PRAKTIK KEKUASAAN PERSUASIF DALAM · PDF filePenelitian ini merupakan penelitian yang...
Transcript of PRAKTIK KEKUASAAN PERSUASIF DALAM · PDF filePenelitian ini merupakan penelitian yang...
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
PRAKTIK KEKUASAAN PERSUASIF DALAM PERSPEKTIF ENVIRONMENTAL GOVERNANCE
(STUDI KEBIJAKAN PENGAMANAN TANGGUL SUNGAI BRANTAS BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT DI KABUPATEN JOMBANG)
Oleh: Novy Setia Yunas
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Darul ‘Ulum Jombang
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui indepth interview, observasi, studi dokumentasi dan studi literatur. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui usaha apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Jombang untuk menanggulangi kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin mekanik yang terjadi di sepanjang daerah aliran Sungai Brantas dalam kaitannya dengan keberhasilan implementasi kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat. Kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat diimplementasikan sebagai akibat dari inefektivitas implementasi kebijakan operasi penambangan pasir illegal berbasis represif. Sesuai penelitian ini, kebijakan tersebut relevan dengan konsep-konsep yang ada pada environmental governance, dimana proses implementasi kebijakan tersebut dibangun oleh relasi antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Faktor utama dari keberhasilan implementasi kebijakan tersebut terletak pada penggunaan energi masyarakat, kemitraan/ kolaborasi multi aktor dan yang terakhir adalah adanya perubahan pola pendekatan dari represif ke partisipatif. Sehingga kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat tersebut merupakan perwujudan dari praktik kekuasaan persuasif dalam perspektif Environmental Governance.
Keyword: Kerusakan, sungai, kebijakan, partisipasi, represif
Pendahuluan
Sungai Brantas merupakan salah satu sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Sungai
Bengawan Solo. Sungai yang menjadi kebanggaan sekaligus tumpuan hidup masyarakat Jawa
Timur ini memiliki luas area sekitar 12.000 kilometer persegi dan panjang sungai mencapai 320
kilometer. Sungai Brantas bersumber dari Sumber Brantas Kota Batu, tepatnya di lereng Gunung
Arjuna dan Anjasmara, lalu mengalir ke Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto, dan
akhirnya ke Surabaya (Selat Madura atau Laut Jawa).
Berdasar data yang dirilis oleh Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS), jumlah
penduduk di wilayah yang dilalui Sungai Brantas pada tahun 2008 lalu mencapai 16.194.400 jiwa
atau 42,16 persen dari total penduduk Jawa Timur.1 Sungai Brantas merupakan sumber utama
kebutuhan air baku untuk konsumsi domestik, irigasi, kesehatan, industri, rekreasi, pembangkit
tenaga listrik, dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Sungai Brantas memiliki fungsi dan
1 Profil Daerah Aliran Sungai Brantas http://bbwsbrantas.pdsda.net/index.php?option=com diakses tanggal. 20 Januari 2015
87
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
memberikan manfaat yang sangat besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang ada di
sekitarnya.
Namun dalam perkembangannya saat ini, Sungai Brantas tidak lagi dapat memberikan manfaat
yang sangat baik seperti sedia kala, bahkan potensi bencana juga mengancam masyarakat yang
bermukim di sekitar Sungai Brantas tersebut. Pasalnya, Sungai Brantas saat ini telah mengalami
proses penurunan manfaat yang cukup besar. Proses penurunan manfaat ini disebabkan oleh
perilaku-perilaku alam dan manusia itu sendiri yang mengarah pada tindakan destruktif terhadap
daerah mata air serta lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai tersebut. Berdasarkan data dari
Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH IX Jawa Timur) menyebutkan bahwa daerah aliran
Sungai Brantas adalah salah satu daerah aliran sungai paling kritis dari sekitar 29 daerah aliran
sungai yang ada di Jawa Timur. Hampir setengah dari wilayah daerah aliran sungai ini termasuk
dalam kategori lahan kritis. Isu kerusakan lingkungan yang paling menonjol di kawasan ini adalah
alih-guna lahan dari hutan menjadi lahan pertanian maupun perumahan di wilayah hulu Sungai
Brantas, penurunan kuantitas dan kualitas air akibat pencemaran industri maupun rumah tangga dan
penurunan dasar sungai akibat eksploitasi pasir sungai menggunakan mesin mekanik.2
Permasalahan kerusakan lingkungan yang ada di sepanjang daerah aliran Sungai Brantas
tersebut hampir mayoritas disebabkan oleh perilaku manusia. Dalam kondisi dan kenyataan yang
seperti ini semakin menegaskan bahwa alam masih menjadi alat bagi kepentingan manusia.
Manusia mengejar berbagai kepentingannya seperti kepentingan ekonomi, sosial maupun politik
tanpa memperhatikan kelestarian dan kepeduliannya terhadap alam semesta. Kondisi seperti inilah
yang kemudian relevan untuk dianalisa berdasar pada perspektif antroposentrik. Perlu diketahui
bahwa perspektif antroposentrik merupakan salah satu pendekatan dan konsep teoritis dalam studi
politik lingkungan dan sumber daya alam. Pendekatan antroposentrik secara tegas menjelaskan
bahwa manusia merupakan sentral dari alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang
paling menentukan dalam tatanan ekosistem maupun dalam kebijakan yang diambil kaitannya
dengan alam baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan ini memandang bahwa nilai
tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Dengan dalih memenuhi kepentingannya, manusia
dapat seenaknya mengeskploitasi alam.
Kemudian berbicara lebih lanjut mengenai kerusakan di sepanjang daerah aliran Sungai
Brantas, salah satu daerah di Jawa Timur yang dilalui Sungai Brantas adalah Kabupaten Jombang.
Daerah tersebut dihadapkan pada masalah yang sama yakni kerusakan lingkungan di sepanjang
daerah aliran Sungai Brantas. Sudah berulang kali pemandangan terkait kerusakan di daerah aliran
Sungai Brantas yang melewati Kabupaten Jombang ini terlihat secara jelas. Mulai dari penurunan
2 Widianto, Didik Suprayogo, Sudarto. Implementasi Kaji Cepat Hidrologi (RHA) di Hulu DAS Brantas. Bogor: World Agroforestry Centre, 2011, hal 1
88
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
dasar sungai yang berdampak pada longsornya tanggul penampang sungai dan kerusakan
infrastruktur pengairan, penurunan kuantitas dan kualitas air yang disebabkan oleh pembuangan
limbah industri maupun limbah rumah tangga dan alih fungsi lahan di sekitar bantaran Sungai
Brantas yang tidak sesuai dengan peruntukannya seperti untuk perumahan dan sebagainya.
Salah satu bentuk kerusakan lingkungan di daerah aliran Sungai Brantas Kabupaten
Jombang yang kini menjadi sorotan para pemerhati lingkungan dan kondisinya yang cukup
memperihatinkan adalah penurunan dasar sungai akibat maraknya aktivitas penambangan pasir
menggunakan mesin mekanik. Mesin mekanik yang dimaksud adalah alat atau sarana penambangan
yang termodernisasi sejak munculnya beberapa penambang besar yang mengadopsi mesin penyedot
pasir bertenaga diesel. Tren modernisasi ini menular secara cepat dan masiv ke kalangan
penambang lain yang ada di sepanjang aliran Sungai Brantas. Kegiatan penambangan pasir sungai
dengan mesin mekanik ini menjadi perhatian bersama saat ini, pasalnya berdasar penelitian yang
dilakukan Perum Jasa Tirta, volume pasir yang dikeruk dengan cara mekanik per tahunnya bisa
mencapai kisaran 2 juta meter kubik lebih. Angka ini jauh melebihi ambang batas toleransi
pengambilan pasir di sepanjang aliran Sungai Brantas yang hanya 450 ribu meter kubik/ tahun.3
Akibatnya sungguh mengerikan, eksploitasi besar-besaran tersebut menyebabkan penurunan dasar
sungai yang berdampak pada keamanan konstruksi jembatan, infrastruktur pengairan seperti dam
karet dan tanggul-tanggul pengaman Sungai Brantas yang keberadaanya amat penting untuk
melindungi pemukiman penduduk atau lingkungan yang terdekat dengan sungai dari bencana-
bencana primer seperti banjir dan sebagainya. Berdasar hasil penelitian yang dilakukan Perum Jasa
Tirta Divisi Jasa Air dan Sumber Air (ASA) I/II wilayah Tulungagung-Trenggalek menunjukkan,
akibat maraknya penambangan pasir di sepanjang aliran Sungai Brantas, dasar Sungai Brantas turun
sampai kisaran 8 meter pada tahun 2006 dan bertambah menjadi 12 meter pada tahun 2009.4 Fakta
riil di lapangan juga ditemukan banyak titik tanggul Sungai Brantas di wilayah Kabupaten Jombang
yang kondisinya kritis dan sudah hampir jebol, otomatis resiko dari kondisi tersebut nantinya jika
sampai tanggul penahan air di sepanjang aliran Sungai Brantas jebol, maka bencana besar terutama
banjir bisa melanda area pemukiman penduduk maupun lahan-lahan pertanian milik penduduk.
Permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi di sepanjang daerah aliran Sungai Brantas
sebagaimana dimaksud di atas nampaknya sudah berada pada kondisi yang sangat mendesak dan
menuntut perhatian dari berbagai pihak. Pemerintah sebagai otoritas di daerah dituntut untuk lebih
mampu membuat sebuah kebijakan yang bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut dengan
melibatkan serta menguntungkan banyak pihak. Artinya, kebijakan yang ada selama ini terbatas
pada pola pendekatan kekuasaan dengan instrumen penegakan hukum seperti aksi-aksi penertiban
3 Efek domino penurunan dasar Sungai Brantas. http://www.antaranews.com/berita/1303716 diakses tanggal 20 Januari 2015 4 Ibid.
89
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
dan tindakan represif aparat sehingga tidak sedikit dari tindakan-tindakan tersebut justru
menyebabkan konflik ataupun gesekan diantara pemerintah dan masyarakat. Kondisi seperti ini
yang kemudian tidak jarang menciptakan kerugian bagi masyarakat dan masyarakat pun semakin
menilai pemerintah pada posisi yang tidak baik. Kebijakan-kebijakan berbasis represif seperti itu
nampaknya menjadi sebuah kebijakan yang banyak diambil oleh pemerintah kabupaten maupun
kota yang dilalui Sungai Brantas dengan permasalahan yang sama, mulai dari Kabupaten/ Kota
Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung
dan Kabupaten/ Kota Mojokerto.
Berdasarkan pengalaman di lapangan sebagaimana yang dimaksud di atas, maka yang
dibutuhkan saat ini adalah kebijakan yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan baik dari
masyarakat, pemerintah dan juga pihak-pihak yang mengambil bagian penting dalam proses
kerusakan dan sebaliknya mengambil manfaat dari Sungai Brantas seperti pihak swasta. Dalam
konteks studi politik lingkungan dan sumber daya alam, terdapat sebuah konsep environmental
governance yang merupakan salah satu konsep manajemen pengelolaan lingkungan dan sumber
daya alam yang diarahkan untuk meminimalisir kerusakan lingkungan. Konteks utama dalam
environmental governance didasarkan pada relasi di antara pemerintah, pihak swasta dan
masyarakat atau dalam konteks governance disebut segitiga governance. Melalui hubungan
relasional yang baik tersebut diharapkan muncul beberapa gagasan dan aksi-aksi penyelamatan
lingkungan serta pelestarian alam maupun kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal itu,
Bupati Jombang atas nama pemerintah daerah Kabupaten Jombang memperoleh banyak masukan
dari elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kondisi Sungai Brantas, kemudian
menginstruksikan sebuah kebijakan penyelamatan daerah aliran Sungai Brantas berbasis partisipasi
masyarakat. Kebijakan yang diberi nama Jaga Tanggul atau kebijakan pengamanan tanggul Sungai
Brantas berbasis partisipasi masyarakat tersebut dinilai sebagai sebuah kebijakan yang melibatkan
banyak aktor seperti masyarakat, pemerintah dan membangun kemitraan publik serta swasta dalam
penyelamatan dan pengelolaan daerah aliran Sungai Brantas. Perkembangan kebijakan yang
berbeda dengan daerah lain tersebut, sampai saat ini cukup membawa banyak perubahan yang
sangat signifikan bagi aksi penyelamatan lingkungan di daerah aliran Sungai Brantas. Karena dalam
implementasinya, kebijakan tersebut tidak hanya menjalankan tindakan represif aparat dalam
menertibkan aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin mekanik tersebut melainkan dengan
pendekatan yang persuasif, humanis serta memperhatikan aspek sosio-kultural dan ekonomi. Dalam
artian, pemerintah tidak hanya bertindak secara represif dalam menertibkan usaha illegal mereka
melainkan pemerintah juga mempersiapkan perubahan mata pencaharian atau alih profesi yang
lebih layak bagi para penambang pasir yang selama ini menggantungkan hidupnya dari usaha
penambangan pasir illegal tersebut. Selain itu, masyarakat juga dilibatkan sebagai pelaksana
90
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
inisiatif pemerintah daerah tersebut sekaligus mengawasi proses implementasi kebijakan yang ada.
Dengan pola dan pendekatan seperti itu, maka realita di lapangan saat ini tidak ditemui lagi
aktivitas-aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin mekanik di wilayah Kabupaten
Jombang. Berkaitan dengan latar belakang penelitian tersebut serta keberadaan kebijakan
pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Jombang sebagai fokus studi penelitian ini, maka penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui usaha-usaha apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten
Jombang untuk menanggulangi kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi di sepanjang daerah
aliran Sungai Brantas akibat aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin mekanik dalam
kaitannya dengan keberhasilan implementasi kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas
berbasis partisipasi masyarakat.
Potensi Kerusakan Daerah Aliran Sungai Brantas di Kabupaten Jombang
Salah satu potensi kerusakan yang saat ini menjadi sorotan para pemerhati lingkungan dan
masyarakat khususnya di daerah aliran Sungai Brantas Kabupaten Jombang adalah maraknya
aktivitas eksploitasi pasir sungai dengan menggunakan mesin mekanik. Mesin mekanik yang
dimaksud adalah alat atau sarana penambangan yang cukup mengalami modernisasi sejak
munculnya beberapa penambang besar yang mengadopsi mesin penyedot pasir bertenaga diesel.
Tren modernisasi ini menular secara cepat dan masiv ke kalangan penambang lain yang ada di
sepanjang aliran sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Timur itu maupun di kawasan atau
daerah aliran Sungai Brantas. Kondisi penambangan pasir yang terjadi di Kabupaten Jombang
benar-benar memprihatinkan hal tersebut dapat dilihat pada jumlah penambang pasir yang sangat
besar. Bahkan berdasarkan data dari JPIP menyatakan bahwa mereka melakukan aktivitas
penambangan pasir tersebut sejak tahun 1987.5 Sehingga dampak yang dihasilkan dari aktivitas
penambangan pasir tersebut cukup signifikan karena yang pertama perahu menggunakan mesin
mekanik yang dilengkapi dengan paralon-paralon yang panjang dan sifatnya elastis bisa
menjangkau kemana-mana bahkan sampai dasar sungai yang dalamnya berkisar 10-25 meter. Dan
yang kedua, perahu ini bisa mobile, artinya bergerak kemana-mana mencari lahan baru yang masih
memiliki kandungan pasir yang berkualitas dan kuantitasnya besar. Bahkan dari hasil wawancara
dengan Kasi Pengendalian Operasional Satpol PP Kabupaten Jombang menyatakan bahwa
penambangan pasir dengan menggunakan perahu ini sifatnya hampir sama dengan pengeboran
minyak karena bukan hanya pasir di bawah air yang disedot melainkan sampai padasnya juga
5 The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi. Kinerja Pengelolaan Sungai dan Saluran Terbuka (Salter) di Jawa Timur. Surabaya: The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi, 2012, hal 13
91
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
diambil karena pada areal tersebut kualitas pasir sangat baik dengan nilai ekonomis yang sangat
tinggi.6
Kegiatan penambangan pasir sungai dengan mesin mekanik ini memang menjadi persoalan
tersendiri dan membutuhkan perhatian saat ini. Pasalnya, berdasar estimasi yang dilakukan Sub
Divisi III PT Jasa Tirta Kediri, volume pasir yang dikeruk dengan cara manual dan mekanik
pertahunnya bisa mencapai kisaran 1,6 juta meter kubik lebih. Angka ini jauh melebihi ambang
batas toleransi pengambilan pasir di sepanjang aliran Sungai Brantas yang hanya 450 ribu meter
kubik/ tahun. Jumlah sebesar itu akan dapat merusak lingkungan di daerah aliran sungai dalam
jangka waktu yang akan datang, sehingga sekecil apapun penambangan pasir sungai seharusnya
mampu untuk lebih menyeimbangkan ekosistem sungai yang diharapkan dapat memberi dampak
yang positif bagi warga sekitar daerah aliran sungai bukan malah memberi rasa khawatir bagi warga
sekitar daerah aliran sungai.7
Dari penelitian yang dilakukan penulis di lapangan melalui studi dokumentasi milik Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Jombang ditemukan bahwa akibat dari kondisi eksploitasi
pasir besar-besaran tersebut sungguh mengerikan, karena menyebabkan beberapa potensi kerusakan
antara lain:
1. Penurunan dasar sungai
Penurunan (degradasi) dasar sungai disebabkan karena tidak seimbangnya suplai dan
besarnya ekspoitasi sedimen (pasir) di sungai. Berdasar hasil penelitian yang dilakukan
Perum Jasa Tirta Divisi Jasa Air dan Sumber Air (ASA) I/II wilayah Tulungagung-
Trenggalek menunjukkan, akibat maraknya penambangan pasir di sepanjang aliran
Sungai Brantas, dasar sungai turun sampai kisaran 8 meter pada tahun 2006 dan
bertambah menjadi 12 meter pada tahun 2009. Kondisi penurunan dasar sungai tersebut
kemudian berdampak pada longsornya tanggul-tanggul sungai. Padahal keberadaan
tanggul sungai ini sangat penting, fungsi utama dari tanggul sungai tersebut adalah
melindungi pemukiman penduduk atau lingkungan yang terdekat dengan sungai dari
bencana-bencana primer seperti banjir dan sebagainya. Pada observasi lapangan yang
dilakukan oleh penulis di beberapa kecamatan yang dilalui Sungai Brantas tepatnya di
Kecamatan Plandaan, Kecamatan Tembelang, Kecamatan Kudu, Kecamatan Megaluh,
Kecamatan Ploso penulis memperoleh fakta di lapangan bahwa banyak titik tanggul
Sungai Brantas di wilayah Kabupaten Jombang yang longsor dan hampir jebol, otomatis
6 Narasumber: M. Ronny Affriandie (Kepala Seksi Pengendalian Operasional Satpol PP Jombang). Hari: Senin. Tanggal: 12 November 2012. Pukul. 10.00- 11.00 WIB Bertempat di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jombang, Jalan. KH. Wahid Hasyim Jombang 7 Data tersebut dirilis oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Jombang dalam kajian kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan pasir Sungai Brantas di Wilayah Kabupaten Jombang tahun 2010
92
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
resiko dari kondisi tersebut nantinya jika sampai tanggul penahan air di sepanjang aliran
Sungai Brantas jebol, maka bencana banjir dapat melanda area padat penduduk maupun
lahan-lahan pertanian. Selain itu, penurunan dasar sungai akibat penambangan pasir
menggunakan mesin mekanik menyebabkan konstruksi penyangga bangunan di dasar
sungai menjadi menggantung, sehingga berpengaruh terhadap keamanan konstruksi
bendungan/ dam maupun jembatan. Selain itu akan terjadi penurunan elevasi muka air
Sungai Brantas sehingga pengaturan saluran irigasi primer dan sekunder menjadi
semakin sulit. Berdasar data yang dirilis oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Jombang penulis memperoleh temuan bahwa pada tahun 2002 konstruksi dam
Jatimlerek anjlok karena penurunan dasar sungai yang diakibatkan maraknya
penambangan pasir menggunakan mesin mekanik yang dilakukan di sekitar dam
Jatimlerek.8 Kemudian berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Jombang, pada tahun 2007 yang lalu juga terjadi kerusakan Jembatan
Beng di Desa Gebangbunder, Kecamatan Plandaan. Jembatan sepanjang 100 meter
dengan lebar 4 meter yang melintasi Kali Beng dan menghubungkan Desa
Gebangbunder dengan Kecamatan Lengkong, Kabupaten Nganjuk, itu patah akibat
tiang penyangga bagian tengah turun sekitar 1 meter. Tiang itu turun akibat pasir di
dasar sungai hanyut terbawa arus Kali Beng ke Sungai Brantas. 9
2. Kerusakan infrastruktur jalan
Selain kerusakan yang telah disebutkan di atas, aktivitas pengangkutan pasir yang
berlebihan di ruas jalan sepanjang Sungai Brantas, dengan tonase truk yang melebihi
dari ketentuan kelas jalan menyebabkan terjadinya kerusakan jalan. Dampak
lanjutannya adalah terganggunya aktivitas masyarakat terutama aktivitas perekonomian,
karena tidak memadainya infrastruktur transportasi. Sementara kontribusi dari kegiatan
penambangan pasir relatif kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan
kondisi jalan.10
3. Kepunahan Biota Sungai.
Substrat di permukaan dasar sungai menjadi habitat bagi berbagai jenis biota dasar
sungai (bentos)11 misalnya kerang, keong, dan larva serangga. Hewan yang hidup di
dasar sungai menyaring makanan dari air dan mengais bahan organik yang menempel di
permukaan pasir dan batuan. Hewan di dasar sungai berperan penting dalam membantu
8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Menurut Rini (2009) Bentos adalah organism air yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Bentos ini memegang peranan penting dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan.
93
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
penguraian bahan pencemar organik yang mencemari air sungai. Selain itu hewan
bentos ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan. Hewan ini berperan penting dalam
menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem sungai. Perubahan substrat dasar
sungai dapat menyebabkan punahnya hewan bentos yang akan menghambat proses
penguraian bahan pencemar di sungai serta mengurangi sumber makanan bagi ikan dan
hewan air lainnya. Kepunahan hewan bentos dapat diikuti oleh penumpukan bahan
pencemar organik di perairan sungai dan berkurangnya jumlah ikan di bagian sungai.12
4. Kerusakan konstruksi rumah masyarakat
Salah satu temuan di lapangan terkait potensi kerusakan di daerah aliran Sungai Brantas
adalah rusaknya konstruksi rumah masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran
Sungai Brantas. Banyak masyarakat khususnya yang bermukim di sepanjang aliran
Sungai Brantas mengeluhkan hal yang sama, misalnya retak-retak pada dinding rumah
maupun lantai. Hal ini disebabkan karena keroposnya tanah yang ada di sekitar sungai
akibat eksploitasi besar-besaran oleh penambang pasir menggunakan mesin mekanik.
5. Kuantitas air yang semakin menipis
Selain rusaknya konstruksi rumah warga sebagai hasil temuan di lapangan terkait
potensi kerusakan di sepanjang aliran Sungai Brantas, tidak sedikit warga yang
mengeluhkan kuantitas air sumur mereka yang semakin lama semakin menipis. Selain
kuantitas air yang semakin menipis, kualitas air juga kurang baik. Air kini mulai keruh,
berbau tidak sedap dan membawa pasir.
Dua temuan di atas, kemudian diperkuat dari hasil wawancara dengan Abdul Wahab selaku
masyarakat sekitar Sungai Brantas yang menyatakan bahwa selama ada aktivitas penambangan
pasir di Sungai Brantas, masyarakat merasakan semakin lama semakin mengganggu lingkungan
sekitar. Kondisi lingkungan yang terganggu tersebut terasa dari kualitas dan kuantitas air bersih.
Selain itu masyarakat mulai merasakan bahwa rumah mereka yang terletak di sekitar sungai ini
mulai mengalami keretakan pada dinding maupun lantai.13
Kebijakan Represif: Operasi Penertiban Penambangan Pasir Illegal
Melihat tingkat kerusakan yang cukup mengkhawatirkan bagi keselamatan penduduk di
sekitar daerah aliran Sungai Brantas sebagaimana yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya,
maka saat ini dibutuhkan sebuah peran dan upaya yang terbaik dari pemerintah daerah untuk
mengatasi persoalan kerusakan yang diakibatkan oleh maraknya aktivitas penambangan pasir
12 Data tersebut dirilis oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Jombang dalam kajian kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan pasir Sungai Brantas di Wilayah Kabupaten Jombang tahun 2010 13 Narasumber: Abdul Wahab (Tokoh Masyarakat dan Koordinator Satgas Pengamanan Tanggul Sungai Brantas Kecamatan Megaluh). Hari: Senin, Tanggal: 29 Oktober 2012. Pukul. 16.30- 17.30 WIB Bertempat di Desa. Ngogri Kecamatan. Megaluh.
94
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
menggunakan mesin mekanik. Di tingkat provinsi, pemerintah daerah provinsi Jawa Timur telah
menerbitkan sebuah peraturan daerah (perda) nomor 1 tahun 2005 yang mengatur tentang
pengendalian usaha pertambangan bahan galian golongan C pada wilayah sungai di Provinsi Jawa
Timur sebagai bentuk tindak lanjut dari undang-undang pengelolaan lingkungan hidup. Selain
peraturan daerah (perda) provinsi Jawa Timur nomor 1 tahun 2005, untuk mengatur aktivitas
penambangan pasir di wilayah sungai yang ada di provinsi Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur juga
mengeluarkan surat gubernur Jawa Timur nomor. 331.1/84/303/2007 tentang penambangan pasir
liar menggunakan mesin mekanik di Sungai Brantas maupun Sungai Bengawan Solo. Sedangkan di
tingkat Kabupaten Jombang, Bupati Jombang juga mengeluarkan surat keputusan Bupati Jombang
nomor: 188/48/405.12/2002 tentang pembentukan tim operasi PATAS (Penertiban Penambang
Pasir Sungai Brantas) dalam wilayah Kabupaten Jombang.
Maka sebagai langkah implementasi peraturan daerah tersebut, pemerintah provinsi
menginstruksikan kepada seluruh pemerintah kabupaten yang berada di wilayah sungai
sebagaimana dimaksud pada peraturan tersebut untuk melakukan upaya semaksimal mungkin
berupa operasi penertiban aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin mekanik di wilayah
sungai yang ada di Provinsi Jawa Timur. Satpol PP merupakan leading sector dari upaya operasi
penertiban tersebut karena sesuai dengan perannya yakni menegakkan peraturan pemerintah daerah
dituntut untuk dapat bekerja sama dengan instrumen penegak hukum lainnya seperti pihak
Kepolisian, TNI, Polisi Militer dan pihak-pihak sipil lainnya seperti Jasa Tirta I, Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Pengairan serta Muspika. Upaya yang dilakukan dalam operasi represif tersebut
sangat konkrit yakni perahu yang mereka gunakan untuk aktivitas penambangan pasir akan dibakar
ataupun dirusak sedangkan mesin penyedot dan mesin perahu akan disita sebagai barang bukti.
Namun dalam realita di lapangan dan hasil penelitian, menyatakan bahwa masyarakat
menilai bahwa operasi penambangan pasir dengan cara represif yang dilakukan selama ini kurang
maksimal. Buktinya beberapa tahun operasi dilakukan dengan anggaran yang tidak sedikit kurang
berhasil menekan aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin mekanik di Sungai Brantas.
Terlebih hasil temuan di lapangan menyebutkan bahwa, ketika operasi petugas tidak memperoleh
apa-apa atau dinyatakan nihil tetapi setelah petugas pulang para penambang pasir melakukan
aktivitasnya kembali. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi di masyarakat. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa kondisi tersebut semata-mata disebabkan oleh adanya
kebocoran informasi sebelum operasi dilaksanakan, sehingga para penambang pasir dapat
mengamankan terlebih dahulu seluruh aset usaha penambangan yang dimilikinya. Yang menjadi
pertanyaan mengapa bisa bocor informasi sebelum diadakannya operasi dan siapa yang
mencoborkan? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang kerap kali diajukan penulis dalam
melakukan penelitian terhadap masyarakat baik mantan penambang pasir ataupun otoritas terkait
95
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
dari Satpol PP. Berdasar hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Kasi Pengendalian
Operasional Satpol PP Kabupaten Jombang didapatkan hasil bahwa secara umum mereka mengakui
bahwa potensi kebocoran informasi sebelum operasi benar adanya sehingga para penambang pasir
bisa mengamankan usahanya terlebih dahulu. Potensi kebocoran yang ditekankan oleh narasumber
tersebut terletak pada jauhnya akses dari kantor menuju tempat operasi ditambah dengan arus lalu
lintas yang terkadang tidak mendukung seperti adanya kemacetan. Sehingga dari kondisi tersebut
memungkinkan adanya informasi yang bocor sehingga para penambang pasir dapat mengamankan
usahanya sebelum petugas datang. 14
Namun hasil temuan di atas berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh masyarakat.
Masyarakat mengungkapkan hal yang lebih ekstrim terkait pertanyaan mengapa operasi bisa bocor
dan siapa sebenarnya pihak yang membocorkan? Hampir seluruh narasumber dari pihak masyarakat
terutama masyarakat mantan penambang pasir menyatakan bahwa bocornya informasi sebelum
operasi itu disebabkan oleh adanya oknum internal yang sengaja membocorkan kepada para
penambang pasir. Dari penjelasan itu, kemudian muncul kembali pertanyaan mengapa ada oknum
internal yang sengaja membocorkan informasi tersebut? Jawabannya adalah hampir setiap usaha
penambangan pasir illegal menggunakan mesin mekanik ini melakukan tindakan kongkalikong
dengan oknum aparat penegak hukum yang melakukan operasi penambangan pasir dengan harapan
agar usaha penambangan pasir mereka tidak disentuh atau dengan kata lain tidak dioperasi.
Masyarakat juga mengungkapkan bahwa usaha penambangan pasir tersebut memberikan income
yang sangat besar bagi beberapa pihak yang terkait operasi tersebut.
Selain adanya indikasi kebocoran informasi sebelum operasi dilaksanakan akibat adanya
kongkalikong antara penambang pasir dan penegak hukum yang menyebabkan efektivitas operasi
represif ini dipertanyakan, ada satu hal lain yang juga menyebabkan efektivitas operasi represif ini
kembali dipertanyakan yakni adanya gesekan atau konflik dengan masyarakat ketika dilakukannya
operasi. Adanya gesekan atau konflik dengan masyarakat ini pada mulanya penulis sendiri pernah
mengetahui pada tahun 2002 tepatnya ketika terjadi operasi penertiban penambang pasir di Desa.
Rejoagung, Kecamatan. Ploso. Saat itu terjadi gesekan antara penambang dan aparat yang berujung
pada aksi bakar-bakaran ban, blokade jalan sampai ada penggunaan senjata api untuk menghentikan
aksi massa tersebut. Apa yang pernah dilihat oleh penulis pada tahun 2002 lalu hampir sama dengan
hasil temuan di lapangan yang menyatakan bahwa tidak sedikit terjadi gesekan antara aparat dan
masyarakat ketika dilakukannya operasi. Dari pihak satpol PP mengakui bahwa pada awalnya
memang banyak terjadi gesekan diantara aparat dan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
pemahaman masyarakat berkaitan dengan dampak penambangan pasir masih rendah. Masyarakat
14 Narasumber: M. Ronny Affriandie (Kasi Pengendalian Operasional Satpol PP Jombang). Hari: Senin. Tanggal: 12 November 2012. Pukul. 10.00-11.00 WIB Bertempat di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jombang, Jalan. KH. Wahid Hasyim Jombang.
96
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
utamanya penambang pasir masih berpikiran bahwa penambangan pasir merupakan aktivitas
ekonomi yang menjanjikan dan mayoritas menggantungkan hidupnya pada aktivitas tersebut.
Sehingga sekuat tenaga mereka akan mempertahankan usahanya.15
Jadi kesimpulannya, memang benar bahwa operasi represif justru akan menimbulkan
gesekan dengan masyarakat sekitar utamanya penambang pasir maupun masyarakat lain yang
menggantungkan hidupnya pada aktivitas penambangan pasir tersebut. Berdasar hasil observasi
yang dilakukan penulis, memang jika berbicara aktivitas penambangan pasir ini tidak hanya sebatas
aktivitas ekonomi penambangan pasir saja, melainkan lebih dari itu ada beberapa aktivitas ekonomi
lainnya seperti warung, buruh angkut, penyewaan truk angkut dan sebagainya. Wajar kemudian jika
terjadi gesekan saat operasi karena masyarakat belum siap jika aktivitas ekonominya selama ini
ditutup begitu saja dengan cara-cara kekuasaan tanpa memperhatikan kondisi hidup mereka
selanjutnya. Dalam membuat kebijakan untuk pengendalian aktivitas penambangan pasir illegal
dengan menggunakan mesin mekanik di Sungai Brantas ini seharusnya pemerintah tidak hanya
bertindak melarang melainkan ada solusi yang ditawarkan bagi penambang pasir utamanya pada
sistem alih profesi. Dengan harapan, setelah tidak menambang pasir lagi ada usaha yang cukup
menjanjikan bagi mereka sehingga mereka tidak lagi melakukan aktivitas ekonomi yang destruktif
terhadap lingkungan.
Kebijakan Partisipatif: Pengamanan Tanggul Sungai Brantas Berbasis Partisipasi Masyarakat
Setelah kebijakan operasi penambangan pasir yang dilakukan oleh instrumen penegakan
hukum dipandang kurang efektif dalam proses implementasinya dikarenakan beberapa hal seperti
adanya permainan atau kongkalikong antara oknum penegak hukum dengan para penambang pasir
sehingga terjadi kebocoran informasi yang menyebabkan ketika operasi dilakukan petugas tidak
mendapat hasil apa-apa tetapi setelah petugas pulang para penambang beraktivitas kembali. Kedua,
terjadinya gesekan diantara penambang pasir dan penegak hukum ketika dilaksanakannya operasi
akibat pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memperhatikan aspek sosio
kultural dan terutama aspek ekonomi dimana solusi alih profesi yang harus diperoleh oleh para
penambang pasir jika pemerintah menutup aktivitas penambangannya. Karena jika berbicara
aktivitas penambangan pasir, ada banyak usaha dan aktivitas ekonomi masyarakat yang terkait
dengan usaha penambangan pasir. Alhasil operasi represif yang dilakukan pemerintah dengan
menggunakan instrumen hukumnya tidak berhasil meminimalisir atau bahkan menghentikan
15 Narasumber: M. Ronny Affriandie (Kepala Seksi Pengendalian Operasional Satpol PP Jombang). Hari: Senin. Tanggal: 12 November 2012. Pukul. 10.00-11.00 WIB Bertempat di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jombang, Jalan. KH. Wahid Hasyim Jombang.
97
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
aktivitas penambangan pasir di sepanjang daerah aliran Sungai Brantas yang ada di wilayah
Kabupaten Jombang.
Melihat kondisi tersebut ditambah dengan semakin parahnya kondisi kerusakan yang
disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir, maka pemerintah dituntut untuk membuat sebuah
upaya yang lebih serius dalam rangka penyelamatan daerah aliran Sungai Brantas di wilayah
Jombang. Selain itu, melihat banyaknya elemen masyarakat di berbagai wilayah yang mulai geram
dengan aktivitas penambangan pasir menuntut pemerintah untuk segera membuat solusi yang tegas
dan tepat guna menghentikan proses penambangan pasir secara illegal yang merusak kondisi
tanggul dan lingkungan di sekitar Sungai Brantas. Seperti halnya yang terjadi pada keberadaan
gerakan masyarakat di Kecamatan Megaluh yang proaktiv untuk menghalau atau bahkan
menghentikan aktivitas penambangan pasir Sungai Brantas. Gerakan massa tersebut menghalau dan
menghentikan aktivitas penambangan pasir menggunakan peralatan-peralatan seadanya seperti
senapan, ketapel, petasan dan sebagainya. Bahkan sudah berulang kali pula gerakan massa tersebut
mengancam untuk melakukan tindakan menertibkan para penambang pasir tersebut jika pemerintah
khususnya pemerintah kecamatan dinilai tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Tidak mau
terjadi konflik diantara masyarakat, akhirnya pemerintah kecamatan Megaluh menginisiasi
pembentukan satgas pengamanan tanggul yang memiliki tugas untuk menjaga keamanan tanggul
dan mengawasi segala bentuk aktivitas penambangan pasir sungai dengan menggunakan mesin
mekanik.16 Di sisi lain, masyarakat sekitar juga turut serta mengawasi secara langsung jika terjadi
operasi yang dilakukan oleh Satpol PP dan aparat penegak hukum lainnya, jika Satpol PP tidak
berhasil menangkap atau memperoleh perahu penambangan padahal di daerah tersebut sebelumnya
terdapat perahu maka masyarakat secara proaktiv akan ikut serta Satpol PP dalam operasi
penertiban tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap operasi-
operasi yang dilakukan oleh instrumen penegakan hukum selama ini dalam menertibkan aktivitas
penambangan pasir menggunakan mesin mekanik di Sungai Brantas.
Selain di Kecamatan Megaluh, resistensi masyarakat yang menolak keberadaan aktivitas
penambangan pasir secara mekanik juga pernah terjadi di Kecamatan Ploso. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan salah satu mantan penambang pasir yang kini
menjadi koordinator satgas Jaga Tanggul Desa Rejoagung, menyatakan bahwa dahulu pernah
terjadi demonstrasi masyarakat desa yang menolak keberadaan aktivitas penambangan pasir di
Kecamatan Ploso khususnya di Desa Rejoagung.17 Melihat tingginya resistensi masyarakat sebagai
16 Narasumber: Abdul Wahab (Tokoh Masyarakat dan Koordinator Satgas Pengamanan Tanggul Sungai Brantas Kecamatan Megaluh). Hari: Senin, Tanggal: 29 Oktober 2012. Pukul. 16.30-17.30 WIB Bertempat di Desa. Ngogri Kecamatan. Megaluh, Kabupaten Jombang.
17 Narasumber: Imam Julianto (Mantan Penambang Pasir dan Ketua Satgas Jaga Tanggul Desa. Rejoagung, Kecamatan. Ploso). Hari: Selasa, Tanggal: 30 Oktober 2012. Pukul. 08.30- 09.00 WIB Bertempat di Desa. Rejoagung, Kecamatan. Ploso, Kabupaten Jombang.
98
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
akibat dari pemahaman masyarakat yang mulai terbangun untuk menjaga lingkungan di daerah
aliran Sungai Brantas, maka Bupati Jombang atas nama pemerintah daerah Kabupaten Jombang
menginstruksikan kepada jajarannya utamanya Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Desa untuk membuat sebuah inovasi dalam hal kebijakan untuk memperbaiki, menyelematkan serta
menjaga kondisi Sungai Brantas. Berkaca pada kebijakan sebelumnya yang hanya terpusat pada
instrumen kekuasaan dengan mengutamakan upaya represif aparat penegakan hukum, kini
pemerintah daerah dituntut untuk bisa menciptakan sebuah kebijakan yang bisa mengakomodir
semua kepentingan termasuk kepentingan masyarakat dengan memanfaatkan energi masyarakat
yang sangat besar dalam upaya penyelamatan daerah aliran Sungai Brantas tersebut. Selain itu,
pemerintah juga dituntut untuk membuat sebuah kebijakan yang lebih humanis dan mengedepankan
pendekatan persuasif, sosio-kultural dan ekonomi atau dalam artian pemerintah tidak hanya
menghentikan aktivitas penambangan pasir di Sungai Brantas melainkan ada solusi untuk alih
profesi bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada usaha penambangan pasir
tersebut. Sehingga muncul sebuah kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis
partisipasi masyarakat dengan leading sector pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintah Desa.
Kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat ini
merupakan sebuah kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Jombang yang mulai diimplemetasikan
pada tahun 2010. Kebijakan ini belum berupa peraturan daerah melainkan hanya sebuah instruksi
bupati yang merujuk pada peraturan Bupati Jombang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2009 – 2013 point 25 yang berisi program
pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, kebijakan pengamanan tanggul
Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat ini juga mengacu pada undang-undang nomor 32
tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, peraturan daerah provinsi
Jawa Timur nomor 1 tahun 2005 tentang pengendalian pengendalian usaha pertambangan bahan
galian golongan C pada wilayah sungai di provinsi Jawa Timur, undang-undang nomor 7 Tahun
2004 tentang sumber daya air dan peraturan daerah provinsi Jawa Timur nomor 2 tahun 2006
tentang rencana tata ruang wilayah Jawa Timur.
Point penting dalam kebijakan ini antara lain adanya penggunaan energi masyarakat dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis
partisipasi masyarakat ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah kebijakan yang dilakukan melalui
kemitraan berbagai pihak yakni pemerintah daerah, masyarakat, pihak swasta dalam hal ini
perusahaan umum Jasa Tirta sebagai perusahaan milik negara yang memiliki kewenangan
pengelolaan sumber daya air dan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS) yang merupakan
representasi pemerintah pusat dalam hal pengelolaan wilayah Sungai Brantas sebagai wilayah
99
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
sungai strategis nasional. Masing-masing pihak yang berperan dalam kebijakan tersebut memiliki
peran yang berbeda sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sebagaimana dalam peraturan perundangan
undangan yang mengatur mekanisme kerja setiap institusi, misalnya peraturan pemerintah nomor 46
tahun 2010 tentang perusahaan umum Jasa Tirta I dan peraturan menteri pekerjaan umum nomor
21/ PRT/ M/ 2010 yang mengatur tentang tugas pokok dan fungsi Balai Besar Wilayah Sungai
Brantas (BBWS). Dalam kedua peraturan tersebut, secara jelas diatur peran untuk melakukan
pengelolaan sumber daya air, konservasi daerah aliran sungai dan pengendalian daya rusak air.
Sehingga melalui peraturan yang mengatur peran masing-masing institusi tersebut, maka kemitraan
diantara berbagai pihak dalam kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi
masyarakat ini dapat terwujud dengan baik. Adapun peran dan fungsi dari masing-masing pihak
yang berperan dalam kebijakan ini antara lain:
1. Pemerintah Daerah:
1. Membuat strategi dan kebijakan yang memiliki kekuatan hukum.
2. Bertindak sebagai fasilitator dan mediator antara masyarakat dan berbagai pihak
seperti Perum Jasa Tirta maupun Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS).
3. Melembagakan para mantan penambang pasir ke dalam kelompok-kelompok
masyarakat (pokmas) yang kemudian dibina dan diberikan bantuan untuk alih profesi
4. Mengalokasikan dana dari APBD Kabupaten Jombang sebesar Rp. 1.000.000.000
sebagai bantuan modal untuk mekanisme alih profesi mantan penambang pasir.
2. Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS)
Sebagai institusi yang merepresentasikan pemerintah pusat dalam pengelolaan wilayah
sungai strategis nasional. BBWS memiliki peran penting dalam menyediakan dana yang
bersumber dari APBN untuk penyediaan paket pemberdayaan ekonomi bagi mantan
penambang pasir.
3. Perum Jasa Tirta I
Menyediakan uang jasa atau honorarium bagi Satgas Jaga Tanggul senilai Rp. 1.000.000
per kilometer tanggul yang dijaga dan dirawat.
4. Masyarakat
Peran yang dilakukan masyarakat dititikberatkan pada partisipasi instrumental yang
artinya sebagai pelaksana kebijakan tersebut, yakni menjadi Satgas Jaga Tanggul yang
bertugas untuk merawat tanggul dan melakukan pengawasan terhadap lingkungan
Sungai Brantas dari tindakan-tindakan destruktiv terhadap sungai
100
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Kebijakan Pengamanan Tanggul Sungai Brantas Berbasis Partisipasi Masyarakat Sebagai Perwujudan Praktik Kekuasaan Persuasif dalam Perspektif Environmental Governance
Dalam studi politik lingkungan dan sumber daya alam dikenal sebuah konsep yang diberi
nama environmental governance. Konsep environmental governance ini merupakan perwujudan
dari komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup sebagai bagian dari prinsip good
governance.18 Sebagai pengembangan dari good governance maka point penting dari konsep
environmental governance terletak pada hubungan (relasi) diantara pemerintah, masyarakat, dan
swasta. Sebagai sebuah sistem, environmental governance terdiri atas aspek sosial budaya,
interaksi politik, dan ekonomi diantara banyak aktor dalam masyarakat madani. Environmental
governance adalah cara dimana masyarakat menggunakan kewenangan terhadap alam.19
Environmental governnace juga memberikan perhatian kepada aktor dalam setiap tingkatan
pemerintahan, diantara para pejabat yang dipilih dan ditunjuk, dan diantara badan-badan non
pemerintah, swasta dan masyarakat tradisional, serta kekuasaan yang digunakan dalam
pembuatan kebijakan mengenai pengaturan sumber daya alam, dan keuntungan yang berasal dari
lingkungan.20 Di sisi lain, Samekto (2005) juga menjelaskan beberapa hal yang membuat konsep
environmental governance kurang terimplementasikan dengan baik yakni terlalu state based,
sentralistik, energi masyarakat tidak dimanfaatkan, isu-isu legalistik dan teknokratik, terlalu
mengandalkan kekuatan dan instrumen penegakan hukum, kurang memanfaatkan instrumen
ekonomi (swasta), tidak transparan dan akuntabel.21 Dari realita tersebut, secara otomatis
manajemen pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan bukan berdampak positif melainkan
sebaliknya akan berdampak negatif.
Selain kerangka teori di atas, penulis juga menghubungkannya dengan teori power after
Foucault yang menekankan pada kritik terhadap kekuasaan. Dalam teori kekuasaan Foucault yang
dikenal dengan Bio Power tersebut, pandangan Foucault terkait kekuasaan didasarkan pada kritik
terhadap Hobbes dan Locke (yang menyatakan bahwa kekuasaan dijalankan melalui kekerasan atau
kontrak sosial), terhadap Marx dan Machiavelli (kekuasaan yang didasarkan pertarungan kekuatan),
dan terhadap Freud dan Reich (represi yang menekan), juga terhadap pandangan kekuasaan sebagai
dominasi kelas dan manipulasi ideologi (Marx).22 Foucault mengartikan bio power sebagai sebuah
18 A. Qodry Azizy. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal 20 19 Teguh Kurniawan (2007). Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan di Indonesia. Diunduh dari http://teguhkurniawan.web.ugm.ac.id/publikasi/environmental_governance_new (diakses pada 01 Februari 2015) hal 03 20 Ibid. 21 Slamet Muljono. Jurnal Widyaprana Volume 1, No.2 Desember 2008: Pendidikan Lingkungan Hidup bagi Pimpinan Aparatur Pemerintah dalam mewujudkan Good Environmental Governance. Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/120889118.pdf (diakses pada 01 Februari 2015), 2008, hal. 98 22 Moeflich Hasbullah. “Konstruksi Pemikiran Michael Foucault tentang sejarah.” http://moeflich.wordpress.com/2007/11/24/konstruksi-pemikiran-michel-foucault-tentang-sejarah/ (diakses pada 10 Februari 2015)
101
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Dengan adanya bio power maka masyarakat akan lebih
menerima dan terkontrol apabila terdapat sebuah aturan maupun kebijakan dari pemerintah yang
bertujuan untuk membentuk society control. Apabila dikaitkan dengan konteks resistensi dalam
masyarakat, maka bio power juga dapat menimbulkan sebuah kesadaran di dalam masyarakat itu
sendiri sehingga mereka dapat melakukan perlawanan maupun pelaksanaan terhadap semua
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan cara mempengaruhi proses dari kebijakan tersebut.23
Dalam teori kekuasaanya, Foucault menjelaskan setidaknya ada empat karakteristik kekuasaan
yakni pertama, kekuasaan itu bersifat tersebar dan tidak dilokalisasi; kedua, kekuasaan itu tidak
represif; ketiga, kekuasaan itu produktif; dan keempat, kekuasaan itu tidak dapat diukur.
Berkaca pada kedua kerangka teori tersebut, maka kebijakan pengamanan tanggul Sungai
Brantas berbasis partisipasi masyarakat di Kabupaten Jombang, dapat dikatakan sedikit banyak
mengadopsi konsep-konsep yang ada dalam environmental governance dan teori kekuasaan yang
diungkapkan oleh Michael Foucault. Pertama dalam konteks pelaku atau aktor kebijakan, pada
kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat terlihat secara jelas
bahwa terdapat interaksi dan relasi diantara banyak pihak antara lain pemerintah daerah,
masyarakat, Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS) yang merupakan representasi pemerintah
pusat dalam pengelolaan sumber daya air pada Sungai Brantas dan pihak swasta yang ditunjukkan
dengan keterlibatan Perum Jasa Tirta I sebagai salah satu badan usaha milik negara yang memiliki
kewenangan untuk mengelola sumber daya air Sungai Brantas kepada publik. Beberapa pihak
terkait, berinteraksi dan berhubungan secara konsisten pada aksi penyelamatan Sungai Brantas
melalui kebijakan tersebut sesuai perannya masing-masing.
Keberhasilan implementasi kebijakan tersebut didasarkan pada beberapa faktor antara lain,
pertama adanya kemitraan dan kolaborasi dari berbagai pihak yang telah disebutkan di atas.
Artinya, kebijakan ini tidak dilaksanakan oleh beberapa pihak saja melainkan semua pihak ikut
berperan dan berkolaborasi sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya. Misalnya saja dalam kasus
ini, ternyata setelah kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas diimplementasikan, para
penegak hukum juga masih melakukan operasi penambangan pasir namun dalam kondisi yang tidak
seintens pada periode sebelumnya. Operasi hanya dilakukan jika ada laporan dari masyarakat terkait
aktivitas penambangan pasir dan masyarakat juga proaktiv dalam melakukan pengawasan ketika
operasi tersebut dilaksanakan. Kemitraan dan kolaborasi dari berbagai pihak ini penting
dilaksanakan, karena berbicara tentang Sungai Brantas ada banyak institusi yang memiliki peran
yang cukup besar dalam aksi pelestarian dan penyelamatan terhadap Sungai Brantas. Hal tersebut
semakin menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam tidak dapat
23 Rizky Amalia. “On Resistance and Solidarity: Biopolitical Production”. http://rizki-a--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-47488-Globalisasi%20dan%20Strategi-On%20Resistance (diakses pada 10 Februari 2015)
102
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
dilakukan secara terpusat (state based sentralistik), melainkan diperlukan partisipasi dan kemitraan
dari berbagai pihak terutama masyarakat serta sektor swasta. Selain itu, keterlibatan banyak pihak
tersebut semakin menunjukkan bahwa kekuasaan itu bersifat tersebar sebagaimana yang
dikemukakan oleh Michael Foucault. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan sebelumnya yakni
operasi represif yang hanya terlokalisir pada pemerintah dan instrumen kekuasaannya saja.
Pengalaman pada kasus-kasus sebelumnya dan kasus ini memperlihatkan bahwa pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terlalu terpusat pada pemerintah dengan segala
instrumen kekuasaan yang dimiliki justru akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan
masyarakat itu sendiri. Sehingga dari konflik tersebut justru akan melahirkan public distrust dan
menurunkan wibawa pemerintah dihadapan masyarakat.
Kemudian faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat adalah adanya perubahan
pendekatan dari pendekatan represif yang dilakukan dalam kebijakan sebelumnya, yakni operasi
penertiban penambangan pasir illegal ke pendekatan yang lebih persuasif dan memperhatikan aspek
sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini memiliki relevansi penting dengan salah satu karakteristik
kekuasaan yang diungkapkan oleh Michael Foucault, dimana kekuasaan itu tidak bersifat represif.
Jika kekuasaan dibangun dengan sifat yang menekan dan represif, yang ada bukan menyelesaikan
masalah melainkan akan muncul masalah-masalah baru yang berdampak kurang baik bagi
masyarakat. Dalam kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat
ini, yang dimaksud dengan pendekatan yang mengedepankan aspek sosial-ekonomi masyarakat
adalah pemerintah juga berusaha memperhatikan perubahan profesi mantan penambang pasir yang
lebih layak agar dikemudian hari tidak lagi melakukan usaha penambangan pasir. Secara teknis,
mantan penambang pasir dilembagakan secara benar, artinya mereka dibuatkan atau dikelompokkan
dalam kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian didampingi, diberikan pemahaman dan
diberikan pelatihan, serta permodalan untuk mengembangkan usaha yang lebih baik tanpa
melakukan usaha yang merusak lingkungan Sungai Brantas. Dalam kebijakan pengamanan tanggul
Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat ini, pemerintah berkomitmen kuat untuk
mempersiapkan alih profesi dengan mengalokasikan dana yang bersumber dari APBD sebagai
bantuan pengembangan usaha yang disalurkan kepada mantan penambang pasir. Di sisi lain,
pemerintah juga bermitra dengan berbagai pihak salah satunya Balai Besar Wilayah Sungai Brantas
(BBWS) yang mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk bantuan pengembangan
usaha dan bantuan ternak. Mulai tahun 2011, Balai Besar Wilayah Sungai Brantas mengalokasikan
dana APBN sebesar Rp. 150.000.000 yang disalurkan berupa bantuan ternak kambing kepada tiga
kelompok masyarakat di tiga kecamatan yakni Kecamatan Ploso, Kecamatan Kudu, dan Kecamatan
Megaluh. Sedangkan pada tahun 2012 Balai Besar Wilayah Sungai Brantas kembali
103
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
mengalokasikan Rp. 200.000.000 yang bersumber dari dana APBN untuk empat pokmas di empat
kecamatan yakni Kecamatan Bandar Kedung Mulyo, Kecamatan Kesamben, Kecamatan Ploso, dan
Kecamatan Megaluh. Bantuan pada tahun 2012 ini berupa uang masing-masing Rp. 50.000.000 per
kelompok masyarakat.
Selain faktor yang telah disebutkan di atas, yang menjadi kunci keberhasilan implementasi
kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat ini adalah adanya
pemanfaatan energi masyarakat yang cukup besar. Masyarakat yang mulai paham akan kondisi
Sungai Brantas yang mengkhawatirkan serta adanya resistensi dari masyarakat jika terjadi aktivitas-
aktivitas yang mengarah pada tindakan pengrusakan terhadap tanggul maupun lingkungan di sekitar
Sungai Brantas. Hal tersebut tercermin dari keberadaan gerakan masyarakat di Kecamatan Megaluh
yang proaktiv untuk menghalau atau bahkan menghentikan aktivitas penambangan pasir di Sungai
Brantas. Gerakan masyarakat tersebut menghalau dan menghentikan aktivitas penambangan pasir
menggunakan peralatan-peralatan seadanya seperti senapan, ketapel, petasan, dan sebagainya.
Bahkan sudah berulang kali gerakan masyarakat tersebut mengancam untuk melakukan tindakan
menertibkan para penambang pasir, jika pemerintah khususnya pemerintah kecamatan dinilai tidak
mampu mengatasi permasalahan tersebut. Tidak mau terjadi konflik diantara masyarakat, akhirnya
pemerintah kecamatan Megaluh menginisiasi pembentukan satgas pengamanan tanggul yang
memiliki tugas untuk menjaga keamanan tanggul dan mengawasi segala bentuk aktivitas
penambangan pasir sungai dengan menggunakan mesin mekanik. Selain itu seperti yang
diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, masyarakat utamanya mantan penambang pasir juga
diberikan pemahaman untuk tidak lagi melakukan aktivitas penambangan pasir di Sungai Brantas
yang cukup merusak dan membahayakan bagi kehidupan ekosistem dan masyarakat di sekitarnya.
Kemudian mereka dilibatkan sebagai satgas Jaga Tanggul yang memiliki tugas untuk menjaga
kebersihan, kelestarian, dan keamanan tanggul Sungai Brantas dari berbagai tindakan destruktif
yang mengancam kelestarian tanggul Sungai Brantas. Dari aktivitas Jaga Tanggul tersebut, mereka
memperoleh uang jasa yang diberikan oleh Perum Jasa Tirta adalah sebesar Rp. 1.000.000 per
kilometer tanggul yang dijaga oleh masyarakat.
Kesadaran dan pemahaman yang dimiliki masyarakat untuk menjaga Sungai Brantas
menjadi bagian penting dalam proses implementasi sebuah kebijakan terutama dalam kebijakan
pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat ini. Hal tersebut mampu
merepresentasikan bahwa kekuasaan itu produktif dan tidak dapat diukur sebagaimana yang
dikemukakan oleh Foucault. Kekuasaan dikatakan produktif apabila kebijakan-kebijakan yang ada
dijalankan tanpa paksaan dan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Selain itu kebijakan dibuat
melalui input yang jelas dari pelaksana kebijakan tersebut dalam hal ini masyarakat, sehingga
masyarakat akan mampu mengawal kebijakan yang ada dengan baik dan terpenting implementasi
104
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kebijakan tersebut menghasilkan positif impact. Melalui kesadaran dan pemahaman yang dimiliki
masyarakat tersebut, maka energi masyarakat yang sangat besar ini terdorong untuk melaksanakan
kebijakan tersebut tanpa paksaan dan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Dengan kesadaran
dan pemahaman tersebut masyarakat juga mampu menjadi pelaksana inisiatif pemerintah yang baik
serta mengawal dan bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang ada dalam kebijakan tersebut guna
mendapatkan hasil yang positif dari implementasi kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas
berbasis partisipasi masyarakat.
Di sisi lain, Foucault menyatakan bahwa kekuasaan dikatakan tidak dapat diukur adalah
ketika kekuasaan itu tidak terbatas pada peraturan yang hanya membatasi atau mengatur perilaku
manusia. Peraturan merupakan bentuk institusional dari implementasi kekuasaan. Bahwa bentuk
implementasi kekuasaan berupa hal-hal yang tidak kita sadari mempengaruhi perilaku kita sehingga
kita pada akhirnya memutuskan untuk mengikuti atau tidak mengikuti peraturan. Begitupula yang
ada dalam implementasi kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi
masyarakat tersebut, melalui pendekatan yang persuasif, humanis, dan mengedepankan aspek
sosial-ekonomi, secara tidak langsung mempengaruhi masyarakat terutama mantan penambang
pasir untuk dapat bersama-sama mengimplementasikan kebijakan tersebut. Namun lebih dari itu,
kesadaran dan pemahaman yang mulai terbangun dari masyarakat akan kondisi Sungai Brantas
yang kritis dan sewaktu-waktu dapat mengancam kehidupannya menjadi faktor penting dalam
mempengaruhi perilaku masyarakat untuk dapat bersama-sama mengimplementasikan kebijakan ini
dengan baik. Penutup
Keberadaan Sungai Brantas yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat yang
bermukim di sekitarnya saat ini tengah dihadapkan pada kondisi yang cukup kritis dan
memprihatinkan terkait potensi kerusakan yang ada. Potensi kerusakan yang meliputi perubahan
alih fungsi lahan di wilayah hulu, pencemaran sungai yang berdampak pada penurunan kuantitas
dan kualitas air serta yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah penurunan dasar sungai yang
berdampak pada jebolnya tanggul-tanggul sungai serta kerusakan pada infrastruktur pengairan yang
diakibatkan oleh aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin mekanik. Semua potensi
kerusakan tersebut secara jelas diakibatkan oleh perilaku manusia yang masih menggunakan alam
sebagai alat pemuas kebutuhan ekonominya. Melihat tingkat kerusakan yang cukup parah tersebut,
maka pemerintah daerah utamanya pemerintah daerah Kabupaten Jombang dituntut untuk membuat
sebuah kebijakan yang tepat dalam mengatasi persoalan penambangan pasir menggunakan mekanik
yang dampaknya sudah sangat memprihatinkan tersebut. Karena jika pemerintah lamban maka
ancaman bencana besar sewaktu-waktu akan melanda seluruh wilayah di sekitar Sungai Brantas dan
105
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
masyarakatlah yang akan menjadi korbannya. Salah satu kebijakan yang digunakan pemerintah
Kabupaten Jombang untuk menekan dan mengendalikan aktivitas penambangan pasir menggunakan
mekanik sebagai tindak lanjut dari perda provinsi Jawa Timur nomor 1 tahun 2005 adalah kebijakan
operasi penambangan pasir illegal. Pemerintah menggunakan pendekatan represif dengan instrumen
kekuasaanya untuk menekan dan menghentikan aktivitas penambangan pasir tersebut. Namun
dalam perkembangannya, kebijakan tersebut tidak berhasil menekan aktivitas penambangan pasir
secara maksimal. Masyarakat justru semakin apriori dan wibawa pemerintah dihadapan masyarakat
semakin menurun dikarenakan tidak sedikit dari operasi represif tersebut justru akan menimbulkan
gesekan/ konflik dengan masyarakat. Sedangkan masyarakat pun menilai inefektivitas kebijakan
tersebut berasal dari oknum penegak hukumnya yang seringkali melakukan kongkalikong dengan
pemilik usaha penambangan pasir. Alhasil ketika operasi mereka telah menyelamatkan usahanya
terlebih dahulu atas informasi yang diperoleh dari “orang dalam” dan setelah operasi selesai mereka
akan membuka kembali usahanya.
Dihadapkan pada kondisi seperti itu, maka pemerintah dituntut untuk mampu menciptakan
sebuah kebijakan yang tepat dan mengakomodir kepentingan semua pihak. Selain itu, didukung
dengan pemahaman masyarakat yang semakin terbangun, maka pemerintah mengeluarkan sebuah
kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat. Kebijakan
pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat ini mampu merepresentasikan
setiap komponen yang ada dalam teori environmental governance. Konsep environmental
governance ini merupakan perwujudan dari komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup
sebagai bagian dari prinsip good governance. Sebagai pengembangan dari good governance maka
point penting dari konsep environmental governance terletak pada hubungan (relasi) diantara
pemerintah, masyarakat dan swasta. Sebagai sebuah sistem, environmental governance terdiri atas
aspek sosial budaya, interaksi politik dan ekonomi diantara banyak aktor dalam masyarakat
madani. Environmental governance juga memberikan perhatian kepada aktor dalam setiap
tingkatan pemerintahan, diantara para pejabat yang dipilih dan ditunjuk, dan diantara badan-badan
non pemerintah, swasta dan masyarakat tradisional, serta kekuasaan yang digunakan dalam
pembuatan kebijakan mengenai pengaturan sumber daya alam dan keuntungan yang berasal dari
lingkungan.
Hal tersebut tercermin dimana kebijakan ini menempatkan masyarakat sebagai pelaksana
kebijakan tersebut dan membangun kemitraan dengan berbagai pihak salah satunya pihak swasta.
Dengan pola relasi seperti itu, maka pemerintah daerah tidak bekerja sendiri melainkan memperoleh
dukungan dari masyarakat dan perum Jasa Tirta I sebagai representasi dari pihak swasta serta Balai
Besar Wilayah Sungai Brantas yang menjadi representasi pemerintah pusat dalam pengelolaan
sumber daya air Sungai Brantas. Point penting dari kebijakan tersebut adalah adanya pemberdayaan
106
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
ekonomi untuk mantan penambang pasir sebagai langkah alih profesi dan partisipasi instrumental
masyarakat pada kebijakan tersebut.
Dengan pendekatan yang lebih humanis dan persuasif tersebut ditambah dengan adanya
mekanisme alih profesi maka kebijakan tersebut sampai saat ini berhasil menekan aktivitas
penambangan pasir menggunakan mesin mekanik dan apresiasi yang cukup tinggi dari masyarakat,
stakeholder dan kalangan legislatif terhadap kebijakan tersebut. Setidaknya penulis menyimpulkan
ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut, antara lain: Pertama, adanya pemanfaatan
energi masyarakat yang cukup besar khususnya pada partisipasi sebagai pelaksana kebijakan
tersebut. Masyarakat yang mulai paham akan kondisi Sungai Brantas yang mengkhawatirkan serta
adanya resistensi dari masyarakat jika terjadi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada tindakan
pengrusakan terhadap tanggul maupun lingkungan di sekitar Sungai Brantas. Di sisi lain, adanya
kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan operasi represif yang sarat akan permainan diantara
oknum penegak hukum dengan pemilik usaha penambangan pasir sehingga terjadi kebocoran
informasi sebelum dilakukannya operasi. Serta operasi represif tersebut dinilai mengutamakan
pendekatan kekuasaan tanpa mempertimbangkan aspek humanitas, sosio kultural dan ekonomi.
Sehingga tidak sedikit terjadi gesekan atau konflik diantara masyarakat dengan instrumen penegak
hukum tersebut sehingga terjadi bad impact pada kebijakan tersebut. Kedua, adanya pendekatan
yang mempertimbangkan aspek sosio kultural dan ekonomi. Dengan kata lain, pemerintah
memikirkan perubahan profesi penambang pasir yang lebih layak agar dikemudian hari tidak lagi
melakukan usaha penambangan pasir. Selain itu, mantan penambang pasir juga dilembagakan
secara benar, artinya mereka dibuatkan atau dikelompokkan dalam kelompok-kelompok masyarakat
yang kemudian didampingi, diberikan pemahaman dan diberikan pelatihan serta permodalan untuk
mengembangkan usaha yang lebih baik tanpa melakukan aktivitas usaha yang merusak lingkungan
Sungai Brantas. Ketiga, adanya kemitraan dan kolaborasi dari berbagai pihak. Artinya, kebijakan ini
tidak dilaksanakan oleh beberapa pihak saja melainkan semua pihak ikut berperan dan
berkolaborasi sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya. Misalnya saja dalam kasus ini, ternyata
setelah kebijakan pengamanan tanggul Sungai Brantas berbasis partisipasi masyarakat
diimplementasikan, operasi penambangan pasir juga masih dilakukan namun dalam kondisi yang
tidak seintens dengan periode sebelumnya. Operasi pun dilakukan jika ada laporan dari masyarakat
terkait aktivitas penambangan pasir, kemudian masyarakat juga proaktiv dalam melakukan
pengawasan ketika operasi tersebut dilaksanakan. Kemitraan dan kolaborasi dari berbagai pihak ini
penting dilaksanakan, karena berbicara tentang Sungai Brantas ada banyak institusi yang memiliki
peran cukup besar dalam aksi pelestarian dan penyelamatan terhadap Sungai Brantas. Hal tersebut
juga semakin menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam tidak dapat
dilakukan secara terpusat (state based sentralistik) melainkan diperlukan adanya partisipasi dan
107
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kemitraan dari berbagai pihak terutama masyarakat serta sektor swasta. Pengalaman pada kasus-
kasus sebelumnya dan kasus ini memperlihatkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam yang terlalu terpusat pada pemerintah dengan segala instrumen kekuasaan yang dimiliki
justru akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat itu sendiri. Sehingga
dari konflik tersebut justru akan melahirkan public distrust dan menurunkan wibawa pemerintah
dihadapan masyarakat.
Kesimpulan penting dari hasil positif implementasi kebijakan pengamanan tanggul Sungai
Brantas berbasis partisipasi masyarakat di Kabupaten Jombang ini semakin meneguhkan teori
kekuasaan Foucault yang menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang bisa dilokalisasi
atau dimiliki, karena ia tidak bertumpu pada negara, partai politik, dan kepemimpinan. Lebih dari
itu, kekuasaan merupakan hubungan antar komunikasi, jaringan sosial, tatanan disiplin, meresap
dan melekat pada setiap perbedaan dan kehendak individu serta kelompok, atau dengan kata lain
kekuasaan bersifat tersebar dan tidak terlokalisir. Selain itu, adanya pola perubahan pendekatan dari
represif ke persuasif menegaskan bahwa kekuasaan memang tidak bersifat represif. Di samping
pergeseran pola pendekatan dalam proses implementasi kebijakan, pemahaman dan kesadaran yang
meningkat terhadap kondisi Sungai Brantas membuat energi masyarakat semakin besar untuk turut
serta dalam usaha penyelematan lingkungan Sungai Brantas melalui kebijakan tersebut, sehingga
menegaskan pula apa yang dikatakan Foucault bahwa kekuasaan itu produktif dan tidak dapat
diukur.
Daftar Pustaka Hadi. Sudharto. 1999. Manajemen Lingkungan Berbasis Kerakyatan dan dan Kemitraan. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu manajemen lingkungan dan
administrasi FISIP UNDIP, Sudharto P. Hadi tanggal 12 Oktober 1999.
JPIP. 2012. Laporan Kinerja Pengelolaan Sungai dan Saluran Terbuka (Salter) di Jawa Timur.
Surabaya: The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP)
Kurniawan, Teguh. 2007. Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan (Environmental Governance)
di Indonesia. diakses melalui
http://teguhkurniawan.web.ugm.ac.id/publikasi/environmental_governance_new_versio
n_juli2007.pdf pada tanggal. 01 Februari 2015
Purwanto. 2012. Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2005
tentang Pengendalian Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C di Kecamatan
Ploso Kabupaten Jombang. Surabaya: Airlangga Library
108
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Widianto, Didik Suprayogo, Sudarto. 2011. Implementasi Kaji Cepat Hidrologi (RHA) di Hulu DAS
Brantas . Bogor: World Agroforestry Centre. diakses melalui
www.worldagroforestrycentre.org/sea. diakses pada tanggal. 20 September 2015
Internet
Antara News. Efek domino penurunan dasar Sungai Brantas.
http://www.antaranews.com/berita/1303716315/efek-domino-penurunan-dasar-sungai-
brantas diakses pada tanggal 20 Januari 2015
Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS). Profil dan Latar Belakang
http://bbwsbrantas.pdsda.net/index.php?option=com_content&view=article&id=137&It
emid=138 diakses pada tanggal 20 Januari 2015
Bappeda Jakarta. Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
http://bappedajakarta.go.id/download/propeda/Propeda_BAB10.pdf diakses pada
tanggal 30 Januari 2015
Husamah. Sungai Brantas Riwayatmu Kini
http://green.kompasiana.com/polusi/2012/02/11/sungai-brantas-riwayatmu-kini/ diakses
pada tanggal 30 Januari 2015
Surjono. H. Sutjahjo. Impelementasi pengelolaan DAS Terpadu
http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2012/02/19/248/Impleme.. diakses pada
tanggal 30 Januari 2015
109