POTENSI DAN PROSPEK AGRIBISNIS ULAT SUTERA DI...

22
AGRIBISNIS ULAT SUTERA DI DESA BEJEN KECAMATAN BEJEN KABUPATEN TEMANGGUNG Oleh : Pramono Hadi,. SP. M.Si *) dan Ir. Dedy Rustiono., M.Si *) dosen tetap UNIBA Sulistyo Winarno,. SP. M.Si **) Dosen tidak tetap UNIBA ***) Suwardi, SP. Peneliti LP3M UNIBA ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui agribisnis ulat sutra di Temanggung Jawa Tengah dan mengetahui usahatani dan penyedian bibit. Penelitian ini telah dilaksanakan bulan Desember 2009 sampai Januari 2011. di Desa Bejen Kecamatan Bejen Kabupaten Temanggung dengan ketinggian tempat 575-600 meter di atas permukaan laut. pengembangan agribisnis persuteraan alam di Indonesia, Perum Perhutani selalu mengembangkan bibit telur ulat sutera, maupun bibit murbei. Selain upaya pengembangan bibit ulat sutera dan bibit murbei, pembinaan teknis/pendampingan merupakan penentu keberhasilan produksi usaha persuteraan alam. Memberi kesempatan pelatihan dan magang konsumen telur/petani sutera mengenai pemeliharaan kebun murbei, pemeliharaan ulat dengan maksud agar para konsumen betul-betul mampu membudidayakan ulat sutera. Kata kunci; Agribisnis dan ulat sutra murbai A. Pendahuluan Berawal dari negeri Cina, budidaya ulat sutera dikenal sejak jaman dinasti Han yaitu era 2500 sebelum Masehi. Dominasi ekspedisi dagang besar-besaran Cina 1

Transcript of POTENSI DAN PROSPEK AGRIBISNIS ULAT SUTERA DI...

POTENSI DAN PROSPEK AGRIBISNIS ULAT SUTERA DI JAWA TENGAH; STUDI KASUS DI PERUM PERHUTANI CANDIROTO

AGRIBISNIS ULAT SUTERA DI DESA BEJEN KECAMATAN BEJEN KABUPATEN TEMANGGUNG

Oleh :

Pramono Hadi,. SP. M.Si *) dan Ir. Dedy Rustiono., M.Si *) dosen tetap UNIBA

Sulistyo Winarno,. SP. M.Si **) Dosen tidak tetap UNIBA ***) Suwardi, SP. Peneliti LP3M UNIBA

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui agribisnis ulat sutra di Temanggung Jawa Tengah dan mengetahui usahatani dan penyedian bibit. Penelitian ini telah dilaksanakan bulan Desember 2009 sampai Januari 2011. di Desa Bejen Kecamatan Bejen Kabupaten Temanggung dengan ketinggian tempat 575-600 meter di atas permukaan laut.

pengembangan agribisnis persuteraan alam di Indonesia, Perum Perhutani selalu mengembangkan bibit telur ulat sutera, maupun bibit murbei. Selain upaya pengembangan bibit ulat sutera dan bibit murbei, pembinaan teknis/pendampingan merupakan penentu keberhasilan produksi usaha persuteraan alam. Memberi kesempatan pelatihan dan magang konsumen telur/petani sutera mengenai pemeliharaan kebun murbei, pemeliharaan ulat dengan maksud agar para konsumen betul-betul mampu membudidayakan ulat sutera.

Kata kunci; Agribisnis dan ulat sutra murbai

A. Pendahuluan

Berawal dari negeri Cina, budidaya ulat sutera dikenal sejak jaman dinasti Han yaitu era 2500 sebelum Masehi. Dominasi ekspedisi dagang besar-besaran Cina menjadikannya sutera menyebar ke berbagai kawasan. Mulai dari Cina Tengah, India Utara, Persia hingga daratan Eropa di pusat Kota Roma (Italia). Jalur perdagangan ini terkenal dengan sebutan The Silk Road atau jalur sutera. Pada tahun 1718 sutera masuk ke Indonesia, tetapi baru pada tahun 1970 budidaya ulat sutera mulai tertata (Anonim, 2007a).

Ulat sutera adalah serangga yang berguna sebagai penghasil benang sutera. Dalam siklus hidupnya melakukan metamorfosis sempurna mulai dari larva (ulat), pupa sampai dengan kupu-kupu. Benang sutera dihasilkan dari air liurnya saat membuat kepompong (Anonim, 2008a).

Banyak manfaat dari ulat sutera ini antara lain sebagai hiasan yaitu selaput kokonnya dibuat kertas sutera. Kotorannya dapat digunakan untuk membuat obat jerawat. Sedangkannya kokonnya ada yang digunakan untuk membuat benang yaitu kokon direbus selama 5-10 menit setelah itu ujungnya diambil benangnya dan dipintal. Pupa yang direbus dan mati dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang bergizi tinggi (Anonim, 2008b).

Hasil ulat sutera adalah benang sutera yang halus dan mempunyai nilai jual sangat tinggi. Namun demikian bahan sutera di Indonesia masih sedikit, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalan negeri pemerintah masih harus impor. Adapun keistimewaan dari tenun kain sutera adalah bila dipakai sejuk dan mempunyai nilai estetika sangat tinggi, sehingga harga kain sutera sangat tinggi. Produk kain sutera merajai produk tekstil bahkan merebut hati konsumen, baik dalam pemeran produk tekstil dalam negeri maupun internasional (Guntoro, 1994).

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri serta sebagai sumber devisa negara, maka pembudidayaan ulat sutera perlu dimasyarakatkan, selain itu perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut agar pengembangan ulat sutera di Indonesia dapat mensejahterakan hidup masyarakat. Peningkatan produksi ulat sutera di Indonesia dapat dikembangkan, mengingat cukup tersedia tenaga kerja, iklim dan lahan yang subur sebagai penyedia bahan makanan ulat sutera (Handoro, 1997).

Dalam rangka memanfaatkan hasil pertanian, maka sekarang dicoba budidaya ulat sutera diberi maka daun singkong. Hal ini disebabkan petani biasanya menanam singkong hanya diambil ubinya, sedangkan daun singkong dibiarkan di sawah. Daun singkong dapat dimanfaatkan untuk pakan ulat sutera, karena daun singkong kaya akan kandungan gizi. Selain itu daun singkong mempunyai efek baik bagi kesehatan, nutrisi daun singkong sangat banyak, terutama kandungan proteinnya, kadar seratnya tinggi (95 mg/100 g) dan vitamin C 3300 RE (Anonim, 2008c).

Menurut Nuryani dan Soedjono (1994), setiap 100 g daun singkong mengandung 7,58 mg HCN, tapi bila dipanen muda (± 5 bulan) kadar HCN-nya masih rendah, berbeda dengan ubinya, daun singkong merupakan sumber protein yang baik untuk binatang memamah biak dan mengandung 8,3% protein dapat dicerna dan 45,5% total bahan kering makanan yang dapat dicerna.

Dalam budidaya ulat sutera, tempat pembudidayaan perlu diperhatikan agar pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera dapat baik sehingga produksi benang sutera dapat maksimal. Tempat pembudidayaan menyangkut kebersihan, tempat pembesaran dan besarnya tempat agar populasi ulat sutera tidak berlebihan atau kurang. Bila populasi berlebihan dapat mengganggu perkembangan ulat sutera, karena akan berkompetisi dalam memperoleh ruang dan makanan. Pembersihan tempat ulat sutera dilakukan 4 kali yaitu sebelum dan sesudah ganti kulit instar kedua serta sebelum dan sesudah ganti kulit instar ke tiga (Anonim, 2008a).

Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan penting, karena selain bertujuan menyediakan pangan dan sandang bagi seluruh penduduk, juga merupakan sektor andalan penyumbang devisa negara dari sektor non migas. Besarnya kesempatan kerja yang dapat diserap dan besarnya jumlah penduduk yang masih bergantung pada sektor ini memberikan arti bahwa di masa mendatang sektor ini masih perlu terus ditumbuh kembangkan (Muhammad, 1996).

Pembangunan sektor pertanian ini mencakup sektor tanaman, peternakan, kehutanan maupun perikanan. Peternakan adalah mengusahakan atau membudidayakan binatang. Binatang dikelompokkan dalam beberapa golongan penting yang dalam bahasa latin disebut Phylum. Diantaranya Phylum Chordata yatu binatang bertulang belakang. Phylum Arthropoda yaitu badannya beruas-ruas (bersegmen) contohnya serangga (Pracaya, 1991).

B. Permasalahan

Bagaimana usahatani atau agribisnis ulat sutra alam yang dilakukan di Temanggung untuk meningkatkan penyediaan bibit berkualitas untuk kepentingan petani khususnya di Jawa Tengah ?

C. Maksud dan Tujuan

Memberikan gambaran mengenai potensi yang dimiliki di Temanggung Jawa Tengah untuk pengembangan usaha persuteraan alam melalui penyediaan bibit leur F1 yang berkualitas.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan diskusi agribisnis ulat sutra

2. Sebagai gambaran usaha tani ulat sutra di Jawa Tengah

E. Tinjauan Pustaka

Kupu-kupu merupakan serangga, serangga merupakan golongan binatang terbesar kira-kira 75% dari jumlah binatang yang hidup yang telah diketahui manusia. Serangga ada yang menguntungkan, tetapi juga ada yang merugikan karena merusak tanaman dan menyebabkan penyakit manusia dan binatang ternak (Pracaya, 1991).

Serangga kupu-kupu selama siklus hidupnya merugikan manusia terutama pada fase larva, karena akan memakan tanaman. Pada fase kupu-kupu serangga ini menguntungkan manusia, karena akan membantu penyerbukan tanaman. Pada fase larva tersebut serangga ini akan memakan tanaman apa saja, sehingga pada fase larva sering disebut hama (Untung, 1993).

Kupu-kupu merupakan serangga yang mengalami beberapa perubahan bentuk selama siklus hidupnya atau sering disebut metamorphosis. Perubahan bentuk tersebut antara lain : dari telur menjadi larva (ulat), kemudian menjadi kepompong dan menjadi imago (bentuk dewasa) yaitu berupa kupu-kupu. Ulat yang kita pelihara tidak lain adalah bentuk dari larva kupu-kupu yang tumbuh hingga membentuk kepompong (Suyanto, 1994).

Tahapan metamorphosis pada serangga antara lain : tanpa metamorphosis (ametabola), metamorphosis bertingkat (paurometabola), metamorphosis tidak lengkap (hemimetabola) dan metamorphosis sempurna (holometabola). Contoh serangga yang mengalami metamorphosis sempurna (holometabola) adalah ordo Lipedoptera, Coleoptera dan Diptera (Rukmana dan Saputra, 2002).

Kupu-kupu dapat dibedakan menjadi beberapa family, antara lain : keluarga Bombycida, yaitu kupu-kupu yang kepompongnya diselimuti atau dibungkus kokon. Ulat kupu-kupu keluarga Bombycida senantiasa membentuk kokon lebih dahulu sebelum membentuk kepompong. Secara alamiah kegiatan ini merupakan upaya untuk menyelamatkan diri dari musuh atau kondisi lingkungan karena kepompong tersebut keadaannya lemah dan tidak berdaya. Dari keluarga Bombycida ini diantaranya terdapat jenis kupu sutera (Bombyx mori). Ulat sutera sering disebut Bombyx mori, karena bentuk badannya gemuk (Anonim, 2008b).

Kupu ulat sutera mempunyai sebuah sabit (bulan sabit) “jendela” atau hyaline area di bagian sayat depan. Kupu ulat sutera termasuk dalam ordo Lepidoptera ialah jenis kupu-kupu yang ulatnya sering kali menggundulkan pohon-pohon dadap dan rasa mala. Kupu-kupu dalam sistematika binatang termasuk kelas serangga (Hexapoda) yang secara umum memiliki ciri-ciri sebagai berikut: memiliki kaki sebanyak 6 buah, bagian tubuhnya terdiri dari kepala, dada, dan badan belakang. Sifat spesifik lainnya dari bangsa serangga adalah dalam proses hidupnya mengalami perubahan bentuk (metamorphosis) yang bentuk fisiknya antara fase satu dengan fase yang lain amat berbeda. Bangsa serangga dapat dibedakan menjadi 10 golongan (ordo) antara lain adalah golongan kupu-kupu (Lepidoptera) atau sering disebut serangga bersayap sisik, karena memiliki empat sayap yang dihiasi “sisik” yang warnanya indah. Ciri lainnya adalah bahwa serangga ini memiliki mulut untuk menghisap (Guntoro, 1994).

1. Siklus Hidup Ulat Sutera

Siklus hidup ulat sutera sejak bayi hingga masa kawin serta bertelur berlangsung kurang lebih satu bulan. Kupu-kupu melewati fase perkembangan hidup sebagai pupa kurang lebih 18 hari. Kupu-kupu baru bisa keluar setelah mengeluarkan cairan liur, khususnya untuk melubangi kokon rumah serat sutera yang dibangunnya selama tiga sampai lima hari tanpa henti (Handoro, 1997).

Ulat sutera siklus hidupnya mempunyai metamorfosis sempurna mulai dari telur, larva (ulat), pupa (kepompong) dan kupu. Telur ulat sutera berbentuk lonjong, panjang 1,33 mm, lebar 1 mm dan tebal 0,5 mm. Warna telur ulat sutera putih kekuningkuningan. Telur biasanya menetas 10 hari (Anonim, 2008a).

Ulat sutera terbagi atas lima instar, yaitu instar 1, 2 dan 3 disebut ulat kecil dengan umur berkisar 12 hari. Instar 4 dan 5 disebut ulat besar dengan umur berkisar 13 hari. Pupa terjadi setelah ulat sutera mengeluarkan serat sutera, lama masa pupa 12 hari. Pupa jantan pada ruas ke-9 terdapat titik, sedangkan pupa betina ruas ke-8 terdapat tanda silang (Handoro, 1997).

Selama menjalani fase larva, ulat sutera mengalami 4 kali ganti kulit atau disebut instar. Bentuk fisik ulat sutera sangat khas, yaitu terdiri dari 3 bagian : bagian kepala, thorax dan abdomen atau tubuh. Dibagian kepala terdapat antena sebagai syaraf perasa. Ada rahang untuk mengunyah makanan dan ada mata serta ada spineret yaitu tempat keluarnya filamen sutera (Guntoro, 1994).

Ulat sutera (Samia cynthia ricini) membuat kokon terutama untuk melindungi diri selama mengalami proses metamorfosis sebagai pupa. Fase ini membutuhkan waktu dua pekan. Ketika menetas ulat hanya memiliki panjang 1-2 mm, setelah berumur satu hari ulat bertambah panjang menjadi 3 mm (Guntoro, 1994).

Kupu- kupu betina biasanya mempunyai ukuran yang lebih besar dibanding kupu-kupu jantan. Kupu- kupu jantan bisa kawin sebanyak 3 kali dengan masa kawin berkissar 20 menit sampai 24 jam. Jumlah jantan sedikit memungkinkan betina lebih banyak melakukan perkawinan, karena untuk memenuhi tempat sperma pada betina (Anonim, 2009).

Sepanjang perjalanan hidup ulat sutera dari mulai periode instar pertama hingga ke empat, ulat mengalami empat kali pergantian kulit. Kondisi ini berbarengan dengan perkembangan bentuk tubuhnya yang juga bertambah besar. Sepanjang hari ulat sutera terus makan. Sedikitnya diperlukan 100 kg daun murbei atau daun singkong segar untuk sekitar 25.000 ulat sutera dalam satu siklus hidup. Sesudah instar ke tiga, menjelang instar ke empat dan ke lima ulat sutera tidur. Pada instar ke-empat menjelang pengkokonan, selama tiga hari ulat sutera makan tanpa henti (anonim, 2007b).

Menurut Guntoro (1994), menjelang akan mengokon, selama tiga hari ulat sudah tidak makan lagi. Tubuh ulat menjadi lebih bening dan bagian mulut mulai mengeluarkan serat untuk membungkus tubuhnya selama menjalani masa pupa. Rata-rata kokon jika telah menjadi serat dan direntang benang bisa mencapai panjang 1000 meter.

2. Tempat Budidaya Ulat Sutera

Menurut Guntoro (1994), sebelum pemeliharaan ulat dilakukan, segala sarana dan bahan yang diperlukan harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan baik. Tanpa persiapan yang baik, usaha membudidayakan ulat sutera akan mengalami kegagalan. Cara dan perlengkapan yang harus dipersiapkan meliputi pakan, ruangan dan perlengkapan-perlengkapan budidaya.

Kebersihan tepat pembesaran ulat perlu dijaga, agar pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera meningkat sehingga produksi benang dapat meningkat. Pembersihan tempat ulat sutera dilakukan sebelum pemberian makan (Anonim, 2008a).

Menurut Handoro (1997), penggunaan alas ulat sutera akan memudahkan dalam melakukan pembersihan nampan dari sisa-sisa pakan dan kotoran ulat sutera. Alas media yang dapat digunakan adalah dari bahan kertas dan plastik. Kelebihan alas dari kertas adalah dapat menyerap kotoran dengan baik dan ulat sutera mudah menempel pada alas tersebut. Sedangkan kekurangannya adalah kotoran sulit dibersihkan dan tidak tahan lama. Kelebihan penggunaan alas plastik adalah mudah dibersihkan dan tahan lama. Sedangkan kekurangannya adalah penyerapan tidak maksimal dan mudah lembab dan berjamur.

F. Metode Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan bulan Desember 2009 sampai Januari 2011. di Desa Bejen Kecamatan Bejen Kabupaten Temanggung dengan ketinggian tempat 575-600 meter di atas permukaan laut.

2. Strategi dan bentuk penelitian

Strategi yang digunakan berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih menekankan pada masalah proses dan makna jenis penelitian yang tepat adalah penelitian kualitatif deskriptif (Sutopo, 2002).Strategi yang tepat dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal. Selanjutnya untuk memahami arti peristiwa, fenomena yang akan muncul dalam kehidupan sehari-hari dan untuk menginterpretasikan potensi mereka, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologis (Moleong, 2000).

3. Sumber data

1) nara sumber (disamarkan).; 2) Tempat aktivitas di lingkungan kerja

4. Teknik pengumpulan data

Wawancara mendalam menurut Yin (1987) peneliti dapat bertanya kepada informan kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping mengenai opini informan mengenai peristiwa yang ada.

Tipe infomasi ini menggunakan berbagai bentuk dan menjadi objek rencana-rencana pengumpulan data yang eksplisit, misalnya artikel pada jurnal penelitian yang sejenis, untuk mendukung dan menambah bukti dari sumber lain, selain informan (Yin, 1987). Namun demikian meskipun dokumen ini sumber primer penelitian akan tetapi data bersumber dari dokumen ini harus dilengkapi wawancara yang mendalam dan holistik dan dengan stakeholders (Deddy Mulyana, 2002).

5. Teknik Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan. Karena penelitian ini akan dilakukan di satu perusahaan maka teknik analisis yang digunakan adalah analisis kasus tunggal. Pada tiap kasusnya proses analisisnya akan dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif (Miles dan Huberman dalam Sutopo, 2002).

G. Hasil dan Pembahasan

1. Prospek pasar

          Usaha persuteraan alam berorientasi pasar ekspor. Negara pengimpor ulat sutera terbesar selama ini adalah negara-negara Eropa dan Amerika. Pesaing terbesar penghasil ulat sutera selama ini adalah Cina.

          Komoditas ulat sutera hanya dapat dikembangkan di negara-negara tropis, keadaan ini merupakan peluang bagi Indonesia khususnya petani d yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif untuk mengembangkan komoditas tersebut sebagai komoditas unggulan.

          Perkembangan ulat sutera alam pada tahun-tahun terakhir ini menunjukan prospek yang cukup baik. Paling tidak trgambarkan dari jumlah produksi raw silk dunia yang terus menurun selama enam tahun terakhir, dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan ini diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk serta semakin membaiknya kondisi perekonomian.

          Beberapa analisis menyatakan bahwa sutera alam mempunyai prospek yang baik, dan diperkirakan permintaan sutera akan meningkat antara 2 – 3 % per tahun (ISA) sementara FAO meramalkan lebih besar hingga 5%, sementara peningkatan permintaan di Indonesia sendiri diperkirakan mencapai 12,24% (Sri Utami Kuncoro, 1999).          Luas lahan aktual persuteraan alam yang telah berproduksi pada tahun 1997/1998 di Indonesia tercatat kurang lebih 400 hektar, terdiri dari usahatani persuteraan alam intensif dan yang masih dalam masa pertumbuhan seluas 200 hektar. Sedangkan usahatani persuteraan alam tradisional yang telah dirintis sejak 20 tahun yang lalu seluas 2000 hektar dengan hasil produksi mencapai 5.000 ton pertahun. Kebutuhan kokon segar aktual pasar dalam negeri saat ini, sebagai bahan baku untuk industri benang sutera.

2. Dukungan sumber daya lokal  

          Dukungan sumberdaya lokal persuteraan di Jawa meliputi 3 hal yaitu kebijakan pemerintah, sumberdaya manusia dan sumberdaya lahan. Usaha persuteraan alam, selain didukung penuh pemerintah daerah, juga mendapat bantuan dana kredit terluas se Indonesia. Semenetara itu mengingat sifat kegiatan persuteraan alam yang dapat dilakukan oleh laki-laki maupun wanita, jumlah dan kualitas petani di Jawa menjadi modal dasar bagi tmbuh dan berkembangnya persuteraan alam ini. Luas areal tanaman murbai 1.141,47 ha.

         . Penggunaan teknologi standar persuteraan alam di tingkat petani belum merata. Petani persuteraan alam masih bervariasi sehingga produksi kokon belum optimal, walaupun secara nyata ada peningkatan produksi kokon dari 4,5 ton pada tahun 2000 menjadi 8,3 ton pada tahun 2001. Dalam tabel di bawah dijelaskan mengenai konsumsi pemeliharaan ulat sutera dan produksi kokon di Jawa Tengah.

3. Peluang dan kelayakan investasi  

           Peluang investasi yang mungkin dilakukan di Jawa Tengah dalam persuteraan alam ini harus satu paket dimulai dengan pembukaan lahan untuk tanaman murbai sampai pada proses pemintalan atau penenunan yang dalam tahapan selanjutnya akan mendorong industri garmen.

           Berdasarkan perhitungan/analisis pembiayaan, maka biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk luas pengusahaan 1 ha menggunakan pola monokulutr adalah Rp 32.375.000 yang terdistribusikan dalam jangka waktu dua tahun. Sementara untuk modal kerja diperlukan dana sebesar Rp 9.662.400. Sehingga total pengeluaran yang dilakukan secara bertahap dalam tempo dua tahun adalah Rp 42.037.400. Sementara penerimaan yang diharapkan sebesar Rp 89.600.000. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini yang memuat analisis usahatani persuteraan alam.

USAHA PERSUTRAAN / KELOMPOK TANI SUTERA ALAM (Dalam 1 Th)

1. Luas Kebun Murbei: 1 Ha

2. Produksi Daun Murbei: 20 Ton

3. Pakan Ulat: 1,3 ton / box ( 15,38 box telur )

4. Ratio Kokon / box: 30 ton

5. Harga Jual Kokon: Rp 20.000 / kg

6. Harga Bibit Telur: Rp 44.000 / box ( sudah termasuk PPn 10 % )

7. Produksi Kokon: 461,40 ( 15,38 box x 30 kg )

PERHITUNGAN BIAYA

No

URAIAN

SAT

VOL

HARGA SATUAN

JENIS USAHA

MURNI

PETANI

I

KEBUN MURBEI

Ha

1

Cangkul

Ha

2 kali

Rp 500.000

Rp 1.000.000

-

2

Pangkas

Ha

4 kali

Rp 100.000

Rp 400.000

-

3

Pemberantasan Hama

Ha

4 kali

Rp 90.000

Rp 360.000

Rp 360.000

4

Pupuk Kandang

Ton

10

Rp 150.000

Rp 1.500.000

Rp 1.500.000

5

Pupuk Kimia

Kg

200

Rp 2.000

Rp 400.000

Rp 400.000

6

Pemupukan Kimia

Ha

2 kali

Rp 150.000

Rp 300.000

-

7

Pemupukan Kandang

Ha

1 kali

Rp 300.000

Rp 300.000

-

8

Gamping

Kg

600

Rp 600

Rp 360.000

Rp 360.000

9

Gulma

Ha

2 kali

Rp 60.000

Rp 120.000

-

Jumlah

Rp 4.740.000

Rp 2.620.000

II

PEMELIHARAAN ULAT

Telur Bibit

Box

15,38

Rp 44.000

Rp 676.720

Rp 676.720

Upah Pemeliharaan Ulat

Box

15,38

Rp 300.000

Rp 4.614.000

-

Obat – obatan

- Kaporit

Kg

7,5

Rp 35.000

Rp 262.500

Rp 262.500

- Formalin

Liter

7,5

Rp 13.000

Rp 97.500

Rp 97.500

- Kertas samak 3 lembar / box

Lbr

7,5

Rp 1.000

Rp 7.500

Rp 7.500

- lain-lain

Box

7,5

Rp 10.000

Rp 75.000

Rp 75.000

JUMLAH II

Rp 5.733.220

Rp 1.119.220

III HPP Daun Murbei ( I : Produksi Daun

Rp 4.740.000

20.000

= Rp 237

Rp 2.620.000

20.000

Rp 131

IV Kapasitas Pemeliharaan Ulat

20.000

1.300

= 15,38

Kg

Kg

Box

V HPP Kokon ( I + II : Prod. Kokon )

Rp10.473.220

461,40

= Rp22.698,78

Rp 3.739.220

461,40

Rp 8.104,07

VI BEP Kokon ( I + II : harga Jual Kokok )

Rp10.473.220

Rp 20.000

= 523,66

Rp 3.739.220

Rp 20.000

= 186,96

VII BEP / BOX Kokon ( BEP Kokon : Intake Telur

523,66

15,38

= 34,04

186,96

15,38

= 12,15

Sumber. Data sekunder PPUS Jatiroto

Secara sederhana usahatani persuteraan alam dalam satu hektar memerlukan biaya sebesar Rp 10.548.000. Untuk selanjutnya penerimaan yang akan diperoleh setahap demi setahap akan meningkat seiring dengan volume pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan. Produksi kokon pada tahun pertama hanya 200 kg, tahun kedua sebanyak 600 kg. Pada tahap selanjutnya produksi kokon akan konstan sebesar 750 kg. Apabila diasumsikan harga per kg kokon sebesar Rp 20.000, maka penerimaan usahatani persuteraan alam akan terlihat bertahap sesuai dengan tahap jumlah kokon yang dihasilkan.

4. Tanaman Murbay

Budidaya ulat sutera merupakan salah satu usaha yang dapat ditekuni. Bila dilakukan dengan tata cara yang benar, usaha ini menjanjikan keuntungan. Selain menghasilkan benang sutera, usaha ini juga dapat diteruskan hingga ke bagian hilirnya, yaitu tenun sutera, sehingga menghasilkan berbagai jenis kain sutera yang halus dan indah.

Pohon murbey dapat tumbuh subur di berbagai ketinggian tanah, asalkan tanahnya cukup subur dan mendapatkan penyinaran matahari yang cukup. Bibit diperoleh dengan cara stek. Terdapat beberapa jenis pohon murbey, seperti catayana, multi coulis, canva, nigra dan lembang. Daun murbey dapat dijadikan pakan ulat sutera setelah berusia 3 bulan.

Proses budidaya ulat sutera dimulai dari rumah ulat kecil. Ruangan ini harus steril, karena itu saat masuk kedalamnya pengunjung harus mencuci tangan. Di ruangan terdapat alat inkubasi telur ulat dan pembiakan ulat kecil. Dari telur hingga berkembang menjadi ulat yang menghasilkan kepompong memerlukan waktu sekitar 15 hari.

Setelah cukup besar, ulat dipindah ke ruangan lain untuk menghasilkan kepompong. Dalam waktu 28 hari ulat sutera akan berubah menjadi kepompong atau kokon. Kepompong inilah yang nantinya akan ditenun menjadi benang sutera. Kualitas kokon yang dihasilkan sangat ditentukan kesehatan ulat dan kualitas pakannya. Ada beberapa hama yang harus dihindari, yaitu kadal, cicak, tikus dan semut. Sebelum diolah, kokon direbus dalam air panas dengan suhu 85 derajat celcius selama dua puluh menit. Kemudian ditiriskan dan disikat. Kini kokon siap dipintal menjadi benang sutera.

Pemintalan dilakukan dengan alat pintal tradisional. serat sutera ditarik hingga menjadi benang. Sebanyak 10 kilogram kokon akan menghasilkan sekitar satu kilogram benang sutera. Benang sutera kemudian ditenun menjadi kain dengan menggunakan alat tenun bukan mesin. Proses penenunan dilakukan dengan peralatan sederhana dengan cara manual. Penenunnya tenaga kerja yang sudah sangat terampil, sangat sehingga menghasilkan kain sutera yang berkualitas.

Kain sutera yang telah ditenun kemudian diletakkan di ruangan penyimpanan. Berbagai motif kain sutera dihasilkan sesuai permintaan pasar. Sangat mudah untuk membedakan antara kain sutera asli ini dengan yang sintetis. Kain sutera ini dipasarkan ke Jawa Barat dan Jakarta, serta berbagai kota-kota lain di Indonesia. Permintaan yang besar membuat pak tatang kewalahan memenuhi seluruh pesanan.

5. Biologi dan Kimia Murbei

Pohon murbei merupakan tumbuhan asli Pegunungan Himalaya. Sekarang, pohon murbei menyebar baik di daerah tropik maupun daerah sub tropik mulai dari ketinggian 0 – 4000 m dpl. Pohon murbei termasuk ke dalam genus Morus. Murbei termasuk ke dalam genus Morus, family Moraceae.Ordo Klas Dicotyledonae. Pohon murbei memiliki lebih dari 35 species dan sub species (Ryu, 1998). Berdasarkan long style bunga jantan species murbei dikelompokkan ke dalam Dolychostyle dan Macromorus. Populasi tanaman tidak kurang dari 100 species murbei yang telah dikenal. Akan tetapi yang sering dibudidayakan untuk kepentingan budidaya ulat sutera adalah Morus Alba, Morus Cathayana dan Morus Multicaulis.

H. Kesimpulan

1. Dalam rangka penunjang pengembangan agribisnis persuteraan alam di Indonesia, Perum Perhutani selalu mengembangkan bibit telur ulat sutera, bibit murbei.

2. Selain upaya pengembangan bibit ulat sutera dan bibit murbei, pembinaan teknis/pendampingan merupakan penentu keberhasilan produksi usaha persuteraan.

3. Memberi kesempatan pelatihan dan magang konsumen telur/petani sutera mengenai pemeliharaan kebun murbei, pemeliharaan ulat dengan maksud agar para konsumen betul-betul mampu membudidayakan ulat sutera.

I. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007a. Menyingkap Serat Sutera. http://www.liputan6.com/mobile/?c_id =8&id=144895. 21 Juli 2007.13:44.

---------, 2007b. Si Rakus Pelahap Daun Murbei. http://www.liputan6. com/mobile/?c_id=8&id=144895. 21 Juli 2007.15:03.

---------, 2007c. Ulat Sutra. http://id.wikipedia.org/wiki.23 Juli 2007.20:13.

---------, 2008a. Pemeliharaan Ulat Sutera, Budidaya Ulat Sutera dan Produksi. http://masjamal.Blogdetik.com/2008/12/31.

---------, 2008b. Ulat Sutera, Si Lucu yang Memberi Manfaat. http://pr.qiandra.net.id/print.php?mib=beritadetail&id=21363.

---------, 2008c. Nutrisi Daun Singkong. http://www.suhaemi.org. 1 Maret 2009.11:20.

---------, 2009. Utang Budi Dibawa Mati. Trubus 471-Februari 2009/XI.

Guntoro, S., 1994. Budidaya Ulat Sutera. Kanisius. Yogyakarta.

Handoro, W., 1997. Budidaya Ulat Sutera. Sinar Cemerlang Abadi, Jakarta. 90 hal.

Harjadi, SS., 1999. Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta. 197 hal.

Johara T.J., 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan Pedro A. Sanchez, 1976. Properties and Management of Soil in the Tropics. ITB. Bandung. 379 hal.

Moenandir, J., 1993. Pengantar Ilmu dan pengendalian Gulma. Rajawali press, Jakarta.

Muhammad, N., 1996. Padi Lahan Marjinal. Penebar Swadaya, Jakarta. 213 hal.

Nuryani, S dan Soedjono, 1994. Budidaya Ubi Kayu. Dahara Prize, Semarang. 72 hal.

Pracaya, 1991. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. 417 hal.

Seputro, D., 1996. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta. 231 hal.

Soegiman, 1992. Ilmu Tanah. Terjemahan Buckman H.O and N.C. Brady, 1962. The Nature and Properties of Soil. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. 788 hal.

Sugito, Y., 1990. Pengaruh Jarak Tanam dan Pemupukan terhadap Dua Hasil Varietas Ubi Kayu dan Hasil Jagung Dalam Sistem Tumpangsari. Agrivita Vol 13 No. 1, J

Suprayitno, I., 1996. Sayur & Buah Berkualitas. Aneka Solo. 103 hal.

Susilo, H. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan Franklin P.G. Pearce R.B. and Mitchell R.L., 1985. Physiology of Crop Plants. UI. Press Jakarta. 427 hal.

Suyanto A., 1994. Hama Sayur dan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta. 116 hal.

Tamburian, Y., Saenong S dan Ala A., 1991. Penentuan Waktu Tanam Kedelai dan Populasi Jagung Pada Pertanaman Tumpangsari terhadap Produktivitas Lahan. Agrikam Vol 7.No. 1, 1991 hal 7-12.

Umboh, A.H., 1997. Petunjuk Penggunaan Mulsa. Penebar Swadaya, Jakarta. 89 hal.

Untung, K., 1993. Konsep Pengendalian Hama Terpadu . Andi Offset, Yogyakarta. 150

PAGE

6