Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini

25
MASYARAKAT BALI DALAM KUMPULAN CERPEN SAGRA KARYA OKA RUSMINI : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Oleh Ahmad Bahtiar, M. Hum. Pendahuluan Sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Ia diciptakan oleh sastrawan yang merupakan anggota suatu kelompok masyarakat tertentu. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Karya sastra yang baik sanggup mencerminkan kondisi suatu masyarakat. Jadi, sastra dapat dijadikan cermin untuk melihat wajah masyarakat dan kebudayaannya. Karena itu dengan membaca karya sastra meskinya kita pun dapat melihat dan memahami masyarakat. Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan suatu asumsi bahwa karya sastra dapat dijadikan sebagai sumber tentang suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Selain itu, sastra dapat diasumsikan sebagai sarana memahami kebudayaan atau masyarakat. Pada karya sastra yang baik dapat kita 1

Transcript of Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini

Page 1: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

MASYARAKAT BALI DALAM KUMPULAN CERPEN SAGRA

KARYA OKA RUSMINI : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Oleh Ahmad Bahtiar, M. Hum.

Pendahuluan

Sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Ia diciptakan oleh sastrawan yang

merupakan anggota suatu kelompok masyarakat tertentu. Sastra diciptakan untuk dinikmati,

dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Karya sastra yang baik sanggup mencerminkan

kondisi suatu masyarakat. Jadi, sastra dapat dijadikan cermin untuk melihat wajah

masyarakat dan kebudayaannya. Karena itu dengan membaca karya sastra meskinya kita

pun dapat melihat dan memahami masyarakat.

Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan suatu asumsi bahwa karya sastra

dapat dijadikan sebagai sumber tentang suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Selain itu,

sastra dapat diasumsikan sebagai sarana memahami kebudayaan atau masyarakat. Pada

karya sastra yang baik dapat kita dapati informasi yang bisa memperluas wawasan kita.

Melalui berbagai peristiwa yang diciptakan tokoh, kita dapat merasakan dan meresapi

pikiran tokoh-tokoh tentang berbagai persoalan manusia.

Dari latar waktu, tempat, sosial, dan budaya yang tampil pada karya sastra kita

mendapatkan sejumlah informasi dan barangkali juga sejumlah pertanyaan dan gambaran

yang mungkin belum terlintas dalam benak kita. Dengan sastra kita dapat menjelajahi dunia

lain, wilayah fisik dan kejiwaan lain yang belum terambah.

1

Page 2: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

Atas dasar itulah untuk memahami kondisi sosial masyarakat kita dapat memperoleh

sejumlah informasi dengan membaca karya sastra yang menggambarkan waktu dan tempat

serta sosial budaya yang biasa disebut warna lokal.

Penggunaan warna lokal dalam cerita Indonesia telah dimulai sejak awal sejarah

sastra Indonesia. Kalau kita perhatikan karya-karya pengarang yang biasa dikenal istilah

“Angkatan Balai Pustaka”, maka akan sangat tajamlah warna lokal Minangkabau pada

cerita-cerita pengarang yang berasal dari daerah tersebut.

Maka bukan gejala baru apabila warna lokal dari daerah lain muncul dalam khasanah

sastra Indonesia. Sebutlah di antaranya Darmanto Jt (Sang Darmanto), Linus Suryadi AG

(Pengakuan Pariyem), Umar Kayam (Para Priyayi), Y. B. Mangun Wijaya (Burung-

burung Manyar) Aspar Paturusi (Arus), dan Korrie Layun Rampan (Upacara).

Namun sangat sedikit pengarang yang mengangkat warna lokal Bali. Padahal sejak

lama Bali telah menjadi pertemuan dan tempat tinggal pelbagai suku dan bangsa. Di

antara yang sedikit tersebut ialah Oka Rusmini. Salah satu karya penulis yang masuk

nominasi Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2004 adalah kumpulan cerpen Sagra.

Kumpulan cerpen yang terbit pertama kali tahun 2001 ini terdiri atas sembilan cerpen yaitu

“Esensi Nobelia”, “Kakus”, “Harga Sepotong Kaki”, “Pesta Tubuh”, “Api Sita”, “Sagra”,

“Ketika Perkawinan Harus Dimulai”, “Pemahat Abad”, “Putu Menolong Tuhan”, dan

“Cenana”.

Beberapa cerpen dalam kumpulan karya penulis perempuan asal Bali ini

mendapatkan penghargaan seperti cerpen “Sagra” yang menjadi judul kumpulan cerpen

ini. Cerpen ini pernah memenangkan kategori

2

Page 3: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

cerita bersambung terbaik versi majalah Femina tahun 1998. Selain cerpen “Sagra” cerpen

“Putu Menolong Tuhan” terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Femina tahun 1994 dan

juga cerpen “Pemahat Abad” terpilih sebagai cerpen terbaik 1990-2000 versi Majalah

Sastra Horison.

Landasan Teori

Seorang sastrawan adalah anggota masyarakat. Oleh karena itu ia terikat oleh aturan

sosial tertentu. Itulah sebabnya sastra dapat dipandang sebagai institusi sosial tertentu yang

menggunakan medium (sarana) bahasa. Bahasa itu merupakan produk sosial sebagai tanda

yang bersifat arbitrer. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri

adalah kenyataan sosial (Damono, 1979: 1). Selain sebagai sebuah kenyataan sosial sebuah

karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual tertutup melainkan lebih

merupakan proses yang hidup. Sastra tidak mencerminkan realitas seperti fotografi,

melainkan lebih sebagai bentuk khusus yang mencerminkan realitas.

Hanya saja pencerminan realitas itu dapat secara jujur dan obyektif dan dapat juga

mencerminkan kesan realitas subyektif. Dalam hal ini, karya sastra akan memberikan

realitas ideal dari tatanan hidup masyarakat dan bukan sesuatu yang sama sekali faktual.

Imajinasi penulis telah ditata rapi untuk menganggap realitas sebagai perwujudan cita-cita

dan angan-angan.

Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin, Sapardi (1979: 4-5) mengingatkan

bahwa cermin di sini sangat kabur, dan oleh karenanya banyak disalahtafsirkan dan

disalahgunakan. Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu

ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah

3

Page 4: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

tidak lagi berlaku pada waktu ia ditulis. Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan

masyarakat secermat-cermat mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat.

Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk

menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dipergunakan untuk mengetahui

keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai

karya sastra sebagai cermin masyarakat.

Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang berperan dalam proses penciptaan

karya sastra. Hal tersebut dapat dipelajari tidak hanya melalui karya-karya mereka, tetapi

juga dari dokumen biografi (Welek, 1995 : 113-114). Selanjutnya Rene Welek dan Austin

Warren dalam bukunya Teori Kesusastraan (1995: 119) menjelaskan bahwa biografi

pengarang adalah sumber utama, tetapi kita dapat mengumpulkan informasi tentang latar

belakang pengarang, latar belakang ekonomi keluarga, dan peran ekonomi pengarang tidak

hanya dari biografi pengarang. Sebagai warga masyarakat, pengarang mempunyai posisi

sosial dalam masyarakat. Posisi pengarang tersebut dapat ditelusuri secara jelas dalam

sejarah. Dalam penciptaan karya sastra kehidupan sosial pengarang mempengaruhi baik

aspek bentuk maupun isi karya sastra.

Pembahasan

Tulisan ini hendak menjelaskan kondisi sosial masyarakat Bali yang ditampilkan

dalam kumpulan cerpen Sagra karya Oka Rusmini serta sikap dan pandangan pengarang

melihat realitas sosial masyarakat Bali tersebut.

4

Page 5: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

Untuk menjelaskan dua hal tersebut digunakan pendekatan sosiologi sastra dengan

menganalisis teks untuk mengetahui strukturnya kemudian dipergunakan untuk memahami

lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 2 : 1979).

Pembahasan pada kumpulan cerpen Sagra dipusatkan pada kondisi sosial

masyarakat Bali yang berhubungan dengan stratafikasi, perekonomian, pendidikan, dan

kondisi perempuan.

Pada masyarakat Bali terdapat kelompok masyarakat yang berbeda. Pelapisan

masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya menurut Kamanto Sunarto (2000: 107)

dinamakan stratafikasi sosial. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya, kita

menjumpai adanya berbagai macam stratafikasi. Anggota masyarakat dibeda-bedakan pula

berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis stratafikasi.

Pitirim A. Sorokin yang dikuti Soejono Soekanto dalam Sosiologi Suatu Pengantar

(1990: 227) menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau

masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis) Perwujudannya adalah kelas-

kelas tinggi dan kelas-kelas rendah. Lapisan masyarakat mulai ada sejak manusia mengenal

kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Lapisan masyarakat mula-mula

didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin,

pembagian kerja dan bahkan juga suatu perbedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit

dan semakin maju teknologi masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisaan

masyarakat. Di dalam masyarakat yang sudah kompleks, pembedahan kedudukan dan peran

bersifat kompleks karena banyak orang dan aneka warna ukuran yang dapat diterapkan

terhadapnya. Bentuk-bentuk konkret lapisan masyarakat tersebut banyak. Akan tetapi

prinsip bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu

5

Page 6: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

ekonomis, politis, dan yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.

Umumnya, ketiga bentuk pokok tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan

lainnya, dan saling mempengaruhi.

Pembagian kelompok sosial pada masyarakat Bali di bagi atas sistem kasta :

Brahmana, Ksatria, Weisya, dan Sudra (Rusmini, 2001 : 201) Setiap kasta memiliki sebutan

dan tradisi masing-masing. Kasta Brahmana adalah kasta paling tinggi. Mereka adalah para

bangsawan yang tinggal di griya. Apa makna kebangsawaan, Oka Rusmini (2001 : 7)

menjelaskan, “Kebangsawaan itu dalam hati. Kata Nenek pula, siapapun bisa menjadi

bangsawan. Bukankah orang-orang di luar griya juga banyak silsiah leluhurnya, lalu tiba-

tiba saja mengubah nama mereka dan mengaku bangsawan”.

Seorang yang berasal dari keluarga Brahmana sejak kecil dijaga kebangsawanannya.

Tokoh Sagra, wang jero, pembantu yang mengabdi di keluarga Brahmana dalam cerpen

”Sagra” begitu menjaga darah biru Ida Bagus Yogaputra anak dari Ida Ayu Cemeti yang

juga cucu pertama keluarga Pidada, keluarga yang sempurna kebangsawanannya dan

pemilik hotel, restoran, dan hampir setengah pulau Bali.

”Jangan sembarang merawat cucuku, Sagra. Kelak, dialah penerus dinasti Pidada. Dia yang akan mewarisi kebangsawanan yang baik. Tugasmu hanya menjaganya dan memberinya pengertian bahwa dia adalah pewaris seluruh bentuk kejantanan laki-laki. Kasta? Kutahu kelak tak ada artinya lagi. Tapi cucuku mempunyai kesempurnaan laki-laki. Dia lahir sebagai bangsawan tertinggi di Bali, seorang Brahmana” (Rusmini, 2001 : 159).

Karena takut kadar kebangsawanannya berkurang, setiap anggota keluarga

bangsawan menghindari perkawinan dengan keluarga kebanyakan (Sudra). Tokoh Dayu

Bulan dalam cerpen ”Ketika Perkawinan Harus Dimulai” selalu diingatkan ibunya tentang

hal itu.

6

Page 7: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

Dia ingat kata-kata ibunya sebelum meninggal, ”Daripada Kau menikah dengan laki-laki yang tidak sederajat, lebih baik kau tidak kawin. Jadilah perempuan suci, perempuan yang tidak pernah menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki. ” Ibunya juga menambahkan, menjadi perempuan suci itu sangat baik, terlebih perempuan Brahmana. Karena hanya perempuan suci dan belum pernah menikah yang boleh menghaturkan sesaji ke tiap pelinggih, tempat suci. Perempuan itu bahkan bisa naik tinggi-tinggi dan berhadapan langsung dengan semesta (Rusmini, 2001: 219).

Larangan hubungan antara orang kasta Brahmana dan Sudra sangat dipatuhi benar

tokoh Gubreg, parekan, pelayan setia Kopag dalam cerpen “Pemahat Abad”. Ia senantiasa

menahan cintanya yang dalam terhadap Dayu Centaga, perempuan junjunganya yang

sering ia antar mandi di Sungai Badung. Akibatnya ia jadi impoten, tidak bisa lagi

menikmati kegairahan manusiawi sebagai manusia.

Ada kesialan yang menimpa keluarga kebanyakan apabila mengambil perempuan

bangsawan seperti yang terjadi pada tokoh Ida Ayu dalam cerpen ”Putu Menolong Tuhan”.

Ia senantiasa bermasalah dengan mertua dan ipar-iparnya. Dituduh pembawa sial keluarga

dan memiliki kesaktian yang dapat mencelakai orang lain.

Selain akan membawa kesialan penerimaan yang diterima orang kebanyakan yang

masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana hanya setengah-setengah. Dalam cerpen

“Sepotong Kaki” Ni Luh Rubag, perempuan yang berasal dari keluarga biasa masuk dalam

keluarga Brahmana setelah menikah dengan lelaki yang merupakan reinkarnasi dari Ida

Bagus Oka Tugur dan Ida Ayu Manik, leluhur keluarga sebuah griya. Ni Luh Rubag

berganti nama menjadi Jero Pudak dan dipanggil “Jero”. Orang-orang kasta yang lebih

rendah harus bertutur kata halus padanya. Walaupun sudah berganti nama, anaknya Ida

Putu Centaga Nareswari, tidak dapat memakai gelar Ida Ayu di depannya seperti anak-anak

bangsawan lainnya.

7

Page 8: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

Penerimaan setengah-setengah itu juga dialami Cenana anak Luh Sapti dalam cerpen

“Cenana”. Luh Sapti ketika menikah dengan Ida Bagus Dawer sudah mengandung 5 bulan

yang kelak anaknya diberi nama Cenana yang berarti Cendana, pohon yang memiliki

keharuman. Cenana walaupun tinggal di griya tetapi haknya sebagai keluarga dicabut.

Selain tidak bergelar Ida Ayu, dia mendapat perlakuan khusus yang tidak bisa diterima

perempuan kecil itu. Cenana harus berbicara dalam bahasa halus, anak-anak lain menjawab

dengan bahasa kasar. Dia juga tidak boleh menyerahkan makanan sisa pada anak-anak

griya, sebaliknya anak-anak griya boleh memberikan makanan siswa untuknya. Kalau

Cenana punya adik, adiknya berhak membawa gelar kebangsawaan, dan Cenana harus

berlaku hormat pada adiknya. Beruntung ia tidak mempunyai adik.

Adanya aturan yang rumit dan larangan tidak mengurangi keinginan orang

kebanyakan masuk menjadi keluarga bangsawan. Selain karena mendapat penghormatan

yang tinggi dari masyarakat juga akan mendapat banyak kesenangan. Seorang bangsawan

selama hidupnya akan dilayani oleh wang jero, pembantu, sejak urusan makan hingga tidur.

Hidupnya hanya untuk berkarier. Hal-hal kecil dilakukan wang jero, yang hidupnya untuk

para keluarga bangsawan.

Daya tarik untuk masuk keluarga bangsawan adalah karena mereka memiliki

kekayaan yang sangat berlimpah. Berbeda dengan orang kebanyakan di Bali yang hidupnya

tidak jauh dari kemiskinan dan kesengsaraan. Mereka hanya hidup di ladang dan

menggarap tanah serta beberapa menjadi pelayan keluarga bangsawan.

Selain memiliki kekayaan para keluarga bangsawan mendapat pendidikan yang baik.

Mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sedangkan masyarakat kebanyakan banyak

8

Page 9: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

yang tidak tamat bahkan sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan formal. Hal ini

tergambar pada tokoh Ida Ayu Pidada dalam cerpen “Sagra”.

Hidup di lingkungan kaum bangsawan, kaum dengan kekayaan yang tidak mungkin habis dimakan tujuh keturunan.....Sejak muda Pidada sudah terbiasa mengurusi segala macam bisnis yang dikelola ayahnya. Dia belajar bisnis yang dikelola ayahnya. Dia belajar bisnis di Jepang, Perancis, Jerman, dan Amerika. Hari-harinya disibukkan dengan urusan bisnis keluarga. Pidada tumbuh jadi perempuan yang terlalu mandiri. Tak seorang pun laki-laki Brahmana menyentuhnya (Rusmini, 2001: 172).

Tokoh Siwi dalam cerpen ”Cenana” juga merupakan tokoh kaum bangsawan yang

beruntung. Ia memiliki berpuluh-puluh hotel di Kuta dan tanah kontrakan. Dia

menyumbang beratus-ratus juta untuk Pura dan Banjar.

Namun keberuntungan tokoh Ida Ayu Pidada dan Siwi hanya pada harta atau meteri.

Sedangkan batin mereka tetap menderita seperti hal wanita-wanita Bali yang lain.

Pidada menikah dengan dengan lelaki yang tidak punya harga diri. Laki-laki yang

hanya menikmati kekayaan yang dimiliki oleh Pidada turun-temurun. Sedangkan tokoh

Tiwi karena tidak bisa mempunyai anak ia mengambil anak dari kebanyakan. Hal ini

menyebabkan ia dimusuhi oleh keluarganya. Ia dianggap tidak menjaga kebesaran

kebangsawaannya dan tidak mengikuti aturan seorang bangsawan yang hanya menerima

anak dari keluarga bangsawan juga.

Kekurangberuntungan wanita Bali disebabkan aturan masyarakat Bali yang

menguntungkan pihak laki-laki. Tokoh Siwi mencoba menggugat hal itu.

Aturan dalam keluarga besarku terlalu rumit. Kepercayaan mereka hanya menguntungkan pihak laki-laki. Seorang lelaki mengawani perempuan, leluhur yang menitis roh di anaknya adalah leluhur pihak laki-laki (Rusmini, 2001 : 291).

9

Page 10: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

Begitu pun terjadi pada wanita-wanita lain. Setelah menikah mereka tidak dinafkahi

oleh suaminya. Para suami hanya sibuk bermain ayam jago. Seperti halnya Jero Sadat

tokoh dalam cerpen “Cenana” dan Jero Pudak dalam cerpen ”Sepotong Kaki” yang disia-

siakan suaminya. Suaminya sibuk berselingkuh dengan wanita lain dan selalu mengamuk

pada setiap upacara.

Terlebih pada zaman pendudukan Belanda dan Jepang banyak wanita Bali yang

hanya dijadikan gundik dan objek seksual tentara Jepang. Mereka dikenal dengan ”Jugun

Ianfu” dalam cerpen ”Pesta Tubuh” dan ”Api Sita”.

Dalam cerpen “Pesta Tubuh” perempuan-perempuan Bali di bawah lima belas tahun

dihabisi di tempat tidur sebelum melayani 10 atau 15 lebih laki-laki.

Tubuh kecil kami digigit. Kami ditelanjangi, diikat. Laki-laki kuning langsat itu menyantap tubuh kami di sebuah piring besar, dengan rakusnya. Bahkans setiap tetes yang mengalir dari tubuh kami diteguknya. (Rusmini, 2001 : 105).

Mereka dijadikan objek pesta tubuh. Sedangkan dalam cerpen “Api Sita” banyak

wanita Bali yang dijadikan Nyai oleh Belanda. Mereka tidak hanya mendapat perlakuan

tidak menyenangkan dari bangsa Jepang dan Belanda, juga mengalami kekecewaan karena

dihianati oleh orang-orang sendiri. Tokoh Sita dalam “Api Sita” ia merasa dikorbankan

oleh Sawer temannya yang ia cintai. Akhirnya Sawer tewas oleh samurai yang ditusukkan

oleh Sita.

Sistem kasta pada masyarakat Bali yang senantiasa menimbulkan permasalahan dan

penuh intrik serta penderitaan orang kebanyakan (biasa) terutama wanita membuat Oka

Rusmini mempertanyakan fungsi kasta,

Haruskah sistem kasta di Bali dihapus? Apakah kebangsawanan sudah tidak ada artinya lagi? Dan kematian beruntun yang menimpa keluarga griya adalah

10

Page 11: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

pertandanya? Apakah kesialan yang turun temurun mengaliri darah Luh Sagra telah menular ke orang-orang dekat (Rusmini, 2001: 154).

Aturan-aturan yang rumit yang terdapat dalam keluarga bangsawan juga turut

dipertanyakan,

Aku curiga, jangan-jangan mereka pertahankan aturan itu untuk menjaga nilai-nilai kebangsawaan mereka. Dengan kebangsawanan yang masih melekat ditubuh mereka, mereka bisa bebas mempemainakan keberadaan Tuhan! Tidak aku tak mau mengikuti mereka (Rusmini, 2001: 134).

Pemberontak Oka Rusmini diwakilkan juga tokoh Tiwi dalam cerpen ”Cenana” yang

menolak keluarga besar menghalangi mengambil anak dari kasta Sudra. Atau tokoh Ida

Ayu tetap mencintai suaminya yang berasal dari orang kebanyakan dalam cerpen ”Putu

Menolong Tuhan”. Tokoh "aku" dalam cerpen tersebut menikah dengan lelaki bukan

berkasta bangsawan (Brahmana). Ia malah menemukan cintanya pada lelaki Jawa.

Lelaki berkasta Brahmana sering digambarkan Oka dalam kumpulan cerpen ini

hanya bisa bermabuk-mabukan, main judi sabung ayam atau meniduri segala macam jenis

perempuan. Dalam cerpen “Sagra”, misalnya, Ida Bagus

Astara ditemukan mati di hotel besar dalam pelukan pelacur atau Ida Bagus

Baskara yang hanya bisa berfoya-foya dan kemudian mati tenggelam di Kali Badung akibat

menegak minuman keras. Penggambaran negatif lainnya tentang lelaki kasta Brahmana

tampak dalam cerpen “Pemahat Abad” dan “Cenana”. Tokoh Ida Bagus Made Kopag yang

tidak bisa melihat alias buta, dinyatakan sebagai "akibat" dari ayahnya yang berkasta

Brahmana yang berperilaku buruk yang suka mabuk-mabukan dan meniduri banyak

perempuan. Kopag menjadi "penebus" dosa semua itu. Begitu juga dengan lelaki-lelaki

11

Page 12: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

berkasta Brahmana dalam cerpen “Cenana’, semuanya digambarkan memiliki perilaku

buruk dan tidak jauh berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya.

Hal itu berberda dengan laki-laki lain yang berasal bukan dari Brahmana. Dalam

cerpen “Putu Menolong Tuhan” tersebut juga digambarkan Putu, gambaran anak menurut

pengarang yang istri penyair dan esais Arief Bagus Prasetyo ini, anak-anak masa kini yang

kritis, tidak mau dipusingkan oleh sistem adat yang rumit, dan sering bertindak tanpa

berpikir. Anak yang dibesarkan dengan idealis yang seperti digambarkan dalam cerpen

pembuka “Esensi Nobelia”. Cerpen tersebut tidak menonjolkan potret masyarakat Bali

melainkan pergulatan hidup sepasang penyair kala membesarkan putri mereka.

Dua orang penyair bertemu, hati-hati! Kalian bisa berebut kata-kata di bawah bantal. Bahkan bisa jadi ranjang kalian justru tidak mempertemuakan tubuh kalian, tapi huruf-huruf, “kata seorang teman penyair sahabatku sambil terkekeh dan mengusap rambutnya yang dipenuhi uban (Rusmini, 2001: 13)

Simpulan

Berangkat dari teks kumpulan cerpen Sagra, kita dapat menyimpulkan bahwa

cerpen-cerpen dalam kumpulan ini padat dengan informasi masyarakat Bali berkenaan

kondisi sosial yang meliputi stratatifikasi, perekonomian, pendidikan, dan kedudukan

perempuan.

Dalam kumpulan cerpen ini penulis yang pernah mewakili Indonesia dalam

Writing Program Penulis ASEAN (1997), bercerita tentang seputar kehidupan masyarakat

Bali, terutama perempuan-perempuan Bali dalam tatanan masyarakat yang menjunjung

tinggi adat istiadat tetapi ditimpa realita hidup yang harus dihadapi sebagai seorang

perempuan di tengah dunia laki-laki yang begitu dominan.

12

Page 13: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

Kehidupan masyarakat Bali terutama yang berasal dari kalangan keturunan

Brahmana menyangkut masalah asmara, perkawinan, perselingkuhan, kepura-puraan,

kemunafikan, dan banyak hal lain yang tak terduga demi sebuah gengsi, tata krama, dan

segala tetek-bengek dalam tatanan adat yang mengikat kehidupan lingkungan kalangan

kaum tersebut menjadi sorotan Oka dalam kumpulan cerpen ini.

Pengarang dalam kumpulan cerpen ini mengarahkan realitas masyarakat Bali seperti

dalam kehidupan yang sebenarnya. Permasalahan sosial masyarakat Bali diangkat. Namun,

beberapa tokoh protagonis yang mewakili Oka dalam kumpulan cerpen ini melakukan

pemberotakkan terhadap sistem kasta dan aturan yang rumit yang mengatur masayarakat

Bali.

Kumpulan cerpen ini memang nampak jelas menggambarkan "pemberontakan" dan

"penggugatan" perempuan Bali yang dilakukan atau diwakili oleh tokoh-tokoh dalam

kumpulan cerpen ini. Mulai dari soal adat, kebangsawanan atau kasta, dominasi jender,

hingga perjuangan atas peningkatan atau penempatan sosok perempuan ideal dalam

kehidupan masyarakat Bali. Selain itu sistem stratifikasi sosial yang berwujud dalam

bentuk kebangsawanan dan kasta-kasta tersebut dikritisi sedemikian rupa melalui alur

cerita yang menarik.

Sikap kritisnya yang tajam membuat sisi kehidupan griya yang tersembunyi

menjadi telanjang di hadapan pembaca yang selama ini terkenal dengan keindahan dan

keserasian masyarakat Bali. Dalam pertentangannya dengan kaum Sudra, hakikat

13

Page 14: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

kebangsawanan dan harga diri kemanusiaan masyarakat Bali dipertanyakan berkali-kali.

Kepustakaan

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rusmini, Oka. 2001. Sagra. Magelang : Indonesia Tera.

Welek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusastraan, terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramdedia.

Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi : Suatu Pengatar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Biografi Penulis

Ahmad Bahtiar lahir di Pedes, 18 Januari 1976. Pendidikan Pascasarjana Susastra

Indonesia di UI selesai 2006. Beberapa tahun mengajar di Sekolah Internasional dan

Boarding School. Kini mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

untuk mata kuliah Bahasa Indonesia Umum dan perguruan tinggi lain untuk mata kuliah

Kesusastraan.

14

Page 15: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

15

Page 16: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

16

Page 17: Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini

17