Potret Kinerja Migas Indonesia

10
Potret Kinerja Migas Indonesia Oleh: Mohamad Nasir 1 Pendahuluan Hingga saat ini, persoalan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tenaga listrik belum terselesaikan dengan baik dan tuntas. Di mana, setiap terjadi perubahan minimal tiga hal, yaitu harga minyak mentah, kurs rupiah, dan volume konsumsi, pasti akan menyisakan persoalan pada besaran subsidi. Ketika harga minyak naik, nilai rupiah turun, dan volume konsumsi naik, belanja subsidi akan membengkak sehingga membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ujung-ujungnya Pemerintah mengorbankan belanja modal dengan mengurangi alokasi anggarannya atau menumpuk utang untuk menambah kekurangan beban subsidi. Timbulnya persoalan subsidi ini tidak lain karena konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi harga kepada masyarakat. Di BBM tertentu, seperti premium, solar, minyak tanah, dan LPG 3 kg, Pemerintah memberi subsidi sebesar selisih harga patokan dikurangi harga eceran. Di listrik, Pemerintah mensubsidi selisih biaya pokok penyediaan (BPP) plus margin dikurangi harga jual. Karenanya, ketika minyak mentah naik maka harga BBM yang merupakan produk minyak mentah akan naik, akibatnya harga patokan atau BPP naik, dan selanjutnya subsidi naik. Selain itu, ketika volume konsumsi naik maka subsidi naik pula. Untuk mengurangi beban subsidi, Pemerintah telah beberapa kali mengajukan penyesuaian harga, dan baru berhasil pada tahun 2013. Namun demikian, dalam setiap upaya penyesuaian harga, dapat dipastikan menimbulkan kontroversi di masyarakat, ada yang pro dan kontra dengan berbagai alasan yang rasional. Pihak yang pro berpendapat bahwa penyesuaian harga perlu dilakukan karena beban subsidi telah membebani APBN dan penyalurannya tidak tepat sasaran. Sementara itu, pihak yang kontra berpendapat penyesuaian harga belum perlu dilakukan karena akan membebani biaya hidup masyarakat. 1 Kepala Sub Bidang BUMN Piset dan Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, email: [email protected] . Artikel telah dimuat dalam Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi 1 Tahun 2014

description

Lpg

Transcript of Potret Kinerja Migas Indonesia

Page 1: Potret Kinerja Migas Indonesia

Potret Kinerja Migas Indonesia

Oleh: Mohamad Nasir1

Pendahuluan

Hingga saat ini, persoalan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tenaga

listrik belum terselesaikan dengan baik dan tuntas. Di mana, setiap terjadi

perubahan minimal tiga hal, yaitu harga minyak mentah, kurs rupiah, dan volume

konsumsi, pasti akan menyisakan persoalan pada besaran subsidi. Ketika harga

minyak naik, nilai rupiah turun, dan volume konsumsi naik, belanja subsidi akan

membengkak sehingga membebani anggaran pendapatan dan belanja negara

(APBN). Ujung-ujungnya Pemerintah mengorbankan belanja modal dengan

mengurangi alokasi anggarannya atau menumpuk utang untuk menambah

kekurangan beban subsidi.

Timbulnya persoalan subsidi ini tidak lain karena konsekuensi dari kebijakan

pemerintah yang memberikan subsidi harga kepada masyarakat. Di BBM tertentu,

seperti premium, solar, minyak tanah, dan LPG 3 kg, Pemerintah memberi subsidi

sebesar selisih harga patokan dikurangi harga eceran. Di listrik, Pemerintah

mensubsidi selisih biaya pokok penyediaan (BPP) plus margin dikurangi harga jual.

Karenanya, ketika minyak mentah naik maka harga BBM yang merupakan produk

minyak mentah akan naik, akibatnya harga patokan atau BPP naik, dan selanjutnya

subsidi naik. Selain itu, ketika volume konsumsi naik maka subsidi naik pula.

Untuk mengurangi beban subsidi, Pemerintah telah beberapa kali

mengajukan penyesuaian harga, dan baru berhasil pada tahun 2013. Namun

demikian, dalam setiap upaya penyesuaian harga, dapat dipastikan menimbulkan

kontroversi di masyarakat, ada yang pro dan kontra dengan berbagai alasan yang

rasional. Pihak yang pro berpendapat bahwa penyesuaian harga perlu dilakukan

karena beban subsidi telah membebani APBN dan penyalurannya tidak tepat

sasaran. Sementara itu, pihak yang kontra berpendapat penyesuaian harga belum

perlu dilakukan karena akan membebani biaya hidup masyarakat.

1 Kepala Sub Bidang BUMN Piset dan Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan

Fiskal, Kementerian Keuangan, email: [email protected]. Artikel telah dimuat dalam Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi 1 Tahun 2014

Page 2: Potret Kinerja Migas Indonesia

Berangkat dari pro dan kontra harga BBM tersebut di atas, tentunya timbul

pertanyaan tentang bagaimana kondisi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia

sesungguhnya, cukup kaya atau miskin kah Indonesia akan migas? Logika

sederhana, bila negara kaya akan minyak tentunya ada kewajaran harga BBM

murah, atau sebaliknya. Dengan menggunakan data sekunder, artikel ini

menggambarkan tentang kondisi migas di Indonesia sebagai jawaban atas

pertanyaan tersebut di atas. Selanjutnya, dari gambaran ini diharapkan masyarakat

dapat mempunyai pendapat atau penilaian yang logis dan berdasar terhadap

berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan migas.

Kaya Minyak Kah Indonesia?

Indonesia merupakan negara kepulauan, sebagian besar wilayahnya

berupa perairan. Wilayah Indonesia juga terletak di wilayah tropis yang memiliki dua

musim yaitu penghujan dan kemarau. Terkait dengan sumber daya alam (SDA),

Indonesia seharusnya bersyukur kepada Tuhan karena di dalam perut bumi wilayah

Indonesia terkandung berbagai jenis SDA. Indonesia memiliki batu bara, tembaga,

nikel, pasir besi, biji timah, dan lainnya, tak terkecuali minyak mentah dan gas bumi.

Khusus untuk minyak mentah, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara

produsen minyak, bahkan pernah menjadi salah satu anggota organisasi produsen

minyak mentah dunia yaitu OPEC. Berdasarkan data dari BP (2013), Indonesia

pernah berhasil memproduksi minyak mentah di atas 1 juta barrel per day (BPD)

selama periode 1972 s. d. 2006 dengan pencapaian tertinggi tahun 1977 dengan

produksi 1,68 juta BPD. Gambaran perkembangan produksi minyak mentah dapat

dilihat dalam Grafik 1.

Grafik 1. Perkembangan Produksi Minyak

Page 3: Potret Kinerja Migas Indonesia

Sumber: BP Statistical Review, June 2013.

Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, produksi minyak mentah

Indonesia juga masih dapat dikategorikan lebih dari cukup. BP (2013) mencatat

bahwa Indonesia mampu memproduksi minyak mentah sekitar 44,6 juta ton pada

tahun 2012, dan menempati posisi ke-24 sebagai negara produsen minyak mentah

terbesar dari 53 negara di dunia. Sedangkan di Asia Pasifik, Indonesia menempati

posisi ke-2 terbesar setelah China yang mencapai 207,5 juta ton. Negara tetangga

ASEAN di belakang Indonesia, Malaysia 29,7 juta ton, Vietnam 17 juta ton, Thailand

16,2 juta ton, dan Brunei Darussalam 7,8 juta ton. Pencapaian produksi minyak

mentah dunia yang masuk dalam 25 besar dunia dapat dilihat dalam Grafik 2.

Grafik 2. Negara-Negara Produsen Minyak Mentah Terbesar Dunia

Sumber: BP Statistical Review, June 2013.

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011

Produksi Rata-Rata

Ribu Barel Per Hari

547,0

526,2

394,9

207,5

182,6

174,9

154,1

152,5

152,4

143,9

139,7

116,2

112,2

87,5

86,9

83,3

81,3

73,0

71,1

49,9

45,8

45,0

44,6

43,4

42,0

Saudi Arabia

Russian Federation

US

China

Canada

Iran

United Arab Emirates

Kuwait

Iraq

Mexico

Venezuela

Nigeria

Brazil

Norway

Angola

Qatar

Kazakhstan

Algeria

Libya

Colombia

Oman

United Kingdom

Indonesia

Azerbaijan

India

24

Page 4: Potret Kinerja Migas Indonesia

Namun demikian, perlu disadari bahwa catatan pencapaian di atas adalah

catatan masa lalu atau dapat dikatakan sejarah bagi Indonesia. Kini, produksi

minyak mentah Indonesia semakin menurun. Sebagaimana telah digambarkan

dalam Grafik 1, dalam beberapa tahun terakhir, dari tahun 2007 s. d. 2012, produksi

minyak mentah Indonesia di kisaran 900 ribu BPD (BP, 2013). Penurunan ini

merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi Indonesia bahwa minyak

merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui semakin lama

produksinya akan semakin menurun dan pada akhirnya suatu saat nanti akan habis.

Di samping itu, dari total produksi minyak mentah yang dihasilkan, tidak

keseluruhannya adalah milik Pemerintah. Pemerintah harus berbagi dengan

Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dengan pola bagi hasil 85% untuk pemerintah

dan 15% untuk K3S. Namun demikian, sebelum dibagi, hasil produksi harus terlebih

dahulu digunakan sebagai pengganti biaya eksplorasi yang dikeluarkan oleh K3S

atau cost recovery. Dengan demikian, yang menjadi hak Pemerintah atas produksi

minyak mentah adalah di bawah angka produksi tersebut dalam Grafik 1.

Konsumsi BBM yang Semakin Meningkat

Berbeda dengan kinerja produksi minyak mentah, seiring dengan

peningkatan PDB dan jumlah penduduk, konsumsi BBM di Indonesia semakin lama

semakin meningkat. Hal ini terlihat dari perkembangan konsumsi minyak mentah

yang terjadi selama ini sebagaimana digambarkan dalam Grafik 3. Di era tahun 70-

an, konsumsi minyak hanya dikisaran 100 ribu s. d. 350 ribu BPD. Namun, dari tahun

ke tahun konsumsi terus meningkat atau tumbuh di kisaran 6,1% per tahun selama

periode 1970 s. d. 2012.

Grafik 3. Konsumsi dan Surplus/Defisit Minyak

Page 5: Potret Kinerja Migas Indonesia

Sumber: BP Statitical Review, June 2013.

Kondisi yang bertolak belakang antara kinerja produksi dan konsumsi minyak,

pada akhirnya membuat Indonesia mengalami defisit minyak. Hal ini mulai terjadi

pada tahun 2004 di mana Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 5 juta ton,

kemudian terus merangkak naik hingga tahun 2012 yang mengalami defisit 27 juta

ton. Konsekuensi defisit sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia harus impor baik

dalam bentuk minyak mentah maupun hasil olahan (bensin, diesel, dan kerosene).

Ketika impor, otomatis juga dapat berdampak pada neraca perdagangan

Indonesia.

Grafik 4. Neraca Minyak dan BBM Grafik 5. Ekspor – Impor Minyak dan BBM

(JT KL) (US$ Juta)

Sumber: Pertamina, KESDM dalam Tempo, 2013. Sumber: BPS, 2012.

Dari Grafik 4 dan Grafik 5 terlihat bahwa semakin lama volume impor minyak

dan BBM semakin meningkat. Tahun 2008, volume impor mencapai 24,6 juta kiloliter

(KL), meningkat 56,9% menjadi 38,6 juta KL pada tahun 2012. Dari sisi nilai nominal

1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012

Konsumsi Oil Surplus/Defisit

Juta Ton

-24,6

-22,6

-26,0

-38,2

-38,6

-60 -40 -20 0 20 40 60 80

2008

2009

2010

2011

2012

Impor Produksi Konsumsi

-30.000 -20.000 -10.000 0 10.000 20.000

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011*

Produk Minyak Impor (M) Produk Minyak Ekspor (X)

Minyak Mentah Impor (M) Minyak Mentah Ekspor (X)

Page 6: Potret Kinerja Migas Indonesia

pun otomatis defisit neraca perdagangan meningkat. Pada tahun 2003, terjadi

defisit neraca perdagangan sekitar US$414,8 juta, kemudian pada tahun 2011

periode Januari - November menjadi US$19,0 miliar.

Pada dasarnya, kenaikan konsumsi minyak atau BBM tidak menimbulkan

permasalahan selama kenaikan tersebut mampu mendorong pertumbuhan

ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Pertanyaannya

adalah sudah maksimalkah konsumsi tersebut dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat? Hal ini dapat ditunjukkan dalam rasio PDB

dengan konsumsi energi ($/Kg Setara Minyak) sebagaimana terlihat dalam Grafik 6.

Indonesia terlihat masih di bawah Singapura ($8,3), Malaysia ($5,4), Korea ($4,88),

dan Brunei Darussalam ($4,84) dalam hal efisiensi penggunaan energi untuk

peningkatan PDB.

Grafik 6. Rasio PDB terhadap Konsumsi Energi Tahun 2012

Sumber: World Bank, 2013.

Kekurangefisienan konsumsi energi tidak dapat terlepaskan dari kebijakan

energi nasional Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan harga BBM tertentu di

pasaran yang disubsidi oleh Pemerintah. Harga BBM bersubsidi yang murah

mendorong masyarakat kurang memperhatikan penggunaan BBM tersebut secara

efisien. Sebagai contoh harga premium Rp6.500 per liter, solar Rp5.500 per liter,

sementara itu harga minuman cola 1,5 liter harganya Rp10.000. Premium dan solar

merupakan SDA yang sulit diperoleh dan fungsinya sangat strategis untuk

menghasilkan energi. Sementara itu, minuman cola mudah diproduksi termasuk

bahan baku juga mudah didapat dan dapat di substitusi penggunaanya. Contoh

2,88

3,66

4,45

4,57

4,70

4,75

4,84

4,88

5,27

5,34

5,40

6,32

6,37

7,49

8,35

8,51

8,52

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00

Russian Federation

China

Thailand

Vietnam

Venezuela, RB

Indonesia

Brunei Darussalam

Pakistan

Korea, Rep.

India

Malaysia

United States

Australia

Brazil

Singapore

Philippines

Japan

Constant

2005 PPP $

Per Kg of Oil

Equivalent

Page 7: Potret Kinerja Migas Indonesia

ini menunjukan bahwa kebijakan harga murah menunjukan adanya

ketidaksesuaian antara nilai ekstrinsik dengan fungsinya.

Penggunaan Gas yang Belum Optimal

Selain memiliki minyak mentah, Indonesia juga memiliki sumber energi primer

lainnya yang tidak kalah dalam hal nilai kalori dan ekonomisnya. Indonesia memiliki

gas, batu bara, coal bed methane, dan energi terbarukan seperti panas bumi,

surya, dan angin.

Khusus tentang gas bumi, Indonesia mempunyai catatan yang juga luar

biasa. Sejak tahun 1970 s. d. 2012, Indonesia merupakan negara produsen terbesar

gas bumi di Asia Pasifik meskipun khusus untuk tahun 2012 menempati posisi 2

terbesar sebagai negara produsen gas bumi di Asia Pasifik. Gambaran ini dapat

dilihat dalam Grafik 7.

Grafik 7. Kinerja Produksi Natural Gas 1970 s. d. 2012

Sumber: BP Statistical Review, June 2013.

Meskipun sampai dengan saat ini produksi gas Indonesia sudah sangat besar,

Indonesia masih diperkirakan memiliki potensi sumber gas yang cukup besar.

Fesharaki F. (2012), Chairman of Facts Global Energy, memperkirakan bahwa

produksi kotor gas Indonesia diperkirakan masih di atas 8.300 million standard cubic

feet per day (MMSCFD), bahkan diperkirakan dapat di atas 9.000 MMSCFD pada

tahun 2020.

Grafik 8. Perkiraan Konsumsi dan Produksi Gas

Page 8: Potret Kinerja Migas Indonesia

Sumber: Fesharaki F., 2012.

Namun sayang, Indonesia belum mampu menikmati produksi gasnya. Gas

cenderung diekspor untuk kepentingan luar negeri dan tidak menutup

kemungkinan termasuk potensi produksi di masa yang akan datang.

Konsekuensinya, Indonesia belum dapat menikmati gas secara optimal meskipun

harga gas lebih murah dibanding dengan BBM. Hal ini terlihat dari pemakaian

bauran sumber energi pada tahun 2012. Indonesia masih mengandalkan minyak

mentah dengan dengan persentase sebesar 45%, kemudian gas 20%, dan batu

bara 32%.

Grafik 9. Bauran Energi Primer Tahun 2012 dan Konsumsi Gas

Sumber: BP Statistical Review, June 2013.

Seiring dengan harga minyak mentah yang mulai meningkat, gas

nampaknya mulai menjadi perhatian Pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan

program konversi BBM ke BBG. Namun program ini dapat dikatakan tidak berjalan.

Beberapa kendalanya antara lain keberadaan infrastruktur transmisi dan ditribusi

gas yang masih kurang dan harga BBM yang murah. Infrastruktur diakui memang

Oil

45%

Natura

l Gas

20%

Coal

32%

Hydro

electri

c

2%

Renew

- ables

1%

159,4 JT EO

129,5 105,1

49,1 46,1 45,0

37,3 32,2

30,0 22,9

19,6 14,7

8,5 7,5

5,6 3,8 3,1 2,5

China

India

South Korea

Indonesia

Australia

Taiwan

Singapore

New Zealand

China Hong Kong SAR

KONSUMSI NATURAL GAS

2012

JT EO

Page 9: Potret Kinerja Migas Indonesia

kurang memadai dan terbatas karena selama ini Pemerintah terfokus pada BBM

sehingga kurang adanya perencanaan di sektor gas. Terkait dengan harga BBM

yang murah juga berpengaruh terhadap masyarakat dalam memilih alternatif

bahan bakarnya. BBM yang murah mengurangi daya saing gas di masyarakat.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa poin kesimpulan.

Pertama, produksi minyak mentah Indonesia telah mengalami penurunan, dan

suatu saat nanti akan habis. Hal ini merupakan kosekuensi logis bahwa minyak

adalah SDA yang tidak dapat diperbarui. Kedua, di sisi konsumsi, permintaan akan

minyak dan BBM cederung terus meningkat seiring dengan peningkatan

pertumbuhan ekonomi dan kenaikan jumlah penduduk. Bila kedua kesimpulan ini

dikaitkan, tentunya dapat dipastikan bahwa keamanan energi dan kedaulatan

negara terancam apabila Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Ketiga, Indonesia

masih memiliki potensi produksi gas alam yang cukup besar. Namun demikian,

berdasarkan catatan terdahulu, Indonesia lebih suka mengekspor gas dari pada

mengkonsumsi sendiri meskipun harga gas jauh di bawah harga BBM. Dampaknya

Indonesia sangat tergantung dengan sumber energi primer yang berbasis minyak

mentah.

Dari beberapa kesimpulan tersebut, Indonesia harus melakukan perubahan

bauran kebijakan yang ideal baik dari sisi kalori yang dihasilkan maupun dari nilai

nominal rupiahnya. Untuk itu, diperlukan kebijakan terobosan seperti (1)

pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi gas untuk mempermudah

penggunaan gas, dan (2) meninjau kembali kebijakan harga BBM di pasaran yang

murah. Kebijakan ini dapat mendorong masyarakat lebih menghargai BBM dan

hidup dengan pola efisien. Di samping itu, tinjauan kembali kebiijakan harga

tersebut dapat mendorong daya saing gas alam sebagai sumber energi.

Referensi

BP. 2013. Statistical Review of World Energy June 2013. Diakses 10 Januari 2014.

http://www.bp.com/en/global/corporate/about-bp/energy-

Page 10: Potret Kinerja Migas Indonesia

economics/statistical-review-of-world-energy-2013/statistical-review-

downloads.html.

BPS. 2012. Perkembangan Ekspor-Impor Minyak dan BBM.

Fesharaki F. 2012. Indonesian LNG In The Global Context. Dipresentasikan pada

Indonesia LNG Forum pada 12-13 Juli 2012.

Tempo. 2012. Maju Mundur Kilang Baru. Edisi 8 Desember 2012.

World Bank. 2014. Data. Diakses 10 Februari 2014.

http://data.worldbank.org/indicator/EG.GDP.PUSE.KO.PP.KD