Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik
-
Upload
timur-ahadi-santoso -
Category
Documents
-
view
33 -
download
4
description
Transcript of Potensi Pemanfaatan Abu Vulkanik Gunung Kelud Sebagai Koagulan Pada Limbah Pencucian Batik
POTENSI PEMANFAATAN ABU VULKANIK GUNUNG KELUD
SEBAGAI KOAGULAN PADA LIMBAH PENCUCIAN BATIK
PROPOSAL
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian
Disusun oleh : Aceng Sulistiawan
13314272
Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Lingkungan
INSTITUT TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2015
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak dicanangkan hari batik nasional pada tanggal 2 oktober 2009,
Industri batik nasional semakin berkembang akibatnya semakin
banyak permintaan terhadap batik. Pengakuan batik Indonesia oleh dunia,
diikuti dengan adanya peningkatkan perekonomian Indonesia dalam
bidang industri batik termasuk Yogyakarta yang merupakan kota parawisata
dan pusat pengembangan batik. Pembangunan di bidang industri di satu
pihak akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan
hidup rakyat dan di lain pihak industri itu juga akan menghasilkan limbah.
Dalam proses produksinya, industri batik banyak meggunakan bahan-bahan
kimia dan air. Bahan kimia ini biasanya digunakan pada proses
pewarnaan atau pencelupan. Pada umumnya polutan yang terkandung dalam
limbah industri batik dapat berupa logam berat, padatan tersuspensi, atau
zat organik. Proses pembatikan secara garis besar terdiri dari pembatikan
tulis, pewarnaan/pencelupan, pelepasan lilin, dan penyempurnaan. Proses
pewarnaan dan pelepasan lilin menghasilkan limbah cair dengan
kandungan COD mencapai 939,7 mg/l (Purwaningsih, 2008) mempunyai
intensitas warna sebesar 50–2500 skala Pt–Co.
Produksi yang baik tidak hanya memperhatikan keamanan dan efek
samping dari limbah sisa prosesnya, melainkan dapat mereduksi air buangan
yang dihasilkan dari proses kegiatan industri. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengolahan limbah terlebih dahulu, kemudian dibandingkan
dengan standar baku mutu limbah cair yang kemudian dapat dibuang ke
badan sungai. Pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan cara
koagulasi flokulasi.
Secara umum proses koagulasi dan flokulasi merupakan
serangkaian proses yang meliputi distabilisasi muatan partikel karena
adanya penambahan koagulan. Penyebaran pusat-pusat aktif partikel yang
tidak stabil akan saling mengikat partikel-partikel pada air keruh
2
(pembentukan inti endapan) proses pembentukan flok (penggabungan inti
endapan) dan proses pengendapan flok pada bak pengendapan (Metcalf
and Eddy, 2003). Pada proses ini membutuhkan koagulan, bahan koagulan
yang umum digunakan pada pengolahan air adalah tawas (aluminium
sulfatt), feri sulfat, fero sulfat, dan PAC.
Erupsi gunung Kelud yang terjadi pada tanggal 13 februari
2014 membawa abu vulkanik hingga sampai ke Daerah Istimewa
Yogyakarta. Abu vulkanik yang baru keluar dari gunung berapi
berdampak negatif bagi lingkungan. Abu vulkanik yang membentuk awan
panas, baik karena temperaturnya maupun kandungannya, dapat berefek
mematikan dan bersifat toksik, baik bagi manusia, tumbuhan, dan hewan.
Komposisi kimia dari abu vulkanik yang bersifat asam dapat mencemari air
tanah, merusak tumbuh- tumbuhan, dan apabila bersenyawa dengan air
hujan dapat menyebabkan hujan asam yang bersifat korosif.
Gunung Kelud merupakan gunung berapi, abu vulkanik yang berasal
dari gunung berapi umumnya memiliki kandungan Si, O, Fe, Al, Ca, Mg,
Na, K dan material minor lainnya. Kandungan Al dan Fe di dalam abu
vulkanik dapat dimanfaatkan sebagai koagulan. Koagulan ini berupa
aluminium sulfat dan feri sulfat, oleh karena itu gunung Kelud sebagai
koagulan, mengetahui hubungan variasi jumlah mol H2SO4 dan waktu
pengadukan terhadap pembuatan koagulan, dan mengetahui jumlah mol
H2SO4 dan waktu pengadukan terbaik untuk menurunkan kadar COD,
Warna dan TSS pada limbah batik.
2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, didapatkan
beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini :
1. Apakah abu vulkanik erupsi gunung Kelud dapat dijadikan sebagai
koagulan.
3
2. Bagaimana hubungan jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan dalam
pembuatan koagulan.
3. Berapa jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan terbaik dalam
pembuatan koagulan untuk menurunkan COD, Warna, dan TSS pada
limbah batik.
2.3 Batasan Masalah
Batasan permasalahan pada penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini berskala laboratorium.
2. Parameter yang diuji di dalam abu vulkanik adalah Al dan Fe.
3. Parameter limbah batik yang diuji adalah COD, Warna dan TSS.
4. Variasi yang dilakukan adalah jumlah mol H2SO4 0,06 ; 0,08 ; 0,1 ;
0,12 ; 0,14 ; 0,16 dan 0,18 mol.
5. Variasi waktu pengadukan pada pembuatan koagulan yaitu 45 dan
60 menit.
2.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui potensi abu vulkanik erupsi gunung Kelud sebagai
koagulan.
2. Mengetahui hubungan variasi jumlah mol H2SO4 dan waktu
pengadukan terhadap pembuatan koagulan.
3. Mengetahui jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan terbaik untuk
menurunkan kadar COD, Warna dan TSS pada limbah batik.
2.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini, antara lain :
1. Memberikan informasi pembuatan koagulan cair dari abu vulkanik.
4
2. Memberikan masukan alternatif teknologi penanggulan limbah cair
pencucian batik dengan menggunakan abu vulkanik gunung kelud
sebagai koagulan cair.
3. Sebagai bahan kajian untuk dijadikan referensi bagi peniliti-peneliti
selanjutnya yang berhubungan dengan pemanfaatan abu vulkanik sebagai
koagulan cair.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Limbah
Air limbah adalah sisa air yang digunakan dalam industri atau rumah
tangga yang dapat mengandung zat tersuspensi dan zat terlarut. Air limbah adalah
air yang dikeluarkan oleh industri akibat proses produksi dan pada umumnya sulit
diolah karena biasanya mengandung beberapa zat seperti: pelarut organik, zat
padat terlarut, suspended solid, minyak dan logam berat (Metcalf & Eddy, 1991).
2.1.1 Karakteristik limbah cair
Karakteristik limbah cair dapat diketahui menurut sifat-sifat dan
karaktersitik fisika, kimia dan biologis. Dalam menentukan karakteristik
limbah cair, ada tiga (3) sifat yang harus diketahui, yaitu:
1. Karakteristik Fisika
Karakteristik fisika ini terdiri dari beberapa parameter, diantaranya: Total
Solid (TS), Total Suspended Solid (TSS), Warna, Kekeruhan, Temperatur,
Bau, Minyak dan Lemak
2. Karateristik Kimia
Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD),
Dissolved Oxygen (DO), Derajat keasaman (pH), Logam Berat
3. Karakteristik Biologi
Karakteristik biologi digunakan untuk mengukur kualitas air
terutama air yang dikonsumsi sebagai air minum dan air bersih. Parameter
yang biasa digunakan adalah banyaknya mikroorganisme yang terkandung
dalam air limbah.
2.2 Proses Pembatikan
2.2.1 Proses Secara Umum
Proses pembuatan batik dapat dibagi menjadi lima proses, yaitu:
1. Proses persiapan bahan baku
6
2. Proses pembatikan atau pelekatan lilin batik
3. Proses pewarnaan
4. Proses pelepasan lilin batik
5. Proses penyempurnaan atau finishing batik
Proses pembatikan lebih jelasnya dapat dilihat dari skema diagram alir
pembatikan di bawah ini:
Gambar 2. 1 : Digram alir proeses pembatikan dan sumber-sumber limbah
cair (Buku Panduan Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Industri
Batik, 1985)
Bahan baku Dalam proses pembatikan meliputi mori bahan lilin
batik, bahan kimia dan zat warna. Tidak semua pengrajin batik melakukan
proses pembatikan secara keseluruhan dari persiapan sampai menjadi kain
batik, tetapi hanya sebagian dari proses saja seperti pelekatan lilin batik
atau pembatikan, pewarnaan saja atau hanya proses pengerokan (pelepasan
sebagian lilin batik ).
7
1. Proses persiapan terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Persiapan bahan baku mori
Bahan baku mori yang digunakan dapat berupa mori yang sudah
diproses finishing atau masih grey.
b. Persiapan bahan baku lilin
Lilin batik yang terbuat dari bermacam-macam bahan yang tercampur
menjadi satu dengan perbandingan tertentu sesuai dengan sifat lilin
batik yang akan dikehendaki. Teknik pembuatannya dengan cara
pemanasan bahan-bahan tersebut hingga homogen, kemudian disaring.
2. Proses pembatikan (pelekatan lilin batik)
Proses pelekatan lilin dapat dilakukan dengan cara :
a. Pelektan lilin secara tulis dengan cara canting tulis
Prosesnya meliputi pembatikan klowong, pembatikan isen-isen, dan
pembatikan tembokan yang dikerjakan pada kedua permukaan.
b. Pelekatan lilin secara cap dengan cara canting cap
Pembatikan klowong dan isen, pembatikan tembokan kedua tahapan
tersebut dikerjakan pada dua permukaan bahan mori yang tebal dan
rapat dan hanya satu permukaan mori yang tipis. Pada proses
pelekatan lilin terjadi uap lilin dan asap dari alat pemanasnya.
3. Proses pewarnaan
Proses pewarnaan batik dilakukan secara dingin yang disebabkan adanya
lilin batik sebagai zat perintang warna. Secara garis besar proses
pewarnaan dikerjakan dengan dua cara, yaitu :
a. Pewarnaan secara coletan ada tiga, yaitu coletan zat warna rapid, zat
warna indigosol, dan zat warna reaktif.
8
b. Pewarnaan batik secara celupan ada tiga, yaitu celupan zat warna
naptol, zat warna indan therene, dan zat warna reaktif.
4. Proses pelepasan lilin batik
Teknik pelepasan lilin dikenal dengan dua cara, yaitu cara kerokan dan
cara lorodan.
a. Kerokan adalah proses pelepasan sebagian lilin dengan cara dikerik.
Proses penyikatan dilakukan sebelum direndam dalam larutan kaostik
soda agar hasil lebih sempurna
b. Lorodan adalah proses pelupasan lilin batik secara keseluruhan dengan
cara direbus dalam air mendidih. Bahan pembantu yang biasa
digunakan dalam pelepasan lilin adalah kanji atau soda dan abu atau
natrium silikat tergantung zat warna yang digunakan.
5. Proses penyempurnaan atau finishing batik
Proses finishing meliputi penganjian, selanjutnya penghalusan
dengan cara disetrika atau komplong.
2.2.2 Karakteristik Limbah Cair Industri Batik
Karakteristik limbah cair industri batik digolongkan dalam sifat fisika,
kimia, dan biologi (Anonim, 1992). Parameter fisika terdiri dari:
1. Zat Padat
Berdasarkan ukuran padatannya, dibedakan menjadi padatan terlaur,
koloid, dan tersuspensi.
2. Suhu
Merupakan parameter penting untuk kehidupan makhluk air, reaksi
kimia, kecepatan reaksi dan koagulan dari air tersebut pada suhu tinggi
menyebabkan kandungan oksigen berkurang sehingga memungkinkan
timbulnya tumbuhan air yang tidak diinginkan.
9
3. Warna
Warna limbah cair industri batik terutama ditimbulkan dari sisa- sisa zat
warna. Selain menganggu estetika, warna juga mempunyai sifat
racun dan biasanya sulit uintuk diuraikan.
4. Bau
Bau dari limbah cair merupakan tanda adanya pelepasan gas misalnya
senyawa hidrogen sulfida. Gas ini timbul dari hasil penguraian zat organik
yang mengandung belerang atau senyawa sulfit.
5. Parameter kimia
Dalam limbah cair industri batik meliputi BOD (Biological Oxygen
Demand), COD ( Chemical Oxygen Demand), pH, logam berat, surfektan,
dan lain-lain. Prameter Biologi dilihat dari mikrobiologi dalam limbah
cair.
Baku mutu limbah cair untuk industri textil dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Textil
No Parameter Kadar
Maksimum 1 BOD5 85 mg/lt
2 COD 250 mg/lt
3 Padatan tersuspensi 60 mg/lt
4 Phenol total 1,0 mg/lt
5 Crom total 250 mg/lt
6 Minyak dan lemak 85 mg/lt
7 pH 6-9
Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup NO.KEP-
51/MENLH/10/1995
10
2.3 Komposisi Air Limbah Industri Batik
2.3.1 COD (Chemical Oxygen Demand)
COD adalah jumlah oksigen (mg/O2) yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zat- zat organik yang ada dalam 1 liter air sample dimana
pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen. Angka COD
merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara
alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Wardhana,
2000).
Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan Oksigen Kimiawi
(KOK) merupakan parameter kualitas air yang menggambarkan banyaknya
bahan organik yang dapat dioksidasikan oleh kalium dikromat dalam
suasana asam dan dipanaskan pada suhu diatas 100OC selama 2 jam.
Oksidator kuat (K2Cr2O7) ==========> Tidak semua dapat
dioksidasi ==> Ditambah Ag2SO4(katalisator)==> Air yang
mengandung Cl- diikat dgn HgSO4
Penetapan COD gunanya untuk mengukur banyaknya oksigen setara
dengan bahan organik dalam sampel air, yang mudah dioksidasi oleh
senyawa kimia oksidator kuat. Penetapan ini sangat penting untuk dapat
diuraikan secara kimiawi. Maka dapat dikatakan COD adalah banyaknya
oksidator kuat yang diperlukan untuk mengoksidasi zat organik dalam air,
dihitung sebagai mg/l O2. Beberapa zat organik yang tidak terurai secara
biologik antara lain asam asetat, asam sitrat, selulosa dan lignin (zat kayu).
Dalam studi kualitas air parameter COD sangat penting sekali karena
parameter ini juga merupakan salah satu indikator pencemaran air. Air yang
tercemar, misalnya oleh limbah domestik ataupun limbah industri pada
umumnya mempunyai nilai COD yang tinggi, sebaliknya air yang tidak
tercemar mempunyai COD yang rendah.
11
2.3.2 TSS ( Total Suspended Solid )
Total Suspended Solid (TSS) yaitu zat padat tersuspensi atau suspended
solid sejumlah berat dalam milligram (mg) pengeringan dengan membrane
tersebut mengandung bahan tersuspensi yang dikeringkan pada suhu 105 0C
selama 2 jam. Zat padat tersuspensi dibagi menjadi dua bagian yaitu zat
padat terapung dan zat padat terendap, zat padat terendap dapat bersifat
anorganik dan organik. Pengendapan zat padat di dasar badan air, akan
mengganggu kehidupan di dalam air, juga akan mengalami dekomposisi
yang menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut disamping
menimbulkan bau busuk (Djayadiningrat, 1992). Kandungan zat padat
tersuspensi di dalam air limbah dapat dihitung dengan menggunakan rumus
di bawah ini :
( )
TSS (mg/l) =1000
2.3.3 Zat Warna
Zat warna adalah senyawa yang dapat dipergunakan dalam bentuk
larutan atau disperse kepda suatu bahan lain sehingga berwarna. Warna
dalam air dapat disebabkan oleh adanya ion – ion metal alam, yaitu besi (Fe)
dan Mangan (Mn), humus yang dihilingkan terutama untuk penggunaan air
industri dan air minum. Warna yang biasanya diukur adalah warna
sebenarnya atau warna nyata, yaitu warna setelah kekeruhan dihilangkan,
sedangkan warna nampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh
zat terlarut dalam air tapi juga tersuspensi.
Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan secara
visual warna dari sampel dengan larutan standart warna yang diketahui
konsentrasinya. Dalam metode ini sebagai standart warna digunakan larutan
12
Platina-Cobalt dengan satuan mg/l-PtCo. PtCo singkatan dari Pt (Platina)
dan Co (Cobalt).
Air limbah yang baru dibuang biasanya berwarna abu – abu apabila
senyawa – senyawa organik yang ada mulai pecaholeh bakteri. Oksigen
terlarut dalam limbah direduksi sampai menjadi nol dan warnanya berubah
menjadi hitam (gelap). Pada kondisi ini dikatakan bahwa air limbah sudah
busuk. Dalam menetapkan wana tersebut dapat pula diduga adanya
pewarna tertentu yang mengandung logam – logam berat.
Zat warna dapat digolongkan berdasarkan struktur molekul dan cara
pewarnaannya pada bahan, misalnya dalam pencelupan dan pencapan bahan
batik, tekstil kulit dan kertas. Zat warna dibagi menjadi dua golongan, yaitu
:
1. Zat warna alam (Zat Alizarin)
Zat warna yang berasal dari tumbuhan yaitu: Alizarin, Indantren
Biru dan Indigo (Nila)
a. Zat Warna yang berasal dari binatang
Zat warna yang bersal dari binatang misalnya: kerang (Tryan
Purple), insekta merah (Lec).
b. Zat warna yang berasal dari mineral misalnya : Fe, Cr, Mn (Iron
Buff untuk warna kaki) Lama – kelamaan cat alam akan terdesak
oleh cat – cat sintetik. Adapun sebabnya karena :
Cat alam jarang yang murni
Kadarnya tidak tetap
Adanya warna terbatas (merah, kuning, sawo matang)
Pemakainnya terbatas.
Sedangkan cat – cat sintetis : komposisinya selalu tetap, keadaannya
murni, tiap warna tersedia dan cara mencelupnya lebih mudah
2. Zat Warna sintetik
13
Sebagai bahan dasar dipakai senyawa hidrokarbon aromatic, misalnya
benzene dan naftalena yang berasal dari batu bara dengan cara
penyulingan kering tanpa pengaruh udara (Soeparman, 1967).
Zat warna yang umum digunakan oleh industri batik adalah zat warna
naftol dan indigisol :
a. Zat warna naftol (zat azo)
Merupakan zat warna azo yang baru dan hampir semua warna ada
da mempunyai awah warna yang bervariasi, misalnya : hitam,
coklat, kuning, biru dan lain – lain. Senyawa naftol mempunyai
daya serap terhadap serat sellulosa sehingga pengeringan setelah
pencelupan tidak diperlukan lagi.Bahan pembangkit “fase base”
dan dalam bentuk garam yang disebut “fast salt”. Fasl salt ini
dapat larut dalam air dan dapt langsung dipakai untuk
pembangkitwarna, sedangkan fase base terlebih dahulu harus
dilarutkan secara “diazotasi” yaitu diberi asam chloride dan
natrium nitrit.
b. Zat warna indigosol
Zat warna indigisol disebut juga cat bejana larut (soluble- vac-
deyes), yaitu leuco-ester natrium dari cat bejana (natrium
disultonester leusa indigo). Jika cat tersebut dioksidasikan,
maka akan berubah menjadi bentuk yang tidak larut dan
berwarna (bentuk keton) (soeparman, 1967). Oksidasi untuk
menimbulkan warna dipakai nitrit dan asam. Cat indigisol berasal
dari : indigo dan halogen indigo, algae, helinolon, indonthreen.
2.4 Dampak Air Buangan Industri Batik Terhadap Badan
Air/Lingkungan
14
Pencemaran yang ditimbulkan dari proses pembuatan batik secara umum
dibedakan menjadi 3 macam yaitu : gas, padat, cair. Tabel di bawah ini
menunjukkan proses pembatikan yang menghasilkan limbah.
Tabel 2.2. Limbah dari proses pembatikan
Jenis proses
Pembatikan
Limbah dalam bentuk Gas
Limbah Dalam Bentuk Cair
Limbah dalam bentuk padat
Proses persiapan Uap lilin batik,
asap pemanas
Sisa –sisa kanji,
asam, soda
abu/kostik,
minyak nabati,
zat- zat
penggelentang
Kotoran lilin, soda lilin
yang apabila terkena
panas akan meleleh dan
mempunyai sifat minyak
Proses
pembatikan
Uap lilin, asap
pemanas
Tidak ada Tidak ada
Proses pewarnaan Uap asam Sisa – sisa zat
warna sisa obat
pembantu (alkali,
asam oksidator,
reduktor dan lain
Tidak ada
Proses pelepasan
lilin
Tidak ada Obat – obat
pembantu yang
bersifat alkalis
(soda abu, soda
kostik, natrium
nitit, kanji)
Tidak ada
Proses finishing Tidak ada Kanji Tidak ada
Jenis proses
Pembatikan
Limbah dalam
bentuk Gas
Limbah Dalam
Bentuk Cair
Limbah dalam bentuk
padat Sumber : Balai penelitian dan pengembangan industry, (1983)
2.5 Koagulasi
2.5.1 Pengertian Koagulasi
Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel koloid dan suspended
solid yang didalamnya berupa bakteri dan virus yang dihasilkan melalui
15
kompresi lapisan ganda yang bermuatan listrik dan mengelilingi permukaan
partikel. Koagulasi sangat efektif untuk mengubah warna, mikro molekul
organik dan partikel di air.
Flokulasi adalah proses pengadukan lambat yang mengikuti proses
koagulasi. Flokulasi bertujuan untuk mempercepat laju penggabungan
antar partikel sehingga suatu partikel yang lebih besar dan memudahkan
proses pengendapan.
Secara umum proses kougulasi dan flokulasi merupakan serangkaian
proses yang meliputi distabilisasi muatan partikel karena adanya penambahan
koagulan. Penyebaran pusat-pusat aktif partikel yang tidak stabil akan
saling mengikat partikel-partikel pada air keruh (pembentukan inti endapan)
proses pembentukan flok (penggabungan inti endapan) dan proses
pengendapan flok pada bak pengendapan (Metcalf and Eddy, 2003).
2.5.2 Proses Terjadinya Koagulasi
Koagulasi berhubungan dengan agregasi koloid tidak stabil secara
termodinamik. Pada umumnya koloid bermutan listrik, ada yang positif dan
ada yang negatif tergantung dari asalnya, bila berasal dari anorganik maka
muatan listriknya positif sedangkan yang berasal dari bahan organik maka
muatan listriknya negatif. Terdapat tiga tahapan penting yang diperlukan
dalam proses koagulasi yaitu:
1. Tahap pembuatan inti endapan
Pada tahap ini deiperlukan zat koagulan yang berfungsi untuk
penggabungan antara koagulan dengan polutan yang ada di dalam air.
Agar penggabungan dapat berlangsung diperlukan pengadukan dan
pengaturah pH. Pengadukan dilakukan pada kecepatan 60 sampai 100
rpm selama 1-5 menit. Pengaturan pH tergantung dari jenis koagulan yang
digunakan (Sugiharto, 2005).
16
2. Tahap flokulasi
Tahap ini berfungsi untuk membentuk partikel padat yang lebih
besar supaya partikel dapat diendapkan, dari hasil reaksi partikel kecil
dengan bahan atau zat koagulan yang kita bubuhkan. Faktor yang
mempengaruhi bentuk partikel yang lebih besar adalah kekeruhan
pada air baku, tipe dari suspended solid, pH, bahan koagulan yang dipakai
dan lamanya pengadukan.
Agar partikel-partikel koloid dapat menggumpal, gaya tolak
menolak elektrostatik antara partikelnya harus dikurangi dam transportasi
partikel harus menghasilkan kontak diantara partikel yang mengalami
destabilasasi. Setelah partikel-partikel koloid mengalami destabilisasi
partikel-partikel tersebut dikontakan satu dengan yang lainnya sehingga
dapat menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar yang
disebut flok.
Proses kontak ini disebut flokulasi dan biasanya dilakukan dengan
pengadukan lambat (slow mix) secara hati-hati. Flokulasi merupakan
faktor yang paling penting yang mempengaruhi efesiensi penghilangan
partikel. Tujuan flokulasi adalah untuk membawa partikel-partikel ke
dalam kontak sehingga mereka bertubrukan, tetap bersatu, dan tumbuh
menjadi satu ukuran yang siap mengendap. Pengadukan yang cukup harus
diberikan untuk membawa flok ke dalam kontak. Terlalu banyak
pengadukan dapat membubarkan flok sehingga ukurannya menjadi kecil
dan terdispersi halus (Davis dan Cornwell, 1991).
Kecepatan penggumpalan dari agregat pada proses flokulasi
ditentukan oleh banyaknya tubrukan antar partikel yang terjadi serta
keefektifan benturan tersebut. Dalam hal ini, tubrukan antar partikel
terjadi melalui tiga cara, yakni :
17
a. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak termal (panas), yang
dikenal sebagai gerak Brown. Flokulasi yang terjadi oleh adanya
gerak Brown ini disebut flokulasi perikinetik.
b. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerakan media (air),
misalnya karena pengadukan. Flokulasi yang terjadi akibat
gerakan fluida ini disebut flokulasi ortokinetik.
c. Kontak yang terjadi akibat perbedaan laju pengendapan dari
masing-masing partikel. (Davis dan Cornwell, 1991).
3. Tahap pemisahan flok dengan cairan
Flok yang terbentuk dipisahkan dengan cairannya yaitu dengan cara
pengendapan atau pengapungan. Bila flok yang terbentuk dipisahkan
dengan cara pengendapan maka dapat digunakan alat Clarifier sedangkan
bila flok yang terjadi diapungkan dengan menggunakan gelembung udara
sehingga flok dapat diambil dengan menggunakan Skimmer.
2.5.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Koagulasi Flokulasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi adalah :
a. Derajat Keasaman (pH)
Menurut beberapa ahli pada pH tertentu setiap air limbah yang tertentu
memungkinkan terjadinya proses koagulasi dengan baik. Pada pH rendah
(asam), proses koagulasi tidak dapat berlangsung. Alkalinitas juaga
mempengaruhi koagulasi dalam proses pembentukan flok. Alkalinitas air
seperti HCO3 dapat membantu proses pembentukan flok dengan peranannya
memproduksi ion OH- dalam reaksi hidrolisa koagulan. Alkalinitas dapat
dibuat dengan cara menambahkan senyawa Ca(OH)2, NaHCO3 dan CaO yang
sekaligus dapat dipergunakan sebagai pengatur pH sebelum proses koagulasi
dilakukan.
18
b. Kondisi Pengadukan
Dalam proses koagulasi flokulasi harus memperhatikan sistem
pengadukan. Dalam pelaksanaannya, proses koagulasi flokulasi memerlukan
dua macam pengadukan, yaitu pengadukan cepat dan pengadukan lambat.
Pengadukan cepat dilakukan saat bahan koagulan ditambahkan, pengadukan
harus benar-benar merata sehingga semua koagulan yang ditambahkan
akan bereaksi dengan partikel-partikel atau ion-ion dalam suspensi.
Pengadukan lambat dilakukan untuk membantu proses pembutan flok
(flokulasi). Kecepatan pengadukan sangat mempengaruhi pertumbuhan flok.
Bila kecepatan pengadukan terlalu lambat maka pertumbuhan flok juga
lambat dan ukuran flok yang terbentuk kecil. Kecepatan pengadukan yang
terlalu besar dapat menyebabkan flok yang terbentuk akan pecah kembali.
c. Jenis Koagulan
Jenis koagulan yang ditambahkan akan mempengaruhi mekanisme
destabilisasi partiekel koloid, hal ini disebabkan setiap koagulan
mempunyai karakteristik yang berbeda. Bahan-bahan yang biasa digunakan
sebagai koagulan dalam pengolahan air limbah antara lain : Tawas, Feri sulfat,
Fero sulfat, Feri klorida dan PAC.
d. Suhu
Suhu air yang rendah mempunyai pengaruh terhadap efesiensi proses
koagulasi. Bila suhu air diturunkan maka bessarnya daerah pH yang optimum
pada proses koagulasi akan berubah dan merubah pembubuhan dosis
koagulan.
e. Tingkat kekeruhan air limbah
Sifat dan karakteristik air limbah mempengaruhi proses koagulasi flokulasi.
Pada kekeruhan yang tinggi proses destabilisasi terjadi dengan cepat, namun
jika pada kondisi ini dosis koagulan yang dipakai rendah, maka pembentukan
flok akan kurang efektif.
f. Komposisi kimia air buangan
19
Air yang mengandung partikel organik biasanya menimbulkan kesukaran
dalam proses koagulasi karena banyak reaksi kimia yang terjadi antara
koagulan dengan partikel organik sehingga akan meningkatkan dosis
koagulan.
2.6 Koagulan
Koagulan adalah bahan kimia yang dibutuhkan air untuk membantu proses
pengendapan partikel-partikel kecil yang tak dapat mengendap dengan sendirinya.
Koagulan yang biasa digunakan dalam industry pengolahan air adalah
koagulan kimia seperti tawas, polyaluminium klorida, ferri klorida, ferri sulfat
dan polymer kation (Sugiharto, 2005).
Koagulan atau Flokulan pembantu biasa dibubuhkan ke dalam air yang
dikoagulasi yang bertujuan untuk memperbaiki pembentukan flok dan untuk
mencapai sifat spesifik flok yang diinginkan. Koagulan adalah zat kimia yang
menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspensi. Zat ini
merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan
negatif partikel. Dalam pengolahan air sering dipakai garam Aluminium, Al (III)
atau garam besi (II) dan besi (III) Koagulan yang umum digunakan pada
pengolahan air adalah seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.3. Koagulan yang Umum Digunakan Pada Pengolahan Air
Nama
Formula
Bentuk
Reaksi Dengan
Air
pH
Optimum
Aluminium sulfat,
Alum sulfat, Alum,
Salum
Al2(SO4)3.xH2O
x = 14,16,18
Bongkah,
Bubuk
Asam
6,0 – 7,8
20
Sodium
aluminat
NaAlO2 atau
Na2Al2O4
Bubuk Basa 6,0 – 7,8
Polyaluminium
Chloride, PAC
Aln(OH)mCl3n-m Cairan, bubuk Asam 6,0 – 7,8
Ferri sulfat Fe2(SO4)3.9H2O Kristal halus Asam 4 – 9
Ferri klorida FeCl3.6H2O Bongkah,
cairan
Asam 4 – 9
Ferro sulfat FeSO4.7H2O Kristal halus Asam > 8,5
Sumber : Mulyadi, 2007 Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3)
2.6.1 Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3)
Alumunium sulfat atau tawas merupakan bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan koagulan untuk proses koagulasi yang biasa
digunakan untuk pengolahan air buangan. Alumunium sulfat atau tawas
berfungsi sebagai pemecah sekaligus penggumpal bahan-bahan organik
dalam air, baik yang non biodegrdable (tidak dapat diuraikan secara biologi),
maupun yang biodegradable (dapat diuraikan secara biologi). Dalam keadaan
alkalis yang cukup, tawas akan bereaksi dan menghasilkan flok hidroksid.
Pembutan larutan tawas melalui reaksi berikut : Al2O3 + 3 H2SO4→
Al2(SO4)3 . 3H2O
Reaksi penguraian :
Al2(SO4)3 . 3 H2O → 2Al3+
+ 3SO4+ 3 OH + 3 H
Reaksi hidrolisa :
Al2(SO4)3 + 6 H2O → 2 Al(OH)3 + 6H+
+ 3 SO42-
Ion Al3+
berperan sebagai elektrolisis positif pada proses destabilisasi
partikel koloid. Senyawa Al(OH)3 dalam bentuk presipitat berfungsi sebagai
inti flok.
21
2.6.2 Feri Sulfat (Fe2(SO4)3)
Koagulan feri sulfat (Fe2(SO4)3) mempunyai kemampuan mengurangi
warna pada pH rendah dan tinggi serta dapat menghilangkan Fe dan Mn.
Besi bila dilarutkan dalam asam sulfat akan membentuk fero sulfat
sesuai dengan reaksi berikut:
Fe2+
+ H2SO4 → FeSO4 + 2H+
Fero sulfat (FeSO4) dalam asam sulfat dapat dioksidasi menjadi feri sulfat
(Fe2(SO4)3 ) yang lebih stabil.
4 Fe2+ + O2 + 4 H3O+ → 4 Fe 3+ + 6 H2O
2Fe 3+
+ 3 H2SO4→ Fe2(SO4)3 . 6 H+.
(Kondisi lebih stabil)
Reaksi penguraian : Fe2(SO4)3 → 2Fe3+
+ 3SO42-
Di samping lebih stabil, feri sulfat dapat digunakan sebagai bahan
koagulan pada penjernihan air, bahan aditif pada semen portland dan
bahan pelapis kaset. Pada penjernihan air, kemampuan feri sulfat untuk
membentuk flok adalah 11 kali lebih cepat dibanding bahan koagulan
yang lain.
Reaksi hidrolisa :
Fe2(SO4)3 + 6 H2O → 2Fe(OH)3 + 2H+
+ SO42-
2.7 Jar Test
Jar test adalah suatu percobaan yang berfungsi untuk menentukan dosis
optimum dari koagulan yang digunakan dalam proses pengolahan air bersih.
Apabila percobaan dilakuakan secara tepat, informasi yang berguna akan diperoleh
untuk membantu operator instalasi dalam mengoptimalkan proses-proses
koagulasi-flokulasi dan penjernihan.
Jar test memberikan data mengenai kondisi optimum untuk parameter-
parameter proses seperti :
22
a. Dosis koagulan dan koagulan pembantu.
b. pH.
d. Metode pembubuhan bahan kimia (pada atau dibawah permukaan air,
pembubuhan beberapa bahan kimia secara bersamaan atau berurutan, lokasi
pembubuhan relatif terhadap peralatan pengadukan).
e. Kecepatan larutan kimia.
g. Waktu dan intensitas pengadukan cepat dan pengadukan lambat (flokulasi).
f. Waktu penjernihan
Untuk Jar test penetapan standarisasi dan prosedur tetap merupakan syarat
untuk mendapatkan hasil-hasil yang benar. Terpisah dari parameter-parameter
proses yang disebutkan di atas, variable-variable berikut juga harus dimonitor
dan dikontrol, yaitu seperti : temperatur air di dalam gelas beaker Jar test.
2.6 Gunung Berapi
Gunung Api merupakan tonjolan di permukaan bumi yang terbentuk karena
keluarnya magma dari dapur magma dari dalam perut bumi melalui lubang
kepundan. Proses keluarnya magma ke permukaan bumi pada umumnya disertai
oleh letupan/letusan. Peristiwa keluarnya magma dari dalam gunung api yang
disertai bahan-bahan padat, cair dan gas disebut erupsi.
Menurut Altius arlen (2014) magma disusun oleh material yang berupa gas
(volatil), seperti H2O, CO2, dan material bukan gas yang umumnya terdiri dari Si,
O, Fe, Al, Ca, Mg, Na, K dan minor elamen seperti V, Sr, Rb, dan lain-lain.
Dalam gunung api, magma tersimpan dalam rongga di dalam bumi yang disebut
dapur magma. Karena magma relatif lebih ringan dari batuan disekitarnya, maka
magma akan bergerak naik ke atas. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi
disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 500-1.200 °C. Letusan
gunung berapi yang membawa batu dan abu dapat menyembur sampai sejauh
23
radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri sampai sejauh radius
90 km.
Adanya gerakan magma yang menuju permukaan bumi, yang disertai
oleh tekanan dari magma itu sendiri atau tekanan di sekitar dapur magma,
mengakibatkan terjadinya erupsi gunung api. Erupsi ini kemudian menyebabkan
keluarnya material-material tertentu dari perut bumi. Berikut ini merupakan
material hasil erupsi, yaitu :
1. Bahan Padat (eflata) :
a. Bom (eflata yag berukuran raksasa )
b. Lapili (eflata berukuran besar, dari seukuran kerikil hingga sebesar
bongkahan batu )
c. Pasir (eflata berukuran kecil )
d. Abu vulkanik ( eflata berbentuk pasir halus )
2. Bahan Cair / effusive / effusive :
a. Lava ( magma yang keluar dari gunung, dapat berupa cair encer, cair kental,
dan lava kental )
b. Lahar ( aliran lumpur yang bercampur lava dan air )
3. Bahan Gas / Ekshalasi
a. Uap air (H2O)
b. Gas belerang (H2S)
c. Karbon dioksida (CO2)
d. Nitrogen
2.6.1 Abu vulkanik
Abu vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan
piroklastik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang
disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan, terdiri dari batuan
berukuran besar sampai berukuran halus. Batuan yang berukuran
24
besar (bongkah - kerikil) biasanya jatuh disekitar kawah sampai
radius 5 – 7 km dari kawah, dan yang berukuran halus dapat jatuh
pada jarak mencapai ratusan km bahkan ribuan km dari kawah
karena dapat terpengaruh oleh adanya hembusan angin.
2.7 Landasan Teori
Permasalahan yang sering terjadi pada industri batik, yaitu disebabkan
pada proses pembatikan. Penggunaan bahan-bahan kimia ini, biasanya digunakan
dalam proses pewarnaan atau pencelupan. Pada umumnya polutan yang
terkandung dalam limbah industri batik selain warna dapat berupa logam berat,
padatan tersuspensi, atau zat organik.
Pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan cara koagulasi flokulasi.
Koagulan tawas (alumunium sulfat) dan ferri sulfat merupakan hasil reaksi logam
Al dan Fe dengan asam sulfat. Sementara Abu vulkanik yang berasal dari gunung
berapi umumnya memiliki kandungan Si, O, Fe, Al, Ca, Mg, Na, K dan material
minor lainnya (Altius arlen, 2014). Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan koagulan.
Menurut (Tresty diyannisa dan Sukandar, 2014) pada penelitian “POTENSI
PEMANFAATAN LIMBAH ABU ALUMINUM SEBAGAI BAHAN
KOAGULAN”, Al dan Fe di dalam abu dapat bereaksi dengan asam sulfat, reaksi
yang terbentuk sebagi berikut:
2 Al3+
+ 3 H2SO4 → Al2(SO4)3 + 3 H2 …………….(1)
2 Fe3+
+ 3 H2SO4 → Fe2(SO4)3 + 3 H2 …………….(2)
2 Al3+
+ 2 Fe3+
+ 6 H2SO4 → Al2(SO4)3 + Fe2(SO4)3 + 6 H2
variasi jumlah mol H2SO4 dan waktu pengadukan mempengaruhi
banyaknya koagulan Al dan Fe yang terbentuk. Semakin tinggi jumlah mol asam
sulfat maka akan lebih kuat untuk bereaksi dengan Al dan Fe menghasilkan
25
Al2(SO4)3 dan Fe2(SO4)3. Waktu reaksi sangat berpengaruh terhadap keoptimuman
terjadinya reaksi antara asam sulfat dengan aluminium dan Fe. Semakin lama
waktu reaksi akan mengakibatkan kontak antara Al dan Fe dengan asam sulfat
semakin lama, sehingga banyak logam Al dan Fe yang akan terlarut. Koagulan
dengan dosis yang terpilih, diharapkan dapat mengurangi permasalahan limbah cair
industri batik khususnya parameter COD , Warna dan TSS.
2.8 Kerangka Berfikir
Perekonomian Indonesia yang semakin maju diikuti oleh pembangunan
industri diberbagai sektor. Salah satunya adalah industri batik. Seiring dengan
banyaknya permintaan batik dari dalam negeri maupun dari luar negri, membuat
industri batik semakin berkembang. Pembangunan di bidang industri disatu pihak
akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat dan
dilain pihak industri itu juga akan menghasilkan limbah. Limbah yang dihasilkan
oleh kegiatan industri batik diantaranya dihasilkan pada proses pewarnaan atau
pencelupan yang banyak menggunakan bahan-bahan kimia dan air.
Karakteristik limbah cair industri batik digolongkan dalam sifat fisika,
kimia, dan biologi (Anonim, 1992).
Parameter fisika terdiri dari : Zat padat, Suhu, Warna dan Bau.
Parameter kimia
Dalam limbah cair industri batik meliputi BOD (Biological Oxygen
Demand), COD ( Chemical Oxygen Demand), pH, logam berat, surfektan, dan
lain-lain.
Prameter Biologidilihat dari mikrobiologi dalam limbah cair.
Air buangan yang dihasilkan dari kegiatan industri, harus dilakukan
pengolahan terlebih dahulu sehingga memenuhi standar baku mutu limbah cair
yang kemudian dapat dibuang ke badan sungai. Pengolahan limbah cair dapat
dilakukan dengan cara koagulasi flokulasi.
26
Secara umum proses kougulasi dan flokulasi merupakan serangkaian proses
yang meliputi destabilisasi muatan partikel karena adanya penambahan koagulan.
Penyebaran pusat-pusat aktif partikel yang tidak stabil akan saling mengikat
partikel-partikel pada air keruh (pembentukan inti endapan) proses pembentukan
flok (penggabungan inti endapan) dan proses pengendapan flok pada bak
pengendapan (Metcalf & Eddy, 2003). Pada proses ini membutuhkan koagulan,
bahan koagulan yang umum digunakan pada pengolahan air adalah tawas
(aluminium sulfatt), feri sulfat, fero sulfat, dan PAC.
Erupsi gunung Kelud pada tanggal 13 februari 2014 terjadi lebih eksplosif
dan dasyat dari catatan letusan sebelumnya, yang menyebabkan material-material
yang terdapat dalam perut bumi keluar keangkasa hingga radius 17 km. Hal ini
menyebabkan material hasil erupsi diantaranya bahan-bahan padat, cair dan gas
tersebar ke daerah Jawa Tengah termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahan
padat yang disemburkan salah satunya dalam bentuk Abu vulkanik. Abu vulkanik
yang berasal dari gunung berapi umumnya memiliki kandungan Si, O, Fe, Al, Ca,
Mg, Na, K dan material minor lainnya.
Abu vulkanik yang menghujani yogyakarta mencapai ketinggan 2-3 cm
diatas tanah. Peristiwa ini mengakibatkan kota yogyakarta terganggu aktivitasnya
pasca erupsi gunung kelud. Melimpahnya abu vulkanik pasca erupsi menyebabkan
penumpukan abu vulkanik dibeberapa tempat dan pengumpulan yang tidak
diolah secara maksimal. Sementara, di dalam abu vulkanik terdapat Al dan Fe yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan koagulan cair, yaitu dengan
cara mereaksikannya dengan asam sulfat (H2SO4) menghasilkan Al2(SO4)3 dan
Fe2(SO4)3. Koagulan tawas dan ferisulfat bayak digunakan dalam pengolahan
limbah cair sehingga diharapkan koagulan tersebut dapat membantu dalam
permasalahan limbah cair industri batik khususnya parameter COD. Warna dan
TSS.
27
2.9 Hipotesis
1. Abu vulkanik gunung kelud memiliki potensi untuk dijadikan koagulan.
2. Semakin tinggi konsentrasi H2SO4 dan semakin lama waktu pengadukan,
semakin banyak Al2(SO4)3 dan Fe2(SO4)3 yang terbentuk.
3. Jumlah mol asam sulfat terbaik adalah 0,18 mol dan waktu
pengadukan terbaik adalah 60 menit.
28
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Analisis dilakukan di laboratorium Kampus 2 STTL Yogyakarta dan
Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang diguanakan adalah eksperimen yang digunakan untuk
mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yan lain dalam kondisi yang
terkendalikan. Dalam hal ini perlakuan yang dilakukan adalah pengaturan pH
asam-basa.
3.3 Obyek Penelitian
Bahan yang akan diteliti adalah abu vulkanik gunung kelud sebagai bahan baku
pembuatan koagulan cair dan limbah pencucian Industri Batik Plentong.
3.4 Waktu Penelitian
Penelitian direncanakan akan dilakukan pada bulan April-Juli 2014, mulai dari
persiapan dan konsultasi proposal, seminar dan revisi proposal, persiapan alat dan
bahan penelitian, pemeriksaaan laboratorium, analisis data dan penyusunan laporan
akhir
3.5 Metode Pengumpulan Data
3.5.1 Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan di laboratorium
Kampus 2 STTL Yogyakarta dan Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta
29
3.5.2 Data Sekunder
Komposisi kimia abu vulkanik gunung Kelud diperoleh dari data
sekunder yang dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur (BKB), 2014
dengan pengukuran XRF (X-Ray Flourescence) menunjukan bahwa
kandungan Al 9% dan Fe 5,7 %.
3.6 Variabel
3.6.1 Variabel Bebas
Pada penelitian digunakan dua variabel bebas yang pertama adalah variasi
jumlah mol H2SO4 yaitu 0,06 ; 0,08 ; 0,1 ; 0,12 ; 0,14 ;
0,16 dan 0,18 mol dan variabel kedua adalah variasi waktu
pengadukan yaitu 45 menit dan 60 menit
3.6.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
kandungan Al dan Fe dalam larutan koagulan
kadar COD , warna dan TSS pada limbah batik.
3.7 Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Jartest i. Corong gelas
b.
Fe Kit
j.
Erlenmeyer
c.
Neraca analitik
k.
Kaca arloji
30
d.
Gelas ukur
l.
Bulb
e.
Beaker glass
m.
Kertas saring
f.
Tabung reaksi
whatman
g.
Spatula
n.
Jerigen plastik
h.
Pipet mohr
volume 5 liter
3.7.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Limbah cair industri batik plentong
b. Abu vulkanik gunung kelud.
c. H2SO4 pekat (18M)
d. Aqua regia (air suling)
Gambar 3.1 Alat Jar test
Sumber : Jenny Poland and Todd Pagano, 2014
3.8 Tahapan Pelaksanaan Penelitian
3.8.1 Tahap persiapan sampel
1. Sampel Abu vulkanik gunung kelud diperoleh dari jalan-jalan raya
dan di atas genteng rumah di Yogyakarta pasca erupsi gunung kelud.
31
2. Sampel limbah pencucian batik diambil dari Industri Batik
Plentong Jl.Tirtodipuran No 48 Yogyakarta.
3.8.2 Cara Kerja
3.8.2.1 Uji Pendahuluan
1. Ditimbang sampel abu vulkanik sebanyak 10 gram dan 20
gram
2. Dimasukkan sampel abu vulkanik ke dalam larutan asam
sulfat konsentrasi 0,24 M sebanyak 500 ml
3. Diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 30 menit
4. Disaring dengan kertas saring Whatman, diambil filtratnya
sebanyak 10 ml dan dikontakkan dengan air sungai.
5. Uji jartest dengan kecepatan 100 rpm selama 3 menit dan 20
rpm selama 25 menit.
6. Uji visual kekeruhan.
Gambar 2.2 Hasil uji jartest a. sampel abu 10 gram b. Sampel abu
20 gram
Hasil uji pendahuluan menunjukan bahwa gambar b yaitu sampel
abu 20 gram memberikan hasil visual lebih jernih dibandingkan
32
dengan gambar a yaitu sampel abu 10 gram. Sehingga dalam
pembuatan koagulan, menggunakan sampel abu sebanyak 20 gram.
3.8.2.2 Pembuatan Koagulan
A. Variasi jumlah mol H2SO4
1. Disiapkan reaktan asam sulfat dengan jumlah mol 0,06 ;
0,08; 0,1 ; 0,12 ; 0,14 ; 0,16 dan 0,18 mol dari asam sulfat
18 M.
2. Ditimbang sampel abu vulkanik sebanyak 20 gram.
3. Dimasukan abu vulkanik yang telah ditimbang ke dalam
asam sulfat 500 mL.
4. Diaduk selama 30 menit dengan kecepatan 100 rpm
5. Saring dengan kertas saring whatman dan diambil filtrat
nya (koagulan cair).
6. Diuji kandungan Al dan Fe nya.
Jumlah mol H2SO4 yang memberikan hasil Al dan Fe
tertinggi digunakan untuk variasi pengadukan dalam
pembuatan koagulan.
B. Variasi waktu pengadukan
1. Ditimbang sampel abu vulkanik sebanyak 20 gram.
2. Dimasukkan sampel abu vulkanik ke dalam 500 mL asam
sulfat dengan jumlah mol H2SO4 terpilih pada percobaan
sebelumnya.
3. Diaduk selama 45 menit dan 60 menit dengan kecepatan
100 rpm
4. Disaring dengan kertas saring Whatman dan diambil
filtratnya (koagulan cair).
33
5. Diuji kandungan Al dan Fe nya.
Waktu pengadukan yang memberikan hasil Al dan Fe
tertinggi digunakan untuk pembuatan koagulan.
3.8.2.3 Penurunan COD, TSS dan Warna Pada Limbah Batik dengan
Koagulan Terpilih
A. Tanpa perlakuan asam-basa
1. Disiapkan beaker glass 1000ml
2. Dimasukkan 500 ml sampel limbah batik ke dalam masing-
masing beaker glass.
3. Dicek pH awal limbah batik
4. Ditambahkan koagulan terpilih sebanyak 10 ml.
5. Uji jartest dengan pengadukan cepat 100rpm selama 3menit
dan 20 rpm selama 25 menit
6. Didiamkan selama 5-10 menit
7. Dilakukan pengukuran kadar COD, TSS dan Warna.
B. Perlakuan asam-basa
1. Disiapkan beaker glass 1000ml
2. Dimasukkan 500 ml sampel limbah batik ke dalam masing-
masing beaker glass.
3. Dicek pH awal limbah batik
4. Ditambahkan H2SO4 1M hingga pH limbah menjadi asam
yaitu sekitar pH 3-4
5. Ditambahkan CaO 10% untuk membasakan kembali pH
limbah hingga pH 10
6. Dimasukkan koagulan terpilih sebanyak 10 ml.
7. Uji jartest dengan pengadukan cepat 100rpm selama 3menit
dan 20 rpm selama 25 menit
8. Didiamkan selama 5-10 menit
34
9. Dilakukan pengukuran kadar COD, TSS dan Warna.
3.9 Diagram Alir Penelitian
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian
35
3.10 Analisis Data
Analisis data dilakukan terhadap sampel abu vulkanik dengan variasi konsentrasi
dan waktu pengadukan dalam pembuatan koagulan cair. Semua data hasil
penelitian dikelompokkan dalam suatu table data, kemudian dianalisis secara
deskripsi kuantitatif untuk melihat perbedaan variasi konsentrasi dan waktu
pengadukan terhadap hasil pengukuran kadar Al dan Fe.
Hasil analisis tersebut digunakan untuk mengetahui potensi abu vulkanik sebagai
koagulan untuk menurunkan konsentrasi COD , warna. dan kekeruhan pada
limbah industri batik, kemudian dibandingkan dengan standar baku mutu yang
telah ditetapkan untuk parameter tersebut agar dapat dibuang ke badan air. Hasil
penelitian dapat dilihat pada table 3.1 ,3.2 dan 3.3.
Tabel 3.1. Hasil Analisa Kandungan Al Dan Fe Dengan Berbagai Variasi
Penambahan H2SO4
Jumlah
H2SO4 (mol)
Al (mg/l)
Fe (mg/l)
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
0,18
36
Tabel 3.2. Hasil Analisa Kandungan Al dan Fe dengan berbagai variasi
waktu pengadukan.
Waktu
Pengadukan
(menit)
Al (mg/l)
Fe (mg/l)
45
60
Tabel 3.3. Hasil Analisa COD, TSS dan Warna Menggunakan
KoagulanTerpilih.
No
Sampel
Hasil Pengukuran
Suhu
(0C)
pH
COD
(mg/L)
TSS
(mg/L)
Warna
(Unit Pt-Co)