Post Test Pediatri Sosial
-
Upload
funnie-adelia -
Category
Documents
-
view
18 -
download
3
description
Transcript of Post Test Pediatri Sosial
TUGAS POST TEST PEDIATRI SOSIAL
Oleh :
Stephanie Adelia
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I (PPDS I)
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FK UNDIP/RSUP Dr. KARIADI SEMARANG
2015
1. Bagaimana cara melakukan evaluasi perkembangan ?
Jawab :
Tahap – tahap evaluasi perkembangan anak adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis
Anamnesis secara lengkap karena gangguan perkembangan bisa
diakibatkan oleh berbagai faktor. Okeh karena itu kita harus menggali
mulai dari riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
prenatal, riwayat natal, riwayat post natal. Selain itu, penting juga untuk
ditanyakan mengenai riwayat keluarga dan riwayat sosial ekonomi.
2. Skrining gangguan perkembangan anak
Pada tahap ini dianjurkan digunakan instrumen – instrumen untuk
skrining kelainan perkembangan anak.
3. Evaluasi lingkungan anak
Tumbuh kembang anak merupakan hasil interaksi antara faktor genetik
dengan lingkungan bio – fisiko – psikososial. Oleh karena itu, untuk
deteksi dini, kita juga harus melakukan evaluasi lingkungan anak tersebut.
4. Evaluasi penglihatan dan pendengaran anak
Tes penglihatan dapat dilakukan dengan tes fiksasi, dengan kartu
gambar dari Allen, maupun dengan huruf E. Perlu juga diperiksa adanya
strabismus, kelainan di kornea maupun retina.
Untuk tes pendengaran dapat dilakukan melalui anamnesis atau
menggunakan pemeriksaan audiometri.
5. Evaluasi bicara dan bahasa anak
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah kemampuan
anak berbicara masih dalam batas – batas normal atau tidak.
6. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara lengkap untuk mengetahui
kelainan fisik yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Misalnya,
apakah ada berbagai sindrom, penyakit jantung bawaan, tanda – tanda
penyakit defisiensi dan lain – lain
7. Pemeriksaan neurologi
2
Pemeriksaan neurologi harus dilakukan secara teliti untuk dapat
membantu kita dalam diagnosis suatu kelainan, misalnya jika ada lesi
intrakranial, cerebral palsy, neuropati perifer, penyakit degeneratif, dan
sebagainya.
8. Evaluasi penyakit metabolik
Salah satu penyebab gangguan perkembangan anak adalah adanya
kelainan metabolik. Kecurigaan kelainan metabolik bisa kita peroleh dari
anamnesis, termasuk riwayat keluarga dan pemeriksaan fisik. Untuk
selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan penunjang guna mengonfirmasi
kelainan metabolik tersebut.
9. Integrasi dari hasil penemuan
Berdasarkan anamnesis dan semua pemeriksaan tersebut di atas, dibuat
suatu kesimpulan diagnosis dari gangguan perkembangan tersebut.
Kemudian ditetapkan penatalaksanaannya, konsultasi lebih lanjut, dan
prognosisnya.
Tes Perkembangan :
a. Tes intelegensi individual (tes IQ)
Contoh: Tes Stanford Binet, LIPS (The Leiter International
Performance Scale, WISC (The Wechsler Intelligence Scale for
Children), WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale for
Intelligence), McCarthy Scales of Children’s Abilites
b. Tes prestasi
Contoh: Gray oral reading test-revised, WRAT (Wide Range
Achievement Test), WRAT (Wide Range Achievement Test), Peabody
Individual Achievement Test
c. Tes psikomotorik
Contoh: Brazelton Newborn Behaviour Assesment Scale, DDST,
Bayley Infant Scale of Development, Geometric Forms Test
d. Tes proyeksi
Contoh: Symond Picture Story Test, Children’s Apperception Test, The
Machover Human Figure Drawing Test
e. Tes perilaku adaptif
3
Contoh: Vineland Adaptive Behavior Scales
( Referensi : Tumbuh Kembang Anak, dr. Soetjiningsih, SpA(K) )
2. Pemeriksaan apa saja yang bisa dilakukan jika terdapat kecurigaan
ADHD ?
Jawab:
Dari anamnesis, untuk dapat disebut memiliki gangguan ADHD,
harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak,
yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Inatensi atau pemusatan perhatian
yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan
perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu
mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali
beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa
diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia
akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-
manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan
suara berisik.
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda
respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu
yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan
dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif
adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang
menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-
buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa
untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas
adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang
membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis
hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap
minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala
4
tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di
sekolah.
Alat yang digunakan untuk deteksi dini Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Ratting Scale)
adalah formulir yang terdiri atas10 pertanyaan yang ditanyakan kepada
orangtua / pengasuh anak / guru TK dan pertanyaan yang perlu
pengamatan pemeriksa.
Cara menggunakan formulir deteksi dini GPPH :
a. Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas dan nyaring, satu persatu
perilakuyang tertulis pada formulir deteksi dini GPPH. Jelaskan kepada
orangtua / pengasuh anak untuk tidak ragu-ragu atau takut menjawab.
b. Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan pertanyaan pada
formulir deteksi dini GPPH
c. Keadaan yang ditanyakan/diamati ada pada anak dimanapun anak
berada,missal ketika di rumah, sekolah, pasar, took, dll. Setiap saat dan
ketika anak dengan siapa saja.
d. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama
dilakukan pemeriksaan. Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah
dijawab.
Interpretasi :
a. Nilai 0 : jika keadaan tersebut tidak ditemukan pada anak
b. Nilai 1 : jika keadaan tersebut kadang-kadang ditemukan pada anak
c. Nilai 2 : jika keadaan tersebut sering ditemukan pada anak
d. Nilai 3 : jiak keadaan tersebut selalu ada pada anak. Berikan nilai total
13 atau lebih anak kemungkinan dengan GPPH.
Intervensi :
a. Anak dengan kemungkinan GPPH perlu dirujuk ke Rumah Sakit
yangmemiliki : fasilitas kesehatan jiwa/tumbuh kembang anak
untuk konsultasi lebih lanjut.
b. Beri nilai total kurang dari 13 tetapi anda ragu-ragu,
jadwalkan pemeriksaan ulang 1 bulan kemudian. Ajukan pertanyaan
5
kepada orang-orang terdekat dengan anak (orang tua, pengasuh, nenek,
guru,dsb).
Pemeriksaan diagnostic lain yang dapat dilakukan pada anak dengan
kecurigaan ADHD antara lain :
1. Pemeriksaan tiroid : dapat menunjukkan gangguan hipertiroid atau
hipotiroid yang memperberat masalah
2. Tes neurologi (misalnya EEG, CT scan) menentukan adanya gangguan
otak organik
3. Tes psikologis sesuai indikasi : menyingkirkan adanya gangguan
ansietas, mengidentifikasi bawaan, retardasi borderline atau anak tidak
mampu belajar dan mengkaji responsivitas social dan perkembangan
bahasa
4. Pemeriksaan diagnostik individual bergantung pada adanya gejala fisik
(misalnya ruam, penyakit saluran pernapasan atas, atau gejala alergi
lain, infeksi SSP)
FORMULIR DETEKSI DINIGANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DAN
HIPER AKTIVITAS (GPPH)
(Abbreviated Conners Ratting Scale)
Kegiatan yang diamati 0 1 2 3
1.Tidak kenal lelah, atau aktivitas yang berlebihan
2.Mudah menjadi gembira, impulsive
3.Menganggu anak-anak lain
4.Gagal menyelesaikan kegiatan yang telahdimulai,
rentang perhatian pendek
5.Menggerak-gerakkan anggota badan ataukepala
secara terus-menerus
6
6.Kurang perhatian, mudah teralihkan
7.Permintaannya harus segera dipenuhi,,mudah
menjadi frustasi
8.Sering dan mudah menangis
9.Suasana hatinya mudah berubah dengancepat dan
drastis
10.Ledakkan kekesalan, tingkah laku eksplosif dan tak
terduga.
Jumlah :
Nilai total :
(Referensi: Assessment and management of attention-deficit hyperactivity
disorder. CMAJ 2003;168(6):715-22)
3. Bagaimana teknis pelaksanaan imunisasi pada anak risiko tinggi ?
Jawab :
A. Pengelolaan Bayi Risiko Tinggi d engan Ibu Hepatitis B
Status Infeksi
Hepatitis B pada
Ibu
Bayi preterm <2000 gr Bayi preterm >2000 gr
Infeksi Hep B(+) Vaksin Hep B+HbIg
diberikan dalam waktu 12
jam. Vaksin Hep B kedua
diberikan saat umur 1
bulan dan BB mencapai
2000 gr. Selanjutnya
umur 2 – 3 bulan dan 6
bulan umur kronologis
Vaksin Hep B+HbIg
diberikan dalam waktu 12
jam. Vaksin Hep B kedua
diberikan saat umur 1
bulan, dosis ketiga dan
keempat diberikan umur
6 dan 12 bulan
Infeksi Hep B (-) Vaksin Hep B pertama
diberikan saat BB>2000
Vaksin Hep B pertama
diberikan saat lahir,
7
gr selanjutnya umur
kronologis 1 bulan dan 6
bulan
Tidak diketahui Vaksin Hep B dalam
waktu 12 jam. Periksa
HbSAg ibu segera. Bila
tidak bisa dilakukan
dalam 12 jam, tambahkan
HbIg dalam waktu 12
jam
Vaksin Hep B dalam
waktu 12 jam, periksa
HbSAg ibu segera. Bila
positif, HbIg
ditambahkan dalam
waktu 7 hari.
Tatalaksana khusus sesudah periode perinatal :
a. Dilakukan pemeriksaan anti HBs dan HbaAg berkala pada usia 7 bulan
(satu bulan setelah penyuntikan vaksin hepatitis B ketiga) 1, 3, 5 tahun
dan selanjutnya setiap 1 tahun.
1) Bila pada usia 7 bulan tersebut anti HBs positif, dilakukan
pemeriksaan ulang anti HBs dan HBsAg pada usia 1, 3, 5 dan 10
tahun.
2) Bila anti HBs dan HBsAg negatif, diberikan satu kali tambahan dosis
vaksinasi dan satu bulan kemudian diulang pemeriksaan anti HBs.
Bila anti HBs positif, dilakukan pemeriksaan yang sama pada usia 1,
3, dan 5 tahun.
3) Bila pasca vaksinasi tambahan tersebut anti HBs dan HBsAg tetap
negatif, bayi dinyatakan sebagai non responders.
4) Bila pada usia 7 bulan anti HBs negatif dan HBsAg positif,
dilakukan pemeriksaan HBsAg ulangan 6 bulan kemudian. Bila
masih positif, dianggap sebagai hepatitis kronis dan dilakukan
pemeriksaan SGOT/PT, USG hati, alfa feto protein, dan HBsAg,
idealnya disertai dengan pemeriksaan HBV-DNA setiap 1-2 tahun.
b. Bila HBsAg positif selama 6 bulan, dilakukan pemeriksaan
SGOT/PT setiap 2-3 bulan. Bila SGOT/PT meningkat pada lebih
8
dari 2 kali pemeriksaan dengan interval waktu 2-3 bulan,
pertimbangkan terapi anti virus.
B. Pengelolaan Bayi Risiko Tinggi d engan Ibu TB
Jangan diberi vaksin BCG saat setelah lahir
Beri profilaksis Isoniazid (INH) 5 mg/kg sekali sehari secara oral.
Pada umur 8 minggu lakukan evaluasi kembali, catat berat badan dan
lakukan pemeriksaan tes Mantoux dan radiologi bila memungkinkan.
Apabila ditemukan kecurigaan TBC aktif, mulai berikan
pengobatan anti TBC lengkap (disesuaikan dengan program
pengobatan TBC pada bayi dan anak).
Apabila bayi baik dan dan hasil tes negatif, lanjutkan pencegahan
dengan isoniazid selama waktu 6 bulan.
Tunda pemberian vaksin BCG sampai dengan 2 minggu setelah
pengobatan selesai. Bila vaksin BCG sudah terlanjur diberikan,
ulang pemberiannya 2 minggu setelah pengobatan INH selesai.
C . Pengelolaan Bayi Risiko Tinggi d engan Ibu HIV
Tanda klinis HIV pada bayi baru lahir baru dapat ditemukan pada usia 6
minggu setelah lahir. Uji antibodi baru dapat diperiksa saat umur 18 bulan untuk
menentukan status HIV bayi. Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif dan bayi
tidak didapatkan tanda imunodefisiensi bisa diberikan imunisasi seperti bayi sehat
lain.
D . Pengelolaan Bayi / Anak d engan HIV
Waktu pelaksanaan imunisasi terhadap pasien HIV harus diperhatikan
karena apabila terlambat, tidak banyak memberikan manfaat. Namun, apabila
diberikan lebih awal,vaksin hidup dapat mengaktifkan sistem imun yang dapat
meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV.
Vaksin Rekomendasi Keterangan
IPV Ya Pasien dan keluarga
serumah
9
DPT Ya Sesuai dengan jadwal
anak sehat
HiB Ya Secepat mungkin
Hepatitis B Ya Sesuai dengan jadwal
anak sehat
Hepatitis A Ya Sesuai dengan jadwal
anak sehat
MMR Ya (utk pasien HIV
asimtomatik/gejala HIV
ringan, CD4>25%)
Umur 12 bulan
Influenza Ya Tiap tahun diulang
Pneumococcus Ya Secepat mungkin
BCG Ya (utk pasien HIV
asimtomatik/gejala HIV
ringan, CD4>25%)
Dianjurkan utk di
Indonesia
Varisela Ya/Tidak (utk pasien
HIV asimtomatik/gejala
HIV ringan, CD4>25%)
Tergantung berat
penyakit
E. Imunisasi pada bayi preterm dan berat lahir rendah
Imunisasi pada BBLR dapat mulai dilakukan apabila berat badan bayi
>2000 gram, sedangkan pada bayi preterm dapat dilakukan sesuai dengan
umur kronologisnya dengan jadwal yg sama dengan bayi aterm. Untuk vaksin
DPT, HiB, dan OPV diberikan saat usia bayi 2 bulan, tetapi jika masih dalam
perawatan, OPV sebaiknya diganti dengan IPV untuk menghindari
penyebaran kepada bayi lain.
F. Imunisasi pada bayi / anak dengan penyakit kronis
Pemberian imunisasi dilakukan dengan jadwal seperti anak sehat, kecuali
apabila sudah terjadi immunodefisiensi. Pada anak dengan immunodefisiensi
vaksin hidup tidak boleh diberiikan karena perkembangan kuman tidak
10
mampu dikendalikan oleh sel imun anak. Anak dengan sakit kronis sangat
dianjurkan mendapat vaksin influenza dan pneumococcus.
(Referensi : Siregar SP. Imunisasi bayi berisiko. In: Ranuh IGN, Suyitno H,
Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, editors. Pedoman Imunisasi di Indonesia.
Jakarta: IDAI; 2011. P.47-56)
4. Apa yang dimaksud dengan high risk baby dan apa saja yang harus
dilakukan terkait dengan risiko tinggi tumbuh kembang ?
Jawab:
Bayi risiko tinggi adalah kelompok bayi yang memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mengalami kematian dan kesakitan termasuk gangguan tumbuh
kembang. Penyebab risiko tinggi pada bayi adalah gangguan pada masa prenatal,
saat kelahiran, dan pascanatal. Prevalens keterlambatan perkembangan pada bayi
dengan masalah perinatal di Indonesia antara 17,1% - 26%.
Penilaian keterlambatan perkembangan anak memerlukan instrumen yang
sudah divalidasi, memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, mudah digunakan,
sederhana, dan singkat dan selalu direvisi. Sebuah instrumen evaluasi
perkembangan yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah Bayley scales of infant
and toddler development (Bayley III). Perkembangan bayi risiko tinggi
mengalami keterlambatan di area kognitif dan motorik pada usia 3 dan 6 bulan
dibandingkan bayi risiko rendah. Semakin bertambah usia bayi risiko tinggi, maka
semakin banyak gangguan perkembangan yang akan timbul. Risiko keterlambatan
makin jelas terlihat di usia 6 bulan, kecuali untuk area sosial emosi.
Pada bayi dengan risiko tinggi memerlukan stimulasi dini dengan harapan
dapat merangsang kuantitas dan kualitas sinaps sel-sel otak serta untuk
mengoptimalkan fungsi otak. Stimulasi dini memanfaatkan plastisitas otak yang
merupakan kemampuan susunan syaraf untuk menyesuaikan diri berupa
perubahan anatomi, kemampuan neurokimiawi dan perubahan metabolik.
Prinsip Umum Stimulasi Psikososial Bayi Risiko Tinggi
Kegiatan Cara Berinteraksi
Penglihatan Menarik perhatian bayi, dekatkan wajah ibu
Pertahankan kontak mata yang lama
11
Ubah ekspresi wajah untuk mempertahankan interaksi visual,
menggunakan senyuman, ekspresi kaget, gerakan lidah
Gerakan,anggukan dan gelengan kepala untuk mempertahankan
interaksi dengan bayi
Tirukan ekspresi wajah bayi
Gerakkan benda bewarna terang untuk membantu pemfokusan
bayi dan mengikutinya
Pegang bayi posisi tegaks ehingga ia dapat melihat melewati
bahu orangtua
Pendengaran Gunakan suara untuk berbagai cara berkomunikasi dengan bayi
(bernyanyi,bergumam,memanggilnama,bercakap)
Berusaha agar bayi menggerakkan matanya dan kepalanya ke
arah suara anda
Tiru suara bayi
Gunakan benda untuk menimbulkan suara (bel, musik)
Perabaan Sentuhan, tepukan, pijat bayi dengan cara menenangkan dan
berirama
Manfaatkan refleks bayi untuk interaksi (refleks hisap, refleks
memegang)
Pegang dan timang bayi
Ayunkan bayi ketika diam dan hibur dengan menggoyang ketika
rewel
Bergerak berkeliling dengan bayi tegak di bahu
Kombinasi gerakan badan dan wajah dengan mencium dan
menyundul bayi secara halus
Bermain sambil mengganti baju atau memandikan bayi
(Referensi: Soedjatmiko. Stimulasi psikososial pada bayi risiko tinggi. Dalam:
Hot Topics in Pediatrics II. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLV. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2002.h.28-46)
12