Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

37
POTENSI PEMANFAATAN ABU VULKANIK GUNUNG KELUD SEBAGAI KOAGULAN PADA LIMBAH PENCUCIAN BATIK PROPOSAL Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Disusun oleh : Aceng Sulistiawan 13314272 Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Lingkungan INSTITUT TEKNOLOGI YOGYAKARTA 2015

description

pemanfaatan letusan abu gunung kelud untuk mengurangi pencemaran limbah

Transcript of Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

Page 1: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

POTENSI PEMANFAATAN ABU VULKANIK GUNUNG KELUD

SEBAGAI KOAGULAN PADA LIMBAH PENCUCIAN BATIK

PROPOSAL

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian

Disusun oleh : Aceng Sulistiawan

13314272

Program Studi Teknik Lingkungan

Fakultas Teknik Lingkungan

INSTITUT TEKNOLOGI YOGYAKARTA

2015

Page 2: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dicanangkan hari batik nasional pada tanggal 2 oktober 2009,

Industri batik nasional semakin berkembang akibatnya semakin

banyak permintaan terhadap batik. Pengakuan batik Indonesia oleh dunia,

diikuti dengan adanya peningkatkan perekonomian Indonesia dalam

bidang industri batik termasuk Yogyakarta yang merupakan kota parawisata

dan pusat pengembangan batik. Pembangunan di bidang industri di satu

pihak akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan

hidup rakyat dan di lain pihak industri itu juga akan menghasilkan limbah.

Dalam proses produksinya, industri batik banyak meggunakan bahan-bahan

kimia dan air. Bahan kimia ini biasanya digunakan pada proses

pewarnaan atau pencelupan. Pada umumnya polutan yang terkandung dalam

limbah industri batik dapat berupa logam berat, padatan tersuspensi, atau

zat organik. Proses pembatikan secara garis besar terdiri dari pembatikan

tulis, pewarnaan/pencelupan, pelepasan lilin, dan penyempurnaan. Proses

pewarnaan dan pelepasan lilin menghasilkan limbah cair dengan

kandungan COD mencapai 939,7 mg/l (Purwaningsih, 2008) mempunyai

intensitas warna sebesar 50–2500 skala Pt–Co.

Produksi yang baik tidak hanya memperhatikan keamanan dan efek

samping dari limbah sisa prosesnya, melainkan dapat mereduksi air buangan

yang dihasilkan dari proses kegiatan industri. Oleh karena itu perlu

dilakukan pengolahan limbah terlebih dahulu, kemudian dibandingkan

dengan standar baku mutu limbah cair yang kemudian dapat dibuang ke

badan sungai. Pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan cara

koagulasi flokulasi.

Secara umum proses koagulasi dan flokulasi merupakan

serangkaian proses yang meliputi distabilisasi muatan partikel karena

adanya penambahan koagulan. Penyebaran pusat-pusat aktif partikel yang

tidak stabil akan saling mengikat partikel-partikel pada air keruh

Page 3: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

2

(pembentukan inti endapan) proses pembentukan flok (penggabungan inti

endapan) dan proses pengendapan flok pada bak pengendapan (Metcalf

and Eddy, 2003). Pada proses ini membutuhkan koagulan, bahan koagulan

yang umum digunakan pada pengolahan air adalah tawas (aluminium

sulfatt), feri sulfat, fero sulfat, dan PAC.

Erupsi gunung Kelud yang terjadi pada tanggal 13 februari

2014 membawa abu vulkanik hingga sampai ke Daerah Istimewa

Yogyakarta. Abu vulkanik yang baru keluar dari gunung berapi

berdampak negatif bagi lingkungan. Abu vulkanik yang membentuk awan

panas, baik karena temperaturnya maupun kandungannya, dapat berefek

mematikan dan bersifat toksik, baik bagi manusia, tumbuhan, dan hewan.

Komposisi kimia dari abu vulkanik yang bersifat asam dapat mencemari air

tanah, merusak tumbuh- tumbuhan, dan apabila bersenyawa dengan air

hujan dapat menyebabkan hujan asam yang bersifat korosif.

Gunung Kelud merupakan gunung berapi, abu vulkanik yang berasal

dari gunung berapi umumnya memiliki kandungan Si, O, Fe, Al, Ca, Mg,

Na, K dan material minor lainnya. Kandungan Al dan Fe di dalam abu

vulkanik dapat dimanfaatkan sebagai koagulan. Koagulan ini berupa

aluminium sulfat dan feri sulfat, oleh karena itu gunung Kelud sebagai

koagulan, mengetahui hubungan variasi jumlah mol H2SO4 dan waktu

pengadukan terhadap pembuatan koagulan, dan mengetahui jumlah mol

H2SO4 dan waktu pengadukan terbaik untuk menurunkan kadar COD,

Warna dan TSS pada limbah batik.

2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, didapatkan

beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini :

1. Apakah abu vulkanik erupsi gunung Kelud dapat dijadikan sebagai

koagulan.

Page 4: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

3

2. Bagaimana hubungan jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan dalam

pembuatan koagulan.

3. Berapa jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan terbaik dalam

pembuatan koagulan untuk menurunkan COD, Warna, dan TSS pada

limbah batik.

2.3 Batasan Masalah

Batasan permasalahan pada penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini berskala laboratorium.

2. Parameter yang diuji di dalam abu vulkanik adalah Al dan Fe.

3. Parameter limbah batik yang diuji adalah COD, Warna dan TSS.

4. Variasi yang dilakukan adalah jumlah mol H2SO4 0,06 ; 0,08 ; 0,1 ;

0,12 ; 0,14 ; 0,16 dan 0,18 mol.

5. Variasi waktu pengadukan pada pembuatan koagulan yaitu 45 dan

60 menit.

2.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui potensi abu vulkanik erupsi gunung Kelud sebagai

koagulan.

2. Mengetahui hubungan variasi jumlah mol H2SO4 dan waktu

pengadukan terhadap pembuatan koagulan.

3. Mengetahui jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan terbaik untuk

menurunkan kadar COD, Warna dan TSS pada limbah batik.

2.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini, antara lain :

1. Memberikan informasi pembuatan koagulan cair dari abu vulkanik.

Page 5: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

4

2. Memberikan masukan alternatif teknologi penanggulan limbah cair

pencucian batik dengan menggunakan abu vulkanik gunung kelud

sebagai koagulan cair.

3. Sebagai bahan kajian untuk dijadikan referensi bagi peniliti-peneliti

selanjutnya yang berhubungan dengan pemanfaatan abu vulkanik sebagai

koagulan cair.

Page 6: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Limbah

Air limbah adalah sisa air yang digunakan dalam industri atau rumah

tangga yang dapat mengandung zat tersuspensi dan zat terlarut. Air limbah adalah

air yang dikeluarkan oleh industri akibat proses produksi dan pada umumnya sulit

diolah karena biasanya mengandung beberapa zat seperti: pelarut organik, zat

padat terlarut, suspended solid, minyak dan logam berat (Metcalf & Eddy, 1991).

2.1.1 Karakteristik limbah cair

Karakteristik limbah cair dapat diketahui menurut sifat-sifat dan

karaktersitik fisika, kimia dan biologis. Dalam menentukan karakteristik

limbah cair, ada tiga (3) sifat yang harus diketahui, yaitu:

1. Karakteristik Fisika

Karakteristik fisika ini terdiri dari beberapa parameter, diantaranya: Total

Solid (TS), Total Suspended Solid (TSS), Warna, Kekeruhan, Temperatur,

Bau, Minyak dan Lemak

2. Karateristik Kimia

Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD),

Dissolved Oxygen (DO), Derajat keasaman (pH), Logam Berat

3. Karakteristik Biologi

Karakteristik biologi digunakan untuk mengukur kualitas air

terutama air yang dikonsumsi sebagai air minum dan air bersih. Parameter

yang biasa digunakan adalah banyaknya mikroorganisme yang terkandung

dalam air limbah.

2.2 Proses Pembatikan

2.2.1 Proses Secara Umum

Proses pembuatan batik dapat dibagi menjadi lima proses, yaitu:

1. Proses persiapan bahan baku

Page 7: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

6

2. Proses pembatikan atau pelekatan lilin batik

3. Proses pewarnaan

4. Proses pelepasan lilin batik

5. Proses penyempurnaan atau finishing batik

Proses pembatikan lebih jelasnya dapat dilihat dari skema diagram alir

pembatikan di bawah ini:

Gambar 2. 1 : Digram alir proeses pembatikan dan sumber-sumber limbah

cair (Buku Panduan Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Industri

Batik, 1985)

Bahan baku Dalam proses pembatikan meliputi mori bahan lilin

batik, bahan kimia dan zat warna. Tidak semua pengrajin batik melakukan

proses pembatikan secara keseluruhan dari persiapan sampai menjadi kain

batik, tetapi hanya sebagian dari proses saja seperti pelekatan lilin batik

atau pembatikan, pewarnaan saja atau hanya proses pengerokan (pelepasan

sebagian lilin batik ).

Page 8: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

7

1. Proses persiapan terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Persiapan bahan baku mori

Bahan baku mori yang digunakan dapat berupa mori yang sudah

diproses finishing atau masih grey.

b. Persiapan bahan baku lilin

Lilin batik yang terbuat dari bermacam-macam bahan yang tercampur

menjadi satu dengan perbandingan tertentu sesuai dengan sifat lilin

batik yang akan dikehendaki. Teknik pembuatannya dengan cara

pemanasan bahan-bahan tersebut hingga homogen, kemudian disaring.

2. Proses pembatikan (pelekatan lilin batik)

Proses pelekatan lilin dapat dilakukan dengan cara :

a. Pelektan lilin secara tulis dengan cara canting tulis

Prosesnya meliputi pembatikan klowong, pembatikan isen-isen, dan

pembatikan tembokan yang dikerjakan pada kedua permukaan.

b. Pelekatan lilin secara cap dengan cara canting cap

Pembatikan klowong dan isen, pembatikan tembokan kedua tahapan

tersebut dikerjakan pada dua permukaan bahan mori yang tebal dan

rapat dan hanya satu permukaan mori yang tipis. Pada proses

pelekatan lilin terjadi uap lilin dan asap dari alat pemanasnya.

3. Proses pewarnaan

Proses pewarnaan batik dilakukan secara dingin yang disebabkan adanya

lilin batik sebagai zat perintang warna. Secara garis besar proses

pewarnaan dikerjakan dengan dua cara, yaitu :

a. Pewarnaan secara coletan ada tiga, yaitu coletan zat warna rapid, zat

warna indigosol, dan zat warna reaktif.

Page 9: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

8

b. Pewarnaan batik secara celupan ada tiga, yaitu celupan zat warna

naptol, zat warna indan therene, dan zat warna reaktif.

4. Proses pelepasan lilin batik

Teknik pelepasan lilin dikenal dengan dua cara, yaitu cara kerokan dan

cara lorodan.

a. Kerokan adalah proses pelepasan sebagian lilin dengan cara dikerik.

Proses penyikatan dilakukan sebelum direndam dalam larutan kaostik

soda agar hasil lebih sempurna

b. Lorodan adalah proses pelupasan lilin batik secara keseluruhan dengan

cara direbus dalam air mendidih. Bahan pembantu yang biasa

digunakan dalam pelepasan lilin adalah kanji atau soda dan abu atau

natrium silikat tergantung zat warna yang digunakan.

5. Proses penyempurnaan atau finishing batik

Proses finishing meliputi penganjian, selanjutnya penghalusan

dengan cara disetrika atau komplong.

2.2.2 Karakteristik Limbah Cair Industri Batik

Karakteristik limbah cair industri batik digolongkan dalam sifat fisika,

kimia, dan biologi (Anonim, 1992). Parameter fisika terdiri dari:

1. Zat Padat

Berdasarkan ukuran padatannya, dibedakan menjadi padatan terlaur,

koloid, dan tersuspensi.

2. Suhu

Merupakan parameter penting untuk kehidupan makhluk air, reaksi

kimia, kecepatan reaksi dan koagulan dari air tersebut pada suhu tinggi

menyebabkan kandungan oksigen berkurang sehingga memungkinkan

timbulnya tumbuhan air yang tidak diinginkan.

Page 10: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

9

3. Warna

Warna limbah cair industri batik terutama ditimbulkan dari sisa- sisa zat

warna. Selain menganggu estetika, warna juga mempunyai sifat

racun dan biasanya sulit uintuk diuraikan.

4. Bau

Bau dari limbah cair merupakan tanda adanya pelepasan gas misalnya

senyawa hidrogen sulfida. Gas ini timbul dari hasil penguraian zat organik

yang mengandung belerang atau senyawa sulfit.

5. Parameter kimia

Dalam limbah cair industri batik meliputi BOD (Biological Oxygen

Demand), COD ( Chemical Oxygen Demand), pH, logam berat, surfektan,

dan lain-lain. Prameter Biologi dilihat dari mikrobiologi dalam limbah

cair.

Baku mutu limbah cair untuk industri textil dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Textil

No Parameter Kadar

Maksimum 1 BOD5 85 mg/lt

2 COD 250 mg/lt

3 Padatan tersuspensi 60 mg/lt

4 Phenol total 1,0 mg/lt

5 Crom total 250 mg/lt

6 Minyak dan lemak 85 mg/lt

7 pH 6-9

Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup NO.KEP-

51/MENLH/10/1995

Page 11: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

10

2.3 Komposisi Air Limbah Industri Batik

2.3.1 COD (Chemical Oxygen Demand)

COD adalah jumlah oksigen (mg/O2) yang dibutuhkan untuk

mengoksidasi zat- zat organik yang ada dalam 1 liter air sample dimana

pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen. Angka COD

merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara

alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan

mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Wardhana,

2000).

Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan Oksigen Kimiawi

(KOK) merupakan parameter kualitas air yang menggambarkan banyaknya

bahan organik yang dapat dioksidasikan oleh kalium dikromat dalam

suasana asam dan dipanaskan pada suhu diatas 100OC selama 2 jam.

Oksidator kuat (K2Cr2O7) ==========> Tidak semua dapat

dioksidasi ==> Ditambah Ag2SO4(katalisator)==> Air yang

mengandung Cl- diikat dgn HgSO4

Penetapan COD gunanya untuk mengukur banyaknya oksigen setara

dengan bahan organik dalam sampel air, yang mudah dioksidasi oleh

senyawa kimia oksidator kuat. Penetapan ini sangat penting untuk dapat

diuraikan secara kimiawi. Maka dapat dikatakan COD adalah banyaknya

oksidator kuat yang diperlukan untuk mengoksidasi zat organik dalam air,

dihitung sebagai mg/l O2. Beberapa zat organik yang tidak terurai secara

biologik antara lain asam asetat, asam sitrat, selulosa dan lignin (zat kayu).

Dalam studi kualitas air parameter COD sangat penting sekali karena

parameter ini juga merupakan salah satu indikator pencemaran air. Air yang

tercemar, misalnya oleh limbah domestik ataupun limbah industri pada

umumnya mempunyai nilai COD yang tinggi, sebaliknya air yang tidak

tercemar mempunyai COD yang rendah.

Page 12: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

11

2.3.2 TSS ( Total Suspended Solid )

Total Suspended Solid (TSS) yaitu zat padat tersuspensi atau suspended

solid sejumlah berat dalam milligram (mg) pengeringan dengan membrane

tersebut mengandung bahan tersuspensi yang dikeringkan pada suhu 105 0C

selama 2 jam. Zat padat tersuspensi dibagi menjadi dua bagian yaitu zat

padat terapung dan zat padat terendap, zat padat terendap dapat bersifat

anorganik dan organik. Pengendapan zat padat di dasar badan air, akan

mengganggu kehidupan di dalam air, juga akan mengalami dekomposisi

yang menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut disamping

menimbulkan bau busuk (Djayadiningrat, 1992). Kandungan zat padat

tersuspensi di dalam air limbah dapat dihitung dengan menggunakan rumus

di bawah ini :

( )

TSS (mg/l) =1000

2.3.3 Zat Warna

Zat warna adalah senyawa yang dapat dipergunakan dalam bentuk

larutan atau disperse kepda suatu bahan lain sehingga berwarna. Warna

dalam air dapat disebabkan oleh adanya ion – ion metal alam, yaitu besi (Fe)

dan Mangan (Mn), humus yang dihilingkan terutama untuk penggunaan air

industri dan air minum. Warna yang biasanya diukur adalah warna

sebenarnya atau warna nyata, yaitu warna setelah kekeruhan dihilangkan,

sedangkan warna nampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh

zat terlarut dalam air tapi juga tersuspensi.

Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan secara

visual warna dari sampel dengan larutan standart warna yang diketahui

konsentrasinya. Dalam metode ini sebagai standart warna digunakan larutan

Page 13: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

12

Platina-Cobalt dengan satuan mg/l-PtCo. PtCo singkatan dari Pt (Platina)

dan Co (Cobalt).

Air limbah yang baru dibuang biasanya berwarna abu – abu apabila

senyawa – senyawa organik yang ada mulai pecaholeh bakteri. Oksigen

terlarut dalam limbah direduksi sampai menjadi nol dan warnanya berubah

menjadi hitam (gelap). Pada kondisi ini dikatakan bahwa air limbah sudah

busuk. Dalam menetapkan wana tersebut dapat pula diduga adanya

pewarna tertentu yang mengandung logam – logam berat.

Zat warna dapat digolongkan berdasarkan struktur molekul dan cara

pewarnaannya pada bahan, misalnya dalam pencelupan dan pencapan bahan

batik, tekstil kulit dan kertas. Zat warna dibagi menjadi dua golongan, yaitu

:

1. Zat warna alam (Zat Alizarin)

Zat warna yang berasal dari tumbuhan yaitu: Alizarin, Indantren

Biru dan Indigo (Nila)

a. Zat Warna yang berasal dari binatang

Zat warna yang bersal dari binatang misalnya: kerang (Tryan

Purple), insekta merah (Lec).

b. Zat warna yang berasal dari mineral misalnya : Fe, Cr, Mn (Iron

Buff untuk warna kaki) Lama – kelamaan cat alam akan terdesak

oleh cat – cat sintetik. Adapun sebabnya karena :

Cat alam jarang yang murni

Kadarnya tidak tetap

Adanya warna terbatas (merah, kuning, sawo matang)

Pemakainnya terbatas.

Sedangkan cat – cat sintetis : komposisinya selalu tetap, keadaannya

murni, tiap warna tersedia dan cara mencelupnya lebih mudah

2. Zat Warna sintetik

Page 14: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

13

Sebagai bahan dasar dipakai senyawa hidrokarbon aromatic, misalnya

benzene dan naftalena yang berasal dari batu bara dengan cara

penyulingan kering tanpa pengaruh udara (Soeparman, 1967).

Zat warna yang umum digunakan oleh industri batik adalah zat warna

naftol dan indigisol :

a. Zat warna naftol (zat azo)

Merupakan zat warna azo yang baru dan hampir semua warna ada

da mempunyai awah warna yang bervariasi, misalnya : hitam,

coklat, kuning, biru dan lain – lain. Senyawa naftol mempunyai

daya serap terhadap serat sellulosa sehingga pengeringan setelah

pencelupan tidak diperlukan lagi.Bahan pembangkit “fase base”

dan dalam bentuk garam yang disebut “fast salt”. Fasl salt ini

dapat larut dalam air dan dapt langsung dipakai untuk

pembangkitwarna, sedangkan fase base terlebih dahulu harus

dilarutkan secara “diazotasi” yaitu diberi asam chloride dan

natrium nitrit.

b. Zat warna indigosol

Zat warna indigisol disebut juga cat bejana larut (soluble- vac-

deyes), yaitu leuco-ester natrium dari cat bejana (natrium

disultonester leusa indigo). Jika cat tersebut dioksidasikan,

maka akan berubah menjadi bentuk yang tidak larut dan

berwarna (bentuk keton) (soeparman, 1967). Oksidasi untuk

menimbulkan warna dipakai nitrit dan asam. Cat indigisol berasal

dari : indigo dan halogen indigo, algae, helinolon, indonthreen.

2.4 Dampak Air Buangan Industri Batik Terhadap Badan

Air/Lingkungan

Page 15: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

14

Pencemaran yang ditimbulkan dari proses pembuatan batik secara umum

dibedakan menjadi 3 macam yaitu : gas, padat, cair. Tabel di bawah ini

menunjukkan proses pembatikan yang menghasilkan limbah.

Tabel 2.2. Limbah dari proses pembatikan

Jenis proses

Pembatikan

Limbah dalam bentuk Gas

Limbah Dalam Bentuk Cair

Limbah dalam bentuk padat

Proses persiapan Uap lilin batik,

asap pemanas

Sisa –sisa kanji,

asam, soda

abu/kostik,

minyak nabati,

zat- zat

penggelentang

Kotoran lilin, soda lilin

yang apabila terkena

panas akan meleleh dan

mempunyai sifat minyak

Proses

pembatikan

Uap lilin, asap

pemanas

Tidak ada Tidak ada

Proses pewarnaan Uap asam Sisa – sisa zat

warna sisa obat

pembantu (alkali,

asam oksidator,

reduktor dan lain

Tidak ada

Proses pelepasan

lilin

Tidak ada Obat – obat

pembantu yang

bersifat alkalis

(soda abu, soda

kostik, natrium

nitit, kanji)

Tidak ada

Proses finishing Tidak ada Kanji Tidak ada

Jenis proses

Pembatikan

Limbah dalam

bentuk Gas

Limbah Dalam

Bentuk Cair

Limbah dalam bentuk

padat Sumber : Balai penelitian dan pengembangan industry, (1983)

2.5 Koagulasi

2.5.1 Pengertian Koagulasi

Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel koloid dan suspended

solid yang didalamnya berupa bakteri dan virus yang dihasilkan melalui

Page 16: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

15

kompresi lapisan ganda yang bermuatan listrik dan mengelilingi permukaan

partikel. Koagulasi sangat efektif untuk mengubah warna, mikro molekul

organik dan partikel di air.

Flokulasi adalah proses pengadukan lambat yang mengikuti proses

koagulasi. Flokulasi bertujuan untuk mempercepat laju penggabungan

antar partikel sehingga suatu partikel yang lebih besar dan memudahkan

proses pengendapan.

Secara umum proses kougulasi dan flokulasi merupakan serangkaian

proses yang meliputi distabilisasi muatan partikel karena adanya penambahan

koagulan. Penyebaran pusat-pusat aktif partikel yang tidak stabil akan

saling mengikat partikel-partikel pada air keruh (pembentukan inti endapan)

proses pembentukan flok (penggabungan inti endapan) dan proses

pengendapan flok pada bak pengendapan (Metcalf and Eddy, 2003).

2.5.2 Proses Terjadinya Koagulasi

Koagulasi berhubungan dengan agregasi koloid tidak stabil secara

termodinamik. Pada umumnya koloid bermutan listrik, ada yang positif dan

ada yang negatif tergantung dari asalnya, bila berasal dari anorganik maka

muatan listriknya positif sedangkan yang berasal dari bahan organik maka

muatan listriknya negatif. Terdapat tiga tahapan penting yang diperlukan

dalam proses koagulasi yaitu:

1. Tahap pembuatan inti endapan

Pada tahap ini deiperlukan zat koagulan yang berfungsi untuk

penggabungan antara koagulan dengan polutan yang ada di dalam air.

Agar penggabungan dapat berlangsung diperlukan pengadukan dan

pengaturah pH. Pengadukan dilakukan pada kecepatan 60 sampai 100

rpm selama 1-5 menit. Pengaturan pH tergantung dari jenis koagulan yang

digunakan (Sugiharto, 2005).

Page 17: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

16

2. Tahap flokulasi

Tahap ini berfungsi untuk membentuk partikel padat yang lebih

besar supaya partikel dapat diendapkan, dari hasil reaksi partikel kecil

dengan bahan atau zat koagulan yang kita bubuhkan. Faktor yang

mempengaruhi bentuk partikel yang lebih besar adalah kekeruhan

pada air baku, tipe dari suspended solid, pH, bahan koagulan yang dipakai

dan lamanya pengadukan.

Agar partikel-partikel koloid dapat menggumpal, gaya tolak

menolak elektrostatik antara partikelnya harus dikurangi dam transportasi

partikel harus menghasilkan kontak diantara partikel yang mengalami

destabilasasi. Setelah partikel-partikel koloid mengalami destabilisasi

partikel-partikel tersebut dikontakan satu dengan yang lainnya sehingga

dapat menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar yang

disebut flok.

Proses kontak ini disebut flokulasi dan biasanya dilakukan dengan

pengadukan lambat (slow mix) secara hati-hati. Flokulasi merupakan

faktor yang paling penting yang mempengaruhi efesiensi penghilangan

partikel. Tujuan flokulasi adalah untuk membawa partikel-partikel ke

dalam kontak sehingga mereka bertubrukan, tetap bersatu, dan tumbuh

menjadi satu ukuran yang siap mengendap. Pengadukan yang cukup harus

diberikan untuk membawa flok ke dalam kontak. Terlalu banyak

pengadukan dapat membubarkan flok sehingga ukurannya menjadi kecil

dan terdispersi halus (Davis dan Cornwell, 1991).

Kecepatan penggumpalan dari agregat pada proses flokulasi

ditentukan oleh banyaknya tubrukan antar partikel yang terjadi serta

keefektifan benturan tersebut. Dalam hal ini, tubrukan antar partikel

terjadi melalui tiga cara, yakni :

Page 18: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

17

a. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak termal (panas), yang

dikenal sebagai gerak Brown. Flokulasi yang terjadi oleh adanya

gerak Brown ini disebut flokulasi perikinetik.

b. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerakan media (air),

misalnya karena pengadukan. Flokulasi yang terjadi akibat

gerakan fluida ini disebut flokulasi ortokinetik.

c. Kontak yang terjadi akibat perbedaan laju pengendapan dari

masing-masing partikel. (Davis dan Cornwell, 1991).

3. Tahap pemisahan flok dengan cairan

Flok yang terbentuk dipisahkan dengan cairannya yaitu dengan cara

pengendapan atau pengapungan. Bila flok yang terbentuk dipisahkan

dengan cara pengendapan maka dapat digunakan alat Clarifier sedangkan

bila flok yang terjadi diapungkan dengan menggunakan gelembung udara

sehingga flok dapat diambil dengan menggunakan Skimmer.

2.5.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Koagulasi Flokulasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi adalah :

a. Derajat Keasaman (pH)

Menurut beberapa ahli pada pH tertentu setiap air limbah yang tertentu

memungkinkan terjadinya proses koagulasi dengan baik. Pada pH rendah

(asam), proses koagulasi tidak dapat berlangsung. Alkalinitas juaga

mempengaruhi koagulasi dalam proses pembentukan flok. Alkalinitas air

seperti HCO3 dapat membantu proses pembentukan flok dengan peranannya

memproduksi ion OH- dalam reaksi hidrolisa koagulan. Alkalinitas dapat

dibuat dengan cara menambahkan senyawa Ca(OH)2, NaHCO3 dan CaO yang

sekaligus dapat dipergunakan sebagai pengatur pH sebelum proses koagulasi

dilakukan.

Page 19: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

18

b. Kondisi Pengadukan

Dalam proses koagulasi flokulasi harus memperhatikan sistem

pengadukan. Dalam pelaksanaannya, proses koagulasi flokulasi memerlukan

dua macam pengadukan, yaitu pengadukan cepat dan pengadukan lambat.

Pengadukan cepat dilakukan saat bahan koagulan ditambahkan, pengadukan

harus benar-benar merata sehingga semua koagulan yang ditambahkan

akan bereaksi dengan partikel-partikel atau ion-ion dalam suspensi.

Pengadukan lambat dilakukan untuk membantu proses pembutan flok

(flokulasi). Kecepatan pengadukan sangat mempengaruhi pertumbuhan flok.

Bila kecepatan pengadukan terlalu lambat maka pertumbuhan flok juga

lambat dan ukuran flok yang terbentuk kecil. Kecepatan pengadukan yang

terlalu besar dapat menyebabkan flok yang terbentuk akan pecah kembali.

c. Jenis Koagulan

Jenis koagulan yang ditambahkan akan mempengaruhi mekanisme

destabilisasi partiekel koloid, hal ini disebabkan setiap koagulan

mempunyai karakteristik yang berbeda. Bahan-bahan yang biasa digunakan

sebagai koagulan dalam pengolahan air limbah antara lain : Tawas, Feri sulfat,

Fero sulfat, Feri klorida dan PAC.

d. Suhu

Suhu air yang rendah mempunyai pengaruh terhadap efesiensi proses

koagulasi. Bila suhu air diturunkan maka bessarnya daerah pH yang optimum

pada proses koagulasi akan berubah dan merubah pembubuhan dosis

koagulan.

e. Tingkat kekeruhan air limbah

Sifat dan karakteristik air limbah mempengaruhi proses koagulasi flokulasi.

Pada kekeruhan yang tinggi proses destabilisasi terjadi dengan cepat, namun

jika pada kondisi ini dosis koagulan yang dipakai rendah, maka pembentukan

flok akan kurang efektif.

f. Komposisi kimia air buangan

Page 20: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

19

Air yang mengandung partikel organik biasanya menimbulkan kesukaran

dalam proses koagulasi karena banyak reaksi kimia yang terjadi antara

koagulan dengan partikel organik sehingga akan meningkatkan dosis

koagulan.

2.6 Koagulan

Koagulan adalah bahan kimia yang dibutuhkan air untuk membantu proses

pengendapan partikel-partikel kecil yang tak dapat mengendap dengan sendirinya.

Koagulan yang biasa digunakan dalam industry pengolahan air adalah

koagulan kimia seperti tawas, polyaluminium klorida, ferri klorida, ferri sulfat

dan polymer kation (Sugiharto, 2005).

Koagulan atau Flokulan pembantu biasa dibubuhkan ke dalam air yang

dikoagulasi yang bertujuan untuk memperbaiki pembentukan flok dan untuk

mencapai sifat spesifik flok yang diinginkan. Koagulan adalah zat kimia yang

menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspensi. Zat ini

merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan

negatif partikel. Dalam pengolahan air sering dipakai garam Aluminium, Al (III)

atau garam besi (II) dan besi (III) Koagulan yang umum digunakan pada

pengolahan air adalah seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.3. Koagulan yang Umum Digunakan Pada Pengolahan Air

Nama

Formula

Bentuk

Reaksi Dengan

Air

pH

Optimum

Aluminium sulfat,

Alum sulfat, Alum,

Salum

Al2(SO4)3.xH2O

x = 14,16,18

Bongkah,

Bubuk

Asam

6,0 – 7,8

Page 21: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

20

Sodium

aluminat

NaAlO2 atau

Na2Al2O4

Bubuk Basa 6,0 – 7,8

Polyaluminium

Chloride, PAC

Aln(OH)mCl3n-m Cairan, bubuk Asam 6,0 – 7,8

Ferri sulfat Fe2(SO4)3.9H2O Kristal halus Asam 4 – 9

Ferri klorida FeCl3.6H2O Bongkah,

cairan

Asam 4 – 9

Ferro sulfat FeSO4.7H2O Kristal halus Asam > 8,5

Sumber : Mulyadi, 2007 Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3)

2.6.1 Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3)

Alumunium sulfat atau tawas merupakan bahan kimia yang dapat

digunakan sebagai bahan koagulan untuk proses koagulasi yang biasa

digunakan untuk pengolahan air buangan. Alumunium sulfat atau tawas

berfungsi sebagai pemecah sekaligus penggumpal bahan-bahan organik

dalam air, baik yang non biodegrdable (tidak dapat diuraikan secara biologi),

maupun yang biodegradable (dapat diuraikan secara biologi). Dalam keadaan

alkalis yang cukup, tawas akan bereaksi dan menghasilkan flok hidroksid.

Pembutan larutan tawas melalui reaksi berikut : Al2O3 + 3 H2SO4→

Al2(SO4)3 . 3H2O

Reaksi penguraian :

Al2(SO4)3 . 3 H2O → 2Al3+

+ 3SO4+ 3 OH + 3 H

Reaksi hidrolisa :

Al2(SO4)3 + 6 H2O → 2 Al(OH)3 + 6H+

+ 3 SO42-

Ion Al3+

berperan sebagai elektrolisis positif pada proses destabilisasi

partikel koloid. Senyawa Al(OH)3 dalam bentuk presipitat berfungsi sebagai

inti flok.

Page 22: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

21

2.6.2 Feri Sulfat (Fe2(SO4)3)

Koagulan feri sulfat (Fe2(SO4)3) mempunyai kemampuan mengurangi

warna pada pH rendah dan tinggi serta dapat menghilangkan Fe dan Mn.

Besi bila dilarutkan dalam asam sulfat akan membentuk fero sulfat

sesuai dengan reaksi berikut:

Fe2+

+ H2SO4 → FeSO4 + 2H+

Fero sulfat (FeSO4) dalam asam sulfat dapat dioksidasi menjadi feri sulfat

(Fe2(SO4)3 ) yang lebih stabil.

4 Fe2+ + O2 + 4 H3O+ → 4 Fe 3+ + 6 H2O

2Fe 3+

+ 3 H2SO4→ Fe2(SO4)3 . 6 H+.

(Kondisi lebih stabil)

Reaksi penguraian : Fe2(SO4)3 → 2Fe3+

+ 3SO42-

Di samping lebih stabil, feri sulfat dapat digunakan sebagai bahan

koagulan pada penjernihan air, bahan aditif pada semen portland dan

bahan pelapis kaset. Pada penjernihan air, kemampuan feri sulfat untuk

membentuk flok adalah 11 kali lebih cepat dibanding bahan koagulan

yang lain.

Reaksi hidrolisa :

Fe2(SO4)3 + 6 H2O → 2Fe(OH)3 + 2H+

+ SO42-

2.7 Jar Test

Jar test adalah suatu percobaan yang berfungsi untuk menentukan dosis

optimum dari koagulan yang digunakan dalam proses pengolahan air bersih.

Apabila percobaan dilakuakan secara tepat, informasi yang berguna akan diperoleh

untuk membantu operator instalasi dalam mengoptimalkan proses-proses

koagulasi-flokulasi dan penjernihan.

Jar test memberikan data mengenai kondisi optimum untuk parameter-

parameter proses seperti :

Page 23: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

22

a. Dosis koagulan dan koagulan pembantu.

b. pH.

d. Metode pembubuhan bahan kimia (pada atau dibawah permukaan air,

pembubuhan beberapa bahan kimia secara bersamaan atau berurutan, lokasi

pembubuhan relatif terhadap peralatan pengadukan).

e. Kecepatan larutan kimia.

g. Waktu dan intensitas pengadukan cepat dan pengadukan lambat (flokulasi).

f. Waktu penjernihan

Untuk Jar test penetapan standarisasi dan prosedur tetap merupakan syarat

untuk mendapatkan hasil-hasil yang benar. Terpisah dari parameter-parameter

proses yang disebutkan di atas, variable-variable berikut juga harus dimonitor

dan dikontrol, yaitu seperti : temperatur air di dalam gelas beaker Jar test.

2.6 Gunung Berapi

Gunung Api merupakan tonjolan di permukaan bumi yang terbentuk karena

keluarnya magma dari dapur magma dari dalam perut bumi melalui lubang

kepundan. Proses keluarnya magma ke permukaan bumi pada umumnya disertai

oleh letupan/letusan. Peristiwa keluarnya magma dari dalam gunung api yang

disertai bahan-bahan padat, cair dan gas disebut erupsi.

Menurut Altius arlen (2014) magma disusun oleh material yang berupa gas

(volatil), seperti H2O, CO2, dan material bukan gas yang umumnya terdiri dari Si,

O, Fe, Al, Ca, Mg, Na, K dan minor elamen seperti V, Sr, Rb, dan lain-lain.

Dalam gunung api, magma tersimpan dalam rongga di dalam bumi yang disebut

dapur magma. Karena magma relatif lebih ringan dari batuan disekitarnya, maka

magma akan bergerak naik ke atas. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi

disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 500-1.200 °C. Letusan

gunung berapi yang membawa batu dan abu dapat menyembur sampai sejauh

Page 24: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

23

radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri sampai sejauh radius

90 km.

Adanya gerakan magma yang menuju permukaan bumi, yang disertai

oleh tekanan dari magma itu sendiri atau tekanan di sekitar dapur magma,

mengakibatkan terjadinya erupsi gunung api. Erupsi ini kemudian menyebabkan

keluarnya material-material tertentu dari perut bumi. Berikut ini merupakan

material hasil erupsi, yaitu :

1. Bahan Padat (eflata) :

a. Bom (eflata yag berukuran raksasa )

b. Lapili (eflata berukuran besar, dari seukuran kerikil hingga sebesar

bongkahan batu )

c. Pasir (eflata berukuran kecil )

d. Abu vulkanik ( eflata berbentuk pasir halus )

2. Bahan Cair / effusive / effusive :

a. Lava ( magma yang keluar dari gunung, dapat berupa cair encer, cair kental,

dan lava kental )

b. Lahar ( aliran lumpur yang bercampur lava dan air )

3. Bahan Gas / Ekshalasi

a. Uap air (H2O)

b. Gas belerang (H2S)

c. Karbon dioksida (CO2)

d. Nitrogen

2.6.1 Abu vulkanik

Abu vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan

piroklastik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang

disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan, terdiri dari batuan

berukuran besar sampai berukuran halus. Batuan yang berukuran

Page 25: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

24

besar (bongkah - kerikil) biasanya jatuh disekitar kawah sampai

radius 5 – 7 km dari kawah, dan yang berukuran halus dapat jatuh

pada jarak mencapai ratusan km bahkan ribuan km dari kawah

karena dapat terpengaruh oleh adanya hembusan angin.

2.7 Landasan Teori

Permasalahan yang sering terjadi pada industri batik, yaitu disebabkan

pada proses pembatikan. Penggunaan bahan-bahan kimia ini, biasanya digunakan

dalam proses pewarnaan atau pencelupan. Pada umumnya polutan yang

terkandung dalam limbah industri batik selain warna dapat berupa logam berat,

padatan tersuspensi, atau zat organik.

Pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan cara koagulasi flokulasi.

Koagulan tawas (alumunium sulfat) dan ferri sulfat merupakan hasil reaksi logam

Al dan Fe dengan asam sulfat. Sementara Abu vulkanik yang berasal dari gunung

berapi umumnya memiliki kandungan Si, O, Fe, Al, Ca, Mg, Na, K dan material

minor lainnya (Altius arlen, 2014). Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pembuatan koagulan.

Menurut (Tresty diyannisa dan Sukandar, 2014) pada penelitian “POTENSI

PEMANFAATAN LIMBAH ABU ALUMINUM SEBAGAI BAHAN

KOAGULAN”, Al dan Fe di dalam abu dapat bereaksi dengan asam sulfat, reaksi

yang terbentuk sebagi berikut:

2 Al3+

+ 3 H2SO4 → Al2(SO4)3 + 3 H2 …………….(1)

2 Fe3+

+ 3 H2SO4 → Fe2(SO4)3 + 3 H2 …………….(2)

2 Al3+

+ 2 Fe3+

+ 6 H2SO4 → Al2(SO4)3 + Fe2(SO4)3 + 6 H2

variasi jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan mempengaruhi

banyaknya koagulan Al dan Fe yang terbentuk. Semakin tinggi jumlah mol asam

sulfat maka akan lebih kuat untuk bereaksi dengan Al dan Fe menghasilkan

Page 26: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

25

Al2(SO4)3 dan Fe2(SO4)3. Waktu reaksi sangat berpengaruh terhadap keoptimuman

terjadinya reaksi antara asam sulfat dengan aluminium dan Fe. Semakin lama

waktu reaksi akan mengakibatkan kontak antara Al dan Fe dengan asam sulfat

semakin lama, sehingga banyak logam Al dan Fe yang akan terlarut. Koagulan

dengan dosis yang terpilih, diharapkan dapat mengurangi permasalahan limbah cair

industri batik khususnya parameter COD , Warna dan TSS.

2.8 Kerangka Berfikir

Perekonomian Indonesia yang semakin maju diikuti oleh pembangunan

industri diberbagai sektor. Salah satunya adalah industri batik. Seiring dengan

banyaknya permintaan batik dari dalam negeri maupun dari luar negri, membuat

industri batik semakin berkembang. Pembangunan di bidang industri disatu pihak

akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat dan

dilain pihak industri itu juga akan menghasilkan limbah. Limbah yang dihasilkan

oleh kegiatan industri batik diantaranya dihasilkan pada proses pewarnaan atau

pencelupan yang banyak menggunakan bahan-bahan kimia dan air.

Karakteristik limbah cair industri batik digolongkan dalam sifat fisika,

kimia, dan biologi (Anonim, 1992).

Parameter fisika terdiri dari : Zat padat, Suhu, Warna dan Bau.

Parameter kimia

Dalam limbah cair industri batik meliputi BOD (Biological Oxygen

Demand), COD ( Chemical Oxygen Demand), pH, logam berat, surfektan, dan

lain-lain.

Prameter Biologidilihat dari mikrobiologi dalam limbah cair.

Air buangan yang dihasilkan dari kegiatan industri, harus dilakukan

pengolahan terlebih dahulu sehingga memenuhi standar baku mutu limbah cair

yang kemudian dapat dibuang ke badan sungai. Pengolahan limbah cair dapat

dilakukan dengan cara koagulasi flokulasi.

Page 27: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

26

Secara umum proses kougulasi dan flokulasi merupakan serangkaian proses

yang meliputi destabilisasi muatan partikel karena adanya penambahan koagulan.

Penyebaran pusat-pusat aktif partikel yang tidak stabil akan saling mengikat

partikel-partikel pada air keruh (pembentukan inti endapan) proses pembentukan

flok (penggabungan inti endapan) dan proses pengendapan flok pada bak

pengendapan (Metcalf & Eddy, 2003). Pada proses ini membutuhkan koagulan,

bahan koagulan yang umum digunakan pada pengolahan air adalah tawas

(aluminium sulfatt), feri sulfat, fero sulfat, dan PAC.

Erupsi gunung Kelud pada tanggal 13 februari 2014 terjadi lebih eksplosif

dan dasyat dari catatan letusan sebelumnya, yang menyebabkan material-material

yang terdapat dalam perut bumi keluar keangkasa hingga radius 17 km. Hal ini

menyebabkan material hasil erupsi diantaranya bahan-bahan padat, cair dan gas

tersebar ke daerah Jawa Tengah termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahan

padat yang disemburkan salah satunya dalam bentuk Abu vulkanik. Abu vulkanik

yang berasal dari gunung berapi umumnya memiliki kandungan Si, O, Fe, Al, Ca,

Mg, Na, K dan material minor lainnya.

Abu vulkanik yang menghujani yogyakarta mencapai ketinggan 2-3 cm

diatas tanah. Peristiwa ini mengakibatkan kota yogyakarta terganggu aktivitasnya

pasca erupsi gunung kelud. Melimpahnya abu vulkanik pasca erupsi menyebabkan

penumpukan abu vulkanik dibeberapa tempat dan pengumpulan yang tidak

diolah secara maksimal. Sementara, di dalam abu vulkanik terdapat Al dan Fe yang

dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan koagulan cair, yaitu dengan

cara mereaksikannya dengan asam sulfat (H2SO4) menghasilkan Al2(SO4)3 dan

Fe2(SO4)3. Koagulan tawas dan ferisulfat bayak digunakan dalam pengolahan

limbah cair sehingga diharapkan koagulan tersebut dapat membantu dalam

permasalahan limbah cair industri batik khususnya parameter COD. Warna dan

TSS.

Page 28: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

27

2.9 Hipotesis

1. Abu vulkanik gunung kelud memiliki potensi untuk dijadikan koagulan.

2. Semakin tinggi konsentrasi H2SO4 dan semakin lama waktu pengadukan,

semakin banyak Al2(SO4)3 dan Fe2(SO4)3 yang terbentuk.

3. Jumlah mol asam sulfat terbaik adalah 0,18 mol dan waktu

pengadukan terbaik adalah 60 menit.

Page 29: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

28

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Analisis dilakukan di laboratorium Kampus 2 STTL Yogyakarta dan

Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang diguanakan adalah eksperimen yang digunakan untuk

mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yan lain dalam kondisi yang

terkendalikan. Dalam hal ini perlakuan yang dilakukan adalah pengaturan pH

asam-basa.

3.3 Obyek Penelitian

Bahan yang akan diteliti adalah abu vulkanik gunung kelud sebagai bahan baku

pembuatan koagulan cair dan limbah pencucian Industri Batik Plentong.

3.4 Waktu Penelitian

Penelitian direncanakan akan dilakukan pada bulan April-Juli 2014, mulai dari

persiapan dan konsultasi proposal, seminar dan revisi proposal, persiapan alat dan

bahan penelitian, pemeriksaaan laboratorium, analisis data dan penyusunan laporan

akhir

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan di laboratorium

Kampus 2 STTL Yogyakarta dan Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta

Page 30: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

29

3.5.2 Data Sekunder

Komposisi kimia abu vulkanik gunung Kelud diperoleh dari data

sekunder yang dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur (BKB), 2014

dengan pengukuran XRF (X-Ray Flourescence) menunjukan bahwa

kandungan Al 9% dan Fe 5,7 %.

3.6 Variabel

3.6.1 Variabel Bebas

Pada penelitian digunakan dua variabel bebas yang pertama adalah variasi

jumlah mol H2SO4 yaitu 0,06 ; 0,08 ; 0,1 ; 0,12 ; 0,14 ;

0,16 dan 0,18 mol dan variabel kedua adalah variasi waktu

pengadukan yaitu 45 menit dan 60 menit

3.6.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

kandungan Al dan Fe dalam larutan koagulan

kadar COD , warna dan TSS pada limbah batik.

3.7 Alat dan Bahan Penelitian

3.7.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Jartest i. Corong gelas

b.

Fe Kit

j.

Erlenmeyer

c.

Neraca analitik

k.

Kaca arloji

Page 31: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

30

d.

Gelas ukur

l.

Bulb

e.

Beaker glass

m.

Kertas saring

f.

Tabung reaksi

whatman

g.

Spatula

n.

Jerigen plastik

h.

Pipet mohr

volume 5 liter

3.7.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Limbah cair industri batik plentong

b. Abu vulkanik gunung kelud.

c. H2SO4 pekat (18M)

d. Aqua regia (air suling)

Gambar 3.1 Alat Jar test

Sumber : Jenny Poland and Todd Pagano, 2014

3.8 Tahapan Pelaksanaan Penelitian

3.8.1 Tahap persiapan sampel

1. Sampel Abu vulkanik gunung kelud diperoleh dari jalan-jalan raya

dan di atas genteng rumah di Yogyakarta pasca erupsi gunung kelud.

Page 32: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

31

2. Sampel limbah pencucian batik diambil dari Industri Batik

Plentong Jl.Tirtodipuran No 48 Yogyakarta.

3.8.2 Cara Kerja

3.8.2.1 Uji Pendahuluan

1. Ditimbang sampel abu vulkanik sebanyak 10 gram dan 20

gram

2. Dimasukkan sampel abu vulkanik ke dalam larutan asam

sulfat konsentrasi 0,24 M sebanyak 500 ml

3. Diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 30 menit

4. Disaring dengan kertas saring Whatman, diambil filtratnya

sebanyak 10 ml dan dikontakkan dengan air sungai.

5. Uji jartest dengan kecepatan 100 rpm selama 3 menit dan 20

rpm selama 25 menit.

6. Uji visual kekeruhan.

Gambar 2.2 Hasil uji jartest a. sampel abu 10 gram b. Sampel abu

20 gram

Hasil uji pendahuluan menunjukan bahwa gambar b yaitu sampel

abu 20 gram memberikan hasil visual lebih jernih dibandingkan

Page 33: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

32

dengan gambar a yaitu sampel abu 10 gram. Sehingga dalam

pembuatan koagulan, menggunakan sampel abu sebanyak 20 gram.

3.8.2.2 Pembuatan Koagulan

A. Variasi jumlah mol H2SO4

1. Disiapkan reaktan asam sulfat dengan jumlah mol 0,06 ;

0,08; 0,1 ; 0,12 ; 0,14 ; 0,16 dan 0,18 mol dari asam sulfat

18 M.

2. Ditimbang sampel abu vulkanik sebanyak 20 gram.

3. Dimasukan abu vulkanik yang telah ditimbang ke dalam

asam sulfat 500 mL.

4. Diaduk selama 30 menit dengan kecepatan 100 rpm

5. Saring dengan kertas saring whatman dan diambil filtrat

nya (koagulan cair).

6. Diuji kandungan Al dan Fe nya.

Jumlah mol H2SO4 yang memberikan hasil Al dan Fe

tertinggi digunakan untuk variasi pengadukan dalam

pembuatan koagulan.

B. Variasi waktu pengadukan

1. Ditimbang sampel abu vulkanik sebanyak 20 gram.

2. Dimasukkan sampel abu vulkanik ke dalam 500 mL asam

sulfat dengan jumlah mol H2SO4 terpilih pada percobaan

sebelumnya.

3. Diaduk selama 45 menit dan 60 menit dengan kecepatan

100 rpm

4. Disaring dengan kertas saring Whatman dan diambil

filtratnya (koagulan cair).

Page 34: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

33

5. Diuji kandungan Al dan Fe nya.

Waktu pengadukan yang memberikan hasil Al dan Fe

tertinggi digunakan untuk pembuatan koagulan.

3.8.2.3 Penurunan COD, TSS dan Warna Pada Limbah Batik dengan

Koagulan Terpilih

A. Tanpa perlakuan asam-basa

1. Disiapkan beaker glass 1000ml

2. Dimasukkan 500 ml sampel limbah batik ke dalam masing-

masing beaker glass.

3. Dicek pH awal limbah batik

4. Ditambahkan koagulan terpilih sebanyak 10 ml.

5. Uji jartest dengan pengadukan cepat 100rpm selama 3menit

dan 20 rpm selama 25 menit

6. Didiamkan selama 5-10 menit

7. Dilakukan pengukuran kadar COD, TSS dan Warna.

B. Perlakuan asam-basa

1. Disiapkan beaker glass 1000ml

2. Dimasukkan 500 ml sampel limbah batik ke dalam masing-

masing beaker glass.

3. Dicek pH awal limbah batik

4. Ditambahkan H2SO4 1M hingga pH limbah menjadi asam

yaitu sekitar pH 3-4

5. Ditambahkan CaO 10% untuk membasakan kembali pH

limbah hingga pH 10

6. Dimasukkan koagulan terpilih sebanyak 10 ml.

7. Uji jartest dengan pengadukan cepat 100rpm selama 3menit

dan 20 rpm selama 25 menit

8. Didiamkan selama 5-10 menit

Page 35: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

34

9. Dilakukan pengukuran kadar COD, TSS dan Warna.

3.9 Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian

Page 36: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

35

3.10 Analisis Data

Analisis data dilakukan terhadap sampel abu vulkanik dengan variasi konsentrasi

dan waktu pengadukan dalam pembuatan koagulan cair. Semua data hasil

penelitian dikelompokkan dalam suatu table data, kemudian dianalisis secara

deskripsi kuantitatif untuk melihat perbedaan variasi konsentrasi dan waktu

pengadukan terhadap hasil pengukuran kadar Al dan Fe.

Hasil analisis tersebut digunakan untuk mengetahui potensi abu vulkanik sebagai

koagulan untuk menurunkan konsentrasi COD , warna. dan kekeruhan pada

limbah industri batik, kemudian dibandingkan dengan standar baku mutu yang

telah ditetapkan untuk parameter tersebut agar dapat dibuang ke badan air. Hasil

penelitian dapat dilihat pada table 3.1 ,3.2 dan 3.3.

Tabel 3.1. Hasil Analisa Kandungan Al Dan Fe Dengan Berbagai Variasi

Penambahan H2SO4

Jumlah

H2SO4 (mol)

Al (mg/l)

Fe (mg/l)

0,06

0,08

0,1

0,12

0,14

0,16

0,18

Page 37: Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik

36

Tabel 3.2. Hasil Analisa Kandungan Al dan Fe dengan berbagai variasi

waktu pengadukan.

Waktu

Pengadukan

(menit)

Al (mg/l)

Fe (mg/l)

45

60

Tabel 3.3. Hasil Analisa COD, TSS dan Warna Menggunakan

KoagulanTerpilih.

No

Sampel

Hasil Pengukuran

Suhu

(0C)

pH

COD

(mg/L)

TSS

(mg/L)

Warna

(Unit Pt-Co)