Posmodernisme Dan Krisis Berpikir

2
1 POSMODERNISME DAN KRISIS BERPIKIR Oleh Rikobidik  Modernisme, sebagai sebuah kerangka berpikir, memaksa semua yang berada di sekitar untuk menyesuaikan dan mematut-matutkan diri kepada “Saya” sebagai sentral kebaikan dan kebenaran. Nah, pada posis i seperti inilah akhirnya tindak kekerasan menjadi benar ketika “Saya” tersebut memiliki legitimasi kekuasaan untuk mengatur yang di sekitar. Akan menjadi berbeda, misalnya, jika si “Saya” tersebut tidak mendapatkan legitimasi sentralitas modernisme. Secara epistemologis, posmodernisme memang bersifat kompleks dan beragam. Dan, mungkin ini yang jadi soal bagi kerangka berpikir mahluk modern. Sebab, mahluk modern kadung dibiasakan berpikir secara generalistik. Sehingga, berpikir a la posmodernisme yang kompleks dan beragam bisa jadi menyusahkan. Padahal, jika kita mau sedikit berlelah-lelah berpikir, kita akan mahfum bahwa manusia sesungguhnya memang bukanlah mahluk yang serba u mum, melainkan kompleks, unik, dan taktertebak. Posmodernisme kemudian mencuat sebagai alternatif kerangka berpikir. Tapi, sayangnya, belum sempat ia diberi kesempatan berkembang, berbagai macam tuduhan miring sudah dilancarkan atasnya. Seolah-olah, schizophrenia cultural merupakan hasil dari kerangka berpikir posmodernisme. Padahal, sebagai sebuah pemikiran, posmodernisme masih merangkak. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa serba dipersalahkan atas akibat yang disebabkan oleh raksasa modernisme yang telah sekian lama memorak- morandakan nilai-nilai kemanusiaan? Berarti ada sebuah kekeliruan dalam memahami posmodernisme. Segala anarkisme yang terjadi belakangan ini adalah sebuah akibat nyata dari modernitas yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Baginya, yang terpenting adalah produktivitas kerja, takpeduli terhadap nasib dan unsur perasaan manusia yang menggerakkan segala produktivitas tersebut. Dari sebab inilah segala kekacauan timbul dan posmodernisme memberikan darah segar dalam memandang manusia. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) memang tidak membicarakan posmodernisme. Tetapi, teori language games-nya seperti berikhtiar meruwat ruwetnya jaman. Kehidupan yang kompleks, menurut teori ini, memang sudah ada pada manusia. Di tengah kompleksitas tersebut manusia berikhtiar menyusun tata tertib kehidupan. Sebab, jika tidak, yang terjadi adalah kekacauan. Namun, pertanyaan kritisnya, yang sayangnya terabaikan oleh modernisme adalah, di manakah kita mestinya meletakkan tata tertib kehidupan yang serba kompleks ini? Jawabannya adalah meletakkan tata tertib itu sesuai dengan language games-nya. Sebab, di dalam language games, kita akan menemui aturan beserta nilai-nilai yang termaktub di dalam kehidupan manusia yang kompleks. Hanya dengan begitu kita akan keluar dari kungkungan “Saya” dan mau merendahkan hati belajar memahami makna kehidupan pihak lain. Jika dianalogkan dengan ciri penelitian ilmiah, modernisme lebih bersifat kuantitatif sedangkan posmodernisme lebih bersifat kualitatif. Nah, language games akan menggiring pemahaman kita kepada pilihan terhadap kondisi yang pantas dihadapi secara kualitatif atau kuantitatif. Untuk menjawab tantangan bahwa posmodernisme lemah pada tataran praksis, saya akan menjawab bahwa sesungguhnya itu adalah akumulasi dari kebiasaan sentralistik modernisme yang memberikan legitimasi bagi setiap mahluk modern untuk 

Transcript of Posmodernisme Dan Krisis Berpikir

Page 1: Posmodernisme Dan Krisis Berpikir

 

1

POSMODERNISME DAN KRISIS BERPIKIR Oleh Rikobidik  

Modernisme, sebagai sebuah kerangka berpikir, memaksa semua yang berada di

sekitar untuk menyesuaikan dan mematut-matutkan diri kepada “Saya” sebagai sentralkebaikan dan kebenaran. Nah, pada posisi seperti inilah akhirnya tindak kekerasan

menjadi benar ketika “Saya” tersebut memiliki legitimasi kekuasaan untuk mengaturyang di sekitar. Akan menjadi berbeda, misalnya, jika si “Saya” tersebut tidak 

mendapatkan legitimasi sentralitas modernisme.Secara epistemologis, posmodernisme memang bersifat kompleks dan beragam.

Dan, mungkin ini yang jadi soal bagi kerangka berpikir mahluk modern. Sebab, mahluk modern kadung dibiasakan berpikir secara generalistik. Sehingga, berpikir a la 

posmodernisme yang kompleks dan beragam bisa jadi menyusahkan. Padahal, jika kitamau sedikit berlelah-lelah berpikir, kita akan mahfum bahwa manusia sesungguhnya

memang bukanlah mahluk yang serba umum, melainkan kompleks, unik, dan taktertebak.Posmodernisme kemudian mencuat sebagai alternatif kerangka berpikir. Tapi,

sayangnya, belum sempat ia diberi kesempatan berkembang, berbagai macam tuduhanmiring sudah dilancarkan atasnya. Seolah-olah, schizophrenia cultural merupakan hasildari kerangka berpikir posmodernisme. Padahal, sebagai sebuah pemikiran,

posmodernisme masih merangkak. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa serba dipersalahkan

atas akibat yang disebabkan oleh raksasa modernisme yang telah sekian lama memorak-

morandakan nilai-nilai kemanusiaan?

Berarti ada sebuah kekeliruan dalam memahami posmodernisme. Segala

anarkisme yang terjadi belakangan ini adalah sebuah akibat nyata dari modernitas yang

menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Baginya, yang terpenting adalah produktivitas kerja,

takpeduli terhadap nasib dan unsur perasaan manusia yang menggerakkan segalaproduktivitas tersebut. Dari sebab inilah segala kekacauan timbul dan posmodernisme

memberikan darah segar dalam memandang manusia.

Ludwig Wittgenstein (1889-1951) memang tidak membicarakan posmodernisme.

Tetapi, teori language games-nya seperti berikhtiar meruwat ruwetnya jaman. Kehidupan

yang kompleks, menurut teori ini, memang sudah ada pada manusia. Di tengah

kompleksitas tersebut manusia berikhtiar menyusun tata tertib kehidupan. Sebab, jika

tidak, yang terjadi adalah kekacauan. Namun, pertanyaan kritisnya, yang sayangnyaterabaikan oleh modernisme adalah, di manakah kita mestinya meletakkan tata tertib

kehidupan yang serba kompleks ini?Jawabannya adalah meletakkan tata tertib itu sesuai dengan language games-nya.

Sebab, di dalam language games, kita akan menemui aturan beserta nilai-nilai yangtermaktub di dalam kehidupan manusia yang kompleks. Hanya dengan begitu kita akan

keluar dari kungkungan “Saya” dan mau merendahkan hati belajar memahami maknakehidupan pihak lain. Jika dianalogkan dengan ciri penelitian ilmiah, modernisme lebih

bersifat kuantitatif sedangkan posmodernisme lebih bersifat kualitatif. Nah, language

games akan menggiring pemahaman kita kepada pilihan terhadap kondisi yang pantas

dihadapi secara kualitatif atau kuantitatif.Untuk menjawab tantangan bahwa posmodernisme lemah pada tataran praksis,

saya akan menjawab bahwa sesungguhnya itu adalah akumulasi dari kebiasaansentralistik modernisme yang memberikan legitimasi bagi setiap mahluk modern untuk 

Page 2: Posmodernisme Dan Krisis Berpikir

 

2

mengatur yang di sekitarnya. Tentu, yang terjadi adalah, perbenturan kepentingan antarayang saling mengatur tanpa mau belajar untuk saling mengenal dan menghormati.

Bahkan, sebelum modernisme muncul dan menguat, kekacauan pun sudah ada. Lalu, jikasampai pada alam posmodernisme kekacauan tetap ada, maka apakah yang sesungguhnya

yang menjadi pembeda utama isme-isme ini?Yang paling membedakan adalah: modernisme selalu mengajukan hipotesis

ketika menjawab sebuah persoalan, sedangkan posmodernisme menganjurkan untuk memahami sebelum mengambil keputusan. Tetapi, seperti kebiasaan menulis skripsi ilmu

bahasa dan sastra di perguruan tinggi yang akrab dengan slogan “yang penting cepatselesai”, maka metode kuantitatif yang biasanya dipakai karena menjanjikan hasil yang

pasti dan cepat tanpa harus menguras keringat berpikir secara mendalam untuk mengungkapkan makna kehidupan.

Akibatnya, posmodernismelah yang tertiban sial. Sebab, meskipun konon kaum

akademisi maupun budayawan berteriak bahwa sekarang sudah abad posmodern, toh

kebanyakan kita terlanjur nyaman dan takmau bergeser dari kedangkalan dan kenaifan

modernisme. Artinya, posmodernisme memang sungguh hadir ketika manusia telah

sampai kepada krisis berpikir yang akut akibat kenaifan, kekejian dan kedangkalan

modernisme.

RIKO, lahir di Jakarta, 29 Agustus 1978, bekerja sebagai  Freelance Copywriter dan Mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta. Artikelnya pernah 

dimuat di koran Seputar Indonesia (mengenai Filsafat Bahasa). Karya ilmiah dan penelitian yang pernah diterbitkan yaitu  Nasionalisme Baru: Wacana

Kemerdekaan Pasca Reformasi (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Labsospol UNAS) dan  Mendahulukan Yang Tertinggal 1 & 2 (Pusat Pemberdayaan Masyarakat UNAS bekerjasama

dengan Departmen Sosial).Nomor sel: (021) 990 6 8877, 0852 852 86066 & surat-e: [email protected]  

www.ngobrol-hang-out.blogspot.com