dan internasional, yang mendukung perbaikan kembali Aceh. Jaringan OMS nasional dan internasional itu mempunyai kontribusi besar terhadap investasi masyarakat sipil di Aceh.

Sejumlah 19 OMS mitra ANCORS termasuk jajaran OMS yang belajar menjadi civil, yang mempunyai basis di bawah, mempunyai jaringan kesamping dan bersenyawa ke pemerintah daerah, berupaya dengan serius mendemokrasikan daerah. Investasi serupa tentu juga disemai oleh lembaga-lembaga nasional dan internasional lainnya, yang semuanya membuat OMS menjadi lebih hidup, menggairahkan ruang-ruang publik daerah, mendidik dan mengorganisir komunitas, menjembatani antara komunitas dengan pemerintah daerah, sekaligus menantang reformasi lokal kepada pemerintah daerah.

Refleksi bagi OMS

Pengalaman ANCORS di Aceh sebenarnya mempunyai kemiripan di seluruh Indonesia, yang tentu menjadi pelajaran berharga bagi kalangan OMS. Bagaimapun arus desentralisasi dan demokrasi lokal yang berjalan satu dekade terakhir telah menumbuhkan OMS (growing CSOs), yang mempunyai kontribusi besar terhadap pemberdayaan masyarakat, membangun jaringan sosial, mendinamisir ruang-ruang publik dan berupaya menyehatkan pemerintah daerah. Tetapi OMS tidak pernah luput dari godaan dan jebakan (misalnya jebakan masuk ke lubang oligarkhi), sehingga buku ini berupaya menampilkan sejumlah pelajaran penting sebagai bahan refleksi OMS di Indonesia.

Advokasi merupakan sebuah tindakan kontingensi (disengaja) yang ditempuh oleh organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk mempengaruhi dan mengubah watak maupun kebijakan pemerintah. Di masa lalu, aksi kolektif di “luar pagar” merupakan tindakan paling populer dan sahih untuk menentang rezim otoritarianisme, korupsi maupun kebijakan yang salah urus. Tindakan ini ditempuh OMS karena rezim otoritarian bersikap eksklusif yang tidak membuka diri untuk berdialog dengan kekuatan masyarakat. Di masa sekarang, watchdog maupun aksi kolektif masih sering ditempuh oleh OMS untuk menentang kebijakan yang merugikan rakyat.

Tetapi kondisi sekarang telah berubah. Iklim politik sekarang jauh lebih demokratis dan inklusif meski belum maksimal seperti yang diharapkan oleh OMS. Para pengambil kebijakan baik di daerah maupun pusat telah bersedia duduk bersama dan berdialog dengan kalangan NGOs, bahkan menantang NGOs bukan hanya mampu menyampaikan kritik yang tajam tetapi juga bersama-sama mencari solusi atas masalah dan merumuskan kebijakan baru yang lebih baik. Kondisi ini tentu mengharuskan OMS melakukan perubahan strategi dari “luar pagar” yang mengutamakan aksi kolektif menuju ke “dalam pagar” dengan

Page 115: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

mengutamakan manajemen pengatahuan seraya berdialog dengan para pengambil kebijakan.

Advokasi tidak mungkin menghasilkan perubahan yang besar, menyeluruh dan fundamental. Dengan kalimat lain, perubahan sistem tidak mungkin dihasilkan oleh hanya satu input dan tindakan seperti advokasi, tetapi juga ditentukan oleh banyak faktor, terutama faktor-faktor yang bersumber pada lingkaran pembuat keputusan dan konteks politik yang lebih luas. Advokasi OMS tentu bukan menentukan melainkan mempengaruhi, yang keberhasilannya bisa diukur dari beberapa hal. Pertama, berhasil menggagalkan rancangan kebijakan yang benar-benar bermasalah atau yang merugikan publik/rakyat melalui aksi kolektif. Kedua, dari sisi proses advokasi, para pembuat keputusan menjadi lebih inklusif, yakni membuka diri serta bersedia duduk bersama berdialog dengan OMS untuk membicarakan rancangan kebijakan. Dalam proses dialog pasti terjadi perdebatan yang keras, satu sama lain tentu tidak bisa memaksakan kehendak yang bersifat zero sum game, sehingga mau tidak mau harus ditempuh jalan kompromi (jalan tengah) yang sama-sama menang (win win solutions). Proses ini tentu menjadi investasi besar untuk menumbuhkan mutual trust antara OMS dengan pemerintah. Ketiga, menumbuhkan dan memperbanyak aktor-aktor di dalam sistem yang pro perubahan dan bersedia belajar bersama dengan kekuatan di luar sistem, yakni elemen-elemen OMS. Keempat, memperoleh kemenangan kecil (small wins) dalam bentuk memasukkan ide perubahan ke dalam rancangan kebijakan. Secara konkret, kemenangan kecil ini diukur dengan masuknya pasal-pasal atau ayat-ayat perubahan ke dalam rancangan regulasi.

Advokasi yang lebik baik dan kuat bila melakukan kombinasi dan koherensi antara lima pendekatan, yakni konstituensi (membangun kekuatan bawah yang lebih besar); konsolidasi (membangun jaringan horizontal); teknokrasi (mengelola pengetahuan menjadi naskah kebijakan); diseminasi (menyebarluaskan gagasan dan membangun opini publik) dan politik (melakukan dialog dan lobby dengan pembuat kebijakan). Selama ini lima pendekatan ini tidak koheren dan tidak berjalan secara sinergis. Kalangan NGOs lebih mengutamakan pendekatan konstituensi, konsolidasi dan diseminasi tetapi kurang memperhatikan kerja-kerja teknokratis dan pendekatan politik (lobby). Mereka mengetahui banyak tentang pengalaman empirik dan aspirasi rakyat, tetapi hal itu tidak dikemas secara teknokratis menjadi dokumen naskah kebijakan yang bisa meyakinkan pembuat keputusan. Sejauh ini juga masih ada sebagian NGOs yang enggan untuk duduk bersama dan berdialog dengan pemerintah, karena mereka menganggap sistem pemerintahan masih korup dan tidak pro rakyat, dan bagi mereka pendekatan dialog itu tidak membawa perubahan. Pokoknya mereka lebih menyukai gerakan mendidik dan mengorganisir rakyat.

Kalangan akademisi yang disebut pakar selalu dipercaya para pembuat keputusan dan diundang untuk membantu pemerintah merumuskan kebijakan, bahkan memberikan justifikasi kebijakan yang dibuat pemerintah. Sejauh ini pembuat kebijakan lebih percaya pada akademisi (pakar) daripada aktivis NGOs, tetapi NGOs sendiri tidak mengisi ruang-

Page 116: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

ruang kosong yang tidak diperhatikan oleh akademisi. Para akademisi menguasai konsep, tetapi miskin data empirik yang bersentuhan dengan rakyat.

OMS yang melakukan advokasi tentu juga berbeda dengan “tukang ketik” yang secara langsung bisa “mencuri” dengan menuliskan pasal-pasal atau ayat-ayat pada naskah kebijakan/regulasi. Juga berbeda dengan pelobi yang tidak perlu lagi bergerak di masyarakat, tetapi cukup melakukan pendekatan politik melalui lobby pada pembuat kebijakan untuk mendesakkan keinginan atau gagasannya secara langsung pada naskah kebijakan/regulasi. OMS sebaiknya juga melakukan dialog terbuka dan juga lobby informal pada pembuat kebijakan, tetapi substansi yang disampaikan dalam dialog dan lobby itu merupakan kelanjutan dari pendekatan konstituensi, konsolidasi, teknokrasi dan diseminasi.

Pendekatan teknokrasi atau manajemen pengetahuan untuk menyusun naskah kebijakan dan naskah regulasi akan lebih sempurna dan kuat bila mengandung empat hal: konsep dan perspektif; regulasi; data empirik termasuk aspirasi masyarakat; serta disain kelembagaan dan implementasi. Para birokrat menguasai data, pengalaman, regulasi, dan implementasi tetapi miskin konsep dan perspektif. Kalau perspektif yang dipilih salah, maka tindakan, regulasi dan implementasinya bisa salah. Para akademisi memiliki kekuatan pada sisi konsep dan perspektif, tetapi miskin data, kurang peka pada regulasi dan kedodoran dalam kerangka kelembagaan. Sebagai contoh, seorang teman menyampaikan konsep kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Yang bersangkutan ternyata tidak tahu kalau UU No. 41/1999 tentang kehutanan sudah menuliskan secara eksplisit konsep kemitaraan itu, sekaligus juga miskin pengalaman empirik, apalagi kalau sudah ditanya tentang bagaimana model-model konkret kemitraan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sementara kalangan NGOs mempunyai banyak cerita lapangan, tetapi karena miskin konsep dan perspektif, pengalaman dan cerita itu tidak bisa dikemas dengan baik yang mampu meyakinkan pembuat kebijakan.

Kalau sudah masuk ke “dalam pagar” dan berdialog dengan pembuat kebijakan, mau tidak mau harus kita harus melenturkan sikap dan mencari jalan tengah yang terbaik. Tabel 7.1, misalnya, menyampaikan lima pilihan sikap terhadap perubahan. Pada umumnya kalangan OMS mengambil sikap “idealis” (apa yang sebaiknya dilakukan) dan menghendaki reformasi, ada juga yang lebih maksimalis, yakni bersikap “ideologis” (apa yang seharusnya dilakukan) untuk mendesakkan transformasi: perubahan tatanan sosial dan politik yang lebih luas dan dalam secara maksimal, berkelanjutan dan fundamental. Sementara mayoritas kalangan pembuat keputusan bersikap “pragmatis” (apa yang mudah dilakukan) untuk menjaga rutinitas; sebagian bersikap realis (apa yang mungkin dan bisa dilakukan) untuk melakukan inovasi secara inkremental, dan sangat jarang yang bersikap idealis.

Antara pragmatisme dan idealisme tentu tidak akan ketemu. Kaum idealis, kalau tidak kuat dan tidak sabar, biasanya akan mengundurkan diri. Tetapi perbedaan sikap itu merupakan real politics. Baik kalangan pembuat keputusan maupun OMS harus sabar dalam berdialog

Page 117: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

mencari jalan kompromi atau jalan tengah. Sikap realis adalah jalan tengahnya. Realis bukan berarti menggadaikan idealisme, realis bukan berarti pragmatis, melainkan tetap ideal tetapi fisibel untuk mendorong inovasi secara inkremental. Kalau kalangan OMS tetap bersikap idealis dan bahkan ideologis itu berarti bukan advokasi. Kalau mau memperjuangkan idealisme dan ideologi maka jalan yang sebaiknya ditempuh bukan advokasi, melainkan jalan reclaiming the state atau strategi merebut kekuasaan. Kalau sudah mampu merebut dan memegang kekuasaan maka tidak lagi hanya melihat dan mempengaruhi, melainkan menentukan secara langsung.

Pendekatan “agensi” menjadi pintu masuk advokasi untuk menembus ke dalam “struktur” yang lebih besar. Menurut teori capacity building, pengembangan kapasitas bukan sekadar pendidikan dan pelatihan, tetapi harus mencakup tiga level yang dimulai dari atas: sistem, kelembagaan dan individual. Kalau pendekatan yang ditempuh hanya masuk ke level individual, maka hal ini hanya memintarkan orang per orang, tetapi sistem dan kelembagaannya tidak berubah. Advokasi sebenarnya serupa dengan teori capacity building itu. Target utamanya adalah perubahan struktur dan sistem, bukan individu. Tetapi advokasi tidak serta merta berhasil masuk dalam seluruh jajaran pembuat keputusan melakukan cara-cara yang formal, misalnya langsung menembus pembuat keputusan tertinggi. Pemegang kekuasaan itu akan cenderung bersikap defensif dan mengatakan: “Anda itu siapa? KTP Anda dimana?”

Tabel 7.1Pilihan sikap terhadap perubahan

No Sikap Makna Tujuan1 Pragmatis Apa yang mudah dilakukan Rutinisasi: menjaga rutinitas2 Realis Apa yang mungkin dan bisa

dilakukan Inovasi: memperbaiki tatanan pemerintahan dan kebijakan secara inkremantal

3 Idealis Apa yang sebaiknya dilakukan Reformasi: perubahan sistem politik dan pemerintahan secara moderat

4 Ideologis Apa yang seharusnya dilakukan

Transformasi: perubahan tatanan sosial dan politik yang lebih luas dan dalam secara maksimal, berkelanjutan dan fundamental.

Advokasi lebih baik dimulai dari analisis kekuasaan (power analysis), yakni memetakan siapa agen-agen dalam struktur yang bersikap pro perubahan dan mau berkolaborasi, siapa agen-agen yang konservatif, agen yang oportunis maupun agen yang apatis. Upaya pemetaan dan masuk ke dalam pagar itu memang harus ditempuh dengan pendekatan informal, atau

Page 118: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

seperti makan bubur panas yang pelan-pelan dimulai dari pinggir dan kemudian ke tengah sampai habis. Di dalam proses informal itu akan ditemukan kawan di dalam sistem yang bersedia untuk belajar dan berbagi bersama untuk mendorong kebijakan yang lebih besar.

Advokasi lebih meyakinkan pembuat keputusan jika tidak hanya bersandar pada aspirasi (voice based advocacy) maupun berdasar konsep semata (voice based advocacy), tetapi berpijak pada bukti-bukti empirik hasil penelitian (evidence based advocacy atau research based advocacy). Aspirasi rakyat tentu menjadi dasar bagi advokasi, tetapi aspirasi tidak pernah bekerja di ruang hampa politik. Politisasi atas aspirasi selalu muncul atau dimunculkan oleh siapapun. Kalangan NGOs, seperti halnya politisi, sering mengatasnamakan rakyat. Para pembuat kebijakan maupun teknokrat meskipun tidak secara intensif mendengarkan aspirasi rakyat tetapi selalu mengklaim bahwa mereka sudah tahu aspirasi atau arah pembicaraan pembawa aspirasi. Para teknokrat sering mengabaikan aspirasi sebab menurut ilmu yang mereka miliki, pembuatan kebijakan harus diserahkan kepada ahlinya, jangan menyandarkan pada aspirasi kelompok-kelompok masyarakat yang beragam dan membikin pusing. Dalam merumuskan kebijakan, para teknokrat lebih banyak bermain konsep, yang setiap konsep diperdebatkan secara matang dan tajam, bahkan diuji kelebihan dan kelemahannya.

Karena itu advokasi lebih baik menggunakan pendekatan evidence based atau research based. Kalau posisinya masuk ke “dalam pagar” maka akan menghasilkan naskah akademik (academic paper) yang dikaji dan disusun bersama-sama dengan institusi pemerintah; sementara kalau OMS tetap berposisi di “luar pagar” maka akan menghasilkan input paper versi OMS dan makalah posisi (positions paper) sebagai naskah alternatif atas naskah akademik yang disiapkan oleh institusi pemerintah. Baik mengambil posisi di dalam maupun di luar, pada dasarnya evidence based policy making berupaya mendialogkan tiga hal: kebijakan (politik), kenyataan (fakta) dan pernyataan (aspirasi). Ketiganya dilakukan dengan penelitian empirik, yang kemudian diteruskan dengan analisis dan translasi menuju kebijakan. Baik Anda bermain di dalam maupun di luar pagar, jadikanlah penelitian (yang menghasilkan bukti-bukti empirik tentang kenyataan dan pernyataan) sebagai basis untuk mengembangkan ide, argumen, konsep dan naskah kebijakan.

Jendela bagi Pemerintah Daerah

Pemertintah mempunyai kekuasaan, kewenangan, dan sumberdaya besar, sekaligus juga memperoleh mandat dari rakyat. Sebaliknya OMS tentu tidak mempunyai hal itu, termasuk tidak memperoleh mandat dari rakyat. Tetapi pemerintah tidak bisa menentukan dan menggenggam seluruh komponen yang hidup dalam wilayah kekuasaannya. Pemerintah tidak bisa menyuruh OMS diam dan membantu pemerintah secara total. OMS yang civil hadir membawa nilai-nilai (humanisme, pluralisme, transparansi, akuntabilitas, dan lain-lain) yang mungkin berbeda dengan nilai-nilai dan perangkat yang dimiliki pemerintah. Jika dipandang dari sudut pemerintah, kehadiran OMS beserta nilai-lainya itu tentu menjadi

Page 119: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

oposisi atau menjadi duri dalam daging. Tetapi semua itu sebenarnya menjadi komponen yang membuat negeri atau daerah menjadi sehat. Daerah yang memiliki masyarakat sipil yang kuat, akan membuat daerah itu dijauhkan dari keburukan dan akan menjadi lebih bermakna bagi rakyat.

Di sisi lain para pejabat daerah sebenarnya sangat paham akan jargon good governance, yang antara lain menyerukan keseimbangan dan kesejajaran antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Jika hendak membuat daerah lebih otentik dan bermakna, maka sebaiknya pemerintah daerah sebagai sektor pertama menumbuhkan model pemerintahan dan pembangunan yang berimbang (balanced governance and development). Jika kita belajar pada kisah Jawa Timur pada masa Orde Baru yang ditulis oleh Howard Dick dan kawan-kawan (1997), pembangunan berimbang itu berupaya menciptakan perimbangan dan interkoneksi antara sektoral dan spasial, desa dan perkotaan, serta pertanian dan nonpertanian. Menurut para penulis itu, pembangunan berimbang merupakan kunci utama bagi kemajuan dan keberasan Jawa Timur dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

Pelajaran pembangunan berimbang model Jawa Timur tentu bisa diadaptasi oleh daerah-daerah lain termasuk Provinsi NAD. Tetapi buku ini lebih menyoroti perimbangan dari sisi governance, yakni keseimbangan antara aktor pemerintah, swasta (masyarakat ekonomi), masyarakat politik dan masyarakat sipil. Prinsip keseimbangan para aktor inilah yang dalam jangka panjang akan membuat daerah lebih sehat dan bermakna. Salah satu cara untuk membuat keseimbangan itu adalah membuka diri (inklusif) dengan OMS. OMS bukan sekadar yang berbasis massa banyak, bukan sekadar yayasan yang berhak menerima bantuan sosial, bukan sekadar yang membantu pemerintah, tetapi juga OMS yang berbeda dan kritis terhadap pemerintah sekalipun OMS itu tidak punya massa besar. Para pemimpin daerah di Aceh sebenarnya jauh lebih inklusif yang menerima kehadiran OMS dalam proses deliberasi kebijakan publik. Tetapi menerima kehadiran OMS bukan berarti untuk menambal lobang-lobang pemerintah daerah atau untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah daerah.

Jika OMS dipandang sebagai aset yang penting maka kepekaan terhadap keberlanjutan mereka menjadi penting. Mereka tidak meminta dikucuri bantuan sosial seperti yayasan pengelola panti asuhan atau panti jompo, tetapi mereka berharap berpean menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam konteks pemerintahan dan pembangunan daerah. Aceh yang memiliki dana otonomi khusus yang tidak kecil, sebenarnya bisa membuat rintisan untuk menata ulang relasi antara pemerintah daerah dan OMS berdasarkan prinsip-prinsip kemitraan. Jika dana menjadi isu yang penting dalam relasi itu, sebenarnya ada beberapa pilihan tentang alokasi dana dari pemerintah kepada OMS.

Pertama, dana bantuan sosial yang selama ini sudah diterapkan pemerintah untuk membantu organisasi masyarakat. Dana ini memang harus diberikan secara kompensatoris atau semacam jaring pengaman sosial kepada organisasi massa yang bertugas membina

Page 120: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

masyarakat atau panti asuhan dan panti jompo yang membantu pemerintah. Tetapi dana model ini tidak relevan diberikan kepada OMS yang bertipe NGOs.

Kedua, dana proyek pembangunan yang dialokasikan kepada pihak ketika melalui mekanisme tender atau sering disebut model shopping. Selama ini yang berperan sebagai pihak ketiga adalah swasta (private sector), yang umumnya mengusung profesionalisme tetapi miskin idealisme. Kalangan NGOs pada umumnya tidak memenuhi syarat untuk bisa mengikuti tender, tentu karena kelemahan NGOs dalam hal perpajakan, tetapi juga regulasi yang mengharuskan peserta tender mempunyai sertifikat konsultan, sebuah syarat yang selalu dihindari oleh NGOs. Karena itu dalam medan tender pengadaan barang dan jasa ini, NGOs umumnya tidak pernah berdiri sebagai pemain, tetapi sebagai watchdog yang memantu proses tender agar tender lebih transparan dan akuntabel. Yang menjadi catatan disini, kalau NGOs bisa mengikuti tender pada proyek-proyek pembangunan dari lembaga-lembaga asing, kenapa mereka mengalami kesulitan untuk mengikuti tender dari pemerintahnya sendiri?

Ketiga, dana kemitraan, yang selama ini belum diterapkan secara baik oleh pemerintah, dan belum ada aturan mainnya. Dalam konteks ini, kemitraan adalah bentuk organisasi yang disusun secara kolaboratif antara pemerintah daerah dan OMS untuk keperluan khsusus, misalnya kemitraan untuk pengembangan ekonomi lokal, kemitraan untuk pengelolaan SDA dan lingkungan secara berkelanjutan, kemitraan untuk penanggulangan kemiskinan, kemitraan untuk reformasi desa, kemitraan untuk pelestarian lingkungan dan masih banyak lagi. Di dalam kemitraan itu merumuskan dan menjalankan agenda dan tujuan bersama, yang dananya berasal dari pemerintah. Kalangan OMS bisa bergabung dalam kemitraan itu, yang memungkinkan mereka mempunyai kontribusi bagi pembangunan daerah secara berkelanjutan.

Jendela bagi Donor

Donor mempunyai kekuasaan, pengetahuan dan dana besar yang selama ini berkontribusi besar terhadap kemajuan pembangunan dan demokratisasi di Indonesia. Meskipun bantuan dana ini mempunyai dimensi politik yang besar, tetapi sebenarnya ia mengandung prinsip filantropi kemanusiaan serta menjadi bagian dari kemitraan global dan global civil society. Karena itu “kebajikan bantuan” sebenarnya lebih penting daripada “politik bantuan”.

Tetapi selama ini politik bantuan lebih menonjol daripada kebajikan bantuan, sehingga demokratisasi di Indonesia menimbulkan kesan sebagai donor driven democratization. Strategi donor selalu berubah-ubah sesuai dengan trend politik di Indonesia dan sesuai dengan cara pandang politik donor. Pada tahun 2004, misalnya, multi donor melakukan sebuah evaluasi terhadap strategi dan efektivitas pemberian dana kepada NGOs yang sudah berlangsung beberapa tahun. Evaluasi ini menyampaikan sebuah temuan bahwa NGOs sangat sangat strategis untuk menumbuhkan masyarakat sipil di Indonesia, tetapi tidak

Page 121: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka

efektif untuk mendorong reformasi pemerintahan (governance reform). Mengapa? Pertama, kemampuan NGOs dalam melakukan advokasi masih lemah, bahkan masih selalu menggunakan strategi lama (oposisi) dalam menghadapi pemerintah. Kedua, dalam tubuh NGOs rentan konflik internal yang hal ini menganggu akuntabilitas dan efektivitas program. Dilatari oleh kelemahan NGOs dan pemerintah Indonesia yang semakin terbuka, maka multidonor itu merekomendasikan untuk mengubah strategi pemberian donor, yakni dari civil society first yang menonjol pada tahun 1998-2004 menjadi state first mulai 2005 hingga sekarang. Sekarang rata-rata lembaga donor negara (bilateral) memindahkan programnya secara langsung ke dalam tubuh negara (pemerintah pusat dan daerah), melalui pendampingan untuk inovasi kebijakan maupun pengembangan kapasitas. Secara manjaerial, dana dan program donor sekarang lebih berorientasi pada proyek-proyek berorientasi output jangka pendek. Aspek proses dan pembelajaran yang membangun keseimbangan dan trust antara OMS dan pemerintah kurang diperhatikan oleh donor. Donor lebih suka mengambil para konsultan independen yang berasal dari NGOs untuk mendampingi pemerintah, dan kalau melibatkan NGOs tentu hanya bersifat komplementer.

Strategi dan program donor itu telah berlangsung hampir lima tahun. Apa yang terjadi? Donor pasti yang lebih tahu dan akan melakukan evaluasi kembali. Tetapi kalau dilihat dari luar, strategi state first itu juga tidak efektif. Dalam praktiknya pekerjaan asistensi donor kepada pemerintah hanya melayani para pejabat eselon III belaka, sementara keterlibatan pucuk pimpinan hanya bersifat simbolik dan seremonial. Energi donor juga habis untuk melayani dan menyaksikan fragmentasi kepentingan dalam tubuh birokrasi, antara satu direktorat dengan direktorat lainya antara satu departemen dengan departemen lainnya. Di sisi lain produk-produk regulasi yang dihasilkan dari kemitraan pemerintah dan donor itu pada umumnya juga menghadapi kritik dari OMS sehingga akan mengganggu legitimasi.

Pengalaman ANCORS sebenarnya memberikan pelajaran penting tentang strategi program, model pendanaan dan disain organisasi yang baik bagi lembaga donor. ACNORS yang menerapkan model investing yang berorientasi pada intervensi terhadap penguatan kapasitas OMS dan perubahan sistem bisa dijadikan poin pembelajaran bagi donor. Sebaiknya strategi state first dan civil society first ditinjau ulang, dan tampaknya kita membutuhkan strategi kolaborasi antara pemerintah dan OMS sebagaimana ide dana kemitraan dari pemerintah daerah di atas. Kolaborasi tentu tidak hanya di sektor masyarakat sipil, tetapi kolaborasi antara pemerintah dan OMS, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap keseimbangan secara berkelanjutan. Model ini tentu tidak bisa dinilai kelurannya dalam jangka pendek, tetapi akan menghasilkan outcome dan impact dalam jangka panjang.

Page 122: Prawacana · Web viewAda sejumlah buku buah karya presiden, jenderal, gubernur maupun bupati/walikota yang mempertunjukkan kehebatan mereka dan serangkaian serita sukses yang mereka