Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

49
PETUNJUK PRAKTIS BUDIDAYA ULAT SUTERA Oleh : Haris Setiana, S.Si. ** KPH Kedu Utara – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah I. Pendahuluan J enis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yang sekarang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Dalam pertumbuhannya, jenis ulat sutera ini sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan lingkungan termasuk di antaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya, aliran udara dll. (Kartasubrata, dkk. 2000). Oleh karenanya teknik pemeliharaan ulat sutera ini sangat bervariasi sesuai dengan adaptasinya terhadap kondisi lingkungan yang ada (Jolly, 1987). Tujuan dari pemeliharaan ulat sutera adalah untuk menghasilkan kokon. Untuk dapat menghasilkan kokon dengan produksi yang tinggi, maka perlu diketahui karakter ulat sutera dan perlakuan-perlakuan tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing tingkatan dalam siklus hidupnya ( Jolly, 1987). Berdasarkan hal tersebut, perlulah kiranya kita mengetahui perlakuan-perlakuan apa saja yang harus dilakukan dalam memelihara ulat sutera agar kita dapat 1

description

1PETUNJUK PRAKTIS BUDIDAYA ULAT SUTERAOleh : Haris Setiana, S.Si. ** KPH Kedu Utara – Perum Perhutani Unit I Jawa TengahPendahuluanJenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yangsekarang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Dalam pertumbuhannya, jenis ulat sutera ini sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan lingkungan termasuk di antaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya, aliran udara dll. (Kartasubrata, dkk. 2000). Oleh karenanya teknik pemeliharaan ulat

Transcript of Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Page 1: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

PETUNJUK PRAKTIS

BUDIDAYA ULAT SUTERA

Oleh : Haris Setiana, S.Si. **

KPH Kedu Utara – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

I. Pendahuluan

J enis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yang

sekarang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Dalam

pertumbuhannya, jenis ulat sutera ini sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim

dan lingkungan termasuk di antaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya,

aliran udara dll. (Kartasubrata, dkk. 2000). Oleh karenanya teknik

pemeliharaan ulat sutera ini sangat bervariasi sesuai dengan adaptasinya

terhadap kondisi lingkungan yang ada (Jolly, 1987).

Tujuan dari pemeliharaan ulat sutera adalah untuk menghasilkan kokon.

Untuk dapat menghasilkan kokon dengan produksi yang tinggi, maka

perlu diketahui karakter ulat sutera dan perlakuan-perlakuan tertentu yang

disesuaikan dengan karakteristik masing-masing tingkatan dalam siklus

hidupnya ( Jolly, 1987).

Berdasarkan hal tersebut, perlulah kiranya kita mengetahui perlakuan-

perlakuan apa saja yang harus dilakukan dalam memelihara ulat sutera

agar kita dapat mencapai tujuan yang diinginkan terutama dalam

pencapaian produksi kokon yang berkualitas baik. Berikut secara garis

besar akan dibahas mengenai cara memelihara ulat sutera.

** Asper Produksi PPUS Candiroto KPH Kedu Utara

1

Page 2: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

II. Karakteristik dan Siklus Hidup Ulat Sutera

Jenis ulat sutera yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis

Bombyx mori, termasuk dalam keluarga bombicidae.

Jenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat yang monophagous

atau hanya makan daun murbei saja.

Dalam siklus hidupnya, jenis ini mengalami metamorfosa sempurna mulai

dari telur, berubah menjadi ulat, kemudian menjadi pupa dan akhirnya

menjadi kupu yang kemudian bertelur lagi. Secara periodik terjadi empat

kali pergantian kulit (Soekarman, 1998).

Pada siklus alami, ulat sutera yang menghasilkan satu generasi dalam

satu tahun disebut univoltine, dua kali dalam satu tahun disebut bivoltine,

dan jika lebih dari itu disebut multivoltine.

Di daerah tropis, varietas yang banyak terdapat adalah polyvoltine. Jenis

ini sangat tahan terhadap kondisi pemeliharaan yang jelek tetapi produksi

kokonnya sangat kecil dan tentu saja kualitas beang suteranya lebih

rendah dibandingkan dengan varietas dari negara sub-tropis yang

biasanya uni atau bivoltine. Pada saat ini jenis yang banyak dipelihara

pada saat ini adalah dari jenis bivoltine.

III. Pemeliharaan Ulat Sutera

Pemeliharaan ulat sutera sangat tergantung pada keadaan alam dan

kemampuan dari para pemeliharanya. Oleh karenanya sebelum

melakukan pemeliharaan ulat sutera perlu diketahui terlebih dahulu

kecocokan tempat untuk pemeliharaan. Keadaan lingkungan sekitar untuk

2

Page 3: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

pemeliharaan ulat sutera perlu dipertimbangkan pada tempat yang

mempunyai iklim dan tanah yang cocok baik untuk pertumbuhan murbei

maupun untuk hidup ulat sutera sehingga dapat menghasilkan kokon yang

berkualitas baik (Katsumata, 1972).

Berikut disajikan beberapa hal penting yang harus dilakukan dalam

melakukan pemeliharaan ulat sutera.

III.1. Persiapan Pemeliharaan

Sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera, perlu dipersiapkan hal-hal

sebagai berikut :

a. Persiapan daun murbei

Daun murbei sebagai pakan khusus untuk ulat sutera diperoleh dari

kebun murbei yang sudah dipersiapkan sesuai dengan jumlah dan

persyaratan daun yang diperlukan.

Agar dapat menghasilkan produksi kokon yang berkualitas baik sudah

dibuat standar jumlah daun yang harus diberikan sesuai dengan

jumlah ulat yang dipelihara.

Sebelum memutuskan jumlah ulat yang dipelihara, sebaiknya

dilakukan sampling untuk memperkirakan jumlah daun yang dapat

diproduksi dari kebun yang ada.

Untuk keperluan makan 1 box ulat yang berisi 25.000 butir telur

dibutuhkan makanan sebanyak 1,2 ton (daun beserta cabang) atau

800 kg (daun saja) dari mulai ulat menetas sampai membuat kokon.

3

Page 4: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

b. Persiapan ruangan dan alat-alat pemeliharaan

b.1. Persiapan sarana dan prasarana

Ruangan dan peralatan yang akan dipergunakan harus sudah

dipersiapkan sesuai dengan perkiraan kebutuhan.

Untuk kebutuhan pemeliharaan ulat, sarana dan prasarana yang

perlu dipersiapkan adalah :

- Ruangan (brak pemeliharaan) dan ruang daun

- Kotak penetasan

- Rak, sasak dan sarangan pengokonan

- Jaring ulat

- Gunting stek, pisau perajang daun

- Alat pengukur temperatur dan kelembaban ruangan

- Kertas parafin, bagor atau kertas alas

- Pemanas ruangan.

Ruangan dan perlengkapan untuk pemeliharaan ulat kecil (instar I

s/d instar III) sebaiknya dipisahkan dengan ruangan dan peralatan

untuk pemeliharaan ulat besar (instar IV s/d V).

Khusus untuk pengokonan, jika tidak tersedia ruangan yang

khusus, dapat dilakukan pada ruagan pemeliharaan ulat besar

dengan pengaturan secukupnya.

b.2. Disinfeksi

Disinfeksi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk

mencegah infeksi kuman penyakit pada ulat sutera yang

dipelihara. Meskipun untuk disinfeksi dibutuhkan biaya tambahan,

tanpa disinfeksi yang baik dan benar, produksi kokon yang

berkualitas tidak akan dapat tercapai, sehingga pemeliharaan ulat

4

Page 5: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

sutera tidak akan memberikan hasil atau pendapatan sesuai

dengan yang diharapkan.

Disinfeksi harus dilakukan dilakukan 6 – 8 hari sebelum ruangan

dan alat-alat digunakan. Untuk lebih menghemat biaya, bila petani

berkelompok alat penyemprot dapat digunakan bersama dan akan

meningkatkan hasil disinfeksi.

Disinfektan yang dapat dipergunakan :

Larutan formalin 2 - 5 %

Untuk menghasilkan larutan formalin 5% dilakukan

pencampuran formalin dari toko = 36% dengan air.

Perbandingan 1 : 6

Larutan kaporit 2 - 5 %

Untuk menghasilkan larutan kaporit 5% dilakukan

pencampuran kaporit dari toko = 60% dengan air.

Perbandingan 1 : 11.

Jumlah disinfektan yang disemprotkan :

Formalin 2-5 % = 0,5 liter/m2

Kaporit 2 - 5 % = 0,5 liter/m2

Dalam pembuatan larutan disinfektan, harus diperhatikan

ketepatan konsentrasi yang dibuat. Jika konsentrasi larutan

disinfektan kurang akan mengakibatkan resistensi kuman

sehingga untuk mematikan kuman penyakit akan dibutuhkan

konsentrasi yang lebih tinggi.

5

Page 6: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Apabila terjadi wabah penyakit, sebagai tindakan pencegahan

agar tidak terjadi penyebaran penyakit, ruangan dan alat yang

baru saja digunakan langsung disemprot dengan formalin atau

kaporit dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian dicuci sebelum

dilakukan disinfeksi kedua berupa penguapan dengan larutan

formalin yang dipanaskan (bila ruangan dapat ditutp rapat).

Untuk alat pemeliharaan tertentu dapat didisinfeksi dengan

melakukan perendaman dalam larutan disinfektan. Pengeringan

peralatan pemeliharaan dilakukan dengan penjemuran di bawah

sinar matahari. Khusus untuk kertas parafin dan kertas alas bisa

didisinfeksi bersama-sama ketika melakukan penguapan.

Selain ruangan dan peralatan, lingkungan sekitar ruangan

pemeliharaan perlu dilakukan penyemprotan dengan larutan

kaporit.

Untuk mencegah terjadinya infeksi kuman penyakit, di luar

ruangan pemeliharaan selalu disediakan larutan formalin atau

kaporit 1% untuk mencuci tangan para petugas pemelihara

sebelum bekerja di dlam ruangan. Larutan ini diusahakan agar

diganti setiap hari.

b.3. Menghindarkan ulat sutera dari serangan hama

Salah satu hal yang mengganggu pemeliharaan ulat sutera

adalah hama yang memakan/mematikan ulat sutera yang

dipelihara. Jika tidak dilakukan pencegahan, maka hal ini akan

menurunkan hasil produksi.

6

Page 7: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Hama-hama yang mengganggu tersebut diantaranya adalah

tikus, cecak, tokek, kadal dan semut.

Berikut yang dapat dilakukan untuk menghindari gangguan hama

tersebut :

b.3.1. Dari tikus

- Sebelum pemeliharaan dilakukan, dipasang “racumin”

agar nantinya ulat tidak diserang tikus

- Menutup pintu setiap selesai melakukan kegiatan di

ruangan pemeliharaan.

b.3.2. Dari semut

- Melilitkan kain pada kaki rak, kemudian diberi sedikit solar

atau merendam kaki rak dalam mangkok-mangkok kecil

yang terbuat dari plastik yang diisi air.

c. Kesiapan sumber daya manusia

Salah satu hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeliharaan ulat

sutera adalah karena tidak dikuasainya teknik-teknik pemeliharaan ulat

sutera.

Pengetahuan mengenai cara melakukan pemeliharaan ulat sutera

perlu dikuasai terlebih dahulu karena ulat sutera dalam

perkembangannya sangat tergantung kepada para pemeliharanya.

Untuk itu sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera, para

pemelihara hendaknya dilatih atau belajar terlebih dahulu agar

keterampilan dalam pemeliharaan ulat sutera dapat dikuasai.

7

Page 8: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

III.2. Pengambilan Telur

Pada stadia telur, terjadi apa yang disebut pertumbuhan embrio telur agar

bisa menetas menjadi ulat. Dalam pertumbuhan ini, diperlukan kondisi

optimal agar telur bisa menetas. Kondisi optimal yang diperlukan ini tentu

saja dipengaruhi oleh cara penanganan kita terhadap telur ulat sutera dan

faktor lingkungan termasuk temperatur, kelembaban dan pencahayaan.

Setelah telur diproses untuk penetasan, telur seharusnya berada pada

kondisi lingkungan (ruangan) dengan temperatur 25oC dan kelembaban

85% serta dilakukan pencahayaan 16 jam terang dan 8 jam gelap

terhadap telur. Telur ulat sutera yang akan ditetaskan harus diambil atau

dikirimkan dari produsen telur.

Dalam pengambilan atau pengiriman telur ini tentunya banyak faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan telur.

Untuk memperkecil pengaruh tersebut terhadap pertumbuhan telur ulat

sutera, maka beberapa hal perlu diperhatikan, antara lain :

a. Pada waktu 7 – 10 hari sebelum penetasan, telur baru mulai tumbuh,

pengaruh luar masih bisa ditolerir oleh telur. Untuk itu dianjurkan agar

pengambilan telur dilakukan antara 7 – 10 hari sebelum tanggal

penetasan.

b. Pada waktu membawa telur, jangan sampai terkena sengatan matahari

secara langsung. Untuk itu pada waktu membawa telur hendaknya

dilapisi (dibungkus) dengan kain lembab dan selalu menjaga agar kain

tersebut tetap lembab selama perjalanan.

c. Jangan meletakkan telur pada tempat dengan suhu panas dan kering

seperti misalnya bagasi.

8

Page 9: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

d. Untuk mobil ber-AC, box telur sebaiknya juga dibungkus dengan kain

lembab karena udara AC merupakan udara kering sehingga akan

mempengaruhi telur.

e. Hindarkan sentuhan tangan yang kotor dan hindarkan juga kontaminasi

tembakau (rokok) baik secara langsung maupun tidak langsung.

f. Telur hendaknya tidak disimpan pada kotak yang tertutup rapat, karena

dalam proses pertumbuhannnya, telur membutuhkan udara.

g. Usahakan agar telur tidak sering terkena guncangan dan hindarkan

dari bahan kimia seperti pupuk, pestisida (insektisida) atau bensin.

h. Setelah sampai di tempat tujuan, telur harus segera diinkubasikan pada

tempat dengan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan telur dan

dilakukan pencahayaan.

Dengan melaksanakan hal-hal tersebut di atas, satu tahapan untuk

menghasilkan persentase penetasan yang tinggi sudah kita lalui .

III.3. Inkubasi Telur

Pengertian inkubasi dalam persuteraan mempunyai arti penyimpanan

telur dengan maksud menetaskan, dilakukan di dalam ruangan dimana

temperatur, kelembaban dan pencahayaannya diatur.

Inkubasi merupakan suatu langkah penting untuk keberhasilan penetasan

telur. Setelah telur dikeluarkan dari penyimpanan, kondisi lingkungan

tempat inkubasi mempunyai pengaruh terhadap perkembangan embrio

dan keseragaman penetasan. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal seperti

berikut ini :

a. Ciri-ciri telur yang dapat menetas

Telur yang akan menetas, selama masa inkubasinya mengalami

pertumbuhan embrio yang dapat diketahui dari perubahan warna

telur sebagai berikut :

9

Page 10: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Telur yang baru dikeluarkan induknya berwarna kuning muda

Setelah perlakuan (treatment), berangsur menjadi kuning tua,

kemudian berwarna coklat muda, coklat tua, hitam, abu-abu tua,

abu-abu muda. Dua hari sebelum penetasan terdapat bintik biru

pada bagian ujung telur yang lancip (keadaan ini dinamakan

“blue head” atau “bintik biru”

b. Telur ditempatkan pada kotak penetasan di dalam ruangan yang

bersih/sudah didisinfeksi.

c. Tutup yang berupa kertas pelapis tipis dipersiapkan dan digunakan

dengan tujuan jika penetasan belum serempak dan akan ditunda

esok harinya, ulat yang sudah menetas lebih dulu tidak akan keluar

dari kotak penetasan (tidak aktif bergerak).

d. Diusahakan agar temperatur ruangan = 25oC dan kelembaban

ruangan 85%

- Jika temperatur harian ruangan inkubasi lebih tinggi, biasanya

waktu penetasan akan lebih cepat dari waktu penetasan normal.

- Jika temperatur harian lebih rendah, penetasan biasanya akan

lebih lambat.

- Jika kelembaban terlalu tinggi, akan memperlambat penetasan

bahkan sulit menetas.

- Jika kelembaban terlalu rendah, telur akan kekurangan air, bisa

menyebabkan kematian telur.

e. Dilakukan pencahayaan dalam ruangan (dengan lampu neon biasa)

untuk merangsang pertumbuhan telur denganketentuan 16 jam

terang dan 8 jam gelap, dimana secara sederhana bisa dilakukan :

- Jam 6 pagi sampai dengan jam 10 malam, lampu ruangan

dihidupkan, dan mulai jam 10 malam sampai jam 6 pagi lampu

ruangan dipadamkan.

f. Jika telur sudah mencapai bintik biru (ditandai dengan perubahan

warna telur menjadi warna kelabu), pada hari tersebut tetap dilakukan

pencahayaan sampai siang/sore hari agar telur tetap dapat tumbuh.

10

Page 11: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Pada waktu sore hari ketika bintik biru telah serempak, dilakukan

penggelapan total (lampu dipadamkan dan kotak penetasan ditutup

dengan kain hitam. Penggelapan total dilakukan selama 36 jam.

g. Pada hari H penetasan dilakukan hal-hal sebagai berikut :

- lampu ruangan dinyalakan pada pagi hari (jam 5 pagi) dan kain

hitam dibuka.

- jika yang menetas baru sedikit, segera ditutup kembali dan

ditunggu hari berikutnya.

- jika yang menetas sudah banyak, tutup dibuka dan lampu

dinyalakan agar penetasan dapat serempak. Biasanya masih ada

telur yang belum menetas. Jika telur tersebut masih ingin

ditetaskan, telur tersebut ditutup kembali dengan kain hitam dan

laksanakan perlakuan yang sama seperti di atas sampai menetas

esok harinya.

Dengan melaksanakan kegiatan seperti tersebut, besar harapan

dihasilkan persentase penetasan yang tinggi.

3.4. Hakitate

Istilah Hakitate mempunyai arti pekerjaan pengurusan ulat pertama kali

sejak menetas dari telur meliputi persiapan dalam ruangan dan pemberian

makan.

Hakitate dilakukan sekitar pukul 8 – 9 pagi. Setengah jam sebelum diberi

makan ulat ditaburi campuran kaporit dan kapur dengan konsentrasi

campuran 3%. Tujuan penaburan tepung disinfektan adalah untuk

mencegah serangan penyakit yang disebabkan jamur Aspergillus yaitu

muskardin.

11

Page 12: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Bila hakitate tidak dilaksanakan dengan benar dan tepat, akan

menyebabkan banyaknya ulat yang lemah dan pertumbuan ulat tidak

seragam.

Cara melakukan hakitate :

a. Kotak penetasan yang sudah penuh dengan ulat diletakkan di atas

sasak yang telah disiapkan.

b. Ulat yang baru menetas ditaburi dengan tepung disinfektan dan

dibiarkan selama 30 menit.

c. Segera diberi makan secukupnya. Daun yang diberikan merupakan

daun yang masih muda dan lunak dan telah dirajang.

d. Dalam waktu 20 – 30 menit ulat akan berada pada daun murbei.

Selanjutnya ulat ditempatkan pada sasak (yang telah dialasi kertas

parafin) dengan menggunakan sikat bulu, atur kembali dan tutupi

dengan kertas parafin.

e. Kotak yang berisi telur yang belum menetas ditutup lagi kemudian

ditempatkan di dalam ruang inkubasi telur.

f. Prosentase tetasan dihitung secara sampling.

g. Pemberian makan selanjutnya dilakukan dua jam berikutnya.

3.5. Pemeliharaan Ulat Ulat Kecil

a. Karakter Ulat Kecil (Instar I - III)

Tahan terhadap temperatur dan kelembaban yang tinggi

Instar Ulat Temperatur (oC) Kelembaban (%)

I 27 - 28 85 - 90

II 26 - 27 85 - 90

III 25 - 26 80 - 85

Peka terhadap kualitas/mutu daun yang dimakan; kualitas daun

yang jelek mengakibatkan persentase kematian ulat yang tinggi.

12

Page 13: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

b. Pelaksanaan Pemeliharaan

Menggunakan sasak yang dialasi dan ditutup dengan kertas

paraffin dan ditempatkan pada rak pemeliharaan.

Di sekeliling sasak diletakkan kain basah Untuk mempertahankan

temperatur dan kelembaban yang dibutuhkan serta menjaga agar

daun tidak cepat layu.

Daun untuk ulat kecil harus dipilih yang masih muda dan lunak,

berasal dari pohon yang berumur 1,5 (satu setengah) bulan setelah

pangkas.

Pengambilan daun dilakukan pada pagi atau sore hari ketika

matahari tidak bersinar terik dan tidak hujan.

- Pengambilan daun pada waktu panas akan mengakibatkan daun

cepat layu.

- Pemberian daun yang basah akan menyebabkan berkembangnya

penyakit (terutama yang disebabkan jamur) baik pada tempat

pemeliharaan maupun pada tubuh ulat.

Pemungutan daun dilakukan dengan cara dipetik, dipilih sesuai

dengan tingkat instar :

Instar Lembar daun dari pucuk terpanjang Ukuran daun rajangan (cm)

I 4 – 5 0,5 - 1,0

II 5 – 6 1,0 - 2,0

III 7 – 8 2,0 - 3,0

Daun pucuk jangan dipergunakan untuk ulat karena :

kurang nutrisi

merugikan pertumbuhan murbei dan mengurangi produksi

daun

Perajangan daun dilakukan agar pemberian makan lebih mudah

dan merata. Daun yang dirajang kecil memungkinkan ulat kecil

13

Page 14: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

dapat segera memakan daun karena tidak perlu bergerak terlalu

jauh.

Penyimpanan daun tidak boleh lebih dari 24 jam karena akan layu

dan kehilangan nutrisi (kandungan gizi). Daun sebaiknya disimpan

dalam ruangan yang sejuk, ditutup dengan kain basah yan bersih.

Nafsu makan ulat akan kecil bila daun dalam keadaan layu.

Pemberian makan dapat dilaksanakan 3 atau 4 kali sehari, yaitu

pada pagi, siang, sore dan malam hari. Pada prinsipnya mencukupi

kebutuhan pakan ketika ulat membutuhkan makanan.

Ulat kecil lebih banyak membutuhkan karbohidrat yang

dipergunakan untuk pertumbuhannya yang sangat pesat.

Untuk pembersihan ulat (Bed cleaning), karena ulat

masih kecil dan sisa daun belum terlalu banyak maka

frekuensinya belum terlalu banyak. Dilaksanakan paling

cepat setelah pemberian makan kedua.

Instar Jumlah Pembersihan Waktu

I - setelah ganti kulit ke-1

II 1 setelah ganti kulit ke-2

III 2 setelah ganti kulit ke-3

Hal lain yang harus diperhatikan adalah perluasan tempat.

Perluasan tempat seringkali kurang dilakukan sehingga daun

pakan bertumpuk terlalu tebal yang didalamnya msaih banyak ulat.

Ketika dilakukan pembersihan banyak ualt yang turut terbuang.

Untuk mengatasi hal ini, maka sebelum dibuang, sisa pakan

diperluas kemudian ditaruh jaring dan diberi sedikit daun yang

masih segar agar ulat yang masih tersisa dapat naik ke atas jaring.

c. Perlakuan Sebelum dan Sesudah Ulat Tidur

14

Page 15: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Seperti telah dijelaskan, ulat sutera mengalami masa ganti kulit

sebanyak 4 kali. Bila penanganan pergantian kulit pada ulat sutera

tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan ketidakseragaman

pertumbuhan ulat sutera. Pergantian kulit juga sering diistilahkan masa

tidur.

Hal-hal yang harus dilakukan ketika ulat sutera tidur adalah :

Sebelum Tidur

1. Ciri ulat tidur :

Tidak mau makan, mulut menyempit, badan mengkilap dan

kepala tegak ke atas

2. Tempat hidup ulat diperluas agar kelembaban menurun. Perluasan

tempat juga dimaksudkan untuk penyesuaian luas bagi ulat instar

berikutnya setelah bangun tidur.

3. Bila masih terdapat ulat yang bangun, maka masih dilakukan

pemberian makan secara tipis untuk ulat-ulat yang masih bangun

tersebut. Penghentian pemberian makan ketika masih terdapat ulat

yang masih bangun akan menyebabkan lambatnya ulat-ulat tersebut

ganti kulit. Jika perbandingan ulat yang telah tidur dan ulat yang

masih bangun, bisa dipancing dan dipisahkan dengan

menggunakan jaring ulat.

Selama Tidur

1. Taburkan bubuk kapur, arang atau sekam padi secara merata untuk

mengeringkan permukaan sasak. Dengan jalan ini ulat sutera yang

bangun tidak akan makan daun murbei kering.

2. Temperatur diusahakan 1oC lebih tinggi dibandingkan dengan

temperatur selama periode makan.

3. Hindarkan peredaran udara yang kuat dan langsung ke tubuh ulat

4. Jangan ganggu sasak, karena akan menyebabkan pergantian kulit

tidak sempurna dan pertumbuhan menjadi tidak seragam.

15

Page 16: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Setelah Bangun

1. Pemberian makan dilakukan ketika sebagian besar ulat sudah

bangun (90%).

2. Setengah jam sebelum diberi makan, ulat ditaburi dengan campuran

kapur dan kaporit.

3. Di atas ulat dipasang jaring, kemudian diberi makan.

4. Jumlah daun yang diberikan tidak usah terlalu banyak.

5. Setelah ulat ada di atas jaring, dipindahkan ke sasak baru.

6. Apabila ulat yang bangun tidak seragam, ulat dibagi menjadi dua

kelompok.

3.6. Pemeliharaan Ulat Besar

a. Karakteristik Ulat Besar (Instar IV - V)

Sensitif terhadap temperatur dan kelembaban yang tinggi serta

sirkulasi udara yang buruk

Instar Temperatur (oC) Kelembaban (%)

IV 25 – 26 75

V 24 – 25 70

Tahan terhadap mutu daun yang jelek, tetapi tentu saja akan

mempengaruhi kualitas kokon.

Mempunyai daya tahan yang lebih tinggi terhadap bahan kimia

dibandingakn dengan ulat kecil.

b. Ruangan dan Alat Pemeliharaan Ulat Besar

Untuk pemeliharaan ulat besar, digunakan bangunan yang sederhana

dan murah. Bangunan bervariasi tergantung kondisi iklim setempat.

16

Page 17: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Pada kondisi temperatur rendah dan kelembaban tinggi, bangunan

pemeliharaan seharusnya diberi alat pemanas.

Pada kondisi temperatur dan kelembaban yang tinggi, bangunan

pemeliharaan harus dilengkapi dengan ventilasi yang baik, biasanya

terdapat ventilasi pada bagian atapnya.

Bahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan pemeliharaan

bervariasi : kayu atau bata.

c. Pelaksanaan Pemeliharaan

Pemungutan daun dilakukan pada kebun yang sudah berumur 3

bulan setelah pangkas. Ulat besar lebih banyak membutuhkan

nutrisi protein untuk pertumbuhan organ-organ reproduksi.

Karena jumlah kebutuhan daun murbei meningkat, daun murbei

sebaiknya diambil dari kebun yang dekat dengan lokasi

pemeliharaan ulat sutera.

Pemeliharaan sudah tidak lagi menggunakan kertas paraffin

Pemberian makan dilakukan bersama rantingnya di atas sasak

dan diletakkan secara saling silang sehingga daun yang diberikan

bisa rata dan pertumbuhan ulat bisa seragam.

Mulai instar V hari ketiga, pertumbuhan ulat sangat pesat

sehingga perlu diberi tambahan makan pada malam hari agar

kokon yang akan dihasilkannya bermutu baik.

Ulat sakit banyak terjadi pada instar ke-5 dan pada waktu ulat

mengokon. Untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit, ulat

yang sakit dipilih dan dibuang ke dalam baskon atau ember yang

berisi larutan kaporit 2 - 5%. Pada akhir pemeliharaan ulat-ulat

tersebut dikubur di lokasi pembuangan.

Untuk Pembersihan Ulat (Bed Cleaning), karena daun yang

diberikan jumlahnya banyak, jika sistem pemeliharaan ulat

17

Page 18: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

menggunakan sasak dan rak, maka pembersihan sisa-sisa daun

dilakukan setiap hari agar tumpukan daun tidak terlalu tebal.

Instar Jumlah Pembersihan Waktu

IV 1 Sebelum tidur ke -4

V 2 Hari ketiga dan keenam

Untuk Perluasan (Spacing), agar mendapatkan ulat dengan besar

yang maksimal, maka harus dilakukan pemencaran. Hal ini

dilakukan agar tidak terjadi kekurangan makanan karena

kompetisi untuk mendapatkan makanan dari ulat-ulat itu sendiri.

- Lakukan perluasan pada saat yang tepat

- Lakukan perluasan dengan hati-hati. Perluasan yang dilakukan

secara tidak hati-hati akan menyebabkan banyak ulat yang

hilang.

- Sesudah selesai diperluas, tempat ulat disusun kembali.

- Kalau sudah tidak dapat diperluas, dibagi menjadi dua, pada

sasak yang lain.

4. Penyakit Pada Ulat Sutera

Secara umum penyakit pada ulat sutera terbagi menjadi 2 katagori besar,

yaitu penyakit menular dan tidak menular. Penyakit menular disebabkan oleh

agen-agen biologis seperti bakteri, jamur, virus, protozoa dan semacam

mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam tubuh ulat sutera dan bersifat

menggganggu. Penyakit ini dapat menyebar dari larva yang terinfeksi kepada

larva yang sehat. Penyakit tidak menular merupakan penyakit yang

disebabkan oleh serangga, pengaruh bahan-bahan kimia atau kerusakan

secara mekanis. Penyakit ini biasanya tidak menyebar dari satu larva kepada

larva yang lain.

18

Page 19: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Penyakit yang akan dibahas hanya beberapa penyakit yang umum terjadi di

pemelihara.

4.1. Penyakit yang disebabkan virus

Jenis penyakit : Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV), Cytoplasmic

Polyhedrosis virus (CPV), Flacherie dan Denso Nucleosis Virus

a. NPV

Penyebab : - Nuclear Polyhedrosis Virus

- Pemberian daun basah

Gejala : Kulit larva yang terserang membengkak, jarak antar

segmen membesar, tubuh mengkilat berwarna putih

susu. Dinding tubuh mudah sekali pecah dan akan

meneteskan cairan berwarna putih susu yangakan diikuti

dengan penyusutan tubuh kemudian mati. Larva yang

mati biasanya membusuk dan berwarna hitam. Jika

larva terinfeksi sebelum ganti kulit, maka larva tidak bisa

mengalami ganti kulit; jika larva terinfeksi setelah ganti

kulit, maka larva akan memiliki segmen yang besar.

Ulat kecil biasanya akan mati sekitar 3 - 4 hari setelah

terinfeksi, sedang ulat besar biasanya mati setelah 4 - 6

hari setelah terinfeksi.

Pencegahan :

Disinfeksi ruangan, peralatan jika akan memulai pemeliharaan

dengan formalin 4%.

Dinsinfeksi selama pemeliharaan dengan formalin.

19

Page 20: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

b. Flacherie

Penyebab : - Virus flacherie

- Temperatur yang tinggi selama ganti kulit, makanan

yang kurang baik (daun basah atau daun panas).

Gejala : Pada stadia awal penyakit, terjadi penurunan konsumsi

daun murbei, waktu untuk menyelesaikan ganti kulit

tidak seragam, dan terjadi perbedaan besar tubuh pada

setiap ulat. Terjadi penyusutan pada tubuh larva,

mencret dan muntah. Warna tubuh akan menjadi

kehitaman.

Pencegahan :

Memperbaiki cara inkubasi; memperbaiki mutu daun; kondisi

lingkungan dan metode pemeliharaan.

4.2. Penyakit yang disebabkan Jamur

Jenis penyakit : Aspergillosis, muscardine putih dan muscardine hijau.

a. Muscardin putih

Penyebab : - Jamur Beauveria bassiana

- Temperatur tinggi; kelembaban tinggi; cahaya

kurang.

Gejala : Infeksi terjadi pada stadia ulat dan pupa.

Pada stadia ulat : pada stadia awal penyakit, gejala kurang

jelas terlihat, tetapi pada stadium lanjutan, pada tubuh larva

akan nampak bintik berminyak. Sewaktu akan mati, kotoran

menjadi lunak disertai muntahan. Ketika mati ulat menjadi

lunak dan kemudian akan mengeras dan warna berubah

menjadi merah. Satu sampai dua hari kemudian akan tumbuh

20

Page 21: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

hypha di antara segmen, bahkan seluruh tubuh kemudian

akan tertutup oleh conidiia (butiran-butiran) berwarna putih.

Pada stadia pupa : infeksi menghasilkan pupa yang disebut

mummified pupa. Reaksi pupa terhadap rangsangan lambat

dan bagian dada menyusut, perut menjadi keriput. Hypha dan

Conidia akan tumbuh di antara mebran-membran

intersegmen.

Pencegahan dan Penanganan :

Disinfeksi ruangan, dan disifeksi peralatan

Ulat yang mati dibakar

Taburi ulat dengan campuran kapur dan kaporit pada ulat besar

setiap pagi sebelum makan.

4.3. Penyakit yang disebabkan oleh Protozoa

Jenis yang menyebabkan penyakit pada ulat sutera adalah Nosema

bombycis.

a. Pebrine

Penyebab : - Nosema bombycis

- Tidak dilakukan disinfeksi, kondisi lingkungan yang

kurang baik dan makanan yang tidak memenuhi

syarat.

Gejala :

Pada ulat : stadia ulat instar I yang terinfeksi memperlihatkan

warna tubuh yang relatif gelap, nafsu makan berkurang, waktu

ganti kulit menjadi panjang dan pertumbuhan yang lambat. Ulat

yang tingkat terinfeksinya sangat tinggi akan mati pada instar I,

sedang larva yang tingkat infeksinya lebih ringan biasanya akan

mati pada instar II atau III. Jika infeksi terjadi pada awal instar I,

biasanya ulat akan terlambat ganti kulit atau mati. Infeksi pada

21

Page 22: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

instar II atau instar III akan memperlihatkan kerutan pada tubuh

ulat, warna tubuh kusam dan tubuh berbintik-bintik terutama

pada bagian belakang (tanduk ekor) dan bagian depan sampai

bagian kaki. Ulat-ulat akan sulit mengalami ganti kulit dan

basanya sulit menjadi pupa.

Pada pupa : pupa yang terinfeksi biasanya menjadi lamban,

bagian perut menjadi lunak dan muncul bintik hitam pada tubuh

pupa.

Pencegahan dan penanganan :

Melakukan disinfeksi ruangan dan peralatan secara ketat dan

sering serta selalu melakukan waspada terhadap tanda-tanda

penyakit.

4.4. Penyakit yang disebabkan oleh Bakteri

Jenis penyakit : Sotto dan Septicaemia

a. Septicaemia

Penyebab : - Bacillus sp

- Kondisi lingkungan dan makanan yang kurang baik.

Gejala : Gerakan ulat melambat, nafsu makan berkurang, tubuh

menjadi ramping, bagian dada membengkak, bagian perut

menyusut, kotoran lembek dan seperti pasir.

Ulat yang mati tubuhnya menjadi lembek, kepala

membesar. Dinding tubuh gampang hancur dan

menimbulkan bau.

Ulat yang terinfeksi, setelah mati, bangkainya kaan

berwarna hijau paa bgian depan dada atau pada segmen

(ruas) ke 4 - 6, kemuadian menghitam dan meneteskan

cairan.

22

Page 23: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

4.5. Keracunan

a. Keracunan bahan kimia pertanian

Gejala : Bergerak-gerak tak menentu, pembesaran bagian dada,

mengangkat kepala, muntah-muntah, tubuh memendek

dan kejang-kejang.

b. Keracunan tembakau

Gejala : Gerakan melemah, nafsu makan tidak ada, kepala

menggeleng-geleng, muntah-mutah kemudian jatuh

Pencegahan dan Penanganan untuk a dan b :

Jauhkan ulat dari bahan-bahan tersebut di atas.

Segera pisahkan daun yang mengandung bahan-bahan kimia

atau tembakau tersebut

Ciprati dengan air gula merah ke seluruh tubuh ulat.

5. Pengokonan

Setelah mengalami pergantian kulit empat kali, ulat sutera akan mengalami

tidur. Tetapi ulat-ulat tersebut akan membuat kokon dan di dalam kokon ulat

akan berubah bentuk menjadi pupa.

Pada saat ulat mulai mengokon, pada saat itu pemelihara harus mulai

memindahkan ulat-ulat yang matang ke tempat pengokonan, agar ulat-ulat

tadi dapat membuat kokon yang baik.

Apabila tempat pengokonan tidak baik dan cara pengokonan dilakukan

dengan tidak hati-hati atau pengurusan selama pengokonan kurang baik,

23

Page 24: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

maka kokon-kokon yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang kurang.

Walaupun pemeliharaan yang dilakukan sudah baik dan ulat dalam keadaan

yang sangat sehat, tetapi apabila pekerjaan pengokonan tidak baik atau iklim

waktu pengokonan kurang baik sehingga ulat tidak dapat membuat kokon,

maka hasil yang didapatkan akan kurang baik.

a. Tanda-tanda ulat akan mengokon

Pada akhir instar V, ulat tidak mau makan lagi dan kepalanya

bergerak-gerak mencari pegangan untuk mulai membuat kokon

Tubuh ulat menjadi transparan (tembus cahaya)

Kotoran yang dikeluarkan lebih lunak

Dari mulutnya mulai mengeluarkan serat sutera.

b. Alat Pengokonan (sarangan)

Alat pengokonan yang baik mempunyai :

Lubang/jarak yang cukup besar dan banyak

Terbuat dari bahan yang cukup dapat menyerap uap air

Tahan panas dan murah

Model alat pengokonan (sarangan)

Model jeruji terbuat dari bambu atau kayu

Model harmonika terbuat dari rotan, jerami yang dianyam atau plastik

Model rotary : terbuat dari karton yang dirangkai membentuk beberapa

ruang sel, satu ruang untuk satu kokon

Model Sarangan Bambu Model Rotary Seriframe

24

Page 25: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

c. Waktu yang Tepat Untuk Mengokonkan

Ulat yang sudah mempunyai ciri seperti tersebut diatas harus segera

diambil dan dipindahkan ke tempat pengokonan. Ulat yang belum siap

mengokon masih perlu diberi makan berupa daun lembaran secukupnya.

Jika ulat yang belum matang dipindahkan ke tempat pengokonan,

kemungkinan besar ulat mati di dalam kokon, kandungan sutera pada

kokon menjadi rendah dan daya gulung juga jelek.

Jika ulat terlambat dikokonkan, maka ulat akan membuat kokon di tempat

ulat yaitu pada sisa-sisa ranting sehingga ukurannya kecil dan bentuknya

tidak normal dan tidak baik untuk dipintal.

Banyaknya ulat yang dipindahkan ke dalam tempat pengokonan harus

diatur. Bila ulat yang dimasukkan terlalu banyak, maka akan banyak

terjadi kokon-kokon yang kotor dan buruk. Sebaliknya bila terlalu sedikit,

maka penggunaan alat-alat menjadi tidak ekonomis.

d. Kondisi Lingkungan untuk Pengokonan

Untuk memperoleh kokon dengan daya gulung (reelability) dan kualitas

sutera yang baik, sangat penting memperhatikan kondisi lingkugan,

khususnya selama tiga hari pertama :

temperatur = 22 - 23 oC

kelembaban = 65 - 70 %

Pada hari keempat sampai dengan hari keenam, setelah ulat berubah

menjadi pupa, temperatur ruangan dinaikkan sampai 23 - 24oC.

25

Page 26: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Untuk mengontrol kelembaban ruangan pengokonan, harus diperhatikan

juga uap yang ditimbulkan oleh urine dan kotoran ulat. Untuk menghindari

hal tersebut di bawah sarangan pengokonan ditaruh beberapa lembar

kertas yang dapat menyerap cairan dan setiap 5 - 6 jam dikeluarkan dari

ruangan pengokonan.

e. Cara mengokonkan

Pemindahan dengan memungut satu-satu

Ulat-ulat yang sudah matang diambil satu-satu lalu dikumpul dan

dipindahkan ke tempat pengokonan.

Adapula cara dimana pemungutan satu-satu ini waktunya

ditangguhkan sehingga hampir semua ulat matang, kemudian

dipungut, dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam tempat pengokonan

“Shaking methode” (memungut dengan cabang-cabang pohon)

Cabang murbei yang dipenuhi ulat diambil, kemudian digoyang

sedemikian rupa sehingga ulatnya jatuh.

Tempat untuk jatuhnya ulat matang, dibawahnya dipasang daun pisang

atau daun kelapa, lalu dipasang plastik. Ini bertujuan, agar ulat yang

jatuh tidak terluka.

Pengokonan secara alami (self mounting)

Sarangan pengokonan disimpan di atas ulat yang sudah matang (80-

85%) selama 20 - 24 jam dan dibiarkan sampai ulat naik ke atas

sarangan.

Sarangan pengokonan kemudian dipindahkan ke dalam ruangan

pengokonan. Jika digunakan sarangan bambu, penempatannya harus

diatur agar terdapat sirkulasi udara yang baik sehingga dapat diperoleh

kokon yang baik.

26

Page 27: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

5. Pemanenan Kokon

a. Waktu yang Tepat untuk pemanenan

Waktu panen kokon dilakukan 6 - 7 hari sejak ulat dikokonkan pada

temperatur 23 - 24oC, pada saat pupa di dalam kokon sudah berwarna

coklat tua. untuk itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan dengan

mengambil beberapa butir kokon sebagai sampel.

Pemanenan kokon terlalu awal dapat merusak pupa yang masih muda

sehingga mudah terluka kemudian membusuk dan menimbulkan

kokon cacat pintal. Bahkan, mungkin masih berupa ulat sehingga

kalkulasi rendemen pintalnya akan rendah.

Jika panen dilakukan terlambat, akan kehilangan waktu yang tepat

untuk pengeringan kokon dan kokon akan rusak karena diterobos

kupu yang keluar dari dalam kokon.

b. Cara Panen Kokon

Kokon-kokon dengan kulit yang terlalu tipis atau ulat yang membusuk

dan tidak dapat membuat kokon dipisahkan terlebih dahulu agar

nodanya tidak menempel pada kokon-kokon yang bagus.

Pemanenan dilakukan sesuai dengan urutan hari ulat mengokon.

Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati. Kokon-kokon yang

dipanen jangan dilempar karena akan menyebabkan matinya pupa

dalam kokon.

Setelah panen kokon selesai, jangan ditumpuk terlalu banyak karena

kokon-kokon akan menjadi lembab dan mempengaruhi kualitas kokon.

Serabut (floss) yang ada di luar kulit kokon harus dibersihkan dengan

tangan atau alat pembersih floss

c. Seleksi Kokon

Kokon-kokon yang telah dibersihkan dari serabutnya, diseleksi dan

disortasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

27

Page 28: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Seleksi harus dilakukan dengan hati-hati karena menyangkut harga

kokon.

Sortasi kokon meliputi : kokon normal, dan kokon cacat yaitu kokon

dobel, kokon tipis, kokon tipis ujung, kokon berlubang, bentuk tidak

normal, kokon pipih, kokon yang bernoda.

Untuk kokon normal dilakukan grading mutu sesuai dengan ketentuan

(standar) yang berlaku.

6. Pengeringan Kokon

Sekitar 10 – 12 hari setelah naik sarangan, pupa dalam kokon berubah

menjadi kupu yang akan keluar menembus kulit kokon sehingga tidak dapat

dipintal.

Pengangkutan kokon ke pabrik pemintalan dilakukan sesegera mungkin

setelah selesai melaksanakan pemanenan dan seleksi kokon. Untuk tempat

kokon dapat digunakan keranjang bambu atau karung dengan volume 10 kg.

Jika kokon tidak akan segera dipintal, dilakukan pengeringan kokon.

Pengeringan kokon dimaksudkan untuk mematikan pupa dan mengurangi

kadar air yang ada pada kokon dengan tujuan agar pupa tidak berubah

menjadi kupu (ngengat) yang bisa merusak kulit kokon.

Apabila kulit kokon rusak maka kokon tersebut tidak akan bisa dipintal

menjadi benang sutera. Disamping itu dalam keadaan kering kokon dapat

disimpan lebih lama pada temperatur dan kelembaban yang normal.

Kokon yang baru dipanen mengandung air sekitar 61 – 64% dan apabila

dikeringkan hingga mencapai kering standar, kandungan air akan berkisar

6 – 12%. Kering standar adalah keadaan dimana kadar air pada kokon

28

Page 29: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

mencapai titik minimal. Kering standar dicapai apabila ratio kokon kering dan

kokon segar berkisar antara 38 – 42%.

Tanda-tanda kokon yang mencapai kering standar adalah :

- Berat kokon lebih ringan

- Suara kokon akan gemerincing apabila kokon dikocok

- Jika pupa di dalam kokon dikeluarkan dan ditekan, pupa akan hancur.

a. Cara Pengeringan

Dalam pengeringan kokon, ada tiga cara pengeringan yaitu penjemuran,

pengukusan dan pengeringan oven

a.1. Penjemuran, dilakukan dengan memanfaatkan panas matahari.

Pengeringan dilakukan selama tiga harti terus menerus. Menurut

penelitian yang telah dilakukan, waktu yang diperlukan untuk

mematikan pupa berkisar 3 – 5 hari.

a.2. Pengukusan

- Pengukusan adalah pengeringan kokon yang memanfaatkan uap

panas yang berasal dari panas uap air yang mendidih. Alat yang

diperlukan untuk melakukan pengeringan dengan cara ini adalah

panci pengukusan (dandang), kompor, karung goni dan kain blacu.

Pengukusan dilakukan selama 5 – 10 menit setelah air mendidih,

waktu pengukusan tersebut sudah dapat mematikan pupa yang

ada di dalam kokon. Lama pengukusan jangan lebih dari 20 menit

karena dapat merusak sericin yang terdapat pada kulit kokon dan

jika kokonnya dipintal akan menyebabkan rendahnya daya gulung

(serat suteranya sering putus).

a.3. Pengeringan Oven

Pengeringan oven adalah pengeringan kokon yang memanfaatkan

udara panas di suatu alat ruangan tertentu dengan sumber panas

29

Page 30: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

berasal dari alat-alat pemanas seperti kompor, elemen listrik atau

alat pemanas lainnya.

Alat pengeringan ini biasa disebut oven. Pengeringan oven

mempunyai kelebihan dibanding dengan penjemuran dan

pengukusan. Selain mematikan pupa juga sekaligus menurunkan

kadar air serta mengeringkan kokon dalam jumlah yang lebih

banyak.

Oven yang digunakan dalam pengeringan ini merupakan oven yang

dibuat khusus untuk pengeringan kokon dengan kapasitas

40 – 70 Kg kokon. Di dalam oven terdiri dari rak-rak tempat

menyimpan kokon.

- Lama pengeringan dengan menggunakan oven ini biasanya

membutuhkan waktu sekitar 30 – 60 menit dengan temperatur

80 – 95oC.

b. Penyimpanan Kokon

Penyimpanan kokon diperlukan apabila kokon akan dijual tetapi waktu

yang diperlukan untuk menjual kokon relatif lama. Di samping itu jika

harus menunggu proses pemintalan selanjutnya.

Waktu penyimpanan tergantung cara pengeringan yang dilakukan dan

tergantung tingkat kekeringan kokon yang akan disimpan.

Bahan dan alat yang diperlukan untuk menyimpan kokon adalah kantung

terigu, kardus bekas yang diberi lubang-lubang kecil di sekelilingnya atau

dari rak-rak kayu.

30

Page 31: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

7. Analisa Usaha

Dalam Menjalankan suatu usaha, tentunya perlu dipertimbangkan

perhitungan ekonomis usaha yang dilakukan. Untuk itu ditampilkan suatu

analisa usaha sederhana mengenai persuteraan.

Pemeliharaan dilakukan sesuai dengan produksi daun murbei yang

dihasilkan. Dengan melaksanakan teknik pemeliharaan yang sesuai dengan

standar, maka diharapkan hasil sebagai berikut :

Produksi daun

Jumlah pohon per hektar = 20.000 pohon.

Asumsi produksi per pohon = 0,5 Kg satu kali pungut x 20.000 = 10.000 Kg.

Jumlah produksi/ha/tahun = 4 x 10.000 = 40.000 kg

Pemeliharaan Ulat

1 boks membutuhkan pakan sebanyak 1.250 kg.

Jumlah pemeliharaan ulat sutera pertahun = 32 box.

Jumlah pemeliharaan per bulan dengan asumsi pemeliharaan sebanyak 10

bulan sebanyak 3 – 4 box.

Perkiraan hasil produksi kokon

Jumlah isi : 25.000 butir

Penetasan : 90 %

Rendemen pemeliharaan : 90%

Hasil produksi : 90 % x 25.000 = 22.500 ulat

90 % x 22.500 = 20.250

20.250 x 2 gr = 40,5 Kg

31

Page 32: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

b. Perhitungan

Investasi Perhektar

No Jenis Kegiatan Biaya Usaha Tani (Rp)

1. Persiapan dan Penanaman Kebun Murbei 2.330.000

2. Pemeliharaan kebun belum produksi dan Peralatan 3.422.000

3. Bangunan Ulat Kecil 3.200.000

4. Peralatan Ulat kecil 836.000

5. Bangunan Ulat besar 8.000.000

6. Peralatan untuk ulat besar 3.300.000

7. Alat pengokonan 2.800.000

Jumlah 23.888.000

Perhitungan Usia Teknis : - Kebun = 15 tahun

- Bangunan dan Peralatan = 5 tahun

Maka penyusutan/tahun (A) 4.010.666

Biaya Produksi

No Jenis Kegiatan Usaha Tani (Rp)

1. Pemeliharaan kebun produksi dan Peralatan 3.058.000

2. Pemeliharaan ulat 7.998.900

Jumlah Biaya (B) 11.056.000

Harga Pokok Produksi Kokon Basah dengan

Produksi 1.620 Kg/Ha/Tahun - C B:C

6.824

Kokon baik 90% (1.458) - D

Maka HPP kokon basah B : D 7.582

Penyusutan per Kg A : C

Maka HPP Kokon Basah

2.475

10.057

Harga Pokok Penjualan dengan keuntungan

20%

11.159 ~ 12.068

32

Page 33: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

Apabila produksi kokon basah = 1.620 kg/ha/tahun dengan biaya produksi

termasuk penyusutan investasi sebesar Rp 15.066.666,- dengan asumsi

kokon terjual 90% dengan harga Rp 15.000,- maka petani sutera akan

mendapatkan keuntungan sebesar Rp 6.803.334,- pertahun atau

Rp 566.945,-/bulan.

Harga pasaran kokon untuk saat ini berkisar antara Rp 17.000,- sampai

dengan Rp 20.000,-. Dengan harga pasaran seperti itu, maka keuntungan

yang dapat diperoleh berkisar antara Rp 9 juta sampai Rp 14 juta

pertahun.

8. Kesimpulan

1. Jenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat sutera yang

tergantung pada kondisi iklim dan lingkungan termasuk suhu,

kelembaban, cahaya dan aliran udara.

2. Dalam melaksanakan pemeliharaan ulat sutera perlu diketahui

karakteristik pada masing-masing tingkatan dalam siklus hidup ulat sutera

mulai dari telur sampai dengan kokon.

3. Sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera perlu ada persiapan

pemeliharaan baik persiapan daun murbei, persiapan ruangan dan alat-

alat pemeliharaan maupun persiapan sumber daya manusia (pemelihara).

4. Dalam melakukan persiapan ruangan dan alat perlu diperhatikan

ketepatan dalam melaksanakan disinfeksi.

5. Pengambilan telur dan cara inkubasi yang benar akan memberikan hasil

penetasan dengan persentase sesuai dengan yang diharapkan.

6. Teknik pemeliharaan yang sesuai dengan ketentuan baik pada ulat kecil,

ulat besar maupun pengokonan dan pemanenan kokon akan memberikan

hasil produksi kokon yang tinggi.

7. Jika kokon tidak segera dipintal, maka dapat dilakukan pengeringan

kokon agar kokon tidak rusak dan bisa disimpan.

33

Page 34: Petunjuk Praktis Budidaya Ulat Sutera

8. Jika dapat dicapai hasil produksi kokon yang tinggi dan berkualitas, maka

dapat memberikan keuntungan bagi para pemelihara ulat sutera.

9. Daftar Pustaka

Budisantoso, Harry. 1994. Informasi teknis : Pengeringan dan Penyimpanan

Kokon Sutera. Departemen Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan.

Ujung Pandang.

Daus, Amir; Haris. S. 1998. Pemeliharaan Ulat Sutera dan Pengokonan.

Materi Pelatihan Persuteraan Alam Untuk Penyuluh dan Petani Oleh

Perum Perhutani. Perum Perhutani Unit I. Semarang.

Ho Lim, Soo; Taek Kim, Young; Poong Lee, Sang; Jun Rhee, In; Jung

Sung,Lim; Ho Im, Byung. 1990. Sericulture Training Manual, FAO

Agricultural Service Bulletin No. 80, Food and Agriculture

Organisation of The United nations. Rome.

Jolly, Manjeet. 1987. Appropriate Sericulture Techniques. International Centre

for Training & Research in Tropical Sericulture. Mysore.

Kartasubratra, Junus; M. Kaomini; W. Saleh, W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam

Indonesia, Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.

Katsumata, F. 1972. Petunjuk Sederhana Bagi Pemelihara Ulat Sutera.

Tokyo. Japan

Soekarman. 1998. Pemeliharaan Ulat Sutera. Materi Pelatihan Persuteraan

Alam. Kerjasama Perum Perhutani dan MPAI. Direksi Perum

Perhutani. Jakarta.

Pang-chuan, Wu; C. Da-huang. 1988. Silkworm Rearing, FAO Agricultural

Service Bulletin no. 73/2. Food and Agriculture Organization of The

United Nations. Rome.

34